Tugas Ringkasan Agama Jason

29
TUGAS AGAMA Nama : Jason Malcom Usman NIM : 21100265 Kelas : D

Transcript of Tugas Ringkasan Agama Jason

Page 1: Tugas Ringkasan Agama Jason

TUGAS AGAMA

Nama : Jason Malcom Usman

NIM : 21100265

Kelas : D

Page 2: Tugas Ringkasan Agama Jason

PENDEKATAN FENOMENOLOGIS

Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani: phainestai yang berarti

“menunjukkan” dan “menampakkan diri sendiri”. Sebagai ‘aliran’ epistemologi,

fenomenologi diperkenalkan oleh Edmund Husserl. Meskipun sebelum Husserl,

istilah tersebut telah digunakan oleh beberapa filosof. Immanuel Kant menggunakan

kata fenomenon untuk menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran,

sedangkan noemena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar

kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya mengenal fenomena-fenomena

yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di luar (berupa

benda-benda atau nampak tetap menjadi objek kesadaran kita) yang kita kenal.

Istilah tersebut telah dikenal sejak abad ke-18. Lambert dalam bukunya: neue

Organon (1764) yang memakai nama phenomenologie untuk teori penampakan

fundameental terhadap semua pengetahuan empirik. Immanuel Kant (1724-1804)

menggunakan kata noumenon untuk ujud realitas dan phenomenon untuk

pemahaman terhadap realitas itu pada kesadaran. Hegel (lahir 1770) memberi arti

lain, yakni conversant mind (pengetahuan tentang pikiran). Menurut Hegel, jika kita

menganggap pikiran semata-mata dengan pengamatan dan pengeneralisasian

berbagai fenomena dalam penampakan dirinya, maka kita mempunyai satu bagian

dari pengetahuan mental dan inilah yang disebut phenomenology of mind. Moritz

Lazarus dalam bukunya leben der Seele (1856-1857) membedakan istilah

fenomenologi dengan psikologi. Yang pertama menggambarkan kehidupan mental

dan yang terakhir disebut, mencari penjelasan kausal pada kehidupan mental.

Edmund Husserl (1859-1938) seorang filosof Jerman, pendiri filsafat

fenomemologi mengajukan konsepsi yang berbeda dengan para pendahulunya.

Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia

dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan sesuatu yang berbeda pada dirinya

lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri atau menurut

ungkapan Martin Heideger juga seorang fenomenolog: “sifat realitas itu

membutuhkan keberadaan manusia”. Noumena membutuhkan tempat tinggal

(unterkunft) ruang untuk berada, ruang itu adalah manusia.Husserl menggunakan

istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita

dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori

Page 3: Tugas Ringkasan Agama Jason

pikiran kita padanya atau menurut ungkapan Husserl: zuruck zu den sachen selbt

(kembalilah kepada realitas itu sendiri). Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan,

bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah

kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl bertujuan mencari yang

essensial atau eidos (esensi) dari fenomena itu.Dalam mencari yang esensial

bermula dari membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan

prasangka (presuppositionlessness), dalam hubungan ini Husserl menjelaskan:

(…yang pertama, kita harus menghilangkan dari tindakan kita semua

keyakinan yang kita miliki sampai sekarang, termasuk semua pengetahuan kita.

Biarkan ide itu menuntun semua meditasi kita pada pertama kalinya menjadi ide

Cartesian mengenai sesuatu ilmu yang akan dikukuhkan secara radikal dan murni

yang pada akhirnya merangkul semua ilmu pengetahuan).

Meskipun Husserl menyebut ide Cartesian sebagai salah satu upaya

memahami realitas, tetapi terdapat perbedaan ide Cartesian dengan Husserl.

Descartes menyangsikan segalanya sebelum memutuskan “ada”nya sesuatu, tetapi

bagi Husserl, epochè bukan menyangsikan “ada” atau “tidak ada” nya sesuatu,

tetapi semacam netralisasi atau sikap tidak memihak, tanpa prasangka akan

keberadaan sesuatu.

Husserl dalam hal ini mengajukan metode epochè. Kata epochè  berasal dari

bahasa Yunani, yang berarti: “menunda putusan” atau “mengosongkan diri dari

keyakinan tertentu.” Epochè  bisa juga berarti tanda kurung (breaketing) terhadap

setiap keterangan yang diperoleh dari sesuatu fenomena yang tampil, tanpa

memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Dalam hal ini Husserl

mengatakan, bahwa epochè merupakan thesis of the natural standpoint. (tesis

tentang pendirian yang natural), dalam arti bahwa fenomena yang tampil dalam

kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat.

Adapun fenomenologi agama itu sendiri dikembangkan oleh Max Scheler,

Rudolf Otto, Jean Hearing, dan Gerardus Van der Leeuw. Tujuannya adalah

memahami pemikiran-pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan

tanpa mengikuti teori-teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi. Salah satu

cara untuk memahami fenomenologi agama adalah menganggapnya sebagai reaksi

Page 4: Tugas Ringkasan Agama Jason

terhadap pendekatan-pendekatan historis, sosiologis, dan psikologis. Kebanyakan

ahli fenomenologi menganggap semua pendekatan semacam itu untuk mereduksi

agama menjadi semata-mata aspek sejarah, atau aspek sosial atau aspek kejiwaan.

Pendekatan fenomenologis berusaha mempelajari dan memahami berbagai

gejala keagamaan sebagaaimana apa adanya dengan cara membiarkan

manifestasi-manifestasi pengalaman agama berbicara bagi dirinya sendiri.

