TUGAS MKDU
-
Upload
anonymous-9qmznjols -
Category
Documents
-
view
218 -
download
0
description
Transcript of TUGAS MKDU
PENEGAKAN HUKUM (RULE OF LAW)
Penegakan hukum (Rule of Law) adalah suatu doktrin hukum yang mulai muncul pada
abad ke 19, bersamaan dengan kelahiran negara konstitusi dan demokrasi. Rule of law
merupakan konsep tentang common law dimana segenap lapisan masyarakat dan negara
beserta seluruh kelembagaannya menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun atas
prinsip keadilan dan egalitarian. Rule of law merupakann “rule by the law” dan bukan “rule
by the man”. Untuk membangun kesadaran di masyarakat akan pentingnya rule by the law,
not rule by the man maka dimasukkanlah materi ini di dalam mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan.
A. Pengertian Penegakan Hukum (Rule of Law)
1. Dari Sudut Subjek
a) Dalam Arti Luas
Proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap
hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma
aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan
hukum.
b) Dalam Arti Sempit
Penegakan hukum itu diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum
tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan
sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila
diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan
daya paksa.
2. Dari Sudut Objek (Dari Segi Hukum)
a) Dalam Arti Luas
Penegakan hukum mencakup nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya
bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
b) Dalam Arti Sempit
Penegakan hukum menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis
saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa
Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas
dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit.
Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan
cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam
bahasa Inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’
versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’
versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by law’.
Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh
hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula
nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan
istilah ‘the rule of just law’.
Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk
menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum
modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah
‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang
menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
Selain itu, Pengertian rule of law menurut Friedman (1959) membedakan Rule of
Law menjadi 2 (dua), yaitu pengertian secara formal (in the formal sense) dan pengertian
secara hakiki/materiil (ideological sense). Secara formal, Rule of Law diartikan sebagai
kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power), misalnya negara.
Sedangkan secara hakiki, Rule of Law terkait dengan penegakan Rule of Law, karena
menyangkut ukuran hukum yang baik dan buruk (just and unjust law). Rule of Law
terkait erat dengan keadilan, sehingga Rule of Law harus menjamin keadilan yang
dirasakan oleh masyarakat/bangsa.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Rule of law merupakan suatu legalisme yang
mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan
dan prosesur yang bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal dan otonom.
Penegakan hukum kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan
hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas,
sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum
yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan
kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum
yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
B. Urgensi / Pentingnya Penegakan Hukum
Penegakkan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan serius bagi
masyarakat di Indonesia. Bagaimana tidak, karena persoalan keadilan telah lama
diabaikan bahkan di fakultas-fakultas hukum hanya diajarkan bagaimana memandang
dan menafsirkan peraturan perundang-undangan. Persoalan keadilan atau yang
menyentuh rasa keadilan masyarakat diabaikan dalam sistem pendidikan hukum di
Indonesia.
Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang serius dalam konteks penegakkan hukum.
Para hakim yang notabene merupakan produk dari sekolah-sekolah hukum yang
bertebaran di Indonesia tidak lagi mampu menangkap inti dari semua permasalahan
hukum dan hanya melihat dari sisi formalitas hukum. Sehingga tujuan hukum yang
sesungguhnya malah tidak tercapai.
Jika ditelusuri lebih dalam, kita bisa menemukan adanya titik temu antara etika dan
hukum. Keduanya sama-sama berorientasi terhadap kepentingan dan tata kehidupan
manusia. Dalam hal ini etika menekankan pembicaraannya pada konstitusi soal baik
buruknya perilaku manusia. Perbuatan manusia dapat disebut baik, arif dan bijak
bilamana ada ketentuan secara normatif yang merumuskan bahwa hal itu bertentangan
dengan pesan-pesan etika. Begitupun seorang dapat disebut melanggar etika bilamana
sebelumnya dalam kaidah-kaidah etika memeng menyebutkan demikian. Sementara
keterkaitannya dengan hukum, Paul Scholten menyebutkan, baik hukum maupun etika
kedua-duanya mengatur perbuatan-perbuatan manusia sebagai manusia sebagai manusia,
yaitu ada aturan yang mengharuskan untuk diikuti, sedangkan di sisi lain ada aturan yang
melarang seseorang menjalankan sesuatu kegiatan, misalnya yang merugikan dan
melanggar hak-hak orang lain.
