tugas kuliah

61
Oleh DR. Kana’a ANDI MALLARANGENG langsung pada citra Partai Demokrat yang sebelumnya mengusung semboyan antikorupsi. Partai bentukan Susilo Bambang Yudhoyono ini harus segera berbenah diri jika tidak mau tersandera oleh berbagai kasus-kasus hukum yang menjerat kadernya Direktur Eksekutif Pol- Tracking Institute Hanta Yudha mengatakan, ada empat variabel penentu kekuatan elektoral Demokrat pada tahun 2009 yang sekaligus variabel penting dan memengaruhi prospek elektoral Demokrat di tahun 2014 "Empat variabel itu adalah magnet elektoral personalitas SBY, persepsi publik terhadap kinerja pemerintah, persepsi publik terhadap Demokrat sebagai partai paling bersih tahun 2009, dan soliditas internal demokrat," ujar Hanta, Jumat (7/12/2012), saat dihubungi wartawanDia menilai, kasus Hambalang yang menjerat Sekretaris Dewan Pembina Demokrat Andi Mallarangeng akan menusuk kekuatan variabel ketiga, yaitu persepsi Partai Demokrat sebagai partai bersih dan antikorupsi. Hal ini akan merusak citra dan kredibilitas elektoral Partai Demokrat di 2014 "Problem Hambalang jika semakin klimaks mendekati 2014, dan akan semakin memperburuk keadaan. Tapi, kalau antiklimaks sudah tuntas setahun sebelum pemilu, paling tidak Partai Demokrat punya waktu cukup untuk melakukan RECOVERY. Tetapi prospek elektoralnya juga dipengaruhi oleh persepsi publik terhadap kinerja SBY dan pemerintahannya," kata Hanta Dalam kasus dugaan korupsi Hambalang, tidak hanya petinggi Partai Demokrat, Andi Mallarangeng, yang kerap dikait-kaitkan dalam kasus itu. Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum juga sempat disebut mantan Bendahara Umum, M

Transcript of tugas kuliah

Oleh DR. Kanaa

ANDI MALLARANGENG

langsung pada citra Partai Demokrat yang sebelumnya mengusung semboyan antikorupsi. Partai bentukan Susilo Bambang Yudhoyono ini harus segera berbenah diri jika tidak mau tersandera oleh berbagai kasus-kasus hukum yang menjerat kadernya Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute Hanta Yudha mengatakan, ada empat variabel penentu kekuatan elektoral Demokrat pada tahun 2009 yang sekaligus variabel penting dan memengaruhi prospek elektoral Demokrat di tahun 2014 "Empat variabel itu adalah magnet elektoral personalitas SBY, persepsi publik terhadap kinerja pemerintah, persepsi publik terhadap Demokrat sebagai partai paling bersih tahun 2009, dan soliditas internal demokrat," ujar Hanta, Jumat (7/12/2012), saat dihubungi wartawanDia menilai, kasus Hambalang yang menjerat Sekretaris Dewan Pembina Demokrat Andi Mallarangeng akan menusuk kekuatan variabel ketiga, yaitu persepsi Partai Demokrat sebagai partai bersih dan antikorupsi. Hal ini akan merusak citra dan kredibilitas elektoral Partai Demokrat di 2014 "Problem Hambalang jika semakin klimaks mendekati 2014, dan akan semakin memperburuk keadaan. Tapi, kalau antiklimaks sudah tuntas setahun sebelum pemilu, paling tidak Partai Demokrat punya waktu cukup untuk melakukan recovery. Tetapi prospek elektoralnya juga dipengaruhi oleh persepsi publik terhadap kinerja SBY dan pemerintahannya," kata Hanta Dalam kasus dugaan korupsi Hambalang, tidak hanya petinggi Partai Demokrat, Andi Mallarangeng, yang kerap dikait-kaitkan dalam kasus itu. Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum juga sempat disebut mantan Bendahara Umum, M Nazaruddin, terlibat dalam proyek Hambalang. Keterlibatan Anas disebut Nazaruddin melalui PT Dutasari Citralaras, tempat Athiyyah Laila yang merupakan istri Anas menjadi komisaris di perusahaan tersebut Nazaruddin menuding perusahaan ini berperan dalam menampung fee proyek Hambalang, kemudian mengalokasikannya ke Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, serta ke DPR. Terkait hal ini, Hanta menilai, akan sangat berbahaya bagi Partai Demokrat jika kasus ini mencapai klimaks dengan juga menjerat Anas Urbaningrum "Itulah yang saya maksud berbahaya bagi Demokrat, justru klimaks mendekati 2014 kalau Ketumnya, misalnya, juga terlibat. Ini akan menusuk jantung kekuatan elektoral Demokrat. Citra partai remuk," kata Hanta Demokrat, lanjutnya, saat ini sedang mengalami dilema dan akan semakin terbelah. Kedua kelompok yang terbelah itu yakni kelompok yang menginginkan nama yang diindikasikan tersangkut Hambalang dinonaktifkan. Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan partai dan kelompok yang cukup kuat tetap mendukung Anas karena menganggapnya bukan tersangka sehingga menurut aturan partai tidak bisa diberhentikan. "Ini akan menjadi dilema bagi SBY. Menonaktifkan Anas, risikonya soliditas partai terancam karena basis dukungan dari grass root terhadap Anas masih relatif kuat. Sementara itu, jika tetap membiarkan, maka akan merugikan citra partai. Jadi saat ini Demokrat tersandera," kata Hanta Oleh karena itu, Hanta menilai, solusi yang bisa dilakukan Partai Demokrat untuk mengangkat citra adalah dengan melakukan kesepakatan politik di internal Partai Demokrat dan keputusan politik dari Ketua Dewan Pembina Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono "Tidak hanya menunggu proses hukum. Makanya harus ada kesepakatan dan keputusan politik di Partai Demokrat," ucapnya. Tanggal 9 Desember Dewan Pembina Demokrat akan rapat. Tapi itu agenda lama. Akan kami bahas juga soal Andi," ujar anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Ahmad Mubarok, Jumat (7/12/2012), saat dihubungi wartawan. Agenda pertemuan tanggal 9 Desember itu juga sempat diutarakan oleh Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Saan Mustopa beberapa waktu lalu. Saan mengatakan, dalam pertemuan itu, Fraksi Partai Demokrat di parlemen juga akan datang untuk mendapatkan arahan dari Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, melihat perkembangan kasus Hambalang yang ada, pertemuan itu tampaknya menjadi lebih penting karena akan membahas soal nasib Andi Mallarangeng ke depan. Mubarok mengungkapkan, dalam peraturan internal partai, Andi Mallarangeng seharusnya mengundurkan diri atau diberhentikan dari partai. "Kalau aturan internal partai, jika sudah menjadi tersangka, dia otomatis mundur. Mundur sama dipecat sama saja," ujar Mubarok. Mubarok mengatakan partainya justru berterima kasih kepada KPK yang membersihkan Partai Demokrat. "Kami berterima kasih sekali kepada KPK. Prinsip partai kami antikorupsi," ujarnya. Sebelumnya, KPK menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek Hambalang. Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas membenarkan hal tersebut."Iya," kata Busyro, saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (6/12/2012). Ihwal penetapan Andi sebagai tersangka ini diketahui melalui surat permohonan pencegahan yang dikirimkan KPK kepada Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Surat bernomor 4569/01-23.12.2012 tanggal 3 Desember 2012 itu menyebutkan status Andi sebagai tersangka.Saat ini, KPK sedang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi terkait pembangunan pengadaan sarana dan prasarana Hambalang tahun anggaran 2010-2012 yang dilakukan oleh tersangka Andi Alfian Mallarangeng selaku Menpora atau pengguna anggaran Kemenpora Andi dan kawan-kawan sebagaimana dimaksud Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi guna kepentingan penyidikan," kata Busyro.

Penetapan tersangka Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng menjadi sejarah baru bagi KPK. Sejak berdiri pada 2003, lembaga antikorupsi itu akhirnya berani menetapkan seorang Andi Mallarangeng merupakan menteri aktif pertama yang ditetapkan KPK sebagai tersangka. Ia ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan sarana dan prasarana olahraga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat itu diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangannya untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, tetapi justru merugikan keuangan negara Berdasarkan catatan, selama ini KPK seolah menjerat seorang menteri saat statusnya sudah pensiun. Sebut saja mantan Menteri Dalam Negeri, Hari Sabarno; mantan Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah; mantan Menteri Kesehatan, Sujudi; dan Mantan Menteri Kelautan, Rokhim Dahuri Hari Sabarno divonis bersalah dalam kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran di 22 wilayah di Indonesia. Perbuatan itu dilakukan saat Hari berstatus menteri. Dia kemudian dijatuhi hukuman dua tahun enam bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Hukuman Hari diperberat menjadi lima tahun penjara di tingkat kasasiBachtiar Chamsyah divonis majelis hakim Pengadilan Tipikor satu tahun delapan bulan penjara dalam kasus korupsi pengadaan sarung, sapi, dan mesin jahit di Departemen Sosial pada 2004-2006Sementara itu, Sujudi diperberat hukumannya menjadi empat tahun setelah Mahkamah Agung (MA) menolak peninjauan kembali yang diajukan Sujudi. Di pengadilan tingkat pertama, Sujudi hanya dijatuhi penjara dua tahun tiga bulan. Dia dianggap terbukti menyalahgunakan wewenang dengan menunjuk langsung PT Kimia Farma Trade and Distribution sebagai rekanan pengadaan alat kesehatan di rumah sakit pada kawasan Indonesia bagian timur Adapun Rokhim Dahuri divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait pengumpulan dana dekonsentrasi yang dilakukan melalui pejabat Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebesar lebih dari Rp 15 miliar. Dia dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Penetapan Andi sebagai menteri aktif pertama yang menjadi tersangka ini sudah diisyaratkan pimpinan KPK beberapa waktu lalu. Dalam diskusi bertajuk "Eksistensi KPK dalam Pemberantasan Korupsi" di Jakarta, Selasa (7/8/2012) lalu, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengisyaratkan hal tersebut "Mudah-mudahan ada menteri dalam beberapa bulan ke depan," kata Bambang saat diskusi itu Dia menanggapi pernyataan Wakil Ketua DPR Pramono Anung, yang juga menjadi pembicara dalam kasus tersebut. Pramono mengapresiasi KPK karena berani menjerat sejumlah pejabat tinggi yang terlibat korupsi. Namun, menurut Pramono, KPK kerap menjerat para pejabat tersebut saat mereka non-job atau tidak aktif lagi. Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, mengatakan bahwa langkah KPK yang berani menetapkan menteri aktif ini patut diapresisi. Bahkan, langkah KPK tersebut, katanya, dapat menjadi contoh bagi institusi penegakan hukum lain agar berani menjerat pembantu Presiden yang masih aktif. "Ini seharusnya dapat ditiru kejaksaan dan kepolisian kalau memang ada indikasi keterlibatan pembantu Presiden, pejabat aktif di pemerintahan, jangan segan juga, apalagi Presiden sudah membuka pintu untuk itu," kata Emerson.Dia juga menduga, masih ada menteri aktif lain yang diduga terlibat dalam kasus-kasus korupsi di KPK. "Misalnya kasus-kasus lain kan ada, yang disebut di kasus PON, kasus pengadaan Al Quran," ucap Emerson. Berdasarkan catatan Kompas.com, ada sejumlah nama menteri aktif lain yang disebut-sebut dalam suatu kasus di KPK. Sebut saja Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar yang namanya disebut-sebut dalam kasus dugaan suap Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID). Kasus tersebut sudah menyeret dua anak buah Muhaimin ke penjara. Mereka adalah Dadong Irbarelawan dan I Nyoman Suisnaya. Sejumlah saksi dalam kasus itu mencatut nama Muhaimin. Menurut saksi, suap ke anak buah Muhaimin itu sebenarnya akan diberikan ke Muhaimin sebagai pinjaman untuk membayar tunjangan hari raya para kiai. Terkait kasus ini, KPK menunggu hasil putusan banding Dadong dan Nyoman untuk kemudian menimbang keterlibatan Muhaimin. Selain Muhaimin, ada Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi hibah kereta api bekas dari Jepang. Pun, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono yang beberapa waktu lalu diperiksa KPK sebagai saksi dalam penyidikan kasus kasus dugaan suap PON Riau. Akankah ada menteri aktif yang menyusul Andi? Kita lihat saja.

