tugas antropologi
description
Transcript of tugas antropologi
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 1/27
Logo Facebook
Email atau Telepon Kata Sandi
Biarkan saya tetap masuk Lupa kata sandi Anda?
Mendaftar
Bahasa Indonesia · Privasi·Ketentuan·Kuki ·Iklan · Pilihan Iklan ·
Lainnya
Facebook © 2016
Kabar Berita
Komunitas Antropologi Indonesia
22 April 2014 ·
PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM
Jamhari Ma'ruf
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian
dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep
tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna
agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian
tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat
universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap
tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan
perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu
faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas
sosial yang lebih lengkap.
Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan
gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya.
Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran
agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama
dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya sajaperayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada
yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan.
Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada
dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas
budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia,
yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah
masyarakat-baik dalam wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi
manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan
manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan-seperti yang
tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-
Masuk
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 2/27
nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia
melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan
budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa
interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian
komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya
membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma
menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif
dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat
dipengaruhi oleh lingkungan budaya.
Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam
masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang
sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang
hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi
kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama
dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja perandan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk
memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk
dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik
dan komitmen antropology akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi
merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan
berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat
penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai 'khalifah' (wakil Tuhan)
di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan
utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-
persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya.
Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya.
Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan
membedakan apa yang mereka sebut sebagai 'common sense' dan 'religious atau mystical
event.' Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa
diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu
religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar
maupun teknologi.Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai
penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam
penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu
penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia
untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua
sisi kajian ini-usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya
menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.
Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan
lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas
kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 3/27
keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu,
antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas
kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi
gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyakdilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an
menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia
khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-
abangan, santri dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak
orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun
hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-
dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih
mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa
pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin
melakukan kritik terhadap wacana Geertz.
Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-
kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan
politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam
kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz
mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas
politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri.
Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan
santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata
mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan
isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang
memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Teori politik aliran ini, menurut Bahtiar Effendy memberikan arti penting terhadap wacana tentang
hubungan antara agama-khususnya Islam-dan negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk
memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokkan religio-
sosial di Indonesia. Pengelompokkan sosial tersebut mempengaruhi pola interaksi politik yang
lebih luas di Indonesia.
Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di
Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan
masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agamadan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi
dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana
agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang
bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang
dipraktikkan.
Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan
wacana posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih
mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah "fenomena" atau sebuah
kerangka "desconstruction theory", mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya
kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal dalam percaturan dunia
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 4/27
global. Bagi ahli politik, misalnya apa yang disinyalir oleh Fukuyama dengan klaimnya The End of
History and the Last Man, globalisasi berarti adalah diterimanya sistem demokrasi liberal sebagai
satu sistem yang laik dipakai. Bagi ahli ekonomi, wujudnya sistem moneter ala Keynesian telah
membuktikan bahwa dunia perekonomian menganut satu sistem. Penggunaan alat
telekomonukasi dan komputer dengan internetnya dapat juga membuktikan bahwa globalisasi
telah mencapai pada satu kesepakatan bersama. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka
yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti antropologi, globalisasi mengimplikasikan
makna yang lain. Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antarbudaya memungkinkan
masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap kebenaran.
Ungkapan terkenal James Clifford tentang runtuhnya "mercu suar" untuk mengklaim suatu
kenyataan dengan ukuran rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya "pengetahuan lokal" di
era posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga menyatukan budaya
dunia atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan dunia, menjadi
sangat penting.
Bassam Tibbi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkin manusia untuk melakukan dialogantarkebudayaan yang ada di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi adalah fenomena
universal yang mau tidak mau mempengaruhi masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi
demokrasi untuk mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa budaya-budaya
lokal harus menyerah dan digantikan total dengan demokrasi. Bassam Tibbi tidak menafikan
bahwa ada perbedaan-perbedaan yang nyata antara penafsiran demokrasi di Barat dan di
wilayah lain sehingga muncul adanya Demokrasi Asia (Asian Democracy) atau Demokrasi Islam
(Islamic Democracy). Tetapi perbedaan itu bukan berarti akan menimbulkan konflik seperti apa
yang disinyalir oleh Samuel Huntington. Ia lebih optimis melihat perbedaan itu sebagai awal dari
keharusan untuk mengadakan dialog antarbudaya untuk menelorkan yang ia sebut sebagai
"international morality", suatu sistem nilai dunia yang dihasilkan dari gabungan nilai-nilai terbaikdari budaya-budaya yang ada.
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat
relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna
untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan
pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara
empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama
diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan
kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang
manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi
sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan
masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan,
sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah
aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max
Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan
yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi
pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara
historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi,berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 5/27
manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-
ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna
yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi
manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai"tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun
estitika mereka." Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang
kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan
gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini
agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia
bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.
Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan
pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat
akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture
akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan
pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan
dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang
disebut Tibbi sebagai "international morality" berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.
Tradisi Antropologi dalam Kajian Agama: Kajian Empirik Relasi Agama dan Sosial
Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena
meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak
pada keyakinan, tradisi antropologi untuk mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17,
berkembang dengan pesat. Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi
sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahamanrealitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan
agama itu sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis tentang perjuangan para
Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan Italia, dimana ia merasa kesulitan untuk menjelaskan
fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada guru Sufi mereka. Tak dapat disangkal bahwa
kemudian Evans-Pritchard dapat menggambarkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh
empati.
Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana,
pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan
juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan
masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah
lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi
berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah "takdir
sosial" yang tak perlu lagi dipahami.
Namun sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh
budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah
penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-
wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para
sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem
yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikihadalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 6/27
kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya
yang ada di dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas agama.
Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah
mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang
bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitaskeagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa
ribu tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan.
Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan mereka
akan betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga
ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan
kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama baik
dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern menunjukkan bahwa
keberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan
transendensi dan sekularisasi.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat
kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama
dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang
mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat
perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah
misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap
adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis ini
menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai
kepada agama monoteis. Makanya kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti
dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme. Menurut Mircea
Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu
bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari
kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar
pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula
dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.
Ketiga teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis, sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim.
Buku Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang
dalam melihat agama. Lewat buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling
sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Asutralia sampai ke agama yang well-structured
dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim menemukanbahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara yang sacred
dan yang profan. Namun demikian ia tak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang
sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan
bahwa penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisal
Kanguru.
Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa
masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial.
Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah "struktur dari ikatan
sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral." Pandangan ini yang mengilhami para
antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam
masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 7/27
pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan
masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam bentuk mitos, magic adalah model bagi
kerangka bertindak bagi individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim
dikembangkan oleh Levi-Strauss kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam
ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial.
Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat sangat berpengaruh
dalam tradisi antropologi sosial di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa
masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah
mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang
tersebut. Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi
sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari perkembangan teori
fungsionalisme. Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakat
adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat
diselesaikan dengan common sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi.
Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuanrasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di
daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka
dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand
membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu
ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan
kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya.
Maka sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana
komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable.
Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga mengambil
akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme.
Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu
aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk
menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut
adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat
Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat
Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah
tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena
itu, ritual, utama cult ritual (ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah
ketidakberuntungan-misfortune) mengandung empat fungsi sosial yang penting. Pertama, ritual
sebagai media untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) di antara warga masyarakat
yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat seseorang kepada yang lain. Kedua,
ritual digunakan untuk menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat.
Ketiga, ritual sebagai sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat, ritual
sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Jadi Turner melihat ritual
tidak hanya sebagai kewajiban (prescribed) saja, melainkan sebagai simbol dari apa yang
sebenarnya terjadi dalam masyarakat.
Di samping tradisi intelektual dan tiga tradisi-strukturalis, fungsionalis dan simbolis-yang berakar
dari tradisi Durkheim, ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari pandangan-
pandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis dan tradisi Durkheimian,Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara doktrin agama dan aktifitas duniawi manusia,
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 8/27
seperti misalnya ekonomi dan politik. Oleh karena itu Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan
definisi atau argumentasi rasionalitas keberadaan agama. Dalam kajian tentang hubungan
antara etika Protestan, khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme modern,
menunjukkan minat Weber untuk mendiskusikan hubungan antara religious ethic dan
kapitalisme. Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu muncul dalam tulisan-tulisan pendeta
sekte Calvinisme dan yang juga menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah
keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan karakter buruh modern.
Tradisi yang dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti oleh ilmuwan sosial utamanya di
Amerika. Kajian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang Tokugawa Religion yang mencoba
melihat hubungan etika agama dengan restorasi Meiji, dan juga kajian yang dilakukan oleh
Geertz tentang pasar di Jawa dan priyayi Bali memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber.
Kajian-kajian yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama,
tetapi melihat sejauhmana agama-aspek idealisme-mempengaruhi perilaku sosial manusia.
Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama pada realitas empiris
yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu
agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada
bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan
dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya
dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga
menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.
Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-
persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia
digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini
berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahamirealitas manusia-termasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap
ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini
terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi
sangat penting.
Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur'an ketika
membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur'an seringkali menggunakan "orang" untuk
menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur'an
menunjuk pada konsep "muttaqien", untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur'an menggunakan
kata "orang sabar" dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Qur'an yang demikian itu
sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Olehkarena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.
Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan
persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan.
Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan-baca
agama-dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam
bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas
universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya manifestasi
agama dalam kebudayaan tertentu-little tradition-sesungguhnya adalah mosaik dari realitas
universal agama-great tradition.
Kajian Islam di Asia Tenggara: Kajian Agama dalam Perspektif Cross-Culture
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 9/27
Satu hal yang perlu disesali adalah pengenalan Muslim Indonesia terhadap kenyataan sosial dari
masyarakat Muslim di dunia sangat kurang. Kalaupun kita mengaku kenal dengan Muslim di
wiliyah lain, pengetahuan mereka baru terbatas pada kenyataan bahwa mereka adalah sesama
Muslim. Tetapi jika ditanyakan tentang keadaan sosial dan budaya mereka, nampaknya tidaklah
banyak yang mereka ketahui. Hal ini dikarenakan kajian keislaman di Indonesia kurang
memperhatikan masalah sosial budaya di negara-negara Muslim. Misalnya saja bagaimana
keadaan Islam di Iran dan bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya Persia, kurang sekali
dipelajari. Padahal informasi mengenai keadaan sosial budaya wilayah Muslim di dunia cukup
banyak. Buku-buku yang ditulis oleh antropolog tentang mereka cukup banyak.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kajian agama dengan menggunakan perspektif cross
culture dibutuhkan untuk lebih memahami realitas agama yang lebih luas. Kajian agama dalam
perspektif lintas budaya sangat berguna untuk melihat realitas empiris agama dalam wilayah
yang luas. Pemahaman tentang realitas yang berbeda akhirnya akan menumbuhkan sikap
menghargai terhadap perbedaan dalam melaksanakan agama. Lebih dari itu kajian lintas budaya
juga akan memberikan informasi tentang betapa realitas agama tidak bisa steril dari pengaruhbudaya. Sebagai contoh kajian lintas budaya di sini akan di bahas Islam di Asia Tenggara.
Sebagai wilayah kajian maupun sebagai salah satu area kajian, Islam di Asia Tenggara dan
Indonesia khususnya pada awalnya tidak menarik perhatian. Meskipun demikian, dalam
perkembanngannya, dengan memakai ukuran apapun Islam di Asia Tenggara merupakan suatu
komunitas Muslim penting. Tidak saja karena jumlah penduduk Muslim yang hampir separuh dari
penduduk dunia Islam-dengan Indonesia yang mencapai 80 % dari 200 juta-- tetapi juga karena
perkembangan Islam di Asia Tenggara termasuk paling mengesankan. Jika pada dekade 1980-
an dan sebelumnya, Islam di Asia Tenggara tidak dilirik sama sekali-misalnya diungkapkapkan
oleh Denys Lombard-ataupun dianggap sebagai suatu komunitas Islam marginal-John L.
Esposito-ataupun dianggap sebagai bukan Islam sebenarnya karena ciri sinkretik yang begitu
menonjol, sekarang Islam di Asia Tenggara menjadi perhatian yang khusus.
Ada beberapa alasan mengapa Islam di Asia Tenggara mendapat perhatian. Pertama,
perkembangan Islam di Asia Tenggara mengesankan terutama jika dikaitkan dengan wacana
global dunia. Dalam menyikapi perubahan dunia akibat globalisasi, Islam di Asia Tenggara bisa
dikatakan sebagai salah satu yang paling maju, selain tentu saja Pakistan dengan ahli-ahlinya
yang berpengaruh di Amerika. Pergumulan intelektual Muslim Asia Tenggara dengan ide-ide
gender, demokrasi, civil society ataupun human rights menempatkan Islam Asia Tenggara
sebagai pelopor, atau paling tidak yang paling inten mengikuti perkembangan ide-ide global
tersebut.Kedua, corak pendidikan para intelektual Muslim di Asia Tenggara yang lebih menerima ide-ide
ilmu sosial yang berkembang di Barat, seperti misalnya Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo, Anwar
Ibrahim, Chandra Muzaffar dan lain sebagainya, dalam menerjemahkan maupun
mengartikulasikan nilai-nilai normatif Islam, menjadikan perkembangan Islam di Asia Tenggara
tidak teralineasi dari perkembangan global. Tidak mengherankan jika kajian-kajian Islam di
wilayah Asia Tenggara tersebut diwarnai semangat penerjemahan Islam ke dalam konteks yang
empiris. Semaraknya kajian-kajian sosial budaya di kalangan Muslim Asia Tenggara, utamanya
di Indonesia, telah mengangkat harkat, atau setidaknya, membawa orang Muslim ikut aktif
terlibat dalam perdebatan intelektual masa kini.
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 10/27
Ketiga, Islam Asia Tenggara memberikan gambaran real terhadap apa yang disebut sebagai
Islam lokal, yang mencerminkan suatu pertemuan budaya, sosial dan intelektual antara budaya
lokal dan Islam. Beragamnya suku bangsa dan etnis di Asia Tenggara, memberikan suatu
gambaran nyata bagaimana Islam dapat survive sekaligus membentuk suatu komunitas
religious. Memang keunikan Islam di Asia Tenggara memberikan citra yang kurang jika
dibandingkan dengan Islam yang ada di masyarakat Arab. Anthony Reid misalnya mengatakan
bahwa posisi Islam di Asia Tenggara yang lebih menonjol warna lokalnya-bahkan hingga lingua
franca bagi komunikasi Islam di Asia Tenggara tidak menggunakan bahasa Arab melainkan Jawi
Melayu-membuat Islam Asia Tenggara termarjinalkan dari wacana Islam secara menyeluruh.
