Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi
-
Upload
raras-sekti-pudyasari -
Category
Documents
-
view
24 -
download
5
description
Transcript of Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi
TUGAS MATA KULIAH ANALISIS EPIDEMIOLOGI
FAKTOR RISIKO KERACUNAN PESTISIDA PADA PETANI BAWANG
MERAH DI KABUPATEN BREBES PROVINSI JAWA TENGAH
Disusun Oleh :
DWI SARASWATI 25010113140329
TRI DAMAYANTI S IMANJUNTAK 25010113140370
RARAS SEKTI PUDYASARI 25010113130395
DIAN SUTRISNI 25010113130398
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI DAN PENYAKIT TROPIK
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
HASIL DAN PEMBAHASAN
ANALISIS UNIVARIAT
1. Jenis Kelamin Responden
Berdasarkan tabel diatas maka dapat dilihat sebanyak 82,5% petani laki-
laki dan 17.5% petani perempuan sebagai respoden tekait status keracunan
pestisida.
2. Usia Responden
Umur adalah fenomena alam, semakin lama seseorang hidup makan
umurpun akan bertambah. Semakin bertambahnya umur seseorang semakin
banyak yang diaalminya, dan semakin banyak pula pemaparan yang
dialaminya, dengan bertambahnya umur seseorang maka fungsi metabolisme
akan menurun dan ini juga akan berakibat menurunnya aktifitas kholinesterase
darahnya sehinggga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida. Usia
juga berkaitan dengan kekebalan tubuh dalam mengatasi tingkat toksisitas
suatu zat, semakin tua umur seseorang maka efektifitas sistem kekebalan di
dalam tubuh akan semakin berkurang.
Menurut Moekijad (1992:36) menyatakan faktor usia yang dimiliki
pekerja sangat berpengaruh sekali dalam menjalankan aktivitas kerjanya,
sebagai contoh hal ini bisa kita ketahui pada jenis golongan pelopor. Golongan
pelopor usianya antara 25-40 tahun.
Menurut Mulyadi (2003 : 59) tenaga kerja adalah penduduk dalam usia
kerja (berusia 15-64 tahun) atau jumlah seluruh penduduk dalam suatu negara
yang dapat memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga
Tabel 1. Jenis Kelamin
Masa Kerja Frekuensi (N) Presentase (%)
Baru 33 82.5
Lama 7 17.5
Total 40 100
mereka, dan jika mereka mau berpartisipasi dalam aktivitas tersebut. Menurut
Depnakertrans Tahun 2006 pengertian tenaga kerja ada 2 yaitu :
1. Setiap orang yg mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.
2. Setiap orang laki - laki atau wanita yang berumur 15 tahun ke atas yang
sedang dalam dan atau akan melakukan pekerjaan baik di dalam maupun
di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa usia pekerja
yang produktif yaitu antara 15-40 tahun, dan sedangkan usia di atas 40 - 60
tahun ke atas sudah dikatakan usia tua atau tidak produktif lagi.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 32 responden
(80%) merupakan petani penyemprot dengan kategori usia produktif
sedangkan sebanyak 8 responden (20%) merupakan petani penyemprot
dengan kategori usia tidak produktif. Dengan rata-rata usia responden yaitu 34
tahun.
3. Pendidikan Responden
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada petani bawang merah di
Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah yang melakukan penyemprotan
pestisida, maka diperoleh data pendidikan petani sebagai responden dalam
penelitian. Pendidikan dalam penelitian dikategorikan menjadi 2 yaitu
(Arikunto, 2006):
1. pendidikan rendah yaitu dari tidak sekolah sampai sekolah
menengah pertama (SMP)
2. pendidikan tinggi yaitu dari sekolah menengah atas (SMA) hingga
perguruan tinggi (PT).
Tabel 2. Usia Responden
Usia Frekuensi (N) Presentase (%)
Produktif 32 80
Tidak Produktif 8 20
Total 40 100
Tabel.3 Distribusi Petani Bawang Merah Di Kabupaten Brebes
Propinsi Jawa Tengah Berdasarkan Pendidikan
No Pendidikan n %
1 Pendidikan Rendah 30 75
2 Pendidikan Tinggih 10 25
Total 40 100
Berdasarkan tabel diatas maka dilihat sebanyak 75% petani sebagai
respoden tekait status keracunan pestisida memiliki tingkat pendidikan tinggi
dan 25% memiliki tingkat pendidikan rendah.
4. Masa Kerja Responden
Masa kerja atau lama kerja adalah waktu untuk melakukan suatu kegiatan
atau lama waktu seseorang sudah bekerja. (KBBI, 2010). Masa kerja adalah
lama waktu sejak responden aktif sebagai petani penyemprot hingga saat
penelitian dilakukan, dalam satuan tahun. Merupakan masa waktu berapa lama
petani mulai bekerja sebagai petani. Semakin lama petani bekerja maka
smakin banyak pula kemungkinan terjadi kontak langsung dengan pestisida.
Responden dikategorikan lama jika telah menjadi petani selama lebih dari
5 tahun karena pada kurun waktu tersebut, toksisitas kronis akibat paparan/
keracunan pestisida biasa telah terjadi (Fatmawati, 2006). Adapun
KlasifikasiMasa kerja dikategorikan menjadi 2 yaitu:
1. Masa kerja kategori baru ≤ 5 tahun
2. Mas kerja kategori lama > 5 tahun (Urnia, 2008)
Tabel 4. Masa Kerja Petani Penyemprot
Masa Kerja Frekuensi (N) Presentase (%)
Baru 16 40
Lama 24 60
Total 40 100
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 24 responden
(60%) merupakan petani penyemprot dengan kategori mempunyai masa kerja
lama sedangkan sebanyak 16 responden (40%) merupakan petani penyemprot
dengan kategori masa kerja baru. Dengan rata-rata masa kerja petani yaitu 11
tahun.
