tugas pajak 9

26
MANAJEMEN PERPAJAKAN Tax Planning dan Pengendalian atas PPh Pasal 21 Anggota Kelompok: Endah Novitasari 14/375300/EE/06863 Erdhiani Dwi Purnami 14/375405/EE/06959 Reyhana Ulfa RR 14/375363/EE/06925 FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS PROGRAM PROFESI AKUNTANSI UNIVERSITAS GAJAH MADA

description

pajak

Transcript of tugas pajak 9

MANAJEMEN PERPAJAKANTax Planning dan Pengendalian atas PPh Pasal 21

Anggota Kelompok:

Endah Novitasari

14/375300/EE/06863

Erdhiani Dwi Purnami14/375405/EE/06959

Reyhana Ulfa RR

14/375363/EE/06925FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

PROGRAM PROFESI AKUNTANSI

UNIVERSITAS GAJAH MADA

YOGYAKARTA

2015Pajak Penghasilan Pasal 21Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 merupakan pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri. PPh pasal 21 ini dipotong dan dipungut oleh pemberi kerja. PPh yang dipotong ini ada yang dibebankan kepada karyawan, ditanggung pemberi kerja dan diberikan berupa tunjangan pajak oleh pemberi kerja.Pajak yang ditanggung pemberi kerja bukan merupakan objek PPh Pasal 21 (Peraturan Dirjen Pajak No. Per-31/PJ./2009) melainkan kenikmatan yang diberikan oleh pemberi kerja, sehingga tidak dapat dikurangkan sebagai pengurang dari penghasilan bruto pemberi kerja. Namun bila fasilitas yang diberikan kepada pegawai berupa tunjangan pajak, maka tunjangan pajak ini merupakan objek PPh Pasal 21 (Peraturan Dirjen Pajak No. Per-31/PJ./2009) yang akan menambah penghasilan pegawai, dan dapat dikurangkan sebagai pengurang dari penghasilan bruto pemberi kerja.

Strategi Tax Planning PPh Pasal 21Perencanaan pajak yang dapat diterapkan pada PPh Pasal 21 yaitu dengan memberikannya dalam bentuk tunjangan pajak. Tunjangan pajak dihitung dengan menggunakan metode gross up an besarnya tunjangan tersebur termasuk dalam komponen gaji karawan sehingga bisa dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menghitung penghasilan kena pajak. Besarnya tunjangan pajak yang diberikan sama dengan jumlah PPh pasal 21 terhutang untuk masing-masing karyawan. Pemberian tunjangan pajak akan meningkatkan jumlah beban gaji karyawan yang akan berdampak pada penurunan laba komersial. Jika penghematan pajak yang dihasilkan dari pemberian tunjangan pajak cukup besar dan sebanding dengan penurunan laba komersial, perusahaan dapat tetap memberikan tunjangan pajak.Tahapan Perencanaan Pajak PPh Pasal 21

a. Memahami Ketentuan PPh Pasal 21

Memahami Ketentuan PPh Pasal 21 dan Klasifikasi Objek PPh Pasal 21.Dalam hal ini kita perlu mengetahui apa yang termasuk objek dan bukan objek pajak PPh Pasal 21, termasuk yang menjadi objek final dan tarifnya sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemotongannya.b. Memahami Saat Terutangnya Pajak

Berdasarkan ketentuan Pasal 21 UU PPh, objek PPh Pasal 21 terdiri dari penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Istilah diterima mengandung pengertian cash basis, sedangkan diperoleh itu accrual basis. Kedua istilah ini, jika dikaitkan dengan perlakukan akuntansi, terkait dengan mana yang lebih dulu antara pengakuan biaya dan pembayaran. Artinya, pajak harus dipotong pada saat mana yang lebih dulu antara pengakuan biaya atau pembayaran kepada penerima penghasilan. c. Memahami Perlakuan Akuntansi untuk PPh Pasal 21

1. Pajak ditanggung karyawan

2. Pajak ditanggung karyawan, tapi pemberi kerja memberikan tunjangan PPh senilai pajak terutang (metode gross-up)d. Menentukan benefit in cash atau benefit in kind untuk penghasilan pegawai Strategi efisiensi PPh Pasal 21 dan PPh Badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan.