Namun dengan semakin menguatnya konsep-konsep posmodernisme yang memberikan
peranan besar terhadap local knowledge membuat Islam di Asia Tenggara menjadi
perbincangan yang hangat. Di samping itu tentu tanggapan intelektual Muslim Asia Tenggara
yang toleran menerima bahkan tidak jarang yang menjadi pembela ilmu-ilmu sosial Barat
menempatkan Islam di Asia Tenggara sebagai pusat pertemuan antara Islam, budaya lokal dan
katakanlah modernisme. Oleh karena itu kajian yang mendalam tentang perkembangan Islam diAsia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, yang menjadi mayoritas utama komunitas
Muslim di Asia Tenggara, menjadi sangat penting.
Ada beberapa pilihan kajian yang dapat dikembangkan untuk mengetahui lebih lanjut tentang
Islam di Asia Tenggara. Pertama, kajian tentang pertemuan budaya lokal dan Islam yang telah
sekian lama berproses. Anthony Reid dan juga Kuntowijoyo menyebutkan bahwa tidak
berlebihan jika keberadaan Islam di Asia Tenggara telah menjadi wacana agama rakyat (popular
religion). Konversi agama ke Islam sering disebut, terutama di daerah suku Melayu sebagai
"menjadi Melayu." Kedua, beragamnya corak suku etnis dan bahasa yang ada di Asia Tenggara
dapat dijadikan sebagai contoh untuk mengetahui corak lokal, atau sebutnya saja lahirnya Islam
lokal di Asia Tenggara. Dale F. Eickelman, seorang antropolog yang meneliti secara serius
terhadap pembentukan Islam lokal di Maroko, dan kemudian dia menulis suatu buku yang bagus
tentang Muslim politik di berbagai wilayah sosial, mengatakan bahwa perkembangan Islam
dalam suatu wilayah itu dipengaruhi oleh dua kondisi sosial; historical experience dan gerational
location (yang kedua ini dia pinjam dari Karl Manheim). Seperti halnya Michel Faucault yang
melihat bahwa wujud suatu wacana tidak dapat dipisahkan dari suatu kondisi sejarah
lingkungannya, Eickelman menyatakan hal yang sama. Namun ia menambahkan perlunya
memahami suatu realitas sosial dari sudut experience (pengalaman) dimana orang tersebut
merasa, memahami dan mengamalkan suatu agama. Jadi memahami suatu lokal Islam di suatu
tempat harus mempertimbangkan sejarah maupun pengalaman subjek yang mengalaminya.
Sementara itu corak berpikir serta pengalaman sosial juga sangat dipengaruhi oleh suatu
generasi dimana ia hidup. Eickelman mencotohkan bahwa ketika orang Maroko dikuasai oleh
wacana Sufi (dalam istilah lokal mereka dinamakan Marabout), seluruh perilaku keagamaan di
Maroko dipengaruhi oleh wacana Sufi. Keberadaan Islam lokal di Asia Tenggara sangat
dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut.
Ketiga, sebagaimana Marshal Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam yang begitu banyak
dikutip, utamanya kritik tajam dia terhadap Clifford Geertz, mengusulkan suatu kajian Islam lintas
wilayah dan budaya. Artinya bahwa keberadaan Islam yang menyebar dari Maroko sampai ke
Mindanao adalah sebuah tantangan bagi para pemerhati tentang Islam untuk menjelaskan
fenomena tersebut. Tidak saja dari sudut penyebarannya, melainkan dari sudut wujud lokal Islamyang menjadi ciri khas dari tiap-tiap daerah. Misalnya ia mengatakan bahwa Islam di Spanyol
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 11/27
telah mewariskan suatu etika religious yang kental dalam proses pemunculan karya seni,
sementara di Persia Islam telah mengilhami lahirnya puisi-puisi indah tentang cinta ketuhanan.
Hodgson berkeyakinan bahwa dari terbentangnya Islam itu tersembunyi suatu benang merah
yang menyatukan Islam.
Kajian tentang agama dan budaya di Indonesia tentunya dapat mengembangkan konsep-konsepdi atas. Sebab bukan saja Islam di Indonesia menawarkan suatu kekayaan realitas keagamaan,
tetapi lebih dari itu Islam di Indonesia dapat dijadikan model dalam menghadapi dua hal.
Pertama, model untuk menjembatani antara budaya lokal dan Islam, mengingat Indonesia terdiri
dari beberapa etnis budaya. Perbedaan-perbedaan manifestasi Islam di setiap wilayah akan
memberikan model bagi penjelajahan teori. Kedua, Islam lokal di Indonesia mungkin bisa
dijadikan model untuk melihat hubungan antara Islam dan dunia modern. Situasi pluralitas
budaya Indonesia yang Islam dapat dijadikan suatu model bagaimana negara Islam menerima
ide-ide global. Misalnya saja pengalaman Indonesia dalam berdemokrasi akan sangat berarti
bagi dunia Muslim lainnya.
Berikut ini, walaupun tidak baru, saya akan mencoba menawarkan beberapa alternatif model
riset yang pernah ditawarkan untuk meneliti Islam, utamanya dalam hubungannya dengan
budaya.
Islam popular dan Islam formal
Konsep Islam popular dan Islam formal diadopsi dari konsep popular religion and official religion
yang berkembang di agama-agama yang mempunyai sistem kependetaan yang berjenjang serta
mempunyai "office" (kekuasaan) untuk menentukan kebenaran suatu pengamalan agama.
Konsep seperti ini dapat dilihat dalam sejarah kuno agama Kristen yang mempunyai sistem
eklestial pendeta, di mana pendeta mempunyai kuasa untuk menghakimi kebenaran suatu
pengalaman agama. Praktik agama yang sesuai dengan keputusan dewan kependetaan inilahyang dianggap sebagai suara resmi, "offical," gereja tentang praktik agama yang benar. Tanpa
persetujuan dari dewan gereja, maka suatu pengalaman keagamaan dianggap tidak sah.
Pengamalan keagamaan yang masuk dalam kategori kedua ini adalah praktik-praktik
keagamaan yang bercampur dengan tradisi lokal, atau bahkan pengamalan dari tradisi-tradisi
keagamaan lokal sebelum datangnya Kristen. Karena kebanyakan dari kalangan awam yang
melakukan kegiatan keagaman model kedua ini maka julukan popular religion dipakai.
Walaupun dalam batasan tertentu Islam mungkin juga mengenal suatu lembaga yang dapat
mengklaim kebenaran suatu pengamalan agama, sifat dari keputusan lembaga itu tidak dapat
mengikat semua Muslim. Hal ini jelas berbeda dengan tradisi Kristen. Dan jika yang dipakai
ukuran popular Islam adalah praktik keagamaan yang telah bercampur dengan tradisi lokal,
dalam Islam tentu sulit untuk menemukan suatu pengamalan keagamaan yang tidak dipengaruhi
oleh tradisi lokal. Karena bervariasinya, maka tidak ada suatu paradigma tunggal yang dapat
dipakai untuk menghakimi mana yang official dan popular.
