Tugas UAS
-
Upload
muhamad-erfan-maulida -
Category
Documents
-
view
122 -
download
1
description
Transcript of Tugas UAS
Peran Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Dan Arah Perkembangan Psikologi:
“An Unfinished Journey”
I. PENDAHULUAN
Perjalanan yang tak kenal henti, an unfinished journey, kisah antara filsafat,
filsafat ilmu dengan psikologi dalam menemukan dan menggali kebenaran atau
kenyataan dalam ranah kehidupan manusia dengan overview suatu ilmu, filsafat
sebagai induk, dan filsafat ilmu sebagai cabang dan psikologi sub cabang
perkembangan filsafat ilmu. Titik awal perjalanan dimulai ketika filsafat diharapkan
tidak lagi hanya berbicara tekstual dalam perkembangannya, konstektualisasi
terhadap kondisi faktual saat ini penting untuk menjadi poin filsafat dengan filsafat
ilmu sebagai cabangnya memposisikan diri sebagai ilmu kritis dalam perkembangan
ilmu pengetahuan saat ini, agar tidak terjadi seperti yang dilukiskan Mohandas K.
Gandhi “science without humanity.”
Filsafat ilmu yang oleh beberapa pakar disebut ilmu tentang ilmu, tidak
sekedar melihat ilmu pengetahuan dari sisi ontologi, epistemologi, dan aksiologinya,
melainkan bagaimana ilmu tersebut dapat memberikan makna atau heuristik serta
menyangkut unsur etik dalam mengawal perkembangan ilmu tersebut agar berada di
jalur yang seharusnya, yakni ilmu yang mencerahkan, ilmu itu adalah cahaya.
Psikologi sebagai cabang ilmu dengan objeknya manusia, mengkaji manusia
dari sisi perilaku dan proses mental. Perkembangan psikologi akhir-akhir ini begitu
pesatnya, kemunculan psikologi evolusioner, psikologi indiegienous, maupun
psikologi nusantara, sebagai indikasi betapa psikologi tidak lagi melihat sosok
manusia sebagai individu semata melainkan telah menyentuh area budaya lokal
dalam bidang kajiannya. Namun, perkembangan tersebut berakibat kini psikologi
sebagai ilmu yang terpisah-pisah / terfragmentasi, berpendapat manusia dari satu sisi
semata, terpisah-pisah dari lingkungan, peran masa lampau, teknologi, harapan, dan
penggeneralisasian hasil penelitian.
Filsafat sebagai cara pandang dalam melihat, filsafat ilmu sebagai kerangka
terhadap keberadaan dan perkembangan perlu untuk di aplikasikan sebagaimana
filsafat ilmu tidak lagi berperan dalam mengkategorisasikan ilmu dengan tiga pilar
eksistensinya, melainkan bagaimana filsafat ilmu diharapkan lebih untuk bersifat
partisipatif dan emansipatoris terhadap kehidupan psikologi.
II. Sejarah: Filsafat, Filsafat Ilmu Sampai Psikologi
Pentingnya sejarah dalam melihat konteks suatu bahasan rasanya perlu untuk
menjadi perhatian, karena dengan sejarah akan terlihat akar dari sesuatu, seperti
pengaruh-pengaruh para filsuf di zaman modern sebagai peletak dasar dalam
penelitian-penelitian psikologi yang dilakukan dan masih menjadi pegangan sampai
hari ini, dan kali ini saya akan membahas sejarah filsafat, filsafat ilmu sampai
psikologi yang saya peroleh selama perkuliahan 1.
1. Perkembangan Pemikiran Yunani Kuno: Dari
Mitos ke Logos
Zaman ini (VI SM – VI M) perkembangan ilmu pengetahuan berawal dari
kepercayaan yang sifatnya kosmogoni dan theogoni, dimana peran dewa sangat
menonjol pada masa mitos ini. Barulah pada era logos muncul keberanian dari para
pemikir pada masa itu dengan mulai mempermasalahkan dan mencari unsur induk
(arché) yang dianggap sebagai asal mula segala sesuatu atau semesta alam
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air”
merupakan arché, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM) berpendapat “udara” yang
merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Kausalitas inilah yang menjadi fondasi
awal psikologi dalam perkembagannya hingga psikologi modern, baik secara
metodologik maupun ontologi psikologi yang terdapat unsur kausalitas dalam
mempelajari manusia.
Jadi unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai, yakni: rasio dan
logika. Meskipun arché yang dikemukakan para filsuf tadi masih bersifat spekulatif
dalam arti masih belum dikembangkan lebih lanjut dengan melakukan pembuktian
melalui observasi maupun eksperimen dalam kenyataan, tetapi prosedur berpikir
untuk menemukannya melalui suatu bentuk berpikir sebab-akibat secara rasional
1 Koento Wibisono, S. Diktat kuliah : Sejarah Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Dan Seni Suatu Tinjauan Dari Perspektif Filsafat. Yogyakarta: Magister Sains Universitas Gadjah Mada.
itulah yang patut dicatat sebagai suatu arah baru dalam sejarah pemikiran manusia
pada masa yang dikenal sebagai pra Socrates ini.
Zaman keemasan dari filsafat Yunani Kuno, dicapai pada masa Sokrates (±
470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Filsafat Plato
dikenal dengan ajarannya ‘ideal’ bahwa kenyataan itu tidak lain adalah bayangan
dari suatu dunia yang disebut olehnya “ide”, sesuatu yang abadi dan nyata. Dunia
“ide” itulah yang abadi sedangkan kenyataan yang dapat diobservasi sebagai sesuatu
yang senantiasa berubah. Sedangkan Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak
hal sering tidak setuju atau bahkan berlawanan dengan apa yang dia ajarkan dari
gurunya. Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia “abadi” sebagaimana
yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada kenyataan atau benda-benda
itu sendiri. Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi: etika, politik, metafisika,
ilmu pasti dan ilmu alam. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak
menyumbang kepada perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.
2. Perkembangan Pemikiran Zaman Pertengahan
Era ini berlangsung pada abad VI – XIV M, dimana di tandainya dengan
pudarnya kekuasaan Romawi, dan sebelumnya pasca Aristoteles pun ajaran filsafat
mulai kembali ke hal-hal yang sifatnya mistis yang di ajarkan oleh Stoa dan Epicuri.
Filsafat pada abad ini dikuasai dengan pemikiran keagamaan (Kristiani) dengan
tokoh besar filsafatnya yaitu Agustinus dengan aliran Patristik, dan Thomas Aquinas
dengan Skolastik. Pada masa ini dapat dikatakan era filsafat yang sebelumnya
berlandaskan akal-budi “diabdikan” untuk dogma agama. Terlihat pada kejadian
yang menimpa Copernicus, dihukum kurungan seumur hidup oleh otoritas gereja,
ketika mengemukakan temuannya tentang pusat peredaran benda-benda angkasa
adalah matahari (Heleosentrisme). Teori ini dianggap oleh otoritas gereja
bertentangan dengan teori geosentrisme (bumi sebagai pusat peredaran benda-benda
angkasa) dan dianggap menjatuhkan kewibawaan gereja.
Hal lain yang menjadi peristiwa penting pada masa ini adalah kejayaan Islam
atau Golden Ages of Islam di abad VII – XIII M, Pemikiran-pemikiran Ariestoteles
kembali dikenal dalam karya beberapa filsuf Islam, terutama melalui Avicena (Ibnu
Sina, 980-1037), Averroes (Ibnu Rushd, 1126-1198), Omar Khayam (1043-1132),
dan Al Khawarizmi yang menyusun buku aljabar di tahun 825.
