TUGAS PRESENTASI KASUS Anemia Makrositik.docx
-
Upload
yessy-dwi-oktavia -
Category
Documents
-
view
164 -
download
10
Transcript of TUGAS PRESENTASI KASUS Anemia Makrositik.docx
TUGAS PRESENTASI KASUS
ANEMIA MARKOSITIK
Pembimbing :
dr. Ariadne Tiara H, M.Si.Med, Sp.A.
Disusun oleh :
Eka Rizki F G1A010111
Eka Wijaya W G1A010112
Dicky Bramantyo A.P. G1A010113
Zhita Wahyu A G1A010061
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh
dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara
berkembang (Made, 2009).
Anemia itu sendiri secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah
yang cukup ke jaringan perifer (Made, 2009).
Anemia dapat diklasifiksikan menurut faktor-faktor morfologik SDM, yaitu mikrositik
dan makrositik. Klasifikasi tersebut menunjukkan ukuran SDMnya. Anemia Megaloblastik
adalah contoh anemia markositik (Price, 2005).
Anemia megaloblastik secara umum mempunyai abnormalitas morfologi dan
pematangan eritrosit tertentu. Eritrosit dalam tiap tahap perkembangannya lebih besar
daripada normal dan mempunyai kromatin inti longgar tersebar halus dan asinkroni antara
maturasi inti dan sitoplasma dengan keterlambatan keterlibatan inti makin nyata sejalan
dengan perkembangan sel. Morfologi megaloblastik dapat dijumpai pada sejumlah keadaan;
hampir semua kasus pada anak disebabkan oleh defisiensi asam folat, vitamin B12, atau
kedua-duanya (Kliegman, 2007).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya volume eritrosit atau
konsentrasi hemoglobin (Kliegman, 2007). Anemia bukan merupakan suatu keadaan
spesifik, melainkan dapat disebabkan oleh bermacam-macam reaksi patologis dan
fisiologis. Anemia ringan hingga sedang mungkin tidak menimbulkan gejala objektif,
namun dapat berlanjut ke keadaan, takipnea, napas pendek saat beraktivitas, takikardia,
dilatasi jantung, dan gagal jantung (Nathan, 2008 ;Khusun, 1999).
Anemia dapat diklasifiksikan menurut faktor-faktor morfologik SDM, yaitu
mikrositik dan makrositik. Klasifikasi tersebut menunjukkan ukuran SDMnya. Anemia
Megaloblastik adalah contoh anemia markositik (Price, 2005).
Anemia Megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh sintesis DNA yang
terganggu. Sel-sel yang pertama dipengaruhi adalah yang secara relatif mempunyai sifat
perubahan yang cepat, terutama sel-sel awal hematopoetik dan epitel gastrointestinal.
Kelainan ini ditandai dengan sel megaloblastik (Soenarto, 2009).
B. Etiologi dan Presdiposisi
Anemia makrositik dapat disebabkan oleh (Oehadian, 2012)
1. Peningkatan retikulosit
Peningkatan MCV merupakan karakteristik normal retikulosit. Semua keadann yang
menyebabkan peningkatan retikulosit akan memberikan gambaran peningkatan MCV
2. Metabolisme abnormal asam nukleat pada prekusor sel darah merah
3. Gangguan maturasi sel darah merah
4. Penggunaan alkohol
5. Penyakit hati
6. Hipotiroidisme
Penyebab Anemia megaloblastik adalah sebagai berikut (Permono, 2007):
1. Defisiensi vitamin B12.
2. Defisiensi asam folat
3. Gangguan metabolisme vitamin B12 dan asam folat
4. Gangguan sintesis DNA akibat dari :
a. Defisiensi enzim kongenital
b. Didapat setelah pemberian obat atau sitostatik tertentu.