Pendapat Scholten menunjukan bahwa titik temu antara etika dengan hukum terletak
pada muatan substansinya yang mengatur tentang perilaku-perilaku manusia. apa yang
dilakukan oleh manusia selalu mendapatkan koreksi dari ketentuan-ketentuan hukum dan
etika yang menentukannya. ada keharusan, perintah dan larangan, serta sanksi-sanksi.
Selain berhubungan dengan etika, penegakan hukum juga perlu dilkasanakan sebagai
salah satu cara untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara Indonesia sesuai yang tertulis
pada Pembukaan UUD 1945 pada alinea ke-4 sebagai berikut:
“... untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang
melindungi segenap
Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial....”
Alasan lain pentingnya penegakan hukum di Indonesia adalah karena Indonesia
merupakan negara hukum. Sebagai negara hukum, seharusnya Indonesia wajib
melaksanakan proses penegakan hukum. Negara wajib melindungi warga negaranya dari
berbagai macam ketidakadilan, ketidaknyaman dan penyimpangan hukum lainnya.
Selain itu, Negara mempunyai kekuasaan untuk memaksa seluruh warga negaranya
untuk melaksanakan semua ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Penegakan hukum sangat penting dilakukan, karena dapat mewujudkan hal-hal
berikut ini:
- Tegaknya supremasi hukum. Supremasi hukum bermakna bahwa hukum
mempunyai kekuasaan mutlak dalam mengatur pergaulan manusia dalam berbagai
macam kehidupan. Dengan kata lain, semua tindakan warga negara maupun
pemerintahan selalu berlandaskan pada hukum yang berlaku. Tegaknya supremasi
hukum tidak akan terwujud apabila aturan-aturan yang berlaku tidak ditegakkan
baik oleh masyarakat maupun aparat penegak hukum.
- Tegaknya keadilan. Tujuan utama hukum adalah mewujudkan keadilan bagi
setiap warga negara. Setiap warga negara dapat menikmati haknya dan
melaksanakan kewajibannya merupakan wujud dari keadilan tersebut. Hal itu
dapat terwujud apabila aturan-aturan ditegakkan.
- Mewujudkan perdamaian dalam kehidupan di masyarakat. Kehidupan yang
diwarnai suasana yang damai merupakan harapan setiap orang. Perdamaian akan
terwjud apabila setiap orang merasa dilindungi dalam segala bidang kehidupan.
Hal itu akan terwujud apabila aturan-aturan yang berlaku dilaksanakan.
Jadi bisa kita simpulkan bahwa, urgensi atau pentingnya penegakan hukum terutama
di Indonesia adalah terciptanya ketertiban karena penegakan hukum dapat membentuk
karakter masyarakat menjadi beretika dan bermoral. Alasan yang kedua adalah untuk
mewujudkan tujuan-tujuan negara Indonesia dan yang terakhir adalahagar tegaknya
supremasi hukum, keadilan serta terwujudnya perdamaian dalam kehidupan masyarakat.
C. Faktor faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Keberhasilan proses penegakan hukum tidaklah semata-mata menyangkut
ditegakkannya hukum yang berlaku, akan tetapi menurut Soerjono Soekanto (dalam
bukunya yang berjudul Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 2002)
sangat tergantung pula dari beberapa faktor, antara lain:
1. Faktor Hukum Praktik. Penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi
keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum
merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu
kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu
yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan
dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya
mencakup law enforcement, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan
hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasianantara nilai kaedah dan pola
perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
2. Faktor Penegakan Hukum. Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas
penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi
kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci
keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak
hukum.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung. Faktor sarana atau fasilitas pendukung
mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak
adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada
hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami
hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan
computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang
kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu
dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi
begitu luas dan banyak.
