Tugas UAS

43
Peran Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Dan Arah Perkembangan Psikologi: An Unfinished JourneyI. PENDAHULUAN Perjalanan yang tak kenal henti, an unfinished journey, kisah antara filsafat, filsafat ilmu dengan psikologi dalam menemukan dan menggali kebenaran atau kenyataan dalam ranah kehidupan manusia dengan overview suatu ilmu, filsafat sebagai induk, dan filsafat ilmu sebagai cabang dan psikologi sub cabang perkembangan filsafat ilmu. Titik awal perjalanan dimulai ketika filsafat diharapkan tidak lagi hanya berbicara tekstual dalam perkembangannya, konstektualisasi terhadap kondisi faktual saat ini penting untuk menjadi poin filsafat dengan filsafat ilmu sebagai cabangnya memposisikan diri sebagai ilmu kritis dalam perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, agar tidak terjadi seperti yang dilukiskan Mohandas K. Gandhi “science without humanity.” Filsafat ilmu yang oleh beberapa pakar disebut ilmu tentang ilmu, tidak sekedar melihat ilmu pengetahuan dari sisi ontologi, epistemologi, dan aksiologinya, melainkan bagaimana ilmu tersebut dapat memberikan makna atau heuristik serta menyangkut unsur etik dalam mengawal perkembangan ilmu tersebut agar berada di jalur yang

description

Kontribusi Filsafat ilmu dalam perkembangan psikologi, dari perkembangan beberapa mahzab psikologi dan perkembangan psikologi yang dilandasi berdasar filsafat ilmu, dalam hal ini psikologi islam.

Transcript of Tugas UAS

Page 1: Tugas UAS

Peran Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Dan Arah Perkembangan Psikologi:

“An Unfinished Journey”

I. PENDAHULUAN

Perjalanan yang tak kenal henti, an unfinished journey, kisah antara filsafat,

filsafat ilmu dengan psikologi dalam menemukan dan menggali kebenaran atau

kenyataan dalam ranah kehidupan manusia dengan overview suatu ilmu, filsafat

sebagai induk, dan filsafat ilmu sebagai cabang dan psikologi sub cabang

perkembangan filsafat ilmu. Titik awal perjalanan dimulai ketika filsafat diharapkan

tidak lagi hanya berbicara tekstual dalam perkembangannya, konstektualisasi

terhadap kondisi faktual saat ini penting untuk menjadi poin filsafat dengan filsafat

ilmu sebagai cabangnya memposisikan diri sebagai ilmu kritis dalam perkembangan

ilmu pengetahuan saat ini, agar tidak terjadi seperti yang dilukiskan Mohandas K.

Gandhi “science without humanity.”

Filsafat ilmu yang oleh beberapa pakar disebut ilmu tentang ilmu, tidak

sekedar melihat ilmu pengetahuan dari sisi ontologi, epistemologi, dan aksiologinya,

melainkan bagaimana ilmu tersebut dapat memberikan makna atau heuristik serta

menyangkut unsur etik dalam mengawal perkembangan ilmu tersebut agar berada di

jalur yang seharusnya, yakni ilmu yang mencerahkan, ilmu itu adalah cahaya.

Psikologi sebagai cabang ilmu dengan objeknya manusia, mengkaji manusia

dari sisi perilaku dan proses mental. Perkembangan psikologi akhir-akhir ini begitu

pesatnya, kemunculan psikologi evolusioner, psikologi indiegienous, maupun

psikologi nusantara, sebagai indikasi betapa psikologi tidak lagi melihat sosok

manusia sebagai individu semata melainkan telah menyentuh area budaya lokal

dalam bidang kajiannya. Namun, perkembangan tersebut berakibat kini psikologi

sebagai ilmu yang terpisah-pisah / terfragmentasi, berpendapat manusia dari satu sisi

semata, terpisah-pisah dari lingkungan, peran masa lampau, teknologi, harapan, dan

penggeneralisasian hasil penelitian.

Filsafat sebagai cara pandang dalam melihat, filsafat ilmu sebagai kerangka

terhadap keberadaan dan perkembangan perlu untuk di aplikasikan sebagaimana

Page 2: Tugas UAS

filsafat ilmu tidak lagi berperan dalam mengkategorisasikan ilmu dengan tiga pilar

eksistensinya, melainkan bagaimana filsafat ilmu diharapkan lebih untuk bersifat

partisipatif dan emansipatoris terhadap kehidupan psikologi.

II. Sejarah: Filsafat, Filsafat Ilmu Sampai Psikologi

Pentingnya sejarah dalam melihat konteks suatu bahasan rasanya perlu untuk

menjadi perhatian, karena dengan sejarah akan terlihat akar dari sesuatu, seperti

pengaruh-pengaruh para filsuf di zaman modern sebagai peletak dasar dalam

penelitian-penelitian psikologi yang dilakukan dan masih menjadi pegangan sampai

hari ini, dan kali ini saya akan membahas sejarah filsafat, filsafat ilmu sampai

psikologi yang saya peroleh selama perkuliahan 1.

1. Perkembangan Pemikiran Yunani Kuno: Dari

Mitos ke Logos

Zaman ini (VI SM – VI M) perkembangan ilmu pengetahuan berawal dari

kepercayaan yang sifatnya kosmogoni dan theogoni, dimana peran dewa sangat

menonjol pada masa mitos ini. Barulah pada era logos muncul keberanian dari para

pemikir pada masa itu dengan mulai mempermasalahkan dan mencari unsur induk

(arché) yang dianggap sebagai asal mula segala sesuatu atau semesta alam

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air”

merupakan arché, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM) berpendapat “udara” yang

merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Kausalitas inilah yang menjadi fondasi

awal psikologi dalam perkembagannya hingga psikologi modern, baik secara

metodologik maupun ontologi psikologi yang terdapat unsur kausalitas dalam

mempelajari manusia.

Jadi unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai, yakni: rasio dan

logika. Meskipun arché yang dikemukakan para filsuf tadi masih bersifat spekulatif

dalam arti masih belum dikembangkan lebih lanjut dengan melakukan pembuktian

melalui observasi maupun eksperimen dalam kenyataan, tetapi prosedur berpikir

untuk menemukannya melalui suatu bentuk berpikir sebab-akibat secara rasional

1 Koento Wibisono, S. Diktat kuliah : Sejarah Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Dan Seni Suatu Tinjauan Dari Perspektif Filsafat. Yogyakarta: Magister Sains Universitas Gadjah Mada.

Page 3: Tugas UAS

itulah yang patut dicatat sebagai suatu arah baru dalam sejarah pemikiran manusia

pada masa yang dikenal sebagai pra Socrates ini.

Zaman keemasan dari filsafat Yunani Kuno, dicapai pada masa Sokrates (±

470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Filsafat Plato

dikenal dengan ajarannya ‘ideal’ bahwa kenyataan itu tidak lain adalah bayangan

dari suatu dunia yang disebut olehnya “ide”, sesuatu yang abadi dan nyata. Dunia

“ide” itulah yang abadi sedangkan kenyataan yang dapat diobservasi sebagai sesuatu

yang senantiasa berubah. Sedangkan Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak

hal sering tidak setuju atau bahkan berlawanan dengan apa yang dia ajarkan dari

gurunya. Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia “abadi” sebagaimana

yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada kenyataan atau benda-benda

itu sendiri. Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi: etika, politik, metafisika,

ilmu pasti dan ilmu alam. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak

menyumbang kepada perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.

2. Perkembangan Pemikiran Zaman Pertengahan

Era ini berlangsung pada abad VI – XIV M, dimana di tandainya dengan

pudarnya kekuasaan Romawi, dan sebelumnya pasca Aristoteles pun ajaran filsafat

mulai kembali ke hal-hal yang sifatnya mistis yang di ajarkan oleh Stoa dan Epicuri.

Filsafat pada abad ini dikuasai dengan pemikiran keagamaan (Kristiani) dengan

tokoh besar filsafatnya yaitu Agustinus dengan aliran Patristik, dan Thomas Aquinas

dengan Skolastik. Pada masa ini dapat dikatakan era filsafat yang sebelumnya

berlandaskan akal-budi “diabdikan” untuk dogma agama. Terlihat pada kejadian

yang menimpa Copernicus, dihukum kurungan seumur hidup oleh otoritas gereja,

ketika mengemukakan temuannya tentang pusat peredaran benda-benda angkasa

adalah matahari (Heleosentrisme). Teori ini dianggap oleh otoritas gereja

bertentangan dengan teori geosentrisme (bumi sebagai pusat peredaran benda-benda

angkasa) dan dianggap menjatuhkan kewibawaan gereja.