Faktor predisposisi anemia megaloblas adalah sebagai berikut (Soenarto, 2009):
1. Defisiensi Vit B12
a. Asupan kurang ; pada vegetarian
b. Malabsopsi
1) Defek penyampaian kobalamin dari makanan: achlorhidria gaster, gastrektomi,
obat-obat yang menghalangi sekresi asam
2) Produksi faktor intrinsik yang tidak mencukupi: anemia pernisiosa, gastrektomi
total, abnormalitas fungsional atau tidak adanya faktor intrinsik yang bersifat
kongenital
3) Gangguan dari ileum terminalis: sprue tropikal, sprue non tropikal, enteritis
regional, reseksi intestinum, neoplasma dan gangguan granulomatosa, sindrom
imerslund (malabsorbsi kobalamin selektif)
4) Obat-obatan: p-aminosalicylic acid, kolkisin, neomisin
c. Gangguan metabolisme seluler
Defisiensi enzim,abnormallitas protein pembawa kobalamin (defisiensi
transkobalamin), dan paparan nitrit oksida yang berlangsung lama.
d. Infeksi cacing pita.
2. Defisiensi Asam Folat
a. asupan kurang
1) Gangguan nutrisi : Alkoholoisme, bayi premature, orang tua hemodialisis dan
anoreksia nervosa.
2) Malabsopsi : Gastrektomi parsial,reseksi usus halus, penyakit Crohn’s,
scleroderma dan obat antikonvulsan.
b. Peningkatan kebutuhan
Kehamilan,anemia hemolitik, keganasan, hipertiroidisme, serta eritropoesis yang
tidak efektif (anemia pernisiosa,anemia sideroblastik,leukemia dan anemia
hemolitik).
c. Gangguan metabolisme folat: Alkoholisme, defisiensi enzim
d. Penurunan cadangan folat di hati: Alkoholisme, sirosis non alkoholik dan hepatoma.
C. Epidemiologi
Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia; diperkirakan
terdapat pada 43% anak-anak usia kurang dari 4 tahun (Ezzati, 2002). Survei Nasional di
Indonesia (1992) mendapatkan bahwa 56% anak dibawah umur 5 tahun menderita anemia,
pada survey tahun 1995 ditemukan 41% anak dibawah 5 tahun dan 24-35% dari anak
sekolah menderita anemia (Sari, 2001). Gejala yang samar pada anemia ringan hingga
sedang menyulitkan deteksi sehingga sering terlambat ditanggulangi. Keadaan ini
berkaitan erat dengan meningkatnya resiko kematian pada anak (Khusun, 1999).
Anemia megaloblastik ringan telah dilaporkan pada bayi berat lahir rendahdan
suplementasi asam folat secara rutin dianjurkan. Anemia megaloblastik mencapai
insidensi puncak pada umur 4-7 bulan (Kliegman, 2007).
D. Patogenesis
Terdapat dua jenis utama anemia megaloblastik, satu disebabkan oleh defisiensi
folat dan yang lain disebabkan oleh defisiensi vitamin B12. Anemia ini dapat disebabkan
karena defisiensi gizi (misalnya asam folat) atau akibat gangguan penyerapan seperti pada
kasus vitamin B12. Kedua komponen tersebut diperlukan untuk sintesis DNA sehingga
efek defisiensi keduanya pada eritropoiesis serupa (Kumar et al., 2007).
Tanda morfologi utama anemia megaloblastik adalah pembesaran precursor eritroit
sehingga terbentuk sel darah merah yang sangat besar. Hal ini terlihat jelas pada precursor
granulosit yang juga membesar menghasilkan pembentukan neutrofil hipersegmentasi
yang sangat khas. Hal yang mendasari gigantisme sel darah merah pada anemia ini adalah
gangguan sintesis DNA yang menyebabkan keterlambatan pematangan inti sel dan
pembelahan sel, sedangkan sintesis RNA dan elemen sitoplasma berlangsung dengan
kecepatan normal. Hal tersebut menyebabkan sintesis RNA dan elemen sitoplasma
mengalahkan kecepatan pembentukan inti sel yang dapat disebut dengan asinkronisitas
nukleus-sitoplasma (Kumar et al., 2007).
Cacat sintesis DNA yang beratakan mengalami apoptosis di sumsum tulang tanpa
menghasilkan sel darah merah, yang lainnya berhasil membentuk sel darah merah dewasa
tetapi hanya dalam beberapa kali pembelahan sehingga hasil total dari prekursor ini
menurun. Prekursor granulosit dan trombosit juga mengalami hal yang sama, sehingga
sebagian besar pasien anemia megaloblastik memperlihatkan tanda pansitopenia (anemia,
trombositopenia, granulositopenia) (Kumar et al., 2007).