3. Zaman Modern: Lahir dan Berkembangnya
Tradisi Ilmu Pengetahuan
Era Modern ini (abad XIV – XIX M), perkembangan ilmu pengetahuan
kembali ke jalur yang seharusnya (antroposentris), yaitu munculnya kesadaran untuk
berfikir dan berbuat secara baru, dengan empat elemen yang menyusunnya:
a.Subjektivitas yang relektif, sebagai pengakuan atas kekuatan rasional dalam
menyelesaikan masalah-masalah kehidupan.
b. Subjektivitas yang kritis, sebagai bentuk kebebasan berpikir.
c.Kesadaran historis, adanya optimistik terhadap masa depan.
d. Universalisme, ketiga elemen di atas bersifat normatif.
Zaman modern ini muncul gerakan-gerakan yang fundamental bagi
perkembangan ilmu pengetahuan di Barat saat itu, lewat gerakan Renaissance
(rebirth, renascimento) dengan semboyan “liberasasi, emansipasi, dan otonomi diri”.
Pada abad kedelapan belas mulai memasuki perkembangan baru. Setelah reformasi,
Renaissance, pemikiran manusia mulai dianggap telah “dewasa”. Periode sejarah
perkembangan pemikiran filsafat disebut sebagai “Jaman Pencerahan” atau
Aufklaerung Para empirikus besar Inggris antara lain J. Locke (1632-1704), G.
Berkeley (1684-1753) dan D. Hume (1711-1776). Di Perancis JJ. Rousseau (1712-
1778) dan di Jerman Immanuel Kant (1724-1804).
Pada tahap ini, peran beberapa filsuf dalam menanamkan pada metodologi
penelitian psikologi seperti Francis Bacon (1561-1626) dengan metode observasi,
eksperimentasi, dan komparasi, serta Auguste Comte (1798-1857) yang
berkontribusi besar terhadap ilmu-ilmu sosial pada masa itu serta Comte pulalah
yang dikenal ‘Bapak Sosiologi’ muncul klasifikasi ilmu pengetahuan dengan
matematika sebagai dasar bagi semua cabang ilmu. Zaman modern adalah zaman
keemasannya ilmu pengetahuan .
4. Zaman Kontemporer
Pada abad ini (XX - ... M) ilmu pengetahuan berkembang secara
evolusiioner; teknologi nano, nuklir, bioteknologi sampai kloning, memunculkan dua
sisi yang berbeda, sebagai harapan dan di sisi lain memunculkan ketakutan serta
kecemasan.
Zaman kontemporer dinyatakan sebagai “abad kematian yang direncanakan”
dan akhir dari suatu perjalanan pengetahuan umat manusia.Peperangan dimana-
mana, kelaparan, masalah lingkungan hidup, dan kesenjangan sosial mulai tumbuh
subur di zaman kontemporer ini. Permasalahan-permasalahan tersebut di sinyalir
karena ilmu pengetahuan semakin jauh dari unsur eti, moral, dan agama sebagai
falsafak ilmu pengetahuan yang mencerahkan.
III. Filsafat Ilmu
Di zaman modern ilmu berkembang dan menemukan kebenarannya masing-
masing. Perlunya seperangkat cara agar perbedaan-perbedaan tersebut dapat
terintegrasi, lahirlah filsafat pengetahuan dengan tugas memberikan klarifikasi
terhadap kebenaran ilmiah dari perkembangan ilmu, karena masing-masing cabang
ilmu menggunakan sumber, sarana, dan metodologi yang berbeda. Perkembangan
ilmu pengetahuan senantiasa berlanjut terus-menerus, sehingga flsafat pengetahuan
yang bertugas dalam pengklarifikasian tersebut merasa membutuhkan sesuatu yang
lebih tinggi, kemudian lahirlah filsafat ilmu atau Philosophy of Science.
Filsafat ilmu sampai tahun sembilan puluhan telah berkembang begitu pesat
sehingga menjadi suatu bidang pengetahuan yang sangat luas dan mendalam. Begitu
luasnya bidang cakupan filsafat ilmu ditambah lagi definisinya yang bermacam-
ragam telah membuat pemahaman orang menjadi sangat beragam pula. The Liang
Gie memberikan daftar yang cukup panjang mengenai berbagai pandangan ini dalam
bukunya 2. Dari beraneka ragam pandangan tersebut, pandangan John Loose
tampaknya bisa diterima sebagai mewakili seluruh keanekaragaman tersebut.
Menurutnya, berbagai pandangan tentang filsafat ilmu itu pada dasarnya dapat
digolongkan ke dalam empat kelompok besar. Keempatnya adalah sebagai berikut:
2 The Liang Gie dalam bukunya Pengantar Filsafat Ilmu, hal 65 – 74.
1. Filsafat ilmu yang berusaha menyusun pandangan-pandangan dunia yang
sesuai atau berdasarkan teori-teori ilmiah yang penting.
2. Filsafat ilmu yang berusaha memaparkan praanggapan dan kecenderungan
para ilmuwan (misalnya, praanggapan bahwa alam semesta mempunyai
keteraturan).
3. Filsafat ilmu sebagai suatu cabang pengetahuan yang menganalisis dan
menerangkan konsep dan teori dari ilmu.
4. Filsafat ilmu sebagai pengetahuan kritis derajat kedua yang menelaah ilmu
sebagai sasarannya. Di sini, menurut Loose, pengetahuan manusia terbagi dalam
tiga tingkatan yang berbeda. Tingkat pertama adalah Tingkat O. Ini adalah
pengetahuan tentang fakta-fakta. Tingkat selanjutnya adalah Tingkat 1. Di sini
fakta-fakta yang ditemukan dalam Tingkat O dijelaskan dan yang
menjelaskannya adalah Ilmu. Tingkat terakhir adalah Tingkat 2. Di sini cara Ilmu
menjelaskan fakta-fakta itu dianalisis. Di tingkat inilah filsafat ilmu beroperasi.
Filasfat ilmu sebagaimana halnya dengan bidang-bidang ilmu lainnya, juga
memiliki objek material dan objek formal. Objek material atau pokok bahasan pada
filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah
disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu sehingga dapat dipertanggug
jawabkan di depan umum. Hal ini lah yang membedakan pengetahuan di sebut
sebagai ilmu atau tidak, karena tidak semua pengetahuan dapat dikategorisasikan
sebagai ilmu apabila tidak melalui sistematisasi prosedur ilmiah. Sedang objek
formalnya, merupakan hakikat atau esensi ilmu pengetahuan; apa hakikat ilmu itu
sesungguhnya? bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah? problem-problem
inilah yang dibicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu:
landasan ontologi, landasan epistemologi, dan landasan aksiologi 3.
Ketiga landasan tersebut merupakan pilar penyangga eksistensi ilmu 4 dimana
pengertian masing-masing sebagai berikut:
1. Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, pertanyaan mengenai hakikat
kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah mengenai apa
3 Pembahasan objek material dan objek formal pada filsafat imu ini terdapat dalam bukunya Mustansyir dan Munir, Filsafat Ilmu. 4 Koento Wibisono, S. Diktat kuliah : Sejarah Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Dan Seni Suatu Tinjauan Dari Perspektif Filsafat. Hal. 14 – 15.
dan bagaimana yang “Ada” itu. Faham idealisme, spiritualisme, dualisme,
pluralisme, dan agnotisisme merupakan faham ontologik yang menentukan
pendapat bahkan keyakinan pada individu mengenai apa, bagaimana, dan dimana
(yang) “ada” sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicari.
2. Epistemologi ilmu, meliputi: sumber, sarana, dan tata-cara menggunakan
sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan yang ilmiah. Perbedaan mengenai
pilihan landasan ontologik berpengaruh dalam penentuan sarana yang akan
dipilih. Sarana-sarana tersebut adalah akal, budi, pengalaman, intuisi, atau
kombinasi akl-budi, yang lebih dikenal dalam istilah epistemologi sebagai
model-model rasionalisme, empirisme, kritisme, positivisme, fenomenologi,
strukturalisme, dan pragmatisme dengan berbagai variasinya.