4. Faktor Masyarakat. Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok
sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf
kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya
derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator
berfungsinya hukum yang bersangkutan.
5. Faktor Kebudayaan. Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu
sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto,
mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur
agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan
menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan
demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang
menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.
D. Sumber Historis, Sosiologis, Politis Tentang Penegakan Hukum
yang Berkeadilan
E. Prinsip – Prinsip Penegakan Hukum (Rule of Law) Secara
Formal di Indonesia
Di Indonesia, prinsip-prinsip Rule of Law secara formal tertera dalam pembukaan
UUD 1945 yang menyatakan : (1) bahwa kemerdekaan itu hak segala bangsa, …..karena
tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan “peri keadilan”, (2) ……. kemerdekaan
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, “adil” dan makmur; (3) …….. untuk
memajukan “kesejahteraan umum”, ……. dan “keadilan sosial”; (4) …….. disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu “Undang-undang Dasar Negara
Indonesia”; (5) ……..”kemanusiaan yang adil dan beradab”; dan (6) …….. serta dengan
mewujudkan suatu “keadilan sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia.
Prinsip-prinsip tersebut pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa
keadilan” bagi rakyat Indonesia dan juga “keadilan sosial”, sehingga Pembukaan UUD
1945 bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggaraan negara. Dengan demikian, inti
dari Rule of Law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat, terutama keadilan
sosial. Prinsip-prinsip di atas merupakan dasar hukum pengambilan kebijakan bagi
penyelengagara negara/pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang
berkaitan dengan jaminan atas rasa keadilan terutama keadilan sosial.
Penjabaran prinsip-prinsip Rule of Law secara formal termuat didalam pasal-pasal
UUD 1945, yaitu : (1) Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3); (2)
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (pasal 24 ayat 1); (3) Segala
warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (pasal 27 ayat 1);
(4) Dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (pasal 28 D ayat 1); (5) Setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja (pasal 28 D ayat 2).
F. Strategi Pelaksanaan (Pengembangan) Penegakan Hukum (Rule of Law)
Agar pelaksanaan (pengembangan) Rule of Law berjalan efektif sesuai dengan yang
diharapkan, maka:
a. Keberhasilan “the enforcement of the rules of law” harus didasarkan pada corak
masyarakat hukum yang bersangkutan dan kepribadian nasional masing-masing
bangsa;
b. Rule of Law yang merupakan institusi sosial harus didasarkan pada akar budaya
yang tumbuh dan berkembang pada bangsa;
c. Rule of Law sebagai suatu legalisme yang memuat wawasan sosial, gagasan
tentang hubungan antar manusia, masyarakat dan negara, harus dapat
ditegakkan secara adil, dan hanya memihak kepada keadilan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu dikembangkan hukum progresif (Satjipto
Rahardjo, 2004), yang memihak hanya kepada keadilan itu sendiri, bukan sebagai alat
politik yang memihak kepada kekuasaan seperti seperti yang selama ini diperlihatkan.
Hukum progresif merupakan gagasan yang ingin mencari cara untuk mengatasi
keterpurukan hukum di Indonesia secara lebih bermakna. Asumsi dasar hukum progresif
bahwa “hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya, hukum bukan merupakan
institusi yang absolut dan final, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menerus
menjadi (law as process, law in the making). Hukum progresif memuat kandungan
moral yang sangat kuat, karene tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang
tidak bernurani, melainkan sustu institusi yang bermoral yaitu kemanusiaan. Hukum
progresif peka terhadap perubahan-perubahan dan terpanggil untuk tampil melindungi
rakyat untuk menuju ideal hukum. Hukum progresif menolak keadaan status quo, ia
merasa bebas untuk mencari format, pikiran, asas serta aksi-aksi, karena “hukum untuk
manusia”.