Meskipun demikian, dengan mengesampingkan perbedaan itu, beberapa ahli memakai kerangka
ini untuk meneliti tentang Islam. Gambaran umum yang ditemui kemudian adalah bahwa popular
Islam itu berwujud praktik tasawuf yang memang banyak dipraktikkan oleh masyarakat bawah
atau masyarakat kebanyakan. Misalnya saja Michael Gilsenan meneliti Sufi di Mesir dan di
Yaman, Eickelman di Maroko, Evans-Pritchard di Libia, Trimingham di Afrika Timur dan yang
lain-lainnya.
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 12/27
Disamping itu, Jaques Waardenburg juga memakai konsep popular Islam untuk meneliti dua hal.
Pertama, Waardenburg memakai konsep popular Islam untuk merujuk pada praktik-praktik
keagamaan yang bersifat lokal seperti ritual untuk memperingati kelahiran Nabi, ritual untuk
menghormati kehidupan Sufi dan tradisi-tradisi keagamaan yang merakyat. Kedua, gerakan-
gerakan keagamaan semacam ratu adil, milleniarisme, kuktus-kultus Sufi dan tokoh agama
tertentu.
Contoh yang baik tentang kajian popular dan official ini mungkin Ernest Gellner dalam bukunya
Saint of The Atlas dan teory pendulum swing-nya. Gellner dalam kajiannya menunjukkan bahwa
dua kategori tersebut dapat diartikan sebagai perwujudan dari dua tradisi, little tradition and
great tradition, istilah yang dikembangkan oleh Robert Redfield. Popular Islam adalah cerminan
dari wujudnya little tradition dalam Islam yang dalam bentuknya terlihat jelas dalam praktik Sufi
atau pengamalan keagamaan yang berpusat pada tokoh-tokoh kharismatik. Sementara offical
Islam tercermin dalam kehidupan para intelektual Islam yang cenderung berfikir formal dan
legalistik yang dikategorikan oleh Gellner sebagai Muslim yang lebih berorientasi pada syari'ah.
Bagi Gellner dua kecenderungan ini dalam elit agama direpresentasikan oleh Sufi, sebagai elitpopular Islam, dan ulama, sebagai representasi kecenderungan formal agama. Dua kelompok
beragama ini selalu berebut kekuasaan dan berusaha untuk menjadi pemimimpin umat.
Sebagai kelanjutan dari proses konflik tersebut, Gellner memetakan mereka ke dalam dua kubu:
Sufi, di satu sisi, merupakan kubu agama yang lebih mementingkan social cohesion sebagai inti
kekuatannya yang berbasis di desa (rural), dan ulama, di sisi lain, yang dominan di kota (urban)
dan cenderung lebih profesional dan rasional namun lemah ikatan sosialnya. Dalam pertarungan
politik agama dua kekuatan yang berbeda basis ini selalu saling bergantian, seperti bandul jam
(pendulum) yang akan bergoyang kembali ke sisi lain setelah ia sampai pada sisi yang satunya.
Untuk menjelaskan hal ini Gellner meminjam teori Ibn Khaldun yang berkeyakinan bahwa
sesungguhnya pusat peradaban Islam itu berpusat di kota (madinatul munawarah). Namun
kekuasaan kota itu akan dapat terbentuk dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion
yang kuat. Menurut Ibn Khaldun kekuatan massa Islam desa yang didukung oleh social cohesion
akan dapat mengantarkannya ke peta kekuasaan kota. Tetapi, kata Ibn Khaldun lagi, setelah
kekuatan massa rural itu sampai ke pusat kekuasaan, ia akan mengalami fragmentasi sosial
sebagai suatu gejala umum perkotaan. Sehingga ia akan dikalahkan lagi oleh kekuatan dari rural
area yang mempunyai social cohesion lebih besar.
Analisis Gellner dan Ibn Khaldun ini bisa mendukung kajian-kajian kelembagaan agama Islam
maupun karakteristiknya baik yang di kota maupun di desa untuk memprediksi kelanjutan proses
perjalanan sejarah Islam. Analisis yang demikian ini juga dapat digunakan untuk melihatorganisasi-organisasi Islam di Indonesia dalam kaitan percaturan politik umat. Misalnya apakah
naiknya Nahdlatul Ulama (NU) sekarang ini ke panggung kekuasaan dapat dilihat sebagai suatu
hasil dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion yang kuat menggantikan massa
modernis di kota yang telah dilanda fragmentasi yang akut. Dengan pendekatan analisis budaya,
tipe-tipe organisasi keagamaan tersebut dapat ditelusuri secara mendalam.
Agama Sebagai Sistem Budaya
Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah
system budaya. Karya Geertz, "Religion as a Cultural System," dianggap sebagai tulisan klasik
tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada
teori-teori besar Mark, Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 13/27
struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan
bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang mampu mengubah suatu tatanan
masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari
system budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapat
membentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah
baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam. Oleh
karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai:
"A system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and
motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of
factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic."
Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic
tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang makna
simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle)
untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan
harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol
keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes
for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan
suatu existensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam
cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan
sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.
Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu
masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam Observed
merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The
Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah.Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik
maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat
perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama
dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.
Penutup dan Agenda Kajian Antropologi dalam Islam
Sekarang ini ada kecenderungan untuk melihat Islam secara menyeluruh dengan menonjolkan
ciri-ciri Islam lokal. Kajin semacam Marshal Hodgson yang mencoba menggabungkan perjalan
pergumulan Islam dengan budaya maupun peradaban lokal menunjukkan suatu hasil yang
memuaskan. Buku The Venture of Islam, tidak saja menghasilkan sebuah peta besar
keberagaman Islam, tetapi juga merupakan tantangan tersendiri bagi pengamat Islam untuk
menerjemahkan makna keberagaman itu. Di lain pihak, buku itu menyisakan banyak homework
untuk kita semua bagaimana mengembangkan pemahaman dan kajian Islam di tingkat lokal
untuk melihat keragaman dan kekayaan Islam lokal.
Ira M. Lapidus juga menekankan dalam karya-karyanya untuk melihat keberagaman itu. Ia
membagi periode Islam ke dalam beberapa periode yang ia sebut sebagai periode
perkembangan paradigma melihat Islam. Ia mengakui bahwa kenyataan pemeluk Islam yang
terdiri dari berbagai lapis budaya mencerminkan suatu curiosity (penasaran) untuk meneliti lebih
lanjut. Yang jelas, kata Lapidus, di balik semua keberagaman itu Islam di daerah-daerah Muslim
berfungsi sebagai pemersatu budaya. Namun yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kitamenjelaskan suatu rangkain knowledge yang utuh akan adanya Islam lokal itu.
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 14/27
Bagi V.S. Naipaul ia seakan terpesona menyaksikan pengikut-pengikut Islam menerjemahkan
Islam ke dalam visi-visi kedaerahan. Bukunya, Among the Believers menujukkan suatu
perjalanan untuk menyaksikan keberagaman Islam. Ia tidak saja penting sebagai sebuah potret
sosial, tetapi ia juga penting sebagai awal pijakan untuk melihat ke masa depan Islam.
Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka.Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana
agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan
Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local
konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan
wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana
manusia.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap
tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia
dalam Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan
dari ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam
mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak
akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan
untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris.
Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang
mengkhususkan diri mempelajari manusia-yang merupakan realitas empiris agama-maka
antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.**
vLogo Facebook
Email atau Telepon Kata Sandi
Biarkan saya tetap masuk Lupa kata sandi Anda?
Mendaftar
Bahasa Indonesia · Privasi·Ketentuan·Kuki ·Iklan · Pilihan Iklan ·
Lainnya
Facebook © 2016
Kabar Berita
Komunitas Antropologi Indonesia
22 April 2014 ·
PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM
Jamhari Ma'ruf
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian
dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konseptentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna
Masuk
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 15/27
agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian
tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat
universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap
tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan
perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu
faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas
sosial yang lebih lengkap.
Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan
gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya.
Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran
agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama
dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja
perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada
yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan.
Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak beradadalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas
budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia,
yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah
masyarakat-baik dalam wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi
manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan
manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan-seperti yang
tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-
nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia
melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan
budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa
interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian
komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya
membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma
menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif
dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat
dipengaruhi oleh lingkungan budaya.
Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam
masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yangsesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang
hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi
kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama
dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran
dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk
memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk
dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik
dan komitmen antropology akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi
merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan
berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 16/27
penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai 'khalifah' (wakil Tuhan)
di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan
utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-
persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya.Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya.
Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan
membedakan apa yang mereka sebut sebagai 'common sense' dan 'religious atau mystical
event.' Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa
diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu
religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar
maupun teknologi.
Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai
penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam
penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu
penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia
untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua
sisi kajian ini-usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya
menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.
Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan
lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas
kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari
keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu,
antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitaskemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi
gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak
dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an
menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia
khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-
abangan, santri dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak
orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun
hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-
dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebihmendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa
pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin
melakukan kritik terhadap wacana Geertz.
Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-
kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan
politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam
kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz
mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas
politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri.
Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 17/27
santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata
mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan
isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang
memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Teori politik aliran ini, menurut Bahtiar Effendy memberikan arti penting terhadap wacana tentanghubungan antara agama-khususnya Islam-dan negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk
memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokkan religio-
sosial di Indonesia. Pengelompokkan sosial tersebut mempengaruhi pola interaksi politik yang
lebih luas di Indonesia.
Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di
Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan
masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agama
dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi
dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana
agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang
bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang
dipraktikkan.
Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan
wacana posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih
mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah "fenomena" atau sebuah
kerangka "desconstruction theory", mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya
kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal dalam percaturan dunia
global. Bagi ahli politik, misalnya apa yang disinyalir oleh Fukuyama dengan klaimnya The End of
History and the Last Man, globalisasi berarti adalah diterimanya sistem demokrasi liberal sebagaisatu sistem yang laik dipakai. Bagi ahli ekonomi, wujudnya sistem moneter ala Keynesian telah
membuktikan bahwa dunia perekonomian menganut satu sistem. Penggunaan alat
telekomonukasi dan komputer dengan internetnya dapat juga membuktikan bahwa globalisasi
telah mencapai pada satu kesepakatan bersama. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka
yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti antropologi, globalisasi mengimplikasikan
makna yang lain. Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antarbudaya memungkinkan
masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap kebenaran.
Ungkapan terkenal James Clifford tentang runtuhnya "mercu suar" untuk mengklaim suatu
kenyataan dengan ukuran rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya "pengetahuan lokal" di
era posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga menyatukan budayadunia atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan dunia, menjadi
sangat penting.
Bassam Tibbi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkin manusia untuk melakukan dialog
antarkebudayaan yang ada di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi adalah fenomena
universal yang mau tidak mau mempengaruhi masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi
demokrasi untuk mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa budaya-budaya
lokal harus menyerah dan digantikan total dengan demokrasi. Bassam Tibbi tidak menafikan
bahwa ada perbedaan-perbedaan yang nyata antara penafsiran demokrasi di Barat dan di
wilayah lain sehingga muncul adanya Demokrasi Asia (Asian Democracy) atau Demokrasi Islam
(Islamic Democracy). Tetapi perbedaan itu bukan berarti akan menimbulkan konflik seperti apa
yang disinyalir oleh Samuel Huntington. Ia lebih optimis melihat perbedaan itu sebagai awal dari
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 18/27
keharusan untuk mengadakan dialog antarbudaya untuk menelorkan yang ia sebut sebagai
"international morality", suatu sistem nilai dunia yang dihasilkan dari gabungan nilai-nilai terbaik
dari budaya-budaya yang ada.
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat
relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat bergunauntuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan
pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara
empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama
diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan
kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang
manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi
sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan
masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan,
sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah
aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max
Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan
yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi
pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara
historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi,
berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan
manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-
ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna
yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi
manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai
"tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun
estitika mereka." Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang
kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan
gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini
agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia
bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.
Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaanpengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat
akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture
akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan
pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan
dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang
disebut Tibbi sebagai "international morality" berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.
Tradisi Antropologi dalam Kajian Agama: Kajian Empirik Relasi Agama dan Sosial
Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena
meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletakpada keyakinan, tradisi antropologi untuk mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17,
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 19/27
berkembang dengan pesat. Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi
sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman
realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan
agama itu sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis tentang perjuangan para
Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan Italia, dimana ia merasa kesulitan untuk menjelaskan
fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada guru Sufi mereka. Tak dapat disangkal bahwa
kemudian Evans-Pritchard dapat menggambarkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh
empati.
Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana,
pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan
juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan
masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah
lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi
berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah "takdir
sosial" yang tak perlu lagi dipahami.
Namun sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh
budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah
penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-
wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para
sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem
yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih
adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan
kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya
yang ada di dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas agama.
Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah
mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang
bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas
keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa
ribu tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan.
Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan mereka
akan betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga
ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan
kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama baik
dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern menunjukkan bahwakeberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan
transendensi dan sekularisasi.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat
kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama
dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang
mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat
perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah
misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap
adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis ini
menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai
kepada agama monoteis. Makanya kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 20/27
dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme. Menurut Mircea
Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu
bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari
kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar
pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula
dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.
Ketiga teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis, sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim.
Buku Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang
dalam melihat agama. Lewat buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling
sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Asutralia sampai ke agama yang well-structured
dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim menemukan
bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara yang sacred
dan yang profan. Namun demikian ia tak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang
sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan
bahwa penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisalKanguru.
Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa
masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial.
Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah "struktur dari ikatan
sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral." Pandangan ini yang mengilhami para
antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam
masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan
pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan
masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam bentuk mitos, magic adalah model bagi
kerangka bertindak bagi individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim
dikembangkan oleh Levi-Strauss kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam
ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial.
Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat sangat berpengaruh
dalam tradisi antropologi sosial di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa
masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah
mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang
tersebut. Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi
sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari perkembangan teori
fungsionalisme. Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakatadalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat
diselesaikan dengan common sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi.
Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan
rasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di
daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka
dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand
membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu
ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan
kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya.
Maka sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai saranakomunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable.
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 21/27
Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga mengambil
akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme.
Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu
aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk
menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut
adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat
Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat
Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah
tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena
itu, ritual, utama cult ritual (ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah
ketidakberuntungan-misfortune) mengandung empat fungsi sosial yang penting. Pertama, ritual
sebagai media untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) di antara warga masyarakat
yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat seseorang kepada yang lain. Kedua,
ritual digunakan untuk menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat.