GRASI OLLA

Grasi yang diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada sejumlah terpidana mati kasus narkoba menuai kritik tajam. Wacana yang berkembang, grasi itu dinilai tidak sejalan dengan ijtihad bangsa dalam memerangi narkoba.

Kritik belum mereda, terungkap kasus baru peredaran narkoba yang diduga diotaki salah seorang penerima grasi, Meirika Franola alias Ola (42). Tak pelak ini menjadi tamparan telak bagi Presiden. Para pembantu Presiden kembali sibuk menanggapi dan membela kebijakan pemberian grasi tersebut.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto, seusai rapat kabinet pada Selasa (6/11/2012), mengumumkan kemungkinan pencabutan grasi bagi Ola. Belakangan, ide pencabutan grasi itu juga dinilai kurang tepat oleh sejumlah kalangan karena melanggar konvensi dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana pun gigih berargumentasi bahwa grasi merupakan kewenangan konstitusional Presiden. Ia mengklaim, pemberian grasi telah melalui mekanisme yang selektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum grasi diberikan, Presiden meminta pertimbangan Mahkamah Agung (MA), meminta masukan Menteri Hukum dan HAM, Menko Polhukam, Jaksa Agung, dan Kepala Polri.

Tidak ada obral grasi karena faktanya data statistik menunjukkan 85 persen permohonan grasi ditolak, kata Denny. Memang dari 126 permohonan grasi yang diajukan, hanya 19 permohonan yang dikabulkan.

Meski dikatakan telah meminta pertimbangan MA, Juru Bicara MA yang juga Ketua Muda Pidana MA Djoko Sarwoko menegaskan, saat itu MA berpandangan, permohonan grasi yang diajukan Ola tidak memiliki cukup alasan untuk dikabulkan (Kompas, 13/10/2012).

Jika pandangan MA itu benar-benar dijadikan dasar pengambilan keputusan, logikanya permohonan grasi seharusnya ditolak. Jangan-jangan permintaan pertimbangan itu hanya untuk memenuhi prosedur karena toh keputusan memberikan grasi sepenuhnya hak konstitusional Presiden.

Dilema

Persoalan pemberian grasi sejatinya tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum di Indonsia yang masih mengakui hukuman mati. Sementara perkembangan global yang mulai meninggalkan hukuman mati demi penghormatan akan HAM, diakui atau tidak, turut memengaruhi pola pikir pemerintah.

Kecenderungan dunia, tidak mengarah pada hukuman mati. Dari 198 negara, tinggal 44 negara yang masih mengakomodasi hukuman mati dan melaksanakannya. Sejumlah 154 negara atau 80 persen menolak hukuman mati. Ada empat kategori penolakan, yakni menolak sama sekali hukuman mati, menolak untuk kasus tertentu, dalam 10 tahun terakhir tidak menerapkan hukuman mati, dan moratorium hukuman mati, kata Denny.

Ini berarti sepanjang ketentuan hukum dalam negeri mengakui hukuman mati, grasi yang menganulir hukuman mati tetap berpotensi menimbulkan kontroversi. Menghilangkan hukuman mati dalam sistem hukum kita bukan perkara gampang karena akan banyak diskursus mengenai hal itu.

Di sisi lain, Presiden juga dihadapkan pada persoalan warga negara Indonesia (WNI) yang menghadapi vonis hukuman mati di luar negeri. Di Malaysia, hingga 22 Oktober 2012 sebanyak 86 WNI dipidana mati karena kasus narkoba (Kompas, 24/10/2012). Menurut Denny, hingga 4 Oktober 2012 sebanyak 298 WNI diancam hukuman mati di luar negeri. Dari jumlah itu baru 100 orang yang terbebas dari hukuman mati, dengan 44 orang di antaranya kasus narkoba. Dari 198 WNI yang masih terancam hukuman mati, 62 persennya terkait kasus narkoba.

Tidak sedikit publik di dalam negeri yang tidak rela dan berteriak lantang jika ada WNI yang dihukum mati di luar negeri. Pemerintah juga didesak mengadvokasi mereka agar terbebas dari hukuman mati atau setidaknya secara resmi memohonkan pengampunan bagi mereka.

Menurut Denny, tidak adil jika di satu sisi Presiden didesak meminta pengampunan bagi WNI yang terancam hukuman mati, tetapi di sisi lain selalu dikecam saat di dalam negeri memberikan grasi bagi WNI ataupun warga negara asing yang diancam hukuman mati.

Polemik grasi bagi Ola sejatinya juga berkaitan dengan ketidakmampuan lembaga pemasyarakatan dalam membina dan mengawasi narapidana. Setelah menerima grasi, Ola, yang mendekam di lembaga pemasyarakatan di Tangerang, belakangan diduga mengotaki peredaran narkoba. (C Wahyu Haryo PS)

Oleh RAHMANSYAHPerencanaan Pembangunan

Perencanaan Pembangunan

Menurut Bintoro Tjokroaminoto, perencanaan ialah proses mempersiapkan kegiatan-kegiatan secara sistimatis yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu.Tujuan Perencanaan1. Standar pengawasan, yaitu mencocokan pelaksanaan dengan perencanaan2. Mengetahui kapan pelaksanaan dan selesainya suatu kegiatan3. Mengetahaui struktur organisasinya4. Mendapatkan kegiatan yang sistematis termasuk biaya dan kualitas pekerjaan5. Memimalkan kegiatan-kegiatan yang tidak produktif 6. Memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai kegiatan pekerjaan7. Menyerasikan dan memadukan beberapa subkegiatan8. Mendeteksi hambatan kesulitan yang bakal ditemui9. Mengarahkan pada pencapaian tujuan10. Menghemat biaya, tenaga dan waktuManfaat PerencanaanAdapun manfaat dari perencanaan yaitu Manfaat Perencanaan :1. Standar pelaksanaan dan pengawasan2. Pemilihan sebagai alternatif terbaik3. Penyusunan skala prioritas, baik sasaran maupun kegiatan4. Menghemat pemanfaatan sumber daya organisasi5. Membantu manajer menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan6. Alat memudahakan dalam berkoordinasi dengan pihak terkait7. Alat meminimalkan pekerjaan yang tidak pasti Teori Perencanaan Pembangunan Konsep dasar perencanaan adalah rasionalitas, ialah cara berpikir ilmiah dalam menyelesaikan problem dengan cara sistematis dan menyediakan berbagai alternatif solusi guna memperoleh tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu perencanaan sangat dipengaruhi oleh karakter masyarakat dalam mengembangkan budaya ilmiah dalam menyelesaikan Tugas Filsafat dan Teori Perencanaan Pembangunanpermasalahan yang dihadapinya. Hal ini cukup beralasan karena perencanaan jugaberkaitan dengan pengambilan keputusan (decisionmaker), sedangkan kualitas hasil pengambilan keputusan berkorelasi dengan pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience), informasi berupa data yang dikumpulkan oleh pengambil keputusan (ekskutor). Untuk lebih jelasnya dapat di lihat kembali pada kurva/grafik spatial data dan decesion. Menurut friedmann, perencanaan akan berhadapan dengan problem mendasar yakni bagaimana teknis pengetahuan perencanaan yang efektif dalam menginformasikan aksi-aksi publik. Atas dasar tersebut maka perencanaan didefinisikan sebagai komponen yang menghubungkan antara pengetahuan dengan aksi/tindakan dalam wilayah publik. Pada prinsipnya friedmann menyatakan perencanaan harus bertujuan untuk kepentinganmasyarakat banyak. Disisi lain Campbell dan Fainstain (1999:1) menyatakan bahwa dalam pembangunan Kota atau daerah dipengaruhi sistem ekonomi kapitalis atau demokratis. Dalam konteks tersebut maka pada prakteknya perencanaan tidak dapat dipisahkan dengan suasana politik kota atau daerah sebab keputusan-keputusan publik mempengaruhi kepentingankepentinganlokal. Hal ini menjadi relevan apabila kekuasaan mempengaruhi perencanaan. Ketika perencanaan telah dipengaruhi oleh sistem politik suatu kota atau daerah sebagaiman pernyataan di atas, maka sebenarnya yang terjadi adalah wilayah rasional yang menjadi dasar dalam perencanaan telah kehilangan independensinya. Selanjutnya perencanaan akan menjadi tidak efektif dan efesien, bersifat mendua antara idealisme kepakaran seorang perencana atau mengikuti selera atau kemauan-kemauan, sehingga berimplikasi pada kualitas perencanaan dalam pencapaian goal (tujuan) dan objektif (sasaran) yang dituju. Disamping itu karena perencanaan merupakan pekerjaan yang menyangkut wilayah publik maka komitmen seluruh pemangku kepentingan (stake holder) yang terlibat sangat dibutuhkan sehingga hasil perencanaan dapat dibuktikan dan dirasakan manfaatnya.PARADIGMA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONALUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan landasan konstitusional penyelenggaraan negara, dalam waktu relatif singkat (1999-2002), telah mengalami 4 (empat) kali perubahan. Dengan berlakunya amandemen UUD 1945 tersebut, telah terjadi perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu : (1) penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); (2) ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional; dan (3) diperkuatnya otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengenai dokumen perencanaan pembangunan nasional yang selama ini dilaksanakan dalam praktek ketatanegaraan adalah dalam bentuk GBHN yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Ketetapan MPR ini menjadi landasan hukum bagi Presiden untuk dijabarkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan dengan memperhatikan saran DPR, sekarang tidak ada lagi. Instrumen dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai acuan utama dalam memformat dan menata sebuah bangsa, mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Perubahan mendasar yang terjadi adalah semenjak bergulirnya bola reformasi, seperti dilakukannya amandemen UUD 1945, demokratisasi yang melahirkan penguatan desentralisasi dan otonomi daerah (UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999 yang telah diganti dengan UU Nomor 32/2004 dan UU Nomor 33/2004), UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, penguatan prinsip-prinsip Good Governance : transparansi, akuntabilitas, partisipasi, bebas KKN, pelayanan publik yang lebih baik. Disamping itu dokumen perencanaan pembangunan nasional juga dipengaruhi oleh desakan gelombang globalisasi (AFTA, WTO, dsb) dan perubahan peta geopolitik dunia pasca tragedi 11 September 2001.Perjalanan dokumen perencanaan pembangunan nasional sebagai kompas pembangunan sebuah bangsa, perkembangannya secara garis besar dapat dilihat dalam beberapa periodeyakni:Dokumen perencanaan periode 1958-1967Pada masa pemerintahan presiden Soekarno (Orde Lama) antara tahun 1959-1967, MPR Sementara (MPRS) menetapkan sedikitnya tiga ketetapan yang menjadi dasar perencanaan nasional yaitu TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969, dan Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.Dokumen perencanaan periode 1968-1998Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional periode 1968-1998 adalah ketetapan MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat ekslusif. Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan inovasi dan kreatifitas daerah dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya. Distribusi anggaran negara ibarat piramida terbalik, sedangkan komposisi masyarakat sebagai penikmat anggaranadalah piramida seutuhnya.Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika reformasi terjadi.Dokumen perencanaan periode 1998-2000Pada periode ini yang melahirkan perubahan dramatis dan strategis dalam perjalanan bagsa Indonesia yang disebut dengan momentum reformasi, juga membawa konsekuensi besar dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan nasional, sehingga di periode ini boleh dikatakan tidak ada dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dapat dijadikan pegangan dalam pembangunan bangsa, bahkan sewaktu pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid terbersit wacana dan isu menyangkut pembubaran lembaga Perencanaan Pembangunan Nasional, karena diasumsikan lembaga tersebut tidak efisien dan efektif lagi dalam konteks reformasi.Dokumen perencanaan periode 2000-2004Pada sidang umum tahun 1999, MPR mengesahkan Ketetapan No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Berbeda dengan GBHN-GBHN sebelumnya, pada GBHN tahun 1999-2004 ini MPR menugaskan Presiden dan DPR untuk bersama-sama menjabarkannya dalam bentuk Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat APBN, sebagai realisasi ketetapan tersebut, Presiden dan DPR bersama-sama membentuk Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004. Propenas menjadi acuan bagi penyusunan rencana pembangunan tahunan (Repeta), yang ditetapkan tiap tahunnya sebagai bagian Undang-Undang tentang APBN. sedangkan Propeda menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada).