Pendekatan ini muncul pada akhir abad ke-20, terutama karena pengaruh filsafat

yang dikembangkan Edmund Husserl. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang

fenomenologi sebagai disiplin filsafat juga diperlukan agar dapat menerapkan

pendekatan fenomenologis tadi secara baik ketika mempelajari suatu gejala

keagamaan.

Pendekatan fenomenologis merupakan upaya untuk membangun suatu

metodologi yang koheren bagi studi agama. Terdapat beberapa filsafat yang dapat

digunakan sebagai dasar dibangunnya pendekatan in seperti; filsafat Hegel dan

filsafat Edmund Husserl. Filsafat Hegel, dalam karyanya The Phenomenology of

Spirit mempunyai tujuan untuk menunjukkan pada pemahaman bahwa seluruh

fenomena dalam berbagai keragamannya tapi hanya didasarkan pada satu esensi

atau kesatuan dasar. Filsafat Edmund Husserl, terdapat dua konsep yang mendasari

karyanya dan menjadi titik tolak metodologis yang bernilai bagi studi fenomenologis

terhadap agama yaitu; epoch yang terdiri dari pengendalian atau kecurigaan dalam

mengambil keputusan, dan pandangan eidetic yaitu pandangan yang terkait

dengan kemampuan melihat apa yang ada sesungguhnya.

Beberapa figur historis utama yang karyanya patut untuk dipertimbangkan

dalam tradisi fenomenologis seperti Van der Leeuw yang mendasarkan

penelitiannya pada berbagai disiplin ilmu seperti filsafat, psikologi, antropologi,

sejarah, dan teologi dalam mempertautkan antara agama dan seni. Sehingga

pendekatan yang dihasilkan merupakan pendekatan yang kompleks dan sangat luas

tapi mudah untuk dipahami. Pierre Daniel Chantepie de la Saussaye merupakan

seorang yang pertama memahami fenomenologi agama sebagai disiplin ilmiah.

Nathan Soderblom merupakan seorang pelopor terjadinya perubahan arah dalam

sejarah agama karena pandangannya yang teliti, tajam, dan mendalam tentang apa

yang “tampak”. Ia juga mengungkapkan komitmennya tentang agama sebagai

ekspresi kesucian, suatu fenomena sui generis, dan mengungkapkan bahwa tidak

Page 5: Tugas Ringkasan Agama Jason

ada agama sejati tanpa suatu pembedaan antara yang suci (holy) dan yang profane.

William Brede Kristensen, melihat fenomenologi agama sebagai pelengkap

pendekatan historis dan filosofis. Tugas fenomenologi adalah melakukan

pengelompokkan secara sistematis tentang karakteristik data untuk menggambarkan

watak keagamaan manusia. Fenomenologi hendak mengungkapkan elemen-elemen

esensial dan tipikal dari agama. Fenomenologi adalah prasyarat bagi filosofis dalam

menentukan esensi agama.

Karakteristik dari pendekatan fenomenologis dapat dikategorikan menjadi

dua, yang pertama yaitu fenomelogi yang concern malaksanakan suatu kajian

agama “deskriptif” dengan tujuan untuk mengukuhkan pengetahuan tentang

berbagai ekspresi fenomena, sehingga dapat membawa pada suatu klasifikasi tipe-

tipe dan tipologi. Gagasan mengenai studi agama secara fenomenologis

sesungguhnya merupakan upaya menjustifikasi studi agama berdasar istilah yang

dimilikinya sendiri daripada berdasar sudut pandang teolog atau ilmuan sosial.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh William James dalam bukunya The Varieties

of Religious Experince: A Study in Human Nature, dia memberi ciri pada suatu

pendekatan yang menggambarkan concern fenomenologis. Berbeda dengan James,

Mircea Eliade memiliki minat untuk mengidentifikasi perbedaan antara sacred dan

profane dalam pengalaman manusia. Bukunya The Sacred and the Profane, dia

menunjukkan bagaimana seorang yang religious berupaya tetap berada dalam suatu

dunia sacred, dan oleh karenanya pengalaman kehidupan totalnya terbukti bila

dibandingkan dengan pengalaman orang tanpa rasa keagamaan yang hidup atau

ingin hidup dalam suatu dunia yang telah terdesakralisasikan.

Menurut pendekatan ini agama adalah sebuah ekspresi simbolik tentang yang

suci, maka tugas pendekatan ini adalah mendeskripsikan, mengintegrasikan atau

menyusun tipologi dari semua data yang diperoleh dari seluruh agama dunia. Sakral

atau Suci, menurut pandangan ini, adalah Suatu Realitas yang transenden dan

metafisik, yang sering disebut sebagai Wholly Other, Ultimate Reality, Absolute,

berada di luar waktu dan sejarah.

Ada tiga tugas yang harus dipikul oleh fenomenologi agama, yakni:

1.    Mencari hakikat ketuhanan

2.    Menjelaskan teori wahyu

3.    Meneliti tingkah laku keagamaan.

Page 6: Tugas Ringkasan Agama Jason

Bleeker menguraikan suatu cara kerja ganda yang menjadi karakteristik dari

pendekatan fenomenologi, yaitu: teori epoche, yakni penangguhan sementara dari

semua penelitian terhadap masalah kebenaran, dan eidetio-vision yang dapat

dijelaskan sebagai penelitian terhadap esensi-esensi. Prinsip eidetik menjadikan

eidos sebagai tujuan penelitian, yakni apakah yang menjadi esensi dalam

fenomenologi agama.

