tugas antropologi

27
LogoFacebook Em a il atau Telepon Ka t a Sandi B i ar kan sa ya t et ap masu k Lup a kat a san di A nd a? M end aftar B aha sa Indonesi a  ·  P ri va si· K et en t ua n·Kuki  ·I k l a n  ·  P ili h an I k l a n  · La i nn ya Facebook © 2016  K ab ar B er i t a K o m u n i t asA n t r o p ol o g i I n d o n esi a 22April 20 14  · PEN DEKATAN AN TRO PO LO G I DALAMKAJIANI SLAM Jamhari Ma'ruf F en om ena a ga m a a dalah fen om ena uni ver sal m an usia. S elama ini be lum ad a l ap oran pe ne litian dan kaj ian yang m enyat akanbah w a ada sebuah m asyar akat yang t i dak m em punyai konsep t en t an g a ga m a. W alau pu n p eristi w a p er ub ah an sosial telah m en gu ba h o rientasi dan makna a ga m a, h al i t u tidak berh as il m en iada ka n eks i st en si ag ama da l am m as yar ak at . S ehi ng ga ka j ian t en t an g a ga m a s elalu a ka n terus be r kem b an g d a n m en j ad i ka j ian yan g p en t i ng . K ar e nasif at u niversali t as a ga m a dalam m as yar ak at, m ak a ka j iant en t an g m as yar ak at t i d ak a kan l en gk ap ta n p a m e li h a t a g a m a s e b a g ai sa lah s a t u f a ktor ny a. S erin g kali ka j i a n te n t a n g p o litik, e ko no m i d a n pe r ub ah ansosial dal am suatu m asyar akat m el up akan kebe r ad aa n a ga m a seba ga i salah sat u faktor d et e r m i n a n. T i d a k m e n g h e ran ka n j ika h a sil ka j ia n nya ti d a k da p a t m e n g ga m b arkan re a litas so si a l ya n g l e b ih l e n g ka p . Pernyat aa n b ah w a a ga m a a dalah sua tu f en om en a a ba di di dal am di si si lain j ug a m em be rikan ga m ba ran b ah w a keb e radaan ag ama t idak l ep as dari pe ng ar u h realitas di se kelili ng nya . S e rin g kali p rak t ik- p raktik ke a g a m a a n p a d a su a t u m a sya r a ka t d i ke m b a n g ka n dari do ktr i n a j aran ag am a d an kemudian di sesua ikanden ga n li ng kung anbu daya. Per t em ua n a ntara doktri n a ga m a d an r e a li t a s b u d ay a terli h a t sa n g a t j e l a s d al a m p r a ktik ri t ual a g a m a. DalamIsl a m , mi sa l ny a sa j a p e r aya an I d ul F itri d i I n d o n e si a ya n g d ir aya ka n d e n g an t radisi su n g ke m an - b e rsil a t ur a h m i kep a d a yan g l eb ih tua- ad al ah se bu ah b uk t i d ari keter pa utanantara nilai a ga m a da n keb ud aya an . Pert au t an an t ar a a ga m a d a n realitas bud aya di m u ng ki nk a n ter j adi kar en a a ga m a ti d ak b er ad a d alamre a li t a s ya n g va ku m - se lalu o ri g inal. M e n g i n g ka ri ket e r p a u t an a ga m a d e n g an r e a lit a s b ud aya be rarti m en gi ng ka ri r ea li t as ag am a s en di ri yan g s elal u b er hu bu ng ande ng an m an usia, ya n g p asti d ilin g ka ri o l e h b u d ay a ny a. K enyataan yang d em i ki an i t u juga m em ber i kan a rti bah w a p er kem ban gan aga m a d al am sebua h m asyar ak at- b ai k da l am w ac an a d a n pr ak t i s sosi al nya - m e nu nj uk ka n a d an ya unsur kon str uk si m an us i a. W a l au pu n t en t u p ernyataa n i n i t i da k be rart i ba hw a a ga m a se m at a- mat a ci pt a an m an us i a, m el ai nk an hu b ungan yan g t i da k b i sa di el ak ka n an t ara kon str uks i Tu ha n- se per t i yan g t e r ce r m i n d a l a mki t a b-kit a b suci- d a n k o n str u ks i m a n u si a -t e r j e m a h a n d an in t er p r e tasi d ari n il a i- Masuk

description

antropologi

Transcript of tugas antropologi

Page 1: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 1/27

Logo Facebook

Email atau Telepon Kata Sandi

Biarkan saya tetap masuk Lupa kata sandi Anda?

Mendaftar

Bahasa Indonesia · Privasi·Ketentuan·Kuki ·Iklan · Pilihan Iklan ·

Lainnya

Facebook © 2016

 

Kabar Berita

Komunitas Antropologi Indonesia

22 April 2014 ·

PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM

Jamhari Ma'ruf

Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian

dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep

tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna

agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian

tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat

universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap

tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan

perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu

faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas

sosial yang lebih lengkap.

Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan

gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya.

Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran

agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama

dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya sajaperayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada

yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan.

Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada

dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas

budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia,

yang pasti dilingkari oleh budayanya.

Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah

masyarakat-baik dalam wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi

manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan

manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan-seperti yang

tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-

Masuk

Page 2: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 2/27

nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia

melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan

budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa

interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian

komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya

membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma

menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif

dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat

dipengaruhi oleh lingkungan budaya.

Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam

masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang

sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang

hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi

kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama

dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja perandan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.

Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk

memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk

dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik

dan komitmen antropology akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi

merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan

berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat

penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai 'khalifah' (wakil Tuhan)

di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.

Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan

utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-

persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya.

Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya.

Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan

membedakan apa yang mereka sebut sebagai 'common sense' dan 'religious atau mystical

event.' Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa

diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu

religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar

maupun teknologi.Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai

penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam

penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu

penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia

untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua

sisi kajian ini-usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya

menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.

Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan

lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas

kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari

Page 3: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 3/27

keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu,

antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas

kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi

gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.

Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyakdilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an

menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia

khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-

abangan, santri dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak

orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun

hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-

dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih

mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa

pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin

melakukan kritik terhadap wacana Geertz.

Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-

kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan

politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam

kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz

mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas

politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri.

Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan

santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata

mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan

isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang

memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.

Teori politik aliran ini, menurut Bahtiar Effendy memberikan arti penting terhadap wacana tentang

hubungan antara agama-khususnya Islam-dan negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk

memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokkan religio-

sosial di Indonesia. Pengelompokkan sosial tersebut mempengaruhi pola interaksi politik yang

lebih luas di Indonesia.

Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di

Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan

masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agamadan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi

dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana

agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang

bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang

dipraktikkan.

Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan

wacana posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih

mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah "fenomena" atau sebuah

kerangka "desconstruction theory", mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya

kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal dalam percaturan dunia

Page 4: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 4/27

global. Bagi ahli politik, misalnya apa yang disinyalir oleh Fukuyama dengan klaimnya The End of

History and the Last Man, globalisasi berarti adalah diterimanya sistem demokrasi liberal sebagai

satu sistem yang laik dipakai. Bagi ahli ekonomi, wujudnya sistem moneter ala Keynesian telah

membuktikan bahwa dunia perekonomian menganut satu sistem. Penggunaan alat

telekomonukasi dan komputer dengan internetnya dapat juga membuktikan bahwa globalisasi

telah mencapai pada satu kesepakatan bersama. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka

yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti antropologi, globalisasi mengimplikasikan

makna yang lain. Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antarbudaya memungkinkan

masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap kebenaran.

Ungkapan terkenal James Clifford tentang runtuhnya "mercu suar" untuk mengklaim suatu

kenyataan dengan ukuran rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya "pengetahuan lokal" di

era posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga menyatukan budaya

dunia atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan dunia, menjadi

sangat penting.

