tugas-NSPM daerah pegunungan.pdf

download tugas-NSPM daerah pegunungan.pdf

of 39

Transcript of tugas-NSPM daerah pegunungan.pdf

  • i

    UNIVERSITAS GUNADARMA

    FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

    Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Kawasan Pegunungan

    (Studi Kasus Luar negeri: Kawasan Pegunungan Friuli Venezia Giulia, Italia.

    Kasus Lokal: Kawasan Pegunungan Cyclops, Papua)

    Oleh:

    Nama (NPM) : Bagus Prahutdi (16309813)

    Inti Lestari (16309836)

    Mashudi Ali (16309841)

    Nincy Ayu L. (16309853)

    Jurusan : Teknik Sipil

    Dosen : Dr. Ruswandi Tahrir, MSP.

    Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Trimester XI

    Perencanaan Pengembangan Wilayah

    Januari 2013

  • ii

    DAFTAR ISI

    Halaman Judul ............................................................................................ i

    Daftar Isi ..................................................................................................... ii

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1

    1.2 Tujuan Penulisan .................................................................... 1

    1.3 Batasan Masalah .................................................................... 2

    1.4 Sistematika Penulisan ............................................................. 2

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Kawasan Pegunungan ............................................................ 3

    2.2 Perencanaan Tata Guna Lahan Kawasan Pegunungan ............ 5

    2.3 Kawasan Permukiman ............................................................ 9

    2.4 Permasalahan Permukiman di Kawasan Pegunungan .............. 11

    2.5 Peraturan dan Perundangan yang Terkait Perencanaan Permukiman

    dan Kawasan Pegunungan ...................................................... 13

    BAB III ANALISIS PERMASALAHAN PERMUKIMAN DI KAWASAN

    PEGUNUNGAN

    3.1 Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Pegunungan............. 14

    3.1.1 Kerangka Kebijakan dan Strategi Kawasan Pegunungan 14

    3.1.2 NSPM Kawasan Pegunungan ....................................... 15

    3.2 Studi Kasus Luar Negeri : Kawasan Pegunungan Friuli Venezia

    Giulia ..................................................................................... 20

    3.3 Studi Kasus Lokal : Kawasan Pegunungan Cyclops, Papua .... 26

    BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 34

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 37

  • 1

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Proses penataan ruang merupakan rangkaian kegiatan yang perlu mendapat perhatian

    sebagai salah satu aspek dalam pelaksanaan pembangunan dan dalam rangka percepatan

    pelaksanaan otonomi daerah. Untuk mewujudkan penataan ruang yang meliputi perencanaan tata

    ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang diperlukan berbagai perangkat

    lunak berupa Norma, Standar, Pedoman dan Manual (NSPM) sebagai acuan pelaksanaan.

    Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam menghadapi perkembangan kota-kota

    pada umumnya masih dihadapkan kepada masalah-masalah seperti kegiatan pembangunan

    perumahan di kawasan pegunungan tanpa memperhatikan aturan yang berlaku. Bahkan dasar

    hukum yang mengatur kegiatan pembangunan permukiman dikawasan tersebut pun masih harus

    diperbaiki karena dasar hukum yang ada tidak mencerminkan dan memperhatikan pola

    pengembangan wilayah berdasarkan jenis lahan produktifnnya serta sustainable (berkelanjutan).

    Perencanaan dan pengembangan wilayah masih didasarkan atas pemaksaan kepentingan pribadi.

    Gunung adalah menara air hal ini perlu di tekankan sebagai salah satu dasar

    pengelolaan terhadap ekosistem pegunungan sehingga dapat disadari bahwa pembangunan dan

    pengembangan permukiman (kawasan non lindung) melebihi kapasitas guna lahan di

    pegunungan akan mengakibatkan bencana hilangnya persediaan air atau bahkan banjir dan

    bencana perubahan iklim global . Jika hal tersebut terjadi maka pembangunan tidak lagi bersifat

    sustainable, generasi selanjutnya tidak dapat menikmati manfaat dari kawasan pegunungan.

    Oleh sebab itu melalui laporan ini untuk mewujudkan kawasan pegunungan yang

    sustainable akan disusun Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) Kawasan Pegunungan

    sehingga dapat memberikan panduan dan kemudahan bagi pihak-pihak yang berkepentingan

    dalam mengimplementasikan penataan ruang.

    1.2 Tujuan Penulisan

    1) Mengenali berbagai permasalahan dan menemukan solusi strategis bagi pengembangan

    permukiman di kawasan pegunungan sesuai dengan tata guna lahan pegunungan.

  • 2

    2) Merumuskan kebijakan dan strategi (JakStra) berupa Norma, Standar, Pedoman dan

    Manual (NSPM) Kawasan Pegunungan.

    1.3 Batasan Masalah

    Dalam penulisan ini masalah yang dibahas terbatas pada pembahasan mengenai:

    1. Permasalahan pengembangan permukiman di kawasan pegunungan

    2. Perumusan strategi, kebijakan pengelolaan kawasan pegunungan melalui NSPM

    3. Studi Kasus: Sustainable Mountain Development di Friuli Venezia Giulia, Italia dan Pegunungan

    Cyclops, Papua

    1.4 Sistematika Penulisan

    BAB 1 PENDAHULUAN

    Berisi latar belakang, tujuan penulisan, dan batasan masalah berkaitan dengan

    Perencanaan dan pengembangan wilayah pegunungan

    BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

    Berisi mengenai teori yang digunakan dalam membahas pengertian kawasan

    pegunungan, tata guna lahan, permukiman dan fenomena pengembangan

    pemrukiman di kawasan pegunungan serta peraturan terkait.

    BAB 3 ANALISIS

    Berisi Analisis tentang kesalahan peraturan kawasan pegunungan dan

    permukiman, strategi dan kebijakan perencanaan tata ruang kawasan pegunungan

    melalui Perumusan NSPM bagi kawasan Pegunungan, serta studi kasus.

    BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN

    Berisi Kesimpulan dan Saran berdasarkan dengan permasalahan dan analisis pada

    bab sebelumnya.

  • 3

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Kawasan Pegunungan

    Kawasan pegunungan merupakan kawasan tertinggi di daratan dan mempunyai potensi

    yang melimpah. Ditinjau dari beberapa aspek kawasan pegunungan mempunyai nilai strategis,

    diantaranya :

    1. Indikator perubahan iklim. Pegunungan sangat sensitif terhadap perubahan iklim.

    Kegagalan memprediksi iklim berdampak pada sektor pertanian, kehutanan, wisata, dsbg.

    2. Integrasi Tataguna Lahan. Pengembangan pembangunan di kawasan pegunungan

    bersetuhan dengan berbagai sektor seperti kehutanan, pertanian, pertambangan, industri

    dan wisata. Perbedaan kepentingan tersebut akan memberi dampak positif dan negatif

    terhadap masyarakat sekitar kawasan.

    3. Sumberdaya Energi dan Mineral. Air yang tersimpan di daerah tangkapan air adalah

    sumber energi penting. Kawasan pegunungan juga kaya bahan tambang dan mineral.

    4. Sumber air. Semua sungai di dunia bersumber dari kawasan pegunungan. Lebih dari

    setengah masyarakat dunia tergantung pada sumber air tawar yang disediakan oleh

    menara air untuk kepentingan rumah tangga, pertanian dan industri.

    5. Keanekaragaman Hayati. Pegunungan memiliki kekayaan hayati yang tinggi. Variasi

    jenis endemik dapat dijumpai di beberapa kawasan pegunungan yang penting sebagai

    indikator kesehatan ekosistem tersebut.

    6. Daerah Wisata. Aktivitas wisata dapat memberikan peluang usaha namun juga dapat

    berdampak negatif pada budaya, ekonomi, dan lingkungan di kawasan ini.