Dokumen perencanaan terkini menurut UU Nomor 25 tahun 2004 tentang SPPNDiujung pemerintahannya Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani suatu UU yang cukup strategis dalam penataan perjalanan sebuah bangsa untuk menatap masa depannya yakni UU nomor 25 tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional. Dan bagaimanapun UU ini akan menjadi landasan hukum dan acuan utama bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memformulasi dan mengaplikasikan sesuai dengan amanat UU tersebut. UU ini mencakup landasan hukum di bidang perencanaan pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam UU ini pada ruang lingkupnya disebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat.Intinya dokumen perencanaan pembangunan nasional yang terdiri dari atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh kementerian/lembaga dan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenanganya mencakup : (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dengan periode 20 (dua puluh) tahun, (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan periode 5 (lima) tahun, dan (3) Rencana Pembangunan Tahunan yang disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP dan RKPD) untuk periode 1 (satu) tahun.Lahirnya UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ini, paling tidak memperlihatkan kepada kita bahwa dengan UU ini dapat memberikan kejelasan hukum dan arah tindak dalam proses perumusan perencanaan pembangunan nasional kedepan, karena sejak bangsa ini merdeka, baru kali ini UU tentang perencanaan pembangunan nasional ditetapkan lewat UU, padahal peran dan fungsi lembaga pembuat perencanaan pembangunan selama ini baik di pusat maupun di daerah sangat besar. Tapi pertanyaan kita, apakah UU nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN ini tidak hanya bertukar kulit saja ? apakah RPJP, RPJM, RKP itu secara model dan mekanisme perumusannya sama saja halnya dengan program jangka panjang yang terkenal dengan motto menuju Indonesia tinggal landas, Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dengan berbagai periode dan APBN sebagai program satu tahunnya semasa pemerintahan Orde Baru ? Apakah aspirasi, partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam proses penjaringan, penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi dari perencanaan yang dibuat, masih dihadapkan pada balutan sloganistis dan pemenuhan azas formalitas belaka ? mungkin substansi ini yang perlu kita sikapi bersama dalam konteks perumusan kebijakan dokumen perencanaan pembangunan nasional maupun daerah ini kedepan.Perencanaan Pembangunan Nasional menurut Teori TradisionalPemerintah memiliki wadah yang sangat luas dalam pembangunan. Dengan adanya keterbukaan dalam proses penyelenggaraana negara maka pemerintah mendorong masyarakat untuk berpartisifasi aktif dalam pemerintahan atau dalam pelaksanaan pembangunan, mendorong masyarakat untuk melakukan kontrol sosial terhadap setiap kebijaksanaan pemerintah, sehingga akan terhindar terjadinya KKN dalam pemerintahan.Dengan keterbukaan berarti pemerintah atau penyelenggara negara sanggup bertanggungjawab terhadap kegiatan yang dilakukan kepada rakyat. Tanggungjawab ini menyangkut masalah proses pengerjaan, pembiayaan dari segi manfaatnya bagi masyarakat, bangsa dan negara, maka terjalin hubungan yang harmonis antara pemerintah dan rakyat yang pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan nasional.Menurut Growth (1960) teori pertumbuhan ekonomi dapat dikemukakan menjadi beberapa tahap yaitu :Tahap Masyarakat TradisionalMasyarakat menciptakan produksi yang amat rendah sehingga pendapatan per kapita yang kurang pemerataan, di bidang pertanian sumber tenaga mesin sangat kurang maka masyarakat atau pemerintah bahan memperbaiki kondisi ekonomi sosial dan budaya berbagai komunitas menginvestasikan ke dalam kehidupan bangsa, menciptakan kemampuan menjalankan bangsa.Tahap Masyarakat DewasaTahap masyarakat dewasa dalam arti masyarakat yang mampu memilih dan memberi respon terhadap perubahan dan mampu mengendalikan masa depannya sehingga tidak bergantung kepada pihak lainPengertian PembangunanPembangunan adalah suatua proses kegiatan masyarakat atas prakata sendiri atau pemerintah dalam memperbaiki kondisi ekonomi sosial dan budaya berbagai komunitas, mengintrogasikan berbagai komunitas ke dalam kehidupan bangsa, menciptakan mampuan memajukan bangsa secara terpadu.Pembangunan daerah adalah proses kegiatan, masyarakat daerah dalam memperbaiki kondisi ekonomi sosial dan budaya yang bertempat tinggal di suatu daerah tertentu.

PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF ANTARA TANTANGAN DAN HARAPANSeiring dengan penerapan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah atau yang lebih dikenal dengan otonomi daerah, maka peran daerah menjadi sangat penting artinya bagi upaya meningkatkan peran serta dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Semangat seperti itulah yang saat ini terus bergulir ditengah-tengah masyarakat,meskipun dalam prakteknya belum sebagaimana yang diharapkan banyak pihak.Barangkali itulah proses yang harus dilalui secara bertahap dan berkesinambungan untuk bisa menghasilkan sesuatu yang lebih baik.Kalau merujuk pada UU No 22 Tahun 1999, yang dimaksud otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain bahwa otonomi daerah memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, termasuk bagaimana suatu daerah melakukan perencanaan pembangunan di daerahnya masing-masing.Perencanaan Pembangunan PartisipatifSalah satu pola pendekatan perencanaan pembangunan yang kini sedang dikembangkan adalah perencanaan pembangunan partisipatif. Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta sejak tahun 2001 telah mencoba melakukan perencanaan pembangunan partisipatif didalam kerangka menggali aspirasi yang berkembang di masyarakat melalui musyawarah tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan dan kota. Sebuah langkah positif yang patut dikembangkan lebih lanjut, apalagi hal seperti itu masih dalam taraf pembelajaran yang tentu saja disana-sini masih terdapat kelemahan baik dalam tataran konsep maupun implementasinya di masyarakat.Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan pola pendekatan perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat pada umumnya bukan saja sebagai obyek tetapi sekaligus sebagai subyek pembangunan, sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan pembangunan benar-benar dari bawah (bottom-up approach). Nampaknya mudah dan indah kedengarannya, tetapi jelas tidak mudah implementasinya karena banyak factor yang perlu dipertimbangkan, termasuk bagaimana sosialisasi konsep itu di tengah-tengah masyarakat.Meskipun demikian, perencanaan pembangunan yang melibatkan semua unsur / komponen yang ada dalam masyarakat tanpa membeda-bedakan ras, golongan, agama, status sosial, pendidikan, tersebut paling tidak merupakan langkah positif yang patut untuk dicermati dan dikembangkan secara berkesinambungan baik dalam tataran wacana pemikiran maupun dalam tataran implementasinya di tengah-tengah masyarakat. Sekaligus, pendekatan baru dalam perencanaan pembangunan ini yang membedakan dengan pola-pola pendekatan perencanaan pembangunan sebelumnya yang cenderung sentralistik.Nah, dengan era otonomi daerah yang tengah dikembangkan di tengah-tengah masyarakat dengan asas desentralisasi ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dalam pengertian yang luas menjadi semakin baik dan meningkat. Lagipula, pola pendekatan perencanaan pembangunan ini sekaligus menjadi wahana pembelajaran demokrasi yang sangat baik bagi masyarakat. Hal ini tercermin bagaimana masyarakat secara menyeluruh mampu melakukan proses demokratisasi yang baik melalui forum-forum musyawarah yang melibatkan semua unsur warga masyarakat mulai dari level RT (Rukun Tetangga), RW (Rukun Warga), Kelurahan, Kecamatan, sampai Kota.Penggerak PembangunanDalam pola pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif yang sedang dikembangkan ini pada dasarnya yang menjadi ujung tombak dan sekaligus garda terdepan bagi berhasilnya pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif tiada lain adalah sejauhmana keterlibatan warga termasuk pengurus RT dan RW dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program-program pembangunan yang ada di lingkup RT dan RW tersebut.Lembaga organisasi RT dan RW sebagai sebuah lembaga masyarakat yang bersifat pengabdian yang dikelola oleh pengurus RT dan RW ini benar-benar patut diacungi jempol karena pengabdian, ketulusan dan keikhlasan yang dilakukan bagi kepentingan masyarakat semata-mata dan jauh dari berbagai kepentingan pribadi. Barangkali pada level-level seperti inilah pembelajaran demokratisasi warga diimplementasikan bagi kepentingan warga masyarakat sekitarnya. Warga masyarakat yang mengajukan usulan program kegiatan, warga masyarakat pulalah yang melakukan dan sekaligus melakukan pengawasannya. Kesederhanaan, kebersamaan, dan kejujuran diantara warga yang sangat majemuk barangkali menjadi kata kunci perekat diantara mereka.Bukanlah rahasia lagi bahwa yang namanya pengurus RT dan RW ini sudah biasa kalau harus berkorban tenaga, pikiran, dan dana ketika melakukan berbagai program kegiatan yang ada di lingkup ke-rt-an maupun ke-rw-an, apalagi kalau menyambut adanya event-event tertentu. Bahkan tidak jarang mereka harus berhadapan langsung dengan berbagai permasalahan sosial kemasyarakatan, seperti masalah keributan / perkelahian antar warga, keamanan warga, dan sebagainya yang kadangkala jiwa menjadi taruhannya. Mudah-mudahan jiwa dan semangat pengabdian mereka tetap terjaga dengan baik.Harapan dan TantanganNuansa demokratis benar-benar nampak diberbagai forum musyawarah tingkat RT dan RW. Kesadaran dan kebersamaan yang tumbuh dan berkembang dengan baik pada organisasi paling bawah ini paling tidak merupakan modal dasar yang sangat berharga bagi pembangunan masyarakat di daerah pada umumnya. Tetapi, kondisi yang ada di lingkup ke-rt-an maupun ke-rw-an sekaligus bisa menjadi kendala atau ganjalan manakala aspirasi yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat level bawah ini terabaikan begitu saja. Jangan sampai manis di mulut tetapi sepi dalam realitas. Apabila hal ini terjadi, maka pola pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif hanya tinggal sebagai sebuah slogan yang manis dibicarakan, namun pahit dalam tataran pelaksanaannya. Sebagai sebuah gambaran sederhana, misalnya ketika akan diselenggarakan Musyawarah Kelurahan Membangun (Muskelbang) maka setiap RT dan RW harus mempersiapkan usulan-usulan program yang akan dilakukan untuk suatu periode tertentu baik berupa usulan kegiatan yang bersifat phisik maupun nonphisik. Usulan program yang diajukan oleh RT dan RW tersebut selanjutnya dibawa ke level kelurahan untuk dibahas lebih lanjut ke forum Muskelbang. Forum inilah diharapkan menjadi ajang pembelajaran demokratisasipara warga di level kelurahan.Nah, sebelum sampai pada forum Muskelbang, sesuai dengan SK Walikota Surakarta Nomor: 410/45-A/1/2002 tentang pedoman teknis penyelenggaraan Musyawarah Kelurahan Membangun, Musyawarah Kecamatan Membangun dan Musyawarah Kota Membangun Kota Surakarta tahun 2002, disebutkan bahwa sebelum dilaksanakan Muskelbang terlebih dahulu dilakukan Pra-Muskelbang I dan II. Secara garis besar, pada dasarnya apa yang dilakukan dalam kegiatan Pra-Muskelbang I dan II merupakan tahapan-tahapan persiapan yang perlu dilakukan agar Muskelbang yang akan diselenggarakan berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuannya. Selanjutnya, apa yang telah dihasilkan dalam forum Muskelbang ini akan dibahas ke forum musyawarah tingkat Kecamatan (Muscambang) dan selanjutnya ke forum musyawarah Kota (Muskotbang).Musyawarah yang dilakukan mulai level Kelurahan, Kecamatan, dan Kota tiada lain dimaksudkan untuk menjaring semua aspirasi yang berkembang dari berbagai komponen masyarakat yang ada tanpa terkecuali untuk ikut serta merencanakan, melaksanakan, dan melakukan pengawasan program pembangunan daerahnya masing-masing. Apa yang dimusyawarahkan pada forum-forum tersebut bukan saja usulan program kegiatan yang bersifat program fisik tetapi juga yang bersifat non-fisik, termasuk didalamnya sejumlah indicator keberhasilan dan besaran dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut.Pertanyaan yang sering muncul dari warga masyarakat lapisan bawah ini adalah apakah program kegiatan yang diusulkan yang bersumber dari musyawarah di tingkat RT dan RW tersebut nantinya akan terealisir? Pertanyaan polos dan lugas yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam warga masyarakat tersebut tentunya wajar dan sah-sah saja. Oleh karena, umumnya mereka sangat berharap bahwa apa yang diusulkan tersebut dapat terealisir, sehingga akan mampu memperbaiki kondisi lingkungan masyarakat di sekitarnya. Akan tetapi, di sisi yang lain pemerintah kota memiliki kendala klasik yaitu keterbatasan anggaran bagi pembangunan daerah. Bahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2002 porsi dana yang disediakan untuk pembangunan sangatlah minim. Disamping itu, masyarakat sendiri juga tidak pernah tahu seberapa besar pemerintah kota (pemkot) mampu menghasilkan penerimaan (pendapatan) bagi APBDnya dan akan dialokasikan pada kegiatan apa. Ini berarti bahwa sosialisasi memiliki arti yang sangat penting bagi warga masyarakat. Mengingat berbagai keterbatasan yang ada (sumber dana), maka pemerintah biasanya menggunakan strategi penetapan Daftar Skala Prioritas (DSP). Dalam artian bahwa pemerintah hanya akan melaksanakan atau membiayai program kegiatan yang memang menjadi skala prioritas utama pembangunan di daerah. Nah, bagaimana dengan program kegiatan yang memiliki bobot prioritas nomor-nomor berikutnya? Pertanyaan ini pernah muncul dalam suatu forum pelatihan fasilitator di sebuah hotel di Solo beberapa waktu yang lalu sebagai sebuah respon dari instruktur yang mewakili pemerintah kota (pemkot).Kalau yang diterima dan dibiayai APBD hanya usulan kegiatan yang memperoleh prioritas utama, sementara prioritas nomor berikutnya tersisihkan dan harus diusulkan lagi untuk periode berikutnya, maka hal ini memberikan dampak yang kurang baik bagi para pengusul program kegiatan yang sudah bersusah dan berpayah-payah menyusun usulan program tersebut. Pertama: penentuan pola DSP seperti itu tidak efisien, karena pengusul (RT dan RW) harus mengusulkan lagi untuk tahun berikutnya. Kedua, salah satu dampak yang sangat tidak diharapkan adalah munculnya sikap para pengusul yang lebih cenderung asal-asalan dalam mengajukan usulan kegiatan, karena merasa toh pada akhirnya usulannya nanti tidak terealisir juga. Sikap seperti ini bisa saja muncul sebagai sebuah akumulasi kekecewaan yang lama. Ketiga, sikap lainnya yang barangkali perlu diantisipasi adalah munculnya sikap masa bodoh, cuek atau tidak mau tahu terhadap pembangunan masyarakat di lingkungannya.Sikap-sikap tersebut jelas akan menghambat gerak pembangunan di suatu daerah. Oleh karenanya, salah satu gagasan yang barangkali dapat membantu meredam kekecewaan masyarakat adalah dengan menempatkan skala prioritas pembangunan berdasarkan periodisasi (jenjang waktu), katakanlah tahun pertama, kedua dan seterusnya. Kalau periodisasi ini bisa dilakukan maka masyarakat akan tetap memiliki motivasi yang tinggi karena mereka tahu bahwa usulan kegiatannya akan tetap dapat dilaksanakan, meskipun tidak periode sekarang (misalnya). Disisi lain, masyarakat akan memiliki apresiasi yang baik dan positif terhadap pemerintah bahwa ternyata pemerintah benar-benar memiliki komitmen yang tinggi terhadap masyarakat pada umumnya. Ini merupakan modal dasar pembangunan yang sangat berharga bagi pembangunan masyarakat kedepan, tumbuhnya kepercayaan terhadap pemerintahannya sendiri (pemkot).Oleh La OdePARADIGMA PEMBANGUNAN DI ERA OTODA

Pengertian tentang Otonomi Daerah sudah saya ringkas dari berbagai sumber. Langsung baca ya sob :)I. PENGERTIAN OTONOMI DAERAHOtonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Sedangkan yang di maksud Otonomi Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di Negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang berbentuk federasi. Kewenangan mengantar dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang olehPemerintah Pusat seperti :1. Hubungan luar negeri2. Pengadilan3. Moneter dan keuangan4. Pertahanan dan keamananPelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.Dampak Positif Otonomi DaerahDampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggidari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah juga akan lebih tepat sasaran dan tidak membutuhkan waktu yang lama sehingga akan lebih efisien.Dampak negative dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan antara pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang pendapatannya tinggi dangan daerah yang masih berkembangMasalah Otonomi DaerahPermasalahan Pokok Otonomi Daerah:1. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap2. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai dan penyesuaian peraturan perundangan-undangan yang ada dengan UU 22/ 1999 masih sangat terbatas3. Sosialisasi UU 22/1999 dan pedoman yang tersedia belum mendalam dan meluas4. Manajemen penyelenggaraan otonomi daerah masih sangat lemahPengaruh perkembangan dinamika politik dan aspirasi masyarakat serta pengaruh globalisasi yang tidak mudah masyarakat serta pengaruh globalisasi yang tidak mudah dikelola5. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah6. Belum jelas dalam kebijakan pelaksanaan perwujudan konsepotonomi yang proporsional kedalam pengaturan konsepotonomi yang proporsional ke dalampengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka NKRIPermasalahan pokok tersebut terefleksi dalam 7 elemen pokok yang membentuk pemerintah daerah yaitu;1. kewenangan,2. kelembagaan,3. kepegawaian,4. keuangan,5. perwakilan,6. manajemen pelayanan publik,7. pengawasan.