Hal lain yang menjadi peristiwa penting pada masa ini adalah kejayaan Islam

atau Golden Ages of Islam di abad VII – XIII M, Pemikiran-pemikiran Ariestoteles

kembali dikenal dalam karya beberapa filsuf Islam, terutama melalui Avicena (Ibnu

Page 4: Tugas UAS

Sina, 980-1037), Averroes (Ibnu Rushd, 1126-1198), Omar Khayam (1043-1132),

dan Al Khawarizmi yang menyusun buku aljabar di tahun 825.

3. Zaman Modern: Lahir dan Berkembangnya

Tradisi Ilmu Pengetahuan

Era Modern ini (abad XIV – XIX M), perkembangan ilmu pengetahuan

kembali ke jalur yang seharusnya (antroposentris), yaitu munculnya kesadaran untuk

berfikir dan berbuat secara baru, dengan empat elemen yang menyusunnya:

a.Subjektivitas yang relektif, sebagai pengakuan atas kekuatan rasional dalam

menyelesaikan masalah-masalah kehidupan.

b. Subjektivitas yang kritis, sebagai bentuk kebebasan berpikir.

c.Kesadaran historis, adanya optimistik terhadap masa depan.

d. Universalisme, ketiga elemen di atas bersifat normatif.

Zaman modern ini muncul gerakan-gerakan yang fundamental bagi

perkembangan ilmu pengetahuan di Barat saat itu, lewat gerakan Renaissance

(rebirth, renascimento) dengan semboyan “liberasasi, emansipasi, dan otonomi diri”.

Pada abad kedelapan belas mulai memasuki perkembangan baru. Setelah reformasi,

Renaissance, pemikiran manusia mulai dianggap telah “dewasa”. Periode sejarah

perkembangan pemikiran filsafat disebut sebagai “Jaman Pencerahan” atau

Aufklaerung Para empirikus besar Inggris antara lain J. Locke (1632-1704), G.

Berkeley (1684-1753) dan D. Hume (1711-1776). Di Perancis JJ. Rousseau (1712-

1778) dan di Jerman Immanuel Kant (1724-1804).

Pada tahap ini, peran beberapa filsuf dalam menanamkan pada metodologi

penelitian psikologi seperti Francis Bacon (1561-1626) dengan metode observasi,

eksperimentasi, dan komparasi, serta Auguste Comte (1798-1857) yang

berkontribusi besar terhadap ilmu-ilmu sosial pada masa itu serta Comte pulalah

yang dikenal ‘Bapak Sosiologi’ muncul klasifikasi ilmu pengetahuan dengan

matematika sebagai dasar bagi semua cabang ilmu. Zaman modern adalah zaman

keemasannya ilmu pengetahuan .

Page 5: Tugas UAS

4. Zaman Kontemporer

Pada abad ini (XX - ... M) ilmu pengetahuan berkembang secara

evolusiioner; teknologi nano, nuklir, bioteknologi sampai kloning, memunculkan dua

sisi yang berbeda, sebagai harapan dan di sisi lain memunculkan ketakutan serta

kecemasan.

Zaman kontemporer dinyatakan sebagai “abad kematian yang direncanakan”

dan akhir dari suatu perjalanan pengetahuan umat manusia.Peperangan dimana-

mana, kelaparan, masalah lingkungan hidup, dan kesenjangan sosial mulai tumbuh

subur di zaman kontemporer ini. Permasalahan-permasalahan tersebut di sinyalir

karena ilmu pengetahuan semakin jauh dari unsur eti, moral, dan agama sebagai

falsafak ilmu pengetahuan yang mencerahkan.

III. Filsafat Ilmu

Di zaman modern ilmu berkembang dan menemukan kebenarannya masing-

masing. Perlunya seperangkat cara agar perbedaan-perbedaan tersebut dapat

terintegrasi, lahirlah filsafat pengetahuan dengan tugas memberikan klarifikasi

terhadap kebenaran ilmiah dari perkembangan ilmu, karena masing-masing cabang

ilmu menggunakan sumber, sarana, dan metodologi yang berbeda. Perkembangan

ilmu pengetahuan senantiasa berlanjut terus-menerus, sehingga flsafat pengetahuan

yang bertugas dalam pengklarifikasian tersebut merasa membutuhkan sesuatu yang

lebih tinggi, kemudian lahirlah filsafat ilmu atau Philosophy of Science.

Filsafat ilmu sampai tahun sembilan puluhan telah berkembang begitu pesat 

sehingga menjadi suatu bidang pengetahuan yang sangat luas dan mendalam. Begitu

luasnya bidang cakupan filsafat ilmu ditambah lagi definisinya yang bermacam-

ragam telah membuat pemahaman orang menjadi sangat beragam pula. The Liang

Gie memberikan daftar yang cukup panjang mengenai berbagai pandangan ini dalam

bukunya 2. Dari beraneka ragam pandangan tersebut, pandangan John Loose

tampaknya bisa diterima sebagai mewakili seluruh keanekaragaman tersebut.

Menurutnya, berbagai pandangan tentang filsafat ilmu itu pada dasarnya dapat

digolongkan ke dalam empat kelompok besar. Keempatnya adalah sebagai berikut:

2 The Liang Gie dalam bukunya Pengantar Filsafat Ilmu, hal 65 – 74.

Page 6: Tugas UAS

1. Filsafat ilmu yang berusaha menyusun pandangan-pandangan dunia yang

sesuai atau berdasarkan teori-teori ilmiah yang penting.

2. Filsafat ilmu yang berusaha memaparkan praanggapan dan kecenderungan

para ilmuwan (misalnya, praanggapan bahwa alam semesta  mempunyai

keteraturan).

3. Filsafat ilmu sebagai suatu cabang pengetahuan yang menganalisis dan

menerangkan konsep dan teori dari ilmu.

4. Filsafat ilmu sebagai pengetahuan kritis derajat kedua yang menelaah ilmu

sebagai sasarannya. Di sini, menurut Loose, pengetahuan manusia terbagi dalam

tiga tingkatan yang berbeda. Tingkat pertama adalah Tingkat O. Ini adalah

pengetahuan tentang fakta-fakta. Tingkat selanjutnya adalah Tingkat 1. Di sini

fakta-fakta yang ditemukan dalam Tingkat O dijelaskan dan yang

menjelaskannya adalah Ilmu. Tingkat terakhir adalah Tingkat 2. Di sini cara Ilmu

menjelaskan fakta-fakta itu dianalisis. Di tingkat inilah filsafat ilmu beroperasi.

Filasfat ilmu sebagaimana halnya dengan bidang-bidang ilmu lainnya, juga

memiliki objek material dan objek formal. Objek material atau pokok bahasan pada

filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah

disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu sehingga dapat dipertanggug

jawabkan di depan umum. Hal ini lah yang membedakan pengetahuan di sebut

sebagai ilmu atau tidak, karena tidak semua pengetahuan dapat dikategorisasikan

sebagai ilmu apabila tidak melalui sistematisasi prosedur ilmiah. Sedang objek

formalnya, merupakan hakikat atau esensi ilmu pengetahuan; apa hakikat ilmu itu

sesungguhnya? bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah? problem-problem

inilah yang dibicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu:

landasan ontologi, landasan epistemologi, dan landasan aksiologi 3.

Ketiga landasan tersebut merupakan pilar penyangga eksistensi ilmu 4 dimana

pengertian masing-masing sebagai berikut:

1. Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, pertanyaan mengenai hakikat

kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah mengenai apa

3 Pembahasan objek material dan objek formal pada filsafat imu ini terdapat dalam bukunya Mustansyir dan Munir, Filsafat Ilmu. 4 Koento Wibisono, S. Diktat kuliah : Sejarah Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Dan Seni Suatu Tinjauan Dari Perspektif Filsafat. Hal. 14 – 15.