Bassam Tibbi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkin manusia untuk melakukan dialogantarkebudayaan yang ada di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi adalah fenomena

universal yang mau tidak mau mempengaruhi masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi

demokrasi untuk mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa budaya-budaya

lokal harus menyerah dan digantikan total dengan demokrasi. Bassam Tibbi tidak menafikan

bahwa ada perbedaan-perbedaan yang nyata antara penafsiran demokrasi di Barat dan di

wilayah lain sehingga muncul adanya Demokrasi Asia (Asian Democracy) atau Demokrasi Islam

(Islamic Democracy). Tetapi perbedaan itu bukan berarti akan menimbulkan konflik seperti apa

yang disinyalir oleh Samuel Huntington. Ia lebih optimis melihat perbedaan itu sebagai awal dari

keharusan untuk mengadakan dialog antarbudaya untuk menelorkan yang ia sebut sebagai

"international morality", suatu sistem nilai dunia yang dihasilkan dari gabungan nilai-nilai terbaikdari budaya-budaya yang ada.

Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat

relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna

untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan

pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara

empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama

diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan

kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas

menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang

manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi

sempurna.

Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan

masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan,

sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah

aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max

Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan

yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi

pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara

historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi,berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan

Page 5: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 5/27

manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-

ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).

Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna

yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi

manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai"tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun

estitika mereka." Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang

kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan

gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini

agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia

bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.

Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan

pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat

akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture

akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan

pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan

dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang

disebut Tibbi sebagai "international morality" berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.

Tradisi Antropologi dalam Kajian Agama: Kajian Empirik Relasi Agama dan Sosial

Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena

meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak

pada keyakinan, tradisi antropologi untuk mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17,

berkembang dengan pesat. Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi

sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahamanrealitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan

agama itu sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis tentang perjuangan para

Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan Italia, dimana ia merasa kesulitan untuk menjelaskan

fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada guru Sufi mereka. Tak dapat disangkal bahwa

kemudian Evans-Pritchard dapat menggambarkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh

empati.

Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana,

pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan

 juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan

masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah

lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi

berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah "takdir

sosial" yang tak perlu lagi dipahami.

Namun sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh

budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah

penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-

wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para

sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem

yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikihadalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan

Page 6: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 6/27

kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya

yang ada di dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas agama.

Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah

mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang

bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitaskeagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa

ribu tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan.

Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan mereka

akan betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga

ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan

kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama baik

dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern menunjukkan bahwa

keberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan

transendensi dan sekularisasi.

Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat

kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama

dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang

mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat

perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah

misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap

adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis ini

menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai

kepada agama monoteis. Makanya kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti

dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme. Menurut Mircea

Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu

bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari

kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar

pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula

dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.

Ketiga teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis, sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim.

Buku Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang

dalam melihat agama. Lewat buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling

sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Asutralia sampai ke agama yang well-structured

dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim menemukanbahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara yang sacred

dan yang profan. Namun demikian ia tak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang

sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan

bahwa penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisal

Kanguru.

Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa

masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial.

Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah "struktur dari ikatan

sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral." Pandangan ini yang mengilhami para

antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam

masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan

Page 7: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 7/27

pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan

masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam bentuk mitos, magic adalah model bagi

kerangka bertindak bagi individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim

dikembangkan oleh Levi-Strauss kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam

ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial.

Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat sangat berpengaruh

dalam tradisi antropologi sosial di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa

masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah

mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang

tersebut. Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi

sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari perkembangan teori

fungsionalisme. Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakat

adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat

diselesaikan dengan common sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi.

Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuanrasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di

daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka

dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand

membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu

ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan

kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya.

Maka sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana

komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable.

Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga mengambil

akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme.

Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu

aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk

menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut

adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat

Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat

Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah

tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena

itu, ritual, utama cult ritual (ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah

ketidakberuntungan-misfortune) mengandung empat fungsi sosial yang penting. Pertama, ritual

sebagai media untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) di antara warga masyarakat

yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat seseorang kepada yang lain. Kedua,

ritual digunakan untuk menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat.

Ketiga, ritual sebagai sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat, ritual

sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Jadi Turner melihat ritual

tidak hanya sebagai kewajiban (prescribed) saja, melainkan sebagai simbol dari apa yang

sebenarnya terjadi dalam masyarakat.

Di samping tradisi intelektual dan tiga tradisi-strukturalis, fungsionalis dan simbolis-yang berakar

dari tradisi Durkheim, ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari pandangan-

pandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis dan tradisi Durkheimian,Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara doktrin agama dan aktifitas duniawi manusia,

Page 8: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 8/27

seperti misalnya ekonomi dan politik. Oleh karena itu Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan

definisi atau argumentasi rasionalitas keberadaan agama. Dalam kajian tentang hubungan

antara etika Protestan, khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme modern,

menunjukkan minat Weber untuk mendiskusikan hubungan antara religious ethic dan

kapitalisme. Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu muncul dalam tulisan-tulisan pendeta

sekte Calvinisme dan yang juga menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah

keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan karakter buruh modern.

Tradisi yang dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti oleh ilmuwan sosial utamanya di

Amerika. Kajian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang Tokugawa Religion yang mencoba

melihat hubungan etika agama dengan restorasi Meiji, dan juga kajian yang dilakukan oleh

Geertz tentang pasar di Jawa dan priyayi Bali memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber.

Kajian-kajian yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama,

tetapi melihat sejauhmana agama-aspek idealisme-mempengaruhi perilaku sosial manusia.

Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama pada realitas empiris

yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu

agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada

bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan

dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya

dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga

menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.

Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-

persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia

digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini

berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahamirealitas manusia-termasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap

ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini

terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi

sangat penting.

Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur'an ketika

membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur'an seringkali menggunakan "orang" untuk

menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur'an

menunjuk pada konsep "muttaqien", untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur'an menggunakan

kata "orang sabar" dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Qur'an yang demikian itu

sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Olehkarena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.

Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan

persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan.

Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan-baca

agama-dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam

bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas

universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya manifestasi

agama dalam kebudayaan tertentu-little tradition-sesungguhnya adalah mosaik dari realitas

universal agama-great tradition.

Kajian Islam di Asia Tenggara: Kajian Agama dalam Perspektif Cross-Culture

Page 9: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 9/27

Satu hal yang perlu disesali adalah pengenalan Muslim Indonesia terhadap kenyataan sosial dari

masyarakat Muslim di dunia sangat kurang. Kalaupun kita mengaku kenal dengan Muslim di

wiliyah lain, pengetahuan mereka baru terbatas pada kenyataan bahwa mereka adalah sesama

Muslim. Tetapi jika ditanyakan tentang keadaan sosial dan budaya mereka, nampaknya tidaklah

banyak yang mereka ketahui. Hal ini dikarenakan kajian keislaman di Indonesia kurang

memperhatikan masalah sosial budaya di negara-negara Muslim. Misalnya saja bagaimana

keadaan Islam di Iran dan bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya Persia, kurang sekali

dipelajari. Padahal informasi mengenai keadaan sosial budaya wilayah Muslim di dunia cukup

banyak. Buku-buku yang ditulis oleh antropolog tentang mereka cukup banyak.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kajian agama dengan menggunakan perspektif cross

culture dibutuhkan untuk lebih memahami realitas agama yang lebih luas. Kajian agama dalam

perspektif lintas budaya sangat berguna untuk melihat realitas empiris agama dalam wilayah

yang luas. Pemahaman tentang realitas yang berbeda akhirnya akan menumbuhkan sikap

menghargai terhadap perbedaan dalam melaksanakan agama. Lebih dari itu kajian lintas budaya

 juga akan memberikan informasi tentang betapa realitas agama tidak bisa steril dari pengaruhbudaya. Sebagai contoh kajian lintas budaya di sini akan di bahas Islam di Asia Tenggara.