Sumber-sumber Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi meliputi:

a) PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) Hasil pajak daerah Hasil restribusi daerah Hasil perusahan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah,antara lain hasil penjualan asset daerah dan jasa giro

b) DANA PERIMBANGAN Dana Bagi Hasil Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Khususc) PINJAMAN DAERAH Pinjaman Dalam Negeri1. Pemerintah pusat2. Lembaga keuangan bank3. Lembaga keuangan bukan bank4. Masyarakat (penerbitan obligasi daerah)

Pinjaman Luar Negeri1. Pinjaman bilateral2. Pinjaman multilateral3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah;4. hibah atau penerimaan dari daerah propinsi atau daerah Kabupaten/Kota lainnya,5. penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan

II. Peluang Bisnis Ekonomi Serta Tantangan Bisnis di DaerahPembangunan ekonomi saat ini di Indonesia selama pemerintahan orde baru lebih terfokus pada pertumbuhan ekonomi ternyata tidak membuat daerah di tanah air berkembang dengan baik. Proses pembangunan dan peningkatan kemakmuran sebagai hasil pembangunan selama ini lebih terkonsentrasi di Pusat (Jawa) atau di Ibukota . Pada tingkat nasional memang laju pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun cukup tinggi dan tingkat pendapatan perkapita naik terus setiap tahun (hingga krisis terjadi). Namun,dilihat pada tingkat regional, kesenjangan pembangunan ekonomi antar propinsi makin membesar.

Di era otonomi daerah dan desentralisasi sekarang ini, sebagian besar kewenangan pemerintahan dilimpahkan kepada daerah. Pelimpahan kewenangan yang besar ini disertai dengan tanggung jawab yang besar pula. Dalam penjelasan UU No.22/1999 ini dinyatakan bahwa tanggung jawab yang dimaksud adalah berupa kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.

Berangkat dari pemahaman demikian, maka untuk menghadapi berbagai persoalan seperti kemiskinan, pemerintah daerah tidak bisa lagi menggantungkan penanggulangannya kepada pemerintah pusat sebagaimana yang selama ini berlangsung. Di dalam kewenangan otonomi yang dipunyai daerah, melekat pula tanggung jawab untuk secara aktif dan secara langsung mengupayakan pengentasan kemiskinan di daerah bersangkutan. Dengan kata lain, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki inisiatif kebijakan operasional yang bersifat pro masyarakat miskin.Hubungan antara otonomi daerah dengan desentralisasi, demokrasi dan tata pemerintahan yang baik memang masih merupakan diskursus. Banyak pengamat mendukung bahwa dengan dilaksanakannya otonomi daerah maka akan mampu menciptakan demokrasi atau pun tata pemerintahan yang baik di daerah. Proses lebih lanjut dari aspek ini adalah dilibatkannya semua potensi kemasyarakatan dalam proses pemerintahan di daerah.Pelibatan masyarakat akan mengeliminasi beberapa faktor yang tidak diinginkan, yaitu:1. Pelibatan masyarakat akan memperkecil faktor resistensi masyarakat terhadap kebijakan daerah yang telah diputuskan. Ini dapat terjadi karena sejak proses inisiasi, adopsi, hingga pengambilan keputusan, masyarakat dilibatkan secara intensif.2. Pelibatan masyarakat akan meringankan beban pemerintah daerah (dengan artian pertanggungjawaban kepada publik) dalam mengimplementasikan kebijakan daerahnya. Ini disebabkan karena masyarakat merasa sebagai salah satu bagian dalam menentukan keputusan tersebut. Dengan begitu, masyarakat tidak dengan serta merta menyalahkan pemerintah daerah bila suatu saat ada beberapa hal yang dipandang salah.3. Pelibatan masyarakat akan mencegah proses yang tidak fair dalam implementasi kebijakan daerah, khususnya berkaitan dengan upaya menciptakan tata pemerintahan daerah yang baik.Perubahan-perubahan yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah ini sangat boleh jadi menimbulkan cultural shock, dan belum menemukan bentuk /format pelaksanaan otonomi seperti yang diharapkan. Hal ini berkaitan pula dengan tanggung jawab dan kewajiban daerah yang dinyatakan dalam penjelasan UU No.22/1999, yaitu untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan.

Berkaitan dengan kewenangan dan tanggung dalam pelaksanaan otonomi daerah, maka pemerintah daerah berupaya dengan membuat dan melaksanakan berbagai kebijakan dan regulasi yang berkenaan dengan hal tersebut. Namun dengan belum adanya bentuk yang jelas dalam operasionalisasi otonomi tersebut, maka sering terdapat bias dalam hasil yang di dapat. Pelimpahan kewenangan dalam otonomi cenderung dianggap sebagai pelimpahan kedaulatan. Pada kondisi ini, otonomi lebih dipahami sebagai bentuk redistribusi sumber ekonomi/keuangan dari pusat ke daerah. Hal ini terutama bagi daerah-daerah yang kaya akan sumber ekonomi. Dengan begitu, konsep otonomi yang seharusnya bermuara pada pelayanan publik yang lebih baik, justru menjadi tidak atau belum terpikirkan.Kemandirian daerah sering diukur dari kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). PAD juga menjadi cerminan keikutsertaan daerah dalam membina penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kemasyarakatan di daerah. Keleluasaan memunculkan inisiatif dan kreativitas pemerintah daerah dalam mencari dan mengoptimalkan sumber penerimaan dari PAD sekarang ini cenderung dilihat sebagai sumber prestasi bagi pemerintah daerah bersangkutan dalam pelaksanaan otonomi. Disamping itu, hal ini dapat menimbulkan pula ego kedaerahan yang hanya berjuang demi peningkatan PAD sehingga melupakan kepentingan lain yang lebih penting yaitu pembangunan daerah yang membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya. Euphoria reformasi dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah seperti ini cenderung mengabaikan tujuan otonomi yang sebenarnya.Otonomi menjadi keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta hidup, tumbuh, dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.