Page 7: Tugas UAS

dan bagaimana yang “Ada” itu. Faham idealisme, spiritualisme, dualisme,

pluralisme, dan agnotisisme merupakan faham ontologik yang menentukan

pendapat bahkan keyakinan pada individu mengenai apa, bagaimana, dan dimana

(yang) “ada” sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicari.

2. Epistemologi ilmu, meliputi: sumber, sarana, dan tata-cara menggunakan

sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan yang ilmiah. Perbedaan mengenai

pilihan landasan ontologik berpengaruh dalam penentuan sarana yang akan

dipilih. Sarana-sarana tersebut adalah akal, budi, pengalaman, intuisi, atau

kombinasi akl-budi, yang lebih dikenal dalam istilah epistemologi sebagai

model-model rasionalisme, empirisme, kritisme, positivisme, fenomenologi,

strukturalisme, dan pragmatisme dengan berbagai variasinya.

3. Aksiologi meliputi nilai-nilai (values) yang sifatnya normatif dalam

pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan dalam suatu ranah sosial,

ranah simbolik, atau pun fisik-material. Nilai-nilai dalam aksiologi berposisi

sebagai suatu conditio sine quanon yaitu sesutu yang wajib dipatuhi dalam

kegiatan akademik (penelitian maupun penerapan ilmu) dengan kebebasan

akademik yang bertanggung jawab.

IV. Psikologi

Psikologi berasal dari bahasa Yunani “psyche” yang artinya jiwa, dan “logos”

yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi, secara etimologi psikologi artinya ilmu yang

mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya,

maupun latar belakangnya. Dengan singkat disebut dengan ilmu jiwa.

Berbicara tentang jiwa, terlebih dahulu kita harus dapat membedakan antara

nyawa dan jiwa. Nyawa adalah daya jasmaniyah yang keberadaannya tergantung

pada hidup jasmaniyah dan menimbulkan perbuatan badaniyah organik behavior,

yaitu perbuatan yang ditimbulkan oleh proses belajar. Misalnya: Insting, refleks,

nafsu, dan sebagainya. Jika jasmani mati, maka mati pulalah nyawanya.

Sedang jiwa adalah daya hidup rohaniyah yang bersifat abstrak, yang menjadi

penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan pribadi (personal behavior) dari

hewan tingkat tinggi dan manusia. Perbuatan pribadi ialah perbuatan sebagai hasil

proses belajar yang dimungkinkan oleh keadaan jasmani, rohaniyah, sosial, dan

Page 8: Tugas UAS

lingkungan. Proses belajar ialah proses untuk meningkatkan kepribadian

(personality) dengan jalan berusaha mendapatkan pengertian baru, nilai-nilai baru,

dan kecakapan baru, sehingga ia dapat berbuat yang lebih sukses dalam menghadapi

kontradiksi- kontradiksi dalam  hidup (Abu Ahmadi, 2009). Adapun definisi menurut

para ahli itu antara lain sebagai berikut:

1. Plato dan Aristoteles : Psikologi ialah ilmu pengetahuan yang

mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.

2. Wilhelm Wundt : Psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang

mempelajari pengalaman- pengalaman yang timbul dalam diri manusia, seperti

perasaan panca indra, pikiran, merasa (feeling) dan kehendak.

A. Ruang Lingkup Psikologi

Ditinjau dari segi objeknya, Psikologi dapat dibedakan dalam dua golongan

yang besar, yaitu 5:

1. Psikologi yang menyelidiki dan mempelajari manusia.

2. Psikologi yang menyelidiki dan mempelajari hewan, yang umumnya lebih

tegas di sebut psikologi hewan.

Psikologi yang sekarang ini yang berobjekkan manusia dibedakan menjadi

dua yaitu psikologi umum dan psikologi khusus. Psikologi umun adalah psikologi

yang mempelajari  atau menyelidiki kegiatan-kegiatan atau aktivitas psikis manusia

pada umumnya yang dewasa, yang normal dan yang beradab (berkultur). Psikologi

umum mencari dalil yang bersifat umum dari pada kegiatan-kegiatan atau aktivitas-

aktivitas psikis. Psikologi umum memandang manusia seakan-akan terlepas dari

manusia yang lain.

Psikologi khusus adalah psikologi yang menyelidiki dan mempelajari segi-

segi kekhusususan dari aktivitas psikis manusia. Hal-hal khusus yang menyimpang

dari hal- hal yang umum dibicarakan dalam psikologi khusus. Macam-macam

psikologi khusus, antara lain:

1)   Psikologi perkembangan

2)   Psikologi sosial

3)   Psikologi pendidikan

5 Ahmadi, Abu. (2009). Psikologi Umum.

Page 9: Tugas UAS

4)   Psikologi kepribadian dan tipologi

5)   Psikopatologi

6)   Psikologi kriminal

7)   Psikologi perusahaan

Namun demikian perjalanan pemikiran filsafat ilmu dari sebuah keilmuan

tidak dapat dipisahkan dari perkembangan jaman atau sosiokultural. Paradigma

keilmuan mengalami perkembangan bahkan perdebatan pada tiap jamannya. Sebagai

contoh perdebatan filosofis abad XII antara aliran empirisme Francis Bacon dengan

aliran rasionalisme Rene Descartes. Bacon mengatakan bahwa sains modern harus

bermula pada fakta-fakta empiris yang dapat diamati, sehingga teori dibuat

berdasarkan generalisasi dari fakta-fakta tersebut (inductive hypothetic). Di satu sisi

Descartes mengemukakan sains harus mendasarkan diri pada pemikiran yang

berorientasi pada rasio (logika) dan menekankan pentingnya peran akal. Meskipun

kemudian muncul paradigma perbauran kedua aliran tersebut oleh Newton dengan

ilmu eksaktanya yang menggabungkan metode hipotetiko deduktif dan eksperimental

induktif. Artinya sains modern bukan sekedar rasional ataupun empiris melainkan

pengetahuan rasional empiris (rasional objektif).

Psikologi yang telah dinyatakan sebagai sebuah ilmu pengatahuan tidak lepas

dari pengaruh tersebut. Psikologi bukanlah suatu produk yang statis tetapi terus

berkembang dan mengalami transformasi sesuai dengan adaptasi sosio kultural dan

implikasi filosofis diawal perkembangannya. Diakui atau tidak  psikologi

kontemporer yang kini merambah dunia sebagian besar dari peradaban barat yang

berbasis pada paradigma sains eksak dan menekankan aspek empiris objektif.

Kuantifikasi konsep dan konstrak aspek psikologi sangat menonjol pada era ini,

bahkan sampai memenggal setengah dari perilaku manusia sehingga seakan-akan

manusia bukan lagi manusia.

Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran

psikologi kontemporer di dunia barat, terdapat banyak pengertian mengenai

psikologi yang ditawarkan oleh para psikolog. Masing-masing pengertian memiliki

keunikan seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh

penciptanya. Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat

disederhanakan dalam tiga pengertian. Pertama lebih bersifat filosofis, dimana

Page 10: Tugas UAS

psikologi didefinisikan sebagai studi tentang jiwa (psyche), seperti studi yang

dilakukan Plato (427-347 SM.) dan Aristoteles (384-322 SM.) tentang kesadaran dan

proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Pengertian kedua yang mencoba

memisahkan disiplin filsafat dengan psikologi memberikan definisi psikologi sebagai

ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi,

intelegensi, kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt.

Sedangkan pengertian ketiga yang mencerminkan psikologi sebagai ilmu yang

mandiri mengartikan psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme,

seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan

sebagainya. Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh John Watson.

Psikologi sebagai keilmuan yang memberikan perhatian terhadap perilaku

manusia juga mengalami masa bumingnya ketika dikaitkan dengan lontaran Charles

Darwin tentang teori evolusi yang menggetarkan dunia. Ia memperkuat gagasan

perlunya memahami manusia dalam perspektif materialistik. Gagasan ini semakin

berkembang dengan makin digunakannya prinsip positivistik dalam memandang

manusia setelah ditinggalkannya fase teologi dan metafisik.