Van der Leeuw memberikan catatan tujuh fase penelitian fenomenologis,

yaitu:

1.    Memberikan nama gejala

2.    Menyisipkan ke dalam kehidupan itu sendiri

3.    Memperdalam pengertian-pengertian agamis tentang hakikat di dalam epoche

4.    Memberikan pengertian agamis yang telah diperdalam

5.    Mengetahui pengertian-pengertian agamis yang telah diperdalam

6.    Mengoreksi dengan menyelidiki kebenarannya, pengertian, atau tujuan bahan

fenomenologis yang umum atau yang lazim

7.    Memperkenalkan pengertian agamis yang telah diperdalam beserta maksudnya.

Fenomenologi tidak berusaha untuk membandingkan agama-agama sebagai

unit yang luas, tetapi memisahkan diri dari setting historis. Fakata-fakta dalam

fenomena yang sama yang didapati pada berbagai macam agama, dibawanya

bersama, dan dipelajarinya di dalam kelompok-kelompok. Tugas pendekatan ini

adalah mengklasifikasikan data yang sangat banyak dan beragam dengan cara

tertentu sehingga memperoleh gambaran menyeluruh tentang isi keagamaan yang

terkandung di dalamnya. Gambaran yang menyeluruh ini bukanlah merupakan

ringkasan sejarah agama, tetapi survei yang sistematis tentang data-data agama.

Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa fenomenologi tidak boleh membuat

suatu kontradiksi di antara agama yang benar dan yang tidak benar. Dalam keadaan

terpaksa, fenomenologi dapat dengan penuh kewaspadaan membedakan

religiusitas murni dan yang tidak murni. Oleh karena itu, bidang garapan

fenomenologi tidaklah sulit, yakni:

1.    Menerangkan apa yang sudah diketahui yang terdapat dalam sejarah agama,

dengan caranya sendiri. Fenomenologi agama tidak membedakan dirinya dengan

macam-macam agama.

2.    Menyusun bagian pokok agama atau sifat alamiah agama, yang juga merupakan

faktor penamaan dari semua agama.

Page 7: Tugas Ringkasan Agama Jason

3.    Tidak mempersoalkan apakah gejala keagamaan itu benar, apakah ia bernilai, dan

bagaimana bisa terjadi demikian, atau menentukan lebih besar atau lebih kecilnya

nilai keagamaan mereka. Sekalipun ia berusaha untuk menentukan nilai

keagamaannya, nilai tersebut yang dimiliki oleh pemeluk-pemeluk agama itu sendiri

dan nilai semacam ini tidak pernah bersifat relatif, tetapi selalu absolute. Oleh

karena itu, titik berat yang dibicarakannya adalah bagaimana kelihatannya dan

dengan cara apa ia menempatkan diri kepada kita.

Berkenaan dengan keterkaitan antara pendekatan historis dan

fenomenologis, Van der Leeuw menyatakan bahwa fenomenologi agama dapat

secara terus menerus menarik sejarah. Fenomenologi adalah interpretasi. Akan

tetapi, hermeneutika fenomenologis ini hanya menjadi seni dan fantasi belaka,

setelah hermeneutika fenomenologis ini dipisahkan dari penilikan hermeneutik-

arkeologis-fenomenologis.

Fenomenologi agama diterima sebagai cabang ilmu agama. Namun

demikian, banyak ahli fenomenologi agama menginterpretasikan istilah

fenomenologi agama dengan cara pribadi. Misalnya wach mendefinisikan

fenomenologi agama sebagai “studi yang sistematis, jadi tidak historis, mengenai

gejala-gejala agama, seperti do’a, imamah, sekte, dan lain-lain”. Menurut Raffaele

Pettazzoni (1883-1959), guru besar sejarah agama pada universitas Roma,

fenomenologi agama adalah ilmu yang bertugas menemukan beberapa struktur di

dalam kebanyakan gejala keagamaan. W. B. Kristenan mendefinisikan fenomenologi

agama sebagai ilmu yang menggunakan pandangan yang membandingkan data-

data keagamaan, supaya mendapat dukungan baru untuk interpretasi mereka.

Dari definisi-definisi tersebut, jelaslah bahwa pada umumnya fenomenologi

agama dianggap sebagai cabang sistematis ilmu agama, sedangkan sejarah agama

dipandang sebagai cabang sejarah ilmu agama. Meskipun hal itu menjelaskan

bahwa fenomenologi agama dapat dipandang identik dengan ilmu perbandingan

agama, pada permulaannya fenomenologi agama merupakan reaksi atas ilmu

perbandingan agama yang terlalu dipengaruhi oleh ide-ide evolusionisme Darwin.

Capaian fenomenologi penting bagi teoritisasi tentang hakekat agama secara

umum, tetapi sedikit banyak membutuhkan konsekuensi metodologis. Banyak

fenomenolog yang memilih pluralism metodologi yang mengkombinasikan

pendekatan apapun dalam studi sejarah, bahasa, dan ilmu-ilmu sosial agar dapat

menyinari fenomena keagamaan dalam penelitian. Khususnya dari koleksi data yang

Page 8: Tugas Ringkasan Agama Jason

sangat luas yang disediakan para antropolog sosial, keragaman ekspresi perilaku

keagamaan manusia dipilih dan disaring dalam penelitian tentang pola-pola umum,

bentuk universal keberagaman manusia.

Beberapa figur historis utama yang karyanya patut untuk dipertimbangkan

dalam tradisi fenomenologis seperti Van der Leeuw yang mendasarkan

penelitiannya pada berbagai disiplin ilmu seperti filsafat, psikologi, antropologi,

sejarah, dan teologi dalam mempertautkan antara agama dan seni. Sehingga

pendekatan yang dihasilkan merupakan pendekatan yang kompleks dan sangat luas

tapi mudah untuk dipahami. Pierre Daniel Chantepie de la Saussaye merupakan

seorang yang pertama memahami fenomenologi agama sebagai disiplin ilmiah.