3. Aksiologi meliputi nilai-nilai (values) yang sifatnya normatif dalam
pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan dalam suatu ranah sosial,
ranah simbolik, atau pun fisik-material. Nilai-nilai dalam aksiologi berposisi
sebagai suatu conditio sine quanon yaitu sesutu yang wajib dipatuhi dalam
kegiatan akademik (penelitian maupun penerapan ilmu) dengan kebebasan
akademik yang bertanggung jawab.
IV. Psikologi
Psikologi berasal dari bahasa Yunani “psyche” yang artinya jiwa, dan “logos”
yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi, secara etimologi psikologi artinya ilmu yang
mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya,
maupun latar belakangnya. Dengan singkat disebut dengan ilmu jiwa.
Berbicara tentang jiwa, terlebih dahulu kita harus dapat membedakan antara
nyawa dan jiwa. Nyawa adalah daya jasmaniyah yang keberadaannya tergantung
pada hidup jasmaniyah dan menimbulkan perbuatan badaniyah organik behavior,
yaitu perbuatan yang ditimbulkan oleh proses belajar. Misalnya: Insting, refleks,
nafsu, dan sebagainya. Jika jasmani mati, maka mati pulalah nyawanya.
Sedang jiwa adalah daya hidup rohaniyah yang bersifat abstrak, yang menjadi
penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan pribadi (personal behavior) dari
hewan tingkat tinggi dan manusia. Perbuatan pribadi ialah perbuatan sebagai hasil
proses belajar yang dimungkinkan oleh keadaan jasmani, rohaniyah, sosial, dan
lingkungan. Proses belajar ialah proses untuk meningkatkan kepribadian
(personality) dengan jalan berusaha mendapatkan pengertian baru, nilai-nilai baru,
dan kecakapan baru, sehingga ia dapat berbuat yang lebih sukses dalam menghadapi
kontradiksi- kontradiksi dalam hidup (Abu Ahmadi, 2009). Adapun definisi menurut
para ahli itu antara lain sebagai berikut:
1. Plato dan Aristoteles : Psikologi ialah ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.
2. Wilhelm Wundt : Psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang
mempelajari pengalaman- pengalaman yang timbul dalam diri manusia, seperti
perasaan panca indra, pikiran, merasa (feeling) dan kehendak.
A. Ruang Lingkup Psikologi
Ditinjau dari segi objeknya, Psikologi dapat dibedakan dalam dua golongan
yang besar, yaitu 5:
1. Psikologi yang menyelidiki dan mempelajari manusia.
2. Psikologi yang menyelidiki dan mempelajari hewan, yang umumnya lebih
tegas di sebut psikologi hewan.
Psikologi yang sekarang ini yang berobjekkan manusia dibedakan menjadi
dua yaitu psikologi umum dan psikologi khusus. Psikologi umun adalah psikologi
yang mempelajari atau menyelidiki kegiatan-kegiatan atau aktivitas psikis manusia
pada umumnya yang dewasa, yang normal dan yang beradab (berkultur). Psikologi
umum mencari dalil yang bersifat umum dari pada kegiatan-kegiatan atau aktivitas-
aktivitas psikis. Psikologi umum memandang manusia seakan-akan terlepas dari
manusia yang lain.
Psikologi khusus adalah psikologi yang menyelidiki dan mempelajari segi-
segi kekhusususan dari aktivitas psikis manusia. Hal-hal khusus yang menyimpang
dari hal- hal yang umum dibicarakan dalam psikologi khusus. Macam-macam
psikologi khusus, antara lain:
1) Psikologi perkembangan
2) Psikologi sosial
3) Psikologi pendidikan
5 Ahmadi, Abu. (2009). Psikologi Umum.
4) Psikologi kepribadian dan tipologi
5) Psikopatologi
6) Psikologi kriminal
7) Psikologi perusahaan
Namun demikian perjalanan pemikiran filsafat ilmu dari sebuah keilmuan
tidak dapat dipisahkan dari perkembangan jaman atau sosiokultural. Paradigma
keilmuan mengalami perkembangan bahkan perdebatan pada tiap jamannya. Sebagai
contoh perdebatan filosofis abad XII antara aliran empirisme Francis Bacon dengan
aliran rasionalisme Rene Descartes. Bacon mengatakan bahwa sains modern harus
bermula pada fakta-fakta empiris yang dapat diamati, sehingga teori dibuat
berdasarkan generalisasi dari fakta-fakta tersebut (inductive hypothetic). Di satu sisi
Descartes mengemukakan sains harus mendasarkan diri pada pemikiran yang
berorientasi pada rasio (logika) dan menekankan pentingnya peran akal. Meskipun
kemudian muncul paradigma perbauran kedua aliran tersebut oleh Newton dengan
ilmu eksaktanya yang menggabungkan metode hipotetiko deduktif dan eksperimental
induktif. Artinya sains modern bukan sekedar rasional ataupun empiris melainkan
pengetahuan rasional empiris (rasional objektif).
Psikologi yang telah dinyatakan sebagai sebuah ilmu pengatahuan tidak lepas
dari pengaruh tersebut. Psikologi bukanlah suatu produk yang statis tetapi terus
berkembang dan mengalami transformasi sesuai dengan adaptasi sosio kultural dan
implikasi filosofis diawal perkembangannya. Diakui atau tidak psikologi
kontemporer yang kini merambah dunia sebagian besar dari peradaban barat yang
berbasis pada paradigma sains eksak dan menekankan aspek empiris objektif.
Kuantifikasi konsep dan konstrak aspek psikologi sangat menonjol pada era ini,
bahkan sampai memenggal setengah dari perilaku manusia sehingga seakan-akan
manusia bukan lagi manusia.
Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran
psikologi kontemporer di dunia barat, terdapat banyak pengertian mengenai
psikologi yang ditawarkan oleh para psikolog. Masing-masing pengertian memiliki
keunikan seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh
penciptanya. Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat
disederhanakan dalam tiga pengertian. Pertama lebih bersifat filosofis, dimana
psikologi didefinisikan sebagai studi tentang jiwa (psyche), seperti studi yang
dilakukan Plato (427-347 SM.) dan Aristoteles (384-322 SM.) tentang kesadaran dan
proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Pengertian kedua yang mencoba
memisahkan disiplin filsafat dengan psikologi memberikan definisi psikologi sebagai
ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi,
intelegensi, kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt.
Sedangkan pengertian ketiga yang mencerminkan psikologi sebagai ilmu yang
mandiri mengartikan psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme,
seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan
sebagainya. Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh John Watson.
Psikologi sebagai keilmuan yang memberikan perhatian terhadap perilaku
manusia juga mengalami masa bumingnya ketika dikaitkan dengan lontaran Charles
Darwin tentang teori evolusi yang menggetarkan dunia. Ia memperkuat gagasan
perlunya memahami manusia dalam perspektif materialistik. Gagasan ini semakin
berkembang dengan makin digunakannya prinsip positivistik dalam memandang
manusia setelah ditinggalkannya fase teologi dan metafisik.
Melihat banyaknya elemen yang mempengaruhi perkembangan sebuah ilmu
termasuk psikologi, maka kita perlu kembali merenungkan keberadaan ilmu
psikologi yang telah berkembang lebih dari 1 (satu) abad ini. Pertanyaan-pertanyaan
yang mencoba mempertanyakan kembali mainstrem psikologi yang telah
berkembang dari peradaban barat merupakan salah satu bentuk kritik yang mencoba
menempatkan ilmu psikologi dalam jalur yang benar sesuai dengan fungsi keilmuan
untuk kesejahteraan umat manusia.
V. Peran Filsafat Ilmu Terhadap Psikologi: Dasar dan Pengembangannya
Perbincangan-perbincangan mengenai filsafat ilmu dan psikologi ditinjau dari
sejarah, dimensi-dimensi maupun ruang lingkup keilmuannya menjadi bekal untuk
perjalanan berikutnya. Kehadiran filsafat sebagai tonggak dalam munculnya ilmu
pengetahuan dengan kausalitas pada zaman mitologi Yunani kuno menjadi entry
point dalam melihat peran filsafat secara global. Perkembangan ilmu pengetahuan
yang pesat hingga mencapai masa keemasannya di zaman modern ditandai dengan
gerakan Renaissance dan Aufklaerung tidak sekedar sebagai bentuk ‘pemberontakan’
terhadap dogma gereja yang berkuasa dan otoriter di zaman tengah, namun mulai
munculnya berbagai ilmu pengetahuan yang ditandai dengan klasifkasi ilmu
pengetahuan dari Imanuel Kant.