1. Pada perusahaan yang memperoleh Penghasilan Kena Pajak yang telah dikenakan tarif tertinggi (di atas Rp. 100 juta) dan pengenaan PPh Badannya tidak final, diupayakan seminimal mungkin diberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in kind) karena pengeluaran ini non-deductible/non objek pajak.

2. Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian natura dan kenikmatan (fringe benefit ) akan menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil. Sebagaimana telah dibahas di atas tentang pemberian kesejahteraan karyawan, perusahaan yang masih rugi perlu meningkatkan penghasilan karyawan dalam bentuk benefit in kind agar PPh Pasal 21-nya dapat dihemat. Akan tetapi, bila mengalami laba di atas Rp 100 juta, perusahaan masih juga harus mempertimbangkan nilai penghasilan yang diterima/diperoleh setiap pegawainya. Apabila ada pegawai yang memperoleh penghasilan di atas Rp 500 juta, lebih baik setiap tambahan penghasilannya diberikan dalam bentuk natura karena untuk WP perorangan tarif pajak tertinggi adalah 30% untuk lapisan penghasilan di atas Rp 500 juta, sedangkan tarif tertinggi PPh Badan 28%.

e. Perlakuan pemberian uang tips yang dicatat ke dalam biaya entertainment. Kadang kala perusahaan juga membebankan pemberian uang tips, uang pengurusan dokumen atau izin, uang jamuan pimpinan proyek ke dalam biaya entertainment atau biaya lain-lain, sementara daftar nominatifnya tidak dapat dibuat. Sebagai konsekuensinya, pada akhir tahun biaya entertainment yang tidak didukung daftar nominatif harus dikoreksi ketika menghitung PPh Badan. Agar penghematan PPh dapat dilakukan, perusahaan dapat mereklasifikasi biaya tersebut ke dalam pemberian honor atau imbalan kepada pihak ketiga. Penghitungan pajaknya dilakukan dengan cara gross-up sehingga penghematan pajaknya dapat dilakukan secara optimal. Akan tetapi bila perusahaan merugi, PPh Badannya akan nihil sehingga pembebanan ke biaya entertainment dapat dilakukan untuk menghemat pajak. Penggunaan tarif 5% untuk PPh Pasal 21 di atas didasarkan asumsi bahwa setiap orang menerima uang tips tidak lebih dari Rp 25 juta. Dengan demikian, sesuai ketentuan pasal 5 huruf e angka 6 dan pasal 11 Keputusan Dirjen Pajak No. Kep-545/PJ./2000 jo. Per-15/PJ./2006, honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri, di antaranya terdiri dari pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial, dipotong PPh Pasal 21 berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh, yaitu 5%.f. Ekualisasi Biaya yang Terkait dengan Objek PPh Pasal 21. Prosedur yang perlu ditempuh untuk melakukan ekualisasi ini adalah

Akun-akun yang merupakan objek PPh Pasal 21, khususnya yang terkait dengan pegawai tetap, dikumpulkan menjadi satu kelompok akun.

Untuk setiap transaksi yang masih terkait dengan objek PPh Pasal 21 dan nantinya dilaporkan ke dalam formulir 1721-B, harus diberi kode khusus pada deskripsinya, misalnya #21# di awal deskripsinya. Hal ini untuk memudahkan proses ekualisasi pada akhir tahun sebelum SPT Tahunan PPh Pasal 21 dilaporkan ke kantor pajak.

Pada akhir tahun seluruh objek PPh Pasal 21 yang tersebar di akun-akun biaya/beban menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu dan ditandingkan dengan perhitungan menurut SPT Tahunan PPh Pasal 21.

