Tugas Teori Hukum.doc

20
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perjanjian baku atau juga dikenal dengan kontrak standar atau kontrak baku, mudah dijumpai di dalam kehidupan sehari-hari, terlebih dalam hal bisnis yang dilakukan oleh masyarakat. Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract. Kontrak Standar merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. 1 1 ? Munir Fuady, 2002, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 76.

description

tugas kuliah

Transcript of Tugas Teori Hukum.doc

Page 1: Tugas Teori Hukum.doc

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perjanjian baku atau juga dikenal dengan kontrak standar atau kontrak baku,

mudah dijumpai di dalam kehidupan sehari-hari, terlebih dalam hal bisnis yang

dilakukan oleh masyarakat. Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa

Inggris, yaitu standard contract. Kontrak Standar merupakan perjanjian yang telah

ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara

sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah.

Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh

hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah

tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak,

yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya

mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan

dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak

mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau

mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga

biasanya kontrak baku sangat berat sebelah.1

Dalam praktek hukum perjanjian dikenal berlakunya asas kebebasan

berkontrak. Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan pemahaman bahwa

setiap orang dapat melakukan suatu kontrak dengan siapapun juga dan untuk hal

apapun. Aturan hukum yang berlaku di Indonesia juga memberikan dasar bagi

keberlakuan asas tersebut. Pasal 1338 ayat 1 Burgerlijk Wetboek (BW: yang

diterjemahkan oleh para ahli sebagai Kitab Undang-undnag Hukum Perdata)

memberikan dasar bagi asas kebebeasan berkkontrak. Namun demikian, kebebasan ini

bukan berarti bebas sebebas-bebasnya, tapi menekankan bahwa para pihak dapat

bebas untuk mengadakan kontrak berdasarkan yang diperlukan. Selain itu, kebebasan

tersebut tidak boleh bertetangan dengan undang-undang maupun kesusilaan (pasal

1320 BW).

Dalam melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan

pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu 1

? Munir Fuady, 2002, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 76.

Page 2: Tugas Teori Hukum.doc

2

terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk

menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan

berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (kalusul eksemsi) dalam

perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena

alasan demi kepentingan umum (public interest).2

Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak

yang mutlak.Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat

berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat. Pembatasan-

pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini dikenal dan diakui

oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas ternyata telah bertambah

dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh hukum

perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan dalam

rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan

perundang-undangan (legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan dari

diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang

timbul dari kebutuhan bisnis.

Di Indonesia dapat dijumpai tindakan negara yang merupakan campur tangan

terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang paling

dikenal adalah yang menyangkut hubungan antara buruh dan majikan/pengusaha.

Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas

kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi saja yang mempunyai kekuatan hukum untuk membatasi

bekerjanya asas kebebasan berkontrak.

Penerapan kontrak baku di Indonesia secara praktis memang sangat diperlukan

untuk mempermudah dilakukannya transaksi-transaksi bisnis tertentu. Apabila dilihat

secara anatominya tentu tidak terlalu menjadi permasalahan. Namun, yang menjadi

permasalahan adalah kedudukan para pihak yang sangat timpang, di mana ada pihak

yang sangat kuat, dan ada pihak yang sangat lemah. Belum lagi dengan

dimasukkannya klausula-klausula eksonerasi. Dalam transaksi bisnis, sering dijumpai

suatu perjanjian baku di mana salah satu pihak adalah pihak yang membuat perjanjian

baku tersebut yang kedudukannya sebagai penyedia jasa atau barang, sedangkan

pihak lainnya adalah pihak yang membutuhkan. Tingkat kebutuhan pihak yang

2

? Lukman Santoso, 2012, Hukum Perjanjian Kontrak, Cakrawala, Yogyakarta, Hal 35

Page 3: Tugas Teori Hukum.doc

3

membutuhkan ini seringkali membuatnya terpaksa untuk menandatangani suatu

perjanjian baku untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Walaupun sebenarnya isi

perjanjian baku tersebut sangat memberatkan bagi pihak yang membutuhkan tersebut,

namun baginya tidak ada jalan lain lagi. Contoh konkritnya adalah perjanjian baku

oleh lembaga pembiayaan yang memungkinkan seseorang membeli suatu barang yang

ia butuhkan dengan cara barang tersebut dibayarkan terlebih dahulu oleh lembaga

pembiayaan, kemudian orang tersebut akan membayarnya dengan mencicil kepada

lembaga pembiayaan terkait. Hal ini ditempuh oleh seseoang karena kebutuhan yang

mendesak akan suatu barang sedangkan ketersediaan uang sangat terbatas. Yang jadi

