TUGAS KELOMPOK
-
Upload
eka-wijaya-ramdhani -
Category
Documents
-
view
30 -
download
0
Transcript of TUGAS KELOMPOK
TUGAS KELOMPOK
MAKALAH MATA KULIAH FEASIBILITY STUDY
INDUSTRI TELUR ASIN
Disusun Oleh :
DAFTAR ISI
1. Pendahuluan
2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaana. Profil Usaha
3. Aspek Pemasarana. Permintaan & Penawaranb. Persaingan dan Peluangc. Hargad. Jalur Pemasarane. Kendala Pemasaran
4. Aspek Produksia. Lokasi Usahab. Fasilitas Produksi dan Peralatanc. Bahan Bakud. Tenaga Kerjae. Teknologif. Proses Produksig. Jumlah, Jenis dan Mutu Produksih. Produksi Optimumi. Kendala Produksi
5. Aspek Keuangana. Pemilihan Pola Usahab. Asumsic. Biaya Investasi dan Biaya Operasionald. Kebutuhan Investasi dan Modal Kerjae. Produksi dan Pendapatanf. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Pointg. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyekh. Analisis Sensitivitas
6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungana. Aspek Sosial Ekonomib. Dampak Lingkungan
7. Penutupa. Kesimpulanb. Saran
Daftar Pustaka
BAB 1
PENDAHULUAN
Pengasinan telur merupakan salah satu cara penambahan umur simpan
telur yang umum dilakukan oleh masyarakat. Telur asin merupakan salah satu
sumber protein yang mudah didapat dan berharga relatif murah. Telur asin
sebagai bahan makanan yang telah diawetkan mempunyai daya tahan terhadap
kerusakan yang lebih tinggi dibandingkan telur mentah. Telur umumnya
mengandung protein 13%, lemak 12%, mineral dan vitamin. Selain lebih awet
telur asin juga digemari karena rasanya yang relatif lebih lezat dibandingkan telur
tawar biasa.
Photo 1.1. Telur Asin
Konsumen terbesar produk telur asin adalah masyarakat menengah ke
bawah, karena telur asin dapat dijadikan sumber protein hewani yang murah.
Sebagian besar konsumen telur asin adalah penduduk di kota-kota besar.
Disamping untuk konsumen rumah tangga, konsumen lainnya yang sangat
potensial adalah restoran, rumah makan, kapal-kapal laut, rumah sakit, asrama-
asrama, perusahaan jasa boga dan sebagainya.
Perkembangan industri telur asin akan mendorong perkembangan
peternakan itik akan berdampak kepada peningkatan pendapatan para peternak itik
yang umumnya merupakan masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, industri telur
asin dapat dijadikan salah satu usaha yang dapat diandalkan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat menengah dan bawah serta dapat mengurangi
ketergantungan terhadap sumber protein mahal seperti daging.
Pusat-pusat produksi telur asin umumnya berlokasi sama dengan sentra-
sentra penghasil telur itik. Pada tahun 2012 produsen telur itik terbesar di
Indonesiia adalah Provinsi Jawa Barat dengan jumlah produksi 70.447 ton diikuti
dengan Provinsi Jawa Tengah 35.465 ton dan Provinsi Jawa Timur 27.470 ton.
Gambaran tentang industri telur asin ini yang meliputi aspek pasar dan pemasaran,
aspek produksi, aspek keuangan, aspek ekonomi dan aspek lingkungan.
BAB 2
PROFIL USAHA
1. Profil Usaha.
Usaha pembuatan telur asin adalah salah satu jenis industri makanan yang
umumnya berskala mikro dan kecil. Bahan baku utama yang akan dijadikan telur
asin adalah telur itik, sedangkan jenis telur lainnya tidak lazim dilakukan karena
kebiasaan dari masyarakat kita yang menganggap telur asin berasal dari telur itik.
Lokasi industri telur asin umumnya cukup dekat dengan daerah peternakan itik
dan merupakan daerah pesawahan yang luas seperti di Kabupaten Karawang
Di Kabupaten Karawang terdapat dua buah sentra peternakan bebek, yaitu
Kecamatan Jati Sari, dan Kecamatan Tirta Mulya.
Industri telur asin di wilayah Kabupaten Karawang umumnya berbentuk usaha
perorangan dan usaha dagang dengan skala usaha mikro dan kecil. Pengelola
usaha ini umumnya adalah keluarga dengan pelaksana usaha dilakukan sendiri
dengan sebagian besar tenaga kerja tetap merupakan anggota keluarganya. Secara
formal izin-izin yang diperlukan meliputi HO, NPWP, SIUP, dan TDP.
Teknologi yang diperlukan untuk memproduksi telur asin secara umum
merupakan teknologi yang sederhana. Oleh karena itu perbedaan proses produksi
dan kualitas produk telur asin ditentukan berdasarkan cara pengolahannya.
Pada umumnya budidaya ternak itik dilakukan dengan pengembalaan bebas,
dimana mereka mendapatkan pakan dari sisa panen hasil pertanian, sehingga
ketersediaan telur itik sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim dan kegiatan
pertanian yang ada. Kekeringan yang menyebabkan kegagalan panen, akan
mengancam pasokan telur itik ke produsen telur asin dimana akan terjadi
penurunan pasokan telur asin akibatnya terjadi peningkatan harga telur asin di
pasar. Resiko jangka panjang adalah beralihnya pembeli ke produk-produk
makanan yang lain.
BAB 3
ASPEK PEMASARAN
1. Permintaan & Penawaran
a. Permintaan
Industri telur asin mempunyai peranan yang cukup penting bagi industri
pangan nasional terutama dalam memenuhi kebutuhan protein dan lemak
masyarakat. Persentase telur sebagai sumber protein adalah sebesar 2,08% dari
seluruh bahan pangan yang umum dikonsumsi.
Menurut data dari BPS Karawang, produksi telur itik di Kabupaten
Karawang tahun 2011 adalah sebanyak 269.067.395 butir dengan lebih dari 30%
diolah menjadi telur asin.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data mentah dari Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh BADAN PUSAT STATISTIK
pada tahun 1999, 2002 dan 2005, untuk Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa
Timur, DIY dan Indonesia. Data tersebut kemudian diolah berdasarkan tingkat
wilayah (desa, kota) serta berdasarkan tingkat pendapatan (rendah,sedang dan
tinggi).
Dalam table 3.1 menyajikan perubahan konsumsi telur asin menurut wilayah desa
dan kota . Informasi yang didapat dari tabel ini yaitu bahwa secara agregat tingkat
konsumsi telur asin pada tahun 2005 untuk wilayah kota adalah 0,22
kg/kapita/tahun sementara di desa tingkat konsumsi sebesar 0,09 kg/kapita/ tahun.
Kondisi tertinggi terjadi di Wilayah Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
yaitu 0,40 kg/kapita/tahun . Perubahan yang terjadi dari tahun ke tahun terlihat
terus meningkat baik pada wilayah kota maupun desa, di semua provinsi .
Di Indonesia, tingkat konsumsi telur asin meningkat seiring dengan tingkat
pendapatan. Pada tahun 2005, konsumsi telur asin untuk masyarakat
berpendapatan tinggi, tercatat 0,52 kg/tahun/kapita (label 9). Angka ini lebih
tinggi dibanding masyarakat berpenghasilan sedang (0,15 kg/tahun/kapita) dan
yang berpenghasilan rendah yaitu 0,07 kg/tahun/ kapita . Hal ini dapat dipahami
karena untuk masyarakat berpenghasilan tinggi secara otomatis memiliki daya beli
yang lebih besar. Namun bila dilihat perkembangan dari tahun ke tahun nampak
bahwa tingkat konsumsi telur berfluktuatif untuk semua tingkat pendapatan.
Tabel 3.1 Perubahan konsumsi telur asin menurut wilayah (kg/th/kapita)
ProvinsiKota Desa
1999 2002 2005 1999 2002 2005
Jawa Barat 0.13 0.19 0.24 0.13 0.25 0.23
Jawa Tengah 0.14 0.25
0.30 0.07 0.12 0.14
DIY 0.18 0.24
0.40 0.08 0.09 0.12
Jawa Timur 0.14 0.29 0.29 0.06 0.08 0.10
Indonesia 0.09 0.22 0.22 0.05 0.08 0.09
Tabel 3.2 Perubahan tingkat konsumsi telur asin menurut kelompok pendapatan
(kg/th/kapita).
Provinsi
Pendapatan Rendah Pendapatan Sedang Pendapatan Tinggi
1999 2002 2005 1999 2002 2005 1999 2002 2005
Jawa Barat 0.13 0.15 0.12 0.10 0.24 0.28 0.16 0.32 0.30
Jawa Tengah 0.17 0.11 0.10 0.10 0.18 0.23 0.16 0.32 0.42
Jawa Timur 0.06 0.07 0.06 0.10 0.17 0.20 0.16 0.35 0.17
DIY 0.07 0.10 0.14 0.15 0.32 0.39 0.72 0.34 0.37
Indonesia 0.07 0.11 0.07 0.07 0.16 0.15 0.10 0.19 0.52
Meskipun dari sisi statistik tidak terjadi perubahan jumlah konsumsi per
kapita yang drastis, berdasarkan informasi dari pengusaha industri telur asin di
Jawa Barat, diperoleh gambaran bahwa prospek pasar produk telur asin masih
baik, karena ketersediaan bahan baku, jaminan pasar serta dinilai sebagai usaha
yang menguntungkan. Selain itu perluasan pasar dari daerah sentra telur asin ke
daerah-daerah baru semakin meningkat seiring dengan semakin baiknya sarana
dan prasarana transportasi.
b. Penawaran
Analisa pasar terhadap penawaran produk telur asin secara langsung masih
belum dilakukan secara nasional. Perhitungan tidak langsung dapat dilakukan
dengan memperkirakan persentase jumlah telur itik yang diasinkan dibandingkan
produksi telur itik nasional. Data produksi total telur itik di Indonesia dapat dilihat
pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3.
Produksi Telur Itik Indonesia
Tahun Produksi (ton) Pertumbuhan (%)
2000 144.306
2001 157.578 9,2
2002 169.651 7,66
2003 185.037 9,07
2004 194.004 4,85
Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan
Pada Tabel 3.3. dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan produksi telur itik
setiap tahun dari tahun 2000 sampai 2004, meskipun dari tahun 2003 hingga tahun
2004 peningkatan produksi tidaklah setinggi tahun-tahun sebelumnya.
Peningkatan jumlah produksi telur itik menunjukkan penggunaan dan konsumsi
telur itik dalam negeri oleh masyarakat maupun industri makanan (termasuk
industri farmasi dan jamu) mengalami peningkatan.
2. Persaingan dan Peluang.
Persaingan yang terjadi pada industri telur asin tidak tajam, karena para
pengusaha umumnya telah mempunyai pelanggan tetap. Upaya yang harus
dilakukan pengusaha adalah menjaga mutu sehingga pelanggan puas dan tidak
pindah ke pengusaha lain. Persaingan yang mungkin akan terjadi adalah
persaingan untuk mendapatkan bahan baku yang murah, dimana petani itik
petelur dapat saja memilih untuk menetaskan telur dibandingkan menjual telur
tawar kepada produsen telur asin.
Permintaan telur itik di Kabupaten Karawang sebanyak 2.553.934 butir
pertahun.
Perluasan pasar umumnya dilakukan dengan pencarian pelanggan baru.
Untuk mencapai tujuan ini pengusaha akan memperkerjakan beberapa orang agen
pemasaran.
Telur asin yang memiliki rasa lezat umumnya memiliki keunggulan pemasaran
yang jauh lebih baik dibandingkan dengan telur asin dengan rasa biasa. Faktor
rasa bagi pembeli menjadi hal yang sangat penting, oleh karena itu produsen yang
mampu memproduksi telur asin dengan rasa yang lezat sangat dimungkinkan
untuk melakukan penjualan ke luar daerah.
3. Harga
Harga bahan baku utama industri ini adalah telur itik tawar yang dibeli
dengan harga Rp 1300 - Rp 1500 per butir. Harga bahan baku telur itik tidak
mengalami perubahan yang signifikan selama tidak terjadi kegagalan panen pada
suatu daerah yang akan mengakibatkan berkurangnya stok telur itik yang
menyebabkan meningkatkan harga telur itik tawar.
Harga telur asin yang dijual kepada konsumen berkisar antara Rp 2500 – Rp 3000
per butir. Perbedaan harga ditentukan berdasarkan ukuran telur asin, harga telur
asin dengan ukuran lebih besar dapat mencapai Rp 3000 lebih mahal
dibandingkan dengan telur yang berukuran lebih kecil. Daerah penjualan turut
mempengaruhi perbedaan harga, sehingga harga telur asin di kota-kota besar
relatif lebih mahal dibandingkan harga telur asin di kota-kota kecil atau daerah
pedesaan
4. Jalur Pemasaran
Penjualan produk industri telur asin ini dapat dilakukan sendiri oleh
pengusaha maupun melalui jasa agen penjualan, dengan pembeli konsumen
langsung, rumah-rumah makan dan perkantoran. Pola pemasaran produk telur
asin ini secara umum terbagi tiga, yaitu :
1. Pengusaha menjual langsung produknya ke pasar-pasar setempat. Pada
pola ini daerah pemasaran hanya berkisar pada pasar-pasar yang terdapat
pada kabupaten yang sama dengan daerah produsen telur asin yang
bersangkutan. Misalkan untuk Kabupaten Karawang daerah pemasaran
berlokasi dapat di Pasar Karawang, Pasar Johar, dan Pasar Cikampek.
2. Pengusaha memperkerjakan tenaga-tenaga pemasaran di kota-kota besar
untuk mendapatkan pesanan dalam jumlah yang besar dan harga yang
cukup baik. Para tenaga pemasaran tersebut akan menjual telur asin ke
rumah-rumah makan atau konsumen secara langsung. Kota yang menjadi
daerah pemasaran utama untuk produksi telur asin dari wilayah ini adalah
DKI Jakarta dan sekitarnya.
3. Pemesanan langsung dari agen-agen penjual telur asin yang berada dari
luar daerah produsen telur asin, dimana para agen tersebut akan memasok
telur asin ke restoran, kapal dan perkantoran.
Dari ketiga jenis pemasaran di atas, untuk pemesanan yang hanya memerlukan
angkutan darat semua produk diangkut dengan kendaraan yang dimiliki oleh
produsen telur asin, sedangkan untuk pemesanan lintas pulau dapat pula
menggunakan sarana angkutan udara.
Gambar 3.1. Skema Jalur Pemasaran Telur Asin
5. Kendala Pemasaran
Kendala pemasaran yang dihadapi oleh industri telur asin adalah harga
bahan baku yang meningkat setiap saat manakala terjadi kegagalan panen padi.
Lonjakan harga bahan baku memaksa produsen untuk menaikan harga, akan
tetapi kenaikan harga dapat menyebabkan konsumen beralih ke produk pangan
lain.
Selain masalah harga kendala pemasaran yang lain adalah persepsi
masyarakat akan bahaya dari konsumsi garam yang berlebihan. Telur asin yang
memiliki kandungan garam yang cukup tinggi menjadi makanan yang cukup
dijauhi oleh mereka yang ingin mengurangi konsumsi garamnya.
BAB 4
ASPEK PRODUKSI
a. Lokasi Usaha
Lokasi usaha industri telur asin harus berorientasi pada daerah produksi
telur itik sebagai sumber bahan baku utama, yaitu pada umumnya daerah
persawahan. Wilayah Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Karawang
merupakan salah satu sentra industri telur asin terbesar di Jawa Barat Pada Tahun
2011, karena pada daerah persawahan yang besar ini terdapat cukup banyak usaha
peternakan itik.
b. Fasilitas Produksi dan Peralatan
Ruangan proses produksi industri telur asin tidak harus memenuhi suatu
standar tertentu, namun diperlukan beberapa ruangan dengan tingkat pencahayaan
yang berbeda. Ruangan untuk melakukan penyortiran dan pencucian telur harus
ruangan yang terang, sedangkan ruangan untuk pengasinan telur diharapkan
cukup tertutup dan hangat.
Peralatan yang banyak digunakan dalam proses produksi telur asin adalah
ember atau baskom untuk tempat pencampuran adonan dengan telur serta tempat
untuk mencuci telur. Adapun peralatan lainnya berupa panci tempat perebusan
telur dan kompor minyak tanah. Disamping itu dibutuhkan tempat penyimpanan
telur untuk menyimpan telur asin pada proses pengasinan.
c. Bahan Baku
Bahan baku utama industri telur asin adalah telur itik yang diperoleh dari
peternak lokal dengan cara membeli di tempat peternakan itik. Untuk menjaga
mutu dari telur asin yang dihasilkan, maka bahan baku telur itik umumnya
berukuran besar, masih segar dan tidak retak.
d. Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang terlibat dalam industri telur asin sebanyak 10 orang
dengan upah Rp 500.000 – Rp 600.000 per bulan, 2 orang tenaga pemasaran
dengan upah Rp 2.400.000 per bulan, seorang tenaga administrasi untuk
mengawasi dan bertanggung jawab terhadap keuangan umum dan pemesanan
dengan upah Rp 2.500.000 per bulan. Untuk membina dan menjalin hubungan
dengan klien dan bank serta bertanggung jawab terhadap keseluruhan kegiatan
usaha adalah seorang manajer dengan upah Rp 3.000.000 per bulan. Pada
umumnya tenaga kerja tersebut berasal dari daerah sekitar lokasi usaha (ada ikatan
keluarga atau tetangga). Kecuali untuk manajer, maka seluruh pekerja tidak
diharuskan mempunyai spesialisasi keahlian atau tingkat pendidikan minimum
tertentu selama mereka mampu mengerjakan tugas yang telah menjadi tanggung
jawabnya.
e. Teknologi
Telur asin dapat dibuat melalui beberapa teknik penggaraman yang secara
umum dibagi menjadi tiga macam proses, yaitu :
1. Cara penyuntikan, yaitu memasukkan larutan garam ke dalam telur dengan
teknik penyuntikan,
2. Cara perendaman, yaitu telur direndam dalam larutan garam atau adonan
lumpur garam,
3. Cara pemeraman, yaitu pembungkusan atau penyalutan telur yang
dilumuri dengan adonan pengasin (garam dan tanah liat).
Teknik penyuntikan merupakan teknik yang paling mudah dan cepat untuk
menghasilkan telur asin, tetapi cara ini sangat beresiko dalam menghasilkan telur
asin yang baik dan mulus, karena adanya proses pelubangan kulit telur guna
memasukkan cairan garam. Jika pengusaha belum trampil dan belum menguasai
cara ini, maka teknik ini dianjurkan untuk tidak dilakukan.
Cara pengasinan dengan perendaman dalam larutan garam atau adonan
adalah proses pembuatan telur asin yang paling sederhana. Pada proses ini
dilakukan pembuatan larutan garam dengan cara mencampur air dan garam dapur
sampai jenuh, dimana air tidak mampu lagi melarutkan garam atau pembuatan
adonan tepung bata merah dengan garam. Perendaman telur yang sudah dicuci
kedalam larutan tersebut selama 8 hari. Keunggulan pembuatan telur asin dengan
cara ini adalah prosesnya lebih singkat, meski kualitas telur asin yang dihasilkan
kurang bagus dibandingkan proses pemeraman. Untuk menghindari telur tidak
mengapung jika menggunakan larutan jenuh garam maka diberi pemberat pada
permukaannya, sedangkan untuk adonan bata merah dan garam tidak perlu diberi
tutup pemberat.
Cara pengasinan telur dengan metode pembungkusan dapat dilakukan melalui dua
cara, yaitu :
1. Pembungkusan dengan menggunakan adonan garam, yang akan
menghasilkan telur asin yang jauh lebih bagus mutunya, warna lebih
menarik, serta cita rasa yang lebih enak, tapi prosesnya lebih rumit,
2. Pembungkusan dengan menggunakan adonan garam dan tanah liat
merupakan cara yang lazim digunakan pada industri telur asin.
f. Proses Produksi
Proses produksi telur asin yang dilakukan adalah proses pemeraman
melalui pembungkusan dengan adonan garam dan tanah liat. Diagram alir proses
pembuatan telur asin adalah sebagai berikut :
Grafik 4.1. Diagram Alir Proses Pengolahan Telur Asin
Proses produksi dengan cara pembungkusan dengan adonan dan pemeraman yang
digunakan pada industri telur asin adalah sebagai berikut:
a. Penseleksian telur itik
Penseleksian telur itik dilakukan pada saat pembelian telur di peternak itik
dimana telur dengan kualitas jelek tidak akan diterima/dibeli. Sedangkan
penyeleksian telur di lokasi pabrik dilakukan pada saat akan melakulan
pencampuran dengan adonan. Tingkat kegagalan proses ini sangat rendah, dimana
dari 1000 butir telur hanya terdapat 1 butir yang tidak layak untuk dijadikan telur
asin (satu permil).
Proses penseleksian telur itik pada saat akan melakukan pencampuran dengan
adonan terbagi menjadi dua macam pengamatan, yaitu pengamatan kekuatan kulit
telur (dites dengan membenturkan dua butir telur satu sama lain) serta pengamatan
keutuhan kulit telur (diamati secara visual apabila terdapat keretakan) (Photo 4.1).
Photo. 4.1. Proses Seleksi Telur Itik
b. Pembuatan adonan
Adonan yang digunakan dalam proses pemeraman telur itik adalah
campuran antara garam, tanah liat atau serbuk bata merah. Garam menjadi bahan
pembantu utama karena berfungsi sebagai pencipta rasa asin dan sekaligus bahan
pengawet serta dapat mengurangi kelarutan oksigen (oksigen diperlukan oleh
bakteri), menghambat kerja enzim proteolitik (enzim perusak protein), dan
menyerap air dari dalam telur. Perbandingan kebutuhan bahan adonan untuk
garam dan tanah liat adalah 1 : 3 (Tabel 4.1), kemudian dilakukan pengadukan
hingga rata dan berbentuk seperti bubur kental.
Tabel 4.1.
Komposisi Bahan Penyusun Adonan Pengasin (Kapasitas 150.000 butir)
Bahan Adonan Satuan Jumlah
1. Garam kg 1.500
2. Tanah Liat kg 4.500
Sumber : Hasil Penelitian dan Pengamatan Lapang
c. Pemeraman
Proses perendaman dalam adonan pengasin adalah salah satu faktor
penentu derajat keasinan telur asin (Photo 4.2). Proses ini diawali dengan
memasukkan telur itik yang telah diseleksi ke dalam wadah/ember yang telah
berisi adonan. Setelah seluruh lapisan telur tertutup oleh adonan, maka telur
tersebut dipindahkan kedalam kotak kayu yang telah disiapkan untuk proses
pemeraman (Photo 4.3). Pemeraman yang baik adalah selama 10 hari. Namun
demikian lamanya proses pemeraman dalam bungkus adonan akan disesuaikan
dengan selera masyarakat yang akan mengkonsumsinya.
karena semakin lama dibungkus dengan adonan maka akan banyak garam
yang merembes masuk ke dalam telur sehingga telur menjadi semakin awet dan
asin.
Photo 4.2. Proses Pengolesan Adonan Pengasin Pada Telur
Photo. 4.3. Proses Pemeraman Telur
d. Pencucian
Pencucian telur dilakukan dengan tujuan menghilangkan sisa-sisa adonan
pengasin yang masih melekat pada telur. Pencucian ini dilakukan dengan cara
menggosok kulit telur dengan sikat yang telah dibasahi cairan sabun (Photo 4.4).
Photo 4.4. Proses Pencucian Telur Asin
Setelah dicuci diakukan perendaman untuk menjamin hilangnya sisa-sisa adonan
dan sabun yang masih menempel pada kulit telur (Photo 4.5).
Photo 4.5. Proses Perendaman Telur Asin
e. Perebusan
Proses perebusan bertujuan untuk mematangkan telur asin mentah. Proses
ini dilakukan pada panci perebus dengan ukuran yang bervariasi dengan kapasitas
panci berkisar antara 500 - 1.500 butir untuk sekali rebus (Photo 4.6). Proses
perebusan sendiri dilakukan selama kurang lebih 3-5 jam. Setelah direbus telur
asin dapat dikonsumsi hingga 21 hari.
Photo. 4.6. Proses Perebusan Telur Asin
f. Penirisan dan Pemberian Cap
Setelah dilakukan perebusan, telur asin dikeluarkan dari panci perebus dan
dilakukan proses penirisan. Proses ini dilakukan di atas wadah dimana telur
diangin-anginkan hingga kering dan tidak terlalu panas. Proses selanjutnya adalah
pemberian cap merek dagang dan kode produksi.
Photo 4.7. Penirisan Telur Asin
Photo 4.8. Pemberian Cap Merek dan Kode Produksi
g. Penyimpanan
Pada tahapan akhir proses produksi, telur asin yang telah diberi cap merek
akan dikemas dalam berbagai macam bentuk pengemas, seperti pengemas plastik
(Photo 4.9). Namun hanya sekitar 25% dari total produksi telur asin dikemas
dalam pengemas plastik tersebut. Selanjutnya untuk keperluan pengiriman ke
konsumen, sebelum dibawa menggunakan mobil pengangkut, dilakukan
pengepakan dan penyimpanan dalam kotak-kotak kayu (Photo 4.10)
Photo 4.9. Pengemasan
Photo 4.10. Pengepakan Telur Asin Sebelum Diangkut
g. Jumlah, Jenis dan Mutu Produksi
Jumlah telur asin yang diproduksi oleh pengusaha tergantung permintaan
dan pasokan bahan baku dari peternak itik. Berdasarkan peneltian dan pengamatan
di lapangan, produsen kelas menengah dapat memproduksi sebanyak 2.000 –
5.000 butir telur asin per hari sedangkan produsen kecil memproduksi 100 - 300
butir telur perhari.
Tidak ada klasifikasi yang jelas untuk membedakan jenis telur asin yang
dijual. Perbedaan harga jual telur asin sangat ditentukan oleh besar kecilnya telur
asin, dimana. perbedaan harga telur asin untuk ukuran besar dan kecil berkisar
antara Rp 100 - Rp 300.
Konsep jaminan mutu diterapkan untuk memenuhi kepuasan pelanggan. Pada
umumnya, kualitas telur ditentukan oleh :
1. Kualitas bagian dalam (kekentalan putih dan kuning telur, posisi kuning
telur, dan ada tidaknya noda atau bintik darah pada putih atau kuning
telur), dan
2. Kualitas bagian luar (bentuk dan warna kulit, permukaan telur, keutuhan,
dan kebersihan kulit telur).
Persyaratan mutu telur asin berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI-01-
4277-1996) adalah sebagai berikut :
Tabel 4.2.
Tabel Standar Mutu Telur Asin (SNI-01-4277-1996)
No Jenis Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan
1.1 Bau - Normal
1.2 Warna - Normal
1.3 Penampakan - Normal
2 Garam b/b % Min. 2,0
3 Cemaran Mikroba
- Salmonella Koloni/25 g Negatif
-Staphyloccocus aurous Koloni/g <10
Sumber : Standarisasi Nasional
h. Produksi Optimum
Tingkat produksi ditentukan oleh ketersedian bahan baku. Secara teknis
berdasarkan skala usaha yang ada maka produksi telur asin sebanyak 150.000
butir per bulan menjadi produksi optimum usaha ini. Namun demikian, sebagai
suatu usaha yang banyak menggunakan tenaga manusia maka skala optimum dari
industri telur asin ini belum dapat ditentukan secara pasti. Pabrik berproduksi
selama 8 jam per hari dan 7 hari dalam seminggu.
i. Kendala Produksi
Faktor kritis industri telur asin ini adalah ketersediaan dan kontinuitas
bahan baku, dimana bila terjadi kegagalan panen pasokan bahan telur itik tidak
akan cukup. Oleh karena itu pengusaha harus mendatangkan telur itik dari daerah
lain.
Pada proses produksi, faktor kritis lain terdapat pada waktu penseleksian
telur, karena mutu telur yang akan diolah merupakan hal dominan dalam
penentuan mutu produk telur asin.
BAB 5
ASPEK KEUANGAN
a. Pemilihan Pola Usaha
Analisa aspek keuangan diperlukan untuk mengetahui kelayakan usaha
dari sisi keuangan, terutama kemampuan pengusaha untuk mengembalikan kredit
yang diperoleh dari bank. Analisa keuangan ini juga dapat dimanfaatkan
pengusaha dalam perencanaan dan pengelolaan usaha industri telur asin.
Pola usaha yang dipilih adalah industri pengolahan telur asin yang
mendapatkan bahan baku dengan cara membeli telur itik ke peternak secara
langsung. Pembelian bahan baku secara langsung dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan kualitas bahan baku yang baik serta menjamin kesinambungan
ketersediaan pasokan telur itik. Biaya investasi sebagian besar diperlukan untuk
pembelian sarana transportasi, yang terdiri dari satu unit mobil pick up untuk
pembelian telur itik, tanah liat dan garam, satu unit mobil boks untuk
pengangkutan produk telur asin ke konsumen dan satu unit sepeda motor untuk
keperluan operasional lain. Adapun produk yang dipilih untuk usaha ini adalah
telur asin yang telah direbus.
b. Asumsi
Untuk analisa kelayakan usaha diperlukan adanya beberapa asumsi
mengenai parameter teknologi proses maupun biaya, sebagaimana terangkum
dalam Tabel 5.1. Asumsi ini diperoleh berdasarkan kajian terhadap industri telur
asin di Kabupaten Karawang serta informasi yang diperoleh dari pengusaha dan
pustaka.
Tabel 5.1.
Asumsi untuk Analisis Keuangan
No Asumsi Satuan Nilai/Jumlah1 Periode proyek Tahun 32 Bulan kerja per tahun Bulan 123 Produksi telur asin per bulan Butir 150.0004 Harga jual telur asin Rp/Butir 20005 Suku bunga % 146 Proporsi kredit % 07 Jangka waktu kredit Tahun 3
Penentuan usia proyek selama 3 tahun didasarkan atas pertimbangan investasi
peralatan yang digunakan dalam proses produksi telur asin, selain bangunan dan
kendaraan, memiliki umur ekonomis selama 3 tahun, sehingga pada saat proyek
selesai maka peralatan tersebut perlu dilakukan.
re-investasi. Melalui asumsi produksi sebanyak 5.000 butir per hari dan selama 30
hari kerja perbulan, maka total produksi telur asin diproyeksikan sebanyak
150.000 butir dengan tingkat kerusakan bahan baku/produksi sebesar 1O/1oo
(satu per mil). Perincian lengkap asumsi dapat dilihat pada Lampiran 1.
c. Biaya Investasi dan Biaya Operasional
Komponen biaya dalam analisis kelayakan industri telur asin dibedakan
menjadi dua yaitu biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi adalah
komponen biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dana awal
pendirian usaha yang meliputi lahan/areal usaha, peralatan dan sarana
pengangkutan. Biaya operasional adalah seluruh biaya yang harus dikeluarkan
dalam proses produksi.
Biaya investasi yang dibutuhkan pada tahap awal industri telur asin ini meliputi
tanah dan bangunan serta prasarana angkutan dan peralatan, dengan total biaya
sebesar Rp 173.525.000. Komponen terbesar adalah kendaraan (64,83%) yang
terdiri dari mobil pick up untuk sarana angkutan bahan baku telur itik dari
peternak, mobil boks untuk sarana angkutan pemasaran telur asin dan sepeda
motor untuk operasional harian, bangunan industri seluas 150 m2 (21,61%) serta
peralatan produksi dan pengemas (9,23%) (Tabel 5.2). Selengkapnya ditampilkan
pada Lampiran 2.
Tabel 5.2.
Kompisisi Biaya Investasi (Rp)
No Komponen Biaya Jumlah Persen
1 Perizinan 2.500.000 1,44
2 Tanah 4.000.000 2,31
3 Bangunan 37.500.000 21,61
4 Kendaraan 112.500.000 64,83
5 Alat produksi dan pengemas 16.025.000 9,23
6 Peralatan lainnya 1.000.000 0,58
Jumlah 173.525.000 100
Biaya operasional dalam industri telur asin meliputi biaya tetap dan biaya
variabel. Total biaya operasional pertahun sebesar Rp 1.343.385.000 dengan
asumsi bahwa pada tahun pertama hingga tahun ke tiga usaha ini sudah dapat
beroperasi dengan kapasitas 100%. Biaya operasional tersebut terdiri dari biaya
tetap Rp 49.920.000 dan biaya variabel Rp 1.293.465.000. Selengkapnya rincian
kebutuhan biaya tetap dan biaya variabel ditampilkan pada Lampiran 3 dan
Lampiran 4.
Tabel 5.3.
Komponen Biaya Operasional (Rp)
No Komponen Biaya Perbulan Pertahun1 Biaya Variabel 107.788.750 1.293.465.002 Biaya Tetap 4.160.000 49.920.0003 Jumlah Biaya Operasi 111.948.750 1.343.385.000
Total kebutuhan biaya proyek (untuk investasi dan modal kerja) adalah
sebesar Rp 341.448.125. Diproyeksikan 70% biaya tersebut diperoleh dari bank
dan sisanya dari modal sendiri. Biaya investasi yang diperlukan dalam industri
telur asin sebesar Rp 173.525.000 dan Rp 121.467.500 diantaranya (70%) berasal
dari kredit bank. Kredit investasi ini seluruhnya diterima pada masa konstruksi
dengan jangka waktu pinjaman selama 3 tahun dan suku bunga 14% pertahun
(Tabel 5.4).
d. Kebutuhan Investasi dan Modal Kerja
Modal kerja yang dibutuhkan untuk produksi dan penjualan telur asin
adalah sebesar Rp 167.923.125. Sebesar Rp 117.546.188 (70%) diperoleh dari
kredit bank dengan jangka waktu pinjaman selama 3 tahun dan suku bunga 14%
pertahun. Kebutuhan modal kerja tersebut dihitung dari kebutuhan biaya variabel
dan biaya tetap selama 1,5 bulan. Penetapan jangka waktu tersebut didasarkan atas
perhitungan bahwa pendapatan dari penjualan telur asin diperoleh paling cepat
pada hari ke 41 sejak proses produksi dilakukan.
Tabel 5.4.
Komponen dan Struktur Biaya Proyek
No Komponen Biaya Proyek Presentase Total Biaya(Rp)
1 Biaya Investasi >173.525.000a. Kredit 70 121.467.500b. Modal Sendiri 30 52.057.500
2 Biaya Modal Kerja 167.923.125
a. Kredit 70 117.546.188
b. Modal Sendiri 30 50.376.938
3 Total Biaya Proyek 341.448.125
a. Kredit 70 239.013.688
Kewajiban pengusaha dalam melakukan angsuran pokok dan angsuran
bunga dilakukan setiap bulan selama jangka waktu kredit. Rekapitulasi jumlah
angsuran kredit pertahun dapat dilihat pada Tabel 5.5, sedangkan perhitungan
jumlah angsuran kredit perbulan selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 6 dan
Lampiran 7.
Tabel 5.5.
Perhitungan Angsuran Kredit
Tahun
Angsuran Angsuran TotalSaldo Awal
Saldo Akhirpokok bunga Angsuran
239.013.688 239.013.6881 79.671.229 28.349.679 108.020.908 159.342.458 239.013.6882 79.671.229 17.195.707 96.866.936 159.342.458 79.671.2293 79.671.229 6.041.735 85.712.964 79.671.229 0
e. Produksi dan Pendapatan
Berdasarkan kapasitas yang ada, produksi telur asin per bulan sebanyak
150.000 butir dengan asumsi kerusakan produk sebesar 1O/1oo (satu permil).
Usaha ini diproyeksikan untuk dapat berproduksi secara optimal mulai tahun
pertama hingga akhir tahun ketiga (sesuai umur proyek). Dengan harga jual telur
sebesar Rp 2000 per butir, maka untuk satu tahun produksi diproyeksikan untuk
memperoleh pendapatan sebesar Rp 3.600.000.000, namun dengan asumsi
kerusakan yang ada, maka setiap tahun diperoleh pendapatan sebesar Rp
3.598.000.000. Proyeksi produksi dan pendapatan usaha serta harga penjualan
ditampilkan pada Tabel 5.6 dan Lampiran 5.
Tabel 5.6.
Proyeksi Produksi dan Pendapatan
No Produk Volume Unit Harga Jual(Rp)
Penjualan1 Bulan
Penjualan1 Tahun
1 Telur Asin 149.850 Butir 2000 299.700.000 3.596,400,000
Total 299.700.000 3.596,400,000
f. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point
Hasil proyeksi laba rugi usaha menunjukkan usaha telur asin telah
menghasilkan laba (setelah pajak) pada tahun pertama (kapasitas 100%) sebesar
Rp 22.804.559 dengan nilai profit on sales 1,59%, dan mengalami peningkatan
laba hingga tahun ke-3 yang berjumlah Rp 41.766.311 dengan profit on sales
2,90% (Tabel 5.7).
Tabel 5.7.
Proyeksi Pendapatan dan Laba Rugi Usaha
No UraianTahun
1 2 3
1 Total Penerimaan Rp 3,596,400,000 Rp 3,596,400,000 Rp 3,596,400,000
2 Total Penguluaran Rp 1,411,731,108 Rp 1,400,577,136 Rp 1,389,4233 Laba/Rugi Sebelum Pajak Rp 2,184,668,892 Rp 2,195,822,864 Rp 3,595,010,5774 Pajak ( 30 % ) Rp 655,400,668 Rp 658,746,859 Rp 1,078,503,1735 Laba Setelah Pajak Rp 2,840,069,560 Rp 2,854,569,723 Rp 4,673,513,7506 Profit On Sales 1,98% 1,99% 3,27%7 BEP : Rupiah
Butir
Seperti terlihat pada Tabel 5.8, selama kurun waktu 3 tahun proyek industri telur
asin secara rata-rata akan menghasilkan keuntungan bersih per tahun sebesar Rp
32.285.435 dan profit margin rata-rata 2,24%. Dengan membandingkan
pengeluaran untuk biaya tetap terhadap biaya variabel dan total penerimaan, maka
BEP usaha ini terjadi pada penjualan senilai Rp 1.053.586.766 pada tahun ke-1
hingga Rp 832.412.251 pada tahun ke-3, dengan BEP rata-rata sebesar Rp.
942.999.509 untuk 1.178.749 butir telur asin. Selengkapnya proyeksi rugi laba
usaha ditampilkan pada Lampiran 8.
Tabel.5.8.
Rata-rata Laba Rugi dan BEP Usaha
Uraian Nilai
Laba per tahun 2,854,569,723
Profit margin 1,99%
BEP : Rupiah
Butir
g. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek
Untuk aliran kas (cash flow) dalam perhitungan ini dibagi dalam dua
aliran, yaitu arus masuk (cash inflow) dan arus keluar (cash outflow). Arus masuk
diperoleh dari penjualan telur asin selama satu tahun. Untuk arus keluar meliputi
biaya investasi, biaya variabel, biaya tetap, termasuk angsuran pokok, angsuran
bunga.dan pajak penghasilan.
Evaluasi profitabilitas rencana investasi dilakukan dengan menilai kriteria
investasi untuk mengukur kelayakan pendirian industri yaitu meliputi NPV (Net
Present Value), IRR (Internal Rate of Return), Net B/C Ratio (Net Benefit-Cost
Ratio). Industri telur asin dengan menggunakan asumsi yang ada menghasilkan
NPV Rp 65.535.618 pada tingkat bunga 14% dengan nilai IRR adalah 32,65%
dan Net B/C Ratio 1,38. Berdasarkan kriteria dan asumsi yang ada menunjukkan
bahwa usaha telur asin ini layak untuk dilaksanakan dengan Pay Back Period
(PBP) selama 28,9 bulan atau 2,4 tahun. Proyeksi arus kas untuk kelayakan
industri telur asin selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 9.
Tabel 5.9.
Kelayakan Industri Telur Asin
No Kriteria NilaiJustifikasi Kelayakan
1 NVP (Rp) 65.535.618 > 02 IRR 32,65% > 14%
3Net B/C ratio 1,38 > 1
4 PBP (bulan) 28,9 < 36 bulan
Dalam suatu analisis kelayakan suatu proyek, biaya produksi dan
pendapatan biasanya akan dijadikan patokan dalam mengukur kelayakan usaha
karena kedua hal tersebut merupakan komponen inti dalam suatu kegiatan usaha,
terlebih lagi bahwa komponen biaya produksi dan pendapatan juga didasarkan
pada asumsi dan proyeksi sehingga memiliki tingkat ketidakpastian yang cukup
tinggi. Untuk mengurangi resiko ini maka diperlukan analisis sensitivitas yang
digunakan untuk menguji tingkat sensitivitas proyek terhadap perubahan harga
input maupun output. Dalam pola pembiayaan ini digunakan tiga skenario
sensitivitas, yaitu:
(1). Skenario I
Sensitivitas kenaikan biaya variabel dimungkinkan dengan melihat
perkembangan ekonomi saat ini dan kenaikan harga BBM sehingga memunculkan
asumsi peningkatan biaya produksi/variabel, sedangkan pendapatan dianggap
tetap/konstan. Kenaikan biaya operasional terjadi antara lain karena bahan baku
dan bahan pembantu maupun upah tenaga kerja mengalami kenaikan
Hasil analisis sensitivitas akibat kenaikan biaya variabel ditampilkan pada Tabel
5.10 serta perhitungan arus kas untuk sensitivitas ini selengkapnya pada Lampiran
10 dan Lampiran 11.
Tabel 5.10.
Analisis Sensitivitas Biaya Variabel Naik
No Kriteria Naik 2% Naik 3%
1 NPV (Rp) 5.476.623-
24.552.8752 IRR 15.58% 6,83%3 Net B/C ratio 1,03 0,864 PBP (bulan) 35,3 39,5
Analisis sensitivitas berdasarkan Skenario I, biaya variabel mengalami kenaikan
2% dengan asumsi pendapatan tetap. Pada kenaikan biaya variabel sebesar 2%,
Net B/C Ratio masih lebih dari satu, NPV positif dan IRR mencapai 15,58% serta
PBP 35,3 bulan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada suku bunga
14% dengan kenaikan biaya variabel sebesar 2% maka proyek ini layak
dilaksanakan. Namun pada kenaikan biaya variabel mencapai 3% ternyata proyek
ini tidak layak dilaksanakan karena IRR kurang dari tingkat suku bunga, yaitu
6,83%, Net B/C Ratio kurang dari satu, NPV negatif dan PBP melebihi umur
proyek.
(2). Skenario II
Sensitivitas penurunan pendapatan dimungkinkan karena penurunan produk telur
asin yang dapat terjual atau penurunan harga jual per butirnya, sedangkan biaya
pengeluaran dianggap tetap/konstan. Hasil analisis sensitivitas akibat penurunan
pendapatan ditampilkan pada Tabel 5.11 serta perhitungan arus kas untuk
sensitivitas ini selengkapnya pada Lampiran 12 dan Lampiran 13.
Tabel 5.11.
Analisis Sensitivitas Pendapatan Turun
No Kriteria Naik 1% Naik 2%1 NPV (Rp) 32.137.549 - 1.260.5212 IRR 23,23% 13,63%3 Net B/C ratio 1,19 0,994 PBP (bulan) 32,2 36,2
Analisis sensitivitas berdasarkan Skenario II, pada saat pendapatan turun sebesar
1% diperoleh NPV positif, Net B/C Ratio lebih dari satu dengan IRR mencapai
23,23%. Dapat disimpulkan bahwa pada penurunan pendapatan sebesar 1%
proyek tersebut layak dilaksanakan. Penurunan pendapatan sebesar 2%
menyebabkan Net B/C Ratio kurang dari satu, NPV negatif, IRR 13,63% atau
dibawah suku bunga, sehingga PBP yang diperoleh juga melebihi 3 tahun umur
proyek. Kondisi ini menyebabkan usaha tidak layak dilaksanakan.
(3). Skenario III
Sensitivitas ini dengan melakukan kombinasi terhadap sensitivitas pada
skenario I dan II, yaitu peningkatan biaya variabel dan penurunan pendapatan.
Hasil analisis sensitivitas akibat kenaikan biaya variabel dan penurunan
pendapatan secara bersamaan ditampilkan pada Tabel 5.12 serta perhitungan arus
kas untuk sensitivitas ini selengkapnya pada Lampiran 14 dan Lampiran 15.
Tabel 5.12.
Analisis Sensitivitas Kombinasi
Biaya variabel Biaya variabel
No Kriteria naik 1% dan naik 2 % dan
Pendapatan Pendapatan
turun 1% turun 1%
1 NPV (Rp) 2.108.051 - 27.921.447
2 IRR 14,61% 5,83%
3 Net B/C ratio 1,01 0,84
4 PBP (bulan) 35,7 40
Analisis sensitivitas menurut Skenario III, diasumsikan terjadi penurunan
pendapatan dan kenaikan biaya variabel. Pada penurunan pendapatan dan
kenaikan biaya variabel masing-masing sebesar 1%, proyek tersebut masih layak
dilaksanakan tingkat suku bunga 14% menghasilkan Net B/C Ratio lebih dari satu
dan NPV positif serta IRR 14,61%. Namun apabila biaya variabel naik menjadi
2% dengan pendapatan turun 1%, maka proyek ini menjadi tidak layak
dilaksanakan karena NPV negatif, IRR lebih kecil dari suku bunga yaitu hanya
5,83%, Net B/C Ratio kurang dari satu dan PBP melebihi umur proyek.
Hambatan dan Kendala
Hambatan dan kendala yang dihadapi oleh pengusaha telur asin adalah
cukup lamanya rentang waktu penerimaan hasil penjualan telur asin akibat dari
sistem pembayaran yang baru diterima 30 hari sejak proses produksi dilakukan,
sedangkan pembelian bahan baku telur itik tawar dari peternak dilakukan secara
tunai setiap dua kali seminggu. Kondisi ini mengharuskan pengusaha untuk
mencadangkan dana pembelian telur itik tawar untuk jangka satu setengah bulan
yang jumlahnya cukup besar.
BAB 6
ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL
a. Aspek Sosial Ekonomi
Kabupaten Indramayu dan Cirebon dikenal sebagai daerah sentra padi dan
peternakan itik. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di bidang ini, baik
sebagai pengusaha ataupun menjadi buruh tani atau peternak. Keberadaan industri
telur asin meningkatkan nilai tambah telur-telur itik yang dihasilkan di daerah
yang bersangkutan. Adanya industri telur asin ini juga mendorong
berkembangnya usaha peternakan itik petelur, sehingga peningkatan permintaan
telur asin akan meningkatkan pula produk telur itik.
Dari segi pemenuhan gizi masyarakat telur asin dapat menjadi salah satu sumber
protein yang dapat dijadikan pengganti daging. Dengan harga yang murah dan
rasa yang lezat, telur asin akan memiliki pasar yang luas yang tidak saja ditujukan
bagi masyarakat menengah kebawah melainkan juga bagi masyarakat menengah
ke atas.
Secara umum keberadaan dan pengembangan industri telur asin memberi dampak
yang positif bagi wilayah sekitarnya, karena semakin terbukanya peluang kerja
serta peningkatan pendapatan masyarakat dan sekaligus peningkatan pendapatan
daerah. Satu unit usaha telur asin mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 12
orang, dengan upah Rp 400.000 - Rp 800.000 per orang per bulan. Pendapatan
daerah dari pajak industri telur asin ini mencapai Rp 12 juta per tahun.
b. Dampak Lingkungan
Proses produksi dalam industri telur asin akan menghasilkan limbah padat
dan limbah cair. Limbah padat umumnya berupa sisa-sisa telur yang tidak ikut
diproduksi atau sisa-sisa pecahan telur akibat proses produksi yang tidak ditangani
dengan hati-hati. Selain itu ada pula limbah padat yang berasal dari sisa-sisa
adonan pengasin yang dibuang setelah proses pengasinan. Limbah-limbah padat
ini umumnya tidak berbahaya bagi lingkungan. Penanganan limbah ini cukup
sederhana, yaitu dengan cara menguburkannya di dalam tanah dimana untuk
bahan organik akan terurai menjadi bahan-bahan anorganik unsur hara tanah.
Limbah cair yang dihasilkan dari air sisa pencucian telur yang mengandung sabun
pada umumnya langsung dibuang ke saluran air (sungai) tanpa pengolahan
terlebih dahulu. Dalam jangka waktu yang lama limbah sabun ini dikhawatirkan
dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan yang besar, karena itu tindakan
pengolahan limbah secara sederhana sepertinya sudah menjadi keharusan.
Pembuatan bak penampung limbah cair sederhana dapat menjadi salah satu
alternatif penanganan limbah cair yang dihasilkan dari industri telur asin.
BAB 7
PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Industri telur asin mempunyai peranan penting dalam rangka memenuhi
kebutuhan sumber protein dan lemak yang berharga murah bagi
masyarakat. Perkembangan peternakan itik petelur merupakan faktor
pendukung terbesar bagi industri telur asin agar dapat memasok telur asin
dengan harga yang murah dan bermutu tinggi.
2. Dua faktor terpenting bagi keberhasilan industri telur asin selain faktor
bahan baku adalah rasa telur asin dan kualitas pengangkutan produk. Rasa
telur asin akan menjadi faktor pembeda suatu produsen dengan produsen
lainnya, dimana akan timbul keterikatan antara konsumen dengan
produsen telur asin tertentu.
3. Total biaya investasi yang dibutuhkan untuk industri telur asin adalahRp
173.525.000, yang dibiayai dari pinjaman kredit 70% (Rp 121.467.500)
dan biaya sendiri 30% (Rp 52.057.500), dengan bunga pinjaman 14% dan
masa pinjaman kredit investasi selama 3 tahun. Biaya modal kerja adalah
sebesar Rp 167.923.125 yang dibiayai dari pinjaman kredit 70% (Rp
117.546.188) dan biaya sendiri 30%(Rp 50.376.938), dengan bunga
pinjaman 14% dan masa pinjaman kredit selama 3 tahun.
4. Analisis keuangan dan kelayakan proyek industri telur asin sesuai asumsi
yang digunakan adalah layak untuk dilaksanakan dengan nilai NPV Rp
65.535.618, IRR 32,65%, Net B/C 1,38dan PBP 28,9 bulan atau 2,4 tahun.
Industri ini juga mampu melunasi kewajiban angsuran kredit kepada bank
5. Industri telur asin ini sangat sensitif terhadap kenaikan biaya variabel
maupun penurunan pendapatan, karena usaha ini masih dianggap layak
bila kenaikan biaya variabel atau penurunan pendapatan hanya sampai 1%.
Kenaikan biaya variabel sebesar 3% atau penurunan pendapatan sebesar
2% menjadikan usaha tersebut tidak layak (NPV Negatif).
6. Pengembangan industri telur asin memberikan manfaat yang positif dari
aspek sosial ekonomi wilayah dengan terbukanya peluang kerja serta
peningkatan pendapatan masyarakat, dan tidak menimbulkan dampak
lingkungan yang signifikan.
b. Saran
1. Berdasarkan potensi bahan baku, prospek pasar, tingkat teknologi proses,
dan aspek finansial, industri telur asin ini, layak untuk dibiayai.
2. Untuk menjamin kelancaran pengembalian kredit, pihak perbankan
seyogyanya juga turut berpartisipasi dalam pembinaan usaha ini,
khususnya pada aspek keuangan, dan manajemen pembukuan.
DAFTAR PUSTAKA
http://jabar.bps.go.id/
http://www.karawangkab.go.id/
http://www.deptan.go.id/
http://www.karawangkab.go.id/
www.bi.go.id/