Melihat banyaknya elemen yang mempengaruhi perkembangan sebuah ilmu

termasuk psikologi, maka kita perlu kembali merenungkan keberadaan ilmu

psikologi yang telah berkembang lebih dari 1 (satu) abad ini.  Pertanyaan-pertanyaan

yang mencoba mempertanyakan kembali mainstrem psikologi yang telah

berkembang dari peradaban barat merupakan salah satu bentuk kritik yang mencoba

menempatkan ilmu psikologi dalam jalur yang benar sesuai dengan fungsi keilmuan

untuk kesejahteraan umat manusia.

V. Peran Filsafat Ilmu Terhadap Psikologi: Dasar dan Pengembangannya

Perbincangan-perbincangan mengenai filsafat ilmu dan psikologi ditinjau dari

sejarah, dimensi-dimensi maupun ruang lingkup keilmuannya menjadi bekal untuk

perjalanan berikutnya. Kehadiran filsafat sebagai tonggak dalam munculnya ilmu

pengetahuan dengan kausalitas pada zaman mitologi Yunani kuno menjadi entry

point dalam melihat peran filsafat secara global. Perkembangan ilmu pengetahuan

yang pesat hingga mencapai masa keemasannya di zaman modern ditandai dengan

gerakan Renaissance dan Aufklaerung tidak sekedar sebagai bentuk ‘pemberontakan’

Page 11: Tugas UAS

terhadap dogma gereja yang berkuasa dan otoriter di zaman tengah, namun mulai

munculnya berbagai ilmu pengetahuan yang ditandai dengan klasifkasi ilmu

pengetahuan dari Imanuel Kant.

Pada pembahasan ini, akan di awali dengan fondasi-fondasi filsafat ilmu dari

segi epistemologisnya yang sangat berpengaruh terhadap psikologi sebagai landasan

pacu perkembangan psikologi hingga kontemporer saat ini. Brennan (2006) dalam

bukunya Sejarah dan Sistem Psikologi, menguraikan dengan jelas dan komprehensif

mengenai mahzab-mahzab dalam ilmu psikologi yang merupakan hasil dari peran

filsuf waktu itu6.

A. Filsafat Ilmu sebagai Dasar Dalam Aliran Psikologi

1. Wilhelm Wundt dan Strukturalisme.

Wilhelm Wundt (1832-1920), pada mulanya memperoleh pendidikan dokter,

kemudian mengajar fisiologi selama 17 tahun pada Universitas Heidelberg, Jerman.

Sejak awal karirnya, dia telah memperlihatkan minat yang besar sekali terhadap

proses mental. Pada waktu itu, psikologi belum merupakan bidang tersendiri. Pokok

bahasannya masih satu dengan filsafat. Hal yang merupakan ambisi Wundt saat itu

ialah memperkembangkan psikologi sedemikian rupa sehingga mempunyai identitas

sendiri. Dengan adanya tujuan ini, maka dia mengambil langkah dengan

meninggalkan Universitas Heidelberg dan menerima jabatan sebagai Ketua Bagian

Filsafat di Universitas Leipzig, Jerman. Empat tahun kemudian, tahun 1879, Wundt

mendirikan laboratorium psikologi eksperimen yang pertama di dunia, dan

merupakan satu kehormatan yang luar biasa bagi psikologi, sehingga psikologi dapat

dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri.

Wundt sangat yakin bahwa tugas utama seorang psikolog adalah meneliti

serta mempelajari proses dasar manusia, yaitu berupa pengalaman langsung,

kombinasi-kombinasinya, dan hubungan-hubungannya. Bagaimana psikolog dapat

mempelajari proses dasar kesadaran ini? Wundt dan pengikut-pengikutnya telah

mengembangkan satu metode yang dinamakan introspeksi analitik (analytic

introspection), yaitu suatu bentuk formal dari observasi yang dilakukan diri sendiri.

6 Muhadjir (1998), Hall (1993), beserta Davidoff (1988).

Page 12: Tugas UAS

Sedangkan Strukturalisme merupakan satu gerakan penyebar luasan ajaran Wundt

oleh Titchener (1892), murid Wundt.

Pandangan-pandangan Strukturalisme terhadap para psikolog, menyatakan bahwa:

mempelajari kesadaran manusia, terutama aspek pengindraannya; menggunakan

metode introspeksi analitis yang nyata di dalam laboratorium; dan menganalisis

proses mental ke dalam elemen sedemikian rupa, sehingga dapat menemukan

kombinasi-kombinasinya serta hubungan satu sama lain.

2. William James dan Fungsionalisme

William James (1842-1910) adalah salah satu psikolog Amerika yang cukup

terkenal. Ia mengajarkan filsafat dan psikologi di Universitas Harvard selama 35

tahun. Dia sangat menentang strukturalis, karena menurutnya aliran ini sangat

dangkal, tidak murni dan kurang dapat dipercaya kebenarannya. Kesadaran menurut

James bersifat unik dan sangat pribadi, terus-menerus berubah, muncul setiap saat,

dan selektif sekali ketika harus memilih dari sekian banyak rangsang yang mengenai

seseorang. Hal yang paling menonjol dan utama ialah, bahwa kesadaran ini mampu

membuat manusia menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya.

Fungsionalisme berpendapat bahwa seorang psikolog seharusnya meneliti

secara mendalam bagaimana proses-proses mental ini berfungsi; mereka seharusnya

menggunakan introspeksi informal, yaitu observasi terhadap diri sendiri serta laporan

diri, serta metode obyektif, yaitu yang dapat terbebas dari prasangka, seperti

misalnya eksperimen; dan mulai munculnya harapan-harapan ilmu psikologi dapat di

aplikasikan dalam ranah kehidupan nyata serta bersinggungan dengan kehidupan

langsung, misal: penerapan psikologi dalam dunia pendidikan, hukum, maupun suatu

perusahaan.

3. John Watson dan Behaviorisme

John Watson (1878-1958) menamatkan pendidikannya dalam bidang

psikologi hewan, di Universitas Chicago, di bawah asuhan seorang professor dari

aliran fungsionalis. Watson tidak puas terhadap strukturalisme dan fungsionalisme,

karena menurutnya bahwa fakta mengenai kesadaran tidak mungkin dapat di tes dan

Page 13: Tugas UAS

di reproduksi kembali oleh para pengamat, sekalipun dirinya sudah terlatih di

bidangnya.

Aliran Behaviorisme mulai muncul peran stimulus-respon dalam perilaku

manusia sehingga menurut behaviorisme faktor pengalaman berkontribusi besar

terhadap perilaku manusia juga mulai adanya bagaimana untuk melakukan

pengendalian terhadap perilaku manusia, dan untuk meneliti hal ini introspeksi

sebaiknya ditinggalkan saja dan digantikan dengan metode obyektif (misalnya

eksperimen, observasi, dan tes berulang-ulang). Tahap Behaviorisme ini juga mulai

digunakan hewan sebagai bahan laboratoriumnya karena menurut aliran

behaviorisme karena makhluk-makhluk sederhana ini mudah diteliti dan dipahami,

bila dibandingkan dengan manusia.

Landasan filosofis dari aliran behaviorisme sangat dipengaruhi oleh

positivisme, sedangkan positivisme berakar pada empirisme. Prinsip filosofis tentang

positivisme dikembangkan pertama kali oleh empiris kewarganegaraan Inggris

Francis Bacon.

Ontologi positivisme hanya mengakui sesuatu sebagai nyata dan benar bila

sesuatu itu dapat diamati dengan indera kita. Positivisme menolak yang dinyatakan

sebagai fakta tetapi tidak diamati oleh siapapun dan tidak dapat diulang kembali.

Sesuatu akan diterima sebagai fakta bila dapat dideskripsikan secara indrawi. Apa

yang di hati dan ada di pikiran, bila tidak dapat dideskripsikan dalam perilaku, tidak

dapat ditampilkan dalam gejala yang teramati, tidak dapat diterima sebagai fakta,

maka tidak dapat diterima sebagai dasar untuk membuktikan bahwa sesuatu itu

benar. Hakikat positivisme sejalan dengan behaviorisme yang berpendapat bahwa

perilaku merupakan kegiatan organisme yang dapat diamati. Dengan pendekatan

perilaku, seorang ahli psikologi mempelajari individu dengan cara mengamati

perilakunya dan bukan mengamati kegiatan bagian dalam tubuh. Behaviorisme, turut

berperan dalam pengembangan bentuk psikologi selama awal pertengahan abad ini,

dan cabang perkembangannya yaitu psikologi stimulus-response masih tetap

berpengaruh. Hal ini terutama karena hasil jerih payah seorang ahli psikologi dari

Harvard, B.F.Skinner.