Sebagai wilayah kajian maupun sebagai salah satu area kajian, Islam di Asia Tenggara dan

Indonesia khususnya pada awalnya tidak menarik perhatian. Meskipun demikian, dalam

perkembanngannya, dengan memakai ukuran apapun Islam di Asia Tenggara merupakan suatu

komunitas Muslim penting. Tidak saja karena jumlah penduduk Muslim yang hampir separuh dari

penduduk dunia Islam-dengan Indonesia yang mencapai 80 % dari 200 juta-- tetapi juga karena

perkembangan Islam di Asia Tenggara termasuk paling mengesankan. Jika pada dekade 1980-

an dan sebelumnya, Islam di Asia Tenggara tidak dilirik sama sekali-misalnya diungkapkapkan

oleh Denys Lombard-ataupun dianggap sebagai suatu komunitas Islam marginal-John L.

Esposito-ataupun dianggap sebagai bukan Islam sebenarnya karena ciri sinkretik yang begitu

menonjol, sekarang Islam di Asia Tenggara menjadi perhatian yang khusus.

Ada beberapa alasan mengapa Islam di Asia Tenggara mendapat perhatian. Pertama,

perkembangan Islam di Asia Tenggara mengesankan terutama jika dikaitkan dengan wacana

global dunia. Dalam menyikapi perubahan dunia akibat globalisasi, Islam di Asia Tenggara bisa

dikatakan sebagai salah satu yang paling maju, selain tentu saja Pakistan dengan ahli-ahlinya

yang berpengaruh di Amerika. Pergumulan intelektual Muslim Asia Tenggara dengan ide-ide

gender, demokrasi, civil society ataupun human rights menempatkan Islam Asia Tenggara

sebagai pelopor, atau paling tidak yang paling inten mengikuti perkembangan ide-ide global

tersebut.Kedua, corak pendidikan para intelektual Muslim di Asia Tenggara yang lebih menerima ide-ide

ilmu sosial yang berkembang di Barat, seperti misalnya Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo, Anwar

Ibrahim, Chandra Muzaffar dan lain sebagainya, dalam menerjemahkan maupun

mengartikulasikan nilai-nilai normatif Islam, menjadikan perkembangan Islam di Asia Tenggara

tidak teralineasi dari perkembangan global. Tidak mengherankan jika kajian-kajian Islam di

wilayah Asia Tenggara tersebut diwarnai semangat penerjemahan Islam ke dalam konteks yang

empiris. Semaraknya kajian-kajian sosial budaya di kalangan Muslim Asia Tenggara, utamanya

di Indonesia, telah mengangkat harkat, atau setidaknya, membawa orang Muslim ikut aktif

terlibat dalam perdebatan intelektual masa kini.

Page 10: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 10/27

Ketiga, Islam Asia Tenggara memberikan gambaran real terhadap apa yang disebut sebagai

Islam lokal, yang mencerminkan suatu pertemuan budaya, sosial dan intelektual antara budaya

lokal dan Islam. Beragamnya suku bangsa dan etnis di Asia Tenggara, memberikan suatu

gambaran nyata bagaimana Islam dapat survive sekaligus membentuk suatu komunitas

religious. Memang keunikan Islam di Asia Tenggara memberikan citra yang kurang jika

dibandingkan dengan Islam yang ada di masyarakat Arab. Anthony Reid misalnya mengatakan

bahwa posisi Islam di Asia Tenggara yang lebih menonjol warna lokalnya-bahkan hingga lingua

franca bagi komunikasi Islam di Asia Tenggara tidak menggunakan bahasa Arab melainkan Jawi

Melayu-membuat Islam Asia Tenggara termarjinalkan dari wacana Islam secara menyeluruh.

Namun dengan semakin menguatnya konsep-konsep posmodernisme yang memberikan

peranan besar terhadap local knowledge membuat Islam di Asia Tenggara menjadi

perbincangan yang hangat. Di samping itu tentu tanggapan intelektual Muslim Asia Tenggara

yang toleran menerima bahkan tidak jarang yang menjadi pembela ilmu-ilmu sosial Barat

menempatkan Islam di Asia Tenggara sebagai pusat pertemuan antara Islam, budaya lokal dan

katakanlah modernisme. Oleh karena itu kajian yang mendalam tentang perkembangan Islam diAsia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, yang menjadi mayoritas utama komunitas

Muslim di Asia Tenggara, menjadi sangat penting.

Ada beberapa pilihan kajian yang dapat dikembangkan untuk mengetahui lebih lanjut tentang

Islam di Asia Tenggara. Pertama, kajian tentang pertemuan budaya lokal dan Islam yang telah

sekian lama berproses. Anthony Reid dan juga Kuntowijoyo menyebutkan bahwa tidak

berlebihan jika keberadaan Islam di Asia Tenggara telah menjadi wacana agama rakyat (popular

religion). Konversi agama ke Islam sering disebut, terutama di daerah suku Melayu sebagai

"menjadi Melayu." Kedua, beragamnya corak suku etnis dan bahasa yang ada di Asia Tenggara

dapat dijadikan sebagai contoh untuk mengetahui corak lokal, atau sebutnya saja lahirnya Islam

lokal di Asia Tenggara. Dale F. Eickelman, seorang antropolog yang meneliti secara serius

terhadap pembentukan Islam lokal di Maroko, dan kemudian dia menulis suatu buku yang bagus

tentang Muslim politik di berbagai wilayah sosial, mengatakan bahwa perkembangan Islam

dalam suatu wilayah itu dipengaruhi oleh dua kondisi sosial; historical experience dan gerational

location (yang kedua ini dia pinjam dari Karl Manheim). Seperti halnya Michel Faucault yang

melihat bahwa wujud suatu wacana tidak dapat dipisahkan dari suatu kondisi sejarah

lingkungannya, Eickelman menyatakan hal yang sama. Namun ia menambahkan perlunya

memahami suatu realitas sosial dari sudut experience (pengalaman) dimana orang tersebut

merasa, memahami dan mengamalkan suatu agama. Jadi memahami suatu lokal Islam di suatu

tempat harus mempertimbangkan sejarah maupun pengalaman subjek yang mengalaminya.

Sementara itu corak berpikir serta pengalaman sosial juga sangat dipengaruhi oleh suatu

generasi dimana ia hidup. Eickelman mencotohkan bahwa ketika orang Maroko dikuasai oleh

wacana Sufi (dalam istilah lokal mereka dinamakan Marabout), seluruh perilaku keagamaan di

Maroko dipengaruhi oleh wacana Sufi. Keberadaan Islam lokal di Asia Tenggara sangat

dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut.

Ketiga, sebagaimana Marshal Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam yang begitu banyak

dikutip, utamanya kritik tajam dia terhadap Clifford Geertz, mengusulkan suatu kajian Islam lintas

wilayah dan budaya. Artinya bahwa keberadaan Islam yang menyebar dari Maroko sampai ke

Mindanao adalah sebuah tantangan bagi para pemerhati tentang Islam untuk menjelaskan

fenomena tersebut. Tidak saja dari sudut penyebarannya, melainkan dari sudut wujud lokal Islamyang menjadi ciri khas dari tiap-tiap daerah. Misalnya ia mengatakan bahwa Islam di Spanyol

Page 11: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 11/27

telah mewariskan suatu etika religious yang kental dalam proses pemunculan karya seni,

sementara di Persia Islam telah mengilhami lahirnya puisi-puisi indah tentang cinta ketuhanan.

Hodgson berkeyakinan bahwa dari terbentangnya Islam itu tersembunyi suatu benang merah

yang menyatukan Islam.

Kajian tentang agama dan budaya di Indonesia tentunya dapat mengembangkan konsep-konsepdi atas. Sebab bukan saja Islam di Indonesia menawarkan suatu kekayaan realitas keagamaan,

tetapi lebih dari itu Islam di Indonesia dapat dijadikan model dalam menghadapi dua hal.