Nathan Soderblom merupakan seorang pelopor terjadinya perubahan arah dalam

sejarah agama karena pandangannya yang teliti, tajam, dan mendalam tentang apa

yang “tampak”. Ia juga mengungkapkan komitmennya tentang agama sebagai

ekspresi kesucian, suatu fenomena sui generis, dan mengungkapkan bahwa tidak

ada agama sejati tanpa suatu pembedaan antara yang suci (holy) dan yang profane.

William Brede Kristensen, melihat fenomenologi agama sebagai pelengkap

pendekatan historis dan filosofis. Tugas fenomenologi adalah melakukan

pengelompokkan secara sistematis tentang karakteristik data untuk menggambarkan

watak keagamaan manusia. Fenomenologi hendak mengungkapkan elemen-elemen

esensial dan tipikal dari agama. Fenomenologi adalah prasyarat bagi filosofis dalam

menentukan esensi agama.

Page 9: Tugas Ringkasan Agama Jason

PENDEKATAN SOSIOLOGIS

Sejak akhir abad ke 18, sosiologi merupakan bagian dari satu disiplin ilmu

yang memiliki jangkauan sangat luas. Berbeda dengan disiplin ilmu lainnya,

sosiologi berusaha melihat gejala kehidupan sosial dari analisa-analisa ilmiah dan

sekaligus hasil proses reset pada suatu objek tertentu. Sehingga dalam hal ini,

sosiologi dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni sosiologi murni dan sosiologi

terapan.Sosiologi murni (pure science) merupakan pencarian pengetahuan;

penggunaan praktisnya bukan merupakan perhatian utama. Sementara sosiologi

terapan (applied science) adalah pencarian cara-cara untuk mempergunakan

pengetahuan ilmiah guna memecahkan masalah praktis (Ishomuddin, 1996).

Dari pengertian tersebut, nampaknya pengertian kedua lebih relevan sebagai

sebuah alat analisa dalam mengkaji sebuah objek permasalahan. Atau dalam

bahasa lain, pengertian kedua dapat dijadikan sebagai kerangka analisa terhadap

fenomena agama yang berada di tengah masyarakat. Dan pada kenyataan, banyak

orang memandang sosiologi sebagai ilmu terapan guna memecahkan persoalan

sosial.

Agama sebagai refleksi sosiologis setidaknya dapat ditempatkan sebagai

gejala sosial yang tidak lagi dipandang semata-mata sebagai suatu yang sakral dan

eskatologis. Dalam pandangan Amin Abdullah (1996: 9), agama pada sekarang ini

tidak dapat didekati dan difahami hanya lewat pendekatan teologi-normatif semata-

mata, sebab ada pergeseran paradigma dari pemahaman yang berkisar pada

"doktrin" ke arah entitas "sosiologis", dari diskursus "esensi" ke arah "eksistensi".

Jika ditinjau dari sudut sosiologis, Agama berarti perintah moral yang secara

logis menjadi konsekuensi dari ajaran Tuhan (Aep Kusnawan, 1997). Agama baru

dipandang nyata apabila setelah ia dihadapkan atau dibenturkan pada kenyataan-

kenyataan kehidupan sosial. Hal ini erat kaitannya dengan pesan agama yang

mengajarkan bahwa kehidupan duniawi merupakan salah satu bagian penting dari

mata rantai yang ikut memformat kehidupan (ukhrawi) kelak.

Karena itu, pesan keagamaan perlu disesuaikan dengan proporsisi- proporsisi

duniawi. Suatu penyesuaian di mana persepsi keagamaan mengenai tata alam

semesta dan moralitas kemanusiaan agar selaras dengan kenyataan dan

problematika hidup manusia yang penuh dinamika.

Page 10: Tugas Ringkasan Agama Jason

Dari tinjauan sosiologis, agama adalah ciri kehidupan sosial manusia secara

universal, yang berarti semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-

pola perilaku yang memenuhi syarat agama (Ishomuddin, 1996). Dengan demikian,

agama menjadi super struktur yang di dalamnya terdapat simbol, citra, kepercayaan,

dan nilai-nilai spesifik makhluk manusia yang mereka interpretasikan sesuai dengan

keberadaannya. Namun, agama juga mengandung komponen ritual, maka sebagian

agama tergolong juga dalam struktur sosial.

Proses keagamaan yang semacam ini tentu memiliki implikasi sosial yang

tidak hanya bersifat monologis melainkan menimbulkan persoalan jauh lebih

komplek. Karena agama telah terkonstruk menjadi sistem sosial, budaya dan simbol.

Masing-masing agama mempunyai sistem budaya, simbol, serta kepercayaaan dan

keyakinan berbeda. Semuanya berjalan satu arah tetapi jalan yang ditempuh

mungkin berbeda-beda. Apalagi jika titik persinggungan dari setiap agama itu

bertemu pada poros keyakinan, maka secara jelas setiap agama akan saling

mempertahankan keyakinannya secara subjektif-apologis. Refleksi ini perlu kita akui

bahwa memang tidak mudah menaggalkan klaim subyektif itu dihadapan para

pemeluk agama-agama lain. Dari perbedaan cara memahami keyakinan, berubah

menjadi masalah-masalah sosial yang tidak jarang menimbulkan konflik, pertikaian

dan saling menang sendiri.