Jika masih timbul selisih yang disebabkan oleh penghasilan pegawai tetap yang dilaporkan di dalam formulir 1721-A, teliti akun yang menampung iuran Jamsostek dan pastikan bahwa iuran Jaminan Hari Tua tidak termasuk dalam objek PPh Pasal 21.

Jika selisih tersebut disebabkan dari penghasilan yang dilaporkan dalam formulir 1721-B, teliti kelompok penghasilan mana yang belum dipotong pajaknya.

Kompensasi Karyawan: Tunai Versus Natura

Apabila kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan bersifat tunai maka pada PPh Badan, dapat dibebankan sebagai biaya pengurang untuk pemeriksaan fiskal pajak. Apabila kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan berupa natura misalnya pemberian fasilitas berobat gratis, pemberian kendaraan, pemberian bahan pokok (beras). Dalam hal ini manfaat yang diberikan kepada karyawan tersebut tidak dapat dibiayakan sebagai pengurang untuk pemerikasaan fiskal pajak.

Gross Method, Net Method, dan Gross Up MethodPada perhitungan PPH 21 Karyawan, terdapat 3 metode perhitungan yang dapat digunakan, yaitu :a. Net Method yaitu metode pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung pajak karyawannya. Dalam hal ini, jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan ditanggung oleh perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian, gaji yang diterima oleh karyawan tersebut tidak dikurangi dengan PPh Pasal 21 karena perusahaanlah yang menanggung biaya/beban PPh Pasal 21. Perhitungan PPh Pasal 21 tersebut dilakukan dengan cara gross up. PPh Pasal 21 yang ditanggung perusahaan tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan, karena tidak termasuk sebagai faktor penambahan pendapatan dalam SPT PPh Pasal 21.b. Gross Method yaitu metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri jumlah pajak penghasilannya. Dalam hal ini jumlah PPh Pasal 21 yang terutang akan ditanggung oleh karyawan itu sendiri, sehingga benar-benar mengurangi penghasilan. Istilah yang sering digunakan adalah bahwa PPh Pasal 21 dipotong oleh perusahaan.c. Gross Up Methode yaitu metode pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak yang sama besar dengan jumlah pajak yang dipotong dari karyawan. Jika PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan, maka jumlah tunjangan tersebut akan menambah beban penghasilan karyawan dan dikenai PPh Pasal 21. Dalam hal ini perhitungan PPh dilakukan dengan cara gross up di mana besarnya tunjangan pajak sama dengan jumlah PPh Pasal 21 terutang untuk masing-masing karyawan.Sepintas lalu kebijakan PPh Pasal 21 jenis ini terlihat memberatkan perusahaan, karena penghasilan karyawan akan bertambah besar sebagai akibat dari penambahan tunjangan pajak. Namun beban perusahaan tersebut akan tereleminasi, karena PPh Pasal 21-nya dapat dibiayakan.

Di samping memberi tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya sama dengan PPh terutang untuk masing-masing karyawan (metode gross up), perusahaan juga bisa memberikan tunjangan PPh Pasal 21 yang besarnya berbeda dengan PPh terutang.Dalam hal besarnya PPh Pasal 21 yang terutang lebih besar daripada tunjangan PPh Pasal 21, maka kekurangannya bisa ditanggung karyawan (dipotong) atau ditanggung perusahaan. Jika kekurangannya ditanggung oleh perusahaan, maka perlakuan perpajakannya menjadi non deductible expenses.Secara matematis untuk menghitung PPh Gross Up tersebut adalah sebagai berikut:Lapisan 1 : Untuk PKP 0 - 47.500.000Tunjangan PPh = (PKP setahun - 0) x 5/95 + 0Lapisan 2 :Untuk PKP 47.500.000 - 217.500.000Tunjangan PPh = (PKP setahun - 47.500.000) x 15/85 + 2.500.000Lapisan 3 :Untuk PKP 217.500.000 - 405.000.000Tunjangan PPh = (PKP setahun - 217.500.000) x 25/75 + 32.500.000Lapisan 4 :Untuk PKP > 405.000.000Tunjangan PPh = (PKP setahun - 405.000.000) x 30/70 + 95.000.000 Contohnya:Gaji 20,000,000