Ketiga, ritual sebagai sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat, ritual
sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Jadi Turner melihat ritual
tidak hanya sebagai kewajiban (prescribed) saja, melainkan sebagai simbol dari apa yang
sebenarnya terjadi dalam masyarakat.
Di samping tradisi intelektual dan tiga tradisi-strukturalis, fungsionalis dan simbolis-yang berakar
dari tradisi Durkheim, ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari pandangan-
pandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis dan tradisi Durkheimian,
Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara doktrin agama dan aktifitas duniawi manusia,
seperti misalnya ekonomi dan politik. Oleh karena itu Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan
definisi atau argumentasi rasionalitas keberadaan agama. Dalam kajian tentang hubungan
antara etika Protestan, khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme modern,menunjukkan minat Weber untuk mendiskusikan hubungan antara religious ethic dan
kapitalisme. Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu muncul dalam tulisan-tulisan pendeta
sekte Calvinisme dan yang juga menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah
keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan karakter buruh modern.
Tradisi yang dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti oleh ilmuwan sosial utamanya di
Amerika. Kajian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang Tokugawa Religion yang mencoba
melihat hubungan etika agama dengan restorasi Meiji, dan juga kajian yang dilakukan oleh
Geertz tentang pasar di Jawa dan priyayi Bali memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber.
Kajian-kajian yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama,
tetapi melihat sejauhmana agama-aspek idealisme-mempengaruhi perilaku sosial manusia.
Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama pada realitas empiris
yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu
agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada
bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan
dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya
dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga
menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.
Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-
persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia
digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 22/27
berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami
realitas manusia-termasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap
ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini
terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi
sangat penting.
Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur'an ketika
membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur'an seringkali menggunakan "orang" untuk
menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur'an
menunjuk pada konsep "muttaqien", untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur'an menggunakan
kata "orang sabar" dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Qur'an yang demikian itu
sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh
karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.
Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan
persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan.
Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan-baca
agama-dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam
bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas
universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya manifestasi
agama dalam kebudayaan tertentu-little tradition-sesungguhnya adalah mosaik dari realitas
universal agama-great tradition.
Kajian Islam di Asia Tenggara: Kajian Agama dalam Perspektif Cross-Culture
Satu hal yang perlu disesali adalah pengenalan Muslim Indonesia terhadap kenyataan sosial dari
masyarakat Muslim di dunia sangat kurang. Kalaupun kita mengaku kenal dengan Muslim di
wiliyah lain, pengetahuan mereka baru terbatas pada kenyataan bahwa mereka adalah sesamaMuslim. Tetapi jika ditanyakan tentang keadaan sosial dan budaya mereka, nampaknya tidaklah
banyak yang mereka ketahui. Hal ini dikarenakan kajian keislaman di Indonesia kurang
memperhatikan masalah sosial budaya di negara-negara Muslim. Misalnya saja bagaimana
keadaan Islam di Iran dan bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya Persia, kurang sekali
dipelajari. Padahal informasi mengenai keadaan sosial budaya wilayah Muslim di dunia cukup
banyak. Buku-buku yang ditulis oleh antropolog tentang mereka cukup banyak.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kajian agama dengan menggunakan perspektif cross
culture dibutuhkan untuk lebih memahami realitas agama yang lebih luas. Kajian agama dalam
perspektif lintas budaya sangat berguna untuk melihat realitas empiris agama dalam wilayah
yang luas. Pemahaman tentang realitas yang berbeda akhirnya akan menumbuhkan sikap
menghargai terhadap perbedaan dalam melaksanakan agama. Lebih dari itu kajian lintas budaya
juga akan memberikan informasi tentang betapa realitas agama tidak bisa steril dari pengaruh
budaya. Sebagai contoh kajian lintas budaya di sini akan di bahas Islam di Asia Tenggara.
Sebagai wilayah kajian maupun sebagai salah satu area kajian, Islam di Asia Tenggara dan
Indonesia khususnya pada awalnya tidak menarik perhatian. Meskipun demikian, dalam
perkembanngannya, dengan memakai ukuran apapun Islam di Asia Tenggara merupakan suatu
komunitas Muslim penting. Tidak saja karena jumlah penduduk Muslim yang hampir separuh dari
penduduk dunia Islam-dengan Indonesia yang mencapai 80 % dari 200 juta-- tetapi juga karena
perkembangan Islam di Asia Tenggara termasuk paling mengesankan. Jika pada dekade 1980-an dan sebelumnya, Islam di Asia Tenggara tidak dilirik sama sekali-misalnya diungkapkapkan
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 23/27
oleh Denys Lombard-ataupun dianggap sebagai suatu komunitas Islam marginal-John L.
Esposito-ataupun dianggap sebagai bukan Islam sebenarnya karena ciri sinkretik yang begitu
menonjol, sekarang Islam di Asia Tenggara menjadi perhatian yang khusus.
Ada beberapa alasan mengapa Islam di Asia Tenggara mendapat perhatian. Pertama,
perkembangan Islam di Asia Tenggara mengesankan terutama jika dikaitkan dengan wacanaglobal dunia. Dalam menyikapi perubahan dunia akibat globalisasi, Islam di Asia Tenggara bisa
dikatakan sebagai salah satu yang paling maju, selain tentu saja Pakistan dengan ahli-ahlinya
yang berpengaruh di Amerika. Pergumulan intelektual Muslim Asia Tenggara dengan ide-ide
gender, demokrasi, civil society ataupun human rights menempatkan Islam Asia Tenggara
sebagai pelopor, atau paling tidak yang paling inten mengikuti perkembangan ide-ide global
tersebut.
Kedua, corak pendidikan para intelektual Muslim di Asia Tenggara yang lebih menerima ide-ide
ilmu sosial yang berkembang di Barat, seperti misalnya Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo, Anwar
Ibrahim, Chandra Muzaffar dan lain sebagainya, dalam menerjemahkan maupun
mengartikulasikan nilai-nilai normatif Islam, menjadikan perkembangan Islam di Asia Tenggara
tidak teralineasi dari perkembangan global. Tidak mengherankan jika kajian-kajian Islam di
wilayah Asia Tenggara tersebut diwarnai semangat penerjemahan Islam ke dalam konteks yang
empiris. Semaraknya kajian-kajian sosial budaya di kalangan Muslim Asia Tenggara, utamanya
di Indonesia, telah mengangkat harkat, atau setidaknya, membawa orang Muslim ikut aktif
terlibat dalam perdebatan intelektual masa kini.
Ketiga, Islam Asia Tenggara memberikan gambaran real terhadap apa yang disebut sebagai
Islam lokal, yang mencerminkan suatu pertemuan budaya, sosial dan intelektual antara budaya
lokal dan Islam. Beragamnya suku bangsa dan etnis di Asia Tenggara, memberikan suatu
gambaran nyata bagaimana Islam dapat survive sekaligus membentuk suatu komunitasreligious. Memang keunikan Islam di Asia Tenggara memberikan citra yang kurang jika
dibandingkan dengan Islam yang ada di masyarakat Arab. Anthony Reid misalnya mengatakan
bahwa posisi Islam di Asia Tenggara yang lebih menonjol warna lokalnya-bahkan hingga lingua
franca bagi komunikasi Islam di Asia Tenggara tidak menggunakan bahasa Arab melainkan Jawi
Melayu-membuat Islam Asia Tenggara termarjinalkan dari wacana Islam secara menyeluruh.