Arah dan watak hukum yang dibangun harus berada dalam hubungan yang sinergis
dengan kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia, atau “back to law and order”, kembali
kepada orde hukum dan ketaatan dalam konteks Indonesia. Artinya, bangsa Indonesia
harus berani mengangkat “Pancasila” sebagai alternatif dalam membangun “negara
berdasarkan hukum” versi Indonesia sehingga dapat menjadi “Rule of Moral” atau “Rule
of Justice” yang bersifat “ke-Indonesia-an” yang lebih mengedepankan “olah hati
nurani” daripada “olah otak”, atau lebih mengedepankan komitmen moral.
G. Peningkatan Peranan Penegak Hukum
Penegak hukum merupakan warga masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban
tertentu, yakni menegakkan (dalam arti mempelancar) hukum. Dengan demikian, pola
interaksi sosial tertentu yang nyata dalam kehidupan sehari-hari, akan mempengaruhi
tingkah laku para penegak hukum. Pencitraan (building image) ini menjadi teramat
penting agar aparatur hukum dapat segera mengembalikan kepercayaan publik yang
selama ini hilang. Kita patut bersyukur aparatur hukum kita tengah berjuang sekuat
tenaga dalam memulihkan kepercayaan publik tersebut. Polisi, Jaksa, Hakim, KPK dan
Timtas Tipikor secara berangsur sudah berada pada koridor itu, koridor pencitraan yang
sangat dibutuhkan bagi mendapatkan dukungan yang luas dari masyarakat dalam proses
penegakan hukum itu.
Jadi tidak usah menunggu dulu selesainya dibenahi lembaga penegak hukum dan
aparaturnya baru menegakkan hukum. Sikap seperti ini pasti akan memakan waktu.
Dimulai saja bertindak untuk menegakkan hukum dengan aparatur yang ada (tentu yang
diterjunkan, ialah aparatur pilihan yang memiliki profesionalisme dan bermental
tangguh), sementara lembaga penegak hukum dan aparatnya disempurnakan juga. Jadi
kita dalam menyempurnakan aparat penegak hukum dengan berjalan. Dukungan yang
luas dari masyarakat terhadap aparatur penegak hukum pada gilirannya akan menjadi
ukuran apakah tujuan daripada penegakan hukum itu dapat tercapai. Tentu tidak kurang
pentingnya peran akademisi, ahli hukum dan praktisi hukum lainnya. Kini eranya
mengubah pendekatan hukum dengan paradigma yang baru. Meninggalkan paradigma
lama penegakan hukum dengan pendekatan kekuasaan yang telah merusak tatanan
hukum kita ke titik nadir. Tidak kurang pentingnya sejauhmana aparatur hukum
menghindari perilaku arogan. Keangkuhan aparatur hukum hanya akan menimbulkan
kesan belum pulihnya budaya kekuasaan dalam pendekatan hukum. Era masyarakat sipil
(civil society) yang kini tengah berproses sebagai bagian dari upaya kita membangun
demokratisasi produk reformasi harus disadari akan sangat didasarkan kepada peri
kehidupan yang berbasis kepastian hukum.
Untuk meningkatkan pemberdayaan terhadap lembaga peradilan dan lembaga
penegak hukum lainnya, peningkatan kualitas dan kemampuan aparat penegak hukum
yang lebih profesional, berintegritas, berkepribadian dan bermoral tinggi perlu dilakukan
perbaikan perbaikan. Sistem perekrutan dan promosi aparat penegak hukum, pendidikan
dan pelatihan, serta mekanisme pengawasan yang lebih memberikan peran serta yang
besar kepada masyarakat terhadap perilaku aparat penegak hukum. Upaya lain adalah
dengan mengupayakan peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum yang sesuai
dengan pemenuhan kebutuhan hidup. Sebagai bagian dari upaya penegakan supremasi
hukum secara kelembagaan posisi Kepolisian dan Kejaksaan yang belum mandiri
menjadi penyebab tidak berjalannya penegakan hukum yang efektif, konsisten dan
berkeadilan.