Dari kenyataan inilah maka diperlukan sebuah pendekatan alternatif yang

dapat mengurangi ketegangan pada satu aras, yakni klaim kebenaran. Pendekatan

yang agaknya bisa menjembatani hal itu adalah pendekatan sosiologis. Karena

pendekatan ini disamping mempunyai watak yang lebih humanis, juga melihatnya

dari kerangka analisa dan gejala sosial.

Manusia sebagai komunitas sosial lebih cenderung dilihat dari tindakan dan

perilakunya daripada kenyataan simbolis yang melekat pada dirinya. Karena itu,

menurut teori fungsional, agama adalah satu sistem keyakinan persoanal yang

melahirkan banyak pengalaman. Sehingga jika kita bertanya kepada satu orang

dengan orang lain, tentu jawabannya berbeda, meski keyakinannya sama, apalagi

hal ini berjalan lintas agama secara logis tentu jauh berbeda tingkat pengalamannya.

Pengalaman transendental akan melahirkan sebuah tindakan yang bisa

berbeda antara satu agama dengan agama lain. Karena pengaruh sosial juga ikut

membentuk kedasaran yang bukan tidak mungkin akan ikut mempegaruhi

kedasaran transendentalnya. Sehingga hasil dari perenungan transendental tersebut

Page 11: Tugas Ringkasan Agama Jason

menumbuhkan sikap yang subyektif-apologis dengan menafikan pengalaman yang

lain.

Kemajemukan agama dipandang sebagai kenyataan obyektif yang

merupakan ciri dari kehidupan masyarakat pluralis era modern. Dengan

keberagaman agama, maka diperlukan sebuah "prinsip keteraturan". Pinsip ini

melihat bahwa keberagaman agama memiliki bagian-bagian yang berbeda yang

perlu diharmoniskan. Meminjam pikiran Auguste Comte, prinsip keteraturan sosial di

tengah masyarakat meski ada pranata dan sistem yang bermacam-macam. Dengan

prinsip keteraturan tersebut diharapkan semuanya menjadi sumber stabilitas dan

bukan pertentangan.

Dengan perpegang teguh pada prinsip keteraturan, agama akan lebih

menjadi alat intergratif. Sebab di dalamnya ada sebuah kerjasama yang dibangun

atas kesadaran dan kebersamaan. Dalam istilah Kuntowijoyo (1996) sikap toleransi

atau kerukunan harus diubah menjadi kerjasama atau koperasi demi terjalinnya

sikap komunikatif antar umat beragama. Untuk keperluan itu, umat beragama, yang

sebenarnya berada dalam fron yang sama, dapat membuat agenda bersama.

Agenda nasional misalnya, seperti masalah pembangunan, keadilan, kemiskinan,

keterbelakangan; agenda global, seperti tantangan modernitas, alienasi,

spiritualisme, dan nilai-nilai kemanusiaan pada umumnya. Dengan demikian,

agama-agama merupakan kekayaan bersama, bangsa dan kemanusiaan.

Dalam disiplin Sosiologi Agama, ada tiga perspektif utama sosiologi yang

seringkali digunakan sebagai landasan dalam melihat fenomena keagamaan di

masyarakat, yaitu: perspektif fungsionalis, konflik dan interaksionisme simbolik.

Masing-masing perspektif memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri bahkan bisa jadi

penggunaan perspektif yang berbeda dalam melihat suatu fenomena keagamaan

akan menghasilkan suatu hasil yang saling bertentangan. Pembahsan berikut ini

akan memaparkan bagaimana ketiga perspektif tersebut dalam melihat fenomena

keagamaan yang terjadi di masyarakat.

1. Perspektif Fungsionalis

Perspektif fungsionalis memandang masyarakat sebagai suatu jaringan kelompok

yang bekerjasama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak

teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar

masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil

dengan suatu kecenderungan untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan

Page 12: Tugas Ringkasan Agama Jason

seimbang.

Secara esensial, prinsip-prinsip pokok perspektif ini adalah sebagai berikut :

1) Masyarakat merupakan sistem yang kompleks yang terdiri dari bagian-bagian

yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian-bagian tersebut

berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya.

2) Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki

fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara

keseluruhan; karena itu, eksistensi dari satu bagian tertentu dari masyarakat dapat

diterangkan apabila fungsinya bagi masyarakat sebagai keseluruhan dapat

diidentifikasi.

3) Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan dirinya, yaitu

mekanisme yang dapat merekatkannya menjadi satu; salah satu bagian penting dari

mekanisme ini adalah komitmen anggota masyarakat kepada serangkaian

kepercayaan dan nilai yang sama.

4) Masyarakat cenderung mengarah pada suatu keadaan ekuilibrium, dan gangguan

pada salah satu bagiannya cenderung menimbulkan penyesuaian pada bagian lain

agar tercapai harmoni atau stabilitas.

5) Perubahan sosial merupakan kejadian yang tidak biasa dalam masyarakat, tetapi

apabila hal tersebut terjadi, maka perubahan itu pada umumnya akan membawa

konsekuensi-konsekuensi yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.

Sebagai konsekuensi logis dari prinsip-prinsip pokok diatas, perspektif ini

berpandangan bahwa segala hal yang tidak berfungsi akan lenyap dengan

sendirinya.

6) Karena agama dari dulu hingga sekarang masih tetap eksis maka jelas bahwa

agama mempunyai fungsi atau bahkan memainkan sejumlah fungsi di masyarakat.

Oleh karenanya, perspektif fungsionalis lebih memfokuskan perhatian dalam

mengamati fenomena keagamaan pada sumbangan fungsional agama yang

diberikan pada sistem sosial.