Disamping peluang-peluang yang muncul dari pelaksanaan otonomi daerah, terdapat sejumlah tuntutan dan tantangan yang harus diantisipasi agar tujuan dari pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai dengan baik. Diantara tantangan yang dihadapi oleh daerah adalah tuntutan untuk mengurangi ketergantungan anggaran terhadap pemerintah pusat, pemberian pelayanan publik yang dapat menjangkau seluruh kelompok masyarakat, pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan dan peningkatan otonomi masyarakat lokal dalam mengurus dirinya sendiri.Dalam implementasinya, penetapan dan pelaksanaan peraturan dan instrumen baru yang dibuat oleh pemerintah daerah dapat menimbulkan dampak, baik berupa dampak positif maupun dampak negatif. Dampak yang ditimbulkan akan berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung, pada semua segmen dan lapisan masyarakat terutama pada kelompok masyarakat yang rentan terhadap adanya perubahan kebijakan, yaitu masyarakat miskin dan kelompok usaha kecil. Kemungkinan munculnya dampak negatif perlu mendapat perhatian lebih besar, karena hal tersebut dapat menghambat tercapainya tujuan penerapan otonomi daerah itu sendiri.April 2011, melengkapi 10 tahun Indonesia memasuki era Otoda. Kompas, 26 April 2011, R. Siti Zuhro mereview bahwa pelaksanaan otonomi daerah tak hanya menandai system sentralistik berakhir, tetapi juga langkah penting bagi daerah menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik : melayani dan menyejahterakan rakyat.Dikatakan bahwa praktik Otoda masih jauh dari tujuan utama, kualitas pelayanan yang masih rendah, sekitar 10% dari 542 daerah (33 propinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota) mampu melakukan yang terbaik dalam pelayanan public. Selain itu jumlah penduudk miskin dan penganggur terbuka masih cukup tinggi (31,02 juta dan 8,59 jiwa, BPS 2010).Tujuan utama otoda sebenarnya mempercepat kesejahteraan rakyat terwujud.Empat tantangan dalam otoda juga dikemukakan oleh Siti berupa : tumpang tindih peraturan yang membingunkan daerah, persepsi sepihak tentang kewenangan, kerumiran dan pengelolaan hubungan wewenang antar daerah dan antar jenjang pemerintahan, dan kolaborasi elit dan pengusaha local dalam mengeksploitasi daerah yang muncul sebagai akibat langsung dari politik transaksional dalam pilkada.Paradigma baru pembangunan diarahkan kepada terjadinya pemerataan (equity),pertumbuhan (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan ekonomi. Paradigma baru pembangunan ini dapat mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan (The second fundamental of welfare economics), dimana dalil ini menyatakan bahwa sebenamya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi yang diinginkan melalui transfer, perpajakan dan subsidi, sedangkan ekonomi selebihnya dapat diserahkan kepada mekanisme pasar.Diberlakukannya UU 22/1999 mengenai Otonomi Daerah berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan di wilayah-wilayah.Otonomi daerah mengisyaratkan pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pengembangan wilayah disbanding pendekatan sektoral. Pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan local memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spasial (keruangan), serta antar pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah. Sehingga setiap program-program pembangunan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah.Terdapat beberapa pemikiran yang mendesak kita dalam mengembangkan sebuah paradigma dalam pembangunan di era otoda. Hal tersebut berupa pembangunan pertanian vs industry, teknologi padat modal vs padat karya, sentralisasi vs desentralisasi, modern vs tradisional, pedesaan vs perkotaan, dan perencanaan social ekonomi vs perencanaan fisik.1. Pembangunan pertanian vs industryParadigma pembangunan di era otoda bertujuan untuk mempercepat kesejahteraan rakyat terwujud. Mempercepat kesejahteraan rakyat memang dapat dilihat dengan indicator meningkatnya pendapatan daerah. Ketika pendapatan daerah meningkat, dapat diartikan bahwa pendapatan masyarakat daerah tersebut meningkat. Peningkatan ini dapat dilihat dari sector-sektor yang memiliki sumbangan besar dalam memberikan pendapatan pada masyarakat. Di sector pertanian yang selama ini mendapat pernyataan bahwa Negara yang berbasis ekonomi pertanian lebih lemah daripada yang berbasis industry. Studi kasus dari Negara maju dan Negara berkembang mendukung asumsi tersebut. Paradigm otoda untuk mempercepat kesejahteraan rakyat dengan pembangunan pertanian seharusnya memang dapat dilakukan. Pembangunan di bidang pertanian memang tidak selamanya akan berdampak negative atau lebih rendah daripada sector industry.Sebenarya ketika kita melihat dari sisi pengelolaan sector pertanian selama ini masih dikelola dengan cara tradisional. Disampaikan juga dalam factor penghambat pembangunan dalam negeri berupa masalah kesenjangan terhadap teknologi, bahwa masyarakat mendapatkan gap pengetahuan yang besar ketika cara tradisional diganti dengan cara modern.Sebenanya ketika dalam era otoda diasumsikan masyarakat mampu dalam mengelola lahan pertanian dengan cara modern, bukan tidak mungkin hasilnya akan lebih baik daripada di sector industry. Hanya saja terdapat beberapa factor yang memang tidak mendukung dalam pengembangan pertanian seperti masalah manajemen yang dikaitkan dengan budaya sekitar yang kurang bersahabat dengan para investor. Hal ini dianggap akan menambah kuota dalam pengelolaan risiko yang dihadapi.Selain itu terdapat berbagai masalah yang menjadi pokok dalam pembangunan dalam sector pertanian di era otoda. Perkembangan barang-barang yang dibutuhkan oleh pasar memang terletak pada sector industry. Hal ini menandakan bahwa sector industry dijadikan sebagai pembangunan yang berdasarkan permintaan pasar. Hal ini akan berbeda dengan kebutuhan pertanian, lebih spesifik lagi dalam masalah konsumsi bahwa permintaan terhadap barang produksi memang meningkat seiring pertumbuhan penduduk.Kebutuhan barang-barang konsumsi berbeda dengan barang-barang industry, meskipun kebutuhan barang pertanian merupakan kebutuhan pokok, sector industry menawarkan keuntungan yang lebih karena permintaan dikarenakan keinginan akan kepuasan. Namun, satu yang menjadi factor penting disini bahwa industry akan membutuhkan suplay pertanian yang banyak.Oleh karena itu harus terdapat sinergi dari keduanya.Selanjutnya di sector industry memang selama ini diklaim memberikan pendapatan yang lebih besar kepada masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari daerah-daerah yang memiliki industry akan lebih cepat tumbuh. Pertumbuhan ini dipicu dengan adanya investasi yang masuk di daerah tersebut. Meskipun tidak selamanya benar bahwa sector industry dalam pembangunan otoda berkorelasi positif dalam mensejahterakan rakyat. Faktanya bahwa terkadang justru terdapat perbedaan gap antara yang kaya dan yang miskin di daerah industi. Ketika hal tersebut ditarik secara statistic hukum 90:10 tetap berlaku. Artinya bahwa 10% masyarakat berpendapatan tinggi akan berpengaruh terhadap statistic 90% pendapatan, dan sebaliknya. Pokok yang menjadi penting dalam hal ini bahwa dalam era otoda setiap paradigm memimiliki kelemahan sendiri-sendiri.Namun, ketika diminta bahwa sector yang paling tepat dalam pembangunan di era otoda merupakan pembangunan yang berdasarkan pada pembangunan yang cenderung kearah pertanian dengan tidak mengesampingkan pembangunan industri. Kesimpulan ini diambil berdasarkan pertimbangan bahwa ketika pembangunan di era otoda murni pada pembangunan industi, yang terjadi di Indonesia adalah semakin tingginya gap karena factor-faktor seperti edukasi dan budaya. Industry di daerah perkotaan membutuhkan suplay yang banyak dari pertanian, oleh karena itu pertanian seharusnya dikembangkan dengan teknologi modern untuk menunjang industry. Hal ini dapat dilakukan dengan pembangunan pertanian secara desentralisasi. Pembangunan proporsional di bidang industry dan pertanian yang dikelola secara modern merupakan pengusahaan yang patut dilakukan untum mempercepat kesejahteraan rakyat.2. Teknologi padat modal vs padat karyaTeknologi padat modal didefinisikan sebagai pembangunan yang menggunakan otomatisasi yang membutuhkan lebih sedikit manusia. Sedangkan teknologi padat karya berkebalikan dengan membutuhkan lebih banyak manusia daripada alat-alat produksi. Penggunaan mekanisme mana yang lebih dapat mempercepat kesejahteraan rakyat terwujud. Hal ini menjadi masalah yang pokok dalam pengambilan keputusan dalam paradigm pembangunan otoda.Teknologi padat modal selama ini masih menuai kontroversi dari pengamat kesejahteraan social bahwa otomatisasi dengan mekanisme padat modal akan tidak berpihak pada rakyat. Otomatisasi akan menambah level penganguran karena penggunaan mesin sebagai alat produksi total. Teknologi padat modal ditinjau dari segi kemakmuran masyrakat menyeleruh masih memiliki pandangangan yang ekstrim bahwa teknologi tersebut dapat mempercepat kemakmuran masyarakat ketika barang-barang menjadi lebih murah dan berkualitas dan juga akan menghambat kemakmuran dengan mengurangi jumlah pekerja di pabrik.Selanjutnya teknologi padat karya memiliki prespektif yang relative baik berupa teknologi padat karya akan meyerap banyak tenaga kerja sehingga kemakmuran akan tercipta dengan bertambahnya pendapatan penduduk. Teknologi padat karya lebih memberikan nilai positif lebih banyak ketika hal ini diimbangi dengan penjualan yang dapat terlaksana. Teknologi padat karya biasanya berbasis pada industry kreatif, oleh karena itu terkadang tidak semua daerah cocok dengan iklim usaha ini. Memang di setiap usaha terdapat risiko yang harus dihadapi sendiri, namun pemilihan untuk menghadapi atau mengalihkan risiko menjadi penting.Teknologi padat karya memang lebih cocok untuk dilakukan dengan populasi yang begitu banyak. Namun, tidak semua industry yang dapat dikembangkan sebagai basis teknologi padat karya. Oleh karena itu paradigm yang seharusnya diambil merupkan paradigm pembangunan yang proporsional dengan mempertimbangkan factor-faktor yang terdapat dalam daerah tersebut. Bagaimana analisa prospek daerah merupakan bagian penting dalam penggunaan paradgma ini.3. Sentralisasi vs desentralisasiSentralisasi lebih disetujui oleh para ahli sebagai tingkat dimana pengambilan keputusan dikonsentrasikan pada suatu titik tunggal di dalam organisasi. Sentralisasi yang tinggi disebabkan karena adanya konsentrasi yang tinggi. Sedangakan desentralisasi sering dikenal dengan pengambilan keputusan ke bawah atau ketingkat yang lebih rendah.Pembangunan spatial akan mengarah ke desentralisasi sistem pusat kegiatan dari yang tadinya berpusat pada kota-kota besar akan lebih tersebar kearah pembangunan kota-kota kecil di wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan di luar usaha tani dan jasa-jasa pelayanan dan akan mengubah sistem tata ruang wilayah-wilayah. Ekonomi kota-kota besar di masa datang tidak akan mengalami pertumbuhan lagi. Membengkaknya kota-kota telah menimbulkan biaya sosial tinggi yang mengarah pada inefisiensi dan menghambat pertumbuhan ekonomi disamping menghambat pemerataan pembangunan wilayah (equity), sehingga tidak mengarah ke pembangunan berkelanjutan (sustainabledevelopment).

Aglomerasi kota-kota yang semula menimbulkan economy of scale yang mempunyai dayatarik kepada kegiatan swasta, namun karena kota-kota besar bertumbuh secara tidak terkendali, pada akhirnya mengalami diseconomy of scale. Kota-kota besar menanggung biaya-biaya sosial (kongesti, pencemaran, kriminalitas, permukiman kumuh dll.) Pengusaha swasta akan cenderung menentukan pilihan-pilihan lokasional kegiatannya ke pusat (central places) yang lebih menguntungkan. Karenanya tataruang regional dan nasional di masa depan akan mengalami berbagai perubahan-perubahan yang nyata. Lahan-lahan pertanian yang menurut rencana tataruang masa lalu telah dialihkan fungsinya kepada penggunaan non-pertanian, sebagian akan dikembalikan lagi kepada penggunaan untuk pertanian.Pembangunan desentralisasi menjadi penting untuk menunjang pembangunan yang meningkat secara proporsional. Pembangunan desentralisasi atau pembangunan di desa akan meningkatkan pendapatan desa tersebut. Desentralisasi menjadi penting untuk mengimbangi perkotaan yang sudah memiliki kompleksitas yang tinggi.4. Modern vs tradisionalPengelolan modern merupakan pengelolaan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan pengelolaan tradisional didasarkan pada cara turun temurun. Inilah yang sebenarnya menjadi permasalahan dalam paradigm pembangunanyang harus digunakan, apak menggunakan modern atau tradisional.Mempercepat kesejahteraan rakyat terwujud yang menjadi tujuan dasar otoda memang secara spasial satuan sistem ekologis (ekosistem) dan sistem kelembagaan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam tradisional tersebar secara lintas wilayah administrasi. Oleh karenanya diperlukan penanganan secara terkoordinasi antara wilayah administratif. Pada masa orde baru koordinasi permasalahan pengelolaan sumberdaya dan pembangunan antar wilayah ditangani oleh administrasi pemerintahan yang lebih tinggi. Di era otonomi daerah, hubungan antara pemerintah daerah (kota/kabupaten) dengan pemerintah pusat tidak lagi dalam kerangka hubungan verikal yang hirarkis. Penyelesaian pembangunan lintas wilayah akan lebih diserahkan pada mekanisme hubungan horizontal. Kompleksitas dan kecenderungan untuk memberikan kualitas dalam mempercepat peningkatan kemakmuran, mengembalikan pada dasar efektifitas dan efisiensi maka seluruhnya akan mengacu pada pembangunan yang dilakukan secara modern. Pengelolaan pembangunan secara modern akan memberikan hasil yang lebih baik daripada pengelolaan secara tradisional.5. Pedesaan vs perkotaanModernisasi ekonomi diyakini dapat dicapai melalui industrialisasi dan urbanisasi, atau suatu proses kumulatif memperkuat antara pertumbuhan produksi industri urban dan peningkatan sistem supply pangan di perdesaan. Ketika produktifitas pertanian naik sampai level tertentu, surplus tenaga kerja dikeluarkan dari sistem produksi pangan untuk dialihkan untuk perluasan sektor urban, sementara sektor industri yang berkembang di perkotaan memperkuat sistem pertanian dengan memasok input lebih banyak dan lebih baik seperti peningkatan kesuburan dan produktifitas pertanian. Sehingga terjadilah pertumbuhan dan sekaligus penguatan (growth-reinforcing process) kumulatif dari penciptaan pekerjaan dari produktifitas yang lebih tinggi di kedua kawasan (urban dan rural), seperti yang terjadi di negara industri di Barat dan selanjutnya di Jepang. Sementara itu sebagian besar negara sedang berkembang mengekspor, dan masih banyak yang mengeskpor sumber daya alam dan komoditi primer ke negara maju hanya untuk mengimpor produksi industri manufaktur dari negara maju. Negara-negara Dunia Ketiga ditekan oleh berbagai kepentingan dan keadaan seperti itu, mengekspor bahan mentah, dan dalam prosesnya tertangkap dalam jaringan dominasi perputaran ekonomi oleh industri di Barat dan badan hukum multinasional. Negara sedang berkembang akhirnya tidak mempunyai kesempatan untuk membangun pertumbuhan dan penguatan yang memadai untuk menuju proses interaksi kota-desa secara sinergis dan begitu pula untuk memodernisasi ekonomi nasional mereka.