Dalam meningkat peranan aparatur penegak hukum diperlukan pula mental yang
tangguh dalam penegakan hukum. Dalam praktik penegakan hukum, khususnya
pemeriksaan terhadap suatu perkara pidana dimuka pengadilan, sering terjadi
perkaraperkara yang mengejutkan. Sering pula ada perkara yang sesungguhnya
sederhana, dalam arti tidak sulit pembuktiannya, tetapi dipengadilan dinyatakan bebas
oleh Hakim. Menghadapi peristiwa seperti ini biasanya dengan mudah saja orang terus
menuduh hakimnya tak fair dalam memutuskan perkara tersebut. Memang buktinya
kesalahan tertuduh. Artinya, kalau jaksa penuntut umum bersungguh-sungguh
membuktikan, biasanya dapat dibuktikan kalau memang peristiwa pidana itu terjadi.
Untuk mencapai hasil kerja yang positif, jaksa tersebut perlu lebih dulu memiliki
kesadaran dan mental tangguh yang tidak akan tergoyangkan oleh pengaruh yang dapat
merusak kejujurannya dalam menegakkan keadilan. Dalam dunia modern dewasa ini
pengaruh negative cenderung semakin lebih kuat, sehingga kalau mental kita kurang
tangguh, mudah kita tergiring mengikuti hawa nafsu yang merusak keadilan tersebut.
Untuk dapat menyelesaikan suatu perkara yang memenuhi rasa keadilan tentulah
setiap unit yang turut serta dalam menyelesaikan perkara itu berada dalam kondisi yang
dapat diharapkan untuk berbuat jujur. Tentu bukan saja hakim yang wajib memutus
dengan adil, dan bukan hanya jaksa penuntut umum yang perlu cermat dan profesional
dalam mengemban tugasnya, tetapi sejak dimulainya awal penyidikan oleh aparat
penyidik (khususnya Kepolisian) perlu terjaga kondisi agar aparat penyidikan tersebut
dapat menyelesaikan tugasnya dengan cermat dan sempurna. Kepolisian perlu bekerja
keras mengumpulan bukti-bukti yang cukup yang akan disempurnakan oleh jaksa
penuntut umum pada saat perkara diperiksa di Pengadilan. Secara teoritis langka-langkah
inilah yang perlu diambil. Tetapi kita pun tidak dapat menutup mata, sering maksud
tersebut tidak tercapai, karena ada sebab yang bersumber pada kerapuhan mental yang
dihinggapi oleh oknum penegak hukum yang bersangkutan.
Bukan rahasia lagi , sering bebasnya perkara di Pengadilan disebabkan kurangnya
kehatian-hatian aparat penyidik, khususnya jaksa. Kalau kekeliruan yang dibuat jaksa
penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan, atau dalam berusaha membuktikan
kesalahan terdakwa, atau menyusun suatu tuntutan yang disebabkan profesionalismenya
masih relative rendah, tentu bisa diperbaiki melalui usaha upgrading bagi petugas-
petugas tersebut, sehingga kesalahan berikutnya dapat dicegah atau dikurangi
semaksimal mungkin.
Yang sulit kita hadapi, ialah adakalanya oknum aparat penegak hukum khususnya
jaksa penuntut umum sendiri sengaja melakukan kesalahan dengan tujuan agar perkara
yang ditanganinya bisa bebas di pengadilan. Di sini kegagalannya bukan karena
rendahnya profesionalisme, tetapi rapuhnya mental yang diperlukan. Untuk mencegah
terulangnya kejadian seperti ini, pimpinan instansi (Ketua Mahkamah Agung, Jaksa
Agung, Kapolri dan pimpinan instansi lainnya) perlu memperketat kontrolnya terhadap
apa yang dikerjakan oleh bawahannya. Pimpinan perlu sewaktu-waktu turun langsung
memberi petunjuk kepada petugas lapangan dan menelaah berkas perkara, surat dakwaan
dan surat tuntutan yang akan diajukan dimuka persidangan.
