Tugas1 FH (Resume Nature of Jurisprudence)
-
Upload
tri-agustina-rahayu -
Category
Documents
-
view
874 -
download
178
description
Transcript of Tugas1 FH (Resume Nature of Jurisprudence)
Nama : Tri Agustina Rahayu
NRP : -
Mata Kuliah : Filsafat Hukum
Dosen : Dr. Agus Brotosusilo
Tugas : Tugas ke-1 Filsafat Hukum
(Resume Materi “ Nature of Jurisprudence”)
Sabtu, 6 April 2013
Nature of Jurisprudence
Sebelum membahas mengeni definisi “Nature of Jurisprudence”, perlu digaris
bawahi jika jurisprudence tidak sama dengan yurisprudensi. Istilah yurisprudensi berasal
dari kata jurisprudentia (Bahasa latin) yang berarti pengetahuan hukum (Rechts
geleerheid). Sedangakan kata yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia sama artinya
dengan kata “Jurisprudentia” (Bahasa Belanda) dan “Jurisprudence” (Bahasa Perancis)
yaitu peradilan tetap atau hukum peradilan.
Roscoe Pound berpendapat bahwa “Jurisprudence is a science of law, the statement
and systematic arrangement of rules followed by the courts and the principles involved
in these rules”. Kata science dalam webster dictionary berarti knowledge; knowledge of
principles and causes; ascertained truth of facts. Kata science ini erat kaitannya dengan
“Natural Science” atau ilmu alamiah. Dalam metode ilmiah, para ilmuwan menyusunun
suatu hipotesa. Hipotesa adalah suatu praduga yang dibuat untuk menarik kesimpulan
dan menguji suatu secara empiris. Untuk membuktikan benar tidaknya suatu hipotesa
diperlukan data empiris. Pembuktian inilah merupakan batas demarkrasi antara ilmiah
dan non-ilmiah. Pada abad XIX, ilmu-ilmu ilmiah semakin berkembang dan
mempengaruhi bidang studi lainnya. Begitu juga hukum yang mengikuti jejak ilmu-ilmu
ilmiah untuk menemukan kebenaran empiris.
Dalam bukunya berjudul “A System logic”, John Stuart Mill menerapkan metode
ilmiah kepada studi-studi sosial. Hal ini disebut dengan “naturalistic” social science.
Menurut Barber, ilmu sosial adalah ilmu yang berkaitan dengan hubungan sosial antara
manusia dan bukan banya saja berinterkasi secara fisik namun juga atas dasar makna
yang disepakati bersama. Namun dua hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan
metode ilmiah kepada studi-studi studi-studi sosial, yaitu:
1. Gejala yang dihadapi oleh ilmuwan sosial tidaklah sama dengan gejala yang dihadapi
ilmuwan ilmiah. Objek telaah ilmu-ilmu ilmiah berkaitan dengan materi sedangkan
ilmu-ilmu sosial berkaitan dengan manusia.
2. Ilmuwan sosial tidak dapat mengalami pengalaman orang lain. Perspektif seseorang
yang berbeda satu sama lain yang menyebabkan seorang ilmuwan tidak dapat
mengalami pengalaman yang sama dengan ilmuwan lain.
Law and Society Association yang didirikan pada tahun 1960-an telah menyulut
studi-studi hukum dari perspektif ilmu sosial. Objek-objek penelitian sering diarahkan
pada topik dampak-dampak hukum terhadap masyarakat tertentu, kepatuhan hukum
masyarakat tertentu, maupun efektivitas aturan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat, hukum, dan perubahan sosial. Penelitian ini menyelidiki lubang antara
yang ditetapkan oleh hukum dan apa yang terjadi di alam empiris. Hal ini berarti
mejadikan studi hukum menjadi studi sosial. Tugas ilmu hukum adalah menyelesaikan
masalah- masalah sosial yang berkaitan dengan hukum dan bukan untuk menelaah
hukum itu sendiri secara lebih mendalam.
Karakteristik ilmu sosial yang tidak dapat mengalami pengalaman orang lain
membuat para peneliti melakukan penelitian berdasarkan perspektif mereka sendiri.