Pertama, model untuk menjembatani antara budaya lokal dan Islam, mengingat Indonesia terdiri

dari beberapa etnis budaya. Perbedaan-perbedaan manifestasi Islam di setiap wilayah akan

memberikan model bagi penjelajahan teori. Kedua, Islam lokal di Indonesia mungkin bisa

dijadikan model untuk melihat hubungan antara Islam dan dunia modern. Situasi pluralitas

budaya Indonesia yang Islam dapat dijadikan suatu model bagaimana negara Islam menerima

ide-ide global. Misalnya saja pengalaman Indonesia dalam berdemokrasi akan sangat berarti

bagi dunia Muslim lainnya.

Berikut ini, walaupun tidak baru, saya akan mencoba menawarkan beberapa alternatif model

riset yang pernah ditawarkan untuk meneliti Islam, utamanya dalam hubungannya dengan

budaya.

Islam popular dan Islam formal

Konsep Islam popular dan Islam formal diadopsi dari konsep popular religion and official religion

yang berkembang di agama-agama yang mempunyai sistem kependetaan yang berjenjang serta

mempunyai "office" (kekuasaan) untuk menentukan kebenaran suatu pengamalan agama.

Konsep seperti ini dapat dilihat dalam sejarah kuno agama Kristen yang mempunyai sistem

eklestial pendeta, di mana pendeta mempunyai kuasa untuk menghakimi kebenaran suatu

pengalaman agama. Praktik agama yang sesuai dengan keputusan dewan kependetaan inilahyang dianggap sebagai suara resmi, "offical," gereja tentang praktik agama yang benar. Tanpa

persetujuan dari dewan gereja, maka suatu pengalaman keagamaan dianggap tidak sah.

Pengamalan keagamaan yang masuk dalam kategori kedua ini adalah praktik-praktik

keagamaan yang bercampur dengan tradisi lokal, atau bahkan pengamalan dari tradisi-tradisi

keagamaan lokal sebelum datangnya Kristen. Karena kebanyakan dari kalangan awam yang

melakukan kegiatan keagaman model kedua ini maka julukan popular religion dipakai.

Walaupun dalam batasan tertentu Islam mungkin juga mengenal suatu lembaga yang dapat

mengklaim kebenaran suatu pengamalan agama, sifat dari keputusan lembaga itu tidak dapat

mengikat semua Muslim. Hal ini jelas berbeda dengan tradisi Kristen. Dan jika yang dipakai

ukuran popular Islam adalah praktik keagamaan yang telah bercampur dengan tradisi lokal,

dalam Islam tentu sulit untuk menemukan suatu pengamalan keagamaan yang tidak dipengaruhi

oleh tradisi lokal. Karena bervariasinya, maka tidak ada suatu paradigma tunggal yang dapat

dipakai untuk menghakimi mana yang official dan popular.

Meskipun demikian, dengan mengesampingkan perbedaan itu, beberapa ahli memakai kerangka

ini untuk meneliti tentang Islam. Gambaran umum yang ditemui kemudian adalah bahwa popular

Islam itu berwujud praktik tasawuf yang memang banyak dipraktikkan oleh masyarakat bawah

atau masyarakat kebanyakan. Misalnya saja Michael Gilsenan meneliti Sufi di Mesir dan di

Yaman, Eickelman di Maroko, Evans-Pritchard di Libia, Trimingham di Afrika Timur dan yang

lain-lainnya.

Page 12: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 12/27

Disamping itu, Jaques Waardenburg juga memakai konsep popular Islam untuk meneliti dua hal.

Pertama, Waardenburg memakai konsep popular Islam untuk merujuk pada praktik-praktik

keagamaan yang bersifat lokal seperti ritual untuk memperingati kelahiran Nabi, ritual untuk

menghormati kehidupan Sufi dan tradisi-tradisi keagamaan yang merakyat. Kedua, gerakan-

gerakan keagamaan semacam ratu adil, milleniarisme, kuktus-kultus Sufi dan tokoh agama

tertentu.

Contoh yang baik tentang kajian popular dan official ini mungkin Ernest Gellner dalam bukunya

Saint of The Atlas dan teory pendulum swing-nya. Gellner dalam kajiannya menunjukkan bahwa

dua kategori tersebut dapat diartikan sebagai perwujudan dari dua tradisi, little tradition and

great tradition, istilah yang dikembangkan oleh Robert Redfield. Popular Islam adalah cerminan

dari wujudnya little tradition dalam Islam yang dalam bentuknya terlihat jelas dalam praktik Sufi

atau pengamalan keagamaan yang berpusat pada tokoh-tokoh kharismatik. Sementara offical

Islam tercermin dalam kehidupan para intelektual Islam yang cenderung berfikir formal dan

legalistik yang dikategorikan oleh Gellner sebagai Muslim yang lebih berorientasi pada syari'ah.

Bagi Gellner dua kecenderungan ini dalam elit agama direpresentasikan oleh Sufi, sebagai elitpopular Islam, dan ulama, sebagai representasi kecenderungan formal agama. Dua kelompok

beragama ini selalu berebut kekuasaan dan berusaha untuk menjadi pemimimpin umat.

Sebagai kelanjutan dari proses konflik tersebut, Gellner memetakan mereka ke dalam dua kubu:

Sufi, di satu sisi, merupakan kubu agama yang lebih mementingkan social cohesion sebagai inti

kekuatannya yang berbasis di desa (rural), dan ulama, di sisi lain, yang dominan di kota (urban)

dan cenderung lebih profesional dan rasional namun lemah ikatan sosialnya. Dalam pertarungan

politik agama dua kekuatan yang berbeda basis ini selalu saling bergantian, seperti bandul jam

(pendulum) yang akan bergoyang kembali ke sisi lain setelah ia sampai pada sisi yang satunya.

Untuk menjelaskan hal ini Gellner meminjam teori Ibn Khaldun yang berkeyakinan bahwa

sesungguhnya pusat peradaban Islam itu berpusat di kota (madinatul munawarah). Namun

kekuasaan kota itu akan dapat terbentuk dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion

yang kuat. Menurut Ibn Khaldun kekuatan massa Islam desa yang didukung oleh social cohesion

akan dapat mengantarkannya ke peta kekuasaan kota. Tetapi, kata Ibn Khaldun lagi, setelah

kekuatan massa rural itu sampai ke pusat kekuasaan, ia akan mengalami fragmentasi sosial

sebagai suatu gejala umum perkotaan. Sehingga ia akan dikalahkan lagi oleh kekuatan dari rural

area yang mempunyai social cohesion lebih besar.

Analisis Gellner dan Ibn Khaldun ini bisa mendukung kajian-kajian kelembagaan agama Islam

maupun karakteristiknya baik yang di kota maupun di desa untuk memprediksi kelanjutan proses

perjalanan sejarah Islam. Analisis yang demikian ini juga dapat digunakan untuk melihatorganisasi-organisasi Islam di Indonesia dalam kaitan percaturan politik umat. Misalnya apakah

naiknya Nahdlatul Ulama (NU) sekarang ini ke panggung kekuasaan dapat dilihat sebagai suatu

hasil dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion yang kuat menggantikan massa

modernis di kota yang telah dilanda fragmentasi yang akut. Dengan pendekatan analisis budaya,

tipe-tipe organisasi keagamaan tersebut dapat ditelusuri secara mendalam.

Agama Sebagai Sistem Budaya

Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah

system budaya. Karya Geertz, "Religion as a Cultural System," dianggap sebagai tulisan klasik

tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada

teori-teori besar Mark, Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan

Page 13: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 13/27

struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan

bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang mampu mengubah suatu tatanan

masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari

system budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapat

membentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah

baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam. Oleh

karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai:

"A system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and

motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of

factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic."

Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic

tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang makna

simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle)

untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan

harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol

keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes

for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan

suatu existensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam

cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan

sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.

Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu

masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam Observed

merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The

Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah.Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik

maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat

perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama

dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.