Asuransi 100,000

Penghasilan Bruto 20,100,000

Iuran Pensiun (200,000)

Iuran Jabatan (500,000) (700,000)

Penghasilan Neto 19,400,000

Penghasilan Neto di setahunkan 232,800,000

PTKP (Tk/0) 24,300,000

PKP 208,500,000

Dengan PKP Rp 208.500.000 maka masuk dalam kelompok lapisan ke 2, Maka perhitungan tunjangan pajaknya yaitu :

Tunjangan PPh = (207.900.000 - 47.500.000) x 15/85 + 2.500.000

Tunjangan PPh Per bulan = Rp 30.911.765 = Rp 2.575.980

Pembuktian Kebenarannya yaitu :

Gaji 20,000,000

Tunjangan Pajak 2,575,980

Asuransi 100,000 2,675,980

Penghasilan Bruto 22,675,980

Iuran Pensiun (200,000)

Iuran jabatan (500,000) (700,000)

Penghasilan Neto 21,975,980

Penghasilan Neto di setahunkan 263,711,760

PTKP (Tk/0) 24,300,000

PKP 239,411,760

PPh

5% x 50.000.000 2,500,000

15% x 188.811.760 28,411,764

Jumlah PPh Terutang Rp 30,911,764

Jumlah PPh terutang terbukti sama dengan jumlah tunjanganKonsep Taxable dan Deductible Terkait dengan Unsur-Unsur Biaya KaryawanSecara umum beberapa komponen biaya atau beban personalia yang termasuk kepada biaya karyawan, adalah sebagai berikut :

1. Gaji Karyawan dan direksi (termasuk upah, honor dan sejenisnya)

2. Tunjangan karyawan (semua jenis tunjangan, termasuk kesehatan atau pengobatan, kendaraan, jabatan, perumahan dan sebagainya)

3. Beban dewan komisaris (honor komisaris)

4. Bonus

5. THR (Tunjangan Hari Raya)

6. Asuransi Karyawan

7. Lembur

8. Beban personalia lainnya.

Konsep Taxable Deductible atau Non Taxable Non Deductible. Taxable biasanya ditujukan untuk pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang atau badan tanpa melihat dari mana penghasilan tersebut diperoleh (sumber penghasilan). Deductible adalah biaya yang diakui oleh pajak, biasanya ditujukan kepada beban atau biaya yang menurut ketentuan menjadi pengurang penghasilan bruto sebagai mana diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Pajak Penghasilan (PPH). Pada umumnya jika suatu biaya yang terkait dengan karyawan akan terutang Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 jika biayanya diakui misalnya biaya gaji, tunjangan, bonus dan sebagainya. Jika pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan tidak dapat dibebankan sebagai biaya fiskal (Non Deductible) sehingga bagi karyawan yang menerima bukan merupakan penghasilan (Non Taxable).Prinsip Taxable diatur di Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU PPh dan Prinsip Deductible diatur pasal 6 UU PPh. Contoh Taxable dan Deductable :Jenis PengahasilanTaxable bagi PenerimaDeductible bagi Pemberi

Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honor, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnyaPPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2)Biaya gaji, biaya honor, biaya tunjangan, biaya komisi, dll

Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaanPPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2)Biaya hadiah atau biaya promosi atau biaya lainnya

Terdapat beberapa penyimpangan konsep Taxable Deductible atau Non Taxable Non Deductible karena adanya ketentuan khusus yang mengaturnya. Bentuk penyimpangan tersebut bisa berupa Taxable Deductible atau Non Taxable Non Deductible. Hal ini terkadang menyulitkan Wajib Pajak karena hal ini akan menyebabkan perbedaan objek pajak yang dilaporkan dalam SPT Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 tahunan dengan SPT Badan khususnya pada pos biaya karyawan.