Dengan demikian, tujuan menciptakan keseimbangan regional pada dasarnya secara jelas diarahkan agar pengembangan wilayah memiliki arti pada pembebasan Dunia Ketiga dari keterbelakangan (Nagamine, 2000), bukan semata-mata pemerataan dan keadilan Pengembangan perdesaan seharusnya memegang posisi terpenting dalam kebijakan pengembangan wilayah yang diformulasikan negara-negara Dunia Ketiga seperti Indonesia karena sebagian besar dari penduduk Dunia Ketiga tinggal di perdesaan, maka tidak mungkin fasilitasi proses self-sustain tanpa fokus perdesaan. Dapat dikatakan mungkin hal terpenting dari spirit komitmen PBB di dalam pembangunan wilayah melalui ECOSOC 1582L dalam pengembangan wilayah adalah pengembangan perdesaan.Namun disini harus dibedakan pembangunan perdesaan dari pembangunan pertanian. Target pengembangan perdesaan adalah mengenai petani miskin, dan melibatkan program pengembangan yang komprehensif untuk meningkatkan produktifitas dan kondisi kehidupannya. Sedang pengembangan pertanian utamanya menguatkan kapasitas produktif dari masing-masing sektor, misalnya dengan memberi insentif terhadap petani skala menengah dan besar untuk meningkatkan produktifitas. Selama ini aktivitas perkotaan yang didominasi oleh industri dan jasa memperoleh perhatian besar elit politik dan pejabat karena memberikan surplus keuntungan (rent) yang besar. Sedang aktivitas di perdesaan yang didominasi sektor primer dan pertanian kurang diperhatikan bahkan diabaikan karena rent yang kecil. Disamping itu konsep hubungan rural-urbani telah mengalami perubahan mendasar namun kurang dipahami. Thesis Lipton (1977) menyimpulkan bahwa: (a) kaum elit di kawasan urban mempertahankan keadaan perdesaan seperti diatas dengan mengorganisasikan dan mengendalikan kekuasaan politik dan ekonomi tersentralisasi. Di Indonesia pengendalian seperti ini dipertahankan semasa Orde Lama maupun Orde Baru, sehingga distribusi sumberdaya dan melebar, (b) Meski secara historis negara Asia mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi,tetapi bagian (proportion) masyarakat perdesaan yang miskin jumlahnya tidak banyak berkurang, dan (c) Secara umum telah terjadi misalokasi sumberdaya antara perkotaan dan wilayah perdesaan (urban bias) 6. Perencanaan social ekonomi vs perencanaan fisikDalam paradigma perencanaan wilayah yang modern perencanaan wilayah diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, sosial dan ekonomi untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan sumberdaya di dalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktifitas agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (publik) secara berkelanjutan. Awal dari proses perencanaan wilayah adalah beranjak dari adanya kebutuhan untuk melakukan perubahan sebagai akibat dari perubahan pengelolaan maupun akibat perubahan-perubahan keadaan (peningkatan kesejahteraan, bencana alam, perkembangan sosial, dan lain-lain). Jadi pada dasarnya harus ada dua kondisi yang harus dipenuhi di dalam perencanaan wilayah (Clayton and Dent, 1993): (i) kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan dan (ii) adanya political will dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Dengan demikian penyusunan perencanaan wilayah pada dasarnya bukan merupakan suatu keharusan tanpa sebab, melainkan lahir dari adanya kebutuhan. Secara individual maupun kelompok, masyarakat secara sendiri-sendiri melakukan pengaturan- pengaturan ruang pada kawasan-kawasan yang dikuasainya.Namun cakupan istilah perencanaan wilayah adalah suatuperencanaan yang berorientasi pada kepentingan publik secara keseluruhan, bukan untuk kepentingan perseorangan/kelompok ataupun perusahaan/badan usaha.Wilayah sebagai suatu matriks fisik harus merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat, oleh karenanya perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan wilayah juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik-lingkungan dan sosial sehingga menjamin peningkatan kesekahteraan secara berkelanjutan (sustainable).

Dalam tiga dekade terakhir telah terjadi proses pergeseran paradigma pembangunan. Cara pandang pembangunan yang berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis peningkatan investasi dan teknologi luar semata (perspektif materialistik), telah bergeser ke arah pemikiran pembangunan yang menekankan pada kemampuan masyarakat untuk mengontrol keadaan dan lingkungannnya. Paradigma baru yang berkembang lebih menekankan kepada proses-proses partisipatif dan kolaboratif (participatory and collaborative processes) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan material, termasuk meningkatnya keadilan dalam distribusi pemilikan, pengelolaan dan manfaat pembangunan serta kebebasan dan kemandirian. Kini telah banyak disadari bahwa pengalaman membangun selama ini telah banyak menimbulkan dampak masalah pembangunan yang semakin besar dan kompleks. Semakin melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi, degradasi dan tingkat kerusakan lingkungan yang semakin besar, beban dan ketergantungan pada utang luar negeri yang semakin berat adalah bukti-bukti nyata atas kegagalan praksis pembangunan. Realitas- realitas tersebut telah mendorong perubahan pemikiran dan konsepsi pembangunan.Sumber:Kompas, selasa 26 April 2011 hal 7Robbins, Stephen P.1994. Teori Organisasi : Struktur, Desain dan Aplikasi.Jakarta. Archan hal 115Rustiadi, Ernan. Paradigma baru pembangunan wilayah Di era otonomi daerah. Disampaikan pada lokakarya Otonomi Daerah 2001, Perak Study Club di Jakarta Media Center,11 Juni 2001

Posted 28th April 2011 by Irham Maulana Mubarri

Oleh Prof. Faisal Halim Pasar Terong Pasar Terong adalah nama pasar tradisional yang berada di kota Makassar dan terletak di jalan Terong, kelurahan Wajo Baru, Kecamatan Bontoala. Pasar ini terkenal sebagai pemasok sembilan bahan kebutuhan pokok, seperti sayur-mayur, aneka jenis ikan, telur, buah-buahan, dll yang berasal dari berbagai daerah di Sulawesi-Selatan.Pasar ini juga setidaknya menyuplai kebutuhan di daerah lain hingga 18 provinsi khususnya Sulawesi dan Indonesia Timur dan sebagian Barat khususnya. Untuk menyebut beberapa daerah itu diantaranya Kendari, Palu, Gorontalo, Menado, Maluku, Kalimantan khususnya bagian Timur, pelosok Papua dari Sorong hingga Mereuke, sebagian Bali, NTT dan NTB bahkan beberapa bagian di Jawa Timur, Jawa Barat, Banten hingga DKI Jakarta. Bahkan pasar Terong juga mampu menyuplai sebuah Negara termuda, yakni Timor Leste.Tulisan ini saya buat tepat satu hari sebelum Ujian Tengah Semester saya mengenai Analisis Dampak Lingkungan. Secara kebetulan juga, ini merupakan bahan UTS saya yaitu terkait dengan AMDAL Pasar Terong di Kota Makassar.Pada awalnya saya sama sekali tidak terkesan dengan laporan yang diteliti oleh teman angkatan saya ini, mengingat permasalahan yang terjadi pada Pasar Terong adalah sesuatu yang lumrah pada seluruh pasar yang ada di kota ini. Tapi akhirnya dengan terpaksa saya harus mempelajari semua materi penelitian ini karena biar bagaimanapun ini adalah bahan UTS saya besok. Lalu saya mengambil inisiatif untuk mempermudah cara saya mempelajari hasil penelitian teman saya ini, kenapa tidak saya rangkum saja ulang point-point penting yang nantinya saya postingan di Blog (tentunya setelah minta izin dari yang punya ^_^ he.he )1. Gambaran Umum Pasar TerongPasar Terong berada di wilayah Kecamatan Bontoala yang dimana merupakan kecamatan bagian dari BWK B Kota Makassar, dimana fungsi utama dari BWK B Kota Makassar menurut Dinas Tata ruang Kota Makassar adalah sebagai fungsi perdagangan dan pelayanan jasa social atau saat ini di sebut dengan fungsi Kawasan Perdaganagn Terpadu.

Pasar terong merupakan salah satu pasar traditional di kota Makassar khususnya berada pada Kec. Bontoala. Pasar Terong ini merupakan pasar yang cukup besar dengan skala pelayanan tingkat kota.2. Pasar Terong dari Masa ke MasaLahirnya pasar Terong berawal di awal tahun 1960 dimana masyarakat di sekitar Maccini dan Baraya yang menjadi area migrasi semakin padat, dan pasar kalimbu yang berdiri lebih dulu tidak mampu lagi mengakomodir pembeli yang semakin padat. Namun seiring berjalannya waktu, pasar terong menyisakan persoalan kesemrawutan.

Kurang lebih 7 tahun sejak munculnya pertama kali, bangunan pasar mulai terlihat di tahun 1967 hingga 1968. Menurut beberapa pedagang yang hidup saat itu, wujud pasar hanyalah bertiangkan bambu dan beratapkan nipa. Saat itu, kanal Panampu belum selebar dan sekotor sekarang ini. Kanal itu dulunya hanya sebuah got besar yang oleh penduduk setempat disebut solongang lompoa yang dipenuhi kangkung dan rumput liar di kedua sisinya.

