TUGAS RADIOLOGI

14
Ardiansyah Putra Pratama 112011101030 PENGERTIAN IKHLAS ْ مُ كِ ل اَ مْ عَ َ وْ مُ كِ بْ وُ لُ ق ىَ لِ ُ رُ ظْ نَ يْ ! نِ كَ لَ وْ مُ كِ ل َ وْ مَ َ وْ مُ كِ رَ وُ ص ىَ لِ ُ رُ ظْ نَ يَ لاَ لهل َ ّ ! نِ : ِ لهل ُ لْ وُ سَ رَ الَ : قَ الَ قَ ةَ رْ يَ رُ هْ ىِ بَ ْ ! نَ عDari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu 'alihi wa sallam telah bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”. Dalam mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam menggambarkanya. Ada yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk. Al ‘Izz bin Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”. Al Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.” Yang lain berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi”. Abu ‘Utsman berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat kepada Khaliq (Allah)”. Abu Hudzaifah Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang hamba antara lahir dan batin”. Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. Dan beramal karena manusia adalah

description

radiologi

Transcript of TUGAS RADIOLOGI

Page 1: TUGAS RADIOLOGI

Ardiansyah Putra Pratama

112011101030

PENGERTIAN IKHLAS

�لى : : إ ينظر �ن لك و أموال�كم و صور�كم �لى إ ينظر ال الله �ن إ الله� رسول قال قال هريرة �ي أب عن�كم أعمال و �كم  قلوب

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu 'alihi wa sallam telah bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”. 

Dalam mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam menggambarkanya. Ada yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk.

Al ‘Izz bin Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”.

Al Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.” Yang lain berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi”. 

Abu ‘Utsman berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat kepada Khaliq (Allah)”.

Abu Hudzaifah Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang hamba antara lahir dan batin”. 

Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.[1] 

Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, atau karena mencari harta rampasan perang, atau agar dikatakan sebagai pemberani ketika perang, karena syahwat, kedudukan, harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak, mendapat sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau karena alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.

Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata. Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati

Page 2: TUGAS RADIOLOGI

kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni, seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berpendapat, arti ikhlas karena Allah ialah, apabila seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk taqarrub kepada Allah dan mencapai tempat kemuliaanNya.

SABAR

Sabar merupakan sebuah kata yang ringan diucapkan, namun sangat bermakna dalam kehidupan. Dengannya, perjalanan hidup seseorang akan selalu terbimbing di atas kebenaran. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بر ضياء والص“Kesabaran itu adalah cahaya.” (HR. Muslim no. 223, dari sahabat Abu Malik al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu)

Al-Hafizh an-Nawawi rahimahumallah berkata, “Sesungguhnya kesabaran adalah amalan yang terpuji dan pelakunya akan selalu terbimbing di atas kebenaran.” (Syarh Shahih Muslim 3/101)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah berkata, “Sebuah petunjuk (al-huda) tidak akan diraih melainkan dengan ilmu, sedangkan kemudahan untuk beramal dengan ilmu (ar-rasyad) tidak akan diraih melainkan dengan kesabaran.” (Majmu’ Fatawa 10/40)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahumallah berkata, “Sesungguhnya Allah l menjadikan sabar sebagai kuda tunggangan yang tak kenal lelah, pedang yang tak pernah tumpul, prajurit yang pantang menyerah, benteng kokoh yang tak bisa dihancurkan dan ditembus. Sabar merupakan saudara kandung kemenangan. Di mana ada kesabaran, di situ ada kemenangan.” (Uddatush Shabirin, hlm. 4)

Secara etimologis, sabar mempunyai arti menahan. Maksudnya, menahan kalbu dari rasa kesal terhadap ketentuan Allah Subhanahu wata’ala (takdir), menahan lisan dari berkeluh kesah, dan menahan anggota badan dari perbuatan maksiat, seperti menampar-nampar pipi, merobekrobek baju, mencabut-cabut rambut, dan yang semisalnya. Di atas tiga asas itulah kesabaran dibangun. (al-Wabilush Shayyib karya al-Imam Ibnul Qayyim, hlm. 5)

Adapun hakikat sabar itu sendiri adalah sebuah budi pekerti luhur yang dapat menahan seseorang dari perbuatan yang tidak baik. Sabar termasuk salah satu dari kekuatan batin (psikis) yang dapat menstabilkan jiwa seseorang sehingga menjadi baik dan lurus. (Uddatush Shabirin, hlm. 11)

Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, sabar disebutkan dalam beberapa bentuk lafadz yang mempunyai kandungan makna berbeda-beda;

Page 3: TUGAS RADIOLOGI

1. Shabr (   صبر ): kesabaran yang dilakukan dengan mudah.

2. Tashabbur (  ر  تصب ): kesabaran yang dilakukan dengan upaya dan perjuangan.

3. Ishthibar (   اصطبار ): puncak dari tashabbur (  ر  تصب ). Maksudnya, puncak dari kesabaran yang dilakukan dengan upaya dan perjuangan.