Pada pembahasan ini, akan di awali dengan fondasi-fondasi filsafat ilmu dari
segi epistemologisnya yang sangat berpengaruh terhadap psikologi sebagai landasan
pacu perkembangan psikologi hingga kontemporer saat ini. Brennan (2006) dalam
bukunya Sejarah dan Sistem Psikologi, menguraikan dengan jelas dan komprehensif
mengenai mahzab-mahzab dalam ilmu psikologi yang merupakan hasil dari peran
filsuf waktu itu6.
A. Filsafat Ilmu sebagai Dasar Dalam Aliran Psikologi
1. Wilhelm Wundt dan Strukturalisme.
Wilhelm Wundt (1832-1920), pada mulanya memperoleh pendidikan dokter,
kemudian mengajar fisiologi selama 17 tahun pada Universitas Heidelberg, Jerman.
Sejak awal karirnya, dia telah memperlihatkan minat yang besar sekali terhadap
proses mental. Pada waktu itu, psikologi belum merupakan bidang tersendiri. Pokok
bahasannya masih satu dengan filsafat. Hal yang merupakan ambisi Wundt saat itu
ialah memperkembangkan psikologi sedemikian rupa sehingga mempunyai identitas
sendiri. Dengan adanya tujuan ini, maka dia mengambil langkah dengan
meninggalkan Universitas Heidelberg dan menerima jabatan sebagai Ketua Bagian
Filsafat di Universitas Leipzig, Jerman. Empat tahun kemudian, tahun 1879, Wundt
mendirikan laboratorium psikologi eksperimen yang pertama di dunia, dan
merupakan satu kehormatan yang luar biasa bagi psikologi, sehingga psikologi dapat
dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri.
Wundt sangat yakin bahwa tugas utama seorang psikolog adalah meneliti
serta mempelajari proses dasar manusia, yaitu berupa pengalaman langsung,
kombinasi-kombinasinya, dan hubungan-hubungannya. Bagaimana psikolog dapat
mempelajari proses dasar kesadaran ini? Wundt dan pengikut-pengikutnya telah
mengembangkan satu metode yang dinamakan introspeksi analitik (analytic
introspection), yaitu suatu bentuk formal dari observasi yang dilakukan diri sendiri.
6 Muhadjir (1998), Hall (1993), beserta Davidoff (1988).
Sedangkan Strukturalisme merupakan satu gerakan penyebar luasan ajaran Wundt
oleh Titchener (1892), murid Wundt.
Pandangan-pandangan Strukturalisme terhadap para psikolog, menyatakan bahwa:
mempelajari kesadaran manusia, terutama aspek pengindraannya; menggunakan
metode introspeksi analitis yang nyata di dalam laboratorium; dan menganalisis
proses mental ke dalam elemen sedemikian rupa, sehingga dapat menemukan
kombinasi-kombinasinya serta hubungan satu sama lain.
2. William James dan Fungsionalisme
William James (1842-1910) adalah salah satu psikolog Amerika yang cukup
terkenal. Ia mengajarkan filsafat dan psikologi di Universitas Harvard selama 35
tahun. Dia sangat menentang strukturalis, karena menurutnya aliran ini sangat
dangkal, tidak murni dan kurang dapat dipercaya kebenarannya. Kesadaran menurut
James bersifat unik dan sangat pribadi, terus-menerus berubah, muncul setiap saat,
dan selektif sekali ketika harus memilih dari sekian banyak rangsang yang mengenai
seseorang. Hal yang paling menonjol dan utama ialah, bahwa kesadaran ini mampu
membuat manusia menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya.
Fungsionalisme berpendapat bahwa seorang psikolog seharusnya meneliti
secara mendalam bagaimana proses-proses mental ini berfungsi; mereka seharusnya
menggunakan introspeksi informal, yaitu observasi terhadap diri sendiri serta laporan
diri, serta metode obyektif, yaitu yang dapat terbebas dari prasangka, seperti
misalnya eksperimen; dan mulai munculnya harapan-harapan ilmu psikologi dapat di
aplikasikan dalam ranah kehidupan nyata serta bersinggungan dengan kehidupan
langsung, misal: penerapan psikologi dalam dunia pendidikan, hukum, maupun suatu
perusahaan.
3. John Watson dan Behaviorisme
John Watson (1878-1958) menamatkan pendidikannya dalam bidang
psikologi hewan, di Universitas Chicago, di bawah asuhan seorang professor dari
aliran fungsionalis. Watson tidak puas terhadap strukturalisme dan fungsionalisme,
karena menurutnya bahwa fakta mengenai kesadaran tidak mungkin dapat di tes dan
di reproduksi kembali oleh para pengamat, sekalipun dirinya sudah terlatih di
bidangnya.
Aliran Behaviorisme mulai muncul peran stimulus-respon dalam perilaku
manusia sehingga menurut behaviorisme faktor pengalaman berkontribusi besar
terhadap perilaku manusia juga mulai adanya bagaimana untuk melakukan
pengendalian terhadap perilaku manusia, dan untuk meneliti hal ini introspeksi
sebaiknya ditinggalkan saja dan digantikan dengan metode obyektif (misalnya
eksperimen, observasi, dan tes berulang-ulang). Tahap Behaviorisme ini juga mulai
digunakan hewan sebagai bahan laboratoriumnya karena menurut aliran
behaviorisme karena makhluk-makhluk sederhana ini mudah diteliti dan dipahami,
bila dibandingkan dengan manusia.
Landasan filosofis dari aliran behaviorisme sangat dipengaruhi oleh
positivisme, sedangkan positivisme berakar pada empirisme. Prinsip filosofis tentang
positivisme dikembangkan pertama kali oleh empiris kewarganegaraan Inggris
Francis Bacon.
Ontologi positivisme hanya mengakui sesuatu sebagai nyata dan benar bila
sesuatu itu dapat diamati dengan indera kita. Positivisme menolak yang dinyatakan
sebagai fakta tetapi tidak diamati oleh siapapun dan tidak dapat diulang kembali.
Sesuatu akan diterima sebagai fakta bila dapat dideskripsikan secara indrawi. Apa
yang di hati dan ada di pikiran, bila tidak dapat dideskripsikan dalam perilaku, tidak
dapat ditampilkan dalam gejala yang teramati, tidak dapat diterima sebagai fakta,
maka tidak dapat diterima sebagai dasar untuk membuktikan bahwa sesuatu itu
benar. Hakikat positivisme sejalan dengan behaviorisme yang berpendapat bahwa
perilaku merupakan kegiatan organisme yang dapat diamati. Dengan pendekatan
perilaku, seorang ahli psikologi mempelajari individu dengan cara mengamati
perilakunya dan bukan mengamati kegiatan bagian dalam tubuh. Behaviorisme, turut
berperan dalam pengembangan bentuk psikologi selama awal pertengahan abad ini,
dan cabang perkembangannya yaitu psikologi stimulus-response masih tetap
berpengaruh. Hal ini terutama karena hasil jerih payah seorang ahli psikologi dari
Harvard, B.F.Skinner.
Telaah aksiologi terhadap aliran behaviorisme yang menempatkan faktor
belajar sebagai konsep yang penting akan dapat didekati dengan teori moral, bahwa
manusia diharuskan untuk melaksanakan kewajiban moral. Pada satu sisi, dengan
kewajiban moral, manusia masing-masing bertindak baik, bukan karena ada paksaan,
melainkan karena sadar bahwa tindakan tidak baik orang lain adalah mungkin
merugikan kita dimana disini terlihat pentingnya aspek belajar dalam kehidupan
manusia. Pada sisi lain, dengan kewajiban moral tersebut, semua orang menjadi
saling mengakui otonominya.