    (Sumber : Komite Nasional TPI 2002)

    Kekayaan dalam ekosistem pegunungan sudah semestinya perlu dijaga kelestariannya

    dan ketersediaannya bagi generasi mendatang. Keseimbangan yang tercipta antara dimensi

    ekologi dan ekonomi akan menjadikan keseimbangan bagi lingkungan dan kehidupan umat

    manusia. Perbedaan dalam istilah gunung dan pegunungan ialah, Gunung adalah sebuah bentuk

    tanah yang menonjol di atas wilayah sekitarnya. Beberapa otoritas mendefinisikan gunung

  • 4

    dengan puncak lebih dari besaran tertentu; misalnya, Encyclopdia Britannica membutuhkan

    ketinggian 2000 kaki (610 m) agar bisa didefinisikan sebagai gunung.

    Sedangkan Pegunungan merupakan kumpulan atau barisan gunung, Pegunungan

    terbentuk pada waktu terjadinya gerak kerak bumi yang dalam dan luas (sumber:

    http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung). Ketinggian dari kawasan yang disebut Pegunungan

    menurut Strategi Nasional PengelolaanEkosistem Pegunungan ialah berkisar diatas 700 m.

    Tabel 2.1 Klasifikasi relief berdasarkan Beda Elevasi

    Berikut daftar Pegunungan di Indonesia:

    Tabel 2.2 Daftar Barisan Pegunungan Di Indonesia

    Pegunungan Jawa

    Pegunungan Selatan Jawa Barat (Puncak)

    Pegunungan Kapur Utara (disebut juga Pegunungan Kendeng Utara, Jawa

    Tengah, Jawa Timur)

    Pegunungan Kendeng (disebut juga Pegunungan Kapur Tengah, Jawa

    Tengah, Jawa Timur)

    Pegunungan Sewu (disebut juga Pegunungan Kapur Selatan, DI

    Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur)

    Pegunungan

    Kalimantan

    Pegunungan Kapuas Hulu (Kalimantan Barat)

    Pegunungan Muller (Kalimantan Barat)

    Pegunungan Schwaner (Kalimantan Barat)

    Pegunungan Meratus (Kalimantan Selatan)

    Pegunungan Irian

    Pegunungan Foja

    Pegunungan Jayawijaya

    Pegunungan Mauke

    Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pegunungan_di_Indonesia

  • 5

    2.2 Tata Guna Lahan Kawasan Pegunungan

    Penggunaan lahan sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan lahan. Saat ini banyak

    dijumpai penggunaan-penggunaan lahan yang kurang sesuai sehingga terjadi alih fungsi lahan,

    misalnya adalah perubahan lahan RTH dan Hutan Lindung pada pegunungan menjadi

    permukiman atau industri.

    Institut Pertanian Bogor (IPB) Ernan Rustiadi dalam acara diskusi yang digelar oleh

    Forum Jabodetabek Pusat Pengkajian, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W)

    Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) IPB, di Kampus

    Baranangsiang, Kota Bogor, menyatakan bahwa Tata ruang kawasan Puncak, Kabupaten Bogor,

    Jawa Barat tidak konsisten (inkonsisten) dengan daya dukung lahan yang ada. 40% kawasan

    Puncak tidak sesuai dengan tata ruang. Sejumlah kawasan tidak sesuai dengan peruntukannya,

    seperti wilayah hutan konservasi berubah menjadi perkebunan. Sementara itu, lahan pertanian

    berubah fungsi menjadi lahan perumahan, vila dan bangunan lainnya. Disebutkan bahwa untuk

    kawasan pegunungan, tata guna lahan kawasan ini utamanya ialah daerah resapan air dan hutan

    lindung. Pembangunan di kawasan puncak memang boleh dilakukan namun harus

    memperhatikan peraturan yang ada. Berikut aturan peruntukan lahan berdasarkan kemiringan

    lereng dan kondisi geologi:

    Tabel 2.3 Peruntukan Lahan Berdasarkan Kemiringan Lereng

  • 6

    Tabel 2.4 Kaitan Kondisi Geologi dengan Tata Guna Lahan

    Pembangunan di lahan berkontur tinggi seperti pegunungan harus memenuhi patokan:

    1. Membangun hanya pada daerah yang pergerakan masa tanahnya cukup stabil untuk

    mengurangi bahaya geologi dan kerugian sumber daya manusia dan alam yang akhirnya

    tidak ekonomis lagi.

    2. Kemiringan lereng disesuaikan dengan fungsi yang sebaiknya ditampung seperti pada

    Tabel 2.3 Kegiatan pengolahan tanah pelandaian lereng dengan cara timbun gali

    sebaiknya dibatasi dan disarankan sebaiknya :

    a) Meninggalkan system petak lahan seperti pada perumahan real estate/perumnas pada

    umumnya mengingat system tersebut akan banyak memerlukan jaringan jalan yang

    berarti meningkatkan jumlah pelandaian lereng dan mengakibatkan ketidakstabilan

    tanah.

    b) Memperhitungkan penempatan fasilitas dan penataan parkir yang mmemperhitungkan

    kemiringan lereng.

    c) Penggunaan tipe perancangan bangunan yang tidak banyak merubah kontur lahan.

    d) Pembuatan turap-turap alami yang melindungi daerah permukiman dari bahaya

    longsoran dan memakai tumbuhan-tumbuhan yang dapat membantu kestabilan tanah.

  • 7

    Tabel 2.5 Luas Lahan dengan Kemiringan Lahan

    Ketinggian lahan memperngaruhi tata guna lahan, sebagai contoh Ketinggian lahan di

    Wilayah Bandung Utara relative tinggi dari permukaan laut (diatas 750 m dpl) dengan bentuk

    permukaan lahan yang tidak rata, termasuk wilayah pegunungan. Akibat ketinggian dan bentuk

    morfologinya, Wilayah Bandung Utara merupakan wilayah konservasi air sehingga memerlukan

    penataan yang khisus. Ketentuan penataan ruang berdasarkan ketinggian lahan di Wilayah

    Bandung Utara dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

    Tabel 2.6 Peruntukan Lahan berdasarkan Ketinggian Lahan Kawasan Bandung Utara

    (750m dpl)

  • 8

    2.3 Kawasan Permukiman

    Kawasan Permukiman harus dibangun dilahan yang sesuai dengan daya dukung lahannya agar

    penggunaan lahan lebih produktif. Kawasan Permukiman dapat dibangun meskipun di kawasan

    pegunungan dengan pertimbangan-pertimbangan berikut ini

    1) Cakupan Kawasan Permukiman terdiri atas :

    a. Kawasan Permukiman Perkotaan, yaitu kawasan yang mempunyai kegiatan utama

    bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman

  • 9

    perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial dan

    kegiatan ekonomi.

    b. Kawasan Permukiman Perdesaan, yaitu kawasan yang mempunyai kegiatan utama

    pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan

    sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintah, sosial dan ekonomi.

    2) Karakteristik Kawasan Permukiman ialah Kawasan yang terletak pada lahan yang

    bermorfologi datar-landai dengan kemiringan lahan 0-8% tanpa rekayasa teknis, atau

    kemiringan 8-15% dengan rekayasa teknis.

    3) Ketentuan Teknis Permukiman :

    Ketentuan penataan ruang Kawasan permukiman perkotaan adalah sebagai berikut :

    a. Pengembangan permukiman perkotaan harus didasarkan pada penataan bangunan dan

    lingkungan yang serasi dan seimbang, yang meliputi system drainase, air bersih, air

    kotor, persampahan, jalan lingkungan, tata ruang dan perumahan.

    b. Pengembangan permukiman perlu pengaturan ruang untuk fasilitas lingkungan seperti

    ruang terbuka hijau, taman dan fasilitas umum lainnya.

    c. Kepadatan bangunan dan koefisien dasar bangunan yang dapat menunjang fungsi

    konservasi/peresapan air dan pengendalian air limpasan permukaan.

    d. Untuk pembangunan perumahan dalam skala besar diwajibkan untuk menyediakan

    lahan kuburan, minimal 5% dari luas areal.

    e. Perlu menyediakan lahan secara bersama (iuran) oleh para pengembang yang

    membangun perumahan pada radius

    Ketentuan penataan ruang di kawasan permukiman pedesaan adalah sebagai berikut :

    a. Bangunan yang diperkenankan dikawasan permukiman desa hanya bangunan usaha

    tani, kepadatan maks 5 rumah/Ha, dengan koefisien dasar bangunan (KDB) maks 5%.

    b. Perlu dibatasi agar permukiman perdesaan tidak berubah menjadi permukiman

    perkotaan, agar pertanian produktif tetap dapat dipertahankan, serta konservasi tanah

    dan air tanah dapat dilakukan dengan baik.