4. Mushabarah (   مصابرة ): kesabaran yang dilakukan di medan laga saat berhadapan dengan musuh. (Lihat Uddatush Shabirin, hlm. 15—16)

Ditinjau dari sisi keterkaitannya dengan Allah Subhanahu wata’ala, sabar terbagi menjadi tiga,

1. Sabar dengan Allah Subhanahu wata’ala ( ashshabru billah). Maksudnya, memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan meyakini bahwa Dia-lah Dzat yang menjadikan seorang hamba bersabar. Betapa pun seseorang mampu bersabar maka semua itu berkat pertolongan dari AllahSubhanahu wata’ala, bukan kemampuan dirinya semata. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

ه� �الل ب �ال إ صبرك وما �ر واصب

“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (an-Nahl: 127)

Makna ayat di atas, jika Allah Subhanahu wata’ala  tidak memberikan pertolongan kepadamu untuk bersabar, niscaya engkau tidak akan mampu bersabar.

2. Sabar karena Allah Subhanahu wata’ala( ashshabru lillah). Maksudnya, kesabaran yang dilakukan karena kecintaan kepada Allah Subhanahu wata’ala, menginginkan wajah-Nya, dan taqarub kepada-Nya. Bukan untuk menonjolkan diri, ingin dipuji orang, dan tujuan buruk lainnya.

3. Sabar bersama Allah Subhanahu wata’ala (ashshabru ma’allah).

Artinya, kesabaran seorang hamba bersama syariat Allah l dan segala ketentuan hukum-Nya secara berkesinambungan, berteguh diri di atas syariat dan hukum tersebut, berjalan di atasnya, serta menjalankan segala konsekuensinya. Hidupnya selalu dikendalikan oleh syariat dan hukum tersebut, kapan saja dan di mana saja ia berada.

Demikianlah kondisi seseorang yang bersabar bersama Allah Subhanahu wata’ala. Ia senantiasa menjadikan dirinya berada di atas segala yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan dicintai-Nya. Kesabaran yang seperti ini adalah jenis kesabaran yang paling berat dan sulit. Itulah kesabaran yang ada pada diri ash-shiddiqin (orangorang yang sangat kuat keyakinannya kepada AllahSubhanahu wata’ala). (Madarijus Salikin karya al-Imam Ibnul Qayyim, 2/157)

Dalam ranah kehidupan beragama, para ulama mengklasifikasi sabar menjadi tiga,

1. Sabar di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala, dengan selalu mengerjakan segala perintah-Nya Subhanahu wata’ala.

Page 4: TUGAS RADIOLOGI

2. Sabar dari perbuatan maksiat,  selalu menahan diri dari segala yang dilarang oleh Allah Subhanahu wata’ala.

3. Sabar atas segala musibah yang menimpa. (Lihat Qaidah fish Shabr karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hlm. 90—91, Syarh Shahih Muslim karya al-Hafizh an-Nawawi 3/101, Madarijus Salikin 2/156, dll.)

Perbuatan apa sajakah yang dapat meniadakan (menafikan) kesabaran? Menurut al-Imam Ibnul Qayyim rahimahumallah dalam Uddatush Shabirin (hlm. 228), hal-hal yang menafikan kesabaran adalah rasa kesal dalam kalbu, berkeluh kesah dengan lisan kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, dan melakukan perbuatan maksiat, seperti menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, mencabut-cabut rambut, dan yang semisalnya.