Dampak dari hal tersebut adalah diperlukannya prosedur standar untuk melakukan studi
hukum yang dipolakan menurut pola ilmu sosial. Penelitian hukum menurut pola ilmu
sosial dimulai dengan menyusun hipotesa, penelitian hukum ini tidak lebih hanya untuk
memperoleh kebenaran empiris atau keniscayaan sama halnya dengan ilmu alamiah itu
sendiri.
Selain penerapan ilmu-ilmu ilmiah terhadap ilmu-ilmu sosial, Austin
mendeskripsikan hukum sebagai gejala yang dapat diamati dimana hukum terdiri dari
perintah-perintah dan sanksi-sanksi yang diberikan oleh penguasa dan dipatuhi oleh
setiap anggota masyarakat. Namun ketika anak yang dibawah umur melakukan tindak
kejahatan maka anak tersebut tidak berhak dihukum. Oleh karena itu sanksi bukanlah
unsur utama dalam hukum melainkan merupakan unsur tambahan. Unsur utama dalam
hukum adalah penerimaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri sehinga membuat
hukum mempunyai kekuatan yang mengikat. Konsep hukum yang dikemukakan oleh
Austin merujuk ke hukum pidana dan mengabaikan hukum lainnya. Oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa konsep hukum yang dikemukakan Austin adalah keliru.
Kembali lagi ke penerapan metode ilmu-ilmu ilmiah dan ilmu-ilmu sosial. Kedua ilmu
tersebut merupakan ilmu yang bersifat deskriptif. Ilmu ilmiah maupun ilmu sosial
berhubungan dengan gejala yang dapat diamati secara empiris. Tujuan dari ilmu
deskriptif sendiri adalah keniscayaan/kepastian (truth). Sesuatu yang sifatnya seyognya
atau seharusnya (should or ought) dan gagasan yang bersifat perspektif tidak masuk
dalam bilangan ilmu sosial maupun alamiah. Oleh karena itu penggunaan kata “Science”
dalam istilah science of law tidaklah tepat.
Selain itu penggunaan kata law dalam istilah science of law karena kata law dalam
bahasa inggris memiliki dua pengertian, yaitu:
1. Serangkaian pedoman untuk mencapai keadilan.
2. Seperangkat aturan tingkah laku untuk mengatur ketertiban masyarakat.
Untuk menghindari ketepatan dalam bahasa inggris maka digunakanlah istilah
jurisprudence dan bukan the science of law untuk suatu disiplin yang pokok bahasannya
adalah hukum.
Berdasarkan ilmu filsafat hukum, jurisprudence yang dimaksud dari bahasa latin
yaitu pengetahuan hukum yang merupakan adalah cabang ilmu yang mempelajari
mengenai bagaimana pemahaman dasar mengenai hukum. Objek yang dibahas dalam
nature of jurisprudence adalah ilmu hukum. Istilah jurisprudence berasal dari bahasa
iuris, yang merupakan bentuk jamak dari ius, yang artinya hukum yang dibuat oleh
masyarakat dan kebiasaan dan bukan perundang-undangan dan prudentia, yang artinya
kebijaksanaan atau pengetahuan. Jurisprudence, dengan demikian berarti kebijaksanaan
yang berkaitan dengan hukum atau pengetahuan hukum. Sudah barang tentu hal ini
tidak bersangkut paut dengan gejala yang dapat diamati secara empiris.
Jan Gijssels and Mark van Hoecke menghindari menggunakan kata legal science
untuk menerjemahkan kata bahasa belanda Rechtswetenschap, hal ini dikarenakan kata
science diidentifikasi sebagai studi empiris. Oleh karena itu Jan Gijssels and Mark van
Hoecke menerjemahkan kata bahasa Belanda Rechtswetenschap menjadi jurisprudence
yang didefinisikan sebagai suatu pengetahuan yang sistematis dan terorganisir
mengenai gejala hukum, struktur kekuasaan, normanorma, hak-hak dan kewajiban-
kewajiban.
Berdasarkan ilmu filsafat hukum, jurisprudence yang dimaksud dari bahasa latin
yaitu pengetahuan hukum yang merupakan adalah cabang ilmu yang mempelajari
mengenai bagaimana pemahaman dasar mengenai hukum. Objek yang dibahas dalam
nature of jurisprudence adalah ilmu hukum.