Defisiensi Vit. B12 dan asam folat
Gangguan sintesis DNA
Sintesis RNA dan elemen sitoplasma normalPematangan inti
sel dan pembelahan sel
Asinkronisitas nukleus-sitoplasma
Gigantisme sel darah merah
Apoptosis di sumsum tulang
SDM dewasa dalam beberapa pembelahan
Total prekursor menurun
Prekursor trombosit dan granulosit menurun
pansitopenia
Anemia megaloblastik
E. Patofisiologi
Defisiensi asam folat dan vit. B12
↓
Gangguan maturasi sel
↓
Kromatin lebih longgar
↓
Sel lebih besar, karena pembelahan sel lambat
↓
Sel megaloblast
↓
Fungsinya tidak normal
↓
Dihancurkan saat masih dalam sumsum tulang
↓
Eritropoesis inefektif, masa hidup SDM pendek
↓
Anemia
↓
Viskositas darah menurun
↓
Resistensi aliran darah perifer
↓
Penurunan transport O2 kejaringan
↓
Hipoksia, pucat, lemah (5L)
↓
Beban jantung meningkat
↓
Kerja jantung meningkat
↓
Payah jantung
F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Beberapa komponen penting yang dapat ditanyakan pada saat anamnesis yang
berhubungan dengan anemia makrositik adalah (Waterbury, 2001):
a. Penyakit hati obstruktif dan hepatoseluler sering disertai dengan peningkatan MCV
dan pada umumnya kurang dari 110 fl. Pada penyakit hati, membrane sel darah
merah menimbun lipid sehingga sel-sel darah tampak besar dan bundar tanpa variasi
ukuran dan bentuk menyolok. Abnormalitas morfologi ini tidak berhubungan dengan
anemia meskipun anemia juga dapat terjadi dari mekanisme lain.
b. Pecandu alkohol seringkali mengalami peningkatan ringan MCV (100-110 fl).
Penyebab peningkatan ini masih belum jelas, tetapi telah diketahui kelainan ini dapat
terjadi tanpa penyakit hati atau defisiensi folat.
c. Anemia megaloblastik merupakan keadaan yang disebabkan karena defisiensi asam
folat dan B12. Pasien dapat mengalami nyeri mulut, gangguan pencernaan seperti
konstipasi atau diare.
2. Pemeriksaan Fisik
Tujuan utama dari pemeriksaan fisik adalah menemukan tanda-tanda keterlibatan organ
dan untuk menilai beratnya kondisi penderita. Pemeriksaan fisik yang perlu
diperhatikan adalah (Oehadian, 2012) :
a. Kelemahan berat, malabsorbsi
b. Adanya takikardi, dispnea, hipotensi postural
c. Pucat pada telapak tangan, kuku, wajah atau konjungtiva sebagai predictor anemia
d. Lidah sakit dan lidah licin (pada anemia megaloblastik)
e. Pada defisiensi B12 dapat ditemukan neuropati perifer
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang
Pada kasus anemia megaloblastik, nilai MCV seringkali lebih dari 115 fl. Bila
anemianya berat, sel-sel darah merah menunjukkan anisositosis dan poikilositosis
yang dominan dengan makro-ovalositosis. Neutrofil seringkali hipersegmentasi
(berlobus enam atau lebih) dan jumlahnya menurun yang menetap selama 10 hari
sampai 2 minggu setelah pengobatan, trombosit menurun jumlahnya, sumsum tulang
khas hiperseluler dengan perubahan-perubahan megaloblastik prekusor eritroid dan
granulositik. Pewarnaan besi sumsum tulang seringkali memperlihatkan sideroblas
abnormal dan kadang-kadang dapat terlihat sideroblas bercincin (Waterbury, 2001).
b. Kadar vitamin B12 dan folat serum
Kadar B12 serum biasanya sangat rendah dan pada anemia megaloblastik karena
defisiensi asam folat, folat serum khas sangat rendah, namun folat serum sangat peka
terhadap asupan diit yang baru sehingga folat serum hanya sedikit membantu dalam
menegakkan diagnosis anemia megaloblastik (Waterbury, 2001).