Secara umum beberapa pembayaran imbalan kepada karyawan yang harus mendapatkan perhatian ketika melakukan rekonsiliasi antara SPT Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 29, adalah sebagai berikut :

1. Premi asuransi yang dibayarkan Pemberi Kerja

2. Iuran Pensiun, JHT atau THT ditanggung Pemberi Kerja

3. Bonus, Gratifikasi dan Jasa Produksi yang dananya dari Laba yang Ditahan

4. Imbalan berupa Tantiem

5. Biaya Perjalanan Dinas

6. Beban Pendidikan dan Pelatihan

7. Biaya Perbaikan dan Pemeliharaan

8. Pemberian Natura dan Kenikmatan

9. Pembayaran Imbalan dalam Mata Uang Asing.

Berikut ini adalah uraian secara lebih detail mengenai biaya apa saja yang harus diperhatikan, yang terkait dalam melakukan rekonsiliasi antara SPT Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 29, adalah :1. Premi asuransi yang dibayarkan Pemberi Kerja

Premi asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna dan beasiswa, yang dibayar oleh pemberi kerja merupakan pemberian kenikmatan yang non deductible bagi pemberi kerja dan non taxable bagi karyawan. Namun demikian mengacu pada ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf d Undang-Undang PPh, premi asuransi diatas dapat menjadi deductible sepanjang ditambahkan dalam penghasilan karyawan (taxable).

2. Iuran Pensiun, JHT atau THT ditanggung Pemberi Kerja

Biaya tersebut diatas dapat dikurangkan sebagai biaya (Pasal 6 ayat (1) huruf c Undang Undang PPh) dan bukan penghasilan karyawan (Pasal 4 ayat (3) huruf g Undang Undang PPh) deductible and non taxable. Namun demikian terdapat peraturan tambahan dalam KEP-545/PJ./2000, iuran pension yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran JHT kepada badan penyelenggara Jamsostek saja yang tidak termasuk objek PPh Pasal 21, jika dibayarkan kepada pihak lain akan termasuk objek PPh Pasal 21.

3. Bonus, Gratifikasi dan Jasa Produksi yang dananya dari Laba yang Ditahan

Pemberian imbalan berupa bonus, gratifikasi dan jasa produksi pada dasarnya merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dan merupakan objek PPh Pasal 21 deductible taxable. Namun demikian terdapat ketentuan khusus yang mengatur hal tersebut diatas SE-16/PJ.44/1992 yang intinya menyatakan jika sumber dana yang dipergunakan untuk membayar biaya tersebut, bila berasal dari Laba Ditahan (Retained Earning) pemberi kerja tidak dapat diperlakukan sebagai pengurang penghasilan bruto, tapi tetap merupakan objek PPh Pasal 21 non deductible taxable.4. Imbalan berupa Tantiem

Tantiem adalah pembagian keuntungan yang diberikan kepada direksi dan komisaris oleh pemegang saham yang didasarkan pada suatu prosentase/ jumlah tertentu dari laba perusahaan setelah kena pajak, oleh karena itu Tantiem tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dalam menghitung penghasilan kena pajak tapi merupakan objek PPh Pasal 21 non deductible taxable.

5. Biaya Perjalanan Dinas

Biaya perjalanan dinas biasanya terdiri dari tiga komponen yaitu biaya transportasi, akomodasi dan uang saku.

a. Biaya TransportasiPengeluaran untuk membiayai transportasi samapi ketempat tujuan, dapat diberikan dalam bentuk tunai atau tiket.

b. Akomodasi

Pengeluaran untuk membiayai penginapan selama perjalanan dinas, dapat diberikan dalam bentuk uang tunai atau voucher hotel yang sudah dipesan dilokasi serta pengeluaran untuk biaya hidup selama perjalan dinas seperti makan, laundry dan sebagainya.c. Uang Saku

Merupakan insentif atau cadangan dana bagi karyawan selama perjalanan dinas.