    4) Kemiringan lereng atau topografi suatu Kawasan ikut berpengaruh terhadap peruntukan

    lahan seperti system perencanaan jaringan jalan, drainase, dll. Kawasan dengan kemiringan

    diatas >30% tidak boleh dibangun permukiman, kawasan tersebut diperuntukan sebagai

    kawasan penyangga seperti yang diterangkan Tabel 2.3.

  • 10

    Gambar 2.1 Perumahan dan Vila di Lereng Gunung

    Sumber: http://azisoelaiman.files.wordpress.com/2012/11/18-pemukiman-di-lereng-

    pegunungan.png?w=930

    5) Pertimbangan Geologi Keadaan geologi di suatu Kawasan mempunyai keterkaitan dengan

    penggunaan lahan. Keadaan geologi yang dimaksud di sini adalah :

    a) Sifat disik tanah dan batuan.

    b) Kestabilan lereng termasuk potensial longsoran, rayapan dan robohan.

    c) Kehadiran sesar aktif atau yang mungkin aktif dan pusat episentrum yang ada dengan

    skala magnitude dan intensitas.

    d) Kontur muka air tanah atau keadaan muka air tanah dan potensial air permukaan.

    e) Ketebalan tanah atau kedalaman hingga mencapai batuan.

    f) Penyebaran luas setiap daerah banjir, longsoran dan ablasan, gunung api dengan

    penyebaran produk, dan batasan-batasan penyebaran banjir gelombang pasang.

    6) Ketinggian lahan. Sebagai contoh membangun dikawasan pegunungan seperti Bandung

    Utara ketinggian yang tepat menurut Tabel 2.6 ialah ketinggian 750-1000 m.

    7) Pertimbangan Konservasi air.

    8) Pertimbangan Penetapan Intensitas Pemanfaatan Ruang

    9) Pertimbangan Aliran Run Off/ Air Permukaan

    10) Pertimbangan Jenis Tanah

    (Sumber:http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ARSITEKTUR/19781231

    2005012-BETA_PARAMITA/Petunjuk_Teknis_KBU.pdf)

  • 11

    2.4 Pemasalahan Pengembangan Permukiman di Kawasan Pegunungan

    Pengembangan Permukiman di Kawasan Pegunungan telah banyak menyalahi tata guna

    lahan. Contohnya saja kawasan pegunungan Cyclops, Papua dimana perumahan masih didirikan

    diatas ketinggian 1700 m yang diperuntukan sebagai cagar alam pegunungan Cyclops, tidak

    hanya Papua, bahkan wilayah terdekat ibu kota, yaitu kawasan Puncak, Bogor dan Bandung,

    Sebanyak 250 pemukiman menyalahi aturan tata ruang serta 12 bangunan tanpa Ijin Mendirikan

    Bangunan (IMB). Semua bangunan mewah milik pejabat dan mantan jenderal ini berdiri di atas

    kawasan Hutan Lindung.

    Gambar 2.2 Pembukaan Lahan Pegunungan untuk Perumahan dan Apartemen

    Bupati Bogor Rahmat Yasin sendiri tidak menampik adanya bangunan-bangunan yang

    tidak sesuai dengan peruntukannya dikawasan tersebut. Beberapa waktu lalu Wakil Bupati.

    Kabupaten Bogor, Karyawan Faturah menyatakan sulitnya menertibkan bangunan yang berada

    di Puncak, karena sebagain besar pemilik bangunan tersebut atas kepemilikan sebagaian warga

    Jakarta dan membutuhkan bantuan dari pemerintah Jakarta untuk menertibkannya dikarenakan

    pemiliknya merupakan orang berpengaruh dipemerintahan.

    Tabel 2.7 Jumlah Villa Tak Berizin di Kawasan Puncak Bogor 2009-2010

    Tahun Jumlah Bangunan

    2009 112

    2010 163

    2011 127

    Sumber Data: Dinas Tata Bangunan dan Permukiman

    Setiap vila memiliki luas bervariasi dari sekitar 1.000 meter persegi hingga 1-2 hektar.

    Dapat dilihat pada Tabel 2.2 Tahun 2010 jumlah villa menurun setelah diadakan pembongkaran

    dan hingga akhir tahun 2011 belum lagi ada pembongkaran. Sebanyak 12 bangunan tidak

    memiliki IMB sendiri bendiri dilingkungan, Kampung Citamiang, Desa Tugu Utara Kecamatan

    Cisarua, Kabupaten Bogor dimana termasuk kawasan Hutan Lindung Gunung Gede Pangrango

  • 12

    dan beberapa bangunan tersebut dimiliki oleh eks Pejabat yang bermukim di Jakarta. (Sumber:

    http://m.poskota.co.id/berita-terkini/2011/12/11/250-bangunan-di-puncak-menyalahi-tata-ruang)

    Konversi Penggunaan lahan Kawasan pegunungan menjadi kawasan permukiman dan

    produksi tanpa memperhatikan kawasan lindung dikawasan Puncak, Bogor bukan hanya

    kesalahan para pengguna lahan, tetapi juga kesalahan pemerintah Bogor dalam pemberian izin

    serta Perda yang salah. PP Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta,

    Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur menjadi dasar dalam penetapan Puncak

    sebagai kawasan lindung. Anehnya, Perda Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat Nomor 22 tahun

    2010 mengubah peruntukan kawasan di Puncak menjadi kawasan produksi. Selama ini, aturan

    rencana tata ruang Kabupaten Bogor tidak bertentangan dengan PP Nomor 54 tahun 2008.

    Namun belakangan aturan ini berupaya direvisi menyesuaikan Perda Penataan Ruang Provinsi

    Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010.

    (Sumber : http://www.mongabay.co.id/2012/08/10/kehancuran-kawasan-puncak-pemerintah-

    diminta-bertanggungjawab/#ixzz2LVdfTP1b)

    Gambar 2.3 Perubahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Puncak Bogor

    (Sumber: http://indonesiacompanynews.wordpress.com/2012/07/30/puncak-mengancam-

    jakarta/)

    Selain puncak Bogor, pembangunan tak terkendali kawasan Bandung Utara juga

    dikarenakan kesalahan peraturan. Kawasan Punclut, berketinggian 800-1100 m yang

    diperuntukan sebagai RTH melalui Perda Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004 dengan KDB 2%

  • 13

    diubah Walikota menjadi Kawasan Zona 3 dengan KDB 20% melalui Peraturan Nomor 981

    Tahun 2006 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Wilayah Pengembangan

    Cibeunying dan Perda Kota Bandung Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perda Kota

    Bandung Nomor 2 Tahun 2004.