Melalui perspektif ini, pembicaraan tentang agama akan berkisar pada

permasalahan tentang fungsi agama dalam meningkatkan kohesi masyarakat dan

kontrol terhadap perilaku individu.

Page 13: Tugas Ringkasan Agama Jason

MENURUT JOHAN GALTUNG

Johan Galtung dekan penelitian perdamaian internasional, mendirikan

International Peace Research Institute di Oslo pada 1959. Dia membuat buku

pertamanya, Etika Politik Gandhi, sementara di penjara ia sebagai resister

rancangan, ia telah menerbitkan lebih dari lima puluh buku dan diajarkan di

universitas di seluruh dunia. Esei ini diberikan pada konferensi UNESCO tahun 1994

di Barcelona pada kontribusi agama untuk perdamaian dunia dan dicetak ulang

dengan izin dari cabang Barcelona UNESCO.

Ada banyak cara untuk memberikan beberapa struktur keagamaan. Hanya

satu hal yang pasti: apakah dilakukan melalui taksonomi, atau dengan pemetaan

distribusi geografis yang orang percaya, gambar akan relatif tidak lengkap untuk

kelengkapan subjek. Namun itu harus dilakukan: bagaimana lagi yang bisa kita

diskusikan melalui potensi perdamaian agama-agama? Selain itu, ada beberapa

nilai yang datang melalui taksonomi, dengan asumsi bahwa dua peta, melihat

religio-scape dari sudut yang berbeda, lebih dari dua kali lebih baik sebagai salah

satu peta, seperti rekaman stereoponis atau bilinguism.

Pada Gambar 1 tidak begitu lengkap. Hanya agama besar yang disertakan,

dan mereka terbagi menjadi tiga kelas utama: Occidental agama, yang terinspirasi

oleh Kitab, Perjanjian Lama; agama Hindu, yang disebut Hindu, mengikuti tradisi

lumping pendekatan keagamaan bersama di bawah satu judul, dan agama-agama

Oriental, terinspirasi oleh ajaran-ajaran Sang Buddha.

Beberapa asumsi dasar dari dua ekstrem dalam pengalaman religius,

Protestan dan Buddhisme Mahayana, ditemukan di bagian atas grafik, beberapa

subdivisi berada di tengah, beberapa turunan sekuler di bawah itu lagi, dan di bagian

bawah beberapa indikasi dari distribusi geografis diberikan.

Page 14: Tugas Ringkasan Agama Jason

Gambar 1.

Sebuah Peta Agama-agama Dunia

1. Pribadi Allah

2. Singularist

3. Universalis

4. Pribadi Jiwa

5. Hidup Kekal

1. Bukan

Tuhan

2. Pluralis

3.

Particularist

4. Jiwa Tidak

ada

5. Nibbana

Occidental Agama

Kitab - Kitab (PL)

Oriental Agama

Ajaran Sang Buddha

Agam

a

Yahu

di

Kekristenan Islam Hind

u-

aliran

Murni Yg dicampur

Protest

an

Orothod

ox

Katolik

Sun

ni

Syia

h

Utara

Tantra

Lamais

m

Selatan

Hinayan

a

Therava

da

Timur

Mahaya

na

Cina

Taoisme

Konghuc

u-

aliran

Agama

Budha

Jepang

Shintois

me

Konghuc

u-

aliran

Agama

Budha

Sekul

er:

Israel

(AS)

(Liberalis

me)

Amerika

Utara

BL Eropa

(Marxis

me)

S.

America

SW.

Eropa

(Anarkis

me)

Rusia

SE

Eropa

(Gandhi

sm) Tibet

Mong

olia

Sri

Lanka

Borma

Thailand

Malaysia

Vietn

am

Korea

Cina

Jepan

(Maois

me)

Cina

Taiwan

Hong

Kong

Singap

(Japani

sm)

Jepang

Page 15: Tugas Ringkasan Agama Jason

Polandi

a

Hongari

a

Filipina

Kampuc

hea

Laos

g ura

Dari tabel ini, dua hal yang dapat dipelajari: bahwa ada variasi ekstrim dalam

pengalaman religius, dan bahwa ada logika geografis untuk variasi ini. Ini bervariasi

dengan bujur daripada dengan lintang. Ketika kita bergerak ke arah timur Allah

meninggal di suatu tempat antara Hindu dan Budha. Sebelum itu, antara Islam dan

Hindu, Setan telah tiada. Dan iman dipilih atau tumbuh menjadi tidak lagi dilihat

sebagai berlaku universal; validitas bagi saya / kami tidak berarti validitas untuk

semua.Jiwa individu secara bertahap perlombaan, dari simpul kepemilikan individu

dalam kehidupan ini, melalui kepemilikan bersama dengan orang lain dalam

serangkaian reinkarnasi, untuk penyebaran kabur dari ego ke jaring dengan orang

lain, jumlah total dari semua hubungan dengan makhluk lain , masa lalu, sekarang

dan masa depan.Tujuan hidup berubah secara dramatis: dari kelanjutan abadi

eksistensi individu, di samping Tuhan, transendensi ke keberadaan yang lebih tinggi

tanpa identitas individu dan permanen, nibbana.

Sekarang kita harus memahami varietas pengalaman religius sebagai bidang

lingkaran, dibagi menjadi sektor, satu untuk setiap wacana agama: Yahudi, Kristen,

dll Ada dapat sejumlah subdivisi dari sektor: jumlah sektor adalah tak terbatas,

terbuka. Agama membagi dan menyatukan; agama baru muncul. Jumlah itu tidak

masalah, untuk citra yang akan dikembangkan tidak tergantung pada wacana

keagamaan spesifik dan jumlah mereka. Jumlah cara pengelompokan 360 derajat

akan selalu tak terbatas. Mereka yang tertarik dalam jumlah yang mungkin membuat

derajat proporsional dengan penganut yang tertentu (sub-, iman subsub-). Dan

mungkin layak dicatat bahwa jika gambar 1 dilipat, Yudaisme dan amalgam Jepang

menjadi tetangga, Rakyat Terpilih agama par excellence.