permasalahan adalah beratnya bunga yang harus dibayar oleh pihak yang dibiayai,

belum lagi kesalahan-kesalahan tertentu yang bahkan tidak disengaja pun dapat

mengakibatkan ia kehilangan barangnya tersebut karena ditarik oleh pihak lembaga

pembiayaan tersebut, bahkan uang cicilan yang sudah dibayarkan tersebut tidak

dikembalikan sepeserpun, sebagaimana yang diatur dan disepakati oleh para pihak

dalam perjanjian baku tersebut. Tentunya ini sangat tidak adil bagi kalangan yang

tingkat ekonominya rendah. Atas dasar inilah penulis ingin memberikan gambaran

akan penerapan perjanjian baku ini dari segi keadilan, karena salah satu tujuan hukum

adalah keadilan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapatlah untuk dirumuskan suatu

rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini yaitu:

1. Apakah perjanjian baku telah mecederai prinsip keadilan?

2. Bagaimana pandangan terori keadilan terhadap penerapan perjanjian baku?

1.3 Pendekatan

Penulisan makalah ini menggunakan pendekatan kasus, atau dikenal denga

istilah case approach. Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan sudut pandang

kasus-kasus yang banyak terjadi di dalam praktek hukum masyarakat.

1.4 Landasan Teoritis

a. Perjanjian Secara Umum

Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

Page 4: Tugas Teori Hukum.doc

4

orang lain atau lebih.” Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut

sangat kurang lengkap dan terlalu luas. Definisi tersebut tidak lengkap karena hanya

merumuskan perjanjian sepihak saja. Disebut terlalu luas karena dapat mencangkup

perjanjian kawin juga, yang mana merupakan perbuatan di lapangan hukum keluarga.

Padahal yang dimaksud dalam Buku III KUHPerdata ini sebenarnya hanyalah

perjanjian yang bersifat personal, selain itu juga mencangkup perbuatan melawan

hukum. Sedangkan dalam perbuatan melawan hukum tidak ada unsur persetujuan.3

Berikut ini ada beberapa pengertian perjanjian oleh para ahli dari bebrapa

sumber, antara lain:

1. Abdul Kadir Muhammad, mengartikan perjanjian sebagai suatu

persetujuan dengan mana satu orang lain atau lebih saling mengikatkan

diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum kekayaan.4

2. Sudikno Mertokusumo, mengartikan perjanjian sebagai suatu hubungan

hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan pada kata sepakat untuk

menimbulkan akibat hukum.5

3. Subekti, mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa di mana

seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling

berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah

suatu hubungan antara dua orang yang membuatnya.6

Melalui pengertian-pengertian perjanjian di atas dapat ditemukan unsur-unsur

perjanjian. Unsur-unsur tersebut terdiri atas:

1. Kata sepakat dari dua pihak atau lebih;

2. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak;

3. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum;

4. Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang

lain atau timbal balik; dan

5. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan.7

3

? Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Pedata Hukum Perutangan Bagian B, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, h.1 4

? Abdul Kadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, h.785

? Sudikno Mertokusumo, 1989, Mengenai Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h.966

? R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.17

Page 5: Tugas Teori Hukum.doc

5

Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa

perjanjian melahirkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Suatu perjanjian

juga dinamakan persetujuan karena dua perkataan (perjanjian dan persetujuan)

memiliki arti yang sama, sedangkan perkataan “kontrak” memiliki pengertian yang

lebih sempit, karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan tertulis.8

Pasal 1320 KUHPerdata mengatur mengenai syarat-syarat sahnya suatu

perjanjian. Ketentuan pasal tersebut mengatur:

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengkatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat awal dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai subyek

atau pihak-pihak yang yang mengadakan perjanjian. Dua syarat terakhir dinamakan

syarat-syarat obyektif karena mengenai obyek atau hal yang diperjanjikan di dalam

suatu perjanjian yang dibuat.

b. Perjanjian Baku / Kontrak Standar

Definisi dari kontrak standar itu sendiri adalah kontrak tertulis yang dibuat

hanya oleh salah satu pihak dan didalam kontrak tersebut sudah tercetak dalam bentuk

formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak

tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informative

tersebut saja dengan sedikit atau tanpa perubahan pada klausula-klausulanya, dimana

pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya memiliki

sedikit kesempatan guna menegosiasi maupun mengubah klausula-klausula yang

sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut. Sehingga sangat berat sebelah. Pihak yang

disodorkan kontrak baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi

dan berada hanya pada posisi “take it or leave it”.

Ciri perjanjian baku menurut Mariam Darus Badrulzaman ialah9 :

? Herlien Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung h.58

? ibid, h.149

? Ibid, Hal. 48

Page 6: Tugas Teori Hukum.doc

6

1) Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya)

kuat.

2) Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi

perjanjian

3) Terdororng oleh kebutuhannya debitur terpakasa menerima perjanjian itu

4) Bentuk tertentu (tertulis)

5) Dipersiapkan secara missal dan kolektif.

Implementasi kontrak standar biasa digunakan dimana banyak diterapkan

dalam dunia bisnis dan perdagangan dimaksudkan untuk mempermudah operasi

bisnis dan mengurangi ongkos-ongkos bisnis. Adapun yang merupakan contoh-contoh

dari kontrak baku yang sering dilakukan dalam praktek adalah sebagai berikut10 :

1) Kontrak (polis) asuransi

2) Kontrak di bidang perbankan

3) Kontrak sewa guna usaha

4) Kontrak jual beli rumah atau apartemen dari perusahaan Real Estate

5) Kontrak sewa-menyewa gedung perkantoran

6) Kontrak pembuatan credit card

7) Kontrak pengiriman barang (darat, laut dan udara)

8) Dll

c. Teori Keadilan

1) Teori Keadilan Menurut Thomas Aquinas11:

Thomas Aquinas, dalam hubungannya dengan keadilan mengajukan

tiga struktur fundamental (hubungan dasar), yaitu:

a) Hubungan antar individu (ordo partium ad partes)

b) Hubungan antara masyarakat sebagai keseluruhan dengan individu

(ordo totius ad partes)

c) Hubungan antara individu terhadap masyarakat secara keseluruhan

(ordo partium ad totum)

10Munir Fuady, Op. Cit., Hal. 56

11Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, Hal. 37

Page 7: Tugas Teori Hukum.doc

7

Lebih jauh lagi menurut Thomas Aquinas, keadilan distributif pada

dasarnya merupakan penghormatan terhadap person manusia (acceptation

personarum) dan keluhurannya (dignitas). Dalam Konteks keadilan

distributif, keadilan dan kepatutan (equity) tidak tercapai semata-mata

dengan penetapan nilai yang aktual, melainkan juga atas dasar kesamaan

antara satu hal dengan hal yang lainnya (aequalitas rei ad rem). Ada dua

bentuk kesamaan yaitu:

a. Kesamaan proporsionalitas (acqualitas proportionis)

b. Kesamaan kuantitas atau jumlah (acqualitas quantitas)

Thomas Aquinas juga berpendapat bahwa penghormatan terhadap

person dapat terwujud apabila ada sesuatu yang dibagikan / diberikan kepada

seseorang sebanding dengan yang seharusnya ia terima. Dengan dasar itu

maka pengakuan terhadap person harus diarahkan pada pengakuan terhadap

kepatutan, kemudian pelayanan dan penghargaan didistribusikan secara

proporsional atas dasar harkat dan martabat manusia.

2) Teori Keadilan Rawls.

Teori Keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls bertitik tolak pada

terma Posisi Asali yaitu status quo awal yang menegaskan bahwa kesepakatan

fundamental yang dicapai adalah fair12. Semua orang mempunyai hak yang

sama dalam prosedur memilih prinsip; setiap orang bisa mengajukan usulan,

menyampaikan penalaran mereka, dan lain-lain13.

Dalam konteks ini Rawls menyebut “justice as fairness” yang ditandai

dengan adanya prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan. Oleh karena itu

diperlukan prinsip-prinsip keadilan yang lebih mengutamakan asas hak

daripada asas manfaat. Salah satu prinsip keadilan distributif yang

dikemukakan oleh Rawls yaitu prinsip the greatest equal principle, bahwa

setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling

luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hak yang

paling mendasar (hak asasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata

12

? Ibid, Hal. 38

13 Ibid

Page 8: Tugas Teori Hukum.doc

8

lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang,

maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak)14.

BAB II

PRINSIP KEADILAN DALAM KAITANNYA DENGAN PELAKSANAAN

PERJANJIAN BAKU ATAU KONTRAK STANDAR

14 ibid

Page 9: Tugas Teori Hukum.doc

9

Sebenarnya kontrak baku itu sendiri tidak begitu menjadi persoalan secara

hukum, mengingat kontrak baku sudah menjadi kebutuhan dalam praktek dan menjadi

kebiasaan sehari-hari. Yang menjadi persoalan adalah ketika kontrak baku tersebut

mengandung unsur yang  tidak adil bagi salah satu pihak, sehingga apabila hal yang

demikian dibenarkan oleh hukum sangat menyentuh rasa keadilan dalam masyarakat.