    Gambar 2.4 Kawasan Punclut yang Menjadi Kuning (Perumahan Kepadatan Rendah)

    (Sumber : www.envirozer.blogspot.com, 2008)

    2.5 Peraturan dan Perundangan Terkait Kawasan Pegunungan dan Permukiman

    a. UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

    b. UU No.1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

    c. PP No.16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah

    d. PP No. 26 tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

    e. PP No. 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan

    Hutan

    f. PP No. 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

    g. PP No.24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan

    h. PP No.68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan

    Ruang

    i. Perda No 22 tahun 2010 tentang RTRWP Jabar 2009-2029

    j. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta,

    Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur

  • 14

    BAB 3

    KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG KAWASAN

    PEGUNUNGAN

    3.1 Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Kawasan Pegunungan

    3.1.1 Kerangka Kebijakan dan Strategi Kawasan Pegunungan

    1. Melalui penyiapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)

    2. Penyiapan Rencana Tata Ruang Kawasan Tertentu

    3. Kajian Ulang Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang

    Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur

    (Jabodetabekpunjur) dan Peraturan dan pedoman pengembangan Kawasan Gunung yang

    berkelanjutan, untuk kawasan pegunungan lainnya perlu disiapkan pula dan disesuaikan

    dengan kondisi geologi, topografi, sosio-ekonomi sekitar.

    Kebijakan dan strategi dalam pengembangan penetapan kerangka pengembangan strategis

    nasional kawasan pegunungan ialah dengan :

    1. Meningkatkan kegiatan perbaikan kawasan pegunungan secara berkesinambungan dan

    terintegrasi. Terutama kawasan pegunungan Jawa Barat yang mengalami kerusakan parah

    akibat pengembangan kawasan permukiman yang tidak terkendali dengan strategi :

    peningkatan pembongkaran kawasan permukiman di kawasan yang melanggar ketentuan

    pembangunan permukiman yaitu di lereng yang kemiringan >30% , Ketinggian diatas

    1000 m dan tidak menyisakan luas lahan tak boleh diganggu sebesar 30-40%. serta

    dikawasan dengan KDB (koefisien dasar bangunan) tertentu. Misal dikawasan lindung

    dengan KDB 2% walaupun ketinggian masih pada batas 750-1000 m tetap bila memang

    sudah difungsikan sebagai RTH maka tetap tidak boleh ada pembangunan melebihi KDB

    tersebut.

    2. Peningkatan kemampuan dan kapasitas pengelolaan potensi kawasan pegunungan yang

    ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal seusai dengan

    tata guna lahan sehingga penggunaan lahan produktif dan berkelanjutan. Dengan strategi

  • 15

    :Pengembangan pusat potensi lahan pertanian di ketinggian 1000-2000 m dan

    kemiringan < 40% dengan menyisakan lahan tak boleh diganggu sebesar 60-90%

    3. Memperbaiki kondisi kehidupan sosial ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan

    masyarakat dengan strategi : pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dan peningkatan

    pelayanan sosial yang berasal dari retribusi dari sektor ekonomi khsusnya pariwisata dari

    objek wisata alam pegunungan, pertambangan, perkebunan, pertanian dan kehutanan di

    kawasan pegunungan.

    4. Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan secara selektif didukung dnegan sarana dan

    prasarana memadai dengan strategi :Pengembangan kegiatan ekonomi kawasan

    pegunungan yang belum berkembang dengan memanfaatkan sumber daya lokal (SDM,

    SDA ) seperti yang terjadi di Puncak Bogor, kawasan pegunungan yang tak jauh darinya

    yang juga memiliki potensi pengembangan ekonomi ialah Gunung Bundar yang memiliki

    ketinggian 750-1050 m , terletak di Kabupaten Bogor. Tentu saja sebagai kawasan yang

    dilindungi Perhutani, pengembangan ekonomi kawasan ini terbatas pada kawasan wisata

    hutan namun dengan pengembangan fasilitas, sarana dan prasarana yang baik terutama

    kemudahan akses ke kawasan ini maka gunung Bundar dapat menjadi alternatif kawasan

    puncak sementara kawasan puncak Bogor direhabilitasi untuk dikembalikan fungsi

    lahannya.

    3.1.2 NSPM Kawasan Pegunungan

    1. Norma

    Definisi Norma menurut Undang-undang no 25 tahun 2009 mengenai Pelayanan Publik

    adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai tatanan untuk penyelenggaraan

    pemerintah. Norma yang dijadikan acuan dalam kebijakan dan strategi penataan ruang

    kawasan pegunungan ialah:

    a) UU No 24/1992 tentang Penataan Ruang

    b) PP 47/1997 tentang RTRWN

    c) PP 69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta bentuk dan tata cara peran

    serta masyarakat dalam Perencanaan tata Ruang

  • 16

    d) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta,

    Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (sebagai acuan penataan

    ruang kawasan puncak lainnya)

    e) PP No.16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah

    f) UU No.1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

    g) PP No.24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan

    h) PP No. 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi

    Kawasan Hutan

    i) Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Ekosistem Pegunungan yang ditebitkan

    Deputi VI KLH tahun 2003

    j) Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 217/KPTS/M/2002

    tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman.

    2. Standar

    Penyiapan kriteria lokasi dan strandar teknis kawasan Permukiman di pegunungan dan

    Kawasan Lindung . Kriteria Umum Pembangunan Permukiman ialah:

    Kriteria umum dan kaidah perencanaan:

    1) Ketentuan pokok tentang perumahan, permukiman, peran masyarakat dan pembinaan

    perumahan dan permukiman nasional mengacu kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun

    1992 tentang Perumahan dan Permukiman dan Surat Keputusan Menteri Permukiman

    dan Prasarana Wilayah Nomor 217/KPTS/M/2002 tentang Kebijakan dan Strategi

    Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP);

    2) Pemanfaatan ruang untuk kawasan peruntukan permukiman harus sesuai dengan daya

    dukung tanah setempat dan harus dapat menyediakan lingkungan yang sehat dan aman

    dari bencana alam serta dapat memberikan lingkungan hidup yang sesuai bagi

    pengembangan masyarakat, dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan

    hidup;

    3) Kawasan peruntukan permukiman harus memiliki prasarana jalan dan terjangkau oleh

    sarana tranportasi umum;

    4) Pemanfaatan dan pengelolaan kawasan peruntukan permukiman harus didukung oleh

    ketersediaan fasilitas fisik atau utilitas umum (pasar, pusat perdagangan dan jasa,

  • 17

    perkantoran, sarana air bersih, persampahan, penanganan limbah dan drainase) dan

    fasilitas sosial (kesehatan, pendidikan, agama);

    5) Tidak mengganggu fungsi lindung yang ada;

    6) Tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam;

    7) Dalam hal kawasan siap bangun (kasiba) dan lingkungan siap bangun (lisiba), penetapan

    lokasi dan penyediaan tanah; penyelenggaraan pengelolaan; dan pembinaannya diatur di

    dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan

    Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri.

    3. Pedoman Teknis Pembangunan Permukiman di Kawasan Pegunungan

    a) Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan:

    1) Topografi datar sampai bergelombang (kelerengan lahan 0 - 25%);

    2) Ketinggian maksimum boleh dibangun di ketinggian 750-1000 m dpl

    3) Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh penyelenggara

    dengan jumlah yang cukup. Untuk air PDAM suplai air antara 60 L/org/hari - 100

    liter/org/hari;

    4) Tidak berada pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi); untuk daerah

    pegunungan daerah yang memiliki problem erosi tinggi ialah kemiringan lereng 15-

    25%, dalam pembangunannya biasanya dilakukan pelandaian lereng.