Bagaimana halnya dengan berkeluh kesah kepada Allah Subhanahu wata’ala, apakah menafikan kesabaran? Berkeluh kesah kepada Allah Subhanahu wata’ala, tidak menafikan kesabaran. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada diri Nabi Ya’qub q yang berkeluh kesah kepada Allah Subhanahu wata’ala,

تعلمون ال ما ه� الل م�ن وأعلم ه� الل �لى إ �ي وحزن ي بث أشكو ما �ن إ قال

“Ya’qub menjawab, ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tiada mengetahuinya’.” (Yusuf: 86)

Meski demikian, Allah Subhanahu wata’ala menyitir ucapan Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam yang lainnya,

الحك�يم �يم العل هو ه �ن إ �ه�مجم�يعا ب �ي �ين يأت أن ه الل عسى �فصبرجم�يل �

“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (Yusuf: 83)

Adapun menyampaikan kesulitan yang dihadapi (curhat) kepada makhluk, jika untuk meminta bimbingan dan bantuan untuk menghilangkan kesulitan tersebut, tidak menafikan kesabaran. Misalnya, keluhan pasien kepada dokter,  orang yang dizalimi kepada seseorang yang dapat membelanya, atau curhat seseorang yang sedang mengalami problem kepada orang lain yang diharapkan bisa memberikan solusinya.

Bagaimanakah dengan rintihan di kala sakit? Menurut al-Imam Ibnul Qayyim rahimahumallah dalam Uddatush Shabirin (hlm. 229), rintihan di kala sakit ada dua macam; rintihan yang mengandung keluh kesah maka hukumnya makruh, sedangkan rintihan untuk melepas kegundahan dan menghibur diri maka tidak mengapa.

Wallahu a’lam.

Page 5: TUGAS RADIOLOGI

KUSYU’

Khusyu’ dalam ibadah kedudukannya seperti ruh/jiwa dalam tubuh manusia1, sehingga ibadah yang dilakukan tanpa khusyu’ adalah ibarat tubuh tanpa jasad alias mati.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala memuji para Nabi dan Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam dengan sifat mulia ini, yang mereka adalah hamba-hamba-Nya yang memiliki keimanan yang sempurna dan selalu bersegera dalam kebaikan. Allah Ta’ala berfirman:

{ ع�ين خاش� لنا وكانوا ورهبا رغبا ويدعوننا الخيرات� ف�ي يسار�عون كانوا هم �ن {إ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdoa kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (dalam beribadah)” (QS al-Anbiyaa’: 90).

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang shaleh dengan sifat-sifat mulia yang ada pada mereka, di antaranya sifat khusyu’:

{ والصاد�قات� والصاد�ق�ين �تات� والقان �ين �ت والقان والمؤم�نات� �ين والمؤم�ن �مات� والمسل المسل�م�ين �ن إ�مات� والصائ �م�ين والصائ والمتصدقات� والمتصدق�ين عات� والخاش� ع�ين والخاش� �رات� والصاب �ر�ين والصابوأجرا مغف�رة لهم ه الل أعد �رات� والذاك �يرا كث ه الل �ر�ين والذاك والحاف�ظات� فروجهم والحاف�ظ�ين

�يما {عظ

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS al-Ahzaab: 35).

Bahkan Allah Ta’ala menjadikan sifat agung ini termasuk ciri utama orang-orang yang sempurna imannya dan sebab keberuntungan mereka2, dalam firman-Nya:

{ عون خاش� �ه�م صالت ف�ي هم ذ�ين ال المؤم�نون، أفلح {قد

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” (QS al-Mu’minuun: 1-2)”.

Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memohon kepada Allah Ta’ala sifat mulia ini dalam doa beliau Shallallahu’alaihi Wasallam: “Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, kumpulkanlah aku di dalam golongan orang-orang miskin pada hari kiamat”3.

Arti “orang miskin” dalam hadits ini adalah orang yang selalu merendahkan diri, tunduk dan khusyu’ kepada Allah Ta’ala4.

Page 6: TUGAS RADIOLOGI

Arti khusyu’ dan hakikatnya

Secara bahasa khusyu’ berarti as-sukuun (diam/tenang) dan at-tadzallul (merendahkan diri). Sifat mulia ini bersumber dari dalam hati yang kemudian pengaruhnya terpancar pada anggota badan manusia.

Imam Ibnu Rajab berkata: “Asal (sifat) khusyu’ adalah kelembutan, ketenangan, ketundukan, dan kerendahan diri dalam hati manusia (kepada Allah Ta’ala). Tatkala Hati manusia telah khusyu’ maka semua anggota badan akan ikut khusyu’, karena anggota badan (selalu) mengikuti hati, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”.