c. Uji Schilling
Terutama digunakan untuk kasus-kasus anemia megaloblastik dengan etiologi yang
membingungkan. Nilai dari uji Schilling dapat abnormal pada awal anemia
megaloblastik, sehingga lebih dapat dipercaya setelah anemia megaloblastik diobati
selama 1-2 minggu (Waterbury, 2001).
d. Dapat terjadi hiperbilirubinemia indirek, peningkatan laktat dehidrogenase serum dan peningkatan besi serum.
G. Penatalaksanaan
Sediaan pilihan obat untuk kondisi defisensi vitamin B12 adalah sianokobalamin,
dan harus diberikan melalui ineksi intramuscular atau subkutan dalam. Sianokobalamin
aman untuk diberikan melalui injeksi intramuscular dan subkutan dalam, tapi tidak boleh
diberikan secara intravena (Goodman & Gillman, 2007).
Sianokobalamin diberikan pada dosis I hingga 1000 ug. Ambilan jaringan,
penyimpanan, dan penggunaan bergantung pada ketersediaan transkobalamin II (TC II).
Kelebihan dosis 100 ug segera dibersihkan dari plasma kedalam urin dan, pemberian
vitamin B12 dalam jumlah yang lebih besar tidak akan menyebabkan retensi vitamin yang
lebih besar. Pemberian 1000 ug bermanfaat ketika melakukan uji schilling (Goodman &
Gillman, 2007).
Kebanyakan sediaan multivitamin dilengkapi dengan faktor intrinsik yang
mengandung 0,5 unit oral per tablet. Meskipun kombinasi B12 dan faktor intrinsik oral
tampaknya ideal untuk pasien defisiensi faktor intrinsic, sediaan tersebut tidak dapat
diandalkan. Antibody yang bekerja terhadap faktor intrinsik manusia dapat menghalangi
absorbsi vitamin B12 secara efektif (Goodman & Gillman, 2007).
Hidroksobolamin yang diberikan pada dosis 100 ug secara intramuscular telah
dilaporkan memiliki efek yang lebih lama daripada sianokobalamin, karena satu dosis
tunggal mampu mempertahankan konsentrasi vitamin B12 dalam plasma sampai 3 bulan.
Lebih lanjut lagi pemberiaan hidroksobalamin menghasilkan pembentukan antibody
terhadap kompleks transkobalamin II-vitamin B12 (Goodman & Gillman, 2007).
Pengobatan pasien yang sakit akut akibat anemia megaloblastik harus dimulai
dengan injeksi intarmuskular vitamin B12 maupun asam folat. Jika pasien mengalami
kedua defisiensi tersebut, terapi dengan hanya satu vitamin tidak akan memberikan respon
yang optimal. Sesudah eritropoesis megaloblastik dinyatakan positif dan telah berkumpul
darah yang cukup untuk pengukuran konsentrasi vitamin B12 dan asam folat lebih lanjut,
pasien harus menerima injeksi intramuscular 100 ug sianokobalamin dan 1-5 mg asam
folat. Untuk 1-2 minggu berikutnya pasien harus menerima injeksi intramuscular 100 ug
sianokobalamin setiap hari bersama dengan suplemen 1-2 mg asam folat setiap hari. Jika
terjadi gagal jantung kongestf, dapat dilakukan flebotomi untuk memindahkan sejumlah
volume darah lengkap yang setara atau dapat diberikan diuretik untuk mencegah volume
berlebihan (Goodman & Gillman, 2007).
Terapi jangka panjang untuk vitamin B12 dengan injeksi intramuscular 100 µg
sianokobalamin setiap 4 minggu sudah cukup untuk menjaga konsentrasi vitamin B12
normal dalam plasma dan suplai yang cukup untuk jaringan. Pasien dengan symptom dan
tanda-tanda neurologis parah dapat diobati dengan dosis vitamin B12 100 ug perhari atau
beberapa kali per minggu selama beberapa bulan. Terapi jangka panjang harus dievaluasi
pada interval 6-12 bulan pada pasien yang kondisinya baik (Goodman & Gillman, 2007).