4. Psikologi Gestalt
Sementara Behaviorisme berkembang pesat di Amerika Serikat, maka di
negara Jerman muncul aliran yang dinamakan Psikologi Gestalt (arti kata Gestalt,
dalam bahasa Jerman, ialah bentuk, pola, atau struktur). Para psikolog Gestalt yakin
bahwa pengalaman seseorang mempunyai kualitas kesatuan dan struktur. Aliran
Gestalt ini muncul juga karena ketidakpuasan terhadap aliran strukturalis, khususnya
karena strukturalis mengabaikan arti pengalaman seseorang yang kompleks, bahkan
dijadikan elemen yang di sederhanakan. Aliran psikologi Gestalt mempunyai banyak
tokoh terkemuka, antara lain Wolfgang Kohler, Kurt Koffka, dan Max Wertheimer.
Aliran psikologi Gestalt ini nampaknya merupakan aliran yang cukup kuat dan padu.
Falsafah yang dikemukakannya sangat mempengaruhi bentuk psikologi di Jerman,
yang kelak juga akan terasa pengaruhnya pada psikologi di Amerika Serikat
(terutama dalam penelitian mengenai persepsi). Hal itu nampak dari kedua aliran
psikologi modern yang sejaman, yaitu aliran Humanisme dan aliran Kognitif.
Telaah filosofik psikologi gestalt dapat didekati dengan fenomenologi.
Heidegger adalah juga seorang fenomenolog. Fenomenologi memainkan peran yang
sangat penting dalam sejarah psikologi. Heidegger adalah murid Edmund Husserl
(1859-1938), pendiri fenomenologi modern. Husserl adalah murid Carl Stumpf, salah
seorang tokoh psikologi eksperimental “baru” yang muncul di Jerman pada akhir
pertengahan abad XIX. Kohler dan Koffka bersama Wertheimer yang mendirikan
psikologi Gestalt adalah juga murid Stumpf, dan mereka menggunakan
fenomenologi sebagai metode untuk menganalisis gejala psikologis.
Salah seorang di antara fenomenolog kontemporer yang paling fasih dan
paling ulung adalah Erwin Straus (1963-1966). Sebuah pembahasan ilmiah dan
ringkas tentang fenomenologi oleh salah seorang pendukung utamanya dari kalangan
psikolog di Amerika Serikat dapat ditemukan dalam karya MacLeod.
Fenomenologi sebagaimana terdapat dalam karya para psikolog Gestalt dan Erwin
Starus, pertama kali telah dipakai untuk meneliti gejala-gejala dari proses-proses
psikologis seperti persepsi, belajar, ingatan, pikiran, dan perasaan, tetapi tidak
digunakan untk meneliti kepribadian. Sebaliknya, psikologi eksistensial telah
menggunakan fenomenologi untuk menjelaskan gejala-gejala yang kerapkali
dipandang sebagai wilayah bidang kepribadian. Psikologi eksistensial dapat
dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan empiris tentang eksistensi manusia yang
menggunakan metode analisis fenomenologis.
Telaah aksiologi terhadap aliran psikologi Gestalt dapat didekati melalui teori
keadilan. Terdapat 2 prinsip teori keadilan, menurut Rawls, yaitu: 1) bahwa setiap
orang memiliki persamaan hak atas kebebasan yang sangat luas hingga kompatibel
dengan hak kebebasan orang lain; 2) ketidaksamaan sosial dan ekonomi ditata
sedemikian sehingga keduanya (sosial dan ekonomi): a) menjadi bermanfaat bagi
setiap orang sesuai harapan yang patut, dan b) memberi peluang yang sama bagi
semua untuk segala posisi dan jabatan.
5. Sigmund Freud dan Teori Psikoanalisis
Sigmund Freud (1856-1939) adalah seorang dokter berkebangsaan Vienna
yang mengkhususkan diri untuk mempelajari gangguan kejiwaan, terutama gangguan
jiwa neurotik, yaitu gangguan kejiwaan dimana penderita akan memperlihatkan
kecemasan yang berlebihan, mudah lelah, insomnia, depresi, kelumpuhan, dan
gejala-gejala lainnya yang berhubungan dengan adanya konflik dan tekanan jiwa.
Teori Freud ini dikenal dengan teori Psikoanalisis, yaitu teori pemikiran Freud
mengenai kepribadian, abnormalitas, dan perawatan penderita. Aliran psikoanalisa
disini tidak menampakkan adanya kemiripan dengan teori yang sudah dibicarakan
sebelumnya, karena pada dasarnya Freud sendiri tidak pernah bertujuan
mempengaruhi psikologi untuk keperluan akademis. Sejak ssemula Freud hanya
bertujuan meringankan penderitaan pasien-pasiennya, tetapi karena pengaruh dari
teori psikoanalisis ini nyatanya telah menembus psikologi sebagai ilmu, maka kita
akan melihat teori ini sebagai salah satu teori di dalam psikologi.
Freud sangat terpengaruh oleh filsafat determinisme dan positivisme ilmu
pengetahuan abad XIX. Analisa terhadap pandangan psikoanalisis tersebut, terutama
yang berkaitan dengan tugas terapis yaitu observasi dan interpretasi perilaku, sejalan
dengan metodologi positivisme Auguste Comte. Alat penelitian yang pertama
menurut Comte adalah observasi. Kita mengobservasi fakta; dan kalimat yang penuh
tautology hanyalah pekerjaan sia-sia. Tindak mengamati sekaligus menghubungkan
dengan sesuatu hukum yang hipotetik, diperbolehkan oleh Comte. Itu merupakan
kreasi simultan observasi dengan hukum, dan merupakan lingkaran tak berujung.
Selain itu, pandangan-pandangan psikoanalisis tentang aspek-aspek penting
kepribadian juga sejalan dengan epistemology positivisme kritis dari Mach dan
Avenarius, yang lebih dikenal dengan empiriocritisisme. Menurutnya, fakta menjadi
satu-satunya jenis unsur untuk membangun realitas. Realitas bagi keduanya adalah
sejumlah rangkaian hubungan beragam hal indrawi yang relatif stabil. Unsur hal
yang indrawi itu dapat fisik, dapat pula psikis.
Menurut Popper, filsafat deterministic mencermati keteraturan biologik.
Pooper dipengaruhi oleh Kant, dimana ia menampilkan hipotesa besar imajinatifnya
berupa teori keteraturan deterministik. Alam semesta ini teratur. Ilmuwan berupaya
membaca keteraturan tersebut. Dalam hal ini, uji falsifikasi diharapkan diketemukan
kawasan benar dan kawasan salah dari teori itu. Popper menguji teorinya secara
deduktif dengan uji falsifikasi, dan kesimpulan yang hendak dicapai adalah
kebenaran probabilistik. Teori relativitas Einstein merupakan salah satu teori yang
tepat diuji validitasnya dengan uji falsifikasi Popper.
Telaah aksiologi terhadap aliran psikoanalisa ini akan tepat jika didekati
dengan teori moral tentang keutamaan dan jalan tengah yang baik dari Aristoteles.
Aristoteles mengetengahkan tendensi memilih jalan tengah yang baik antara terlalu
banyak (ekses) dengan terlalu sedikit (defisiensi). Keberanian merupakan jalan
tengah antara kenekatan dengan kepengecutan. Kejujuran merupakan jalan tengah
antara membukakan segala yang menghancurkan dengan menyembunyikan segala
sesuatu. Pada dataran rasional, Aristoteles juga mengetengahkan teori keutamaan
intelektual, dalam tampilan seperti: efisiensi dan kreatif. Teori moral ini sangat
realistis, dimana dalam mengatasi konflik dilakukan dengan mencari jalan tengah
yang terbaik.