KERAS LEMBUT

1 Allah adalah transenden, di atas Allah imanen, di dalam

Page 16: Tugas Ringkasan Agama Jason

2 Allah telah Dipilih Rakyat Orang-orang Terpilih Dewa

3 Ada Setan, di bawah Tidak ada Setan

4 Setan Dipilih orang Orang-orang Terpilih setan

5 Monoteisme - unitaris Politeisme - trinitarian, quaternarian

6 Dualisme & Monisme Dualisme

7 Universalisme / singularism Partikularisme / pluralisme

8 Negara telah Terpilih Agama Agama tidak memiliki Negara Terpilih

Semua dimensi-dimensi yang bermasalah. Tapi gambaran keseluruhan tetap

dapat memberikan makna konkret untuk keras dan lembut. Dengan demikian, Allah

yang transenden di luar manusia - sebagai Bapa-Sky, misalnya - dan menjadi

metafora untuk jarak vertikal meskipun ada jaminan dari kasih-Nya bagi kita semua.

Jika di samping itu dia adalah pemilih, memilih beberapa orang untuk orang lain

("semua manusia adalah anak-anak-Nya, tetapi beberapa lebih dari yang lain"),

maka tidak ada perpecahan saja, tetapi juga peringkat, hirarki:

manusia atas seluruh alam (speciesism)

pria di atas wanita (seksisme)

orang dewasa terhadap anak-anak (ageism)

kulit putih terhadap nonkulit putih (rasisme)

kelas atas terhadap kelas bawah (classism)

sendiri bangsa terhadap bangsa lain (nasionalisme)

sendiri negara terhadap negara lain (patriotisme)

MENURUT BUSTER G. SMITH

Page 17: Tugas Ringkasan Agama Jason

Pluralisme agama telah lama menjadi ciri masyarakat Amerika tetapi tidak

pernah benar-benar terlihat dalam 40 tahun terakhir. Data dari Agama 2000 dan

Survei Politik yang menganalisis untuk menguji apa faktor-faktor sosial yang paling

mungkin menyebabkan penerimaan dan penolakan terhadap tradisi keagamaan

lainnya. Faktor analisis dari delapan pertanyaan mengenai sikap terhadap agama-

agama lain mendefinisikan dua tindakan yang berbeda dari pandangan dunia

pluralistik. Sementara paparan ide-ide keagamaan asing adalah bagian penting dari

sebuah pandangan dunia yang inklusif, denominasi dan kegiatan keagamaan adalah

prediktor kuat dari eksklusivitas. Temuan selanjutnya menunjukkan pentingnya

pandangan dalam mempengaruhi agama, tindakan politik dan sosial.

Ada 3 faktor yang berperan penting dari analisis ini dan dijabarkan sebagai

berikut:

Fak to r per tama me l ipu t i t i ga per tanyaan yang berka i tan dengan

supremas i dan kecukupan Kristen dan klaim kebenarannya.

1. Tiga pernyataan yang dihadirkan adalah "Tuhan telah sepenuhnya

dinyatakan kepada manus ia da lam Yesus Kr is tus" , "

Kekr i s tenan ada lah cara te rba ik un tuk memahamiTuhan" , dan

"A ja ran Gere ja ada lah cara te rba ik yang k i ta m i l i k i un tuk

berhubungandengan Allah".

2. Bagi seseorang yang setuju dengan ketiga klaim ini, kekristenan

berisi semua klaimkebenaran yang diperlukan untuk keselamatan

dan merupakan metode optimal untuk tujuan keselamatan.

3. Bagi seseorang yang tidak setuju terhadap ketiga klaim ini,

Kekristenan mungkin tidak  benar, tidak lengkap, atau hanya salah

satu cara yang mungkin untuk dapat memahamidan mengungkapkan

Tuhan.

4. Dengan demikian, skor dari ketiga pertanyaan tersebut dijumlahkan

untuk membuatsebuah ukuran keeksklusifan Kristen dan keinklusifan

dengan skor rendah yang mewakilieksklusif dan skor tinggi yang artinya

responden menunjukkan sikap inklusif terhadaptradisi-tradisi

keagamaan lain.

Page 18: Tugas Ringkasan Agama Jason

5. Ukuran ini memiliki nilai Cronbach Alpha 0,74 dengan 5,170 orang

menjawab semuatiga pertanyaan

 Faktor kedua melibatkan tiga pertanyaan tentang cara alternatif untuk

mencari tahutentang Tuhan.

1. Tiga pernyataan adalah "Semua agama mengandung beberapa kebenaran

tentang Allah","Semua agama adalah cara yang sama baiknya untuk

mengetahui tentang Tuhan", dan"Tuhan hanya dapa t d ike tahu i

ke t i ka seseorang mengosongkan p ik i ran mereka dan melihat ke

dalam diri mereka".

2. Kese tu juan un tuk per tanyaan per tama merupakan s ikap

re la t i v i s t i k , d imana agama semuanya mengandung kebenaran tetapi

belum tentu semuanya sama. Pertanyaan kedualebih jelas pluralis, secara

eksplisit menyatakan bahwa semua agama adalah sama.

3. Akhirnya, pertanyaan ketiga tampaknya melangkah lebih jauh, menyatakan

bahwa agamadan pengetahuan mengenai Tuhan harus melampaui

agama-agama tertentu dan menjadisebuah kegiatan individu.