       Pada penerapannya sehari-hari dalam pembuatan kontrak baku sangat minim

menerapkan asaa kebebasan berkontrak. Padahal asa kebebasan berkontrak

mengandung makna bahwa masyarakat mempunyai kebebasan untuk membuat

perjanjian sesuai dengan kepentingan masing-masing. Kebebasan tersebut meliputi:

a. kebebasan para pihak untuk memutuskan apakah akan membuat perjanjian

atau tidak

b. kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuatsuatu perjanjian

c. kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian

d. kebebasan untuk menentukan isi perjanjian

e. kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjanjian

        Pada dasarnya asas kebebasan berkontrak mengutamakan kebebasan dan

kesederajatan tiap manusia. Munculnya revolusi industri telah melahirkan

perusahaan-perusahaan raksasa yang memegang monopolidalam segala bidang.

Dalam melakukan kegiatannya mereka menggunakan kontrak baku yang tidak

menjadi kebebasan dan kesederajatan individu. Akibatnya asas kebebasan berkontrak 

yang menjadi cermin dari kebebasan dan kesedarajatan individu kurang atau bahkan

tidak digunakan lagi dalam hukum perjanjian.

Namun seiring dengan berkembangnya paham Welfare State menyebabkan

semakin besarnya keikutsertaan negara dalam mengatur dan mengelola berbagai

lapangan kehidupan masyarakat. Muncullah berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh

negara, misalnya tentang perlindungan terhadap buruh yang wajib dimasukkan dalam

perjanjian. Gejala ini justru juga mengakibatkan asas kebebasan berkontrak kurang

atau bahkan tidak dapat diwujudkan walapun perjanjian tersebut terjadi antar

individu.

Adanya klausul eksenorasi dalam kontrak baku semakin menunjukan

ketidakbebasan dan ketidak sederajatan para pihak dalam menentukan pemikul

resiko,karena klausul eksenorasi disadari atau tidak wajib ditaatioleh debitur.

Jadi pada intinya makna dari asas kebebasan berkontrak harus dihindarkan

dari makna bebasnya para pihak untuk membentuk hukumnya sendiri. Para pihak

Page 10: Tugas Teori Hukum.doc

10

sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk membuat Undang-undang bagi

mereka. Mereka hanya diberi kebebasan untuk memilih hukumnya, hukum mana yang

hendak digunakan sebagai dasar dari kontrak yang dibuat.

Penggunaan kontrak baku menyebabkan asas kebebasan berkontrak kurang

atau bahkan tidak diwujudkan, misalnya:

a. kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian, karena perjanjian

selalu berbentuk tertulis

b. kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian, karena dalam

perjanjian standart sepihak, timbal balik, maupun berpola, isi perjanjian sudah

ditetapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak, organisasi ataupun ahli

c. kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian, karena cara

pembuatannya sudah ditetapkan oleh pihak, organisasi atau para ahli

        Sementara itu kebebasan-kebebasan yang masih dapat diwujudkan dalam

implementasi Asas Kebebasan Berkontrak ini adalah:

a. kebebasan untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau tidak

b. kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat suatu perjanjian

Analisis Teori Keadilan dalam Perjanjian Baku / Kontrak Standar.

Teori Thomas Aquinas:

Hubungan yang terjadi pada perjanjian secara umum adalah hubungan antar

individu (ordo partium ad partes). Begitu pun yang terjadi pada perjanjian baku atau

kontrak standar. Keadilan menurut teori Thomas Aquinas menitikberatkan pada

keadilan distributif. Dalam Konteks keadilan distributif, keadilan dan kepatutan

(equity) merupakan tolak ukurnya, hal ini tidak tercapai semata-mata dengan

penetapan nilai yang aktual, melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu hal

dengan hal yang lainnya (aequalitas rei ad rem). Ada dua bentuk kesamaan yaitu:

a. Kesamaan proporsionalitas (acqualitas proportionis)

Dari segi ini, apabia digunakan sebagai tolok ukur bagi perjanjian baku, maka

dapat memberikan gambaran bahwa perjanjian baku masih sangat tidak

proporsional di dalam hal menentukan tanggung jawab para pihak serta

kedudukan para pihak. Pihak pembuat perjanjian baku cenderung

mengarahkan isi dari perjanjian ke bentuk atau format yang lebih

menguntungkan dirinya. Hal ini tidak lepas kaitannya dengan tujuan dari

bisnis adalah mencari keuntungan serta berusaha menekan resiko sekecil-

Page 11: Tugas Teori Hukum.doc

11

kecilnya. Ini yang membuat sering kali substansi dari perjanjian baku sangat

timpang. Belum lagi bila di dalamnya dimasukkan klausula eksonerasi yang

mana berusaha mengalihkan tanggung jawab pihat kreditur kepada pihak

debitur.

b. Kesamaan kuantitas atau jumlah (acqualitas quantitas)

Untuk kesamaan kuantitas di dalam perjanjian baku tidak terlalu nampak

adanya ketidak sesuaian. Hal ini disebabkan oleh perjanjian merupakan suatu

kesepakatan. Isi dari kesepakatan belum tentu merupakan suatu pembagian

barang yang dapat dihitung dalam jumlah. Perjanjian lebih menekankan pada

keseimbangan anatara hak dan kewajiban para pihak yang membuat

perjanjian.