6. Aliran Humanisme
Psikolog yang berorientasi humanistik mempunyai satu tujuan, mereka ingin
memanusiakan psikologi. Mereka ingin membuat psikologi sebagai studi tentang
makna hidup bagi manusia. Aliran humanisme ini berupaya untuk mempelajari:
makhluk hidup sebagai satu keseluruhan yang utuh, tanpa mengkotak-kotakkan ke
dalam penggolongan fungsi (belajar, agresi, persepsi); perilaku seharusnya
memusatkan perhatiannya pada kesadaran subyektif, yaitu bagaimana seseorang
memandang pengalaman pribadinya karena interpretasi yang dia lakukan mempunyai
arti yang amat penting dan mendasar bagi semua kegiatan manusia (pemikiran ini
juga mencerminkan pengaruh psikologi Gestalt). Humanisme juga melihat perilaku
manusia bersifat umum dan universal, tidak dapat diramalkan sebelumnya
sebagaimana dinyatakan oleh aliran behaviorisme.
Martin Heidegger, yang semula dikenal sebagai filosof eksistensialis, sejak
1947, dengan bukunya Letter of Humanism mulai dikenal perubahannya, dan
selanjutnya dikenal sebagai tokoh yang memberi landasan ontology modern yang
fenomenologis. Dalam pandangan Heidegger, ilmu tentang yang “ada” pilah dari
ilmu positif. Ilmu tentang yang ada merupakan transcendental temporal science,
ilmu transenden yang temporal. Makna transenden pada pustaka barat umumnya
diartikan dunia obyektif universal. Demikian pula makna metafisik, sebagai dataran
obyektif universal. Berbeda dengan makna transenden dan metafisik dalam pustaka
keagamaan. Menurut Heidegger, humanisme dapat berakar pada dataran metafisik
atau setidaknya pada sesuatu yang lebih tinggi dan bearakar pada konsep human
being sebagai animal rasional.
Telaah aksiologi terhadap aliran Humanisme dapat didekati dengan teori etika
hak asasi manusia dari John Locke (1632-1704). Menurut John Locke, hak asasi
ditafsirkan sangat individualistis. Hak kebebasan individual, pada hak negatifnya
menjadi tidak mencampuri kehidupan orang lain.
7. Aliran Kognitif
Pada awal 1960-an, banyak psikolog kognitif mulai memberontak terhadap
pandangan behaviorisme yang kuno. Para psikolog dari pandangan kognitif yakin
akan hal-hal sebagai berikut: Ilmuwan perilaku seharusnya mempelajari proses-
proses mental seperti pikiran, persepsi, ingatan, perhatian, pemecahan persoalan, dan
penggunaan bahasa; seharusnya berusaha untuk memperoleh pengetahuan yang
setepat-tepatnya mengenai cara kerja dari proses-proses tersebut, dan bagaimana
proses-proses ini dapat dipergunakan di dalam kehidupan sehari-harinya; Para
ilmuwan perilaku seharusnya juga tetap memakai introspeksi informal, khususnya
bila ingin mengembangkan dugaan-dugaan yang dibuat, sedangkan metode obyektif
dapat dipergunakan untuk menguji kebenaran dugaan ini. Psikologi kognitif ini
berusaha menggabungkan aspek-aspek fungsionalisme, psikologi gestalt, dan
behaviorisme.
Psikologi kognitif memiliki landasan filosofil Rasionalisme. Tokoh aliran
filsafat rasionalisme ialah Descartes, Spinoza, dan Leibniz. Dalam rasionalisme,
usaha manusia untuk memberi kepada akal suatu kedudukan yang berdiri sendiri.
Abad ke-17 adalah abad dimulainya pemikiran-pemikiran kefilsafatan dalam arti
yang sebenarnya. Semakin lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar
terhadap kemampuan akal, sehingga tampaklah adanya keyakinan bahwa dengan
kemampuan akal pasti dapat diterangkan segala macam permasalahan dan dapat
dipecahkannya segala macam masalah kemanusiaan.
Dengan berkuasanya akal ini, orang mengharapkan akan lahirnya suatu dunia
baru yang dipimpin oleh akal manusia yang sehat.Aliran filsafat rasionalisme ini
berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah
akal (rasio). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi
syarat yang dituntut oleh sifat umum dan harus mutlak, yaitu syarat yang dituntut
oleh semua pengetahuan ilmiah.
Telaah aksiologi terhadap aliran psikologi kognitif dapat didekati melalui
teori keadilan. Terdapat 2 prinsip teori keadilan, menurut Rawls, yaitu : 1) bahwa
setiap orang memiliki persamaan hak atas kebebasan yang sangat luas hingga
kompatibel dengan hak kebebasan orang lain; 2) ketidaksamaan sosial dan ekonomi
ditata sedemikian sehingga keduanya (sosial dan ekonomi) : a) menjadi bermanfaat
bagi setiap orang sesuai harapan yang patut, dan b) memberi peluang yang sama bagi
semua untuk segala posisi dan jabatan.
8. Psikologi Eksistensial
Tokoh psikologi eksistensial yang terkenal adalah Ludwig Binswanger
(1881) dan Medard Boss (1903). Psikologi eksistensial menolak konsep tentang
kausalitas, dualisme antara jiwa dan badan, serta pemisahan orang dari
lingkungannya. Psikologi eksistensial tidak mengkonsepsikan perilaku sebagai akibat
dari perangsangan dari luar dan kondisi-kondisi badaniah dalam manusia. Seorang
individu bukanlah mangsa lingkungan dan juga bukanlah makhluk yang teridir dari
insting-insting, kebutuhan-kebutuhan, dan dorongan-dorongan. Manusia memiliki
kebebasan untuk memilih, dan hanya ia sendiri yang bertanggungjawab terhadap
eksistensinya. Manusia dapat mengatasi baik lingkungan maupun badan fisiknya
apabila ia memang memilih begitu. Apa saja yang dilakukannya adalah pilihannya
sendiri. Orang sendirilah yang menentukan akan menjadi apa doa dan apa yang akan
dilakukannya.
Martin Heidegger (1889-1976) seorang filsuf Jerman dan Karl Jaspers (1883-
1969) merupakan pencipta filsafat eksistensial dalam abad ini. Hal yang lebih
penting adalah bahwa Heidegger merupakan jembatan ke arah psikolog dan psikiater.
Ide pokok dalam ontology Heidegger (ontology adalah cabang filsafat yang berbicara
tentang ada atau eksistensi) ialah bahwa individu adalah sesuatu yang ada-di dunia.
Ia tidak ada sebagai diri atau sebagai subyek yang berhubungan dengan dunia luar;
seorang pribadi juga bukan merupakan benda atau obyek atau badan yang
berinteraksi dengan benda-benda lain yang membentuk dunia. Manusia memiliki
eksistensi dengan mengada-di-dunia, dan dunia memiliki eksistensinya karena
terdapat suatu “Ada” yang menyingkapnya. “Ada” dan dunia adalah satu. Barret
menyebut ontology Heidegger dengan teori Medan tentang “Ada”.
Telaah aksiologi terhadap Psikologi Eksistensial dapat didekati dengan teori
etika hak asasi manusia dari John Locke (1632-1704). Menurut John Locke, hak
asasi ditafsirkan sangat individualistic. Hak kebebasan individual, pada hak
negatifnya menjadi tidak mencampuri kehidupan orang lain. Melden (1977)
berpendapat bahwa hak moral kebebasan individu mempunyai saling keterkaitan
antarindividu.
B. Filsafat Ilmu Sebagai Arah Perkembangan Psikologi
Ilmu psikologi berkembang sangat pesat, kemunculan psikologi positif,
psikologi berbasis budaya local atau sering disebut Indigienous menjadi angina segar
terhadap khasanah psikologi khususnya maupun ilmu sosial pada umumnya. Zaman
kontemporer memiliki dua sisi dalam perjalanannya, harapan dan ketakutan. Di
tengah pesatnya teknologi berkembang, krisis identitas ilmu sebagai alat untuk
mempermudah kehidupan manusia semakin terasa jauh, hal ini dikarenakan
perkembangan ilmu pengetahuan tidak di iringi dengan ‘pengawalan’ etik, moral,
maupun agama sebagai supervisor perkembangan ilmu pengetahuan.