Penutup dan Agenda Kajian Antropologi dalam Islam

Sekarang ini ada kecenderungan untuk melihat Islam secara menyeluruh dengan menonjolkan

ciri-ciri Islam lokal. Kajin semacam Marshal Hodgson yang mencoba menggabungkan perjalan

pergumulan Islam dengan budaya maupun peradaban lokal menunjukkan suatu hasil yang

memuaskan. Buku The Venture of Islam, tidak saja menghasilkan sebuah peta besar

keberagaman Islam, tetapi juga merupakan tantangan tersendiri bagi pengamat Islam untuk

menerjemahkan makna keberagaman itu. Di lain pihak, buku itu menyisakan banyak homework

untuk kita semua bagaimana mengembangkan pemahaman dan kajian Islam di tingkat lokal

untuk melihat keragaman dan kekayaan Islam lokal.

Ira M. Lapidus juga menekankan dalam karya-karyanya untuk melihat keberagaman itu. Ia

membagi periode Islam ke dalam beberapa periode yang ia sebut sebagai periode

perkembangan paradigma melihat Islam. Ia mengakui bahwa kenyataan pemeluk Islam yang

terdiri dari berbagai lapis budaya mencerminkan suatu curiosity (penasaran) untuk meneliti lebih

lanjut. Yang jelas, kata Lapidus, di balik semua keberagaman itu Islam di daerah-daerah Muslim

berfungsi sebagai pemersatu budaya. Namun yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kitamenjelaskan suatu rangkain knowledge yang utuh akan adanya Islam lokal itu.

Page 14: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 14/27

Bagi V.S. Naipaul ia seakan terpesona menyaksikan pengikut-pengikut Islam menerjemahkan

Islam ke dalam visi-visi kedaerahan. Bukunya, Among the Believers menujukkan suatu

perjalanan untuk menyaksikan keberagaman Islam. Ia tidak saja penting sebagai sebuah potret

sosial, tetapi ia juga penting sebagai awal pijakan untuk melihat ke masa depan Islam.

Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka.Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana

agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan

Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local

konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan

wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana

manusia.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap

tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia

dalam Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan

dari ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam

mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak

akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan

untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris.

Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang

mengkhususkan diri mempelajari manusia-yang merupakan realitas empiris agama-maka

antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.**

vLogo Facebook

Email atau Telepon Kata Sandi

Biarkan saya tetap masuk Lupa kata sandi Anda?

Mendaftar

Bahasa Indonesia · Privasi·Ketentuan·Kuki ·Iklan · Pilihan Iklan ·

Lainnya

Facebook © 2016

 

Kabar Berita

Komunitas Antropologi Indonesia

22 April 2014 ·

PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM

Jamhari Ma'ruf

Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian

dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konseptentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna

Masuk

Page 15: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 15/27

agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian

tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat

universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap

tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan

perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu

faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas

sosial yang lebih lengkap.

Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan

gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya.

Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran

agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama

dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja

perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada

yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan.

Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak beradadalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas

budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia,

yang pasti dilingkari oleh budayanya.

Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah

masyarakat-baik dalam wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi

manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan

manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan-seperti yang

tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-

nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia

melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan

budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa

interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian

komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya

membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma

menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif

dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat

dipengaruhi oleh lingkungan budaya.

Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam

masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yangsesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang

hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi

kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama

dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran

dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.

Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk

memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk

dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik

dan komitmen antropology akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi

merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan

berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat

Page 16: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 16/27

penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai 'khalifah' (wakil Tuhan)

di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.

Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan

utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-

persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya.Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya.

Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan

membedakan apa yang mereka sebut sebagai 'common sense' dan 'religious atau mystical

event.' Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa

diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu

religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar

maupun teknologi.

Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai

penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam

penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu

penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia

untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua

sisi kajian ini-usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya

menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.

Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan

lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas

kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari

keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu,

antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitaskemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi

gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.

Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak

dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an

menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia

khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-

abangan, santri dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak

orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun

hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-

dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebihmendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa

pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin

melakukan kritik terhadap wacana Geertz.

Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-

kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan

politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam

kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz

mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas

politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri.

Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan

Page 17: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 17/27

santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata

mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan

isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang

memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.

Teori politik aliran ini, menurut Bahtiar Effendy memberikan arti penting terhadap wacana tentanghubungan antara agama-khususnya Islam-dan negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk

memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokkan religio-

sosial di Indonesia. Pengelompokkan sosial tersebut mempengaruhi pola interaksi politik yang

lebih luas di Indonesia.

Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di

Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan

masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agama

dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi

dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana

agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang

bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang

dipraktikkan.

Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan

wacana posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih

mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah "fenomena" atau sebuah

kerangka "desconstruction theory", mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya

kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal dalam percaturan dunia

global. Bagi ahli politik, misalnya apa yang disinyalir oleh Fukuyama dengan klaimnya The End of

History and the Last Man, globalisasi berarti adalah diterimanya sistem demokrasi liberal sebagaisatu sistem yang laik dipakai. Bagi ahli ekonomi, wujudnya sistem moneter ala Keynesian telah

membuktikan bahwa dunia perekonomian menganut satu sistem. Penggunaan alat

telekomonukasi dan komputer dengan internetnya dapat juga membuktikan bahwa globalisasi

telah mencapai pada satu kesepakatan bersama. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka

yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti antropologi, globalisasi mengimplikasikan

makna yang lain. Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antarbudaya memungkinkan

masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap kebenaran.

Ungkapan terkenal James Clifford tentang runtuhnya "mercu suar" untuk mengklaim suatu

kenyataan dengan ukuran rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya "pengetahuan lokal" di

era posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga menyatukan budayadunia atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan dunia, menjadi

sangat penting.

Bassam Tibbi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkin manusia untuk melakukan dialog

antarkebudayaan yang ada di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi adalah fenomena

universal yang mau tidak mau mempengaruhi masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi

demokrasi untuk mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa budaya-budaya

lokal harus menyerah dan digantikan total dengan demokrasi. Bassam Tibbi tidak menafikan

bahwa ada perbedaan-perbedaan yang nyata antara penafsiran demokrasi di Barat dan di

wilayah lain sehingga muncul adanya Demokrasi Asia (Asian Democracy) atau Demokrasi Islam

(Islamic Democracy). Tetapi perbedaan itu bukan berarti akan menimbulkan konflik seperti apa

yang disinyalir oleh Samuel Huntington. Ia lebih optimis melihat perbedaan itu sebagai awal dari

Page 18: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 18/27

keharusan untuk mengadakan dialog antarbudaya untuk menelorkan yang ia sebut sebagai

"international morality", suatu sistem nilai dunia yang dihasilkan dari gabungan nilai-nilai terbaik

dari budaya-budaya yang ada.

Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat

relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat bergunauntuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan

pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara

empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama

diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan

kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas

menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang

manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi

sempurna.

Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan

masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan,

sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah

aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max

Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan

yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi

pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara

historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi,

berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan

manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-

ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).

Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna

yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi

manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai

"tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun

estitika mereka." Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang

kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan

gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini

agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia

bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.

Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaanpengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat

akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture

akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan

pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan

dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang

disebut Tibbi sebagai "international morality" berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.

Tradisi Antropologi dalam Kajian Agama: Kajian Empirik Relasi Agama dan Sosial

Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena

meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletakpada keyakinan, tradisi antropologi untuk mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17,

Page 19: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 19/27

berkembang dengan pesat. Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi

sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman

realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan

agama itu sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis tentang perjuangan para

Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan Italia, dimana ia merasa kesulitan untuk menjelaskan

fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada guru Sufi mereka. Tak dapat disangkal bahwa

kemudian Evans-Pritchard dapat menggambarkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh

empati.

Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana,

pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan

 juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan

masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah

lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi

berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah "takdir

sosial" yang tak perlu lagi dipahami.

Namun sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh

budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah

penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-

wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para

sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem

yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih

adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan

kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya

yang ada di dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas agama.

Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah

mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang

bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas

keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa

ribu tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan.

Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan mereka

akan betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga

ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan

kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama baik

dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern menunjukkan bahwakeberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan

transendensi dan sekularisasi.

Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat

kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama

dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang

mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat

perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah

misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap

adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis ini

menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai

kepada agama monoteis. Makanya kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti

Page 20: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 20/27

dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme. Menurut Mircea

Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu

bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari

kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar

pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula

dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.

Ketiga teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis, sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim.

Buku Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang

dalam melihat agama. Lewat buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling

sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Asutralia sampai ke agama yang well-structured

dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim menemukan

bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara yang sacred

dan yang profan. Namun demikian ia tak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang

sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan

bahwa penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisalKanguru.

Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa

masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial.

Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah "struktur dari ikatan

sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral." Pandangan ini yang mengilhami para

antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam

masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan

pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan

masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam bentuk mitos, magic adalah model bagi

kerangka bertindak bagi individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim

dikembangkan oleh Levi-Strauss kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam

ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial.

Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat sangat berpengaruh

dalam tradisi antropologi sosial di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa

masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah

mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang

tersebut. Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi

sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari perkembangan teori

fungsionalisme. Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakatadalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat

diselesaikan dengan common sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi.

Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan

rasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di

daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka

dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand

membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu

ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan

kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya.

Maka sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai saranakomunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable.

Page 21: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 21/27

Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga mengambil

akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme.

Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu

aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk

menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut

adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat

Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat

Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah

tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena

itu, ritual, utama cult ritual (ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah

ketidakberuntungan-misfortune) mengandung empat fungsi sosial yang penting. Pertama, ritual

sebagai media untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) di antara warga masyarakat

yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat seseorang kepada yang lain. Kedua,

ritual digunakan untuk menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat.

Ketiga, ritual sebagai sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat, ritual

sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Jadi Turner melihat ritual

tidak hanya sebagai kewajiban (prescribed) saja, melainkan sebagai simbol dari apa yang

sebenarnya terjadi dalam masyarakat.

Di samping tradisi intelektual dan tiga tradisi-strukturalis, fungsionalis dan simbolis-yang berakar

dari tradisi Durkheim, ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari pandangan-

pandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis dan tradisi Durkheimian,

Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara doktrin agama dan aktifitas duniawi manusia,

seperti misalnya ekonomi dan politik. Oleh karena itu Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan

definisi atau argumentasi rasionalitas keberadaan agama. Dalam kajian tentang hubungan

antara etika Protestan, khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme modern,menunjukkan minat Weber untuk mendiskusikan hubungan antara religious ethic dan

kapitalisme. Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu muncul dalam tulisan-tulisan pendeta

sekte Calvinisme dan yang juga menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah

keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan karakter buruh modern.

Tradisi yang dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti oleh ilmuwan sosial utamanya di

Amerika. Kajian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang Tokugawa Religion yang mencoba

melihat hubungan etika agama dengan restorasi Meiji, dan juga kajian yang dilakukan oleh

Geertz tentang pasar di Jawa dan priyayi Bali memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber.

Kajian-kajian yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama,

tetapi melihat sejauhmana agama-aspek idealisme-mempengaruhi perilaku sosial manusia.

Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama pada realitas empiris

yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu

agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada

bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan

dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya

dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga

menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.

Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-

persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia

digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini

Page 22: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 22/27

berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami

realitas manusia-termasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap

ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini

terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi

sangat penting.

Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur'an ketika

membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur'an seringkali menggunakan "orang" untuk

menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur'an

menunjuk pada konsep "muttaqien", untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur'an menggunakan

kata "orang sabar" dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Qur'an yang demikian itu

sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh

karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.

Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan

persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan.

Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan-baca

agama-dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam

bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas

universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya manifestasi

agama dalam kebudayaan tertentu-little tradition-sesungguhnya adalah mosaik dari realitas

universal agama-great tradition.

Kajian Islam di Asia Tenggara: Kajian Agama dalam Perspektif Cross-Culture

Satu hal yang perlu disesali adalah pengenalan Muslim Indonesia terhadap kenyataan sosial dari

masyarakat Muslim di dunia sangat kurang. Kalaupun kita mengaku kenal dengan Muslim di

wiliyah lain, pengetahuan mereka baru terbatas pada kenyataan bahwa mereka adalah sesamaMuslim. Tetapi jika ditanyakan tentang keadaan sosial dan budaya mereka, nampaknya tidaklah

banyak yang mereka ketahui. Hal ini dikarenakan kajian keislaman di Indonesia kurang

memperhatikan masalah sosial budaya di negara-negara Muslim. Misalnya saja bagaimana

keadaan Islam di Iran dan bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya Persia, kurang sekali

dipelajari. Padahal informasi mengenai keadaan sosial budaya wilayah Muslim di dunia cukup

banyak. Buku-buku yang ditulis oleh antropolog tentang mereka cukup banyak.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kajian agama dengan menggunakan perspektif cross

culture dibutuhkan untuk lebih memahami realitas agama yang lebih luas. Kajian agama dalam

perspektif lintas budaya sangat berguna untuk melihat realitas empiris agama dalam wilayah

yang luas. Pemahaman tentang realitas yang berbeda akhirnya akan menumbuhkan sikap

menghargai terhadap perbedaan dalam melaksanakan agama. Lebih dari itu kajian lintas budaya

 juga akan memberikan informasi tentang betapa realitas agama tidak bisa steril dari pengaruh

budaya. Sebagai contoh kajian lintas budaya di sini akan di bahas Islam di Asia Tenggara.

Sebagai wilayah kajian maupun sebagai salah satu area kajian, Islam di Asia Tenggara dan

Indonesia khususnya pada awalnya tidak menarik perhatian. Meskipun demikian, dalam

perkembanngannya, dengan memakai ukuran apapun Islam di Asia Tenggara merupakan suatu

komunitas Muslim penting. Tidak saja karena jumlah penduduk Muslim yang hampir separuh dari

penduduk dunia Islam-dengan Indonesia yang mencapai 80 % dari 200 juta-- tetapi juga karena

perkembangan Islam di Asia Tenggara termasuk paling mengesankan. Jika pada dekade 1980-an dan sebelumnya, Islam di Asia Tenggara tidak dilirik sama sekali-misalnya diungkapkapkan

Page 23: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 23/27

oleh Denys Lombard-ataupun dianggap sebagai suatu komunitas Islam marginal-John L.

Esposito-ataupun dianggap sebagai bukan Islam sebenarnya karena ciri sinkretik yang begitu

menonjol, sekarang Islam di Asia Tenggara menjadi perhatian yang khusus.

Ada beberapa alasan mengapa Islam di Asia Tenggara mendapat perhatian. Pertama,

perkembangan Islam di Asia Tenggara mengesankan terutama jika dikaitkan dengan wacanaglobal dunia. Dalam menyikapi perubahan dunia akibat globalisasi, Islam di Asia Tenggara bisa

dikatakan sebagai salah satu yang paling maju, selain tentu saja Pakistan dengan ahli-ahlinya

yang berpengaruh di Amerika. Pergumulan intelektual Muslim Asia Tenggara dengan ide-ide

gender, demokrasi, civil society ataupun human rights menempatkan Islam Asia Tenggara

sebagai pelopor, atau paling tidak yang paling inten mengikuti perkembangan ide-ide global

tersebut.

Kedua, corak pendidikan para intelektual Muslim di Asia Tenggara yang lebih menerima ide-ide

ilmu sosial yang berkembang di Barat, seperti misalnya Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo, Anwar

Ibrahim, Chandra Muzaffar dan lain sebagainya, dalam menerjemahkan maupun

mengartikulasikan nilai-nilai normatif Islam, menjadikan perkembangan Islam di Asia Tenggara

tidak teralineasi dari perkembangan global. Tidak mengherankan jika kajian-kajian Islam di

wilayah Asia Tenggara tersebut diwarnai semangat penerjemahan Islam ke dalam konteks yang

empiris. Semaraknya kajian-kajian sosial budaya di kalangan Muslim Asia Tenggara, utamanya

di Indonesia, telah mengangkat harkat, atau setidaknya, membawa orang Muslim ikut aktif

terlibat dalam perdebatan intelektual masa kini.