Maka jika hati seseorang khusyu’, pendengaran, penglihatan, kepala, wajah dan semua anggota badannya ikut khusyu’, (bahkan) semua yang bersumber dari anggota badannya”5.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Para ulama sepakat (mengatakan) bahwa khusyu’ tempatnya dalam hati dan buahnya (tandanya terlihat) pada anggota badan”6.

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Khusyu’ dalam shalat adalah hadirnya hati (seorang hamba) di hadapan Allah Ta’ala dengan merasakan kedekatan-Nya, sehingga hatinya merasa tentram dan jiwanya merasa tenang, (sehingga) semua gerakan (angota badannya) menjadi tenang, tidak berpaling (kepada urusan lain), dan bersikap santun di hadapan Allah, dengan menghayati semua ucapan dan perbuatan yang dilakukannya dalam shalat, dari awal sampai akhir. Maka dengan ini akan sirna bisikan-bisikan (Setan) dan pikiran-pikiran yang buruk. Inilah ruh dan tujuan shalat”7.

Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf ketika beliau melihat seorang laki-laki yang bermain-main dalam shalatnya: “Seandainya hati orang ini khusyu’ maka akan khusyu’ semua anggota tubuhnya”8.

Lebih lanjut, imam al-Bagawi memaparkan makna ini dalam ucapan beliau: “Para ulama berbeda (pendapat) dalam makna khusyu’, Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu berkata: “(Orang-orang yang khusyu’ adalah) mereka yang selalu tunduk dan merendahkan diri (kepada AllahTa’ala). al-Hasan (al-Bashri) dan Qatadah berkata: “(Mereka adalah) orang-orang yang selalu takut (kepada-Nya)”. Muqatil berkata: “(Mereka adalah) orang-orang yang merendahkan diri (kepada-Nya)”. Mujahid berkata: “Khusyu’ adalah menundukkan pandangan dan merendahkan suara”. Khusyu’ (artinya) mirip dengan khudhu’, cuma khudhu’ ada pada (anggota) badan, sedangkan khusyu’ ada pada hati, badan, pandangan dan suara. Allah Ta’ala berfirman:

{ حمن� �لر ل األصوات {وخشعت�

“Dan (pada hari kiamat) khusyu’lah (merendahlah) semua suara kepada Yang Maha Pemurah” (QS Thaahaa: 108)”9.

Page 7: TUGAS RADIOLOGI

Khusyu’ adalah buah manis dari ilmu yang bermanfaat

Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan”10.

Dalam hadits yang agung ini, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menggandengkan empat perkara yang tercela ini, sebagai isyarat bahwa ilmu yang tidak bermanfaat memiliki tanda-tanda buruk, yaitu hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak dikabulkan11, nu’uudzu billahi min dzaalik.

Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa ilmu yang tidak menimbulkan (sifat) khusyu’ dalam hati maka ini adalah ilmu yang tidak bermanfaat”12.

Maka hadits ini merupakan argumentasi yang menunjukkan bahwa sifat khusyu’ adalah termasuk buah yang manis dan agung dari ilmu yang bermanfaat.

Imam al-‘Ala-i berkata: “Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (dalam hadits ini) menggandengkan antara memohon perlindungan (kepada Allah Ta’ala) dari ilmu yang tidak bermanfaat dan dari hati yang tidak khusyu’, (maka) ini mengisyaratkan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang mewariskan sifat khusyu’ (dalam diri manusia)”13.

Lebih lanjut, imam Ibnu Rajab menjelaskan keterikatan antara ilmu yang bermanfaat dan sifat khusyu’ dalam ucapan beliau: “Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang merasuk dan menyentuh hati manusia, kemudian menumbuhkan dalam hati ma’rifatullah (mengenal AllahTa’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna) dan meyakini kemahabesaran-Nya, (demikian pula) rasa takut, pengagungan, pemuliaan dan cinta (kepada-Nya). Tatkala sifat-sifat ini telah menetap dalam hati (seorang hamba), maka hatinya akan khusyu’ lalu semua anggota badannyapun akan khusyu’ mengikuti kekhsyu’an hatinya”14.

Inilah keutamaan khusyu’ yang merupakan buah utama ilmu yang bermanfaat, sekaligus merupakan ilmu yang pertama kali diangkat oleh Allah Ta’ala dari muka bumi ini15, sebagaimana dalam hadits riwayat Abu Darda’ Radhiallahu’anhu bahwa RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Yang pertama kali diangkat (oleh Allah) dari umat ini adalah sifat khusyu’, sehingga (nantinya) kamu tidak akan melihat lagi seorang yang khusyu’ (dalam ibadahnya)”16.

