Sesi I_Sejarah, Pengertian, Konsep, Peranan Epidemiologi Dan Transisi Epidemiologi
Tugas Analisis Epidemiologi
-
Upload
raras-sekti-pudyasari -
Category
Documents
-
view
220 -
download
0
Transcript of Tugas Analisis Epidemiologi
-
8/18/2019 Tugas Analisis Epidemiologi
1/11
TUGAS MATA KULIAH ANALISIS EPIDEMIOLOGI
Analisa Data Epidemiologi
(Kasus 1, 2 dan 3)
Disusun Oleh :
DWI SARASWATI 25010113140329
TRI DAMAYANTI S IMANJUNTAK 25010113140370
RARAS SEKTI PUDYASARI 25010113130395
DIAN SUTRISNI 25010113130398
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI DAN PENYAKIT TROPIK
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
-
8/18/2019 Tugas Analisis Epidemiologi
2/11
KASUS 1
ANGKA BEBAS JENTIK (ABJ) DAN KASUS DBD TAHUN 2009
84,5283,89
83,89 84,4286,49 88,12
311
224
390
258
117
178
-
50
100
150
200
250
300
350
400
450
APRIL MEI JULI AGUSTUS OKTOBER NOPEMBER
ABJ
1. Pendapat tentang Grafik Kasus DBD dan Data ABJ Tahun 2009
Standar ABJ adalah > 95%, namun berdasarkan grafik diatas, data
Angka Bebas Jentik pada tahun 2009 yang terdapat pada rentang 83,89% – 88,
12% berarti belum mencapai terget ABJ.
Berdasarkan grafik diatas, dapat dilihat bahwa kasus mengalami
proses naik turun pada tahun 2009, namun jika dilihat dari trennya kasus
secara umum mengalami penurunan pada tahun 2009. Kasus tertinggi terjadi
pada bulan juli yaitu sebanyak 390 kasus. Kasus demam berdarah dengue
(DBD), meningkat pada bulan Januari sampai Juni, seperti pada kasus
mengalami peningkatan yang cukup tinggi pada april (311 kasus) dan juli (390
kasus). Hal ini disebabkan faktor cuaca yang tidak menentu dimana curah
hujan yang cukup tinggi dan kondisi cuaca yang tidak menentu atau saat
pergantian dari musim kemarau kemusim penghujan (pancaroba) dan
kepedulian masyarakat akan menguras, menutup, dan mengubur (3M), mulai
berkurang. Kondisi tersebut tentu membuat vektor DBD yaitu Aedes Ageypti
-
8/18/2019 Tugas Analisis Epidemiologi
3/11
berkembang biak dengan baik berdampak pada peningkatan angka kasus
DBD.
2. Potensial Masalah Berdasarkan Grafik Kasus DBD dan Data ABJ Tahun
2009:
Potensial masalah berdasarkan grafik tersebut adalah meningkatnya
kasus DBD karena gigitan nyamuk Aedes aegypti yang berkembang biak pada
kondisi cuaca yang tidak menentu dimana curah hujan yang cukup tinggi dan
kondisi cuaca yang tidak menentu atau saat pergantian dari musim kemarau
kemusim penghujan (pancaroba). Kondisi tersebut tentu membuat vektor
DBD yaitu Aedes Ageypti berkembang biak dengan baik berdampak pada
peningkatan angka kasus DBD dan dapat membulkan KLB.
Peningkatan kasus DBD dapat dicegah bila Sistem Kewaspadaan Dini
(SKD) dan pengendalian vektor dilakukan dengan baik, terpadu dan
berkesinambungan. Pengendalian vektor melalui kegiatan pemberantasan
sarang nyamuk (PSN) dilakukan secara periodik oleh masyarakat yang
dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk PSN dengan pesan inti 3M plus.
Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas
Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan
DBD dapat dicegah atau dikurang.
-
8/18/2019 Tugas Analisis Epidemiologi
4/11
KASUS 2
DATA KEPADATAN VEKTOR DAN KASUS MALARIA PADA DI KECAMATAN "X" TAHUN 2011
Kepadatan Vektor (MBR
= Man Bitting Rate)
Bulan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des
An. aconitus 0,06 0,09 0,3225 0,11 0,45833 0,23 0,275 0,18 0,1 0,015 0,04 0,09
An. maculatus 0,02 0,14 0,0525 0,02 0,06 0,045 0,245 0,095 0,11 0,045 0,08 0,1275
An.balabacencis 0 0,02 0,02 0,02 0,01333 0 0,015 0,03 0 0 0 0,01
KASUS 55 100 110 67 119 110 71 49 27 39 26 49
-
8/18/2019 Tugas Analisis Epidemiologi
5/11
1. Analisis Deskriptif Kepadatan Vektor Dan Kasus Malaria Pada Di
Kecamatan "X" Tahun 2011
a. Kepadatan Vektor
Parameter yang dipakai untuk mengukur kepadatan vektor Malaria
(nyamuk Anopheles) dalam survei Entemoogi salah satunya dengan
menggunakan Man Bitting Rate (MBR)
MBR =
Bedasarkan kepadatan vektor pada Kecamatan “X” tahun 2011
untuk MBR ( Man Bitting Rate ) vektor An. aconitus jumlah dari bulan
Januari hingga bulan Desember 2011 sebesar 1,97; vektor An.maculatus
sebesar 1,04; dan untuk vektor An.balabacencis sebesar 0,13. Diantara
ketiga vektor tersebut yang mempunyai jumlah paling besar pada vektor
An. Aconitus. Untuk Rata-rata MBR untuk vektor An. aconitus sebesar
0,16; vektor An. maculatus sebesar 0,09 dan untuk vektor An.
balabacencis sebesar 0,01. Diantara ketiga vektor tersebut diperoleh nilai
MBR paling besar pada vektor An.aconitus pada bulan Mei sebesar
0,45833 dan nilai MBR terendah terjadi pada vektor An.balabacencis
pada bulan Juni, September Oktober dan November.
b. Analisis Kasus Malaria
Kepadatan Vektor
(MBR = Man Bitting
Rate)
JumlahRata-
Rata
Nilai
Terbesar
Nilai
Terkecil
An. aconitus1,97 0,16 0,45833 0,015
An. maculatus1,04 0,09 0,245 0,02
An.balabacencis0,13 0,01 0,03 0
KASUS822,00 68,50 119 26
-
8/18/2019 Tugas Analisis Epidemiologi
6/11
Bedasarkan data jumlah kasus pada Kecamatan “X” tahun 2011
diperoleh hasil untuk jumlah kasus Malaria dari bulan Januari hingga
Desember 2011 sebesar 822 kasus dengan rata rata jumlah kasus sebesar
69 kasus. Dan Diantara bulan Januari hingga bulan Desember terjadi
kenaikan kasus sebesar 119 kasus di bulan Mei dan terjadi penurunan
kasus dibulan november sebesar 26 kasus.
2. Analisis Kepadatan Vektor Dan Kasus Malaria Pada Di Kecamatan "X"
Tahun 2011
Berdasarkan Grafik Kepadatan Vektor penyebab Malaria di Kecamatan
"X" Tahun 2011 pada vektor An.aconitus terjadi kenaikan trend paling tinggi
pada bulan Mei sebesar 0,45833 dan terjadi penurunan pada bulan Oktober
sebesar 0,015. Untuk vektor An.maculatus terjadi kenaikan trend paling tinggi
pada bulan Juli sebesar 0,245 dan terjadi penurunan trend pada bulan April 0,02;
dan untuk vektor An.balabacencis terjadi kenaikan paling tinggi pada bulan
Agustus sebesar 0,03 dan terjadi penurunan palign tinggi pada bu;an Juni,
September, Oktober, dan November sebesar 0. Diantara ketiga vektor penyebab
Malaria trend yang paling dominan terdapat pada vektor An.aconitus.
-
8/18/2019 Tugas Analisis Epidemiologi
7/11
3. Vektor yang paling berpengaruh terhadap penularan malaria di wilayah
Diantara Vektor penyebab penyakit Malaria tersebut vektor yang
mempunyai peran dominan terhadap penyakit malaria yaitu vektor An.aconitus.Setiap kenaikan pada jumlah MBR vektor An.aconitus terjadi kenaikan kasus
pada penyakit malaria. Perubahan musim juga dapat berpengaruh terhadap
kenaikan vektor tersebut. Untuk daerah tropis seperti di Indonesia pada umumnya
densitas atau kepadatan tinggi pada musim penghujan. Hujan menyebabkan
naiknya kelembaban nisbi udara dan menambah jumlah tempat
perkembangbiakan (breeding places) dan terjadinya epidemi malaria. Besar
kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan derasnya hujan, jenis vektor dan
jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar
kemungkinan berkembang biaknya nyamuk Anopheles.
-
8/18/2019 Tugas Analisis Epidemiologi
8/11
KASUS 3
KARAKTERISTIK KASUS POLIO LIAR INDONESIA 2005
1. Grafik Kasus Polio dan Pemberian Imunisasi
a. Umur
Berdasarkan diagram kasus polio berdasarkan kelompok umur diatas
dapat diketahui bahwa kasus polio paling banyak terjadi pada kelompok umur
13-35 bulan yaitu sebesar (53%) dan selanjutnya disusul kelompok umur 36-
60 bulan (21%), kelompok umur > 60 bulan (18%), serta kelompok umur 0-
11 bulan (5%). Hal ini dapat terjadi karena mereka yang mempunyai resiko
tinggi tertulari adalah kelompok rentan seperti kelompok-kelompok yang
menolak imunisasi, kelompok minoritas, para migran musiman, anak-anak
yang tidak terdaftar, kaum nomaden pengungsi dan masyarakat miskin
perkotaan. (Zulkifli, 2007).