Ada 2 (dua) kebijakan dalam biaya perjalan dinas yaitu diberikan secara lumpsum atau reimbursement, kedua kebijakan tersebut sama-sama deductible taxable tapi jumlahnya sangat berbeda. Lumpsum semua biaya menjadi taxable, sedangkan reimbursement hanya uang saku saja, tetapi dengan syarat:

a. Tidak ada mark up atau mark downb. Bukti asli diserahkan ke perusahaan

c. Usahakan atas nama perusahaan, jika tidak bias dapat menggunkan metode qq. Misalnya Sigit qq PT Laliput.

Persyaratan tersebut memang tidak diatur secara tegas dalam ketentuan perpajakan yang ada, namun syarat tersebut merupakan konsekuensi logis dari reimbursement yang hanya merupakan pengeluaran lebih dahulu untuk kemudian dimintakan ganti.

6. Beban Pendidikan dan Pelatihan

Seringkali dalam praktek karyawan diberikan biaya transport dan uang saku selama mengikuti pendidikan atau pelatihan/ seminar, biaya tersebut sama-sama deductible taxable tapi jumlahnya sangat berbeda. Lumpsum semua biaya menjadi taxable, sedangkan reimbursement hanya uang saku saja, apabila semua syarat terpenuhi. Pendidikan dan pelatihan dilakukan secara inhouse atau terbuka untuk umum, jika inhouse maka honor instruktur merupakan objek PPh Pasal 21/23, jika terbuka untuk umum bukan merupakan objek PPh Pasal 21/23.

7. Biaya Perbaikan dan Pemeliharaan

Merupakan objek PPh Pasal 21 bagi orang pribadi dan PPh Pasal 23 bagi badan usaha, apabila biaya perbaikan dan pemeliharaan tidak disebutkan secara detail antara biaya jasa dan materialnya, maka akan secara total akan menjadi objek PPh, tapi jika dipisahkan yang menjadi objek PPh hanya biaya jasanya saja. Kecuali Jasa konstruksi walaupun dipisah tetap secara total menjadi objek PPh.8. Pemberian Natura dan Kenikmatan

Secara umum pemberian natura atau kenikmatan bukan merupakan penghasilan bagi karyawan dan tidak bias dikurangkan dengan penghasilan bruto non deductible non taxable. Kecuali yang diatur khusus seperti makanan dan minuman yang diberikan kepada seluruh karyawan ditempat kerja dan kendaraan dinas yang digunakan untuk pegawai tertentu karena pekerjaan atau jabatannya deductible non taxable.

Terdapat pengaturan khusus yaitu, biaya kendaraan dinas bagi karyawan hanya diakui 50%, KEP-220/PJ./2002, dan bagi perusahaan yang penghasilannya dikenakan PPh Final maka pemberian natura atau kenikmatan menjadi objek PPh Pasal 21.

9. Pembayaran Imbalan dalam Mata Uang Asing

Dapat timbul selisih kurs karena adanya perbedaan konversi mata uang asing.

Rekonsiliasi Objek pph Pasal 21 dengan Unsur-Unsur Biaya Karyawan1. Beda WaktuBeda Waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya sementara artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya. Perbedaan waktu dibagi menjadi dua yaitu positif dan negatif. Perbedaan waktu positif terjadi apabila pengakuan beban pajak menurut akuntansi lebih kecil dari pengakuan beban pajak menurut peraturan perpajakan. Perbedaan waktu negatif terjadi jika pengakuan beban pajak menurut akuntansi lebih besar dari pengakuan beban pajak menurut peraturan perpajakan.Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda waktu terjadi karena :

Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari satu tahun. Secara akuntansi komersial penghasilan tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa perolehannya sesuai dengan prinsip matching cost with revenue. Sedangkan menurut Undang-undang PPh, penghasilan tersebut harus diakui sekaligus pada saat diterima.

Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi karena :

Perbedaan metode penyusutan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus dan saldo menurun

Perbedaan metode penilaian persediaan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penilaian persediaan yang diperbolehkan hanya metode rata-rata dan FIFO

Penyisihan piutang tak tertagih, dimana menurut Undang-undang Penyisihan piutang tak tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu

Koreksi atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi positif pada saat penghasilan diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif pada tahun-tahun berikutnya. Koreksi positif ini akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah, sedangkan koreksi negatif tahun-tahun berikutnya akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang. Koreksi atas beda waktu biaya dapat menyebabkan koreksi positif maupun koreksi negatif tergantung dari metode yang digunakan.2. Beda Tetap

Beda Tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya permanen artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun pajak berikutnya. Perbedaan permanen dapat positif karena ada laba akuntansi yang tidak diakui oleh ketentuan perpajakan, sedangkan perbedaan permanen negatif disebabkan adanya pengeluaran sebagai beban laba akuntansi yang tidak diakui oleh ketentuan fiskal.Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda tetap terjadi karena :Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan penghasilan, contohnya dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan serta kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU PPh)

Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh telah dikenakan PPh Final, contohnya:

Bunga Deposito dan Tabungan lainnya

Penghasilan berupa hadiah undian

Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan

Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan

Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan dan sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh)

Dalam hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi karena menurut akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto, misalnya:

biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan ;

yang bukan objek pajak;

yang pengenaan pajaknya bersifat final;

yang dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan

penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan

Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif artinya penghasilan yang diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek pajak maupun karena telah dikenakan PPh final, akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih kecil.

Koreksi atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang diakui oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi, akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih besar.KesimpulanTax planning atas pajak penghasilan pasal 21 dapat dilakukan oleh perusahaan antara lain melalui :1. Kompensasi Karyawan : Tunai versus NaturaApabila kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan bersifat tunai maka pada PPh Badan, dapat dibebankan sebagai biaya pengurang untuk pemeriksaan fiskal pajak dan apabila kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan berupa natura maka manfaat tidak dapat dibiayakan sebagai pengurang untuk pemerikasaan fiskal pajak.

2. Metode Perhitungan pph Pasal 21: Gross, Net dan Gross-Up

Gross Method yaitu metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri jumlah pajak penghasilannya. Net Method yaitu metode pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung pajak karyawannya. Gross Up Method yaitu metode pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak yang sama besar dengan jumlah pajak yang dipotong dari karyawan.

3. Taxable dan deductible terkait unsur-unsur biaya karyawan.

Taxable biasanya ditujukan pada pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang atau badan tanpa melihat dari mana penghasilan tersebut diperoleh (sumber penghasilan). Deductible merupakan biaya yang diakui oleh pajak yang digunakan sebagai pengurang penghasilan bruto. Biaya ini dapat mengurangi penghasilan kena pajak. 4. Rekonsiliasi objek pph pasal 21Beda waktu merupakan perbedaan bersifat sementara karena adanya ketidaksamaan waktu pada saat pengakuan penghasilan dan beban antara Peraturan Perpajakan dengan Standar Akuntansi Keuangan. Beda tetap terjadi karena Peraturan Perpajakan dalam menghitung laba fiskal berbeda dengan perhitungan laba menurut Standar Akuntansi Keuangan tanpa ada koreksi dikemudian hari.Daftar PustakaUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilanhttp://akuntansikompi.blogspot.com/2014/11/strategi-perencanaan-pajak-untuk_15.htmlhttp://www.indonesiataxconsultant.com/tax_solutions.htmhttps://gerhanasuci.wordpress.com/2012/04/http://nasikhudinisme.com/2015/02/02/prinsip-taxable-deductible-dan-nontaxable-nondeductible-dalam-pph/https://www.academia.edu/9509304/ TAX_PLANNING_PPh_PASAL_21_26https://www.academia.edu/7577933/PENERAPAN_TAX_PLANNING_DALAM_UPAYA_MENGEFISIENKAN_PAJAK_PENGHASILAN_PASAL_21https://www.academia.edu/8107777/METODE_PERHITUNGAN_PPH21_GROSS_NET_GROSS-UP_and_NON_GROSS-UPhttp://elib.unikom.ac.id/files/disk1/127/jbptunikompp-gdl-s1-2007-sitimariam-6307-bab2.doc