Penggunaan vitamin yang efektif bergantung pada akurasi diagnosis dan
pemahaman mengenai prinsip umum terapi. Vitamin harus diberikaan jika ada
kemungkinan yang beralasan adanya defisiensi. Terapi harus dilakukan sespesifik
mungkin. Peringanan relative pengobatan dengan vitamin tidak mencegah dilakukannya
penyelidikan lengkap terhadap etiologi defisiensinya (Goodman & Gillman, 2007).
BAB III
KESIMPULAN
1. Anemia Megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh sintesis DNA yang
terganggu. Sel-sel yang pertama dipengaruhi adalah yang secara relatif mempunyai sifat
perubahan yang cepat, terutama sel-sel awal hematopoetik dan epitel gastrointestinal.
Kelainan ini ditandai dengan sel megaloblastik.
2. Penyebab Anemia megaloblastik tersering pada anak adalah sebagai berikut : Defisiensi
vitamin B12, Defisiensi asam folat, dan Gangguan metabolisme vitamin B12 dan asam
folat.
3. Pengobatan untuk kondisi defisensi vitamin B12 adalah sianokobalamin, dan harus
diberikan melalui ineksi intramuscular atau subkutan dalam. Sianokobalamin diberikan
pada dosis I hingga 1000 ug.
4. Pengobatan pasien yang sakit akut akibat anemia megaloblastik harus dimulai dengan
injeksi intarmuskular vitamin B12 maupun asam folat. Jika pasien mengalami kedua
defisiensi tersebut, terapi dengan hanya satu vitamin tidak akan memberikan respon yang
optimal. Sesudah eritropoesis megaloblastik dinyatakan positif dan telah berkumpul
darah yang cukup untuk pengukuran konsentrasi vitamin B12 dan asam folat lebih lanjut,
pasien harus menerima injeksi intramuscular 100 ug sianokobalamin dan 1-5 mg asam
folat. Untuk 1-2 minggu berikutnya pasien harus menerima injeksi intramuscular 100 ug
sianokobalamin setiap hari bersama dengan suplemen 1-2 mg asam folat setiap hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ezzati, M., Lopez, A.D., Rodgers, A., Vander, H.S., Murray, C.J. 2002. The Comparative Risk Assessment Collaborating Group.Selected major risk factors and global and regional burden of disease. Lancet. 360 : 1347 – 60
Goodman & Gillman. 2007. Dasar Farmakologi & Terapi edisi 10. Jakarta: EGC
Khusun H., Yip R., Schultink W., Dilon, D.H.S. 1999. World Health Organization Hemoglobin Cut-Off Points for the Detection of Anemia Are Valid for An Indonesian Population. J Nutrition.129 : 1669-74
Kliegman, R.M., Behrman, R.M., Jenson, H.B., Stanton, B.F. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed. Philadelphia :Elsevier Inc
Kumar, V., R.S. Cotran and S.L. Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Vol.2. Alih Bahasa : Brahm, U. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal : 461-462
Made, I Bakta. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakid Dalam: Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing
Nathan, D.G., Orkin, S.H., Oski, F.A., Ginsburg D.N. 2008. Hematology of Infancy and Childhood, 7th ed. Philadelphia : Saunders
Oehadin, A. 2012. Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. Continuing Medical Education CDK-194 Vol 39, No. 6 Sub bagian Hematologi Onkologi Medik, Bagian Penyakit Dalam RS Hasan Sadikin, Bandung. 6 halWaterbury, L. 2001. Buku Saku Hematologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal : 25-33
Permono, B (ed.). 2007. Buku ajar hematologi-onkologi anak. 2nd edition. Jakarta: IKAI
Price, S.A., Wilson, M.L. 2005. Patofisiologi :Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Sari, M., De, P.S., Martini, E., Herman, S., Sugiatmi, Bloem, M.W. 2001. Estimating The Prevalence of anemia : a comparasion of three methods. Bulletin of the World Health Organization.79 : 506-11
Soenarto. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakid Dalam: Anemia Megaloblastik. Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing