Tugas Kelompok Ppk Blok Endokrin

download Tugas Kelompok Ppk Blok Endokrin

of 26

Transcript of Tugas Kelompok Ppk Blok Endokrin

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Goiter nontoksik disebut juga simple goiter atau goiter endemik atau gondok endemik. Goiter nontoksik adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid yang dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Menurut Price and Wilson (2006), penyebab penyakit ini adalah defisiensi yodium atau gangguan kimia intratiroid yang disebabkan oleh berbagai macam faktor. Sehingga mengakibatkan terganggunya kapasitas kelenjar tiroid untuk menyekresi tiroksin kemudian terjadi peningkatan kadar TSH dan hiperplasi serta hipertrofi folikel-folikel tiroid. Apabila gangguan fungsi tiroid berat, goiter dapat disertai hipotiroidisme. Sehingga untuk memastikan status fungsional goiter tersebut perlu pengukuran T4 serum bebas dan kadar TSH. Kasus yang kami observasi adalah penyakit goiter nontoksik. Pemilihan kasus tersebut dilatarbelakangi oleh tingginya kejadian tersebut di wilayah dusun Paten. Sesuai pada teorinya bahwa penyebab tersering goiter nontoksik adalah akibat kekurangan yodium yang pada akhirnya terjadi pembengkakan pada leher pasien. Seperti yang kita ketahui bahwa dusun Paten merupakan daerah lereng gunung. Sehingga permukaan tanahnya lebih curam. Ketika terjadi hujan, kandungan yang ada di tanah (termasuk yodium) ikut terbawa air hujan menuju daerah yang permukaan tanahnya lebih landai atau ke laut. Akibatnya, kandungan yodium di wilayah tersebut berkurang. Karena terjadinya penyakit goiter nontoksik ini dipengaruhi oleh faktor endemisitas yang jarang ditemukan di daerah lain, maka kami sebagai penulis memilih Goiter nontoksik sebagai kasus untuk penugasan blok endokrin.

Epidemiologi Kriteria endemis gondok menurut DepKes RI, dikatakan endemis ringan apabila prevalensi gondok diatas 10%- < 20%, untuk endemik sedang yaitu 20%29%, dan untuk endemik berat bila lebih dari 30%. Dilaporkan dalam MIDS Working Paper (1993), Gondok ini sering ditemukan di daerah pegunungan seperti di pegunungan Alpen, Himalaya, Andes, dan lain sebagainya. Survei ini biasanya dilakukan dengan cara palpasi yaitu adapun menurut klasifikasi Perez atau modifikasinya (1960): Grade 0 Grade I Grade II Grade III : tidak teraba. : teraba dan terlihat hanya dengan kepala ditengadahkan. : mudah dilihat, kepala posisi biasa. : terlihat dari jarak tertentu.

Perubahan awal gondok harus diwaspadai maka adanya grading system, grade I dibagi menjadi 2 klas yaitu: Grade Ia : tidak teraba atau jika teraba tidak lebih besar dari kelenjar tiroid normal. Grade Ib : jelas teraba dan membesar, tetapi umumnya tidak terlihat meskipun kepala posisi tengadah. Ukuran tiroid disebut normal apabila sama atau lebih besar dari falangs akhir ibu jari tangan pasien. Kemudian, lebih disederhanakan lagi dengan modifikasinya tahun 2001: Grade 0 Grade I : tidak terlihat maupun teraba gondok. : gondok teraba tapi tidak terlihat bila leher dalam posisi biasa.

Adanya nodul daat dimasukkan dalam grade ini. Grade II : pembengkakan di leher kelas terlihat pada leher dalam posisi normal

dan pada palpasi memang membesar . (Sudoyo et al., 2009) Menurut Gatie (2006), di Indonesia sebanyak 42 juta orang tinggal di daerah kurang yodium. Daerah yang dikatakan endemik berat dan sedang, masih dijumpai di 612 kecamatan serta 1167 kecamatan dengan endemik ringan. Total kecamatan di Indonesia sebagai daerah endemik GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium) mencapai 45%.

BAB II PERJALANAN ALAMIAH PENYAKIT

Faktor Risiko Faktor risiko terjadinya gondok endemic adalah orang yang hidup di daerah berkapur dan daerah yang banyak mengalami erosi, misalnya di daerah pegunungan. Sebab, zat yodium merupakan zat yang mudah larut air. Sehingga, apabila terjadi erosi, yodium yang ada ditanah ikut terkikis dan terbawa ke air laut. Unsur ini dibawa oleh angin dan hujan ke daratan kembali melewati siklus laut udara dan daratan. (Sudoyo et al., 2009) Kebanyakan unsure yodium didapat dari makanan. Penduduk yang tinggal dipegunungan lebih sering mengonsumsi sayuran daripada hewani, sebab di dataran tinggi cocok untuk hidup berbagai tumbuhan. Namun, saat kondisi tanah kehilangan unsure yodium oleh karena berbagai sebab, mengakibatkan tumbuhan tidak memperoleh yodium dari tanah dimana tanaman tersebut tumbuh. Pada akhirnya, menyebabkan seseorang menderita penyakit yang berhubungan dengan kekurangan yodium, misalnya penyakit gondok. Kemudian, faktor risiko lain untuk terjadi goiter adalah orang-orang yang mengonsumsi zat yang bersifat goiterogen. Misalnya tiosinat, cyanogenic, glycosides merupakan kelompok goiterogen yang dapat memberi pengaruh buruk ada mekanisme transport yodium. Kemudian tioglikosid, isotiosinat, disulfide, merupakan kelompok goiterogen yang mempengaruhi mekanisme okidasi dan organifikasi. Selain itu, sayuran seperti kol juga merupakan goiterogen bila dikonsumsi sangat berlebihan. (Sudoyo et al., 2009)

Patogenesis Sudoyo et al. (2009) mengatakan bahwa defisiensi yodium dapat menjadi penyebab utama terjadinya gondok endemik. Tubuh akan melakukan respon berupa

adaptasi terhadap kekurangan yodium dalam makanan dan minumannya. Dimana yodium organik ditimbun dalam kelenjar tiroid atau diekskresikan lewat urin. Hormon tiroid disekresikan dari kelenjar tiroid dalam bentuk tiroksin (T4) dan bentuk aktif dari hormon ini adalah triiyodotironin (T3). Proses ini dibagi dalam beberapa tahap yang hampir semuanya di stimulasi oleh TSH, yaitu: a. Tahap trapping b. Tahap oksidasi c. Tahap coupling d. Tahap penimbunan atau storage e. Tahap deiyodinasi f. Tahap proteolisis g. Tahap pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid

Menurut Sjamsuhidat and Jong (2005), Proses awalnya yaitu dari pengambilan yodida anorganik, yang diserap dari saluran cerna, kemudian kadar zat ini dipekatkan, sehingga menyebabkan afinitasnya sangat tinggi di jaringan tiroid. Setelah itu, yodida anorganik ini mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan akan menjadi bagian dari tirosin yang terdapat dalam tiroglobulin sebagai monoyodotirosin atau deyodotirosin. Kemudian senyawa-senyawa ini mengalami konjugasi DIT dengan MIT yang akan menghasilkan T3 atau T4 yang akan disimpan dalam koloid di kelenjar tiroid. T4 sebagian dilepaskan ke sirkulasi darah dan mengalami proses deiyodinasi. Pada tahap ini, T4 sebagian besar diubah dalam bentuk T3. Dalam sirkulasi darah T4 mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap protein pengikat (TBG/ thyroidbinding globulin) dibanding T3. Akibatnya, T3 lebih mudah berpindah ke jaringan sasaran, sehingga hal ini merupakan alasan mengapa T3 lebih mempunyai aktifitas metabolik yang lebih besar dibanding T4. Kemudian di tahap sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid (TSH) yang dihasilkan dari lobus hipofisis anterior. Sehingga

pengeluaran TSH di hipofisis ini sebagian dipengaruhi dan diatur aktivitasnya oleh kadar hormon tiroid di dalam darah, yang bertindak sebagai negative feedback dan juga sekresi TRH di hipotalamus. Menurut Guyton and Hall (2008), secara fisiologis, salah satu fungsi yodium adalah untuk sintesis hormon tiroid. Sehingga, ketika terjadi defisiensi yodium akan mencegah produksi hormon tiroksin dan triiyodotironin. Akibatnya tidak tersedia hormon yang akan ipakai untuk menghambat produksi TSH oleh hipofisis anterior.Hal ini menyebabkan kelenjar hipofisis menyekresi banyak sekali TSH. Selanjutnya, TSH merangsang sel-sel tiroid menyekresi banyk sekali koloid tiroglobulin ke dalam folikel sehingga kelenjarnya semakin besar. Karena yodium kurang, produksi tiroksin dan triiodotironin tidak meningkat dalam bentuk tiroglobulin. Oleh karena itu, tidak ada penekanan secara normal pada produksi TSH oleh kelenjar hipofisis. Sehingga ukuran folikel menjadi sangat besar dan kelenjar tiroidnya membesar hingga 10-20 kali dari normal. Selain itu, ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kelenjar tiroid dapat membesar yaitu adanya goitrogen yang merupakan zat atau bahan yang dapat mengganggu hormogenesis tiroid. Peran klinis goitrogen terjadi apabila setelah yodium yang adekuat diberikan tapi tidak terlihat adanya penurunan prevalensi gondok. Adapun sayur kol bersifat goitrogen yang apabila dikonsumsi sangat banyak sampai 10 kg per hari dapat menyebabkan membesarnya gondok. (Sudoyo et al., 2009)

Komplikasi Komplikasi dari goiter nontoksik diantaranya adalah: 1. Dilatasi vena Sebagai akibat pembesaran kelenjar tiroid yang menekan vena di leher, sehingga aliran darahvenaterhambatmenyebabkandilatasi venadi leher.

2. Obstruksi Goiter yang besar dapat menimbulkan masalah kompresi mekanik disertai pergeseran letak trakea dan esofagus, dan gejala-gejala obstruksi. (Price and Wilson, 2006). Obstruksi pada trakea dan esofagus ini menyebabkan pasien mengalami dyspneu dan dysfagia. Menurut Sharma et al. pembesaran kelenjar tiroid dapat mendesak trakea sehingga lebih dari 70% dapat menyebabkan obstruksi sauran pernapasan atas. Menurut penelitian, 45% penderita goiter mengalami sesak napas baik saat sedang beraktivitas maupun saat istirahat (tidur). Hasil spirometri pada pasien yang asimtomatis pun menunjukkan adanya obstruksi pada saluran napas, hal ini dikarenakan progresivitas yang lambat pada pembesaran kelenjar tiroid sehingga pasien telah beradaptasi dan tidak menunjukkan gejala obstruktif akut. 3. Hipotiroidisme Menurut Price & Wilson (2006) bila gangguan fungsi tiroid berat, goiter dapat disertai hipotiroidisme dengan segala komplikasinya seperti miksedemadan atherosklerosis. Wanitahamildidaerah endemic GAKY akan mengalami berbagai

gangguan kehamilanantara lain abortus, bayi lahir mati, serta hipothryroid pada neonatal dan kongenital yang dapat menyebabkan kretinisme. Setiap penderita gondok akan mengalami defisit IQ Point sebesar 5 Point dibawah normal, sedangkan penderita kretinisme akan mengalami deficit sebesar 50 Point dibawah normal. Kurangnya hormon tiroid meningkatkan jumlah kolesterol dalam darah karena terganggunya metabolisme lemak dan berkurangnya ekskresi kolesterol oleh hati ke dalam empedu. Peningkatan kolesterol dalam darah biasanya berkaitan dengan meningkatnya resiko atherosklerosis. Oleh karena itu, banyak pasien hipotiroidisme, terutama yang diserta gejala miksedema, akan menderita arteriosklerosis, yang selanjutnya menimbulkan penyakit vaskuler perifer,

ketulian, dan penyakit arteri koroner berat yang dapat menyebabkan kematian pada umur muda. (Guyton and Hall, 2008) Koma miksedema disebabkan oleh hipotiroidisme yang hebat dan berlangsung lama. Keadaan ini termasuk gawat darurat, yang meskipun segera diobati, mortalitasnya 60%. Koma miksedema ditandai dengan eksaserbasi semua gejala hipotiroid.( Gunawan, 2008) Setidaknya ada empat mekanisme yang turut berperan dalam terjadinya anemia pada pasien hipotiroidisme: (1) gangguan sintesis hemoglobin sebagai akibatdefisiensi hormone tiroksin; (2) defisiensi zat besi dari peningkatan kehilangan zat besi akibat menoragia, demikian juga karena kegagalan usus untuk mengabsorbsi besi; (3) defisiensi asam folat akibat gangguan absorbs asam folat pada usus; dan (4) anemia pernisiosa, dengan anemia

megaloblastikdefisiensi vitamin B12. Prognosis Prognosa dari endemik goiter adalah baik. Apabila penanganannya cepat dan tepat, yaitu dapat dengan memberi terapi berupa obat atau melalui proses pembedahan pada goiter tersebut.

BAB III TINDAKAN PENCEGAHAN ATAU PROGRAM KESEHATAN Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri dari berbagai factor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya goiter endemic adalah : a. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku makan dan memasyarakatkan pemakaian garam yodium. b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut. c. Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium setelah dimasak, tidak dianjurkan memberikan garam sebelum atau saat memasak untuk menghindari hilangnya yodium dari makanan. d. Iodisasi air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi goiter. e. Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di aerah endemic berat dan sedang. Sasaran pemberiannya adalah semua pria berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk wanita hamil dan menyusui yang tinggal di daerah endemis berat dan sedang. Dosisnya bervariasi sesuai umur dan jenis kelamin. f. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3 tahun sekali dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6 tahun adalah 1cc dan untuk anak kurang dari 6 tahun adalah 0,2-0,8 cc. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu penyakit, mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit yang dilakukan melalui beberapa cara, yaitu :

a. Pembedahan (tiroidectomy) : Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelumpembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan struma dilakukan 3-4 minggusetelah tindakan pembedahan. b. Lipiodol oral maupun intramuscular : dianggap sebagai tindakan gawat darurat untuk mengatasi defisiensi yodium berat. Dapat juga diberikan untuk pencegahan. Keuntungannya adalah hanya perlu diberikan setiap satu sampai tiga bulan sekali, efek sampingnya sangat sedikit, hanya abses pada tempat suntikan. c. Thyroid hormone replacement therapy : merupakan obat pilihan utama untuk replacement therapy pada hipotiroidisme, kretinime, dan hipotiroid subklinis yang disertai goiter (GAKY). Terapi dilakukan untuk menormalkan kadar TSH (0,5-5,0 IU/ml). Bila terapi berlebihan dapat menyebabkan

osteoporosis dan disfungsi jantung. Levotiroksin 1. Dewasa : Dosis awal 50-100 microgram/hari diberikan sebelum sarapan, kemudian dapat ditingkatkan 25-50 microgram/hari setiap 3-4 minggu tergantung respon (dosis rumatan 100-200 microgram/hari). Pada pasien dengan gangguan jantung usia diatas 50 tahun, diberikan dosis awal 25 microgram/hari, kemudian dapat ditingkatkan 25 microgram/hari tegantung respon (dosis rumatan 50-200 microgram). 2. Koma miksedema : IV 200-300 g atau 500 g oral. 3. Kretinime / hipotiroidisme kongenital : Pada bayi hipotiroidisme kongenital 10-15 g/ kg/ hari, setelah 1-2 minggu akan meningkatkan kadar total serum tiroksin pada sebagian bayi baru lahir. Selama 6 bulan pertama terapi, dosis untuk pasien

disesuaikan dengan interval waktu 4-6 minggu, kemudian dengan interval 2 bulan pada bulan ke 6 sampai bulan terapi ke 18, dan setelah itu dengan interval 3-6 bulan untuk dapat mempertahankan kadar tiroksin serum antara 10-16 g/dL dan TSH serum yang normal.

Pencegahan Tersier Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik, dan social penderita setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : a. Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk memastikan dan mendeteksi adanya kekambuhan atau penyebaran. b. Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan c. Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya diri, fisik sehat, dan diterima masyarakat dengan melakukan fisioteapi yaitu rehabilitasi fisik, psikoterapi (rehabilitasi jiwa), sosial terapi, dan rehabilitasi aesthesis (berhubungan dengan kecantikan).

BAB IV PEMBAHASAN HOME VISIT

Laporan Kasus Identitas pasien Nama Umur Pekerjaan Alamat Anamnesis Keluhan utama : benjolan di leher depan : Ny. Sati : 81 tahun : Petani : Dusun Paten

Riwayat penyakit sekarang Benjolan timbul sejak usia kurang lebih 20 tahun (setelah memiliki 2 anak). Saat itu terdapat satu benjolan yang sangat besar. Benjolan hanya terdapat di leher depan. Namun, saat ini benjolan sebesar bola tenis dan dirasakan tidak ada nyeri tekan. Terdapat dua benjolan di leher depan pasien. Baik istirahat maupun beraktivitas benjolan tidak mengecil. Kemudian, sekitar usia 30-40 pasien pernah memeriksakan diri kepuskesmas sebanyak 3 kali, dan benjolannya dirasakan mengecil tetapi belum hilang sepenuhnya. Selain itu, sejak dahulu hingga sekarang, pasien mengalami sesak napas saat beraktivitas maupun sedang beristirahat, dan mendengkur saat tidur. Kualitas sesaknya dirasa sedang atau tidak terlalu berat. Selama ini pasien mengaku tidak mengalami sulit menelan. Dari gejala-gejala tersebut tidak menggangu aktivitas pasien. Pasien mengalami gangguan pada pendengarannya. Nafsu makan baik, dan berat badan stabil.

Anamnesis sistem Cerebrospinal Cardiovascular Respirasi : pusing (-), demam (-), pingsan (-) : berdebar-debar (-), nyeri dada (-) : sesak napas (+), batuk (-), pilek (-)

Digesti

: Nafsu makan normal, Berat badan stabil, nafsu makan stabil, BAB normal

Uropoetika Musculoskeletal Integumentum Indera

: BAK normal : cepat lelah (+) : pucat (-), udem (-) : pendengaran terganggu

Riwayat penyakit dahulu Riwayat diabetes tidak diketahui Riwayat hipertensi tidak diketahui Riwayat mondok disangkal

Riwayat penyakit keluarga Orang tua pasien juga memiliki benjolan di leher Riwayat diabetes tidak diketahui Riwayat hipertensi tidak diketahui

Kebiasaan dan Lingkungan Suka makan sayuran. Kegiatan sehari-hari semacam bertani. Tetangga banyak yang mengalami benjolan besar dileher. Sangat jarang mengonsumsi obat-obatan.

Pemeriksaan Status generalisata Keadaan umum Tanda vital : baik, compos mentis : TD :150/80 mmHg Nadi : 60 kali Respirasi : 23 kali

Suhu : 370 C. Kepala Leher Inspeksi : tampak 2 benjolan pada leher depan sedikit ke sisi kiri dan sisi kanan, kanan > kiri, pada pencahayaan tangensial terdapat bayangan gelap, benjolan bergerak sesuai gerakan menelan, kulit pada leher tidak tampak kemerahan, Palpasi : benjolan teraba membesar, tidak simetris (kanan sedikit lebih besar daripada bagian kiri), tidak bernodul, tidak ada nyeri tekan, benjolan mengikuti gerakan menelan. Konsistensi kenyal. Pada palpasi nodus submandibula sebelah kiri teraba 1 benjolan kecil kurang lebih sebesar biji kacang merah Auskultasi : tidak terdengar adanya bruit. : konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-)

Thorax dan abdomen : tidak dilakukan Extremitas : tidak ada udem

Pemeriksaan Penunjang Tes TSH (tidak dilakukan) Tes T3 dan T4 serum (tidak dilakukan) Diagnosis Diagnosa banding Diagnosa kerja : goiter non toksik, goiter nodular toksik. : goiter non toksik

Terapi Levotiroksin Diet tinggi yodium

Rencana Tindakan Untuk lebih menegakan diagnosis dan mengetahui status fungsional goiter tersebuttes T3 dan T4 serta tes TSH Tes kandungan garam (sebaiknya secara periodic) untuk melihat apakah garam diwilayah tersebut mengandung yodium. Mengingat wilayah tersebut kekurangan zat yodium, sehingga membutuhkan cara lain untuk memenuhi kebutuhan yodium, misalnya melalui garam.

Edukasi Meningkatkan konsumsi yodium sesuai dengan kebutuhan yodium perhari Mengurangi bahan makanan yang bersifat goitrogenik seperti sawi, singkong, ubi, dan kol. Ketika memasak gunakan garam beryodium Mengikuti penyuluhan mengenai gondok

Analisis/ Evaluasi Kasus KU Benjolan di leher depan merupakan suatu pertanda adanya gangguan pada organ-organ yang terletak di leher depan, misalnya kelenjar tiroid, paratiroid, dan lain-lain. Sebenarnya, dari keluhan ini kita tidak bisa ditentukan satu penyakit, sehingga kemungkinannya adalah adanya pembesaran kelenjar tiroid, pembesaran kelenjar paratiroid, pembesaran limfonodi pada leher, atau adanya suatu keganasan. Namun, dokter dipuskesmas Dukun telah memberi petunjuk mengenai pasien bahwa pasien ini mengalami gangguan pada kelenjar tiroidnya. Sehingga, sampai saat ini, kemungkinan diagnosisnya adalah goiter toksik, goiter nontoksik atau keganasan tiroid. RPS Onset: Sejak usia 20 tahun (setelah memiliki dua anak) Benjolan di leher depan yang timbul sejak usia 20 tahun, menunjukkan bahwa gejala tersebut bersifat kronis atau telah berlangsung lama. Sehingga perlu digali lebih lanjut apa yang menyebabkan benjolan tersebut ada hingga berpuluh-puluh tahun.

Benjolan hanya terdapat di leher depan (1/3 dari atas leher). Keterangan bahwa benjolan hanya ada di leher depan dapat menyingkirkan diagnosis lain seperti pembesaran nodus occipitais, nodus tonsilaris, dan lain-lain. Kemudian keterangan ini memperkuat bahwa kelainan hanya terdapat diorgan leher.

Baik istirahat maupun beraktivitas benjolan tidak mengecil. Keterangan ini memberi petunjuk bahwa tidak ada keadaan yang dapat mempengaruhi ukuran benjolan. Artinya, penyakit ini tidak dapat sembuh sendiri atau dengan kata lain, penyakit ini membutuhkan tindakan khusus untuk mengatasi benjolan ini.

Sekitar di usia 30-40 pasien memeriksakan diri kepuskesmas sebanyak 3 kali, dan benjolannya dirasakan mengecil tapi belum hilang sepenuhnya. Pasien mengaku bahwa sekitar usia 30-40 tahun telah memeriksakan benjolannya tersebut. Pada waktu itu, keterangan dari pasien dan anak pasien bahwa obat yang diberikan hanya semacam vitamin, bukan tindakan bedah. Menurut mereka, setelah diberi obat tersebut, benjolan semakin lama semakin mengecil tetapi belum hilang sepenuhnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan terserang karsinoma adalah kecil. Sebab, biasanya untuk menangani kasus keganasan membutuhkan tindakan yang lebih rumit dan membutuhkan waktu yang lama serta adanya gejala-gejala yang tidak biasa, sepeti penurunan berat badan yang drastis. Sehingga, sampai saat ini kami dapat menyingkirkan keganasan sebagai diagnosis banding.

Dahulu benjolan amat besar. Sekarang benjolan sebesar bola tenis dan dirasakan tidak terdapat nyeri tekan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pengecilan benjolan merupakan efek positif dari obat yang diberikan sebelumnya.

Sesak napas (Kualitas sesaknya dirasa sedang atau tidak terlalu berat) Sesak napas yang terjadi pada pasien kemungkinan merupakan akibat dari pembesaran tersebut. Price and Wilson mengatakan bahwa pembesaran di leher depan dapat menimbulkan masalah kompresi mekanik. Kemudian, menurut Sudoyo et al. (2009), pembesaran dileher dengan ukuran yang besar dapat mengganggu pernapasan, sebab adanya tekanan pada trachea.

Pasien mengaku tidak mengalami susah menelan selama ini. Hal ini ditanyakan dengan tujuan untuk melihat seberapa besar obstuksi mekanik yang ditimbulkan akibat desakan benjolan tersebut. Sebab, seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya bahwa benjolan di leher yang besar dapat menimbulkan masalah kompresi mekanik, disertai pergeseran letak trakea dan esophagus. (Price and Wilson, 2006) Keterangan ini berarti menunjukkan tidak ada penekanan sampai ke esophagus. Sehingga tidak ada gangguan saat menelan.

Pasien mengalami gangguan pada pendengarannya. Gangguan pendengaran yang terjadi pada pasien kemungkinan efek dari usia beliau yang sudah lanjut. Sebab, pasien mengaku bahwa gangguan pendengaran ini baru terjadi dalam waktu dekat. Saat seseorang telah mencapai usia lanjut, semua organ tubuh mengalami penurunan fungsi dan hal tersebut masih dapat dikatakan normal. Anamnesis Sistem Sesak napas : merupakan suatu gejala obstruktif pada saluran pernapasan atas, hal ini disebabkan oleh pembesaran kelenjar tiroid yang mendesak trakea, sehingga saluran napas pasien menyempit. Menurut Sudoyo et al. (2009), gondok merupakan adaptasi terhadap kekurangan yodium. Apabila ukurannya masih sedang, belum menimbulkan suatu masalah yang berarti, tetapi apabila ukuran gondok membesar dapat mengganggu pernapasan karena adanya tekanan pada trakea. Perbesaran ini semakin lama bersifat multinodular, seiring dengan bertambahnya usia.

Cepat lelah : sebagai pertanda adanya gangguan metabolisme tubuh. Penderita hipotiroid biasanya mengalami gangguan metabolisme, sehingga tubuh tidak dapat menghasilkan energi yang cukup. Sudoyo et al. (2009), mengatakan bahwa adanya gondok pada orang dewasa dapat menyebabkan tergangunya konsentrasi dan menyebabkan rasa lesu malaise

RPD Data mengenai riwayat penyakit dahulu, seperti adanya riwayat tekanan darah tinggi atau kencing manis, tidak diketahui. Sehingga perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan ada tidaknya riwayat penyakit tersebut. Namun, tujuan kami menanyakan riwayat penyakit dahulu untuk menentukan penatalaksaan yang tepat untuk pasien. Dikhawatirkan terdapat beberapa makanan atau obat yang tidak dapat dikonsumsi oleh penderita hipertensi dan DM. Sebagai contoh, pada penderita hipertensi sebaiknya jangan terlalu banyak mengonsumsi makanan asin, padahal bagi penderita goiter nontoksik adalah kekurangan yodium, yang pada kenyataannya, menurut Sudoyo et al. (2009), yodium banyak terdapat di makanan. Yodium terkandung dalam garam, cumi yang

dikeringkan, dan lain-lain. Sehigga, mungkin pada pederita hipertensi dapat dicarikan sumber yodium lain yang baik namun tidak memperparah kondisi hipertensinya. RPK Ibu pasien juga menderita penyakit serupa: Pertanyaan terkait riwayat penyakit keluarga bertujuan untuk mencari faktor lain misalnya faktor kongenital. Berdasar pendapat Guyton and Hall (2007), pada masa kehamilan seorang ibu kekurangan asupan yodium, sehingga terpengaruh oleh janinnya. Tubuh anak tersebut menjadi kecil dan mengalami gangguan terhadap kecerdasannya. Sedangkan di kasus ini tubuh pasien terlihat kecil dan tidak mengalami gangguan pada kecerdasannya. Kebiasaan dan Lingkungan Daerah pasien merupakan endemik gondok, tetangga banyak juga yang mengalami kasus tersebut. Menurut Setiadi (2005), telah diketahui sejak lama, timbulnya gondok terutama banyak di temukan di daerah-daerah yang tanah dan airnya kurang

mengandung yodium. Adapun beberapa faktor yang dapat mencetuskan timbulnya gondok ini, yaitu goitrogenik. Dari hasil riset yang dilakukan Williams pada tahun 1974 dikatakan bahwa zat goiterogenik dalam bahan makanan yang dimakan setiap hari akan menyebabkan zat iodium dalam tubuh tidak berguna, karena zat goiterogenik tersebut dapat menghambat absorbsi dan metabolisme mineral iodium yang telah masuk ke dalam tubuh. Goiterogenik adalah zat yang dapat menghambat pengambilan zat iodium oleh kelenjar gondok, sehingga konsentrasi iodium dalam kelenjar menjadi rendah. Selain itu, zat goiterogenik dapat menghambat perubahan iodium dari bentuk anorganik ke bentuk organik dan berakibat pembentukan hormon tiroksin terhambat. Menurut Chapman goitrogen alami ada dalam jenis pangan seperti kelompok Sianida (daun dan umbi singkong , gaplek, gadung, rebung, daun ketela, kecipir, dan terung) ; kelompok Mimosin (pete cina dan lamtoro) ; kelompok Isothiosianat (daun pepaya) dan kelompok Asam (jeruk nipis, belimbing wuluh dan cuka).

Pemeriksaan Fisik Keadaan umum : baik, compos mentis Tanda vital : TD :150/80 mmHg Nadi : 60 kali Respirasi : 23 kali Suhu : 370 C. Kepala Leher Inspeksi : tampak 2 benjolan pada leher depan sedikit ke sisi kiri dan sisi kanan, kanan > kiri, pada pencahayaan tangensial terdapat bayangan gelap, benjolan bergerak sesuai gerakan menelan, kulit pada leher tidak tampak kemerahan, : konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-)

Palpasi

: benjolan teraba membesar, tidak simetris (kanan sedikit lebih besar daripada bagian kiri), tidak bernodul, tidak ada nyeri tekan, benjolan mengikuti gerakan menelan. Konsistensi kenyal. Pada palpasi nodus submandibula sebelah kiri teraba 1 benjolan kecil kurang lebih

sebesar biji kacang merah Auskultasi Thorax dan abdomen Extremitas : tidak terdengar adanya bruit. : tidak dilakukan : tidak ada udem

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik pada pasien, terdapatnya benjolan pada leher depan pasien baik leher sebelah kanan maupun sebelah kiri. Benjolan sebelah kiri teraba dan terlihat lebih besar dari yang sebelah kanan.benjolan kira-kira sebesar bola tenis. Adanya benjolan pada leher depan menunjukkan adanya perbesaran pada kelenjar tiroid.Perbesaran kelenjar tiroid bisa disebabkan oleh goiter toksik maupun nontoksik, peradangan pada tiroid (tiroiditis), ataupun suatu keganasan. Suhu pasien yang normal, tidak adanya nyeri tekan, dan leher tidak tampak kemerahan menunjukkan tidak ada tanda-tanda peradangan pada leher (kelenjar tiroid) pasien.Maka tiroiditis dapat disingkirkan dari diagnosis. Nafas pasien sedikit meningkat (23x/menit) terlihat cepat dan pendek, menunjukkan adanya suatu obstruksi pada saluran napas atas. MenurutPrice & Wilson (2006), goiter yang besar dapat menimbulkan masalah kompresi mekanik disertai pergeseran letak trakea dan esofagus, dan gejala-gejala obstruksi. Pemeriksaan Penunjang o Tes Fungsi Hormon Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan melalui tes-tes fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total T4dan T3 serum diukur dengan radioligand assay. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay

radioimunometrik. Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada pasien autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid. Pada pasien goiter non toksik maupun hipotiroidisme akan didapatkan hasil kadar hormone tiroid (T4 dan T3) serum rendah, sedangkan kadar TSH serum tinggi. Hal ini disebabkan oleh kelejar tiroid yang tidak mampu memproduksi hormone tiroid sehingga kadar T4 dan T3 serum rendah dan tidak aktifnya umpan balik negative terhadap TSH sehingga hipofisis anterior terus memproduksi TSH dengan maksud untuk meningkatkan produksi hormone tiroid. o Foto Rontgen Leher Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat goiter telah menekan atau menyumbat trakea (jalan nafas). o USG USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainankelainan yang dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan karsinoma. o BAJAH (Biopsi Aspirasi Jarum Halus) Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.

Diagnosis Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan seperti demam, nyeri tekan, dan warna kemerahan pada leher, sehingga tiroditis dapat disingkirkan.Gejala toksikosis seperti nafsu makan meningkat namun berat badan menurun, sering

berkeringat, diare, dan takikardi juga tidak tampak pada pasien, sehingga diagnosis mengarah ke goiter non toksik. Menurut Price & Wilson (2006), karsinoma tiroid harus dicurigai berdasarkan tanda klinis jika hanya ada satu nodula yang teraba, keras, tidak dapat digerakkan dari dasarnya dan berhubungan dengan limfadenopati satelit. Dari hasil pemeriksaan fisik pasien, benjolan teraba kenyal dan dapat digerakan. Pasien juga tidak mengakui adanya penurunan berat badan drastis, maka keganasan pada kelenjar tiroid juga bisa disingkirkan. Etiologi goiter nontoksik antara lain adalah defisiensi yodium atau gangguan kimia intratiroid yang disebabkan oleh berbagai faktor. (Price & Wilson, 2006). Mengingat pasien tinggal di daerah endemik GAKY, maka dapat disimpulkan bahwa pasien menderita goiter non toksik akibat defisiensi yodium. Kemudian, berdasar hasil pemeriksaan fisik, benjolan dapat terlihat dan teraba, sehingga termasuk dalam grade 2. Namun, gangguan akibat defisiensi yodium yang dialami pasien belum sampai menyebabkan hipotiroid karena gejala hipotiroid seperti miksedema dan retradasi mental tidak terdapat pada pasien.

Faktor Risiko Khusus untuk pasien kami, faktor risikonya adalah tempat tinggal pasien yang berada di lereng gunung. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa orang yang hidup di daerah berkapur dan daerah yang banyak mengalami erosi, misalnya di daerah pegunungan, dapat meningkatkan risiko terserang penyakit goiter nontoksik atau goiter endemik. Sebab, zat yodium merupakan zat yang mudah larut air. Sehingga, apabila terjadi erosi, yodium yang ada ditanah ikut terkikis dan terbawa ke air laut. Unsur ini dibawa oleh angin dan hujan ke daratan kembali melewati siklus laut udara dan daratan. (Sudoyo et al., 2009) Saat kondisi tanah kehilangan unsur yodium oleh karena berbagai sebab, mengakibatkan tumbuhan dan air kekurangan kandungan yodium. Dan pada

akhirnya, menyebabkan seseorang menderita penyakit yang berhubungan dengan kekurangan yodium, misalnya penyakit gondok.

Penanganan I. Farmakologi Tidak terapi secara farmakologis untuk pasien ini, sebab menurut Fast, et al. (2008), terdapat sepuluh kriteria dimana tidak boleh diberi terapi levotiroksin, yaitu : 1. Serum TSH < 1.0 mLU/l 2. Status postmenopause dan pria diatas 60 tahun 3. Volume tiroid >100ml 4. Goiter intratoraksik 5. Suspect keganasan 6. Dominan kista tiroid 7. Non diagnosis FNA (Fine Needle Aspiration) 8. Riwayat terapi LT4 yang inefektif 9. Peningkatan serum kalsitonin 10. Terdiagnosa osteoporosis atau penyakit kardiovaskuler Pasien yang memilki lebih dari satu kriteria di atas tidak boleh mendapatkan terapi levotiroksin. Kemudian didukung dengan adanya pernyataan dari Salerno, et al. (2008), bahwa penggunaan levotiroksin jangka panjang dapat menyebabkan gangguan fungsi kardiovaskuler. Pasien berumur 81 tahun dan dalam fase postmenopause, serta memiliki ukuran goiter yang besar, sehingga pasien tidak tepat untuk diberikan terapi levotiroksin. Karena pasien berusia di atas 30 tahun, dimana syarat pemberian terapi lipiodol adalah 0-30 tahun untuk wanita, maka pemberian lipiodol atau minyak beryodium, baik dalam bentuk suntikan maupun kapsul, sudah tidak disarankan lagi. II. Non farmakologi

a. Meningkatkan konsumsi yodium sesuai dengan kebutuhan yodium perhari. 90mg untuk anak prasekolah, 120mg untuk anak sekolah dasar, 150mg untuk dewasa, dan 200mg untuk wanita hamil. Diet tinggi yodium dapat diperoleh dari mengkonsumsi : i. Bahan makananlaut segar ii. Garamberyodium. b. Mengurangi bahan makanan yang bersifat goitrogenik seperti sawi, singkong, ubi, dan kol. BAB V PENUTUP

Alhamdulillahirobbilalamin. Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga kegiatan PPK dan pembuatan Laporan Kasus Goiter Nontoksik yang disusun dalam rangka pelaporan kegiatan PPK di Puskesmas Dukun ini dapat terselesaikan. Pelaksanaan PPK di puskesmas Dukun dapat dikatakan lancar. Dari proses pencarian pasien yang sesuai, hingga proses diskusi mengenai penyakit yang di diagnosis, kami tidak menemukan hambatan yang berarti. Selain berjalan cukup lancar, pelaksanaan PPK ini juga menyenangkan. Kami dibimbing bersama dokter yang baik dan dilengkapi dengan pasien-pasien yang ramah. Menurut kami, kegiatan PPK ini sangat bermanfaat, sebab dari kegiatan ini kami mendapat sedikit gambaran tentang bagaimana proses sebenarnya di lapangan bila kami sudah menjadi dokter. Selain itu, kami juga belajar bagaimana berinteraksi dengan pasien. Kemudian, melalui kegiatan ini, kami dapat mengaplikasikan apa yang telah kami pelajari di perkuliahan selama beberapa semester ini. Meskipun pelaksanaan PPK ini dikatakan cukup lancar, tetapi kami juga menemukan beberapa hambatan ketika proses berlangsung. Hambatan-hambatan tersebut diantaranya, bahasa yang dipakai pasien terkadang sulit dimengerti terkait

dengan bahasa daerah yang ada di wilayah Jawa tengah. Selain itu, kurangnya dokter pendamping dalam proses pelaksanaan PPK. Kami berharap, PPK selalu dilaksanakan dalam setiap blok. Kemudian, tersedianya dokter pendamping di lapangan agar kami dapat berdiskusi lebih dalam mengenai kasus yang kami dapatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Fast, et al., 2008. The Mayority Of Danish Nontoxic Goitre Patients Are Ineligeble For Levothyroxine Suppressive Therapy, Journal Compilation 2008 Blackwell Publishing Ltd, 69, 653-658.

Gunawan, et al., 2008. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Guyton and Hall, 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (11th ed). Jakarta: EGC

Price, S. A., Wilson, L. M., 2006. Pathophysiology:Clinical Concepts Of Disease Processes (6th ed). Pendit, B. U. et al, 2006 (Alih Bahasa), EGC, Jakarta.

Salerno, et al., 2008. Long-Term Cardiovascular Effects of Levothyroxine Therapyin Young Adults with Congenital Hypothyroidism, J Clin Endocrinal Metab, 93(7): 2486-2491.

Sharma, et al., 2010. Benign Cervical Multi-nodular Goiter Presenting with Acute Airway Obstruction :a Case Report, Journal of Medical Case Reports 2010, 4 : 258

Sjamsuhidajat, R., Jong, W. D., 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah (2nd ed). Jakarta: EGC.

Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (5th ed). Jakarta: InternaPublishing.