4. S e c a r a b e r s a m a - s a m a , k e t i g a p e r t a n y a a n n a m p a k n y a

m e w a k i l i p e n e r i m a a n a t a u  pemberhentian terhadap penyamaan

semua agama.

5. Sekali lagi, jumlah dari tiga pertanyaan menciptakan ukuran sikap

terhadap pluralismeagama.

6.  Nilai rendah mewakili kesetujuan bahwa semua agama sama-sama sah dan

tidak ada satuagama pun yang lebih unggul, sementara nilai yang

tinggi berarti bahwa baik agamatunggal adalah benar, atau tidak ada

agama yang mengandung kebenaran tentang Allah.

7. A l p h a u n t u k u k u r a n i n i a d a l a h 0 , 6 2 d e n g a n 4 , 9 6 8 o r a n g

m e n j a w a b s e m u a t i g a  pertanyaan.

Faktor ketiga hanya melibatkan dua pertanyaan dan dikeluarkan / tidak dipakai

untuk analisa lebih lanjut.

Page 19: Tugas Ringkasan Agama Jason

1. W a l a u t i d a k d i p a k a i , m e n a r i k u n t u k d i c a t a t b a h w a d u a

p e r n y a t a a n y a n g t e r l i b a t tampaknya serupa da lam bahwa

mereka berb ica ra dengan k la im ep is temo log is

danketidaklengkapan agama apapun.

2. Pernya taan mengena i "Tuhan ada lah mis te r i dan t idak

pernah dapa t d ipahami o lehmanus ia " dan "Dok t r in Agama

mengha lang i ja lan un tuk benar -benar berhubungan dengan

Allah" menyimpulkan bahwa daripada mengatakan satu agama dapat

memilikisemua Kebenaran, persetujuan atas pernyataan diatas

berarti : Tidak ada agama apapunyang bisa membuat klaim kebenaran

yang akurat tentang Allah.

 

Agaknya, karakteristik agama, baik dalam institusi dan aktivitas, akan

menjadi penting dalammembentuk baga imana seseorang

memperseps ikan agama-agama la in .Sa tu ca ta tan pen t ing dengan

semua analisis berikutnya adalah bahwa urutan penyebab dapat

dipertanyakan dalam beberapa keadaan.Sebagai contoh, seseorang mungkin

milik suatu denominasi Injili karena mereka percaya bahwaYesus Kr is tus

ada lah sa tu -sa tunya ja lan un tuk mencapa i kese lamatan ,

sedangkan a ja ran denominasi ini seharusnya membantu untuk mempengaruhi

sikap anggota terhadap agama lain.

B e r i k u t a d a l a h h a s i l d a r i a n a l i s a T L E p e r t a m a m e n g e n a i

p e n g a r u h s o s i a l y a n g menyebabkan ke-eksklusivitas Kristen atau inklusivitas.

1 .Mode l 1 men je laskan 18 ,95% dar i va r ians pada ukuran

keeksk lus i fan Kr i s ten . Bukti tampaknya dicampur untuk mengetahui apakah paparan

mengenai berbagaipandangan dunia lebih mengarah ke inklusivitas.

Orang yang lebih terpelajar menghadiri layanan keagamaan non-Kristen

atau memilikiteman yang Yahudi, Hindu, dan Buddha cenderung lebih

menerima klaim kebenarannon-Kristen.Orang yang telah hidup lebih lama

dapat diharapkan telah bertemu orangdari berbagai latar belakang sehingga

lebih menerima.Baik perempuan, tua,kurang berpendidikan,Hispanik, berkulit Putih,

dan belum menikahsemua cenderung membuat o rang leb ih cenderung

mengatakan bahwa semua agama adalah sama.Dengan demikian,

seiring bertambahnya usia, orang tampaknya menjadi leb ih eksk lus i f dan

Page 20: Tugas Ringkasan Agama Jason

l eb ih p lu ra l dan d is i s i l a in , men jad i leb ih ink lus i f dan

kurang  pluralistik jika mereka semakin lebih terdidik.

2.Model 2 mengganti kategori tradisi-tradisi keagamaan pada Steensland

dkk (2000)sebagai pengganti paparan pluralistik.

 

Model 3 mengukur langkah agama dengan frekuensi kegiatan daripada tradisi.

 Untuk pertemuan, ada enam kategori:

1. lebih dari sekali seminggu,

2. sekali seminggu,

3. hampir setiap minggu,

4. sekali atau dua kali sebulan,

5.  beberapa kali setahun, dan

6. tidak pernah.Baik berdoa dan membaca Alkitab, frekuensinya dibagi menjadi

lima pilihan: setiap hari,sekali atau dua kali seminggu, beberapa kali

sebulan, hampir tidak pernah, dan tidak  pernah dimana skor yang lebih

tinggi untuk ketiga jenis kegiatan keagamaan tersebut  berkaitan

dengan sedikitnya ritual dalam kehidupan seseorang.

Model 4 mencakup semua variabel demografi sebelumnya, paparan

pluralistik,agama, tradisi dan kegiatan keagamaan.

Meskipun eksklusivitas dan inklusivitas merupakan elemen penting dari bagaimana

orangmemahami agama-agama lain, hal ini tidak lengkap. Orang bisa

percaya bahwa agama-agama la in memi l i k i unsur -unsur kebenaran

tanpa me l iha t mereka harus me lakukan ibadah sama dengan

la innya . kedua s ikap te rhadap p lu ra l i sme menentukan

apakah responden melihat semua agama sebagai sama.