Telaah aksiologi terhadap aliran behaviorisme yang menempatkan faktor

belajar sebagai konsep yang penting akan dapat didekati dengan teori moral, bahwa

Page 14: Tugas UAS

manusia diharuskan untuk melaksanakan kewajiban moral. Pada satu sisi, dengan

kewajiban moral, manusia masing-masing bertindak baik, bukan karena ada paksaan,

melainkan karena sadar bahwa tindakan tidak baik orang lain adalah mungkin

merugikan kita dimana disini terlihat pentingnya aspek belajar dalam kehidupan

manusia. Pada sisi lain, dengan kewajiban moral tersebut, semua orang menjadi

saling mengakui otonominya.

4. Psikologi Gestalt

Sementara Behaviorisme berkembang pesat di Amerika Serikat, maka di

negara Jerman muncul aliran yang dinamakan Psikologi Gestalt (arti kata Gestalt,

dalam bahasa Jerman, ialah bentuk, pola, atau struktur). Para psikolog Gestalt yakin

bahwa pengalaman seseorang mempunyai kualitas kesatuan dan struktur. Aliran

Gestalt ini muncul juga karena ketidakpuasan terhadap aliran strukturalis, khususnya

karena strukturalis mengabaikan arti pengalaman seseorang yang kompleks, bahkan

dijadikan elemen yang di sederhanakan. Aliran psikologi Gestalt mempunyai banyak

tokoh terkemuka, antara lain Wolfgang Kohler, Kurt Koffka, dan Max Wertheimer.

Aliran psikologi Gestalt ini nampaknya merupakan aliran yang cukup kuat dan padu.

Falsafah yang dikemukakannya sangat mempengaruhi bentuk psikologi di Jerman,

yang kelak juga akan terasa pengaruhnya pada psikologi di Amerika Serikat

(terutama dalam penelitian mengenai persepsi). Hal itu nampak dari kedua aliran

psikologi modern yang sejaman, yaitu aliran Humanisme dan aliran Kognitif.

Telaah filosofik psikologi gestalt dapat didekati dengan fenomenologi.

Heidegger adalah juga seorang fenomenolog. Fenomenologi memainkan peran yang

sangat penting dalam sejarah psikologi. Heidegger adalah murid Edmund Husserl

(1859-1938), pendiri fenomenologi modern. Husserl adalah murid Carl Stumpf, salah

seorang tokoh psikologi eksperimental “baru” yang muncul di Jerman pada akhir

pertengahan abad XIX. Kohler dan Koffka bersama Wertheimer yang mendirikan

psikologi Gestalt adalah juga murid Stumpf, dan mereka menggunakan

fenomenologi sebagai metode untuk menganalisis gejala psikologis.

Salah seorang di antara fenomenolog kontemporer yang paling fasih dan

paling ulung adalah Erwin Straus (1963-1966). Sebuah pembahasan ilmiah dan

Page 15: Tugas UAS

ringkas tentang fenomenologi oleh salah seorang pendukung utamanya dari kalangan

psikolog di Amerika Serikat dapat ditemukan dalam karya MacLeod.

Fenomenologi sebagaimana terdapat dalam karya para psikolog Gestalt dan Erwin

Starus, pertama kali telah dipakai untuk meneliti gejala-gejala dari proses-proses

psikologis seperti persepsi, belajar, ingatan, pikiran, dan perasaan, tetapi tidak

digunakan untk meneliti kepribadian. Sebaliknya, psikologi eksistensial telah

menggunakan fenomenologi untuk menjelaskan gejala-gejala yang kerapkali

dipandang sebagai wilayah bidang kepribadian. Psikologi eksistensial dapat

dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan empiris tentang eksistensi manusia yang

menggunakan metode analisis fenomenologis.

Telaah aksiologi terhadap aliran psikologi Gestalt dapat didekati melalui teori

keadilan. Terdapat 2 prinsip teori keadilan, menurut Rawls, yaitu: 1) bahwa setiap

orang memiliki persamaan hak atas kebebasan yang sangat luas hingga kompatibel

dengan hak kebebasan orang lain; 2) ketidaksamaan sosial dan ekonomi ditata

sedemikian sehingga keduanya (sosial dan ekonomi): a) menjadi bermanfaat bagi

setiap orang sesuai harapan yang patut, dan b) memberi peluang yang sama bagi

semua untuk segala posisi dan jabatan.

5. Sigmund Freud dan Teori Psikoanalisis

Sigmund Freud (1856-1939) adalah seorang dokter berkebangsaan Vienna

yang mengkhususkan diri untuk mempelajari gangguan kejiwaan, terutama gangguan

jiwa neurotik, yaitu gangguan kejiwaan dimana penderita akan memperlihatkan

kecemasan yang berlebihan, mudah lelah, insomnia, depresi, kelumpuhan, dan

gejala-gejala lainnya yang berhubungan dengan adanya konflik dan tekanan jiwa.

Teori Freud ini dikenal dengan teori Psikoanalisis, yaitu teori pemikiran Freud

mengenai kepribadian, abnormalitas, dan perawatan penderita. Aliran psikoanalisa

disini tidak menampakkan adanya kemiripan dengan teori yang sudah dibicarakan

sebelumnya, karena pada dasarnya Freud sendiri tidak pernah bertujuan

mempengaruhi psikologi untuk keperluan akademis. Sejak ssemula Freud hanya

bertujuan meringankan penderitaan pasien-pasiennya, tetapi karena pengaruh dari

teori psikoanalisis ini nyatanya telah menembus psikologi sebagai ilmu, maka kita

akan melihat teori ini sebagai salah satu teori di dalam psikologi.

Page 16: Tugas UAS

Freud sangat terpengaruh oleh filsafat determinisme dan positivisme ilmu

pengetahuan abad XIX. Analisa terhadap pandangan psikoanalisis tersebut, terutama

yang berkaitan dengan tugas terapis yaitu observasi dan interpretasi perilaku, sejalan

dengan metodologi positivisme Auguste Comte. Alat penelitian yang pertama

menurut Comte adalah observasi. Kita mengobservasi fakta; dan kalimat yang penuh

tautology hanyalah pekerjaan sia-sia. Tindak mengamati sekaligus menghubungkan

dengan sesuatu hukum yang hipotetik, diperbolehkan oleh Comte. Itu merupakan

kreasi simultan observasi dengan hukum, dan merupakan lingkaran tak berujung.

Selain itu, pandangan-pandangan psikoanalisis tentang aspek-aspek penting

kepribadian juga sejalan dengan epistemology positivisme kritis dari Mach dan

Avenarius, yang lebih dikenal dengan empiriocritisisme. Menurutnya, fakta menjadi

satu-satunya jenis unsur untuk membangun realitas. Realitas bagi keduanya adalah

sejumlah rangkaian hubungan beragam hal indrawi yang relatif stabil. Unsur hal

yang indrawi itu dapat fisik, dapat pula psikis.

Menurut Popper, filsafat deterministic mencermati keteraturan biologik.

Pooper dipengaruhi oleh Kant, dimana ia menampilkan hipotesa besar imajinatifnya

berupa teori keteraturan deterministik. Alam semesta ini teratur. Ilmuwan berupaya

membaca keteraturan tersebut. Dalam hal ini, uji falsifikasi diharapkan diketemukan

kawasan benar dan kawasan salah dari teori itu. Popper menguji teorinya secara

deduktif dengan uji falsifikasi, dan kesimpulan yang hendak dicapai adalah

kebenaran probabilistik. Teori relativitas Einstein merupakan salah satu teori yang

tepat diuji validitasnya dengan uji falsifikasi Popper.

Telaah aksiologi terhadap aliran psikoanalisa ini akan tepat jika didekati

dengan teori moral tentang keutamaan dan jalan tengah yang baik dari Aristoteles.