Khusyu’ dalam shalat

Sifat khusyu’ dituntut dalam semua bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala, akan tetapi dalam ibadah shalat, sifat yang agung ini lebih terlihat wujud dan pengaruh positifnya.

Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata: “Sungguh Allah telah mensyariatkan bagi hamba-hamba-Nya berbagai macam ibadah yang akan tampak padanya kekhusyu’an (anggota) badan (seorang hamba) yang bersumber dari kekhusyu’an, ketundukan dan kerendahan diri dalam

Page 8: TUGAS RADIOLOGI

hatinya. Dan termasuk ibadah yang paling tampak padanya kekhusyu’an adalah ibadah shalat. Allah Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang khusyu’ dalam shalat mereka dalam firman-Nya:

{ عون خاش� �ه�م صالت ف�ي هم ذ�ين ال المؤم�نون، أفلح {قد

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” (QS al-Mu’minuun: 1-2)”17.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Para ulama menafsirkan (arti) khusyu’ dalam shalat yaitu diamnya anggota badan yang disertai dengan ketenangan (dalam) hati. Maksudnya: menghadirkan/mengkonsentrasikan hati dalam shalat dan menjadikan anggota badan tenang, maka tidak ada perbuatan sia-sia dan bermain-main (dalam shalat) disertai hati yang hadir berkonsentrasi menghadap ke pada Allah Ta’ala. Tatkala hati (seorang hamba) menghadap kepada Allah Ta’ala yang maha mengetahui isi hati, maka pasti hamba tersebut akan (meraih) khusyu’ (dalam shalatnya) dan memusatkan pikirannya kepada Zat yang dia sedang bermunajat kepada-Nya, yaitu Allah Ta’ala. Kalau demikian khusyu’ adalah sifat ruhani dalam diri manusia yang menimbulkan ketenangan dalam hati dan anggota badan”18.

Ciri inilah yang ada pada orang-orang yang sempurna keimanannya, para ShahabatRadhiallahu’anhum, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:

{ جود� الس أثر� م�ن وجوه�ه�م ف�ي يماهم {س�

“Tanda-tanda meraka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud” (QS al-Fath: 29).

Imam Mujahid dan beberapa ulama ahli tafsir lainnya berkata tentang makna ayat ini: “Yaitu Khusyu’ (dalam shalat) dan tawadhu’ (sikap merendahkan diri)”19.

Lebih lanjut, imam Ibnu Katsir menjelaskan manfaat dan faidah besar dari shalat yang khusyu’ dalam membawa seorang mukmin untuk merasakan kemanisan iman dan menjadikan shalatnya sebagai qurratul ‘ain (penyejuk/penghibur hati) baginya. Beliau berkata20: “Khusyu’ dalam shalat hanyalah akan diraih oleh orang yang hatinya tercurah sepenuhnya kepada shalat (yang sedang dikerjakannya), dia hanya menyibukkan diri dan lebih mengutamakan shalat tersebut dari hal-hal lainnya. Ketika itulah shalat akan menjadi (sebab) kelapangan (jiwanya) dan kesejukan (hatinya), sebagamana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallamdalam hadits riwayat imam Ahmad dan an-Nasa-i, dari Anas bin MalikRadhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Allah menjadikanqurratul ‘ain (penyejuk/penghibur hati) bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat”21.

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepada BilalRadhiallahu’anhu:

“Wahai Bilal, senangkanlah (hati) kami dengan (melaksanakan) shalat”22.

Page 9: TUGAS RADIOLOGI

Cara untuk meraih khusyu’

Dikarenakan sifat khusyu’ sumbernya dari dalam hati manusia, maka sifat ini hanya bisa diraih dengan taufik dan anugerah dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, cara utama untuk meraih sifat mulia ini dan sifat-sifat agung lainnya dalam agama adalah dengan banyak berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala.

Oleh karena itu, imam Mutharrif bin ‘Abdillah bin asy-Syikhkhiir berkata: “Aku mengingat-ingat apakah penghimpun segala kebaikan, karena kebaikan itu banyak; puasa, shalat (dan lain-lain). Semua kebaikan itu ada di tangan Allah Ta’ala, maka jika kamu tidak mampu (memiliki) apa yang ada di tangan Allah Ta’ala kecuali dengan memohon kepada-Nya agar Dia memberikan semua itu kepadamu, maka berarti penghimpun (semua) kebaikan adalah berdoa (kepada Allah Ta’ala)”23.

Kemudian sifat khusyu’ akan diraih insya Allah dengan seorang hamba mengenal Allah Ta’aladengan cara yang benar,melalui pemahaman terhadap nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna. Inilah ilmu yang paling mulia dalam Islam dan merupakan jalan utama untuk meraih semua sifat dan kedudukan yang mulia di sisi AllahTa’ala.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Orang yang paling sempurna dalam penghambaan diri (kepada Allah Ta’ala) adalah orang yang menghambakan diri (kepada-Nya) dengan (memahami kandungan) semua nama dan sifat-Nya yang (bisa) diketahui oleh manusia”24.

Imam Ibnu Rajab al-Hambali memaparkan hal ini dalam ucapan beliau:

“Asal (sifat) khusyu’ yang terdapat dalam hati tidak lain (bersumber) dari ma’rifatullah(mengenal Allah Ta’ala dengan memahami nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna), mengenal keagungan-Nya, kemuliaan-Nya dan kesempurnaan-Nya. Sehingga barangsiapa yang lebih mengenal Allah maka dia akan lebih khusyu’ (kepada-Nya).

Sifat khusyu’ dalam hati manusia dalam hati manusia bertingkat-tingkat (kesempurnaannya) sesuai dengan bertingkat-tingkatnya pengetahuan (dalam) hati manusia terhadap Zat yang dia tunduk kepada-Nya (Allah Ta’ala) dan sesuai dengan bertingkat-tingkatnya penyaksian hati terhadap sifat-sifat yang menumbuhkan kekhusyu’an (kepada Allah Ta’ala).

Ada hamba yang (meraih) khusyu’ (kepada-Nya) karena penyaksiannya yang kuat terhadap kemahadekatan dan penglihatan-Nya (yang sempurna) terhadap apa yang tersembunyi dalam hati hamba-Nya, sehingga ini menimbulkan rasa malu kepada Allah Ta’ala dan selalu merasakan pengawasan-Nya dalam semua gerakan dan diamnya hamba tersebut.

Ada juga yang (meraih) khusyu’ karena penyaksiannya terhadap kemahasempurnaan dan kemahaindahan-Nya, sehingga ini menjadikannya tenggelam dalam kecintaan kepada-Nya serta kerinduan untuk bertemu dan memandang wajah-Nya.

Page 10: TUGAS RADIOLOGI

(Demikian pula) ada yang meraih khusyu’ karena penyaksiannya terhadap kerasnya siksaan, pembalasan dan hukuman-Nya, sehingga ini membangkitkan rasa takutnya kepada Allah.

Maka Allah Ta’ala Dia-lah yang memperbaiki hati hamba-hamba-Nya yang tanduk dan remuk hatinya kepada-Nya. Allah Ta’ala maha dekat kepada hamba-Nya yang bermunajat kepada-Nya dalam shalat dan menempelkan wajahnya ke tanah ketika sujud, sebagaimana Dia maha dekat kepada hamba-Nya yang berdoa, memohon dan meminta ampun kepada-Nya atas dosa-dosanya di waktu sahur. Dia maha mengabulkan doa hamba-Nya serta memenuhi permohonannya, dan tidak ada sebab untuk memberbaiki kekurangan seorang hamba yang lebih agung dari kedekatan dan pengabulan doa dari-Nya”25.

Pemaparan imam Ibnu Rajab di atas merupakan makna firman Allah Ta’ala:

{ العلماء باد�ه� ع� م�ن ه الل يخشى ما �ن {إ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allah Ta’ala)” (QS Faathir:28).

Imam Ibnu Katsir berkata: “Arti (ayat ini): Hanyalah orang-orang yang berilmu dan mengenal Allah yang memiliki rasa takut yang sebenarnya kepada Allah, karena semakin sempurna pemahaman dan penegetahuan (seorang hamba) terhadap Allah, Zat Yang Maha Mullia, Maha kuasa dan Maha Mengetahui, yang memiliki sifat-sifat yang maha sempurna dan nama-nama yang maha indah, maka ketakutan (hamba tersebut) kepada-Nya semakin besar pula”26.