Ketiga, Islam Asia Tenggara memberikan gambaran real terhadap apa yang disebut sebagai

Islam lokal, yang mencerminkan suatu pertemuan budaya, sosial dan intelektual antara budaya

lokal dan Islam. Beragamnya suku bangsa dan etnis di Asia Tenggara, memberikan suatu

gambaran nyata bagaimana Islam dapat survive sekaligus membentuk suatu komunitasreligious. Memang keunikan Islam di Asia Tenggara memberikan citra yang kurang jika

dibandingkan dengan Islam yang ada di masyarakat Arab. Anthony Reid misalnya mengatakan

bahwa posisi Islam di Asia Tenggara yang lebih menonjol warna lokalnya-bahkan hingga lingua

franca bagi komunikasi Islam di Asia Tenggara tidak menggunakan bahasa Arab melainkan Jawi

Melayu-membuat Islam Asia Tenggara termarjinalkan dari wacana Islam secara menyeluruh.

Namun dengan semakin menguatnya konsep-konsep posmodernisme yang memberikan

peranan besar terhadap local knowledge membuat Islam di Asia Tenggara menjadi

perbincangan yang hangat. Di samping itu tentu tanggapan intelektual Muslim Asia Tenggara

yang toleran menerima bahkan tidak jarang yang menjadi pembela ilmu-ilmu sosial Barat

menempatkan Islam di Asia Tenggara sebagai pusat pertemuan antara Islam, budaya lokal dankatakanlah modernisme. Oleh karena itu kajian yang mendalam tentang perkembangan Islam di

Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, yang menjadi mayoritas utama komunitas

Muslim di Asia Tenggara, menjadi sangat penting.

Ada beberapa pilihan kajian yang dapat dikembangkan untuk mengetahui lebih lanjut tentang

Islam di Asia Tenggara. Pertama, kajian tentang pertemuan budaya lokal dan Islam yang telah

sekian lama berproses. Anthony Reid dan juga Kuntowijoyo menyebutkan bahwa tidak

berlebihan jika keberadaan Islam di Asia Tenggara telah menjadi wacana agama rakyat (popular

religion). Konversi agama ke Islam sering disebut, terutama di daerah suku Melayu sebagai

"menjadi Melayu." Kedua, beragamnya corak suku etnis dan bahasa yang ada di Asia Tenggara

dapat dijadikan sebagai contoh untuk mengetahui corak lokal, atau sebutnya saja lahirnya Islam

Page 24: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 24/27

lokal di Asia Tenggara. Dale F. Eickelman, seorang antropolog yang meneliti secara serius

terhadap pembentukan Islam lokal di Maroko, dan kemudian dia menulis suatu buku yang bagus

tentang Muslim politik di berbagai wilayah sosial, mengatakan bahwa perkembangan Islam

dalam suatu wilayah itu dipengaruhi oleh dua kondisi sosial; historical experience dan gerational

location (yang kedua ini dia pinjam dari Karl Manheim). Seperti halnya Michel Faucault yang

melihat bahwa wujud suatu wacana tidak dapat dipisahkan dari suatu kondisi sejarah

lingkungannya, Eickelman menyatakan hal yang sama. Namun ia menambahkan perlunya

memahami suatu realitas sosial dari sudut experience (pengalaman) dimana orang tersebut

merasa, memahami dan mengamalkan suatu agama. Jadi memahami suatu lokal Islam di suatu

tempat harus mempertimbangkan sejarah maupun pengalaman subjek yang mengalaminya.

Sementara itu corak berpikir serta pengalaman sosial juga sangat dipengaruhi oleh suatu

generasi dimana ia hidup. Eickelman mencotohkan bahwa ketika orang Maroko dikuasai oleh

wacana Sufi (dalam istilah lokal mereka dinamakan Marabout), seluruh perilaku keagamaan di

Maroko dipengaruhi oleh wacana Sufi. Keberadaan Islam lokal di Asia Tenggara sangat

dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut.

Ketiga, sebagaimana Marshal Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam yang begitu banyak

dikutip, utamanya kritik tajam dia terhadap Clifford Geertz, mengusulkan suatu kajian Islam lintas

wilayah dan budaya. Artinya bahwa keberadaan Islam yang menyebar dari Maroko sampai ke

Mindanao adalah sebuah tantangan bagi para pemerhati tentang Islam untuk menjelaskan

fenomena tersebut. Tidak saja dari sudut penyebarannya, melainkan dari sudut wujud lokal Islam

yang menjadi ciri khas dari tiap-tiap daerah. Misalnya ia mengatakan bahwa Islam di Spanyol

telah mewariskan suatu etika religious yang kental dalam proses pemunculan karya seni,

sementara di Persia Islam telah mengilhami lahirnya puisi-puisi indah tentang cinta ketuhanan.

Hodgson berkeyakinan bahwa dari terbentangnya Islam itu tersembunyi suatu benang merah

yang menyatukan Islam.

Kajian tentang agama dan budaya di Indonesia tentunya dapat mengembangkan konsep-konsep

di atas. Sebab bukan saja Islam di Indonesia menawarkan suatu kekayaan realitas keagamaan,

tetapi lebih dari itu Islam di Indonesia dapat dijadikan model dalam menghadapi dua hal.

Pertama, model untuk menjembatani antara budaya lokal dan Islam, mengingat Indonesia terdiri

dari beberapa etnis budaya. Perbedaan-perbedaan manifestasi Islam di setiap wilayah akan

memberikan model bagi penjelajahan teori. Kedua, Islam lokal di Indonesia mungkin bisa

dijadikan model untuk melihat hubungan antara Islam dan dunia modern. Situasi pluralitas

budaya Indonesia yang Islam dapat dijadikan suatu model bagaimana negara Islam menerima

ide-ide global. Misalnya saja pengalaman Indonesia dalam berdemokrasi akan sangat berarti

bagi dunia Muslim lainnya.

Berikut ini, walaupun tidak baru, saya akan mencoba menawarkan beberapa alternatif model

riset yang pernah ditawarkan untuk meneliti Islam, utamanya dalam hubungannya dengan

budaya.

Islam popular dan Islam formal

Konsep Islam popular dan Islam formal diadopsi dari konsep popular religion and official religion

yang berkembang di agama-agama yang mempunyai sistem kependetaan yang berjenjang serta

mempunyai "office" (kekuasaan) untuk menentukan kebenaran suatu pengamalan agama.

Konsep seperti ini dapat dilihat dalam sejarah kuno agama Kristen yang mempunyai sistem

eklestial pendeta, di mana pendeta mempunyai kuasa untuk menghakimi kebenaran suatu

Page 25: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 25/27

pengalaman agama. Praktik agama yang sesuai dengan keputusan dewan kependetaan inilah

yang dianggap sebagai suara resmi, "offical," gereja tentang praktik agama yang benar. Tanpa

persetujuan dari dewan gereja, maka suatu pengalaman keagamaan dianggap tidak sah.

Pengamalan keagamaan yang masuk dalam kategori kedua ini adalah praktik-praktik

keagamaan yang bercampur dengan tradisi lokal, atau bahkan pengamalan dari tradisi-tradisi

keagamaan lokal sebelum datangnya Kristen. Karena kebanyakan dari kalangan awam yang

melakukan kegiatan keagaman model kedua ini maka julukan popular religion dipakai.