Aristoteles mengetengahkan tendensi memilih jalan tengah yang baik antara terlalu

banyak (ekses) dengan terlalu sedikit (defisiensi). Keberanian merupakan jalan

tengah antara kenekatan dengan kepengecutan. Kejujuran merupakan jalan tengah

antara membukakan segala yang menghancurkan dengan menyembunyikan segala

sesuatu. Pada dataran rasional, Aristoteles juga mengetengahkan teori keutamaan

intelektual, dalam tampilan seperti: efisiensi dan kreatif. Teori moral ini sangat

realistis, dimana dalam mengatasi konflik dilakukan dengan mencari jalan tengah

yang terbaik.

Page 17: Tugas UAS

6. Aliran Humanisme

Psikolog yang berorientasi humanistik mempunyai satu tujuan, mereka ingin

memanusiakan psikologi. Mereka ingin membuat psikologi sebagai studi tentang

makna hidup bagi manusia. Aliran humanisme ini berupaya untuk mempelajari:

makhluk hidup sebagai satu keseluruhan yang utuh, tanpa mengkotak-kotakkan ke

dalam penggolongan fungsi (belajar, agresi, persepsi); perilaku seharusnya

memusatkan perhatiannya pada kesadaran subyektif, yaitu bagaimana seseorang

memandang pengalaman pribadinya karena interpretasi yang dia lakukan mempunyai

arti yang amat penting dan mendasar bagi semua kegiatan manusia (pemikiran ini

juga mencerminkan pengaruh psikologi Gestalt). Humanisme juga melihat perilaku

manusia bersifat umum dan universal, tidak dapat diramalkan sebelumnya

sebagaimana dinyatakan oleh aliran behaviorisme.

Martin Heidegger, yang semula dikenal sebagai filosof eksistensialis, sejak

1947, dengan bukunya Letter of Humanism mulai dikenal perubahannya, dan

selanjutnya dikenal sebagai tokoh yang memberi landasan ontology modern yang

fenomenologis. Dalam pandangan Heidegger, ilmu tentang yang “ada” pilah dari

ilmu positif. Ilmu tentang yang ada merupakan transcendental temporal science,

ilmu transenden yang temporal. Makna transenden pada pustaka barat umumnya

diartikan dunia obyektif universal. Demikian pula makna metafisik, sebagai dataran

obyektif universal. Berbeda dengan makna transenden dan metafisik dalam pustaka

keagamaan. Menurut Heidegger, humanisme dapat berakar pada dataran metafisik

atau setidaknya pada sesuatu yang lebih tinggi dan bearakar pada konsep human

being sebagai animal rasional.

Telaah aksiologi terhadap aliran Humanisme dapat didekati dengan teori etika

hak asasi manusia dari John Locke (1632-1704). Menurut John Locke, hak asasi

ditafsirkan sangat individualistis. Hak kebebasan individual, pada hak negatifnya

menjadi tidak mencampuri kehidupan orang lain.

7. Aliran Kognitif

Page 18: Tugas UAS

Pada awal 1960-an, banyak psikolog kognitif mulai memberontak terhadap

pandangan behaviorisme yang kuno. Para psikolog dari pandangan kognitif yakin

akan hal-hal sebagai berikut: Ilmuwan perilaku seharusnya mempelajari proses-

proses mental seperti pikiran, persepsi, ingatan, perhatian, pemecahan persoalan, dan

penggunaan bahasa; seharusnya berusaha untuk memperoleh pengetahuan yang

setepat-tepatnya mengenai cara kerja dari proses-proses tersebut, dan bagaimana

proses-proses ini dapat dipergunakan di dalam kehidupan sehari-harinya; Para

ilmuwan perilaku seharusnya juga tetap memakai introspeksi informal, khususnya

bila ingin mengembangkan dugaan-dugaan yang dibuat, sedangkan metode obyektif

dapat dipergunakan untuk menguji kebenaran dugaan ini. Psikologi kognitif ini

berusaha menggabungkan aspek-aspek fungsionalisme, psikologi gestalt, dan

behaviorisme.

Psikologi kognitif memiliki landasan filosofil Rasionalisme. Tokoh aliran

filsafat rasionalisme ialah Descartes, Spinoza, dan Leibniz. Dalam rasionalisme,

usaha manusia untuk memberi kepada akal suatu kedudukan yang berdiri sendiri.

Abad ke-17 adalah abad dimulainya pemikiran-pemikiran kefilsafatan dalam arti

yang sebenarnya. Semakin lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar

terhadap kemampuan akal, sehingga tampaklah adanya keyakinan bahwa dengan

kemampuan akal pasti dapat diterangkan segala macam permasalahan dan dapat

dipecahkannya segala macam masalah kemanusiaan.

Dengan berkuasanya akal ini, orang mengharapkan akan lahirnya suatu dunia

baru yang dipimpin oleh akal manusia yang sehat.Aliran filsafat rasionalisme ini

berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah

akal (rasio). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi

syarat yang dituntut oleh sifat umum dan harus mutlak, yaitu syarat yang dituntut

oleh semua pengetahuan ilmiah.

Telaah aksiologi terhadap aliran psikologi kognitif dapat didekati melalui

teori keadilan. Terdapat 2 prinsip teori keadilan, menurut Rawls, yaitu : 1) bahwa

setiap orang memiliki persamaan hak atas kebebasan yang sangat luas hingga

kompatibel dengan hak kebebasan orang lain; 2) ketidaksamaan sosial dan ekonomi

ditata sedemikian sehingga keduanya (sosial dan ekonomi) : a) menjadi bermanfaat

Page 19: Tugas UAS

bagi setiap orang sesuai harapan yang patut, dan b) memberi peluang yang sama bagi

semua untuk segala posisi dan jabatan.

8. Psikologi Eksistensial

Tokoh psikologi eksistensial yang terkenal adalah Ludwig Binswanger

(1881) dan Medard Boss (1903). Psikologi eksistensial menolak konsep tentang

kausalitas, dualisme antara jiwa dan badan, serta pemisahan orang dari

lingkungannya. Psikologi eksistensial tidak mengkonsepsikan perilaku sebagai akibat

dari perangsangan dari luar dan kondisi-kondisi badaniah dalam manusia. Seorang

individu bukanlah mangsa lingkungan dan juga bukanlah makhluk yang teridir dari

insting-insting, kebutuhan-kebutuhan, dan dorongan-dorongan. Manusia memiliki

kebebasan untuk memilih, dan hanya ia sendiri yang bertanggungjawab terhadap

eksistensinya. Manusia dapat mengatasi baik lingkungan maupun badan fisiknya

apabila ia memang memilih begitu. Apa saja yang dilakukannya adalah pilihannya

sendiri. Orang sendirilah yang menentukan akan menjadi apa doa dan apa yang akan

dilakukannya.

Martin Heidegger (1889-1976) seorang filsuf Jerman dan Karl Jaspers (1883-

1969) merupakan pencipta filsafat eksistensial dalam abad ini. Hal yang lebih

penting adalah bahwa Heidegger merupakan jembatan ke arah psikolog dan psikiater.

Ide pokok dalam ontology Heidegger (ontology adalah cabang filsafat yang berbicara

tentang ada atau eksistensi) ialah bahwa individu adalah sesuatu yang ada-di dunia.

Ia tidak ada sebagai diri atau sebagai subyek yang berhubungan dengan dunia luar;

seorang pribadi juga bukan merupakan benda atau obyek atau badan yang

berinteraksi dengan benda-benda lain yang membentuk dunia. Manusia memiliki

eksistensi dengan mengada-di-dunia, dan dunia memiliki eksistensinya karena

terdapat suatu “Ada” yang menyingkapnya. “Ada” dan dunia adalah satu. Barret

menyebut ontology Heidegger dengan teori Medan tentang “Ada”.

Telaah aksiologi terhadap Psikologi Eksistensial dapat didekati dengan teori

etika hak asasi manusia dari John Locke (1632-1704). Menurut John Locke, hak

asasi ditafsirkan sangat individualistic. Hak kebebasan individual, pada hak

negatifnya menjadi tidak mencampuri kehidupan orang lain. Melden (1977)

Page 20: Tugas UAS

berpendapat bahwa hak moral kebebasan individu mempunyai saling keterkaitan

antarindividu.