    5) Drainase baik sampai sedang;

    6) Tidak berada pada wilayah sempadan sungai/pantai/waduk/danau/mata air/saluran

    pengairan

    7) Tidak berada pada kawasan lindung;

    8) Tidak terletak pada kawasan budi daya pertanian/penyangga;

    9) Menghindari sawah irigasi teknis.

    b) Kriteria dan batasan teknis:

    1) Penggunaan lahan untuk pengembangan perumahan baru 40% - 60% dari luas lahan

    yang ada, di kemiringan lereng gunung yang diperbolehkan dibangun antara

    kemiringan 15-25% harus menyisakan lahan yang tidak boleh diganggu sebasar 30-

    40%

  • 18

    2) Kepadatan bangunan dalam satu pengembangan kawasan baru perumahan tidak

    bersusun maksimum 50 bangunan rumah/ha dan dilengkapi dengan utilitas umum

    yang memadai;

    3) Memanfaatkan ruang yang sesuai untuk tempat bermukim di kawasan peruntukan

    permukiman di perdesaan dengan menyediakan lingkungan yang sehat dan aman dari

    bencana alam (longsor, letusan gunung berapi, kebakaran hutan) serta dapat

    memberikan lingkungan hidup yang sesuai bagi pengembangan masyarakat, dengan

    tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup;

    4) Kawasan perumahan harus dilengkapi dengan:

    a. Sistem pembuangan air limbah yang memenuhi SNI 03-1733-2004 tentang Tata

    Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan;

    b. Sistem pembuangan air hujan yang mempunyai kapasitas tampung yang cukup.

    Direncanakan berdasarkan frekuensi intensitas curah hujan 5 tahunan dan daya

    resap tanah. Dilengkapi juga dengan sumur resapan air hujan mengikuti SNI 03-

    2453-2002 tentang Tata Cara PerencanaanSumur Resapan Air Hujan untuk Lahan

    Pekarangan dan dilengkapi dengan penanaman pohon;

    c. Prasarana air bersih yang memenuhi syarat, baik kuantitas maupun kualitasnya.

    Kapasitas minimum sambungan rumah tangga 60 liter/orang/hari dan sambungan

    kran umum 30 liter/orang/hari;

    d. Sistem pembuangan sampah mengikuti ketentuan SNI 03-3242-1994 tentang Tata

    Cara Pengelolaan Sampah di Permukiman.

    5) Penyediaan kebutuhan sarana pendidikan di kawasan peruntukan permukiman yang

    berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah penduduk pendukung, luas

    lantai dan luas lahan minimal, radius pencapaian, serta lokasi.

    6) Penyediaan kebutuhan sarana kesehatan di kawasan peruntukan permukiman yang

    berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah penduduk pendukung, luas

    lantai dan luas lahan minimal, radius pencapaian, serta lokasi dan penyelesaian;

    7) Penyediaan kebutuhan sarana ruang terbuka, taman, dan lapangan olah raga di

    kawasan peruntukan permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana yang

    disediakan, jumlah penduduk pendukung, luas lahan minimal, radius pencapaian, dan

    kriteria lokasi dan penyelesaian;

  • 19

    8) Penyediaan kebutuhan sarana perdagangan dan niaga di kawasan peruntukan

    permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah penduduk

    pendukung, luas lantai dan luas lahan minimal, radius pencapaian, serta lokasi dan

    penyelesaian secara lebih rinci ditunjukkan pada Tabel 8;

    9) Pemanfaatan kawasan perumahan merujuk pada SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara

    Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, serta Peraturan Menteri Dalam

    Negeri Nomor 1 Tahun 1987 tentang Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas

    Umum, dan Fasilitas Sosial Perumahan kepada Pemerintah Daerah;

    10) Dalam rangka mewujudkan kawasan perkotaan yang tertata dengan baik, perlu

    dilakukan peremajaan permukiman kumuh yang mengacu pada Instruksi Presiden

    Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kampung Kota.

    4. Manual

    Seperti yang telah dijelaskan dalam subbab sebelumnya yaitu subbab 2.2 dan 2.3serta

    Tabel 2.3 hingga Tabel 2.6. Acuan Operasional kawasan permukiman dibangun

    dikelandaian 0-15%. Di pegunungan yang memiliki kemiringan yang lebih besar, harus

    disesuaikan dengan kondisi lahan. Kemiringan 15-25% memiliki problem erosi yang tinggi,

    diperlukan Pelandaian lereng. Kegiatan pengolahan tanah pelandaian lereng dengan cara

    timbun gali sebaiknya dibatasi dan disarankan sebaiknya :

    a) Meninggalkan system petak lahan seperti pada perumahan real estate/perumnas pada

    umumnya mengingat system tersebut akan banyak memerlukan jaringan jalan yang

    berarti meningkatkan jumlah pelandaian lereng dan mengakibatkan ketidakstabilan

    tanah.

    b) Memperhitungkan penempatan fasilitas dan penataan parkir yang memperhitungkan

    kemiringan lereng.

    c) Penggunaan tipe perancangan bangunan yang tidak banyak merubah kontur lahan.

    d) Pembuatan turap-turap alami yang melindungi daerah permukiman dari bahaya

    longsoran dan memakai tumbuhan-tumbuhan yang dapat membantu kestabilan tanah

    seperti rumput vetiver yang mampu menahan erosi karena akarnya yang mampu

    menjangkau kedalaman 3 meter dan budidayanya mudah.

  • 20

    3.2 Studi Kasus Luar Negeri : Strategi Pengembangan Kawasan Pegununungan Friuli

    Venezia Giulia, Italia

    A. Pendahuluan

    Area pengunungan dari Friuli Venezia Giulia (FVG) berlokasi di utara timur dari daerah Italia

    dan terdiri dari 99 kota dan 4 himpunan gunung seperti yang telah tercantum di Hukum Regional

    1/2004, yaitu:

    1. Perhimpunan gunung Carnia;

    2. Perhimpunan gunung Friuli Occidentale;

    3. Perhimpunan gunung Gemonese, Canal de Fiero dan Val Canale;

    4. Perhimpunan gunung Torre, Natisone dan Collio.

    Area pegunungan di Friuli Venezia Giulia, seperti yang disebutkan di dalam Stra.S.S.E.*,

    meliputi persentase yang cukup besar pada permukaan regional, di lain pihak data populasi

    menunjukkan penyia-nyiaan secara progresif akan wilayah-wilayah ini dibandingkan dengan

    Udine, pada umumnya, area regional urban sentral. Masalah utama yang dihadapi berkaitan

    dengan kerusakan sosial-ekonomi serta perbedaan yang kuat di tingkat regional, kurangnya

    infrastruktur dan aksesabillitas dan kelemahan secara ekologi.

  • 21

    B. Strategi Penyelesaian Masalah

    Ada 3 alternatif yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang telah terjadi, adalah :

    1. Strategi pertama: 4 Skenario

    Tidak seperti peramalan, yang melihat masa depan dari pengalaman masa lalu dan

    mengikuti logika deduktif, penataan ruang datang dari keterbatasan memprediksi masa

    depan. Oleh karena itu, skenario tersebut harus mengeksplorasi berbagai situasi ekstrim yang

    mungkin dapat terjadi. Penataan ruang memerlukan imajinasi dan seleksi, memperhatikan

    batasan dan kemungkinan dari berbagai macam konteks. Ada 4 skenario yang telah dibuat

    yakni:

    1) Inertial Scenario

    2) Marginal Development Scenario

    3) Linear Concentration Scenario

    4) Polycentric Network Scenario

    Setiap skenario telah dibuat untuk memenuhi dan mengakomodasi peraturan yang

    berbeda menurut fisik, ekonomi dan nilai-nilai sosial serta memadatkannya ke dalam peta

    untuk meringkas asumsi awal serta garis pedoman desain tersebut.

    Inertial Scenario

    Inertial Scenario dibuat berdasarkan kecenderungan akan area pegunungan FVG yang

    mengalami depopulasi, kekunoan, aktivitas ekonomi yang menurun, degradasi lingkungan,

    hilangnya nilai-nilai budaya dianggap sebagai fenomena yang tidak akan pernah berhenti.

    Oleh karena itu implementasi infrastruktur yang hanya berkonsentrasi di area sentral urban

    dapat berkontribusi terhadap jatuhnya wilayah regional dan penyia-nyiaan gunung secara

    pasti.

  • 22

    Marginal Development Scenario

    Marginal development scenario, secara langsung berbicara mengenai keanehan dan

    kemungkinan dari area gunung, oleh karena itu strategi pengembangan dimulai dari

    pengembangan pariwisata pedesaan, implementasi teknologi baru dengan tidak melupakan

    tradisi yang telah berakar di daerah tersebut.

    Linear Concentration

    Linear concentration scenario bergerak dari hipotesis bahwa busur di daerah pre-alpine

    dapat menjadi pemersatu dari aktivitas-aktivitas sehingga menghasilkan objek-objek urban

    bersamaan dengan jalan kereta dan jalan-jalan utama. Skenario ini tidaklah

    mempertimbangkan elemen-elemen tegas dari keseimbangan wilayah.

  • 23

    Polycentric Network

    Polycentric network scenario menawarkan kemungkinan untuk mengatur kembali

    keseluruhan wilayah sebagai keanekaragaman dan menggabungkan sistem wilayah dengan

    struktur hierarki yang lemah. Jaringan kereta api, diperbaiki dan diintegrasikan dengan

    transportasi publik, membentuk tulang belakang infrastruktur wilayah serta menyediakan

    mobilitas dan aksesabilitas yang berkelanjutan juga di area sekeliling. Dengan

    membandingkan keempat skenario tersebut maka dapat membentuk gambaran masa depan

    dan menghubungkan dengan kondisi yang terjadi di masa kini.

    2. Strategi kedua: Diagram Kunci

    Perbandingan Keempat Skenario dengan Visi Masyarakat Lokal

  • 24

    Skenario yang Diusulkan untuk Area Pegunungan FVG

    Pada kasus area pegunungan FVG, diagram kunci mendefinisikan:

    a. Infrastruktur lingkungan sebagai jaringan tidak hanya dalam keadaan setempat tetapi

    berhubungan juga dengan konteks yang lebih luas;

    b. Infrastruktur energi berdasarkan prinsip berkelanjutan eksploitasi hutan yang menjadi

    model akan desentralisasi produksi energi yang dapat memproduksi dan mempertahankan

    kekayaan alam lokal;

    c. Infrastruktur mobilitas berdasarkan implementasi atau pemulihan jalur kereta api yang

    telah ada dan menyebarkan aksesabilitas jaringan.

    Aksesabilitas, keduanya material dan immateral, sebagai komunikasi, mewakilkan sebuah fitur

    kunci untuk implementasi dari sebuah skenario dan secara tegas berhubungan dengan populasi

    yang dinamis. Konsep diagram kunci menggambarkan sebuah langkah awal untuk bergerak dari

    rencana menjadi tindakan. Hal ini menggambarkan peraturan tata ruang yang paling relevan dan

    signifikan untuk dilakukan guna mencapai pengembangan regional yang berkelanjutan melalui

    proses secara menyeluruh dengan perspektif jangka panjang.

  • 25

    Dari Rencana Menjadi Tindakan: Konsep Diagram Kunci untuk Area Pegunungan FVG

    3. Strategi ketiga: Sistem Polycentric

    Dari sudut pandang evaluasi kualitatif, perluasan dari jalur kereta api ke San Pietro al

    Natisone terlihat memberikan hasil yang positif dalam menyeimbangkan koneksi keluar dan

    masuk serta dalam meningkatkan kulitas hidup untuk penduduk lokal dengan menguatkan peran

    dari pokok-pokok yang telah ada.

    Proposal Sebuah Urban-Rural Sistem Polycentric

  • 26

    Jalur kereta api menghubungkan San Pietro al Natisone-Cividale del Friuli-Udine

    menyokong aktivitas-aktivitas secara luas. Pengembangan wilayah dengan konsep tata ruang

    polycentric membentuk sistem urban-rural yang didukung oleh jalur kereta api yang

    memudahkan serta menyebarkan aksesibilitas untuk fasilitas-fasilitas umum dan tempat-tempat

    umum seperti Cividale del Friuli dan Udine.

    3.3 Studi Kasus Lokal :

    3.3.1 Permasalahan, Manajemen dan Strategi Wilayah Cagar Alam Pegunungan

    Cyclops, Jayapura, Papua

    a. Profil Singkat Cagar Alam Pegunungan Cycloops

    Cagar Alam Pegunungan Cycloops merupakan salah satu kawasan konservasi di Papua

    yang ditunjuk sebagai Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor :

    56/Kpts/Um/1/1978 tanggal 26 Januari 1978 dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan

    Menteri Kehutanan Nomor : 365/Kpts-II/1987 tanggal 18 Nopember 1987 dengan luas 22.500

    Ha. Secara Geografis Cagar Alam Pegunungan Cycloops terletak pada 145-30 BT dan 2-31

    LS. Cagar Alam Pegunungan Cycloops terletak memanjang dan membentang dari teluk merah

    ke arah timur. Gunung Rafeni merupakan puncak tertinggi dalam kawasan ini, ketinggiannya

    mencapai 1.880 meter dpl. Secara adminitrtif Cagar Alam Pegunungan Cycloops terletak pada

    Distrik Jayapura Selatan Jayapura Utara, Sentani dan Depapre Kabupaten Jayapura dan Kota

    Jayapura Provinsi Papua. Cagar Alam Pegunungan Cycloops sebelah utara dibatasi oleh laut

    Pasifik, sebelah selatan dibatasi oleh Kota dan Kabupaten Jayapura, sebelah timur dibatasi oleh

    Kota Jayapura dan sebelah barat dibatasi oleh Distrik Depapre.

    Gb. Profil Cagar Alam Pegunungan Cycloops

  • 27

    b. Potensi Flora dan Fauna

    Kawasan ini terdiri dari 5 tipe ekositem utama yaitu Hutan Hujan dataran rendah, Hutan

    Pegunungan, Hutan Sekunder, Padang Rumput . Potensi Flora dalam kawasan ini adalah

    beberapa jenis Anggrek Potensi fauna yang ada antara lain Kakatua Raja, dan beberapa jenis

    Kelelawar. Salah satu jenis hewan karnivora berkantong yang ditemukan di kawasan ini adalah

    Dasyrys albopunctatus.

    c. Karateristik Wilayah

    Wilayah sampling : Desa Waybron Distrik Sentani Barat Kabupaten Jayapura.

    Masyarakat lokal : Moi (memiliki ketergantungan yang kuat terhadap hutan).

    Topografi : berbukit-bukit, berawa-rawa, pegunungan dan tanah datar, dan sungai

    yaitu Sungai Armu dan Sungai Arbei.

    Selatan : Tanah basah dan berawa-rawa banyak ditumbuhi tanaman sagu

    Barat : Perbukitan yang ditumbuhi alang-alang sulit untuk pertanian

    Iklim : 21 C - 35,6 C

    Curah Hujan/year : 1.310 1.933 mm3.

    Gb. Peta Kawasan C.A Pegunungan Cycloops

  • 28

    d Permasalahan Kawasan Pegunungan

    1) Pemukiman dan Pertambahan Penduduk

    Pemukiman tidak sesuai prosedur dan rencana tata ruang wilayah kabupaten Jayapura

    Dibangun dikawasan cagar alam

    Akibat pertambahan penduduk dan kebutuhan perumahan dengan keterbatasan lahan

    Fokus Pembangunan sumber daya lahan Kabupaten dan Kota Jayapura sejak tahun

    1985-2004 belum diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan pokok pengelolaan

    sumberdaya lahan yang memenuhi prinsip-prinsip kelestarian

    Gb. Kondisi Fisik Cagar Alam Pegunungan Cycloops

    Keterangan :

    HP : Hutan Primer LK : Lahan Kritis

    HS : Hutan Sekunder RW : Rawa-Rawa

    HB : Hutan Belukar AA : Alang-Alang

    PL : Perladangan PIS : Pembangunan Infrastruktur

  • 29

    2) Status Penguasaan Tanah/Lahan di dalam Kawasan

    Peranan kebudayaan tradisional masih sangat kuat bagi masyarakat asli suku sentani yang

    pada umunya mendiami Kabupaten Jayapura

    Sistem adat mempengaruhi sistem pemanfaatan lahan/tanah dan sumber daya alam yang

    lebih dikenal dengan (Hak Kepemilikan) Hak Ulayat.

    Masyarakat suku sentani menganggap bahwa kawasan hutan cagar alam pegunungan

    cycloop merupakan tanah adat yang merupakan hak ulayat mereka sehingga

    mempengaruhi pengelolaan pgunungan Cyclops kedepannya

    Instansi terkait sudah melakukan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat disekitar

    kawasan, namun tidak berhasil menimbulkan konflik sesama pemilik hak ulayat

    berhentinya program pemberdayaan untuk mencegah tingkat ketergantungan masyarakat

    terhadap kawasan cagar alam cycloop.

    3) Penebangan kayu

    Kegiatan pembalakan hampir dilakukan seluruh kelompok masyarakat selaku pemilik

    hak ulayat atas areal tersebut dan imigran lokal dari daerah lain.

    Pengambilan kayu di hutan karena letak kawasan yang dekat dengan pemukiman

    masyarakat serta kebiasaan dari masyarakat pemilik tanah (hak ulayat) yang bebas

    melakukan aktifitas didalam kawasan karena menganggap bahwa areal tersebut adalah

    hak ulayat mereka.

    Ketidak mampuan masyarakat membeli kompor dan bahan bakar

    4) Rusaknya Sumberdaya Air & Lahan

    Sumber-sumber air bersih yang tadinya berjumlah 34 sungai yang berhulu di Cycloop

    telah mengalami kekeringan hingga 14 sungai

    Diakibatkan oleh berbagai kegiatan penduduk dalam bentuk perladangan, pembangunan

    rumah penduduk disekitar sumber air dan penambang serta pengambilan material pasir

    dan batu

    12 dari 14 sungai ini bermuara di Danau Sentani yang sebagai sumber air bersih bagi

    penduduk yang berada disekitar Danau Sentani.

  • 30

    Penyebab lain kekeringan sumber air / sungai-sungai diwilayah hulu Cycloop adalah

    perladangan berpindah pada kelerengan > 30% yang berdampak pada bencana longsor

    yang mengakibatkan pencemaran pada sungai dan penumpukan sedimen akibat longsor

    Kegiatan pertambangan galian C dan pendulangan emas diwilayah jembatan II,

    mengakibatkan Danau Sentani mengalami pendangkalan.

    4. Strategi dan Manajemen Wilayah Pegunungan

    Agar eksistensi cagar alam Cycloop tetap terjamin maka diperlukan upaya pengelolaan

    yang yang tepat guna meminimalisir kerusakan yang ada. Untuk merencanakan kegiatan

    pengelolaan tersebut tentu saja juga diharapkan untuk mengatasi permasalahan atau kerusakan

    hutan yang terjadi di dalam kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloops.

    a) Pemantapan Kawasan

    Pemantapan kawasan hutan perlu dilakukan melalui beberapa bentuk antara lain :

    a. Pemetaan situasi dan kondisi cagar alam cycloop seperti penyebaran tingkat kerusakan/

    degradasi serta kerawanan bencana longsor dan banjir pada kawasan cagar alam

    cycloop. Tujuannya adalah supaya masyarakat mengetahui dengan jelas lokasi-lokasi

    dan luas areal yang sudah rusak serta daerah yang rawan bencana.

    b. Rekonstruksi pal batas yaitu mengembalikan pal-pal batas kawasan yang sudah hilang

    atau rusak. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat mengetahui dengan jelas batas-

    batas kawasan cagar alam cycloop sehingga tidak melakukan aktifitas didalam kawasan

    tersebut.

    c. Pemancangan papan pengumuman / peringatan disetiap titik-titik jalan yang rawan

    kerusakan.

    b) Model Daerah Penyangga

    Pembangunan daerah penyangga merupakan bagian integral dari pembangunan

    daerah secara terpadu.

    1. Daerah penyangga sebagai pendukung kawasan konservasi dan merupakan daerah

    yang sangat potensial untuk dikelola

    2. Pengelolaan didasarkan pada tiga aspek yang saling terkait, yaitu aspek ekologi,

    ekonomi, dan sosial budaya masyarakat, sehingga daerah penyangga mampu

  • 31

    meningkatkan taraf hidup dan persepsi masyarakat dalam menjaga keutuhan

    kawasan konservasi.

    3. Pengelolaannya perpaduan keserasian pengelolaan lahan hutan dan pertanian

    4. Penataannya atas wilayah-wilayah (zonasi). Sebagai contoh daerah penyangga

    Taman Nasional Berbak Jambi dibangun berdasarkan zonasi berupa jalur yaitu

    Jalur Hijau, Jalur Interaksi, dan Jalur Kawasan Budidaya dapat menjadi model

    daerah penyangga taman nasional yang dapat memberikan dampak positif terhadap

    kesejahteraan masyarakat dan kelestarian taman nasional.

    c) Rehabilitasi Lahan Dengan Praktek Agroforestry

    Pengelolaan hutan dan kawasan konservasi, termasuk dalam Kepmen No. 311/

    Kpts-II/2001, tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, hutan tanaman, dan hutan

    rakyat dalam bentuk agroforestry.

    1) Praktek agroforestry yang dikembangkan bersama masyarakat, melalui hutan rakyat.

  • 32

    2) Agroforestry yang dikembangkan masyarakat petani menghasilkan hasil hutan non

    kayu sebagai hasil utama. Secara ekologis berfungsi sebagai hutan alam karena

    stratifikasi tajuk dari perpaduan jenis tanaman bersifat perdu dan pohon termasuk

    buah dan tanaman jenis pohon yang berasal dari hutan alam (Michon dan Foresta,

    1995).

    d) Penanaman Pohon Batas

    Tujuan dari kegiatan ini yaitu menanam pohon/tanaman sebagai pengganti pal batas

    sepanjang batas kawasan cagar alam cycloop. Jenis pohon/tanaman yang perlu ditanam

    adalah

    a. Jenis tanaman kayu-kayuan seperti merbau, matoa, sengon dan cemara. Bila tanaman

    ini tumbuh besar dapat ditebang masyarakat tanpa harus masuk cagar alam

    b. Jenis tanaman yang bersifat multi fungsi seperti pohon pinang, bambu dan buah

    merah. Mengingat jenis tanaman ini mempunyai banyak fungsi maka perlu ditanam

    disepanjang batas kawasan. Sedangkan pola tanamnya harus pada batas luar kawasan

    dan melibatkan penduduk perumahan sekitar cagar alam.

  • 33

    e) Program Perlindungan Dan Konservasi Sumber Daya Alam

    Sasaran yang hendak dicapai dalam program ini adalah terlindunginya kawasan

    konservasi dan kawasan lindung dari kerusakan akibat pemanfaatan sumber daya alam yang

    tidak terkendali dan eksploitatif. Kegiatan pokok yang akan dilaksanakan antara lain

    meliputi :

    - Pengkajian kembali kebijakan perlindungan dan konservasi sumber daya alam

    - Perlindungan sumber daya alam dari kegiatan pemanfaatan yang tidak terkendali dan

    eksploitatif terutama kawasan konservasi dan kawasan lain yang rentan terhadap

    kerusakan

    - Pengelolaan dan perlindungan keanekaragaman hayati dari kepunahan, termasuk

    spesies-spesies pertanian dan biota-biota laut

    - Pengembangan sistem insentif dalam konservasi sumber daya alam

    - Penyusunan mekanisme pendanaan bagi kegiatan perlindungan sumber daya alam

    - Inventarisasi hak adat dan ulayat dan pengembangan masyarakat setempat

    - Peningkatan partisipasi masyarakat dan pengembangan kerja sama kemitraan dalam

    perlindungan dan pelestarian alam

    - Pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan di kawasan-kawasan konservasi darat

    dan laut

    - Perlindungan dan pengamanan hutan

    - Penanggulangan dan pengendalian kebakaran hutan

    - Peningkatan penegakan hukum terpadu dan percepatan penyelesaian kasus

    pelanggaran/kejahatan kehutanan

    - Pemantapan pengelolaan kawasan konservasi dan hutan lindung

    - Penguatan sarana dan prasarana pengelolaan kawasan konservasi

    - Pembentukan dan peningkatan kapasitas kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi

    dan kawasan lindung

    - Pengembangan kawasan konservasi laut dan suaka perikanan

    - Pengembangan budidaya perikanan berwawasan lingkungan

    - Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangan bidang konservasi sumber daya

    alam dan lingkungan hidup

  • 34

    - Evaluasi lingkungan dan kawasan konservasi alam geologi untuk pelestarian lingkungan

    hidup

    - Konservasi geologi dan sumber daya mineral

    - Penanggulangan konversi lahan pertanian produktif dalam rangka peningkatan

    ketahanan pangan.