-
8/18/2019 Tugas Analisis Epidemiologi
9/11
b. Jenis Kelamin
Berdasarkan diagram tersebut kasus polio banyak terjadi pada laki-
laki yaitu sebesar 53% dan perempuan (47%). Hal ini dapat terjadi karena
dimungkin jumlah responden yang diambil datanya lebih banyak
dibandingkan responden perempuannya. Selain itu, Selain itu, anak-anak
laki-laki dibawah usia 5 tahun memiliki daya tahan tubuh lebih rendah
dibandingkan dengan orang dewasa sehingga anak laki-laki rentan terhadap
penyakit polio.
c. Prosentase kasus polio berdasarkan Pemberian dosis OPV
0 dose
37%
'1-2 dose
48%
3+ dose
15%
Dari diagram diatas diketahui bahwa presentase kasus polio paling
tinggi yaitu pada pemberian OPV dosis ke 1-2 (48%) dibandingkan 0 dosis(37 %), dan dosis ke 3+ (15%) . Perbedaan jumlah kasus ini dikarenakan pada
kelompok dengan pemberian OPV setelah dosis kedua akan memberikan
serokonversi sebesar 90-93% dan setelah pemberian tiga dosis
serokonversinya hampir mencapai 100%. Sedangkan pada kelompok yang
belum pernah divaksinasi kasusnya mencapai 37 % karena balita belum
memiliki kekebalan tubuh sehingga rentan terhadap terjadinya infeksi virus
polio.
Female
47%
Male
53%
-
8/18/2019 Tugas Analisis Epidemiologi
10/11
Pada kelompok pemberian OPV dosis ke 1-2 (48%) dengan kasus
paling tinggi disebabkan karena pada pemberian OPV dosis ke 1-2 terjadi
Vaccine-associated paralytic polio (VAPP) dan Vaccine Derived Polio
Viruses (VDPV).
VAPP dan VDPV dapat terjadi karena :
1) Kandungan vaksin OPV yang berupa virus hidup yang telah
dilemahkan sehingga dapat mengakibatkan 1 kelumpuhan untuk setiap
3 juta dosis, baik pada anak yang divaksin, atau orang di sekitarnya
(VAPP/VDPV).
2) Mutasi virus vaksin dimukosa usus. Defisiensi imunitas dari resipien
termasuk salah satu penyebabnya,sehingga selama OPV masih
diberikan, ancaman VAPP/ VDPV akan tetap ada.
3) Kasus polio yang berasal dari OPV atau VAPP/VDPV seperti yang
diutarakan di atas, muncul pada anak yang imunisasinya tidak jelas atau
tidak vaksinasi sama sekali.
Kasus VDPV umumnya ditemukan pada populasi penduduk yang
cakupan imunisasinya rendah. Jika angka cakupan imunisasi di masyarakat
mendekati 100%, vaksin tersebut akan memicu kekebalan sebelum VDPV
dapat menyebabkan kelumpuhan. Jika angka cakupan imunisasi dengan OPV
rendah, VDPV dapat menyebar melalui beberapa orang yang tidak
diimunisasi, mengalami mutasi, sehingga meningkatkan kemungkinan infeksi
polio dalam populasi.
Penggunaan OPV akan dapat mencemari lingkungan, kurang lebih
sekitar 30% dari orang yang telah mendapat imunisasi OPV akan
dikeluarkannya strain virus polio melalui tinja dengan disertai perubahan sifatvirus. Keadaan ini dapat terjadi oleh karena mutasi strain virus polio menjadi
bentuk yang virulen, sehingga masih akan terjadi ancaman polio pada
populasi. Dengan demikian, satu saat virus ini akan menyebabkan infeksi
kepada sekelompok penduduk yang mempunyai daya imun yang lemah
terhadap polio atau sama sekali tidak punya daya imun terhadap polio
sehingga dapat timbul KLB VDPP.
-
8/18/2019 Tugas Analisis Epidemiologi
11/11
2. Potensial Masalah Pada Kasus Polio Liar di Indonesia 2005
a. Kasus polio liar pada kelompok umur 13-35 bulan yaitu sebesar (53%).
Dimana kondisi tersebut anak memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan
mudah terkena penyakit. untuk itu perlu upaya pencegahan yang tepat
yang tepat pada kelompok umur ersebut.
b. Anak-anak laki-laki dibawah usia 5 tahun memiliki daya tahan tubuh
lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa sehingga anak laki-laki
rentan terhadap penyakit polio liar.
c. Pada anak banyaknya pemberian dosis polio yang tidak tuntas sehingga
menyebabkan kekebalan populasi tidak 100% dan individu yang belum
tuntas divaksinasi dapat menjadi sumber penularan polio karena virus
polio mampu bermutasi pada individu yang hanya divaksinasi dengan
dosis 1-2 kali sehingga dapat menyebabkan KLB polio.
DAFTAR PUSTAKA
Zulkifli, andi. 2007. Makalah Ilmiah Epidemiologi Penyakit Polio. FakultasKesehatan Masyarakat. Universitas Hasanuddin