Walaupun dalam batasan tertentu Islam mungkin juga mengenal suatu lembaga yang dapat

mengklaim kebenaran suatu pengamalan agama, sifat dari keputusan lembaga itu tidak dapat

mengikat semua Muslim. Hal ini jelas berbeda dengan tradisi Kristen. Dan jika yang dipakai

ukuran popular Islam adalah praktik keagamaan yang telah bercampur dengan tradisi lokal,

dalam Islam tentu sulit untuk menemukan suatu pengamalan keagamaan yang tidak dipengaruhi

oleh tradisi lokal. Karena bervariasinya, maka tidak ada suatu paradigma tunggal yang dapat

dipakai untuk menghakimi mana yang official dan popular.

Meskipun demikian, dengan mengesampingkan perbedaan itu, beberapa ahli memakai kerangka

ini untuk meneliti tentang Islam. Gambaran umum yang ditemui kemudian adalah bahwa popular

Islam itu berwujud praktik tasawuf yang memang banyak dipraktikkan oleh masyarakat bawah

atau masyarakat kebanyakan. Misalnya saja Michael Gilsenan meneliti Sufi di Mesir dan di

Yaman, Eickelman di Maroko, Evans-Pritchard di Libia, Trimingham di Afrika Timur dan yang

lain-lainnya.

Disamping itu, Jaques Waardenburg juga memakai konsep popular Islam untuk meneliti dua hal.

Pertama, Waardenburg memakai konsep popular Islam untuk merujuk pada praktik-praktik

keagamaan yang bersifat lokal seperti ritual untuk memperingati kelahiran Nabi, ritual untuk

menghormati kehidupan Sufi dan tradisi-tradisi keagamaan yang merakyat. Kedua, gerakan-gerakan keagamaan semacam ratu adil, milleniarisme, kuktus-kultus Sufi dan tokoh agama

tertentu.

Contoh yang baik tentang kajian popular dan official ini mungkin Ernest Gellner dalam bukunya

Saint of The Atlas dan teory pendulum swing-nya. Gellner dalam kajiannya menunjukkan bahwa

dua kategori tersebut dapat diartikan sebagai perwujudan dari dua tradisi, little tradition and

great tradition, istilah yang dikembangkan oleh Robert Redfield. Popular Islam adalah cerminan

dari wujudnya little tradition dalam Islam yang dalam bentuknya terlihat jelas dalam praktik Sufi

atau pengamalan keagamaan yang berpusat pada tokoh-tokoh kharismatik. Sementara offical

Islam tercermin dalam kehidupan para intelektual Islam yang cenderung berfikir formal dan

legalistik yang dikategorikan oleh Gellner sebagai Muslim yang lebih berorientasi pada syari'ah.Bagi Gellner dua kecenderungan ini dalam elit agama direpresentasikan oleh Sufi, sebagai elit

popular Islam, dan ulama, sebagai representasi kecenderungan formal agama. Dua kelompok

beragama ini selalu berebut kekuasaan dan berusaha untuk menjadi pemimimpin umat.

Sebagai kelanjutan dari proses konflik tersebut, Gellner memetakan mereka ke dalam dua kubu:

Sufi, di satu sisi, merupakan kubu agama yang lebih mementingkan social cohesion sebagai inti

kekuatannya yang berbasis di desa (rural), dan ulama, di sisi lain, yang dominan di kota (urban)

dan cenderung lebih profesional dan rasional namun lemah ikatan sosialnya. Dalam pertarungan

politik agama dua kekuatan yang berbeda basis ini selalu saling bergantian, seperti bandul jam

(pendulum) yang akan bergoyang kembali ke sisi lain setelah ia sampai pada sisi yang satunya.

Untuk menjelaskan hal ini Gellner meminjam teori Ibn Khaldun yang berkeyakinan bahwa

Page 26: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 26/27

sesungguhnya pusat peradaban Islam itu berpusat di kota (madinatul munawarah). Namun

kekuasaan kota itu akan dapat terbentuk dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion

yang kuat. Menurut Ibn Khaldun kekuatan massa Islam desa yang didukung oleh social cohesion

akan dapat mengantarkannya ke peta kekuasaan kota. Tetapi, kata Ibn Khaldun lagi, setelah

kekuatan massa rural itu sampai ke pusat kekuasaan, ia akan mengalami fragmentasi sosial

sebagai suatu gejala umum perkotaan. Sehingga ia akan dikalahkan lagi oleh kekuatan dari rural

area yang mempunyai social cohesion lebih besar.

Analisis Gellner dan Ibn Khaldun ini bisa mendukung kajian-kajian kelembagaan agama Islam

maupun karakteristiknya baik yang di kota maupun di desa untuk memprediksi kelanjutan proses

perjalanan sejarah Islam. Analisis yang demikian ini juga dapat digunakan untuk melihat

organisasi-organisasi Islam di Indonesia dalam kaitan percaturan politik umat. Misalnya apakah

naiknya Nahdlatul Ulama (NU) sekarang ini ke panggung kekuasaan dapat dilihat sebagai suatu

hasil dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion yang kuat menggantikan massa

modernis di kota yang telah dilanda fragmentasi yang akut. Dengan pendekatan analisis budaya,

tipe-tipe organisasi keagamaan tersebut dapat ditelusuri secara mendalam.

Agama Sebagai Sistem Budaya

Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah

system budaya. Karya Geertz, "Religion as a Cultural System," dianggap sebagai tulisan klasik

tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada

teori-teori besar Mark, Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan

struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan

bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang mampu mengubah suatu tatanan

masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari

system budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapatmembentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah

baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam. Oleh

karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai:

"A system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and

motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of

factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic."

Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic

tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang makna

simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle)

untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan

harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol

keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes

for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan

suatu existensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam

cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan

sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.

Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu

masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam Observed

merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku TheReligion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah.

Page 27: tugas antropologi

7/21/2019 tugas antropologi

http://slidepdf.com/reader/full/tugas-antropologi-56ddfe672969b 27/27

Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik

maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat

perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama

dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.

Penutup dan Agenda Kajian Antropologi dalam IslamSekarang ini ada kecenderungan untuk melihat Islam secara menyeluruh dengan menonjolkan

ciri-ciri Islam lokal. Kajin semacam Marshal Hodgson yang mencoba menggabungkan perjalan

pergumulan Islam dengan budaya maupun peradaban lokal menunjukkan suatu hasil yang

memuaskan. Buku The Venture of Islam, tidak saja menghasilkan sebuah peta besar

keberagaman Islam, tetapi juga merupakan tantangan tersendiri bagi pengamat Islam untuk

menerjemahkan makna keberagaman itu. Di lain pihak, buku itu menyisakan banyak homework

untuk kita semua bagaimana mengembangkan pemahaman dan kajian Islam di tingkat lokal

untuk melihat keragaman dan kekayaan Islam lokal.

Ira M. Lapidus juga menekankan dalam karya-karyanya untuk melihat keberagaman itu. Ia

membagi periode Islam ke dalam beberapa periode yang ia sebut sebagai periode

perkembangan paradigma melihat Islam. Ia mengakui bahwa kenyataan pemeluk Islam yang

terdiri dari berbagai lapis budaya mencerminkan suatu curiosity (penasaran) untuk meneliti lebih

lanjut. Yang jelas, kata Lapidus, di balik semua keberagaman itu Islam di daerah-daerah Muslim

berfungsi sebagai pemersatu budaya. Namun yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita

menjelaskan suatu rangkain knowledge yang utuh akan adanya Islam lokal itu.

Bagi V.S. Naipaul ia seakan terpesona menyaksikan pengikut-pengikut Islam menerjemahkan

Islam ke dalam visi-visi kedaerahan. Bukunya, Among the Believers menujukkan suatu

perjalanan untuk menyaksikan keberagaman Islam. Ia tidak saja penting sebagai sebuah potret

sosial, tetapi ia juga penting sebagai awal pijakan untuk melihat ke masa depan Islam.

Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka.

Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana

agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan

Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local

konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan

wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana

manusia.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap

tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusiadalam Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan

dari ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam

mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak

akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan

untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris.

Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang

mengkhususkan diri mempelajari manusia-yang merupakan realitas empiris agama-maka

antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.**