Thomas Aquinas juga berpendapat bahwa penghormatan terhadap person dapat

terwujud apabila ada sesuatu yang dibagikan / diberikan kepada seseorang sebanding

dengan yang seharusnya ia terima. Dalam perjanjian secara umum, dan perjanjian

baku secara khusus, pembagian yang dimaksud adalah kearah pelaksanaan prestasi

oleh para pihak dalam perjanjian. Apabila prestasi tidak dilaksanakan sesuai dengan

apa yang diperjanjikan maka terjadi yang disebut dengan wanprestasi.

Teori John Rawls:

Teori keadilan dari Rawls berintian pada “Justice as fairness” yang ditandai

dengan adanya prinsip rasionalitas, kebebasan, dan kesamaan hak bagi setiap orang.

Semua orang mempunyai hak yang sama dalam prosedur memilih prinsip; setiap

orang bisa mengajukan usulan, menyampaikan penalaran mereka, dan lain-lain.

Jika dihubungkan dengan keberadaan perjanjian baku atau kontrak standar ini

maka dapat ditarik suatu pandangan bahwa perjanjian baku atau kontrak standar tidak

mencerminkan keadilan menurut Teori Rawls. Hal ini didasari oleh:

a. perjanjian baku atau kontrak standar seringkali substansinya kurang rasional.

Hal ini disebabkan oleh penyusunan klausula-klausula yang sangat kental

dengan nuansa pemihakan pada pihak yang membuat kontrak, dan

membebankan tangung jawab yang besar bagi pnerima kontrak, dalam hal ini

biasanya adalah pihak yang tingkat ekonominya lebih rendah.

b. kurangnya kebebasan berkehendak dari para pihak. Yang paling bebas

berkehendak adalalah hanya pada pihak pembuat kontrak saja. Pihak lainnya

Page 12: Tugas Teori Hukum.doc

12

sebagi pihak penerima hanya memiliki pilihan menyetujui perjanjian dan

kemudian menandatangani, atau tidak menyetujui perjanjian dan kemudian

pergi. Mengenai substansi perjanjian, tidak ada kebebasan dari pihak yang

lebih rendah kedudukannya untuk ikut ambil bagian di dalam penyusunannya.

c. Tidak adadnya kesamaan hak dan kewajiban. Pihak pembuat kontrak

(penyedia kontrak) memiliki hak yang lebih besar ketimbang penerima

kontrak yang kewajibannya jauh lebih besar. Hal ini sering kali dipicu

keinginan pihak pengusaha sebagi pembuat kontrak untuk terhindar dari segala

bentuk tanggung jawab yang semestinya merupakan tangghung jawabnya.

Jadi, dari analisis ini jelas ditunjukkan bahwa perjanjian baku atau kontrak

standar tidak memenuhi kriteria keasilan sebagaimana dimaksud oleh Rawls. Dengan

demikian, perjanjian baku atau kontrak standar merupakan suatu bentuk

ketidakadilan.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan analisis di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa praktik

perjanjian baku atau kontrak standar telah mencederai prinsip keadilan. Begitu pula

menurut teori-teori terkait, bahwa praktik perjanjian baku atau kontrak standar tidak

memenuhi unsur-unsur untuk dapat dikategorikan memnuhi unsur keadilan.

Saran

Perlu ada perhatian khusus dari pemerintah, serta membuat aturan terkait

pembatasan serta batasan-batasan mana yang harus dipenuhi para pihak agar tidak

terjadi ketimpangan kepentingan serta ketidak seimbangan kedudukan antar para

pihak di dalam suatu perjanjian baku atau kontrak standar.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung

Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil, LaksBang Mediatama, Yogyakarta

Page 13: Tugas Teori Hukum.doc

13

Herlien Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung

Lukman Santoso, 2012, Hukum Perjanjian Kontrak, Cakrawala, Yogyakarta

Munir Fuady, 2002, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Pedata Hukum Perutangan Bagian B, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta

Sudikno Mertokusumo, 1989, Mengenai Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta