tugas cerpen daerah

66
PENGARANG PEREMPUAN KALIMANTAN SELATAN Sastrawan dan pengamat sastra Indonesia, Korrie Layun Rampan, menilai Kalimantan Selatan sebagai “...gudang sastrawan, dibandingkan provinsi lainnya di Kalimantan, kini daerah ini menyimpan sastrawan yang hampir sama jumlahnya dengan sastrawan asal Jawa Tengah”[1]. Asumsi Korrie itu mungkin lebih didasari banyaknya penulis puisi di Kalimantan Selatan, sebagaimana yang berkembang sejak Perang Kemerdekaan hingga 1980-an. Yang tidak diketahui Korrie: sejak sekitar 1980-an di Kalimantan Selatan bermunculan pengarang cerpen perempuan (maupun laki-laki) yang menulis di media cetak Banjarmasin dan Jakarta. Akan tetapi, yang mesti digarisbawahi, berbeda dengan beberapa pengarang perempuan yang hanya “menumpang lahir” di Kalimantan Selatan (terutama di Banjarmasin) dan menjadi pengarang ternama setelah bermukim di luar kampung halamannya, pengarang yang dimaksud di sini (hingga buku ini diterbitkan, masih tetap) bermukim di Kalimantan Selatan. Pengarang perempuan yang tak lagi bermukim di Kalimantan Selatan itu, antara lain, Farah Hidayati (Jakarta) dan Lan Fang (Surabaya). Sebelumnya, masih ada sejumlah pengarang perempuan lain yang, dengan berlalunya waktu, tak tampak lagi publikasi karyanya. Sejak 1980-an hingga 1990-an, seiring dengan adanya rubrik sastra di Media Masyarakat (dikelola mendiang Ajamuddin Tifani) dan Dinamika Berita (kini menjadi Kalimantan Post, dikelola Kony Fahran), sejumlah pengarang perempuan muncul dengan sejumlah cerpen, antara lain Dewi Yuliani. Ia tidak hanya menulis cerpen, tapi, terutama, puisi. Ketika masih bermukim di Banjarbaru (kemudian pindah ke Bogor), cerpen-cerpen Katarina Panji malang-melintang diAnita Cemerlang, Gadis dan Aneka. Nanny S. adalah cerpenis lain yang, semasa kuliah di Program Studi PBSID FKIP Unlam Banjarmasin, cerpennya kerap dipublikasikan Anita Cemerlang. Dengan adanya rubrik sastra di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin dan Serambi Ummah, para cerpenis mendapat ruang publikasi yang lebih luas. Seperti dapat dilacak, Banjarmasin Post (1990-an), Radar Banjarmasin (2000-an hingga kini) dan Serambi Ummah (2000-an hingga kini) pernah memuat cerpen S. Wahyuni, Farida Ariani, Laila Alfisah, Misfah Kh Riwandi, Dewi Sandan, Dina, Raudah, Era S. Soemarno, Sovina Sofyan dan lain-lain. Berbeda dengan koran lain, Radar Banjarmasin menyediakan rubrik Cakrawala Sastra dan Budaya (berisi cerpen, puisi, esai, resensi buku, agenda budaya) dua halaman penuh setiap hari Minggu. Rubrik itu telah menjadi semacam lahan persemaian bibit cerpenis perempuan (maupun laki-laki) Kalimantan Selatan, sekurangnya dalam sewindu ini. Cerpenis perempuan yang mempublikasikan karyanya di Radar Banjarmasin, antara lain, Anna Fajar Rona, Dewi Alfianti, Hudan Nur, Nonon Djazouly, Nailiya Nikmah JFK, Rismiyana, Ratih Ayuningrum dan Syafiqatul Machmudah.

description

cerpen

Transcript of tugas cerpen daerah

PENGARANG PEREMPUAN KALIMANTAN SELATAN

Sastrawan dan pengamat sastra Indonesia, Korrie Layun Rampan, menilai Kalimantan Selatan sebagai ...gudang sastrawan, dibandingkan provinsi lainnya di Kalimantan, kini daerah ini menyimpan sastrawan yang hampir sama jumlahnya dengan sastrawan asal Jawa Tengah[1]. Asumsi Korrie itu mungkin lebih didasari banyaknya penulis puisi di Kalimantan Selatan, sebagaimana yang berkembang sejak Perang Kemerdekaan hingga 1980-an. Yang tidak diketahui Korrie: sejak sekitar 1980-an di Kalimantan Selatan bermunculan pengarang cerpen perempuan (maupun laki-laki) yang menulis di media cetak Banjarmasin dan Jakarta.Akan tetapi, yang mesti digarisbawahi, berbeda dengan beberapa pengarang perempuan yang hanya menumpang lahir di Kalimantan Selatan (terutama di Banjarmasin) dan menjadi pengarang ternama setelah bermukim di luar kampung halamannya, pengarang yang dimaksud di sini (hingga buku ini diterbitkan, masih tetap) bermukim di Kalimantan Selatan.Pengarang perempuan yang tak lagi bermukim di Kalimantan Selatan itu, antara lain, Farah Hidayati (Jakarta) dan Lan Fang (Surabaya). Sebelumnya, masih ada sejumlah pengarang perempuan lain yang, dengan berlalunya waktu, tak tampak lagi publikasi karyanya.Sejak 1980-an hingga 1990-an, seiring dengan adanya rubrik sastra diMediaMasyarakat(dikelola mendiang Ajamuddin Tifani) danDinamika Berita(kini menjadiKalimantan Post, dikelola Kony Fahran), sejumlah pengarang perempuan muncul dengan sejumlah cerpen, antara lain Dewi Yuliani. Ia tidak hanya menulis cerpen, tapi, terutama, puisi.Ketika masih bermukim di Banjarbaru (kemudian pindah ke Bogor), cerpen-cerpen Katarina Panji malang-melintang diAnita Cemerlang,GadisdanAneka. Nanny S. adalah cerpenis lain yang, semasa kuliah di Program Studi PBSID FKIP Unlam Banjarmasin, cerpennya kerap dipublikasikanAnita Cemerlang.Dengan adanya rubrik sastra diBanjarmasin Post,Radar BanjarmasindanSerambi Ummah, para cerpenis mendapat ruang publikasi yang lebih luas. Seperti dapat dilacak,Banjarmasin Post(1990-an),Radar Banjarmasin(2000-an hingga kini) danSerambi Ummah(2000-an hingga kini) pernah memuat cerpen S. Wahyuni, Farida Ariani, Laila Alfisah, Misfah Kh Riwandi, Dewi Sandan, Dina, Raudah, Era S. Soemarno, Sovina Sofyan dan lain-lain.Berbeda dengan koran lain,Radar Banjarmasinmenyediakan rubrikCakrawala Sastra dan Budaya(berisi cerpen, puisi, esai, resensi buku, agenda budaya) dua halaman penuh setiap hari Minggu. Rubrik itu telah menjadi semacam lahan persemaian bibit cerpenis perempuan (maupun laki-laki) Kalimantan Selatan, sekurangnya dalam sewindu ini.Cerpenis perempuan yang mempublikasikan karyanya diRadar Banjarmasin, antara lain, Anna Fajar Rona, Dewi Alfianti, Hudan Nur, Nonon Djazouly, Nailiya Nikmah JFK, Rismiyana, Ratih Ayuningrum dan Syafiqatul Machmudah.Selain mereka, masih ada beberapa pengarang perempuan lain yang menulis di koran lain. Tetapi, setelah sekali dua kali cerpen mereka terbit, kemudian tak tampak lagi jejaknya.Sembilan cerpen karya sembilan cerpenis perempuan ini diseleksi dariRadar BanjarmasindanDinamika Beritadengan pertimbangan subyektif atas tema maupun kualitasnya, sebab lebih didasari niat mengumpulkan cerpen tersebut dalam antologi bersama.Selama ini belum ada satu pun antologi cerpen yang secara khusus menghimpun karya cerpenis perempuan Kalimantan Selatan. Buku kumpulan cerpen dari seorang (atau beberapa orang) pengarang laki-laki sudah ada, tapi antologi cerpen pengarang perempuan, dengan mutu yang relatif teruji (melalui lomba penulisan maupun pemuatan di koran), belum pernah diterbitkan.Korrie Layun Rampan telah menyuntingDunia Perempuan, Antologi Cerita PendekWanita Cerpenis Indonesia(1999). Akibat minimnya publikasi karya cerpenis perempuan Kalimantan Selatan di rubrik sastra dan budaya media cetak Jakarta, juga akibat tiadanya jejaring, buku itu tidak memuat satu pun karya cerpenis perempuanbanua.Dalam percaturan sastra Indonesia di Kalimantan Selatan pun posisi cerpenis perempuan seakan terpinggirkan. Keberadaannya antara ada dan tiada, atau sekadar pelengkap belaka. Lembaga, institusi dan organisasi berkompeten tidak pernah mengakomodasi keberadaannya, baik dalam sebuah forum sastra atau memfasilitasi penerbitan antologi (tunggal atau bersama) mereka.Hegemoni budaya patriarki tampaknya masih menguasai masyarakat sastra Kalimantan Selatan, hingga bahkan institusi, lembaga, organisasi sastra dan budaya, mengabaikan kehadiran mereka. Puluhan antologi sastra (puisi, cerpen) diterbitkan, tapi sastra Indonesia modern di Kalimantan Selatan (masih) didominasi (sastrawan) pria; dan (sastrawan) pria lebih mengutamakan ego dan kebesaran dirinya sendiri saja, tanpa komitmen membesarkan kaum hawa, tulang rusuknya.Dua orang pengurus pusat dari dua organisasi sastrawan Indonesia bermukim di Banjarmasin: Komunitas Cerpen Indonesia (KCI) dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Kedua organisasi itu diketuai oleh redaktur sastraRepublika, Ahmadun Yosi Herfanda. Alangkah elok seandainya dua orang pengurus pusat itu mengumpulkan, menyeleksi dan merekomendasikan puisi dan cerpen karya cerpenis perempuan (maupun laki-laki) Kalimantan Selatan ke koranbosmereka di Jakarta itu.Memang, keputusan akhir tetap ada pada Ahmadun (tentang laik-tidaknya dimuat). Namun, kalau langkah sederhana seperti itu saja tidak dilakukan, apa manfaat kedudukan mereka (bagi sastra Indonesia di Kalimantan Selatan) dalam kepengurusan organisasi sastrawan nasional?LihatlahHorison. Sekali lagi, meskipun keputusan akhir tetap ada pada redaksi, tapi frekuensi publikasi karya sastrawan Madura, Banten dan Jawa Barat diHorisontidak terlepas dari posisi Jamal D. Rahman dan Moh. Wan Anwar sebagai redaktur.Seperti halnya seni lukis, sastra memang karya individual. Ia berbeda dengan seni kolektif seperti tari, musik, teater dan seni multimedia seperti film, yang mensyaratkan kerja sama tim dalam penggarapan dan pertunjukannya. Dalam mencipta, sastrawan menciptakan karyanya sendirian. Meskipun berkarya secara individual, alangkah elok seandainya sastrawan tidak individualis. Meminjam bahasa agama: beribadah (berkarya) adalah kewajiban yanghablum minnallah, bermasyarakat (bekerja sama dengan orang lain, mengayomi,nang tuha dituhaakan,nang anum disayangi) adalahhablum minannas. Idealnya, dalam diri siapa pun (bukan cuma sastrawan) keduanya seimbang:hablum minnallah wa hablum minnanas.Buku ini mustahil terbit tanpa bantuan dan dukungan banyak pihak (hablumminnanas). Oleh karena itu, ucapan terima kasih saja tentu tidak cukup, terutama kepada para pengarang yang cerpennya dimuat dalam antologi ini. Terima kasih pula kepadaRadar BanjarmasindanDinamika Berita(dalam hal iniKalimantan Post) dan, terutama, kepada Maman S. Tawie; yang telah memberikan keleluasaan bagi sayamaudak, maudardanmanggulagaikoleksi kliping dan dokumentasi sastranya. Segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam buku ini, termasuk subyektifitas dalam pemilihan cerpen, menjadi tanggung jawab pribadi saya sepenuhnya.

Editor

SUBUH PERTAMA DI MASJIDIL HARAM

Anna Fajar Rona

Pintu Masjidil Haram sudah di depan mata Dargi. Beberapa langkah lagi pria 28 tahun yang sebenarnya bernama Riduan Ahmad itu bisa melewati pintu indah tersebut. Ia tentu segera masuk melakukantawafpertama dalam ibadah haji bersama jutaan umat lain. Namun sebelum kakinya mencapai pintu, pandangannya tiba-tiba berkunang-kunang diiringi rasa sakit yang amat sangat pada perutnya.Dargi tak kuasa lagi melangkah. Tubuhnya terasa digayuti beban yang amat berat. Rasa nyeri pada perutnya tak kuasa ia tahan. Ia terduduk di lantai teras Masjidil Haram. Tubuhnya yang berukuran sedang itu dilangkahi berpuluh-puluh jamaah bertubuh tinggi besar, ada yang berkulit hitam, ada pula yang wajahnya dipenuhi jambang dan jenggot.Wajah Dargi pucat, sepertinya tak berdarah lagi. Tak kuasa bergerak. Ia tersungkur di lantai teras Masjidil Haram yang untuk pertama kalinya ia injak itu.Rasa sakit pada perutnya tambah menggila. Seluruh isi perutnya bagai beku. Membatu. Keringat membanjir. Butirannya bagai biji-biji jagung mengucur dari seluruh tubuh. Dargi meringis menahan sakit sambil memegangi perut. Ia mencoba berdiri, tersungkur kembali. Mencoba lagi, tetap tersungkur lagi. Ia tak mampu menggerakkan keduakakinyauntuk menyangga tubuhnya sendiri. Rasa sakit yang amat sangat itu terasa menjadi beban yang sangat berat menindih raganya. Ia merasa tak punya harapan hidup lantaran hampir seluruh tubuhnya tak dapat ia gerakkan. Cukup lama ia tersungkur. Menangis di bawah langkah-langkah kaki para jamaah yang tak peduli dengan keberadaannya saat itu.Hampir setengah jam ia membiarkan dirinya di bawah langkah kaki para jamaah. Setelah ia merasa ada sedikit tenaga untuk merangkak, maka merangkaklah ia. Pandangannya menyebar, mencari-cari kamar kecil di sekitar depan Masjidil Haram. Setelah ia yakin di arah kiri depan masjid ada kamar kecil, ke sanalah ia merangkak dengan sisa-sisa tenaga yang ada.Hampir 20 menit ia baru bisa mencapai tempat buang hajat. Masih dalam keadaan merangkak sambil menahan sakit yang luar biasa di perut, Dargi turut antri dengan jamaah lainnya di depan pintu kamar kecil. Ia sudah tak tahu lagi rombongan jamaah yang tadinya berangkat bersama-sama dari pemondokan. Dirinya terpisah akibat sakit yang dideritanya itu.Selama menunggu giliran masuk kamar kecil, keringat terus mengucur. Kainihramyang ia kenakan sejak turun di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, sudah basah oleh keringat. Keringat yang mengucur dari manahan rasa sakit di bagian dalam perut. Segenap ususnya seperti ditusuk ribuan jarum. Sakit sekali. Menahan rasa sakit itu, air mata Dargi kembali meleleh.Begitu Dargi mendapat giliran masuk kamar kecil, berliter-liter air kotor keluar dari lubang anusnya. Air berwarna hitam dan berbau menyengat itu keluar deras seperti air kran yang mengucur dalam keadaan normal. Hampir satu jam ia berada di dalamwcdan selama itu pula air kotor berbau menyengat tak terhenti melewati lubang anus ke lubang kloset.Untung saja kainihramnya tak terkena kotoran itu. Sebelum ia jongkok, ia sempat mengangkatihramtersebut ke atas kepala. Begitu banyak air kotor ia keluarkan. Dargi sendiri memperkirakan sudah berember-ember air berbau busuk dari dalam perutnya keluar.Ya Allah, ampuni hamba. Atas kuasa-Mulah hamba bisa tiba di tempat suci ini. Untuk itu lindungilah hamba, mudahkanlah hamba dalam menunaikan perintah-Mu. Sehatkanlah hamba, yaRabbi, ucap Dargi.Begitu mengucapkan kalimat itu, air kotor berbau busuk yang keluar dari perutnya tiba-tiba saja terhenti. Rasa sakit dalam sekejap sirna. Beberapa detik Dargi tercenung.Ia kemudian membersihkan dirinya. Setelah itu dengan mudah ia dapat berdiri tegak dan melangkah keluar dari kamar kecil berukuran satu setengah kali dua meter itu. Sekeluar dari ruangwc, ia menuju ruang wudhu. Bersuci diri di situ. Selanjutnya dengan ringan ia melangkah menuju pintu Masjidil Haram. Saat itu persis pukul dua dinihari waktu Makkah.Sebelum melakukantawafpertama, ia ingat pesan seorang ulama saat mengikutimanasikhaji di tanah air, bahwa dalam berhaji yang penting luruskan niat, kemudian perbanyak salat taubat bila menghadapi masalah di Masjidil Haram maupun di Masjid Nabawi atawa di Arafah dan tempat-tempat lain. Ingat pesan itu, bergegas Dargi melaksanakan salat taubat tepat di sebelah timur depan Kabah.

***

Bagaimana Dargi yang hanya calo angkutan umum di terminal kota bisa berhaji. Sementara dirinya dikenal tak lebih sebagai lajang yang suka menenggak minuman keras sampai mabuk. Bahkan dalam darahnya sudah bercampur alkohol. Dalam pemeriksaan kesehatan sebagai syarat berhaji, dokter mengetahui kalau darah Dargi merupakan darah alkoholis yang selalu ketagihan minuman mengandung alkohol.Yang namanya kuasa Allah, apa pun bisa terwujud. Sebagaimana juga Dargi si pemabuk, dengan kuasa Tuhan ia bisa berangkat haji.Awalnya, di terminal tempat Dargi menjalani hidup sejak kanak-kanak terdapat sebuah mushala berukuran 7 x 7 meter. Mushala tersebut hendak digusur oleh pengusaha dengan kekuatan uangnya. Padahal keberadaan mushala tersebut sangat membantu para penumpang angkutan maupun warga yang tiap hari beraktivitas di terminal untuk melaksanakan salat. Juga kerap dijadikan tempat memperingati Hari-Hari Besar Islam yang dilaksanakan warga terminal secara sederhana, misalnya memperingati Isra Mikraj, Maulid Nabi dan lainnya. Bahkan tiap bulan Ramadhan, pengeras suara mushala yang mengumandangkan azan Magrib dijadikan panduan ketepatan waktu berbuka puasa warga sekitar terminal. Hingga lebih 9 tahun sudah mushala terminal yang dibangun atas swadaya itu mendatangkan manfaat bagi warga.Kini mushala terminal hendak dikuasai pengusaha bahkan sudah tersiar segera digusur untuk kepentingan bisnis.Kalau mushala ini digusur, kemana kita mendirikan salat? tanya Ibnu dengan nada protes. Ibnu adalah salah satu warga yang kerap menjadikan mushala terminal sebagai tempat salat berjamaah, terutama Magrib dan Isya, ia sehari-hari membuka kios rokok dan warung kopi di terminal antarkota dalam provinsi itu.Masjid cukup jauh dari sini, Kurdi pedagang asongan menimpali.Tak ada cara lain, kita mesti mencegah penggusuran mushala, kata Hadri.Caranya? sambut yang lain.Kita datangi DPRD dan pemerintahdaerahsini. Minta agar pengusaha jangan seenaknya merampas mushala kita, ujar Murad berpendapat.Kasak-kusuk soal mushala itu juga didengar oleh Dargi, pemuda setengah preman yang yang dikenal selain suka mabuk juga bernyali besar berhadapan dengan siapa pun. Merasa turut memiliki mushala, meski ia tak pernah menggunakan mushala untuk salat selain untuk tidur-tiduran, pemuda itu tampil sebagai pembela mushala.Preman-preman yang menjadi kaki tangan pengusaha yang memiliki modal untuk menggusur mushala untuk memperluas toko serba ada di terminal, berhadapan dengan Dargi sang pria bernyali besar itu. Sedikitnya ada 5 preman merasakan kekuatan Dargi dan semuanya jadikederbila diharuskan melawan Dargi. Pernah terjadi adu fisik dengan preman peliharaan pengusaha, Dargilah yang menjadi pemenang meski ia juga mengalami cidera ringan.Atas campur tangan Dargi, warga terminal jadi memiliki kekuatan untuk mempertahankan mushala. Bahkan dengan gigih Dargi bersama warga lainnya mempertahankan pendapat di hadapan anggota DPRD mengenai pentingnya mushala di terminal supaya tidak dipindahtangankan kepada pengusaha yang di otaknya hanya mementingkan bisnis.Letak mushala itu strategis. Persis di tengah-tengah terminal dan sangat gampang dijangkau tiap orang yang memerlukannya, ujar Dargi kepada anggota DPRD.Saking gigihnya Dargi mempertahankan mushala, membuat seluruh anggota dewan bersimpati. Bahkan akhirnya berkat perjuangan Dargi, pengusaha tak berkutik. Pengusaha melepaskan niatnya untuk memodali lahan mushala tersebut.Dargi bagai pahlawan mendapat pujian, bukan saja dari warga terminal juga dari para anggota DPRD. Tak terkecuali ketua DPRD.Dari rasa simpati terhadap Dargi itulah, namanya dikenal di lingkungan DPRD daerah itu. Hingga sekitar 3 bulan dan sampai pada musim menjelang pemberangkatan haji, Dargi jadi buah bibir di lingkungan DPRD.Begitu tiba persiapan pemberangkatan haji, seperti tahun-tahun sebelumnya, anggota DPRD secara bergiliran mendapat jatah berangkat haji. Tiap tahun 3 anggota dewan mendapat biaya haji yang disisihkan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pada pemberangkatan haji tahun itu, salah satu anggota dewan yang mendapat giliran berangkat mengundurkan diri. Anggota itu adalah ketua DPRD, alasannya ia sudah berhaji jauh sebelum menjadi anggota DPRD. Ia memilih mundur dan memberikan jatahnya kepada masyarakat. Masyarakat yang dipilihnya adalah Dargi yang ia ketahui dengan gigih mempertahankan mushala terminal untuk umat.Dari jatah berangkat haji ketua DPRD itulah, Dargi bisa berangkat haji tanpa keluar uang serupiah pun. Sejak ia dipanggil dan diserahi ketua dewan jatah berhaji, sejak itu pula pola hidup Dargi berubah. Setidaknya dalam hari-hari menunggu keberangkatan haji, Dargi tak lagi menyentuh minuman keras.Ia pernah menggigil dan meradang menahan ketagihan mereguk minuman beralkohol. Sekuat kemampuannya, ditahannya keinginan untuk mereguk minuman keras meski tubuhnya terasa sakit-sakit.Bahkan ia sempat sakit demam di minggu pertama ia melewati tanpa minuman keras. Dalam demam, hampir 3 hari Dargi serba merasa tak enak, bahkan untuk menelan makanan ia tak mampu.Pada minggu kedua tenggorokannya terasa dililit-lilit ingin dilewati minuman keras. Keinginan itu begitu keras dan menggodanya. Apalagi di terminal, rekan-rekan minumnya dulu masih melakukan aktivitas minum tiap malam usai aktivitas terminal. Dargi terus berjuang menahan keinginan itu. Ia selalu menjauhi arena rekan-rekannya yang dengan bebas mereguk berpuluh-puluh botol minuman keras.Meski tubuhnya terasa sakit-sakit lantaran tak dialiri minuman beralkohol, ia terus berjuang membunuh rasa ketergantungannya pada minuman.Agar betul-betul bisa menghindari minuman keras, Dargi lebih rajin berada di mushala terminal melaksanakan salat 5 waktu. Pelajaran mengaji yang iakhatamkan waktu masih di sekolah dasar di lingkungan terminal, kembali ia ulang. Ia masih mampu membaca Quran meski sudah sekian tahun tak pernah disentuhnya.Tadinya, Dargi tak pernah lepas dari minuman keras. Tiap malam usai aktivitas terminal ia akrab dengan yang namanya kencing iblis alias minuman beralkohol dengan kadar tinggi itu. Dalam semalam, tak jarang berbotol-botol minuman memabukkan ia tenggak memenuhi rongga perut dan dadanya.Hampir sepanjang hidup Dargi tinggal di terminal. Ada alasan yang memaksanya hidup di terminal itu, pertama ia dilahirkan di lingkungan terminal hingga tumbuh besar dan menamatkan SLTA. Ketika menjelang ujian SMP, ayahnya yang menjadi sopir di terminal meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Kehidupan di terminal itu dilanjutkan oleh ibunya yang menjanda dengan Dargi sebagai anak tunggal. Di terminal itu pula sang ibu bisa menyambung hidup dan menjadikan putra yang diberinya panggilan Dargi sangat akrab dengan lingkungan terminal.Kehidupan terminal itu pula yang menempa perwatakan Dargi, menempa jiwanya yang selalu berhadapan dengan kekerasan hidup. Dengan susah payah, ibu Dargi menghidupinya melalui usaha kios pisang goreng dan jajanan kecil lainnya, hingga sang bunda mampu menyekolahkan sang anak sampai menamatkan SLTA dengan harapan si anak kelak bisa menjalani hidup yang lebih baik. Ternyata, ijazah SLTA yang diperoleh Dargi hanya bisa menjadikannya calo angkutan umum. Terkadang juga menjadi sopir cadangan alias pengganti sopir terminal. Karena Dargi dikenal sebagai peminum, maka Organda setempat tak memberi izin bagi Dargi untuk menjadi sopir tetap.Meski pola hidup Dargi tak terpisahkan dari minuman keras, pria itu tak pernah mengganggu ketertiban terminal. Apalagi sampai merugikan orang lain. Ia juga menghindari judi dan perempuan penjaja seks komersial yang hampir tiap malam mampir di terminal. Dua perbuatan maksiat itu memang tak pernah akrab dengan hidup Dargi, tetapi minuman keras sudah menjadi keharusan bagi Dargi untuk selalu direguk sampai mabuk sepanjang malam di terminal. Uang untuk membeli minuman, selain didapat dari patungan teman-temannya, juga diperoleh dari hasil kerja calo di terminal.Saat usia Dargi genap 21 tahun, Imah, bunda Dargi yang tak kenal lelah membesarkan sang putra, berpulang memenuhi panggilanIllahi. Sebelumnya wanita perkasa di mata Dargi itu terjangkit demam berdarah. Ini akibat kebersihan selokan terminal tak terpelihara. Namun setelah Imah menjadi korban, warga terminal jadi sadar untuk menjaga kebersihan lingkungannya.Sepeninggal bunda, Dargi kian tak memiliki pegangan hidup. Ia gamang menghadapi hidup. Ia seperti diburu rasa ketakutan menghadapi kenyataan. Kegamangan itu ia tutup-tutupi dengan caranya sendiri, minum sampai mabuk hingga untuk sesaat bisa terlupakan kepahitan hidup.Pernah juga kerabatnya memberi nasihat, namun tak pernah memberi jalan keluar. Sehingga hanya membuat Dargi merasa didikte dan itu kian membuat dirinya tenggelam pada dunia yang ia kiblati, yaitu mabuk hampir tiap malam.

***

Kini si pemabuk Dargi berada di dekat Kabah. Jantungnya berdebar memandang simbol kemurnian Islam itu. Memandang rumah Tuhan. Lantas ia terduduk lunglai di sela-sela jamaah lainnya yang juga duduk memandangi Kabah di luar dari arus jamaah yangtawaf. Tanpa Dargi sadari air matanya menetes. Ia terbayang wajah bunda yang teduh, wajah ayah yang tegar. Ia ingat saat ayah membimbingnya salat waktu usianya baru 7 hingga 9 tahun. Ingat tiap Jumat sang ayah menyempatkan pergi membawanya salat Jumat ke masjid. Juga ingat ibunya yang selalu tak kenal lelah mencari nafkah, tak kenal bosan mengingatkannya waktu kecil untuk datang ke Taman Pendidikan AlQuran. Ingat sang bunda menyiapkan masakan ketan untuk merayakankhatamQuran di tempatnya belajar membaca Kitab Suci itu. Semua kenangan indah itu melintas silih berganti.Ketika ingatan-ingatan itu memenuhi benaknya, secara tiba-tiba perutnya kembali terasa melilit, padahaltawafpertama belum lagi ia kerjakan. Ia baru saja usai mendidikan salat taubat untuk minta ampunan Allah atas segala kekhilafannya.Hanya dalam waktu beberapa detik rasa sakit itu tambah menjadi. Dargi buru-buru ke luar dari Masjidil Haram. Kainihramdi badannya disingsingkannya ketika memasuki kamar kecil di sebelah utara teras Masjidil Haram. Kembali di dalamwcitu berliter-liter air kotor mengucur deras keluar melewati lubang anus. Air berbau menyengat itu keluar dengan sendirinya. Sedikit pun Dargi tidak mengejan. Air itu seperti dikuras dari dalam perutnya.Ia sadar betul, kalau saat itu dirinya mendapat teguran Allah. Ia bisa meyakini kalau air kotor berbau busuk yang keluar dari dalam perutnya itu adalah kumpulan kencing iblis yang ia kiblati dan ia anggap sebagai penenang jiwa selama hampir 8 tahun. Kini kencing iblis itu dikuras dari dalam perutnya. Ia meyakini pula, pengurasan kencing iblis itu dilakukan atas kuasa Allah di Tanah Suci Makkah, di saat ia menunaikan haji.Ya Allah, bila ini cara-Mu untuk membersihkan jiwaku sebelum Engkau izinkan aku melaksanakantawafmemenuhi panggilan-Mu di rumah suci-Mu, maka aku sebagai hamba-Mu yang lemah hanya dapat berpasrah sepenuhnya kepada-Mu. Kuserahkan jiwa ragaku pada kuasa-Mu, ucap Dargi.Seketika rasa sakit itu lenyap kembali.

***Setelah membersihkan diri dan berwudhu, Dargi kembali salat taubat. Itu ia lakukan sekitar pukul tiga dinihari menghadap Kabah. Di rumah Tuhan itu pula ia bersumpah tak akan pernah lagi mengotori darah dalam dirinya dengan minuman keras.Di hadapan-Mu, ya Allah, dan di rumah-Mu ini, aku bertekad dan bersumpah dengan sumpah yang sebenarnya sumpah untuk tak lagi menyentuh yang namanya minuman keras. Untuk itu, bimbinglah hamba, ya Allah, mudahkan hamba dalam menyelesaikan ibadah atas panggilan-Mu ini, ucap Dargi usai melaksanakan salat taubat yang ketiga.Sosok pemuda bertaubat itu dengan kekuatan fisik yang diberikan Allah dengan ringan menuntaskan gerakan haji.Tawafpertama dansyaiia selesaikan dengan tanpa ada lagi penghalang. Gerakan itu Dargi selesaikan persis azan Subuh berkumandang di Masjidil Haram.Subuh pertama di Masjidil Haram Dargi tuntaskan dengan segenap doa.

Maret, 2006

NYANYIAN TANPA NYANYIAN

Dewi Alfianti

Ayah, dalam siluet di antara senja, saat itu dia nampak seperti pohon bambu. Sosoknya yang tinggi semampai menghalangi cahaya mentari senja masuk melalui jendela rumah. Cuma silau cahaya senja saja yang menyelinap menerpa mataku. Ayahku seperti pohon bambu, tinggi namun menenangkan dengan gemerisik daun yang seperti nyanyian tanpa nyanyian.Senja ini, seperti senja-senja biasanya, ayah akan berkeliling rumah kami yang rimbun dengan bermacam tetumbuhan.Almarhumahibu yang membuat pekarangan rumah serimbun itu. Beliau mengumpulkan tanaman sejak lama sekali, bahkan sebelum menikah dengan ayah. Hasil ketekunan selama puluhan tahun itu membuahkan sebuah hutan kecil di pekarangan kami. Seingatku, waktu kecil, kakak, aku dan adik perempuanku sering main petak umpet di situ. Bagi tiga orang anak kecil, pekarangan itu menjelma menjadi hutan rimba. Aku ingat di suatu sore adik menangis kencang karena tersesat di antara tumbuhan paku, ia tak tahu bagaimana keluar dari hutan kecil buatan ibu.Ayah, dengan langkah perlahan dalam irama yang sama, biasanya berjalan-jalan di pekarangan sambil menggumamkanal-Matsurat, zikir yang dilantunkannya tiap sore dan pagi juga. Menjelang azan magrib, ayah akan masuk rumah lantas menuju ruangan tempat biasa kami sholat untuk melanjutkan zikirnya denganwiridal-Quran. Ketika azan berkumandang, ayah akan memastikan kami sudah siap bersama-samanya untuk sholat.Ayah, demikianlah. Dialah wujud kebijaksanaan dalam diri seorang laki-laki. Ayah menjelma mata air dalam keluarga kami. Tidak pernah mendominasi, namun dominasinya begitu terasa. Tak ada yang sempurna tanpa sentuhan ayah, begitu pula saat ibu meninggal lima belas tahun lalu. Ayah adalah ayah. Tatapan matanya senantiasa membisikkan sesuatu, seolah dalam keadaan tidak berbicara pun dia selalu ingin membahasakan sesuatu. Seperti percakapan yang tak putus-putusnya.Adik perempuanku begitu memujanya. Aku dan kakak lelakiku, takzim padanya sepanjang umur kami. Aku ingat saat aku kelas 6 SD dan Kak Fahri, kakak lelakiku itu duduk di bangku SMP. Saat itu kami bertengkar hebat. Aku menemukan catatan kecil Kak Fahri yang kutahu akan dipakainya sebagai contekan waktu ujian. Tentu saja aku tak bisa terima, kami terbiasa memandang bahwa satu sama lain adalah anak yang cerdas dan tidak akan mau bergantung pada harta kaum pecundang seperti contekan itu. Saat itu kami bertengkar hebat. Suasana saat itu begitu gaduh padahal hari sudah larut malam. Kak Fahri berteriak padaku demikian pula aku. Ibu dan Nada, adik perempuanku saat itu sedang menginap di rumah sakit menunggui saudara ibu yang sakit. Malam itu di rumah cuma ada ayah.Saat pertengkaran mulut itu kian meruncing, tiba-tiba listrik padam. Kamar kami yang jadi arena pertengkaran mendadak gulita. Kami terdiam sejenak. Tanpa kami sadari ayah sudah ada di antara kami. Dipegangnya tanganku dan Kak Fahri. Dibimbingnya kami duduk dengan bahasa yang begitu lembut dan suara yang renyah.Dia menyuruh kami tidak berbicara. Lama sekali kami diam sampai aku merasa kegelapan ini terasa begitu mengganggu. Kegelapan ini menyekat pandanganku. Amat gelap. Kak Fahri yang tidak menyukai kegelapan napasnya mulai tidak teratur. Kami merasa takut ditindih kegelapan. Kecemasan itu mulai melemaskan pikiran. Sampai terlupa kami pada pertengkaran tadi. Lama sampai ayah berkata agar kami melakukan kebaikan-kebaikan ketika terang cahaya melingkupi kami sebelum cuma gelap yang bisa kami rasakan.Tak berapa lama lampu mulai menyala. Sejak saat itu aku dan Kak Fahri tidak pernah lagi bertengkar, semenjak itu pula Kak Fahri juga tidak pernah lagi mencontek. Mendalam makna peristiwa itu buat kami dan ayah semakin menakjubkan bagi kami. Belakangan, aku dan Kak Fahri tahu bahwa listrik itu sengaja dipadamkan ayah.Nawa, anak sulungku, sejak selesai sholat magrib mengurung diri di kamar. Berbeda dengan Najma adiknya yang begitu bersemangat tiap kali diajak ke rumah ayah, Nawa tidak menutupi keengganannya untuk berada di rumah ini. Nawa mirip sekali dengan istriku. Jika kuajak menginap di rumah ayah mereka menjadi canggung. Seperti tidak terbiasa dengan suasana pinggiran kota yang tak segempita tempat tinggal kami. Nawa dan istriku adalah sosok yang dibesarkan kota besar, jiwa mereka alir dalam nuansa kota yang gemerlap, hedonis, dan modern.Nawa, gadis 13 tahun itu kesal padaku karena tiba-tiba kuajak ke rumah ayah. Dia seharusnya bersama teman-temannya jadi panitia pentas seni di sekolahnya, tapi aku dan istriku berkeras. Akhirnya dia turut serta. Sebagai bentuk ketidaksukaannya dengan keputusanku, sejak tadi siang sampai malam ini dia tidak mau berbicara padaku. Ekspresi yang begitu berbeda dengan Najma. Gadis kecilku ini adalah penggemar berat ayah. Dia begitu menyukai rumah ini dan dia sangat dekat dengan ayahku. Sejak duduk di bangku taman kanak-kanak sampai kelas 6 sekolah dasar ini dia selalu minta dikirim ke rumah ayah tiap kali libur.Dan ayah, dia mencintai keluargaku. Pandangan sayangnya pada dua cucu perempuannya begitu kentara. Namun, Nawa seperti telah diajarkan ibunya untuk bersikap canggung dan formal. Mereka berdua paling jarang berinteraksi dengan ayah. Tapi tentu saja hal itu tidak menghalangi ayah untuk tetap membahasakan cinta lewat matanya.Nawa sakit, Diq? suara ayah merentang di antara kami di meja makan.Oh, dia sedang merajuklah, yah. Dia lagi sibuk-sibuknya jadi panitia pentas seni waktu saya suruh ikut ke sini.Mbak emangsukangambek, kek. Najmadong gaksukangambek, celoteh Najwa menyela percakapan kami.Ya, Najmanggaksukangambek, tapi suka ribut, sahut ayah sambil tersenyum pada Najma yang berubah cemberut. Pembicaraan itu kembali ditujukan padaku, Shiddiq, Shiddiq, kalau Nawa sibuk ya tidak usah dipaksa ikut ke sini, biasanya juga kamu tidak pernah memaksanya,kan? Lagipula kamu juga aneh, inikanbukan libur sekolah. Kenapa anak-anak kamu bawa bepergian, sejauh ini pula ke rumah ayah. Kenapa?Ayah memandangiku dengan wajah sebijak biasanya, namun matanya begitu tajam. Istriku mencuri pandang ke arahku demikian pula aku menatap matanya. Setelah itu kami berempat tak bicara, kecuali celoteh Najma tentang pengalamannya sore tadi menaiki pohon rambutan di belakang rumah bersama Sauqi anak tetangga.Di rumah ini ada empat kamar, awalnya cuma ada tiga. Kamar ayah dan ibu, kamarku dan Kak Fahri serta kamar Nada adik perempuanku. Namun setelah aku SMP, ayah memutuskan membuat satu kamar lagi untukku berpisah dengan Kak Fahri. Sekarang empat kamar itu dua di antaranya kosong, karena aku dan Kak Fahri sudah tidak tinggal di rumah ini sejak kami menikah, ayah tinggal bersama Nada dan suaminya. Mereka berdua sengaja menemani ayah tinggal di rumah ini. Saat ini mereka berdua malah tidak ada di rumah, Nada menemani suaminya melakukan penelitian sosial di sebuah desa pesisir pantai. Suaminya adalah sosiolog. Nada sendiri seorang aktivis LSM antikorupsi. Kali ini aku dan Shila istriku menempati kamarku yang sekarang beralih fungsi jadi kamar tamu, sedang Nawa dan Najma tidur di bekas kamar Kak Fahri.Aku merasa ayah seperti ingin menelanjangi kita,Mas. Matanya, matanya, matanya seperti menuduh, Shila bicara yang lebih seperti teriakan yang ditahannya.Cukup, Shil, ayah tidaktauapa-apa,oke! Kau yang terlalu paranoid. Kau memang selalu merasa ayah tidak menyukaimu,kan, jadi wajar saja kalau pandangannya bagimu tak pernah akan terasa bersahabat, sahutku mencoba menenangkan, tapi suara yang keluar malah tercekat karena aku merasa disudutkan.Ayahmu memang seperti itu,kan,Mas, pandai sekali membuat orang merasa tidak enak, canggung dan risih, nada suara Shila meninggi.Sttt Cukup, kubilang. Kita selalu bertengkar kalau kita membicarakan ayahku. Kau tahu betul kita perlu untuk ada di sini. Bersikap baiklah, aku mencoba bersikap sabar namun sepertinya Shila merasa tertekan dengan semua ini.Nanti kalau ayah tahu apa yang akan ia katakan,Mas? Keluargamu terlalu mendayu-dayu memegang prinsip. Keluargamu adalah rombongan orang-orang cerdas yang menjemukan,Mas. Kalau ayahmu tahu ia bisa sajaDiam! Dia akan tahu kalau kau berteriak-teriak! Ayahku adalah urusanku. Dan apa pedulimu. Jika semua sudah membaik kita pergi supaya kau tidak terus histeris seperti ini. Kau membuatku gila!Malam itu, seperti beberapa malam sebelumnya, aku dan istriku tidak bisa tidur nyenyak. Aku merasa kepalaku diisi dengan batu-batu besar.Selepas subuh, aku tak menemukan ayah di rumah. Selalu begitu memang. Ayah adalah saudagar sayuran. Di masanya sekarang, beliau cuma mengontrol pekerjanya yang berjualan di berbagai pasar di kota ini. Biasanya beliau akan pulang ke rumah menjelang zuhur. Beliau membawa serta Najma.Isteriku dan Nawa pagi-pagi sekali sudah memanggil taksi. Shila bilang dia mau mengajak Nawa jalan-jalan agar Nawa berhenti merajuk. Tentu saja, mereka akan bisa bernapas lega jika sudah berada di tempat-tempat yang mereka sebut pusat peradaban,mall. Shila, isteriku yang cantik, kudapatkan dengan susah payah. Dia adik angkatanku waktu kuliah. Ayahnya seorang pebisnis yang belakangan mulai surut. Kami berpacaran tiga tahun. Setelah karirku menanjak ayahnya cepat-cepat memintaku menikahi anaknya.Keluargaku cukup merasa kaget ketika dia kuperkenalkan. Kak Fahri yang sudah lebih dulu menikah dengan gadis yang dikenalnya lewat ustad mengajinya yang satu profesi dengannya, dokter, tak banyak bicara waktu itu.Almarhumahibu dan Nada yang mengisi udara kosong dengan percakapan dengan Shila. Dan ayah, dia jelas terlihat risih melihat calon menantunya, cantik, elegan, berkelas dan angkuh.Matanya berbicara dengan baik padaku, betapa harapannya aku menikahi gadis sepertiMbakVina, istri Kak Fahri yang sederhana, buyar dengan menghadirkan Shila. Tapi beliau juga tahu betul apa arti cinta, sesuatu yang mengendap dalam hati yang tak bisa dibuang begitu saja. Sesuatu yang akhirnya membuatnya tetap tak menikah sepeninggal ibu. Dia tahu itu, itu sebabnya dia diam. Dia tidak setuju, tapi dia juga tidak menolak.Ketiadaan ayah membuatku leluasa di rumah ini. Aku putuskan mengecek lagi isi dua koper yang kubawa dari Jakarta, tempat tinggalku. Membawa-bawa koper itu membuatku benar-benar tidak merasa tenang. Kubuka koper-koper itu, kuperiksa ulang isinya. Utuh dan memang harus utuh.Aku sudah akan menutup koper-koper itu ketika ayah tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. Suaranya kali ini begitu tegas, seperti kemarahan yang menjelma menjadi kata. Bicara ayah datar, namun menikamku, Kau tahu kenapa aku menamaimu Shiddiq? Tahukah kau ada begitu banyak harapan tersimpan dalam nama itu?Tubuhku beku, tak bisa bergerak. Perlahan ayah duduk di pinggiran ranjang di sisiku. Aku menunduk tak berani menoleh menatap wajahnya, apalagi matanya. Aku merasa sekelilingku membatu.Benar dan jujur, kata-kata itu yang menghinggapi aku dan ibumu saat menamaimu Shiddiq. Nama tetap saja doa. Kami menyelipkan harapan dalam nama itu. Seperti juga pada Fahri dan Nada. Selalu ada harapan. Kau tahu benar kalau...Aku bukan Fahri atau Nada, yah. Mereka tetap bisa menjadi apa yang ayah inginkan meski telah mengalami berbagai hal dalam hidup mereka. Mereka bisa jadi seperti apa yang ayah harapkan, saleh, jujur, idealis. Tapi aku... Aku tidak bisa, ayah. Aku, Shiddiqmu yang kau harapkan seperti Abu Bakar itu, itu cuma dalam cerita! Tubuhku bergetar.Ayah sebenarnya sudah tahu. Nada sudah menceritakan tentang kecurigaannya padamu. Itu sebabnya kau bawa uang tunai itu ke sini. Karena uang itu tidak mudah terlacak, tidak seperti jika kau minta uang itu ditransfer ke rekeningmu. Berapa uang dalam koper-koper itu? 1 milyar? 2 milyar? 3 milyar? suara ayah bergetar.Duniaku serasa runtuh. Betapa sulit bernapas, tubuhku semakin membeku. Ayah seperti kekelaman yang ingin kuhindari sejauh mungkin. Aku selalu berusaha menjadi anak ayah yang baik karena buatku ayah begitu luar biasa. Kokoh seperti beringin, lentur seperti pohon bambu. Dalam tiap pandangan matanya, senantiasa akan kutemukan sebuah tempat yang nyaman untuk menetap. Matanya adalah hujan saat terik, matahari saat kelabu. Ayah adalah ayah, aku selalu ingin membuatnya menyediakan tempat yang nyaman untukku dalam matanya.Tapi keputusanku untuk kuliah jauh darinya membawaku pada dunia tanpa ayah yang begitu buas. Mengenalkanku pada hitam yang tak kusangka bisa sepekat itu. Awalnya adalah Shila, lalu keinginan untuk menyediakan hidup yang sempurna untuknya sampai keinginan untuk menikmati dunia sepuasnya mulai merasukiku. Lalu uang menjadi penting. Teramat penting dan bayangan ayah semakin kabur...Ayah, sekarang dia mulai mendekatiku, lalu berdiri di hadapanku. Dia menangis. Ayahku menangis. Aku merasa hatiku sangat sakit.Ayah mencintaimu, sulit sekali ayah sampaikan karena selama ini ayah ingin kau bisa membaca rasa cinta itu lewat perbuatan ayah, bukan apa yang ayah katakan. Shiddiq... Suara ayah pelan, seperti kehilangan kekuatan, Bukan siapa dirimu yang akan menunjukkan kedudukanmu, tapi apa yang kau pilih. Kau telah memilih. Dan kau tahu betul seperti apa risikonya. Shiddiq... Shiddiq... anak ayah.Perlahan diciumnya keningku, direngkuhnya aku. Tangisku tak bisa lagi kubendung, meluncur deras bersama airmata yang juga tak bisa kubendung. Aku seperti Shiddiq puluhan tahun lalu. Kubenamkan kepalaku di dada ayah yang gemetar. Aku sesenggukan, tapi aku merasa begitu lega. Ini jadi jauh lebih baik. Bertahun-tahun aku hidup dalam dunia yang membuatku kerontang. Hidup dalam ketakutan jika tiba-tiba ayah tahu. Sekarang ayah tahu dengan cara yang begitu sederhana, memergoki milyaran uang dalam koper-koper itu. Uang yang diserahkan rekananku sebagai suap.Sungguh aku merasa begitu lega dalam pelukan ayah. Sudah puluhan tahun ia tak memelukku begini.Menjelang sore Shila dan Nawa pulang. Ayah sudah menelepon polisi. Najma terus saja bertanya pada kakeknya, kenapa kakek dan ayahnya menangis saat ia pulang dari rumah Sauqi. Semua takkan lagi sama setelah hari ini. Tapi aku telah mendapatkan lagi apa yang dulu terasa begitu jauh... Aku lihat mata ayahku bernyanyi, nyanyian tanpa nyanyian.

PASAR

Dewi Yuliani

Suasana Pasar Ahad hari ini hiruk-pikuk. Aku tahu sekali hari ini banyak yang datang bukan sekadar belanja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tapi lebih dari itu. Hari Rabu ini mendadak orang-orang menjadi pemurah, menjadi orang yang sangat dermawan.Bayangkan saja, dengan uang seribu lima ratus, orang dapat menjadi kaya mendadak. Bisa jadi akan menambah jumlah konglomerat di Indonesia. Itu kalau nasib lagi mujur, kalau tidak? Untuk sementara mimpi jadi konglomerat pun patut disyukuri.Aku memperhatikan orang-orang yang berseliweran di depanku. Aku sudah hafal sekali wajah-wajah siapa saja yang mampir di sini, sekadar tanya tentang kode buntut.Sebenarnya aku tertawa sendiri. Amat Tukak jualan kode buntut untuk mereka yang memasang Rabu malam nanti. Kalau Amat Tukak tahu angka yang akan keluar, kenapa bukan Amat Tukak sendiri yang membeli secara diam-diam agar ia tidak usah lagi berpanas-panas jualan buntut di trotoar pasar ini.Pernah suatu kali aku menanyakan keberadaannya di pasar ini. Katanya, ia sudah bosan membeli kuponsugih, tidak pernah kena. Lalu ia berinisiatif untuk jualan kode. Kalau kebetulan angkanya cocok, syukur. Kalau tidak? Paling-paling lain hari ia sudah tidaknongkrongdi pasar ini lagi.Waktu itu kami sama-sama tertawa, menertawakan nasib sendiri. Aku memilih diam dan memperhatikannya berteriak menyebutkan angka-angka sementara orang-orang yang mengerumuninya memandangi Amat Tukak dengan terkagum-kagum.Selain Amat Tukak, aku juga tahu manusia yang ahli dalam keterampilan tangan, bagaimana tekniknya sehingga orang sama sekali tidak merasakan tangan si copet yang merogoh saku belakangnya. Tapi aku tak acuh. Biar, mereka juga cari makan seperti aku, dan aku tidak mau berhadapan dengan gembong copetnya. Bisa-bisa habis aku dikeroyoknya. Dan itu juga untuk menjaga stabil dan amannya caraku mencari makan.Aku hampir terkantuk-kantuk ketika hari semakin panas terik, anginnya sepoi-sepoi basah. Tetapi, cacing yang ada di ususku tak mau diajak berdamai. Ia selalu saja menggerogoti perutku. Rupanya ia marah melihat kantong perutku hanya berisi air putih, selebihnya hanya angin busuk saja yang tidak bisa keluar karena tidak punya kekuatan untuk menekan perutku.Kasihan orang itu ya, Bu. Lihat, kaki kanannya buntung.Hiii... banyak kudisnya, Bu!Aku tersentak kaget lalu menoleh ke samping kiriku. Kulihat ada nyonya gendut berbaju merah darah. Aku melirik lehernya yang berlipat, tapi dihiasi gandulan kalung emas. Aku tidak habis pikir, berani sekali ibu gendut itu membawa anaknya yang juga diliputi emas di lehernya yang tidak kalah gendut dan berdagudua. Rupanya kedua anak-beranak itu kelebihan gizi.Tiba-tiba nyonya gendut tadi melemparkan ratusan yang sudah kusam dan lusuh di kaleng bekas susu yang sudah kusiapkan.Bah! Akungedumeldalam hati.Benggolbuat mengerik punggungku saja tidak sejelek ini. Aku mengira, uang itu sudah lama terjepit di sudut dompetnya.Copet! Copet! Kurang ajar! sumpah serapah nyonya itu, kakinya dihentak-hentakkan ke trotoar. Pantatnya yang sebesar baskom bergoyang-goyang, lucu. Aku melihatnya seperti badut Ancol yang tengah menari.Rupanya pencopet itu masih perlu latihan lagi, buktinya ia dengan mudah dapat ditangkap. Ampun. Ia dipukuli, persis memukuli ikan gabus yang sering kulihat di pasar ikan. Dahi pencopet itu mengeluarkan darah, dompet yang dirampasnya tadi dikembalikan lagi pada nyonya gendut yang masih merengek-rengek persis anak kecil yang kehilangan permennya.Aku menyumpah-nyumpah dari jauh. Seharusnya sebelum anak itu beraksi, ia harus rajin bangun pagi untuk latihan lari. Rupanya ia baru turun lapangan, sehingga kelihatan agak canggung.Udara semakin panas saja. Aku melirik Ijum yang asyik menidurkan anaknya di kain sarung yang telah dikaitkannya pada seutas tali rafia, lalu digantungkannya di atas kayu atap tempatnya berdagang. Suaranya bagus. Rupanya ia bekas penyanyi dangdut. Seandainya ada pencipta lagu yang tersesat di pasar ini mungkin ia akan tertarik mendengar suara Ijum. Aku mengakui, soal tampang Ijum tidak kalah dengan penyanyi dangdut terkenal. Masalah nama, ia nanti bisa mengganti namanya menjadi Voni atau Ivon, untuk lebih komersil.Aku hampir tertidur mendengar suara Ijum, tapi cacing di perutku tak mau diam. Apalagi ketika suara lagu dangdut menggema mengawani tukang jual obat mempromosikan produknya, obat kudis dan penyakit kulit lainnya.Sebenarnya obat itu murah, cuma lima ratus per botol. Aku pernah beli setengah botol, tapi kudis di leherku masih saja nakal.Aku hampir menggoyangkan pinggulku ketika mendengar lirik lagu Basofi Sudirman.Tidak semua laki-laki bersalah padamu... Aku tahu kalau Basofi sekarang menjadi gubernur Jawa Timur. Jelek-jelek aku juga baca koran. Jadi, tidak hanya basi di dalam pasar ini, aku juga tahu kalau di Indonesia masih banyak orang yang melarat.Aku tahu semuanya bukan melalui koran, tapi aku langsung berkecimpung dalam kemelaratan itu, bergumul di dalamnya.Dari koran bekas sebagai alas dudukku, aku juga dapat membaca tentang Amerika dan produk-produk politiknya. Aku pernah membaca buku filsafat hidup bahwa diam itu adalah emas. Aku artikan saja sendiri, menurut status pendidikanku yang rendah, kalau diam itu membuat diriku lebih aman.Hari ini... aku bersumpah... akan kubuka pintu dompetmuuu...Tiba-tiba aku mendengar lirik lagu Basofi berubahreff-nya. Dan aku hafal pemilik suara yang menggelitik itu. Gurdis! Rupanya ia sudah keluar dari penjara. Pipinya masih benjol, mungkin di sel pun ia menjadi bulan-bulananbuntat-buntatdi sana.Gurdis tertawa senang melihat tampangku. Giginya yang agak kuning tapi tersusun rapi tersembul kelihatan di antara bibirnya yang hitam.Aku melirik lengan Gurdis yang bertato burung rajawali, di dada kanannya bergambar naga. Terus terang, aku takut sekali melihat kehadiran Gurdis kali ini.Sudah makan, Jon? tanya Gurdis sambil memandangiku tajam. Suasana pasar rasanya tambah panas. Taksi-taksi kuning hilir-mudik mengangkut penumpang.Aku mengalihkan pandanganku pada televisi umum yang tengah menyiarkan berita tentang perang etnis di Bosnia-Herzegovina.Sudah makan, Jon?! hardik Gurdis.Belum. Kau? tanyaku pelan.Sudah.Pantas saja, perutnya agak gembul dan aku tambah iri mendengar dengkur kekenyangan cacing dari perut Gurdis.Lapar? tanya Gurdis agak bodoh.Sampianini bagaimana? Dari pagi aku belum makan, ya laparlah...Tunggu sebentar, ya...Tubuh Gurdis yang gendut tapi tinggi itu berlalu dari hadapanku. Tak berapa lama ia datang lagi dengan sebungkus nasi. Entah, dari mana ia mendapatkannya. Setahuku, Gurdis raja copet di pasar ini.Kau curi di mana?Aku beli, jawabnya singkat.Ah, dusta. Mana ada GurdisJagautiba-tiba jadi makhluk yang manis... Aku tertawa hambar, tapi membuka juga nasi bungkus yang dibawakannya.Sumpah, kali ini uang halal, Gurdis membuka dompet lusuhnya, terlihat olehku lembaran-lembaran ribuan.Uang siapa yang kau copet,heh? tanyaku penasaran, mulutku penuh oleh nasi kuning sehingga berhamburan.Aku jadi penjaga rumah Ta Ching, katanya pelan.Wah,wah... Jadibuldognya, ya?Biar. Aku sudah bosan keluar-masuk penjara. Besok-besok aku mau beli sepeda motor, jadi tukang ojek.Ooo..., itu saja seterusnya yang keluar dari mulutku.Gurdis bertobat, lalu siapa lagi temanku bercakap kalau ia meninggalkan tempat ini.Percakapan kami terhenti ketika Tibum datang. Suasana pasar menjadi semrawut. Pedagang-pedagang yang berseliweran di tengah jalan lari ketakutan. Tukang becak berusaha menyembunyikan becaknya.AcilIjah jatuh tertelungkup karena kainnya yang melorot terinjak temannya sendiri ketika mereka mencoba lari.Gurdis memandangiku dengan sorot mata sedih, lalu menyelinap di antara lorong pasar yang gelap.Itu orangnya! tiba-tiba Tibum yang bertubuh gemuk pendek menunjuk ke arahku. Cepat-cepat kutarik kakiku yang penuh perban yang terbenam di dalam tanah berlubang yang sudah kusiapkan, lalu mengambil jurus seribu.Penipu! Buntungnya dusta! Otak busuk!Entah teriakan apalagi, tak sempat kudengar. Aku tidak peduli dengan teriakan marah mereka. Rupanya mereka sudah tahu kedokku, yang kadang berubah jadi copet atau pengemis buntung.Aku tahu tempat yang aman sebagai persembunyian. Satu bulan atau dua bulan aku tidak pernah jera datang kesini. Tentu dengan sosok lain.Aku tak peduli teriakan cacing yang geram karena tidurnya terganggu disebabkan nasi si Gurdis, karena cacing-cacing ini juga tidak peduli kalau tuannya sudah pucat pasi dan pontang-panting lari ketakutan.

SOFIA,PERPISAHAN ITU MENGANDUNG DUA ARTI

Hudan Nur

Dulu sekali sebelum kamu pergi. Meninggalkan kota kecil ini, aku sering mengirimimu puisi-puisi, setiap hari malah. Aku juga sering membaca puisi-puisi itu di Sabtu sore sambil menunggu waktu malam yang tidak kalah indahnya. Apapun cuacanya di malam minggu tetaplah mengasyikkan bagi kita. Kita ke warnet bersama. Makan kacang rebus di taman air mancur. Atau kamu menonton aktingku di Taman Van Der Vijl. Kamu juga sering memarahi aku tanpa sebab yang pasti. Kamu keluarkan umpatan-umpatan yang tidak beralasan ke hadapanku. Tapi aku hanya diam, aku tidak kuasa membalas umpatan-umpatan itu. Karena satu dan lain hal.Di hari Minggunya, kita latihan teater bersama pula. Aku selalu bilang bahwa aktingmu bagus, jika kamu minta penilaianku. Aku tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku hanya ingin kamu senang, aku tidak mau ada kata-kata yang keluar dari mulutku menyakiti perasaanmu. Kamu perempuan, Sofia, tentunya pula sensitif. Aku tidak mau kamu tersinggung. Bukankah berbohong demi kebaikan itu dianjurkan?Kadang, sorenya aku mengantarkanmu berkunjung ke rumah pamanmu. Lantas aku memboncengmu bersama kendaraan yang kupinjam dari tetangga sebelah rumahku. Aku seringngeremmendadak. Dan kamu memukul pundakku, kamu bilang kamunggaksuka. Tapi aku suka, kapan lagi ada kesempatan berdekapan tanpa sengaja seperti ini, pikirku.Senin, Selasa, Rabu hingga Sabtu kita ke sekolah bersama. Kita diajar oleh guru-guru yang sama. Kita melewati waktu istirahat bersama. Lalu pulang bersama. Kita tak pernah bosan dalam kebersamaan itu, meskipun kadang-kadang kita tidak akur.Waktu tiga tahun di bangku SMA terasa sangat singkat, Sofia. Tiga tahun bersamamu terasa pendek, dibandingkan waktu pelajaran yang dijalani walau cuma empat puluh lima menit di setiap mata pelajaran. Aku merasa jenuh jika harus memperhatikan penjelasan dari guru. Aku lebih suka merangkai kata demi kata, lalu kukirimkan kepadamu.Pernah suatu kali, aku ketahuan oleh guru, aku kenaskors. Ia juga menyuruhku membacakan apa yang sudah aku tulis di podium, tempat pembina upacara memberi amanahnya. Dapat dibayangkan, bagaimana reaksi adik dan kakak kelas. Mereka me-huhuiaku. Seharusnya aku malu, tapi karena aku peteater aku tidak sedikit pun merasakan malu. Justru aku bangga. Malah aku bermonolog di atasnya.Kamu tidak tahu betapa gelisahnya aku jika mataku mulai disirepkantuk. Aku takut jika harus memejamkan mataku. Aku takut kalau-kalau di dalam mimpiku tidak ada dirimu, atau melihatmu bersama lelaki lain. Aku begitu takut. Segeralah aku meminum obat penolak kantuk dan kembali merangkai kata ke dalam puisi. Yang akan kukirimkan kepadamu jika pagi menjelma. Aku lebih suka menghabiskan waktuku dengan membuat puisi ketimbang belajar atau mengerjakanpe-er.

***24 Juli 2005Kukirimkan sebuah catatan harianku yang isinya tentang aku selama dua tahun terakhir. Selepas perpisahan itu. Bunyinya seperti ini:

Aku sudah susah membuktikan betapa ternilainya senandung sempana jiwa di bab terakhirku. Ya. Itulah adanya.Aku tahu, tapi kejanggalan akan cermin yang kulihat kemarin tidak menimbulkan bayangan, aku hanya melihat sinar yang kelambaiannya tak nampak. Pekat pula. Sementara aku baru mempersiapkan diri untuk juga ikut pada peperangan yang salah satu pemrakarsa serta pengrobohnya, aku.Sementara aku berkecamuk dalam diri, sekitar baik kawanan menuding sebagai insan yang naif. Aku betul-betul aku. Hingga aku kehilangan bentuk, remuk di situ juga. Redamnya utopia di mukaku adalah berkat kesetiaanku yang selalu menyerukan senandung jiwa di bab terakhir.Sungguh aku malu. Maka dengan ini semua aku akan buktikan, aku akan menjauhi apa-apa yang membikin hubungan kita merenggang. Sekali lagi. Karena itulah adanya. Aku begitu memilukan, sebab jiwa yang pernah kujalankan pernah memaksakan ribuan hasrat untuk menikam dan ke arah itu lagi. Aku pura-pura lupa dan tidak mengetahuinya bahwa suatu saat akan ada balasan dari seluruh torehan yang dieja pada sempana-sempana melodi dari jiwa yang tak berkesudahan.Yang menyetiamu,***Sudah ribuan puisi aku pintal, Sofia. Kalau dibuat antologi sudah puluhan, hitunganku. Semuanya aku tulis atas dasar ketidakpahaman jiwaku.Meski aku katakan tidak, tapi aku tak kuasa. Aku tak mengerti, mengapa semua cita harus berujung pengorbanan. Kalau aku berpikir lebih jauh, itulah alasanku bertahan.Aku tahu kita berbeda, Sofia. Aku orang kebanyakan. Sedang kamu? Apa pun mampu kamu beli. Diriku pun, kalau kau mau? Tapi, sesiapa pun tahu bahwa perasaan tidak mengenal itu. Aku tulus, Sofia.***

15 Agustus 2005Aku di sini sedang mengalami musim liburan. Aku berencana untuk pulang. Tunggu aku ya. Oh... ya! Aku ingin memperkenalkan kamu dengan seseorang. Aku kangen pada situasi di sana. Aku ingin membawanya berkeliling di daerah kita. Aku dan dia sekarang sedang menikmati musim semi. Aku ingin memperpanjang musim semi itu di sana.***

17 Agustus 2005Aku tidak merasa merdeka. Aku tidak memiliki kebebasan untuk menautkan hati. Lalu kutuliskan balasan suratnya:Benarkah, Sofia? Aku akan menunggumu. Ini kegembiraanku yang menyeluruh. Cepatlah kembali, Sofia...Yang menyetiaimu,

Aku pura-pura turut berbahagia. Melalui suratmu yang kubaca berkali-kali itu, aku sebenarnya menangis. Tapi aku bisa apa. Asalkan aku bisa melihat kamu tersenyum, aku rela melakukan apa saja. Sekalipun mengorbankan perasaanku. Bahkan kalau kamu menginginkan nyawaku, maka aku akan menyerahkannya.

***

Lima hari aku menunggu kepulanganmu. Selama itu pula aku sibuk memintal kata menjadi rajutan puisi yang akan aku berikan setibanya kau di hadapanku. Aku menyibukkan diri memilah kata mana yang pas untuk seorang kamu, Sofia.Dalam waktu itu, aku terdiam. Melamun. Aku terkenang masa-masa itu lagi. Di SMA. Aku mengulang kaset kenangan yang isinya tentang semua tingkahmu. Apa-apamu. Aku mencoba mengingat akan dirimu, khususnya wajahmu. Aku paling suka dagumu, terbelah dua. Seperti laba-laba kembar menggantung. Belum lagi alismu, yang seperti semut berjejer. Kamu begitu indah.Sebagai peteater, aku juga memiliki paras yang bisa dikatakan... boleh juga. Namun aku tidak terpengaruh akan kenyataan itu, karena kamu sering bilang wajahku jelek. Tapi kalau jelek, kenapa kamu mau berteman sama aku? Kamu diam, jika aku balik menohok macam itu. Kamu kehilangan kata-kata dan segera saja kamu alihkan dengan tawaran. Sebuah senyuman.***

Apa kabar kamu? sapamu setelah sekian lama tidak bertemu.Seperti yang kamu lihat, jawabku sambil mengamati penampilanmu yang jauh berbeda. Dandananmu sudah berubah. Kamu sudah gunakan pewarna bibir. Pun pakaian yang kau pakai sudah semakin minim, apalagi rok mini dan stelantanktopyang membaluti tubuhmu membuatku pangling.Oh... Ini Dirga, yang mau kuperkenalkan denganmu lewat suratku tempo hari, sambungmu sambil merengkuh tangan lelaki yang sejak tadi berdiri di sampingmu.Aku sesenggukan saja menyalami lelaki yang kau sebut Dirga itu. Aku merasa asing dengan kehadiranmu. Aku tidak kenal dirimu lagi, Sofia. Tidak hanya penampilan, tetapi sifatmu. Kamu tidak semanis dulu.Sofia, ini untukmu.... Kuserahkan puisi-puisi yang sudah kubuat sebelum kepulanganmu.Terima kasih. Sudah dulu, ya. Aku mau menemani Dirga jalan-jalan... Lalu, kamu menggandeng lelaki itu menjauh dari hadapanku. Sekali lagi, aku bisa apa?Aku hanya bisa menelan air liur. Pahit.

***

Seminggu kemudian engkau datang ke rumahku. Kali ini tidak bersama lelaki itu. Kamu sendirian.Ada apa, Sofia? tanyaku karena kulihat air mukanya memancarkan kegelisahan.Aku pamit. Hari ini seluruh keluargaku akan ikut aku menetap di Jawa... Setelah itu kamu menyalami tanganku. Aku merasakan hangat. Menyeruakkan seluruh samudera biruku. Aku tak ingin berpisah denganmu, Sofia. Aku tak mampu mengucap apa-apa. Karena airmataku yang menetes cukup mewakili kata apa yang mesti terucap.Aku remuk mendengarnya. Seandainya aku burung, maka sayapku ini patah karena angin berita itu. Pun ketika aku hendak memelukmu, kamu menghindarinya. Malah kamu pergi meninggalkanku dalam tangisan.

***

24 Juli 2006Seperti kemarin aku tetap membuat puisi untukmu, Sofia. Aku tuliskan kata-kata di selembar kertas berwarna kelabu. Aku luapkan segala rasaku yang tak pernah sampai. Sebab, aku bisa apa.Sofia terukir di prasastikusetiap penghujung malamkuyang juga sempat menghantuijati diriku kemarinsorepun aku mengeluh padamu;temani aku mengukur jalan-jalanyang akan kulaluiesok haritapi kau tak pernah menjawab,membuat akusemakin khawatir akankebungkaman yang kau miliki

Sofia terukir di prasastikupada hatiku yang mulai merekahsementara, jam berdetak cepatdibelenggujiwaku yang lainlalu di setiap detiknya, aku hanyamencoba berbagirasa untuk mentasbihi namamu;Sofia!karena itulah kerjaku adanya

Sofia terukir di prasastikumembukakan beberapa ayatkuyang ditulismataharikukarena aku hidup bukan untukaku, tetapidemi dini-petangmudi kancah mendatang

Sofia terukir di prasastikupernah menghadang sudutkegelisahankuyang kemudian menuaikan aromakharismatik buluh airmatabunga di persinggahan waktuDuh, Sofiaku yang kian harikian dekat,sedekat pemisah antara jasaddan ruhnyapeletak degup jembatan kenangankudi perkosaan zaman

Sofia terukir di prasastikudengan pena asmara iniaku tuliskan dalamkalimat-kalimat penabuh dendangirama dewabahwa syair penyejuk kembarakutelah menembustulang-darah serta segala apayang kumilikiuntuk memahamimu yang kiniterukir di prasastiku; Sofiaku!

Tapi baik puisi atau pun surat yang kutulis tidak lagi pernah kukirim kepadamu. Alamatmu sekarang aku tidak tahu dan kamu tidak pula memberitahunya. Semua surat yang pernah aku kirimkan ke alamatmu dulu, dikembalikan tukang pos.Aku tidak tahu lagi bagaimana kamu sekarang. Ada dua arti yang aku simpulkan dari salam perpisahan setahun lalu. Sampai jumpa atau selamat tinggal.Tanpa sadar aku menangis, mengingat semuanya. Aku bisa dikatakan lelaki cengeng, tapi apalah aku. Inilah adanya.Dicari kemana-mana ternyatapiannya di sini? ItunahSofia menangis,ulunmau ke pasar dulu menjual sayur!Iya..., jawabku memelas sambil menghapus airmataku. Sedang puisi yang baru saja kutulis itu aku sobek. Seperti perasaanku. Lalu kukunci kamar itu dan pergi menghampiri putriku yang sedang terlelap.Lekat-lekat aku memandangnya. Baru dua minggu ia menjalani usianya. Aku tercenung, perasaanku mestinya lebih besar tercurah padanya. Kucium dahinya. Sofia, sayang, jangan tinggalkan Bapak ya, Nak? Lalu kucium lagi dahinya...

inspired by someoneSofiandi SedarGuntung Payung, 30 Agustus 200505:40 PM

PIANO

Nonon Djazouly

Kudentingkan jari jemariku di atastuts tutspiano melagukanSymphony 40-nya Mozart. Sementara Zelda istriku mengomel tak karuan. Suaranya terdengar timbul tenggelam dari balik kamar, seriring bunyi denting pianoku yang kadang nyaring dan kadang pelan. Selesai melagukanSymphony 40kulagukan lagiFor Alice-nya Bethoven. Kali ini tak terdengar lagi omelan Zelda, mungkin ia sudah tertidur lelap dan bermimpi.Setelah puas main piano, aku duduk sambil meluruskan pinggang di sofa.Zelda... Selalu saja ia ribut kalau aku main piano. Kadang aku bingung kenapa ia sepertinya benci sekali dengan yang namanya piano. Sering ia berkata bunyi piano itu bising, padahal menurutku suara piano itu sangatlah romantis. Pernah juga dikatakannya bunyi piano itu mengerikan, namun kubilang alunan suara piano itu malah memberi kesejukan dan rasa damai di hati. Tapi Zelda tak pernah mau kalah, ia selalu mengomel dan mengomel terus kalau aku main piano.Piano ini kubeli lima bulan lalu, dari sahabatku Wiby. Memang bukan piano baru, tapi piano lama warisan kakeknya. Aku membelinya karena selain modelnya yang sudah kuno hingga terkesan antik, juga karena harganya jauh lebih murah daripada membeli yang baru. Tapi waktu aku membawanya ke rumah, Zelda membelalakkan matanya. Bang, kenapa kau tak kompromi dulu denganku kalau mau membeli lemari ikan kering begini? katanya.Kau tidak menghargai barang antik, Zelda. Piano ini sudah puluhan tahun umurnya, harusnya Wiby menghargainya mahal, tapi karena dia sahabatku...Aku tak suka piano! jawabnya ketus sambil berlari masuk kamar.Esok harinya sepulang kerja, piano yang tadinya kutaruh di sudut ruangan sudah berpindah tempat ke samping kamar pembantu. Oh, Zelda, kau benar-benar tak menghargai suamimu. Tapi biarlah dulu, aku berusaha sabar.Kubuka koleksi lagu-lagu lama yang kusimpan dalam laci. Habis rapat direksi di kantor tadi cukup membuatku lelah. Aku ingin bersantai sejenak dengan memainkan beberapa lagu kesukaanku dulu. Apalagi Zelda sedang pergi arisan, berarti aku bisa bebas bermain piano sepuasnya.Dua lagu kumainkan, aku pun tenggelam dalam kenangan masa lalu bersama guru pianoku yang manis, Deborah. Wanita berdarah Belanda itulah dulu yang mengajarku main piano sejak aku SD hingga tamat SMA. Usianya terpaut lebih tua lima tahun dariku. Deborah yang manis tak segan-segan memukul jari-jari tanganku dengan penggaris jika aku dilihatnya kurang konsentrasi memainkan lagu.Namun pernah beberapa kali aku mendapat hadiah ciuman di pipi tatkala permainanku dianggapnya sempurna. Sayang setelah menikah Deborah diboyong suaminya ke Belanda. Sejak itu aku hampir tak pernah lagi menyentuhtuts tutspiano, dan setelah aku menikah piano kesayanganku diminta oleh Nina adikku yang juga menyenangi musik.Malam hari, saat kami akan tidur Zelda berkata dengan dengan wajah sedikit cemberut. Bang, apa kau tak pernah berpikir untuk menjual saja piano tua yang jelek itu?Zelda, yang namanya jiwa seni itu tak pernah bisa hilang dalam diri seseorang. Aku menyukai seni musik, dan piano adalah alat musik yang kusenangi sejak kecil.Aku mengerti itu, tapi kau juga harusnya bisa mengerti aku. Bunyi piano itu sungguh tak kusukai, katanya sambil menutup wajahnya dengan bantal.Aku ingin bertanya sesungguhnya apa yang menyebabkan ia tak suka mendengar suara piano, tapi kuurungkan karena ia pasti tak pernah mau menyebutkan alasannya juga seperti yang sudah-sudah.Duh,Zeldaku, ada apa gerangan dengan dirimu?Sesungguhnya yang tambah membuatku bingung adalah bahwa istriku ini seorang perempuan yang juga berjiwa seni. Ia suka membeli lukisan dan suka memelihara bunga. Di dinding rumah kami penuh dengan pajangan lukisan, di pekarangan pun penuh dengan berbagai jenis bunga tanamannya. Dan yang kutahu, sebenarnya Zelda juga penggemar musik. Namun lucunya, istriku yang penampilannya selalu anggun ini menyukai jenis musikrock. Koleksi kasetnya sangat banyak tersimpan dalam lemari khusus yang berkunci. Tapi kini ia sudah jarang mendengarkan kaset-kaset kesayangannya itu. Hanya sesekali kalau kami jalan keluar kota, ia mengeluarkan beberapa kaset itu dan memutarnya dalam mobil. Lagu-laguQueen,Deep Purple,Beatles. Katanya biar aku yangnyetirtidak mengantuk!Pernah kutanya, bukankah dalam lagu-lagu kesayangannya itu juga ada suara piano walau tidak dalam setiap lagu. Jawabnya, bunyi piano dalam sebuah grupbanditu tenggelam oleh suara alat musik yang lain, jadi artinya dia hanya tak menyukai suara piano tunggal. Aku membahas lagi, bukanlah kalau banyak alat musik dimainkan itu lebih berisik daripada alat musik tunggal? Jawabnya berulang lagi, Aku tidak suka bunyi piano!Wah,wah,wah...Namun uniknya, semakin Zelda protes maka semakin pula hatiku selalu ingin bermain piano. Bias-bias rindu untuk menekantuts tutspiano malah semakin menggebu setiap saat. Semakin Zelda mengomel, makin keras pula aku menekantutstutspiano. Pernah suatu ketika, saat aku melangkah menuju piano di samping kamar pembantu, Zelda masuk kamar lalu kulihat ia menutup kedua lubang telinganya dengan kapas. Saat aku mulai membuka tutup piano, ia bergegas pergi ke taman menyiram bunga-bunganya dengan kapas basah menempel di telinga.Dan sore itu saat pulang kantor kulihat pemandangan yang sungguh membuat hatiku mulai gusar. Piano kesayanganku telah ditutup denganlakbanddi sekelilingnya!Malamnya aku bertandang ke rumah Wiby dan kuceritakan semua tingkah laku Zelda. Mungkin kau sering memainkan satu lagu berulang-ulang hingga membuat ia curiga, katanya.Maksudmu?Mungkin ia curiga kalau lagu itu merupakan lagumemorymu bersama mantan kekasihmu dulu, jawabnya.Tidak, Wiby. Aku selalu memainkan bermacam lagu, dan tampaknya masalahnya memang bukan itu.Atau kau mungkin terlalukemarukmain piano sehingga ia merasa kurang diperhatikan, dengan kata lain kebersamaan kalian jadi berkurang?Aku tak pernah lupa waktu. Paling banyak tiga empat lagu kumainkan, aku sudah puas. Jadi kurasa itu juga bukan alasan.Lalu menurutmu sendiri apa sebenarnya masalahnya?Justru itulah yang membuatku pusing, dia hanya sering berkata bunyi piano itu berisik, mengganggu dan sebagainya. Padahalkanalunan denting piano itu justru menghasilkan nada-nada yang syahdu, kataku.Wiby menghela napas dalam-dalam tanpa bersuara apa-apa. Namun saat kuceritakan bahwa Zelda dulu menyukai lagurock, Wiby mengernyitkan dahi kemudian tertawa terbahak-bahak. Berarti memang ada sesuatu yang tersembunyi di balik tingkah istrimu itu, katanya. Kau harus menyelidikinya sendiri, kawan. Baru kita cari solusinya, sambungnya lagi.Sepanjang jalan ke rumah, aku berpikir apa mungkin istriku mengalami phobia, phobia terhadap piano. Kalau mungkin, lalu apa sebabnya?Suatu ketika aku bertandang ke rumah Amri temanku di SMA dulu yang sekarang berprofesi sebagai psikiater. Aku lalu menceritakan tentang Zelda kepadanya. Kaukantahu Zelda itu orangnya anggun, sikapnya tenang. Tapi ketika mendengar bunyi piano ia langsung berubah panik, gelisah dan cerewet. Aku benar-benar tak habis mengerti, Amri. Apa mungkin ia mengalami phobia?Mungkin saja. Jangan dikira orang yang perilakunya tenang seperti istrimu tak akan pernah mengalami phobia. Karena phobia bisa menghinggapi siapa saja. Namun banyak orang yang mengalami phobia selalu menyembunyikannya, bahkan pada orang terdekat sekalipun...Apa mungkin karena takut dianggap abnormal?Bisa jadi, bukankah irasional jika seseorang takut melihat benda semacam piano saja? Takut mendengar suara piano? Ogi... Setiap orang sebenarnya wajar memiliki rasa takut. Takut berada dalam kegelapan, takut sendirian dalam rumah, takut terhadap ular karena ular itu berbisa, takut melihattruckbatubara yangngebutdi jalan raya. Dan rasa takut itu memang harus dimiliki setiap orang dalam hidup ini agar kita selalu berhati-hati. Berhati-hati di jalan raya, berhati-hati terhadap binatang berbisa. Tapi kalau rasa takut itu berlebihan dan di luar kewajaran sehingga mengganggu kejiwaannya, apalagi terhadap obyek yang tidak berbahaya sama sekali, maka berarti ia memang mengalami phobia.Lalu apa yang harus kuperbuat? Kadang aku merasa tersiksa juga, Amri, tanyaku.Kau harus bisa memberi pengertian, pengertian yang sangat mendalam karena phobia bukanlah rasa takut biasa. Lama kelamaan mungkin akan timbul keinginan melawan dan membunuh rasa takut itu sendiri dari dalam jiwanya...Aku mengernyitkan alit, sekilas teringat waktu akan berangkat tadi, Zelda sempat berkata bahwa ia akan menyuruh pembantu untuk memindahkan piano kesayanganku itu ke ruang atas.Amri meneruskan, Penyebab phobia itu ada yang hanya sekali tetapi ekstrim, tapi ada pula yang hanya karena masalah kecil tapi kontinyu mengganggu perasaannya. Satu contoh ada seseorang yang phobia terhadap eskalator karena waktu kecil ia pernah menyaksikan seorang anak yang jatuh dari pagar atas eskalator ke lantai bawah dan tewas seketika di depan matanya.Lama sekali aku berbincang dengan Amri. Ternyata begitu banyak orang yang mengalami phobiadi dunia ini, hanya kadar dan intensitasnya berbeda. Bahkan penyanyi sekaliber David Bowie pun mengaku mengalami phobia terbang, dan selalu mengkonsumsi obat penenang jika akan naik pesawat.Di pagi Minggu saat aku baru pulang mengantar Zelda ke salon, Dino abang Zelda menyambangiku ke rumah dan kami duduk-duduk di teras. Di tengah obrolan, Dino menanyakan piano tua yang kubeli dari Wiby. Kenapa tak kelihatan piano itu, Ogi?Mendengar pertanyaannya, aku merasa ini mungkin kesempatan bagiku untuk mencari tahu sebab musabab phobia Zelda terhadap piano. Kembali aku bercerita panjang lebar seperti yang pernah kusampaikan pada Wiby dan Amri tentang Zelda. Bahkan beberapa kali ia menyuruhku menjual saja piano yang dikatakannya seperti lemari ikan kering itu, kataku menutup cerita.Dino tersenyum. Sudah kuduga, Ogi. Waktu kalian pacaran dulu Zelda pernah bilang padaku bahwa menurutmu waktu remaja kau suka main piano. Aku berpikir suatu saat bukan tak mungkin hal ini akan menjadi problema bagi kalian, walau mungkin tak akan begitu serius, tapi cukup mengganggu.Mungkin ada kenangan buruk yang berkaitan dengan piano itu terhadap diri Zelda? tanyaku.Ya, Dino menghela napas sejenak. Waktu kecil saat kami masih tinggal di daerah Batu Jawa Timur, tak begitu jauh dari rumah kami ada sebuah bangunan tua peninggalan Belanda yang sangat angker. Kalau kebetulan kami lewat di sana Zelda selalu saja ketakutan. Tangannya selalu memeluk erat tubuhku dan mulutnya komat-kamit membacasurah surahkecil sambil matanya dipejamkan. Padahal ketika kami lewat tak pernah sekali pun ada sesuatu yang aneh atau menakutkan keluar dari rumah itu. Satu kali, pernah aku memaksanya bersama-sama mendekati rumah tua itu. Dengan langkah terpaksa Zelda mengikutiku mengintip ke dalam rumah itu dari balik kaca jendela yang agak tinggi. Dari luar kami melihat ruangan yang tertata rapi. Ada kursi malas, sebuah sofa yang sangat bagus tapi sudah lusuh, dan sebuah piano tua di sudut ruangan. Melihat ruangan yang bersih dan rapi itu, aku yakin sebenarnya dalam rumah itu ada penghuninya. Mungkin saja ada orang yang ditugaskan oleh pemiliknya untuk merawatnya. Suatu malam sepulang mengaji, aku kembali memaksa Zelda melewati rumah itu. Sebenarnya bisa saja lewat jalan lain, tapi aku memang suka penasaran, aku ingin tahu siapasihpenghuninya. Baru saja berada di depan rumah itu tiba-tiba kami mendengar alunan bunyi piano yang semakin lama terdengar semakin nyaring. Sesungguhnya tak ada rasa takut sedikit pun di hatiku karena kupikir ini justru membuktikan bahwa di rumah itu ada penghuninya. Tapi Zelda... ia pucat pasi, terlihat dari pantulan sinar bulan yang menimpa wajahnya. Tangannya yang memegang tanganku terasa dingin seperti es. Semakin nyaring suara piano itu, semakin ia tak mampu bersuara apa-apa, dan beberapa saat kemudian tubuhnya pun lunglai. Aku memboyongnya pulang ke rumah. Setelah itu seminggu lamanya Zelda sakit. Ia sering mengigau dan katanya sering bermimpi ada orang Belanda di rumah tua itu sedang bermain piano sambil tersenyum kepadanya.Mungkin sejak itu ia jadi takut dan ngeri mendengar suara piano? tanyaku.Ya, terlebih pada piano tua yang antik bentuknya, seperti yang kau beli dari Wiby itu. Padahal dulu sudah berkali-kali kukatakan bahwa ia harus berani memerangi rasa takut itu, karena sebenarnya rasa takut itu timbul dari khayalannya sendiri.Aku termangu, berarti Zelda tak mau mengakui ketakutannya itu padaku karena ia memang menyadari bahwa ketakutannya itu tak beralasan, namun ia tak mampu menguasai rasa takut yang diciptakannya sendiri itu.Mas, bagaimana kalau istriku kusuruh meditasi saja, misalnya ikut latihan yoga. Mungkin itu akan membantu?Kalau kau hanya menyuruh dia, kurasa dia takkan mau. Kalau bersama-sama denganmu mungkin dia mau. Semoga berhasil.Dino pamit pulang.Seminggu sudah aku dan Zelda ikut yoga di rumah seorang keturunan India. Setelah itu ia kusuruh ikut latihan sendiri. Kenapa? Karena sewaktu ia berlatih yoga, maka di rumah aku bisa main piano sepuasnya. Namun sebulan kemudian ia berhenti sendiri, malas katanya.Habis makan malam aku naik ke lantai atas lalu kulagukanLove of My Life-nya Freddie Mercury dengan piano tuaku. Namun di pertengahan lagu, Bang, berisiiik..., teriak Zelda tiba-tiba sambil mengeraskan suara TV.Wah, rupanya meditasi sebulan untuknya belum membawa hasil juga!Aku pun pasrah, ikut yoga, memberi pengertian dengan kata-kata lemah lembut agar ia mampu menggunakan pikiran sehatnya dalam membebaskan dirinya dari belenggu rasa takut terhadap sebuah benda yang bernama piano ini juga tak berhasil. Bahkan kadang sambil marah ia berkata bahwa tak sedikit pun ia pernah merasa takut pada piano. Lalu cara terakhir yaitu sesering mungkin kumainkan lagu-lagu kesukaannya dulu, tampaknya juga tak memberi arti.Kini hampir sebulan sudah aku tak menyentuh piano. Malam ini kami menonton TV berdua.Bang, kenapa sekarang aku merasakan kelengangan di dalam rumah kita ini, berkata Zelda yang membuat konsentrasiku menonton siaran berita jadi buyar.Lengang? Berarti kau merasa sepi? tanyaku.Ya..., sahutnya datar.Kalau begitu,gimanakalau kau putar saja kaset lamamu itu?Zelda cemberut, lalu melirik ke arahku.Ya, sepi karena sudah tak ada lagi suara piano di rumah ini, aku meneruskan tanpa memandang wajahnya. Tiba-tiba ia mencengkeram tanganku membuatku kaget. Ada apa, Zelda?Nggak, aku cuma mengantuk, katanya sambil menyipitkan matanya, lalu beranjak ke kamar. Beberapa waktu ini ia kuperhatikan selalu tidur lebih dulu dariku, namun kulihat ia sering bangun tengah malam dan salattahajud.Pagi sekali saat aku baru membuka mata, terdengar olehku suara Zelda ribut di dapur. Tiba-tiba ia masuk kamar dan mengguncang bahuku. Bang, apa benar kata Sumi kau telah menjual piano tuamu itu?Memang kenapa?Kenapa kau tak kompromi denganku dulu sebelum menjualnya?Lho,kanaku membelinya dulu juga tanpa kompromi? Dan bukankah berkali-kali kau minta aku menjual saja lemari ikan kering itu?Iyasih, tapi...Tapi apa? Sekilas kulihat ia seperti bingung, diam tak berkata-kata lagi lalu melangkah pelan ke luar kamar.Habis mandi kuhampiri Zelda yang duduk sendiri, termenung di ruang tamu.Bang, aku sungguh tak mengerti, ia berkata pelan.Kenapa?Aku, aku kini merasakan suasana yang begitu sunyi, bahkan teramat sunyi.O ya.Ya, Bang, kurasa ternyata rumah ini sekarang demikian sepi dan terasa hampa tanpa...Tanpa apa, Zelda?Ia diam sejenak, lalu menggigit ujung kukunya seperti menahan sesuatu yang ingin diucapkan. Mungkinkah itu karena tiadanya lagi alunan suara pianomu di rumah ini? bisiknya dengan tatapan syahdu.Aku terdiam, seakan tak percaya pada pendengaranku sendiri. Sungguh, Zelda?Ya... Aku tak mengerti kenapa sekarang aku malah merindukan dentingan suara pianomu.Kupandang wajah istriku, berusaha menemukan apakah ada isyarat canda, namun yang kulihat hanyalah dua bola mata sendu yang memancarkan ketulusan.Maafkan aku selama ini...Tak ada yang perlu dimaafkan, sayang. Asal besok kau izinkan aku meletakkan sebuah piano di sudut ruang tamu kita,gimana?Zelda mengangguk sambil tersenyum. Aku tak tahu, apakah upaya terakhirku ataukah perpaduan dari ketiga cara yang pernah kulakukan itu yang telah menaklukkan traumanya, atau ia sendiri yang telah berusaha sedemikian rupa untuk membunuh phobianya tanpa sepengetahuanku, entah dengan cara apa...

Mtp, 071009

EPISODE DURIAN

Nailiya Nikmah JKF

Musim hujan telah tiba. Setelah sekian lama udara panas bercokol di kota Banjarmasin, kini hawa dingin mulai menyapa. Aku merapatkan jaket. Sebuah gerak spontan ketika tiba-tiba aku merasa dingin mulai menyusup ke tulang. Aku mengayuh sepeda agak cepat. Beberapa pasang mata menatapku, tepatnya menatap sepeda bututku. Aku punya alasan sendiri kenapa di era serba canggih ini aku masih setia bersepeda. Tak ada yang tahu alasan itu selain aku. Sudahlah, tak perlu membicarakan perihal sepeda ini.Aku membaui aspal yang dibelai hujan sore ini. Ah, tak murni baunya. Ada bau lain yang mengusik. Bau harum dengan aroma khas yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Otakku langsung menampilkan format buah dengan banyak duri dan muncullah kata durian. Ya, durian! Sekarang sudah musim durian lagi. Aku mengayuh sepeda sambil bersenandung lirih,

aku yang lemah tanpamuaku yang rentan karenacinta yang tlah hilang darimuyang mampu menyanjungku...[i])Durian... aku bergumam dalam hati. Durian membuatku teringat pada Iwar. Buah berdaging lembut dan manis itu nyaris membuatku menceraikan Iwar, istriku yang putih bersayap. Aku menyebutnya putih bersayap karena ia seperti bidadari. Sejak pertama melihatnya di resepsi perkawinan sepupuku, aku sudah jatuh cinta pada Iwar. Tangannya begitu terampil meracik ketupat. Waktu itu ia kebagian menjagastandketupat tumis. Senyum tulusnya terpamer indah ketika aku minta diambilkan sepiring penuh ketupat tumis buatan ibunya itu. Kata Indah, adikku, semua makanan yang ditata prasmanan itu dibuat olehAcilImah, ibunya Iwar. Aku yakin di makanan itu ada jejak jari putih Iwar yang selalu turun tangan membantu pegawai ibunya.Rupanya Iwar pun sudah terkena panah asmara ketika kami berkenalan di acara itu. Aku masih ingat Iwar dengan malu-malu menangkupkan kedua tangannya di depan dada ketika aku akan menjabat tangannya. Namaku Wardani, Kak. Semua orang memanggilku Iwar, ucapnya bersahabat.Nama yang singkat tetapi indah di telingaku. Entahlah, mungkin karena si empunya berwajah indah. Tidak seperti adikku, bernama Indah tapi orangnya tidak indah.Astaghfirullah,kokjadi menjelekkan adik sendiri? Inilah cinta. Kalau sudah mata ketutupan cinta, ya begini ini. Adik sendiri malah jadi tidak jelas keberadaannya. Kupikir tidak hanya aku yang jadi kacau begini kalau lagi jatuh cinta.Aku pun dengan lantang menyebut namaku. Namaku Gusti Hermansyah,ortu sihngasihnyaitu, tapi teman-teman memanggilku Aman..., candaku. Kulihat ia tersenyum dansubhanallahada lekuk kecil di kedua pipinya.Kata Indah itu namanya lesung pipi. Aku tak peduli apa namanya. Tapi yang jelas aku selalu ingin melihat lekuk kecil di kedua pipinya itu.

darimu kutemukan hidupku...[ii])

Sejak itu semua menjadi aneh. Di kamarku kulihat ada Iwar. Di meja makan, di ruang tamu, bahkan di kamar mandiku! Di mana-mana ada Iwar. Bahkan dalam tidurku aku melihat Iwar dengan lekuk kecil pipinya melambai ke arahku. Ia berbaju pengantin warna putih dan bersayap! Esoknya aku seperti anak kecil merengek minta dibelikan mainan baru kepada ibunya. Aku ingin bidadari bersayap itu. Aku ingin memiliki Iwar. Tidak main-main, aku ingin menikahinya. Maka seisi rumah kalang-kabut menanggapi permintaanku.Kamu jangan mengada-ada, Man. Baru dua semester kuliah sudah minta kawin, komentarAbah.Iya, Man.Lagiankenapa juga harus Iwarbungas[iii])itu yang kau pilih? Mama tak tahu berapa nantijujuran[iv])yang diminta keluarganya. Untuk ukuran Iwar dan keluarganya pastilah di atas harga pasaran, Man, sahut Mama.Harga pasaran apasih, Ma? Memangnya Aman mau beli barang? Aku melotot.Eh, si Kakak, dikasih tahunggakmau mendengarkan. Si Iwartuhbanyak kelebihannya. Ibarat manggatuh kada bapira,kada masam,kada pangar[v]), pokoknyasip, sahut Indah. Dia anak orang kaya, cantik,sholehah, pintar lagi, sambungnya.Oya? Tambah semangatnih, tukasku.Semua kepala menggeleng.Man, janganmenyupanakan[vi])keluarga. Kalau kita ditolak, mau ditaruh di mana muka kita? usik Mama.Ma, apa salahnya kita usaha dulu. Lagipula Aman pikir kita tidak terlalu miskin kalau memang kekayaan yang jadi ukuran mereka. Coba Mama perhatikan Aman. Aman gagah, penampilan menarik, otak encer, keturunan baik-baik, punya bisnis kecil-kecilan, pokoknyangaakmemalukandeh..., promosiku disambut timpukan tisu oleh Indah.Ada satu yang belum kamu miliki, Man..., lirih Mama.O,ya? Apa itu? sahutku heran karena merasa aku sudah terlalu sempurna untuk sekadar melamar Iwar.Iwar itu masih keturunan almarhum Haji Rusdi. Ulama berpengaruh di Hulu Sungai. Tidak ada keturunan Haji Rusdi yang tidak alim. Semua pintarngaji,solehdansholehah. Iwar tidak pantas denganmu, Man. Terlalu jauh..., jawab Mama.Aman juga bisangaji kok, Ma! Ya...memangsihtartilnya masih belum sempurna. Tapi Aman janji akan belajarngajilagi supaya bacaannya sebagus Iwar, harapku.Man...Abahdan Mama tidak melarang kamu berteman dengan Iwar. Tapi tolong... untuk yang lebih dari itu nanti dulu... kita belum siap,Abahmenengahi.Aku tidak puas dengan jawabanAbah. Hari itu aku bolos kuliah. Aku mencari info sebanyak-banyaknya tentang Iwar. Ternyata selama SD sampai SMA Iwar hidup bersama neneknya di Amuntai. Lulus SMA baru ia tinggal bersama orangtuanya yang kaya raya itu. Iwar kuliah di IAIN. Konon suara Iwar sangat merdu bila sedang mengundangkan ayat-ayat suci.Aku tak peduli dengan semua itu. Aku hanya peduli pada satu hal, bahwa Iwar adalah bidadari putih bersayap yang turun ke bumi untukku. Aku harus segera melamar Iwar. Bukan apa-apa, sejak dulu aku sudah bertekad tidak akan pacaran dan apabila tertarik atau jatuh hati dengan seseorang, maka akan langsung kulamar. Aku tidak main-main. Begini-begini aku sudah sering ikut seminar tentang menikah dini dan bahayanya pacaran. Buku-buku bertema pernikahan pun sudah pernah kubaca. Tapi aku tidak menyangka juga akan bertemu dengansoulmatesecepat itu.Aku tidak berani menemui Iwar. Bukan karena aku merasa tidak pantas dengannya, bukan pula karena takut dengan ibunya atau ayahnya. Aku hanya tak sanggup melihat senyum bulannya yang selalu terbit setiap waktu. Aku ingin memiliki senyum itu. Ingin meletakkannya di kamarku, menyelipkannya di sakuku, memformatnya jadiwallpaperdihpku, ah tidak... aku ingin menempatkannya di hatiku agar tidak ada orang lain yang turut menikmatinya.Hampir sebulan aku seperti orang sakit. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, biasa... gejala penyakit kasmaran pada umumnya. Tapi baru pada saat itu aku benar-benar paham bagaimana rasanya merindu. Aku pun mendadak puitis. Berlembar surat cinta untuk Iwar teronggok di laci meja belajar, sebagian di tempat sampah. Bahkan aku pernah kehilangan sebuah surat yang lupa kusimpan di laci.Anehnya suatu hari aku mendapat titipan surat dari Iwar melalui Indah. Isinya benar-benar mengagetkanku. Singkat, jelas, padat, menarik dan perlu!Bila yakin dan percaya pada ketetapan-Nya, maka bismillah tawakal dan bangunlah dari mimpi panjang... demikian tulis Iwar. Aku yakin, yakin sekali Iwar akan menerimaku. Tapi,eit... tunggu dulu, sebelum berlonjak kegirangan aku menyadari satu hal. Dari mana Iwar tahu aku sedang bermimpi?Indah seakan bisa membaca isi hatiku. Sambil tersenyum jahil ia melesat pergi mencari perlindungan Mama. Pasti, pasti Indah yang mencuri suratku dan menyerahkannya pada Iwar. Aku ingin menarik rambut panjangnya dengan gemas atau mencubit lengannya kuat-kuat.Tapi tidak, aku tidak jadi melakukannya. Seharusnya aku berterima kasih pada Indah. Adikku yang perhatian.MakaAbah, Mama, aku dan Indah mendatangi rumah Iwar. Prosesnya begitu mudah. Tak adajujuranyang mahal-mahal, tak ada tawar-menawar, tak ada persyaratan ini-itu. Yang ada hanya cinta. Cinta di mana-mana. Jadilah Iwar bidadariku. Hak milik pribadi. Iwar istri yang sempurna. Pandai membagi waktu antara kuliah dan keluarga. Hari-hari bersama Iwar menjadi episode indah yang penuh kejutan dan cinta.

Bagiku...Kaulah cinta sejati[vii])Sampai tragedi itu terjadi... Baru empat bulan pascapernikahan. Waktu itu musim durian seperti sekarang. Berlatar senja dan gerimis. Aku baru pulang dari mengantar orderan spanduk anak Hukum. Bisnis cetak dan sablon yang kukelola amatiran dapat untung yang lebih dari biasanya. Aku memutuskan membeli durian tiga biji.Kubayangkan Iwar akan tersenyum senang melihatku membawa buah mahal itu. Ya... setidaknya setelah menikah semua jadi barang mewah dan mahal bagi kami. Tak apa menyenangkan istri sekali-sekali.Lagipula aku sudah kangen ingin makan durian. Durian adalah adalah buah favoritku. Kelelahanku langsung pamit setelah kelebat sayap putih Iwar melambai di khayalku.Assalamualaikum, War... Iwar, lihat aku bawa apa nih untukmu..., teriakku tak sabar menanti sambutan hangatnya.Alaikumsalam... Kak, bawa apa? Kulihat Iwar melakukan gerak penajaman penciuman. Durian tak dapat disembunyikan. Baunya pasti akan menyapa lebih dulu. Kak Aman bawa... du... rian...? tanyanya. Kulihat senyum bulannya yang selalu terbit tiba-tiba enggan hadir. Mukanya memucat.Ada apa, War? Kamu sakit? Kita ke dokter? Aku cemas sekali. Tak pernah terlintas bagaimana jadinya kalau bidadariku terkulai lemas tak bertenaga.Iwar menggeleng. Gugup ia menjawab, Ah, tidak,Iwar tidak sakit.Kecapekansaja barangkali.Ya sudah, kamu istirahat. Tapi sekarang kita makan durian dulu, ya? sahutku lega.Maaf, Kak, Iwar ke kamar dulu. Ada yang mau dikerjakan, pamitnya buru-buru.War! Tolong duriannya dibukakan, ya! Aku mau mandi! Aku bergegas mengambil handuk. Rasanya segar sekali. Iwar menyiapkan air hangat untukku mandi. Aku jadi merasa tersanjung. Keluar dari kamar mandi aku tidak tak mendapati Iwar di dapur. Padahal aku sudah tak sabar ingin mencomot durian dan melumatnya. Durianku masih utuh.War! Iwar! agak kesal aku mencarinya.Di kamar tidak ada, di ruang belajarnya juga tidak ada. Penasaran aku lari ke depan. Kulihat Iwar duduk di kursipelataran[viii])kami. Kamungapainke sini? selidikku.Maaf, Kak. Tadi Iwar agak pusing. Maunyariangin segar.Jawaban Iwar bagai tamparan keras di pipiku. Entah setan apa yang membisikiku. Bagiku Iwar menjawab, Maaf, Kak. Iwar sudah bosan di rumah terus. Iwar ingin beraktivitas di luar.Durian, kenapa belum dibuka juga? kucoba menyimpan kekesalan.Maaf, Kak, Iwar tidak bisa membukakan duriannya.... Agak takut ia menjawab.Nanti kuajari. Ayo, ke dapur. Kamu harus bisa, durian buah kesukaanku. Ayo!Tapi... Iwar tidak suka durian... Kalimat itu seperti bantahan bagiku.Kalau kamu tidak terlalu suka, tak apa mencicipi saja. Asyikdong, aku bisa puas makan duriannya, godaku.Tapi Iwar benar-benar tidak suka, ucapnya lagi.Ya, sudah, kamu tidak usah ikut makan. Kamu membukakannya, lalu menemani aku makan durian di dapur, aku nyaris kehilangan makna sabar.Iwar tidak bisa... Maaf..., matanya berkaca-kaca. Mungkin ia sudah menangkap kemarahanku.Mau kamu apasih?! Sudah berani membantah? Aku sudahcapek-capekkerja, kupikir kamu senang dibelikan durian.Oke! Kamu mungkin sudah bosan makan durian! Di rumahmu tiga biji durian ini tidak ada harganya,kan! Tapi tolong hargai aku. Suamimu ini baru kali ini bisa membelikanmu sesuatu. Maaf, War, aku baru bisa membelikanmu durian,bukan permata. Maaf, teriakku lantang.Iwar tidak bermaksud seperti itu, Kak... Ia menangis. Sesungguhnya aku gugup juga melihat butiran kristal meleleh di pipinya. Aku ingin merengkuhnya. Tapi egoku sedang berdiri pongah. Sejak kecil Iwar tidak suka makan durian... Iwar...Sejak kecil, sejak kecil! Itu masa lalu! Sekarang kamu hidup denganku. Aku suka durian, kamu istriku, seharusnya kamu juga suka durian. Banyak hal bisa diubah! potongku.Iwar tidak tahan mencium baunya..., ucapnya sesegukan.O,ya? Jadi seumur hidup aku tidak boleh lagi makan durian karena kamu tidak tahan mencium baunya?! Aku melotot seperti kucing jantan siap menerkam kucing jantan lainnya saat berebut ikan.Iwar menunduk. Kulihat ia berulang kali menyeka airmatanya. Pasti besok mata indahnya jadi sembab dan tak bagus. Peduliadul! Aku lagi marah. Marah pada Iwar. Aku memohon ampun pada-Nya karena saat ini aku merasa menyesal telah menikah dan memilih hidup bersama Iwar.Bidadariku ternyata memiliki cela. Ia memiliki sifat pembenci. Celakanya ia membenci sesuatu yang paling aku suka. Durianku, cintaku. Seumur hidup belum pernah ada yang melarangku makan durian. Selamanya akan tetap begitu. Tak ada yang akan bisa mengubahnya, termasuk Iwar. Iwar yang baru hitungan bulan mendampingiku.Hidup, durian!Kulihat para durian bertepuk tangan menyambut pidatoku. Apakah ini pertanda aku dan Iwar tidak cocok? Apa aku harus berpisah saja dengannya? Aku bergidik ngeri sambil buru-buru men-deletepikiran buruk itu. Iblis, pasti iblis sedang terkikik kegirangan. Aku tidak sadar sedang melakukan hal yang kontras dengan apa yang baru saja kuucapkan. Aku tak ingin Iwar mengubah kesenanganku, tapi aku justru memaksa Iwar mengikuti kesenanganku.Iwar melesat ke dapur. Aku umpama suara guntur yang menguntit di belakang kilat. Iwar-lah kilatnya.Ia mengambil pisau tajam di rak piring. Aku kaget. Kutepis prasangka buruk sambil menghimpun kekuatan. Iwar dengan tangkas membelah sebiji durian, mencomot isinya dan memasukkannya ke mulut. Aku ternganga.Tiba-tiba Iwar berlari lagi. Langkah seribunya hampir menabrakku. Ia ke kamar mandi dan mengunci pintunya dari dalam. Aku menggedor-gedor pintu. Kudengar suara orang muntah dari dalam kamar mandi. Iwar muntah-muntah!Aku panik, seperti Jerry tokoh tikus dalam kartun favorit Indah yang sedang mencari jalan keluar dari kejaran Tom si kucing. Tapi aku tak secerdik dan selincah Jerry. Aku mematung sekian menit sampai pintu kamar mandi terbuka.Iwar kuyu. Ia pasti sudah mengeluarkan separuh isi perutnya. Pasti menyakitkan. Aku merasa bersalah. Tak ada sepotong kata pun yang keluar dari mulutnya. Iwar ke kamar. Lagi-lagi aku mengekor. Untuk kesekian kalinya aku terperangah, Iwar mengganti dasternya dengan gamis coklat dan memadukannya dengan kerudung putih tulang.Mau ke mana, War? tanyaku lebih mirip memelas.Dia tetap bisu. Di depan pintu ia mengambil tangan kananku dan menciumnya. Selamat makan durian, Kak. Maaf, Iwar pergi dulu.Aku tak dapat mencegahnya. Mukaku tak cukup tebal untuk sekadar menanyakan kemana tujuannya. Aku yakin, Iwar masih bidadari yang manis.Supra Fitmerah melaju bersama pemiliknya, meninggalkan aku dengan sejuta rasa bersalah.Setelah Isya aku mendapat telepon dari Iwar. Aku lega. Setidaknya kini aku tahu posisi Iwar. Kak, Iwarnginapdi rumah Mama dulu, ya? KebetulanAbahdan Indah lagi ke Jakarta. Iwar menemani Mama. Kak Aman jaga rumah kitaaja. Makan malam sudah ada di meja. Besok pagi-pagi sekali ada yangngantarnasi kuning buat sarapan.Itulah Iwar. Ia tak seperti perempuan pada umumnya. Kalaungambeksama suamingaduke orang tua. Iwar malah pulang ke mertua. Tidak mengadu. Tapi sekadar menyembunyikan diri dan menyepikan kerumitan yang baru saja terjadi. Aku menarik napas lega.Malam seperti penjara tanpa Iwar. Kepelataran, sepi. Ke dapur, sunyi. Ke kamar, nyeri. Aku tak berselera lagi makan durian. Durian tragedi, siapa yang mau makan? Aku keluar bersepeda menyusuri jalan bercahaya setelah memberikan durian-durian tragedi ke tetangga sebelah. Jalan-jalan berhias petromaks memaksaku mampir.Durian,Mas? tanya pedagang durian.Ya, aku malas menawar. Aku memakannya sambil lesehan di samping anak penjualnya. Bocah laki-laki kurus tujuh tahunan itu menatapku tak berkedip.Mau? Aku tak yakin ia sudah pernah makan durian dagangan ayahnya. Buktinya ia mengangguk dan cepat mencomot durianku.Bapak baik sekali. Pasti senang jadi anak Bapak, ucapnya.Ah, kamu bisaaja. Saya belum punya anak. Aku agak tak biasa dipanggil Bapak.Kalau begitu, pasti istri Bapak bahagia punya suami sebaik Bapak, ralatnya. Istri... bahagia...? Aku tersedak. Segera kusudahi pesta durianku dengan bocah kurus itu.Mau ke mana, Pak? tahannya.Pulang! Sisanya kamu habiskan saja! Aku segera mengayuh pedalPhoniexbututku melaju membelah malam yang mulai semakin kelam. Aku ingin tidur dan bermimpi tentang Iwar.***Sepulang kuliah hari itu aku tak kemana-mana. Tidak ada niat ke rumah Mama. Nanti suasana malah kacau. Dipelatarankudapati sebiji durian besar menggiurkan. Sepucuk surat sengaja diletakkan di bawahnya. Tergesa kubaca,

Kak, maafkan semua kesalahan Iwar. Durian ini sebagai tanda perdamaian dari Iwar. Dimakan, ya! Kalau sudah selesai makannya jangan lupa gosok gigi dan tolong jemput Iwar di rumah Mama. Nanti malam kita bicarakan baik-baik soal perbedaan selera kita. Tadi Iwar naik angkot, kunciSupra FitIwar titip di tetangga depan.

Ah, Iwar, tak ada yang perlu dimaafkan. Akulah yang meniup di atas bara. Iwar masih bidadariku. Bidadari putih bersayap dengan lekuk kecil di pipi dan senyum bulan yang selalu terbit.Mengingat senyum Iwar membuat aku mempercepat laju sepedaku. Aku tak takut pada langit yang mulai gerimis lagi. Aku ingin segera sampai di rumah. Membuka lembaran album kenangan saat terindah bersama Iwar. Iwar sekarang pasti sedang tersenyum di atas sana.Besok Mama mengadakan acarahaulan. Setahun kepergian Iwar. Angkot yang ia naiki dikemudikan sopir mabuk. Entah bagaimana kejadian persisnya, yang jelas aku sudah mendapati Iwar sudah tak bernyawa di Rumah Sakit Islam.Maafkan aku, durian... Sejak kepergian Iwar aku tak tahan mencium bau durian lagi. Selain itu aku juga tak sanggup memakaiSupra Fitatau sepeda motor apa pun lagi karena semua itu hanya mengingatkanku pad