B. Filsafat Ilmu Sebagai Arah Perkembangan Psikologi

Ilmu psikologi berkembang sangat pesat, kemunculan psikologi positif,

psikologi berbasis budaya local atau sering disebut Indigienous menjadi angina segar

terhadap khasanah psikologi khususnya maupun ilmu sosial pada umumnya. Zaman

kontemporer memiliki dua sisi dalam perjalanannya, harapan dan ketakutan. Di

tengah pesatnya teknologi berkembang, krisis identitas ilmu sebagai alat untuk

mempermudah kehidupan manusia semakin terasa jauh, hal ini dikarenakan

perkembangan ilmu pengetahuan tidak di iringi dengan ‘pengawalan’ etik, moral,

maupun agama sebagai supervisor perkembangan ilmu pengetahuan.

Psikologi islam, sebagai alternatif perkembangan ilmu psikologi dengan

sudut pandang secara agama seakan memberikan angin segar bagi perkembangan

psikologi sendiri dalam bidang kajiannya pada manusia dengan menghadirkan

religiusitas dalam kajian keilmuannya. Meskipun variabel religiusitas sendiri

termasuk ke dalam kategori psikologi positif, namun psikologi islam menawarkan

religiusitas bukan sebagai ‘ketahanan’ individu dalam menghadapi problem-problem

kehidupan, melainkan religiusitas dilihat dari firman tuhan dan ajaran-ajaran islam

dalam kaitannya dengan kehidupan manusia.

Psikologi Islam sebagai sebuah kajian ilmu yang baru dikembangkan di awal

tahun 60an belum banyak orang mengenal, jika dibandingkan dengan psikologi barat

yang usianya telah berabad-abad. Sebagai disiplin ilmu baru, Psikologi Islam lahir

sebagai antitesis terhadap berbagai madzab psikologi modern. Dalam wataknya yang

terbuka saat ini, disiplin ilmu psikologi modern harus meredefinisi dirinya, sehingga

Psikologi Islam bisa menjadi salah satu alternatif yang dapat ditawarkan. Meskipun

Psikologi barat berfokus pada ego sebagai subjek dan objek yang menjadi landasan

sentral paham hedonisme dan individualisme barat, sedangkan psikologi Islam

mendasarkan pada spiritualisme, namun keduanya memiliki titik singgung yang

sama yaitu manusia sebagai objek kajiannya.

Page 21: Tugas UAS

Dalam psikologi barat, psikologi bekerja untuk mengurai tingkah laku,

memprediksi, mengendalikan tingkah laku yang bersifat horisontal dan banyak

berbicara pada perilaku yang nampak. Sementara psikologi Islam banyak berbicara

pada pengubahan perilaku menjadi lebih baik dan bagaimana lebih dekat kepada

Tuhan serta mengembangkan potensi kemanusiaan yang dimiliki. Hal ini merupakan

2 (dua) paradigma yang berlainan tetapi dapat disatukan dalam sebuah perbincangan

dan pertemuan bangunan keilmuan yang utuh.

Meskipun baju psikologi barat nampak bolong di sana sini, kiprahnya hingga

saat ini tetap dominan dan populer. Karena kekokohan dan popularitasnya banyak

psikolog yang berbasis psikologi barat tidak mau mengakui kelahiran ”adik” barunya

yakni psikologi Islam. Bahkan oleh sebagian mereka menganggap adik baru ini

sebagai ”anak haram” yang tidak ilmiah. Sebagian mereka nampak tidak dewasa,

cemburu, tidak suka dan khawatir keberadaan sang adik nantinya akan mengancam

eksistensinya. Sebagian yang lain nampak lebih dewasa, bahkan menaruh harapan

baru pada sang adik, psikologi Islam, yang kelahirannya didambakan oleh banyak

orang. Mereka gembira menyambut kehadirannya dan menerimanya sebagai anggota

barudari The big family of psychology. Sang adik diharapkan dapat menjadi madzab

pelengkap dan alternatif dari madzab yang sudah ada, terutama pada tingkat

psikologi terapan.

Dalam menguraikan kembali sebuah ilmu pengetahuan kita harus melihat

kembali paradigma keilmuan yang dibangun melalui jalur filsafat. Ada 3 (tiga)

komponen dalam membangun sebuah ilmu dalam perspektif filsafat yaitu ontologis,

epistimologis dan aksiologis.  Semua komponen ini tidak dapat dilepaskan untuk

mencapai tingkat kebenaran dan penerimaan dari sebuah ilmu pengatahuan.

Wacana psikologi Islam mulai bergaung semenjak tahun 1978 sebagai suatu

perbincangan publik berskala Internasional pada International Symposium on

Psychology and Islam di Universitas Riyadl Arab Saudi. Wacana ini merupakan

salah satu bentuk terbukanya wacana global tentang islamisasi ilmu pengetahuan

yang dipelopori oleh Ismail Raji Al-Faruqi, Sayyid Hussein Nasr dan Ziauddin

Sardar. Namun demikian sejak tahun 1950an Muhammad Utsman Najati telah

banyak memberikan ceramah tentang Al-Qur’an dan ilmu jiwa. Dengan demikian

pembahasan tentang psikologi yang dikaitkan dengan Islam telah merebak

Page 22: Tugas UAS

bersamaan dengan banyaknya kajian dalam psikologi barat, bukan hanya sekedar

sebuah perilaku ”iri” terhadap perkembangan psikologi barat yang meninggalkan

unsur agama dalam pembahasan manusia.

Secara umum berkembangnya wacana Psikologi Islam sebagai salah satu

”buah Islamisasi sains” atau ”kebangkitan Islam”, tidak hanya tuntutan dari ilmuwan

muslim tetapi juga merupakan hasil kajian beberapa ilmuwan non muslim. Salah

satunya adalah Erich Fromm yang mengungkapkan bahwa manusia modern

menghadapi suatu ironi dimana mereka berjaya dalam menggapai capaian-capaian

material namun kehidupan mereka dipenuhi keresahan jiwa (rentan terhadap stress,

depresi dan merasa teralienasi). Erich Fromm memberi contoh makin

meningkatkanya angka bunuh diri pada usia lansia di beberapa negara Eropa dan

Amerika. Begitu pula pendapat filosuf Bertrand Russell yang mengatakan bahwa

kemajuan material yang dicapai pada peradaban modern tidak dibarengi dengan

kemajuan di bidang moral-spiritual.

Disamping itu adanya gelombang kritisisme ilmu pengatahuan modern

menjadi salah satu faktor pemicu berkembangnya wacana psikologi Islam.

Gelombang kritik ini diilhami oleh buku The Structure of Scientific Revolution karya

Thomas Kuhn yang mengatakan bahwa gelombang revolusi ilmu pengetahaun selalu

ditandai oleh pergeseran dan penggantian dominasi ilmu pengetahuan yang berlaku.

Paradigma ilmu pengetahuan yang lama akan digantikan oleh paradigma baru yang

lebih mampu menjelaskan tentang sebuah fenomena. Sebagai contoh aliran

strukturalisme (consciousness) oleh Wilhelm Wundt digantikan oleh aliran

psikoanalisa (unconsciousness) oleh Sigmund Freud. Aliran ini digantikan oleh

behavioristik (stimulus-respon) oleh John B. Watson dan kemudian oleh Humanistik

(potensi kemanusiaan) oleh Abraham H. Maslow lalu muncul psikologi

transpersonal (potensi spiritual) oleh Anthony Sutich.

Melihat perkembangan paradigma psikologi barat yang telah dipaparkan

diatas, maka tidak menutup kemungkinan psikologi Islam menjadi paradigma

selanjutnya dalam perkembangan ilmu psikologi. Salah satu alasan yang dapat

digunakan adalah bahwa psikologi Islam menempatkan kembali kedudukan agama

dalam kehidupan manusia yang dalam sejarah perkembangan ilmu saling tarik ulur,

menjadi penyempurna konsep perilaku manusia dan menghadirkan kembali faktor

Page 23: Tugas UAS

Tuhan (spiritual) dalam kehidupan manusia serta diyakini mampu menjadi elemen

moral dalam aplikasi ilmu pengetahuan modern sehingga dapat membangun kembali

peradaban manusia.

Mengkaji sebuah keilmuan dalam kategori filsafat ilmu, kita tidak dapat

memisahkan diri dari pembahasan tentang aspek ontologi. Ontologi adalah aspek

dalam filsafat ilmu yang mempelajari tentang objek yang akan ditelaah oleh ilmu

tersebut, bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut dan bagaimana hubungan

antara objek tersebut dengan daya tangkap manusia sendiri (berpikir, merasa dan

mengindera) yang membuahkan pengetahuan.