    f) Pengamanan Cagar Alam Cycloop

    Dalam rangka melakukan pengamanan terhadap kawasan cagar alam cycloop, maka

    perlu dilakukan beberapa tindakan pengamanan sebagai berikut :

    a. Membentuk polisi hutan adat yang direkrut dari masyarakat setempat yang berasal dari

    kampung-kampung yang dilalui cagar alam cycloop. Hal ini perlu dilakukan mengingat

    ada sebagian kawasan yang sangat susah aksesibilitasnya sehingga tidak pernah

    dikontrol oleh polisi kehutanan dari BBKSDA Papua maupun Dinas Kehutanan.

    b. Memasang papan pengumuman dan larangan disekitar kawasan hutan.

    c. Melakukan pengawasan / patroli rutin ke setiap lokasi yang rentan terhadap kerusakan.

    d. Menerapkan sanksi yang jelas bagi yang melakukan pelanggaran.

    e. Pengembangan dan penguatan kelembagaan masyarakat disekitar kawasan hutan.

    BAB 4

    KESIMPULAN DAN SARAN

    4.1 Kesimpulan Strategi dan Kebijakan Penataan Ruang Kawasan Pegunungan

    Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

    Kebijakan Penataan Ruang bagi Kawasan Pegunungan ialah dengan :

    1. Meningkatkan kegiatan perbaikan kawasan pegunungan

    2. Peningkatan kemampuan dan kapasitas pengelolaan potensi kawasan pegunungan

    3. Memperbaiki kondisi kehidupan sosial ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan

    masyarakat

    4. Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan secara selektif didukung dnegan sarana dan

    prasarana memadai

  • 35

    Strategi Penataan Ruang Kawasan Pegunungan ialah dengan :

    1) peningkatan pembongkaran kawasan permukiman di kawasan yang melanggar ketentuan

    pembangunan permukiman yaitu di lereng yang kemiringan >30% , ketinggian >1000 m,

    KDB maks pedesaan 5% dan sanksi tegas

    2) Pengembangan pusat potensi lahan pertanian di ketinggian 1000-2000 m dan kemiringan

    < 40% dengan menyisakan lahan tak boleh diganggu sebesar 60-90%

    3) Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dan peningkatan pelayanan sosial yang berasal

    dari retribusi dari sektor ekonomi khsusnya pariwisata dari objek wisata alam

    pegunungan, pertambangan, perkebunan, pertanian dan kehutanan di kawasan

    pegunungan.

    4) Pengembangan kegiatan ekonomi kawasan pegunungan yang belum berkembang dengan

    memanfaatkan sumber daya lokal (SDM, SDA )

    NSPM Kawasan Pegunungan disusun berdasarkan peraturan normative :

    a) UU No 24/1992 tentang Penataan Ruang

    b) PP 47/1997 tentang RTRWN

    c) PP 69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta bentuk dan tata cara peran

    serta masyarakat dalam Perencanaan tata Ruang

    d) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta,

    Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (sebagai acuan penataan

    ruang kawasan puncak lainnya)

    e) PP No.16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah

    f) UU No.1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

    g) PP No.24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan

    h) PP No. 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi

    Kawasan Hutan

    i) Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Ekosistem Pegunungan yang ditebitkan

    Deputi VI KLH tahun 2003

    j) Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 217/KPTS/M/2002

    tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman.

    Standar teknis dan pedoman permukiman di wilayah pegunungan disusun berdasar aturan

    normative diatas dengan memadukannya dengan aturan tata guna lahan kawasan pegunungan.

  • 36

    4.2 Kesimpulan Studi Kasus

    1. Area pengunungan dari Friuli Venezia Giulia (FVG) berlokasi di utara timur dari daerah

    Italia, Masalah utama yang dihadapi berkaitan dengan kerusakan sosial-ekonomi serta

    perbedaan yang kuat di tingkat regional, kurangnya infrastruktur dan aksesabillitas dan

    kelemahan secara ekologi. Strategi pengembangan kawasan pegunungan Friuli yang

    sustainable ialah dengan menerapkan 3 strategi :

    a) Strategi 1 dengan 4 skenario pembangunan

    b) Strategi 2 membuat diagram kunci

    c) Strategi 3 : sistem polycentric

    2. Untuk mencegah kerusakan hutan yang terjadi pada kawasan cagar alam pegunungan

    cycloop, maka ada beberapa strategi pengelolaan kawasan guna mengendalikan

    kerusakan yang terjadi yang perlu dilakukan antara lain : Pemantapan Kawasan, Model

    Daerah Penyangga, Rehabiitasi Lahan dengan Praktek Agroforestry, Penanaman Pohon

    Pembatas, Program Perlindungan Dan Konservasi Sumber Daya Alam Pengamanan

    Cagar Alam Cycloop.

    4.3 Saran

    1. Pengembangan permukiman di pegunungan harus memenuhi syarat dan pedoman

    pembangunan di kawasan tersebut.

    2. Pemberdayaan masyarakat diperlukan untuk mengurangi tingkat ketergantungannya

    terhadap potensi kawasan pegunungan.

    3. Potensi-potensi yang ada seperti penduduk (tenaga kerja), potensi ekonomi (kekayaan

    alam dan hasil bumi) dan budaya masyarakat sekitar kawasan dapat dikembangkan untuk

    meningkatkan taraf hidup masyarakat

    4. Pemerintah dalam hal ini instansi terkait perlu membuat dasar hukum yang berbasis

    mitigasi dan pembangunan berkelanjutan.

  • 37

    DAFTAR PUSTAKA

    Paramita, Beta. 2010. Petunjuk Teknis Kawasan Permukiman Bandung Utara.

    http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ARSITEKTUR/19781231200

    5012-BETA_PARAMITA/Petunjuk_Teknis_KBU.pdf diakses tanggal 19 Februari 2013

    Purnomo, Hadi. 2010. Konservasi Sumberdaya Lahan dan Strategi Manajemen Wilayah

    dikawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloops (CAPC) Jayapura, Provinsi Papua,

    diunduh dari http://blog.ub.ac.id/kapttenhadi/files/2012/09/Tugas-1-TKSDL-

    19911.docx tanggal 21 Februari 2013

    Dept. PU. Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah di Kawasan Pengembangan Baru

    (Provinsi: NTT; Maluku; Maluku Utara; Irjabar dan Papua). Diunduh dari

    http://penataanruang.pu.go.id/kpb/Jakstra_REKAP.htm tanggal 20 Februari 2013

    AP. Fedrik, A. Roland, & Daniel,. 2010. Jurnal: Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan Hutan dan

    Strategi Pengendaliannya (Studi Kasus Pada Cagar Alam Pegunungan Cycloops)

    Kabupaten Jayapura Provinsi Papua.

    W. Hastanti, B., & Nurapriyanto, I., 2003. Jurnal: Kajian Sosial Ekonomi dan Budaya

    Masyarakat Suku MOI disekitar C.A. Peg. Cycloops di Jayapura.