Pasar terong ini sebelum mengalami revitalisasi tahap satu di Era Pemerintahan Daeng Patompo pada tahun 1972 menyusul tahap kedua di masa Malik B. Masri tahun 1994 adalah pasar rakyat. Menjelang tahun 1994, ide untuk melakukan revitalisasi pasar tahap kedua bergulir. Berawal dari sebuah studi banding yang dilaksanakan oleh walikota Makassar saat itu, Malik B. Masri di Hawaai, USA, terbersitlah keinginan merombak pasar Terong menjadi sebuah pasar modern. Saat itu, terpilihlah PT. Prabu Makassar Sejati sebagai developer dimana Ferry Soelisthio sebagai komisaris yang memenangkan tender untuk revitalisasi pasar tradisional. Mulailah persoalan baru muncul menghampiri pedagang pasar Terong.Sayangnya sang walikota memasang target dan studi banding yang terlalu tinggi dengan keadaan social masyarakat Makassar yang ada, bagaimana bisa Pasar tradisional di Hawai di jadikan kiblat dalam perencanaan pasar tradisional di Kota Makassar?! Perbedaan kultur saja sudah dengan sangat jelas menegaskan antara perbedaan behavior masyarakat Kota Daeng dengan negeri barat. Begitulah tahap kedua revitalisasi yang terjadi, jika dilihat sangat tidak akuntable dengan keadaan real lapangan tapi tetap di paksakan yang justru menimbulkan warisan permasalahan yang tak kunjung ada penyelesaian.

Adapun beberapa masalah yang timbl pada revitalisasi tahap kedua ini yaitu tidak lain dan tidak bukan persoalan klasik juga mencuat, harga kios dan lods terlampau mahal bagi pedagang kecil yang mendominasi berdagang di Pasar Terong. Banyak yang dengan terpaksa membeli kios yang berharga 40 80 juta rupiah atau lods bagi pedagang kecil karena tiada pilihan lain, walau banyak pula yang memilih mengisi badan jalan di luar bangunan yang kini berdiri.

Masalah lain timbul seiring kepindahan pedagang ke dalam gedung baru. Tidak sampai 6 bulan, para pedagang basah kecewa dengan sulitnya proses angkut barang naik turun setiap harinya. Belum lagi pembeli yang tidak ingin naik hingga ke lantai 2 apalagi 3. Pembeli berkurang berarti pemasukan minim. Pemasukan minim berimplikasi pada cicilan tempat terhambat sementara biaya untuk mencukupi anggota keluarga di rumah juga dituntut setiap harinya. Akhirnya banyak pedagang memilih keluar dan meninggalkan tempat mereka yang sudah dibeli dan sedang berjalan cicilannya. Ramailah kembali badan-badan jalan, lorong, trotoar, dan berbagai sudut pasar yang memungkinkan untuk ditempati. Sementara di lain pihak, Developer melalui perjanjian yang dibuat dengan pedagang pembeli kios/lods menikmati keuntungan akibat macetnya cicilan yang membuat uang muka (DP) dan diskon 12 persen menjadi milik developer tanpa harus kehilangan kios dan lods yang sudah dibeli pedagang. Hingga kini, masalah ini masih menyisakan banyak kekecewaan di hati pedagang yang terlanjur membayar mahal namun kehilangan daya melanjutkan cicilan. Tidak membayar selama 3 bulan berturut-turut berarti kehilangan uang DP dan diskon 12 persen.

Memasuki awal tahun 2000-an keadaan pasar semakin semrawut. Pengusaha atau developer dan pedagang berada dalam kerugian akibat model bangunan yang dipaksakan dalam kondisi yang berbeda kultur. Pedagang pasar Terong tumbuh dalam budaya hamparan yang melebar horisontal dan kini dihadapkan pada area dengan bangunan vertikal meninggi ke atas. Mereka lalu memilih kembali melebar. Karena maraknya pedagang di luar gedung ketimbang di dalam gedung maka secara naluria dan berdasarkan kebiasaan pemerintah masa itu persoalan ini akan diselesaikan melalui pembersihan pedagang di luar gedung yang kemudian dicap liar. Maka ditempuhlah beragam cara baik legal maupun di luar kerangka regulasi. Cara legal tentulah melalui jalur resmi pemerintah seperti pengerahan satuan polisi pamong praja atau satpol PP. Lalu cara sebaliknya adalah melalui mobilisasi preman untuk melakukan aksi teror dan penyebaran ketakutan atas pedagang di pasar. Bahkan, kedua model ini dapat bekerja secara bersamaan sebagaimana terjadi di tahun 2003, 2005, dan 2007. Dimana preman dan satpol PP turut andil dalam serangkaian pembongkaran dan penggusuran kepada pedagang.

3. Dampak Positif & Negatif Keberadaan Pasar Teronga. Dampak SosialDampak aspek sosial adalah perubahan yang terjadi pada manusia dan masyarakat yang diakibatkan oleh aktivitas pembangunan. (PP 51/1993 sebagai Rencana Tata Usaha atau Kegiatan). Adapun sampak social yang timbul disebabkan oleh keberadaan Pasar Terong sebagai berikut:

o Bau di sekitar lokasi pasar terong yang menjadi tercemar oleh bau sampah yang menumpuk o kemacetan lalu lintas yang terjadi di depan pasar terong tepatnya di jalan Gunung Bawakaraeng. o Behaviour Masyarakat, yang lebih menyukai untuk berjualan di pinggir kanal yang semestinya di jadikan jalan alternatif dari bagian luar pasar terong dibandingkan menempati stand atau toko yang sudah disediakan di dalam bangunan pasar terong.o Atitude Masyarakat, yang suka membuang sampah sembarangan atau langsung ke bagian permukaan saluran kanal maupun drainase. o Terpengaruhinya pola hidup masyarakat sekitar dengan kebiasaan buruk seperti membuang dan menumpuk sampah sembarang tempat sehingga dapat menjadi produsen bau yang tidak sedap serta tidak bagus untuk kesehatan. o Kondisi di sepanjang pinggiran kanal yang menimbulkan kesan kumuh, dan tidak rapi di dalam area pasar tradisional tersebut. b. Dampak Ekonomio Kesempatan berjualan masyarakat lebih besar apabila berjualan di pinggir kanal dibanding dalam bangunan. i. Hal ini lebih dikarenakan oleh faktor daya tarik atau minat penduduk selaku pembeli yang kebanyakan enggan memilih untuk masuk berbelanja ke dalam bangunan. ii. Selain itu, hal ini juga lebih dikarenakan oleh kemudahan pembeli menjangkau produsen/penjual apabila berjualan di pinggiran kanal dibanding jika berada dalam bangunan terlebih lagi jika berada di atas lantai 3 atau 4 bangunan. o Perdagangan berupa pelayanan enceran dan grosiran.o Penanam Modal dilakukan perseorangan dengan kata lain tidak memiliki investor dalam perkembangan perdagangan yang ditawarkan.c. Dampak Fisiko Perumahan. Banyak pedagang yang menjadikan stand tempat mereka berjualan sebagai tempat tinggal mereka. Hal ini dapat dilihat di sepanjang stand pasar yang berada di luar gedung pasar.o Fasilitas komersil. Tidak memadai karena tidak adanya investor dari Pasar Terong ini yang mewadahi proses perdagangan di Pasar Terong ini.o Jalan. Lebar jalan masuk Pasar Terong 2,5 m. kondisi jalan tidak baik karena banyak ditemukan lubang dan sudah mengalami kerusakan sehingga pada musim hujan sering tergenang airo Fasilitas masyarakat. Yang ditemukan di lapangan yaitu berupa prasarana jaringan air bersih, jaringan drainase yang kondisinya tidak baik/rusak sehingga air limbah dari tiap-tiap kios terbuang ke jalan masuk, terdapat jaringan listrik dan telekomunikasi, tidak/jarang ditemukannya fasilitas persampahan berupa tempat sampah.o Ruang terbuka. Ruang terbuka di sepanjang kios di luar gedung hanya berupa jalan. Ruang terbukadi dalam gedung berupa koridor, jalan, dan lain-lain.o Udara. Oleh karena padatnya Pasar Terong, membuat udara disekitarnya terasa panas dan bau yang tidak sedap dapat dirasakan oleh karena bau sampahyang dihasilkan dari kanal.

4. Kesimpulan & RekomendasiDari uraian yang terlampir diatas ada beberapa hal yang bisa disimpulkan terkait keberadaan Pasar Terong, yaitu:a. Keberadaan Pasar Terong sebagai pasar tradisional membutuhkan pengembangan yang sesuai dengan kultur setiap stake holder yang nanti akan menggunakan pasar ini. Sehingga dalam pengembangannya oleh para developer maupun Pemda Makassar haruslah memperhatikan setiap komponen dalam perencanaan dan pengembangannnya.b. Lokasi Pasar Terong yang berdekatan dengan Pusat Kota Makassar akan memberikan pencitraan tersendiri bagi Kota Makassar terutama mengenai dampak berbagai aspek yang ditimbulkan sehingga di perlukan manajemen kawasan perdagangan yang kondusif, stabil dan tidak memihak personal maupun kelompok guna menertibkan area lokasi pasar yang dianggap tidak sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan.c. Permasalahan yang timbul di Pasar Terong sebagian besar terjadi disebabkan oleh kurangnya komunikasi yang baik antara pedagang, dengan Pemerintah Daerah maupun pihak Developer. Sehingga alangkah baiknya jika dalam perencanaannya dimasa yang akan datang terutama jika akan dilakukan revitalisasi kembali, Pemda haruslah bersifat transparan terhadap para pedagang dan menjelaskan semua program dan tujuan revitalisasi agar tidak terjadi kerugian pada salah satu pihak (terutama pada pihak pedagang seperti kejadian sebelumnya).d. Terkait behavior warga disekitar Pasar Terong yang kerap berperilaku tidak peduli dengan lingkungan sekitar haruslah diberikan penyuluhan-penyuluhan akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.Sumber: Rangkuman Makalah "DAMPAK PASAR TERONG TERHADAP LINGKUNGAN SEKITAR KANAL/DRAINASE" oleh Agnes Melinda, dkk (Mahasiswa Teknik Pengembangan Wilayah & Kota-Unhas. Angkatan 2009)salah satu cara pandang yang keliru dalam melihat masalah lingkungan adalah menyalahkan korban.

Dengan uang retribusi kebersihan--1500 rupiah/pedagang--dari sekitar 2000 orang pedagang, harusnya lingkungan Pasar Terong bisa lebih bersih dari Boulevard atau perumahan elit lainnya di Kota Makassar.