Kajian ontologi psikologi Islam sama halnya pada psikologi barat yaitu

manusia. Meskipun aspek kajiannya sama tentang manusia tapi dalam konsepnya

memiliki beberapa perbedaan, baik melalui aliran psikoanalisa, behavioristik maupun

humanistik. Perbedaan pemahaman konsep manusia ini akan mempengaruhi pada

penerapan keilmuan itu sendiri, baik di bidang perkembangan, pendidikan, sosial,

klinis maupun industri.

Psikologi Islam hadir dengan menawarkan pembahasan tentang konsep

manusia yang lebih utuh (komprehensif). Manusia tidak hanya dikendalikan oleh

masa lalu tetapi juga mampu merancang masa depan. Manusia tidak hanya

dikendalikan lingkungan tetapi juga mampu mengendalikan lingkungan. Manusia

memiliki potensi baik tetapi juga potensi buruk (terbatas). Konsep manusia dalam

psikologi Islam adalah bio-sosio-psikis-spiritual, artinya Islam mengakui

keterbatasan aspek biologis (fisiologis), mengakui peran serta lingkungan

(sosiokultural), mengakui keunggulan potensi dan juga memerankan aspek spiritual

(Tuhan) dalam kehidupan manusia.

Manusia mempunyai 2 (dua) unsur yaitu jasmaniah (materi) dan rohaniah

(non materi) yang secara umum dapat dijelaskan melalui konsep bio-sosio-psikis-

spiritual yang dalam perkembangan psikologi barat tidak diakui keberadaannya.

Perilaku manusia terbentuk oleh hasil kolaborasi semua unsur, tidak ada reduksi

antar unsur sehingga pemahaman tentang manusia dapat menemukan titik temu yang

utuh.

Islam menawarkan konsep manusia melalui pemahaman agama (wahyu

Tuhan). Memahami manusia tidak dapat dilepaskan dari konsep ruh (daya ikat

Page 24: Tugas UAS

pencipta dan makhluknya), hati (qalbu) sebagai pengendali perilaku manusia, nafs

yang menjadi wadah potensi manusia (baik-buruk) serta akal sebagai tempat nalar

dan daya pemahaman tentang pilihan perilaku. Memahami manusia tidak hanya

terbatas pada observable area tetapi juga yang unobservable area dan unconceivable

area (tidak dapat dipikirkan atau dirasakan).

Konsep unsur manusia dalam Islam diambil dari wahyu Tuhan tidak dapat

diragukan kebenarannya. Tuhan adalah pencipta manusia yang tentunya sangat

mengetahui hasil ciptaannya, sehingga acuan yang paling tepat untuk memahami

manusia adalah dari kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan meskipun dalam

aplikasinya terdapat pola penafsiran yang berbeda.

Kajian epistemologi menekankan pada proses atau prosedur timbulnya ilmu

pengatahuan, hal-hal yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang

benar dan cara yang digunakan untuk membantu mendapatkan pengetahuan.

Epistemologi merupakan satu-satunya jalur untuk melihat metode pencarian

kebenaran dari sebuah ilmu pengetahuan. Kesalahan dalam menentukan metode akan

menurunkan kualitas keilmuan tersebut sehingga hasil dari pencarian kebenaran akan

banyak menyisakan pertanyaan-pertanyaan.

Secara epistemologi perkembangan psikologi barat bermula dari

pengembangan metode ilmiah ilmu eksakta, sehingga hasil keilmuannya bermuara

pada pengukuran kuantitatif-eksperimen untuk menjamin objektifitas. Perkembangan

keilmuan yang sedemikian rupa merupakan efek dari penerimaan ilmu eksakta yang

melebihi penghargaan dari ilmu sosial, sehingga para ilmuan sosial berbondong-

bondong mengadopsi metode ilmiah eksakta untuk dipergunakan pada ilmu sosial

termasuk psikologi.

Psikologi Islam menawarkan konsep tentang perluasan bidang kajian dan

metode yang dipergunakan untuk mencari kebenaran meskipun tetap berlandaskan

pada wahyu Tuhan (agama). Metode pencarian kebenaran tidak hanya

mempergunakan indra yang memiliki banyak keterbatasan, tetapi juga

mempergunakan potensi non-indrawi yang berwujud intuisi yang nilai kebenarannya

sama-sama relatif dan wahyu yang kebenarannya tak terbantahkan.

Disamping itu metode keyakinan dan otoritas juga bisa digunakan untuk

membangun sebuah teori dalam ilmu psikologi. Hal ini merupakan salah satu aspek

Page 25: Tugas UAS

pemahaman dan ketundukan terhadap kebenaran kitab suci sebagai wahyu dari

pencipta manusia serta pengakuan kita terhadap orang-orang yang memiliki

kemampuan dalam menafsirkan ilmu psikologi melalui ilmu agama. Kedua metode

ini perlu mendapat pengakuan untuk mengembangkan teori psikologi yang mencoba

memahami manusia secara lebih komprehensif baik dari aspek materi maupun non

materi.

Keberadaan metode-metode tersebut untuk membangun teori psikologi Islam

membutuhkan kesepakatan dari penggagas ilmu psikologi Islam dan tidak

membutuhkan persetujuan dari ilmuwan non Islam. Hal ini juga telah berlaku untuk

pembangunan metode ilmiah bidang psikologi yang senantiasa memperhatikan aspek

objektifitas dan empirik meskipun banyak perilaku manusia yang mulai tidak dapat

didekati hanya pada pendekatan empiris. Jika kesepakatan tentang objektifitas

berdasarkan metode tersebut telah dicapai maka psikologi Islam tidak lagi menjadi

pseudo ilmiah tetapi sudah menjadi ilmiah bahkan bisa mencapai supra ilmiah karena

persyaratan ilmiah telah terpenuhi.

Aksiologi merupakan bagian dari sistematika filsafat ilmu yang berupa

mencari tahu kegunaan ilmu tersebut, cara penggunaan dengan kaidah moral,

penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan moral dan prosedur

operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral.

Psikologi Islam mempunyai potensi untuk menjawab permasalahan umat

yang lebih komprehensif dibandingkan psikologi barat karena konsep manusia lebih

terintegrasi. Bahkan banyak penelitian-penelitian yang membuktikan

terselesaikannya permasalahan kehidupan (psikologis) ketika solusi yang diberikan

dikaitkan dengan pemaknaan terhadap perilaku beragama. Ini semua membuktikan

bahwa dalam aspek aksiologi keberadaan psikologi Islam tidak dapat terbantahkan,

artinya mampu memberikan kontribusi atau kemanfaatan yang besar bagi umat

manusia melalui aplikasi praktis keilmuannya.

Psikologi Islam ibarat rumah yang berasitektur paling profesional dengan

miniatur sebuah istana kokoh yang dapat menampung banyak orang, dengan

bermodalkan bahan-bahan pilihan dan berkualitas tinggi. Namun hingga saat ini

bangunan itu masih belum bisa berdiri dengan baik, bahkan para mandor masih sibuk

berwacana tentang pondasi (epistimologi dan metodologinya).

Page 26: Tugas UAS

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. (2009). Psikologi Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Brennan, J. F. (2006). Sejarah dan Sistem Psikologi. Ed. Keenam. Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada.

Davidoff, Linda L. (1988). Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta : Erlangga.

Hall, Calvin S. dan Lindzey, Gardner. (1993). Teori-Teori Holistik (Organismik-

Fenomenologi). Yogyakarta: Kanisius.

Koento Wibisono, S. Diktat kuliah: Sejarah Pengembangan Ilmu Pengetahuan,

Teknologi, Dan Seni Suatu Tinjauan Dari Perspektif Filsafat. Yogyakarta:

Magister Sains Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Muhadjir, Noeng. (1998). Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif.

Yogyakarta: Rake Sarasin.

Mustansyir, R., dan Munir, M. (2009). Filsafat Ilmu. Cetakan Kesembilan.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

The Liang Gie. (2007). Pengantar Filsafat ilmu. Yogyakarta: Liberty.