Psikologi islam, sebagai alternatif perkembangan ilmu psikologi dengan
sudut pandang secara agama seakan memberikan angin segar bagi perkembangan
psikologi sendiri dalam bidang kajiannya pada manusia dengan menghadirkan
religiusitas dalam kajian keilmuannya. Meskipun variabel religiusitas sendiri
termasuk ke dalam kategori psikologi positif, namun psikologi islam menawarkan
religiusitas bukan sebagai ‘ketahanan’ individu dalam menghadapi problem-problem
kehidupan, melainkan religiusitas dilihat dari firman tuhan dan ajaran-ajaran islam
dalam kaitannya dengan kehidupan manusia.
Psikologi Islam sebagai sebuah kajian ilmu yang baru dikembangkan di awal
tahun 60an belum banyak orang mengenal, jika dibandingkan dengan psikologi barat
yang usianya telah berabad-abad. Sebagai disiplin ilmu baru, Psikologi Islam lahir
sebagai antitesis terhadap berbagai madzab psikologi modern. Dalam wataknya yang
terbuka saat ini, disiplin ilmu psikologi modern harus meredefinisi dirinya, sehingga
Psikologi Islam bisa menjadi salah satu alternatif yang dapat ditawarkan. Meskipun
Psikologi barat berfokus pada ego sebagai subjek dan objek yang menjadi landasan
sentral paham hedonisme dan individualisme barat, sedangkan psikologi Islam
mendasarkan pada spiritualisme, namun keduanya memiliki titik singgung yang
sama yaitu manusia sebagai objek kajiannya.
Dalam psikologi barat, psikologi bekerja untuk mengurai tingkah laku,
memprediksi, mengendalikan tingkah laku yang bersifat horisontal dan banyak
berbicara pada perilaku yang nampak. Sementara psikologi Islam banyak berbicara
pada pengubahan perilaku menjadi lebih baik dan bagaimana lebih dekat kepada
Tuhan serta mengembangkan potensi kemanusiaan yang dimiliki. Hal ini merupakan
2 (dua) paradigma yang berlainan tetapi dapat disatukan dalam sebuah perbincangan
dan pertemuan bangunan keilmuan yang utuh.
Meskipun baju psikologi barat nampak bolong di sana sini, kiprahnya hingga
saat ini tetap dominan dan populer. Karena kekokohan dan popularitasnya banyak
psikolog yang berbasis psikologi barat tidak mau mengakui kelahiran ”adik” barunya
yakni psikologi Islam. Bahkan oleh sebagian mereka menganggap adik baru ini
sebagai ”anak haram” yang tidak ilmiah. Sebagian mereka nampak tidak dewasa,
cemburu, tidak suka dan khawatir keberadaan sang adik nantinya akan mengancam
eksistensinya. Sebagian yang lain nampak lebih dewasa, bahkan menaruh harapan
baru pada sang adik, psikologi Islam, yang kelahirannya didambakan oleh banyak
orang. Mereka gembira menyambut kehadirannya dan menerimanya sebagai anggota
barudari The big family of psychology. Sang adik diharapkan dapat menjadi madzab
pelengkap dan alternatif dari madzab yang sudah ada, terutama pada tingkat
psikologi terapan.
Dalam menguraikan kembali sebuah ilmu pengetahuan kita harus melihat
kembali paradigma keilmuan yang dibangun melalui jalur filsafat. Ada 3 (tiga)
komponen dalam membangun sebuah ilmu dalam perspektif filsafat yaitu ontologis,
epistimologis dan aksiologis. Semua komponen ini tidak dapat dilepaskan untuk
mencapai tingkat kebenaran dan penerimaan dari sebuah ilmu pengatahuan.
Wacana psikologi Islam mulai bergaung semenjak tahun 1978 sebagai suatu
perbincangan publik berskala Internasional pada International Symposium on
Psychology and Islam di Universitas Riyadl Arab Saudi. Wacana ini merupakan
salah satu bentuk terbukanya wacana global tentang islamisasi ilmu pengetahuan
yang dipelopori oleh Ismail Raji Al-Faruqi, Sayyid Hussein Nasr dan Ziauddin
Sardar. Namun demikian sejak tahun 1950an Muhammad Utsman Najati telah
banyak memberikan ceramah tentang Al-Qur’an dan ilmu jiwa. Dengan demikian
pembahasan tentang psikologi yang dikaitkan dengan Islam telah merebak
bersamaan dengan banyaknya kajian dalam psikologi barat, bukan hanya sekedar
sebuah perilaku ”iri” terhadap perkembangan psikologi barat yang meninggalkan
unsur agama dalam pembahasan manusia.
Secara umum berkembangnya wacana Psikologi Islam sebagai salah satu
”buah Islamisasi sains” atau ”kebangkitan Islam”, tidak hanya tuntutan dari ilmuwan
muslim tetapi juga merupakan hasil kajian beberapa ilmuwan non muslim. Salah
satunya adalah Erich Fromm yang mengungkapkan bahwa manusia modern
menghadapi suatu ironi dimana mereka berjaya dalam menggapai capaian-capaian
material namun kehidupan mereka dipenuhi keresahan jiwa (rentan terhadap stress,
depresi dan merasa teralienasi). Erich Fromm memberi contoh makin
meningkatkanya angka bunuh diri pada usia lansia di beberapa negara Eropa dan
Amerika. Begitu pula pendapat filosuf Bertrand Russell yang mengatakan bahwa
kemajuan material yang dicapai pada peradaban modern tidak dibarengi dengan
kemajuan di bidang moral-spiritual.
Disamping itu adanya gelombang kritisisme ilmu pengatahuan modern
menjadi salah satu faktor pemicu berkembangnya wacana psikologi Islam.
Gelombang kritik ini diilhami oleh buku The Structure of Scientific Revolution karya
Thomas Kuhn yang mengatakan bahwa gelombang revolusi ilmu pengetahaun selalu
ditandai oleh pergeseran dan penggantian dominasi ilmu pengetahuan yang berlaku.
Paradigma ilmu pengetahuan yang lama akan digantikan oleh paradigma baru yang
lebih mampu menjelaskan tentang sebuah fenomena. Sebagai contoh aliran
strukturalisme (consciousness) oleh Wilhelm Wundt digantikan oleh aliran
psikoanalisa (unconsciousness) oleh Sigmund Freud. Aliran ini digantikan oleh
behavioristik (stimulus-respon) oleh John B. Watson dan kemudian oleh Humanistik
(potensi kemanusiaan) oleh Abraham H. Maslow lalu muncul psikologi
transpersonal (potensi spiritual) oleh Anthony Sutich.
Melihat perkembangan paradigma psikologi barat yang telah dipaparkan
diatas, maka tidak menutup kemungkinan psikologi Islam menjadi paradigma
selanjutnya dalam perkembangan ilmu psikologi. Salah satu alasan yang dapat
digunakan adalah bahwa psikologi Islam menempatkan kembali kedudukan agama
dalam kehidupan manusia yang dalam sejarah perkembangan ilmu saling tarik ulur,
menjadi penyempurna konsep perilaku manusia dan menghadirkan kembali faktor
Tuhan (spiritual) dalam kehidupan manusia serta diyakini mampu menjadi elemen
moral dalam aplikasi ilmu pengetahuan modern sehingga dapat membangun kembali
peradaban manusia.
Mengkaji sebuah keilmuan dalam kategori filsafat ilmu, kita tidak dapat
memisahkan diri dari pembahasan tentang aspek ontologi. Ontologi adalah aspek
dalam filsafat ilmu yang mempelajari tentang objek yang akan ditelaah oleh ilmu
tersebut, bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut dan bagaimana hubungan
antara objek tersebut dengan daya tangkap manusia sendiri (berpikir, merasa dan
mengindera) yang membuahkan pengetahuan.
