TUGAS SOSIOLOGI 1
-
Upload
almira-raissa-ariman -
Category
Documents
-
view
213 -
download
0
description
Transcript of TUGAS SOSIOLOGI 1
SEKTOR INFORMAL PADA RUANG TERBUKA PUBLIK
(Studi Kasus : Lapangan Merdeka Kota Langsa)
PROGRAM STUDI MAGISTER ARSITEKTURFAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA2015
Sosiologi dan Partisipasi Masyarakat
Dosen Pengasuh : Ir. Samsul Bahri, MT
Mahasiswa : Almira Raissa 157020004
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan
Dalam sebuah kota dengan pengelompokkan masyarakat menengah kebawah
yang besar sangat dibutuhkan sebuah ruang terbuka yang disebut ruang publik
kota sebagai ruang dengan batasan-batasan yang digunakan masyarakat sebagai
ruang untuk melakukan kegiatan-kegiatan diluar kegiatan sehari-hari atau sebagai
tempat hiburan alternatif. Hal ini disebabkan oleh keterampilan yang terbatas dan
perekonomian yang terbatas juga yang tidak memungkinkan mereka masuk ke
dalam sektor formal.
Kehadiran sebuah ruang terbuka publik pada sebuah kota dianggap sangat
penting, karena ruang publik (public space) pada dasarnya merupakan suatu
wadah yang dapat menampung aktifitas/kegiatan tertentu dari masyarakatnya,
baik secara individu maupun kelompok (Hestin Mulyandari, 2010)
1.2. Ruang Publik Perkotaan
Menurut Madanipour (1996), ruang publik perkotaan (public urban space)
memungkinkan dan membiarkan masyarakat yang berbeda kelas, etnik, gender,
dan usia saling bercampur baur. Sedangkan menurut Tibbalds (2001) bidang
publik dalam ruang perkotaan adalah semua jaringan perkotaan yang dapat
diakses secara fisik dan visual oleh masyarakat umum, termasuk jalan, taman dan
lapangan/alun-alun. (Drs. Paulus Hariyono, M.T, 2007).
Dalam ruang publik kota biasanya banyak bermunculan sektor-sektor
informal seperti para pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di ruang publik
kota sehingga bermunculan permasalahan-permasalahan sosial dalam kota.
1.3. sektor informal
Akibat penduduk kota yang melonjak adalah terdapat kelompok-kelompok
masyarakat di kota dengan berbagai macam ragam. Ada lapisan masyarakat atas,
menengah, dan bawah. Lapisan masyarakat menengah ke atas umumnya mampu
memasuki sektor formal karena mamiliki keterampilan, tingkat pendidikan yang
cukup dan akses yang dimilikinya. Lapisan masyarakat menengah kebawah
dengan keterampilan, pendidikan, dan akses yang terbatas peluang untuk
memasuki sektor formal sangat terbatas. Akhirnya mereka menggeluti sektor
informal yang tidak mensyaratkan kriteria yang berlebih. Jenis usaha yang digelar
oleh pedagang sektor informal antara lain warung makan semi permanen di kaki
lima; menjajakan makanan dengan menggunakan gerobak; menjual minuman dan
makanan di tempat keramaian; bahkan beberapa bentuk permainan dan hiburan
yang menghasilkan keuntungan.
Sektor informal dapat dibagi menjadi dua, yaitu sektor informal yang sudah
tertata dan yang tidak tertata. Sektor informal yang tidak tertata cenderung
memberikan kesan kumuh pada lingkungan setempat, baik mengenai lingkungan
sosial maupun lingkungan fisik seperti : kebersihan, kenyamanan, dan keamanan
(Drs. Paulus Hariyono, M.T, 2007)
Menurut Wirosardjono (1979) mengemukakan ciri-ciri sektor informal
sebagai berikut.
1. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun
penerimaan.
2. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan oleh pemerintah sehingga kegiatannya sering dikatakan “liar”.
3. Modal, peralatan, dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan
diusahakan atas dasar hitungan harian.
4. Tidak mempunyai tempat tetap.
5. Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang
berpendapatan rendah.
6. Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus sehingga dapat
menyerap bermacam-macam tingkatan tenaga kerja.
7. Umumnya satuan usaha mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari
lingkungan hubungan keluarga, kenalan, atau berasal dari daerah yang sama.
8. Tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan, dan sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
Penjelasan mengenai Ruang Publik Kota dan Sektor Informal diatas jelas
memiliki hubungan yang sangat erat. Kebanyakan ruang publik kota pasti
dipenuhi oleh sektor-sektor informal disekitarnya, sehingga terkesan mengganggu
pemandangan ruang publik kota.
Sama halnya seperti Lapangan Merdeka di Kota langsa yang memiliki
fungsi sebagai pusat kegiatan formal untuk segala aktifitas pemerintahan seperti
upacara dan acara-acara penting karena posisi nya bersebelahan dengan kantor
pemerintahan Kota Langsa dan rumah dinas Walikota Langsa, namun sekarang
sudah memiliki dua fungsi yaitu sebagai ruang publik kota yang dimanfaatkan
sebagian penduduk Kota Langsa dan terdapat banyak sektor informal yang
menempati area ini, namun sektor informal yang dimaksudkan kali ini adalah
sektor informal yang belum tertata.
Menigkatnya orang yang berjualan di jalan, seperti pedagang kecil adalah
masalah sosial dalam sebuah kota. Pedagang kecil dan tukang parkir, yang
melakukan sistem pekerjaan dengan sistem informal dijalan juga rentan terhadap
eksploitasi, kekerasan dan bentuk pemisahan sosial yang jauh dari kesejahteraan
fisik dan sosial (Hestin Mulyandari, 2010).
Selain masalah sosial yang disebutkan diatas, masih terdapat beberapa
masalah sosial lainnya yang diakibatkan oleh adanya sektor informal ini antara
lain seperti :
1. kemacetan lalu lintas yang tidak teratur yang diakibatkan oleh pengguna
kendaraan yang menggunakan bahu jalan sebagai parkir,
2. sampah berserakan di tengah lapangan,
3. pemandangan yang mengganggu.
Sebenarnya masalah-masalah sosial ini terjadi akibat tidak adanya ruang
publik kota yang seharusnya, sehingga memanfaatkan ruang tebuka yang ada di
pusat kota. Tetapi kalau kita lihat dari sisi masyarakat pengguna ruang terbuka
banyak nilai positif bagi mereka, yaitu :
1. peningkatan pendapatan pedagang kaki lima yang menjajakan makanan dan
minuman,
2. hiburan alternatif bagi masyarakat menengah kebawah,
3. hubungan interaksi sosial yang terjadi antar mansyarakat pengguna ruang
terbuka
BAB III
KESIMPULAN
Ketersediaan sebuah ruang publik kota dianggap sangat penting dalam
pembangunan sebuah kota, karena didalam kota terdapat masyarakat-masyarakat
yang hidup secara berdampingan (sosial) dan melakukan interaksi sosial dengan
masyarakat lainnya. Untuk itu sangat dibutuhkan sebuah ruang publik kota yang
tertata sebagai wadah segala kegiatan diluar kegiatan utama seorang manusia.
Ketidakteraturan sebuah ruang publik kota mengakibatkan masyarakat
sebagai pengguna ruang publik kota tidak menjaga kebersihan dan kenyamanan
ruang publik kota tersebut, sehingga sangat terlihat jelas ruang publik kota yang
tidak teratur biasanya mengganggu kenyamanan visual oleh masyarakat lainnya.
Akibat dari tidak teraturnya ruang sistem ruang publik kota dan jauh dari
pengelolaan pemerintah setempat mengakibatkan munculnya banyak masalah
sosial seperti menjamurnya pedagang kaki lima (PKL), parkir pada bahu jalan,
kemacetan lalu lintas, sampah yang berserakan dan premanisme, ini dikarenakan
oknum-oknum swasta yang menjalankan retribusi parkir yang tidak dialokasikan
ke daerah, tentu ini merusak sistem keuangan daerah tersebut. Ruang terbuka
publik yang teratur juga diharapkan dapat menampung kegiatan sektor informal
secara teratur dan terorganisir.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Hariyono, Drs. Paulus, M. T. 2007. Sosiologi Kota Untuk Arsitek. Bumi Aksara.
Jakarta
Mulyandarin Hestin. 2011. Pengantar Arsitektur Kota. Penerbit ANDI.
Yogyakarta