Namun dengan semakin menguatnya konsep-konsep posmodernisme yang memberikan
peranan besar terhadap local knowledge membuat Islam di Asia Tenggara menjadi
perbincangan yang hangat. Di samping itu tentu tanggapan intelektual Muslim Asia Tenggara
yang toleran menerima bahkan tidak jarang yang menjadi pembela ilmu-ilmu sosial Barat
menempatkan Islam di Asia Tenggara sebagai pusat pertemuan antara Islam, budaya lokal dankatakanlah modernisme. Oleh karena itu kajian yang mendalam tentang perkembangan Islam di
Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, yang menjadi mayoritas utama komunitas
Muslim di Asia Tenggara, menjadi sangat penting.
Ada beberapa pilihan kajian yang dapat dikembangkan untuk mengetahui lebih lanjut tentang
Islam di Asia Tenggara. Pertama, kajian tentang pertemuan budaya lokal dan Islam yang telah
sekian lama berproses. Anthony Reid dan juga Kuntowijoyo menyebutkan bahwa tidak
berlebihan jika keberadaan Islam di Asia Tenggara telah menjadi wacana agama rakyat (popular
religion). Konversi agama ke Islam sering disebut, terutama di daerah suku Melayu sebagai
"menjadi Melayu." Kedua, beragamnya corak suku etnis dan bahasa yang ada di Asia Tenggara
dapat dijadikan sebagai contoh untuk mengetahui corak lokal, atau sebutnya saja lahirnya Islam
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 24/27
lokal di Asia Tenggara. Dale F. Eickelman, seorang antropolog yang meneliti secara serius
terhadap pembentukan Islam lokal di Maroko, dan kemudian dia menulis suatu buku yang bagus
tentang Muslim politik di berbagai wilayah sosial, mengatakan bahwa perkembangan Islam
dalam suatu wilayah itu dipengaruhi oleh dua kondisi sosial; historical experience dan gerational
location (yang kedua ini dia pinjam dari Karl Manheim). Seperti halnya Michel Faucault yang
melihat bahwa wujud suatu wacana tidak dapat dipisahkan dari suatu kondisi sejarah
lingkungannya, Eickelman menyatakan hal yang sama. Namun ia menambahkan perlunya
memahami suatu realitas sosial dari sudut experience (pengalaman) dimana orang tersebut
merasa, memahami dan mengamalkan suatu agama. Jadi memahami suatu lokal Islam di suatu
tempat harus mempertimbangkan sejarah maupun pengalaman subjek yang mengalaminya.
Sementara itu corak berpikir serta pengalaman sosial juga sangat dipengaruhi oleh suatu
generasi dimana ia hidup. Eickelman mencotohkan bahwa ketika orang Maroko dikuasai oleh
wacana Sufi (dalam istilah lokal mereka dinamakan Marabout), seluruh perilaku keagamaan di
Maroko dipengaruhi oleh wacana Sufi. Keberadaan Islam lokal di Asia Tenggara sangat
dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut.
Ketiga, sebagaimana Marshal Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam yang begitu banyak
dikutip, utamanya kritik tajam dia terhadap Clifford Geertz, mengusulkan suatu kajian Islam lintas
wilayah dan budaya. Artinya bahwa keberadaan Islam yang menyebar dari Maroko sampai ke
Mindanao adalah sebuah tantangan bagi para pemerhati tentang Islam untuk menjelaskan
fenomena tersebut. Tidak saja dari sudut penyebarannya, melainkan dari sudut wujud lokal Islam
yang menjadi ciri khas dari tiap-tiap daerah. Misalnya ia mengatakan bahwa Islam di Spanyol
telah mewariskan suatu etika religious yang kental dalam proses pemunculan karya seni,
sementara di Persia Islam telah mengilhami lahirnya puisi-puisi indah tentang cinta ketuhanan.
Hodgson berkeyakinan bahwa dari terbentangnya Islam itu tersembunyi suatu benang merah
yang menyatukan Islam.
Kajian tentang agama dan budaya di Indonesia tentunya dapat mengembangkan konsep-konsep
di atas. Sebab bukan saja Islam di Indonesia menawarkan suatu kekayaan realitas keagamaan,
tetapi lebih dari itu Islam di Indonesia dapat dijadikan model dalam menghadapi dua hal.
Pertama, model untuk menjembatani antara budaya lokal dan Islam, mengingat Indonesia terdiri
dari beberapa etnis budaya. Perbedaan-perbedaan manifestasi Islam di setiap wilayah akan
memberikan model bagi penjelajahan teori. Kedua, Islam lokal di Indonesia mungkin bisa
dijadikan model untuk melihat hubungan antara Islam dan dunia modern. Situasi pluralitas
budaya Indonesia yang Islam dapat dijadikan suatu model bagaimana negara Islam menerima
ide-ide global. Misalnya saja pengalaman Indonesia dalam berdemokrasi akan sangat berarti
bagi dunia Muslim lainnya.
Berikut ini, walaupun tidak baru, saya akan mencoba menawarkan beberapa alternatif model
riset yang pernah ditawarkan untuk meneliti Islam, utamanya dalam hubungannya dengan
budaya.
Islam popular dan Islam formal
Konsep Islam popular dan Islam formal diadopsi dari konsep popular religion and official religion
yang berkembang di agama-agama yang mempunyai sistem kependetaan yang berjenjang serta
mempunyai "office" (kekuasaan) untuk menentukan kebenaran suatu pengamalan agama.
Konsep seperti ini dapat dilihat dalam sejarah kuno agama Kristen yang mempunyai sistem
eklestial pendeta, di mana pendeta mempunyai kuasa untuk menghakimi kebenaran suatu
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 25/27
pengalaman agama. Praktik agama yang sesuai dengan keputusan dewan kependetaan inilah
yang dianggap sebagai suara resmi, "offical," gereja tentang praktik agama yang benar. Tanpa
persetujuan dari dewan gereja, maka suatu pengalaman keagamaan dianggap tidak sah.
Pengamalan keagamaan yang masuk dalam kategori kedua ini adalah praktik-praktik
keagamaan yang bercampur dengan tradisi lokal, atau bahkan pengamalan dari tradisi-tradisi
keagamaan lokal sebelum datangnya Kristen. Karena kebanyakan dari kalangan awam yang
melakukan kegiatan keagaman model kedua ini maka julukan popular religion dipakai.
Walaupun dalam batasan tertentu Islam mungkin juga mengenal suatu lembaga yang dapat
mengklaim kebenaran suatu pengamalan agama, sifat dari keputusan lembaga itu tidak dapat
mengikat semua Muslim. Hal ini jelas berbeda dengan tradisi Kristen. Dan jika yang dipakai
ukuran popular Islam adalah praktik keagamaan yang telah bercampur dengan tradisi lokal,
dalam Islam tentu sulit untuk menemukan suatu pengamalan keagamaan yang tidak dipengaruhi
oleh tradisi lokal. Karena bervariasinya, maka tidak ada suatu paradigma tunggal yang dapat
dipakai untuk menghakimi mana yang official dan popular.
Meskipun demikian, dengan mengesampingkan perbedaan itu, beberapa ahli memakai kerangka
ini untuk meneliti tentang Islam. Gambaran umum yang ditemui kemudian adalah bahwa popular
Islam itu berwujud praktik tasawuf yang memang banyak dipraktikkan oleh masyarakat bawah
atau masyarakat kebanyakan. Misalnya saja Michael Gilsenan meneliti Sufi di Mesir dan di
Yaman, Eickelman di Maroko, Evans-Pritchard di Libia, Trimingham di Afrika Timur dan yang
lain-lainnya.
Disamping itu, Jaques Waardenburg juga memakai konsep popular Islam untuk meneliti dua hal.
Pertama, Waardenburg memakai konsep popular Islam untuk merujuk pada praktik-praktik
keagamaan yang bersifat lokal seperti ritual untuk memperingati kelahiran Nabi, ritual untuk
menghormati kehidupan Sufi dan tradisi-tradisi keagamaan yang merakyat. Kedua, gerakan-gerakan keagamaan semacam ratu adil, milleniarisme, kuktus-kultus Sufi dan tokoh agama
tertentu.
Contoh yang baik tentang kajian popular dan official ini mungkin Ernest Gellner dalam bukunya
Saint of The Atlas dan teory pendulum swing-nya. Gellner dalam kajiannya menunjukkan bahwa
dua kategori tersebut dapat diartikan sebagai perwujudan dari dua tradisi, little tradition and
great tradition, istilah yang dikembangkan oleh Robert Redfield. Popular Islam adalah cerminan
dari wujudnya little tradition dalam Islam yang dalam bentuknya terlihat jelas dalam praktik Sufi
atau pengamalan keagamaan yang berpusat pada tokoh-tokoh kharismatik. Sementara offical
Islam tercermin dalam kehidupan para intelektual Islam yang cenderung berfikir formal dan
legalistik yang dikategorikan oleh Gellner sebagai Muslim yang lebih berorientasi pada syari'ah.Bagi Gellner dua kecenderungan ini dalam elit agama direpresentasikan oleh Sufi, sebagai elit
popular Islam, dan ulama, sebagai representasi kecenderungan formal agama. Dua kelompok
beragama ini selalu berebut kekuasaan dan berusaha untuk menjadi pemimimpin umat.
Sebagai kelanjutan dari proses konflik tersebut, Gellner memetakan mereka ke dalam dua kubu:
Sufi, di satu sisi, merupakan kubu agama yang lebih mementingkan social cohesion sebagai inti
kekuatannya yang berbasis di desa (rural), dan ulama, di sisi lain, yang dominan di kota (urban)
dan cenderung lebih profesional dan rasional namun lemah ikatan sosialnya. Dalam pertarungan
politik agama dua kekuatan yang berbeda basis ini selalu saling bergantian, seperti bandul jam
(pendulum) yang akan bergoyang kembali ke sisi lain setelah ia sampai pada sisi yang satunya.
Untuk menjelaskan hal ini Gellner meminjam teori Ibn Khaldun yang berkeyakinan bahwa
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 26/27
sesungguhnya pusat peradaban Islam itu berpusat di kota (madinatul munawarah). Namun
kekuasaan kota itu akan dapat terbentuk dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion
yang kuat. Menurut Ibn Khaldun kekuatan massa Islam desa yang didukung oleh social cohesion
akan dapat mengantarkannya ke peta kekuasaan kota. Tetapi, kata Ibn Khaldun lagi, setelah
kekuatan massa rural itu sampai ke pusat kekuasaan, ia akan mengalami fragmentasi sosial
sebagai suatu gejala umum perkotaan. Sehingga ia akan dikalahkan lagi oleh kekuatan dari rural
area yang mempunyai social cohesion lebih besar.
Analisis Gellner dan Ibn Khaldun ini bisa mendukung kajian-kajian kelembagaan agama Islam
maupun karakteristiknya baik yang di kota maupun di desa untuk memprediksi kelanjutan proses
perjalanan sejarah Islam. Analisis yang demikian ini juga dapat digunakan untuk melihat
organisasi-organisasi Islam di Indonesia dalam kaitan percaturan politik umat. Misalnya apakah
naiknya Nahdlatul Ulama (NU) sekarang ini ke panggung kekuasaan dapat dilihat sebagai suatu
hasil dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion yang kuat menggantikan massa
modernis di kota yang telah dilanda fragmentasi yang akut. Dengan pendekatan analisis budaya,
tipe-tipe organisasi keagamaan tersebut dapat ditelusuri secara mendalam.
Agama Sebagai Sistem Budaya
Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah
system budaya. Karya Geertz, "Religion as a Cultural System," dianggap sebagai tulisan klasik
tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada
teori-teori besar Mark, Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan
struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan
bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang mampu mengubah suatu tatanan
masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari
system budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapatmembentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah
baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam. Oleh
karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai:
"A system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and
motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of
factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic."
Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic
tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang makna
simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle)
untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan
harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol
keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes
for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan
suatu existensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam
cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan
sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.
Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu
masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam Observed
merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku TheReligion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah.
7/21/2019 tugas antropologi
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 27/27
Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik
maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat
perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama
dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.
Penutup dan Agenda Kajian Antropologi dalam IslamSekarang ini ada kecenderungan untuk melihat Islam secara menyeluruh dengan menonjolkan
ciri-ciri Islam lokal. Kajin semacam Marshal Hodgson yang mencoba menggabungkan perjalan
pergumulan Islam dengan budaya maupun peradaban lokal menunjukkan suatu hasil yang
memuaskan. Buku The Venture of Islam, tidak saja menghasilkan sebuah peta besar
keberagaman Islam, tetapi juga merupakan tantangan tersendiri bagi pengamat Islam untuk
menerjemahkan makna keberagaman itu. Di lain pihak, buku itu menyisakan banyak homework
untuk kita semua bagaimana mengembangkan pemahaman dan kajian Islam di tingkat lokal
untuk melihat keragaman dan kekayaan Islam lokal.
Ira M. Lapidus juga menekankan dalam karya-karyanya untuk melihat keberagaman itu. Ia
membagi periode Islam ke dalam beberapa periode yang ia sebut sebagai periode
perkembangan paradigma melihat Islam. Ia mengakui bahwa kenyataan pemeluk Islam yang
terdiri dari berbagai lapis budaya mencerminkan suatu curiosity (penasaran) untuk meneliti lebih
lanjut. Yang jelas, kata Lapidus, di balik semua keberagaman itu Islam di daerah-daerah Muslim
berfungsi sebagai pemersatu budaya. Namun yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita
menjelaskan suatu rangkain knowledge yang utuh akan adanya Islam lokal itu.
Bagi V.S. Naipaul ia seakan terpesona menyaksikan pengikut-pengikut Islam menerjemahkan
Islam ke dalam visi-visi kedaerahan. Bukunya, Among the Believers menujukkan suatu
perjalanan untuk menyaksikan keberagaman Islam. Ia tidak saja penting sebagai sebuah potret
sosial, tetapi ia juga penting sebagai awal pijakan untuk melihat ke masa depan Islam.
Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka.
Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana
agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan
Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local
konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan
wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana
manusia.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap
tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusiadalam Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan
dari ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam
mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak
akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan
untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris.
Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang
mengkhususkan diri mempelajari manusia-yang merupakan realitas empiris agama-maka
antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.**