Kajian ontologi psikologi Islam sama halnya pada psikologi barat yaitu
manusia. Meskipun aspek kajiannya sama tentang manusia tapi dalam konsepnya
memiliki beberapa perbedaan, baik melalui aliran psikoanalisa, behavioristik maupun
humanistik. Perbedaan pemahaman konsep manusia ini akan mempengaruhi pada
penerapan keilmuan itu sendiri, baik di bidang perkembangan, pendidikan, sosial,
klinis maupun industri.
Psikologi Islam hadir dengan menawarkan pembahasan tentang konsep
manusia yang lebih utuh (komprehensif). Manusia tidak hanya dikendalikan oleh
masa lalu tetapi juga mampu merancang masa depan. Manusia tidak hanya
dikendalikan lingkungan tetapi juga mampu mengendalikan lingkungan. Manusia
memiliki potensi baik tetapi juga potensi buruk (terbatas). Konsep manusia dalam
psikologi Islam adalah bio-sosio-psikis-spiritual, artinya Islam mengakui
keterbatasan aspek biologis (fisiologis), mengakui peran serta lingkungan
(sosiokultural), mengakui keunggulan potensi dan juga memerankan aspek spiritual
(Tuhan) dalam kehidupan manusia.
Manusia mempunyai 2 (dua) unsur yaitu jasmaniah (materi) dan rohaniah
(non materi) yang secara umum dapat dijelaskan melalui konsep bio-sosio-psikis-
spiritual yang dalam perkembangan psikologi barat tidak diakui keberadaannya.
Perilaku manusia terbentuk oleh hasil kolaborasi semua unsur, tidak ada reduksi
antar unsur sehingga pemahaman tentang manusia dapat menemukan titik temu yang
utuh.
Islam menawarkan konsep manusia melalui pemahaman agama (wahyu
Tuhan). Memahami manusia tidak dapat dilepaskan dari konsep ruh (daya ikat
pencipta dan makhluknya), hati (qalbu) sebagai pengendali perilaku manusia, nafs
yang menjadi wadah potensi manusia (baik-buruk) serta akal sebagai tempat nalar
dan daya pemahaman tentang pilihan perilaku. Memahami manusia tidak hanya
terbatas pada observable area tetapi juga yang unobservable area dan unconceivable
area (tidak dapat dipikirkan atau dirasakan).
Konsep unsur manusia dalam Islam diambil dari wahyu Tuhan tidak dapat
diragukan kebenarannya. Tuhan adalah pencipta manusia yang tentunya sangat
mengetahui hasil ciptaannya, sehingga acuan yang paling tepat untuk memahami
manusia adalah dari kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan meskipun dalam
aplikasinya terdapat pola penafsiran yang berbeda.
Kajian epistemologi menekankan pada proses atau prosedur timbulnya ilmu
pengatahuan, hal-hal yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang
benar dan cara yang digunakan untuk membantu mendapatkan pengetahuan.
Epistemologi merupakan satu-satunya jalur untuk melihat metode pencarian
kebenaran dari sebuah ilmu pengetahuan. Kesalahan dalam menentukan metode akan
menurunkan kualitas keilmuan tersebut sehingga hasil dari pencarian kebenaran akan
banyak menyisakan pertanyaan-pertanyaan.
Secara epistemologi perkembangan psikologi barat bermula dari
pengembangan metode ilmiah ilmu eksakta, sehingga hasil keilmuannya bermuara
pada pengukuran kuantitatif-eksperimen untuk menjamin objektifitas. Perkembangan
keilmuan yang sedemikian rupa merupakan efek dari penerimaan ilmu eksakta yang
melebihi penghargaan dari ilmu sosial, sehingga para ilmuan sosial berbondong-
bondong mengadopsi metode ilmiah eksakta untuk dipergunakan pada ilmu sosial
termasuk psikologi.
Psikologi Islam menawarkan konsep tentang perluasan bidang kajian dan
metode yang dipergunakan untuk mencari kebenaran meskipun tetap berlandaskan
pada wahyu Tuhan (agama). Metode pencarian kebenaran tidak hanya
mempergunakan indra yang memiliki banyak keterbatasan, tetapi juga
mempergunakan potensi non-indrawi yang berwujud intuisi yang nilai kebenarannya
sama-sama relatif dan wahyu yang kebenarannya tak terbantahkan.
Disamping itu metode keyakinan dan otoritas juga bisa digunakan untuk
membangun sebuah teori dalam ilmu psikologi. Hal ini merupakan salah satu aspek
pemahaman dan ketundukan terhadap kebenaran kitab suci sebagai wahyu dari
pencipta manusia serta pengakuan kita terhadap orang-orang yang memiliki
kemampuan dalam menafsirkan ilmu psikologi melalui ilmu agama. Kedua metode
ini perlu mendapat pengakuan untuk mengembangkan teori psikologi yang mencoba
memahami manusia secara lebih komprehensif baik dari aspek materi maupun non
materi.
Keberadaan metode-metode tersebut untuk membangun teori psikologi Islam
membutuhkan kesepakatan dari penggagas ilmu psikologi Islam dan tidak
membutuhkan persetujuan dari ilmuwan non Islam. Hal ini juga telah berlaku untuk
pembangunan metode ilmiah bidang psikologi yang senantiasa memperhatikan aspek
objektifitas dan empirik meskipun banyak perilaku manusia yang mulai tidak dapat
didekati hanya pada pendekatan empiris. Jika kesepakatan tentang objektifitas
berdasarkan metode tersebut telah dicapai maka psikologi Islam tidak lagi menjadi
pseudo ilmiah tetapi sudah menjadi ilmiah bahkan bisa mencapai supra ilmiah karena
persyaratan ilmiah telah terpenuhi.
Aksiologi merupakan bagian dari sistematika filsafat ilmu yang berupa
mencari tahu kegunaan ilmu tersebut, cara penggunaan dengan kaidah moral,
penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan moral dan prosedur
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral.
Psikologi Islam mempunyai potensi untuk menjawab permasalahan umat
yang lebih komprehensif dibandingkan psikologi barat karena konsep manusia lebih
terintegrasi. Bahkan banyak penelitian-penelitian yang membuktikan
terselesaikannya permasalahan kehidupan (psikologis) ketika solusi yang diberikan
dikaitkan dengan pemaknaan terhadap perilaku beragama. Ini semua membuktikan
bahwa dalam aspek aksiologi keberadaan psikologi Islam tidak dapat terbantahkan,
artinya mampu memberikan kontribusi atau kemanfaatan yang besar bagi umat
manusia melalui aplikasi praktis keilmuannya.
Psikologi Islam ibarat rumah yang berasitektur paling profesional dengan
miniatur sebuah istana kokoh yang dapat menampung banyak orang, dengan
bermodalkan bahan-bahan pilihan dan berkualitas tinggi. Namun hingga saat ini
bangunan itu masih belum bisa berdiri dengan baik, bahkan para mandor masih sibuk
berwacana tentang pondasi (epistimologi dan metodologinya).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. (2009). Psikologi Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Brennan, J. F. (2006). Sejarah dan Sistem Psikologi. Ed. Keenam. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Davidoff, Linda L. (1988). Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta : Erlangga.
Hall, Calvin S. dan Lindzey, Gardner. (1993). Teori-Teori Holistik (Organismik-
Fenomenologi). Yogyakarta: Kanisius.
Koento Wibisono, S. Diktat kuliah: Sejarah Pengembangan Ilmu Pengetahuan,
Teknologi, Dan Seni Suatu Tinjauan Dari Perspektif Filsafat. Yogyakarta:
Magister Sains Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Muhadjir, Noeng. (1998). Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif.
Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mustansyir, R., dan Munir, M. (2009). Filsafat Ilmu. Cetakan Kesembilan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
The Liang Gie. (2007). Pengantar Filsafat ilmu. Yogyakarta: Liberty.