H. Tantangan Penegakan Hukum
Salah satu hal yang mengakari sulitnya penegakan hukum di Indonesia saat ini adalah
ketika konstitusi hukum ditungganggi oleh perilaku korupsi. Ketika hal ini
melatarbelakangi segala yang berkaitan dengan hukum, maka jelaslah Indonesia tidak
akan pernah selesai dengan urusan hukumnya. Hal inilah yang menjadi tantangan utama
bagi pemerintah baik pusat maupun daerah yaitu bagaimana cara menghapuskan korupsi
di Indonesia.
Bila ditilik ulang dari sejarah terselenggaranya Negara Indonesia, memang sudah
memiliki mental korupsi yang diwariskan dari kehidupan VOC dan pemerintahan
Hindia-Belanda, yang menular pada pemimpin-pemimpin di awal Masa Kemerdekaan
Indonesia. Hal inilah yang salah kaprah, budaya korupsi dan birokrasi yang rumit, yang
masih menganut sistem yang terwariskan tersebut. Pendidikan, penegakan hukum,
persoalan cadangan energi, politik, dan hal-hal yang lainnya, diatur oleh adanya korupsi,
yang mengakibatkan tidak majunya sektor-sektor tersebut, padahal secara Sumber Daya,
sungguh sangat melimpah ruah apa yang ada di Indonesia ini.
Disisi lain, Indonesia memang tidak di support dengan sistem advokat yang secara
serius menangani kasus ini. Jika dibandingkan dengan keadaan negara lain, sebenarnya
jika banyak advokat yang berkonsentrasi dalam mengurus hal pemberantasan korupsi
disegala lini, maka sudah barang pasti Indonesia menjadi negara yang melompat lebih
tinggi dari negara lain.
Dari data tahun 2009, terdapat 237 kasus pada Anggota DPR/DPRD, 224 kasus pada
Pejabat Daerah, dan 80 kasus pada Swasta. Hal inilah yang menjadi cermin bagaimana
implikasi dari keadaan ekonomi yang ada. Selain itu terdapat juga 173 kasus Gubernur/
Walikota/ Bupati yang mengalami korupsi. Inilah yang membuat upaya pembangunan
didaerah Indonesia tidak berkembang dari tahun ke tahun.
I. Penegakan Hukum : Langkah Progresif Berantas Korupsi
Dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, kita telah dikenalkan dengan
rumusan undang-undang pemberantasan korupsi. Sering juga undang-undang itu direvisi
dengan alasan untuk melengkapi, bahkan dimaksudkan untuk menambah bobot sanksi
agar dapat menimbulkan efek jera terhadap pelakunya. Dapat kita simak dalam Undang-
undang Nomor 30 tahun 2002 memuat aturan yang menunjang terbentuknya Komisi
Pemberantasan korupsi yang sangat luar biasa.
Namun, disaat kita mempunyai normative yang sanagt istimewa itu justru kondisi
aparat penegak hukum sedang carut marut karena munculnya mafia peradilan. Sungguh
ironis, di institusi yang sangat mulia seperti Mahkamah Agung (MA) ternyata juga ada
kasus jual-beli putusan hukum, sebagaimana kasus suap yang dilakukan Probosutedjo.
Kasus tersebut tentu telah mencoreng reputasi penegak hukum. Imbasnya, pada akhirnya
masyarakat akan kecewa dan merasa pesimistis terhadap kelangsungan pemberantasan
korupsi. Wajar jika munculnya kasus itu merupakan tanggung jawab pendidikan hukum.
Pertanyaannya, mengapa tanggung jawab tersebut di bebankan kepada pendidikan
hukum? Institusi pendidikan hukum merupakan lembaga yang berkaitan secara langsung
membentuk pribadi para praktisi hukum, apakah itu hasilnya berkualitas atau malah tak
berkualitas sama sekali. Dengan adanya pendidikan hokum maka dapat mengefektifkan
dan memaksimalkan penegakan hukum positif yang berkaitan dengan upaya pencegahan
korupsi dikalangan aparat penegak hukum dan pemegang jabatan publik, serta
melakukan evaluasi /revisi terhadap berbagai kelemahan yang ada dalam keseluruhan
system penegakan dibidang pemberantasan korupsi.
Sangat perlu bagi para akademis, ilmuwan dan juga teoritisi kita untuk secara
bersama-sama membenahi kualitas kurikulum dan system pendidikan hukum kita, agar
kelak dapat membentuk praktisi hukum yang andal, professional, dan juga harus
berakhlak mulia. Peran mereka ialah memberikan pencerahan kepada aparat penegak
hukum agar tetap berpegang teguh pada keberanian untuk mempertahankan kebenaran
sekalipun itu godaan yang dihadapi sangat berat. Sinergi antarkomponen tersebut harus
dipupuk untuk bersama-sama memerangi penyakit korupsi yang sudah sangat akut,
mewabah disetiap lapisan mayarakat kita. Jangan sampai Negara Indonesia dikenal
terkenal karena skill korupsinya yang mengagumkan, melainkan karena prestasinya.
Oleh karena itu, menegakkan hukum terutama memberantas kejahatan korupsi tidak
boleh ditunda-tunda, kerena kejahatan itu sendiri akan menguasai kita dan
menghancurkan apa yang ada, kalau kita tidak cepat mencegah dan memberantasnya.
Keprihatinan dalam usaha penegakkan hukum di Indonesia selama ini semakin
bertambah, karena rakyat hampir tidak mempercayai lagi lembaga penegakan hukum
kita. Mengapa pemerintah Negara-negara tetangga kita, seperti pemerintah Korea selatan
berani konsekuen dalam menegakkan hukum? Jawabnya, karena mereka tahu kunci
menyelamatkan Negara dari ancaman krisis kewibawaan dan mengatasi krisis ekonomi,
ialah kepada rakyat harus diperlihatkan bahwa hukum berlaku tegas tanpa diskriminasi.
Ada empat hal positif yang dapat ditarik dari penegakan hukum yang tegas, dan ini
juga yang melatarbelakangi kebijakan Pemerintah Korea Selatan untuk secara tegas
mengambil tindakan hukum terhadap para koruptornya.
1. Pertama, memulihkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Rakyat akan sepenuh
hati mendukung pemerintahannya, karena mereka melihat pemerintahnya tidak
bermain-main dalam menegakkan hukum.
2. Kedua, dengan tindakan penegakan hukum yang tegas berarti melakukan pendidikan
sekaligus pencegahan berlanjutnya korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintah
sendiri.
3. Ketiga, dapat dilakukan penyelamatan aset Negara, karena dengan adanya penegakan
hukum tersebut aset Negara yang mudah dikorup sebelum dilakukan tindakan tegas,
kini dapat diselamatkan demi pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
4. Keempat, para penanam modal tidak ragu-ragu menanamkan modalnya di Indonesia, karena oknum pejabat/pengusaha di Indonesia tidak akan leluasa lagi mengkorup modal yang ditanam sebagai akibat tindakan tegas pemerintah dalam penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 2003. Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani. Jakarta:
Prenada Media.
Barnabas, Dwi Andika. 2014. Urgenti Etika dan Moral dalam Penegakan Hukum.[Online].
Diakses tanggal 22 September 2015.
Malian, S. dan S. Marjuki (editor). 2003. Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi
Manusia. UII Press: Yogyakarta.
Soemiarno, S. 2005. Hak Asasi Manusia. Jakarta : Dirjen Dikti Depdiknas.
Syarbani, Syahrial. 2002. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi Edisi Revisi. Jakarta:
Ghalia Indonesia.