5. Lama Penyemprotan Responden
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada petani bawang merah di
Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah yang melakukan penyemprotan
pestisida, maka diperoleh lama penyemprotan per jam yang dilakukan petani
sebagai responden dalam penelitian. Lama penyempotan adalah waktu yang
digunakan dari mulai hingga selesai melakukanpenyemprotan dalam sehari
kerja. Pengelompoknya adalah sebagai berikut (Zakaria, 2007) :
1. 3 jam
2. < 3 jam
Tabel.5 Distribusi Petani Bawang Merah Di Kabupaten Brebes
Propinsi Jawa Tengah Berdasarkan Lama Penyemprotan Per Jam
No Lama Penyemprotan Per Jam n %
1 3 jam 2 5
2 < 3 jam 38 95
Total 40 100
Berdasarkan tabel diatas maka dilihat sebagian besar petani melakukan
penyemprotan < 3 jam (95%). Sedangkan petani yang melakukan
penyemprotan 3 jam (5%).
6. Frekuensi Menyemprot Responden
Jumlah pemakaian pestisida untuk penyemprotan di daerah pertanian per
minggu (Fiananda, 2014) :
1. Lebih dari 1 kali seminggu
2. Kurang dari 1 kali seminggu
Berdasarkan tabel diatas maka dilihat sebanyak 70% petani melakukan
penyemprotan pestisida per minggu lebih dari 1 kali seminggu dan 30% petani
melakukan penyemprotan 1 kali seminggu.
7. Pemakaian APD Responden
Tabel.7 Distribusi Petani Bawang Merah Di Kabupaten Brebes
Propinsi Jawa Tengah Berdasarkan Pemakaian APD
No Pemakaian Alat Pelindung Diri n %
1 Lengkap 6 15
2 Tidak Lengkap 34 85
Total 40 100
Berdasarkan tabel diatas maka dilihat sebagian besar petani yang
melakukan penyemprotan dengan APD Tidak lengkap sebesar 85 %
sedangkan petani yang melakukan penyemprotan dengan memakai lengkap
yaitu 15%.
Tabel 6. Frekuensi menyemprot per minggu
Klasifikasi
Menyemprot per
Minggu
Frekuensi (N) Presentase (%)
>1 kali seminggu 28 70
1 kali seminggu 12 30
Total 40 100
8. IMT Responden
Klasifikasi IMT menurut Depkes RI :
Sehingga untuk klasifikasi IMT petani berdasarkan teori diatas :
1. Normal : Mempunyai IMT 18,5 – 25,0
2. Tidak Normal : Mempunyai IMT <18,5 atau >25,0
Tabel 8. IMT pada Petani
No IMT n %
1 Normal 35 87,5
2 Tidak Normal 5 12,5
Total 40 100
Berdasarkan tabel diatas maka dilihat sebagian besar petani memiliki IMT
normal 87,5 % sedangkan petani yang memiliki IMT tidak normal yaitu
sebesar 12,5 %.
9. Status Keracunan Responden
Tabel 9. Status Keracunan
Status Keracunan Frekuensi (N) Presentase (%)
Ya 21 52,5
Tidak 19 47,5
Total 40 100
Berdasarkan tabel diatas maka dilihat sebanyak 52,5 % petani
mengalami keracunan pestisida dan 47,5% petani tidak mengalami keracunan
pestisida.
ANALISIS BIVARIAT
1. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Status Keracunan Petani
Tabel 13. Hubungan Antara jenis kelamin dengan status Keracunan Petani
Status Keracunan Total
Ya Tidak
N % N % N
Jenis
Kelamin
Laki-laki 19 90,5 14 73,7 33
Perempuan 2 9,5 5 26,3 7
Total 21 100 19 100 40
Hasil p-Value = 0,163
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa petani laki-laki lebih
banyak ditemukan mengalami keracunan pestisida(90,5%), sedangkan pada
perempuan, lebih banyak ditemukan tidak mengalami keracunan
pestisida(26,3%).
Analisis hubungan menggunakan Chi-Square = 0,163 (>0.05) maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan status
keracunan pestisida pada petani
2. Hubungan Usia Responden Dengan Status Keracunan Petani
Tabel 11. Hubungan Antara Usia dengan status Keracunan Petani
Status Keracunan Total
Ya Tidak
N % N % N
Usia Produktif 17 81 15 78,9 32
Tidak Produktif 4 19 4 21,1 8
Total 21 100 19 100 40
Tabel di atas menunjukkan bahwa 17 responden mempunyai usia
produktif sebagai petani penyemprot. Petani yang memiliki usia produktif
sebagian besar mengalami keracunan akibat pestisida sebanyak 17 orang
(81%) dan yang tidak keracunan sebanyak 4 orang (19%). Sedangkan diantara
petani yang mempunyai tidak usia produktif tidak mengalami keracunan
sebanyak 4 orang ( 21,1%) dan yang mengalami keracunan sebanyak 15 orang
(78,9%).
Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Korelasi
Pearson dengan (p-Value = 0,878>0,05), didapatkan kesimpulan bahwa tidak
ada hubungan antara usia petani penyemprot dengan kejadian keracunan pada
responden. Hal ini berarti bahwa hipotesis yang menyatakan adanya hubungan
antara usia petani penyemprot dengan kejadian keracunan akibat pestisida
pada petani Bawang di Brebes ditolak.
3. Hubungan Antara Pendidikan Dengan Status Keracunan Petani
Tabel 12. Hubungan Antara Pendidikan dengan Status Keracunan
Status Keracunan N
Ya Tidak
N % N %
Pendidikan Rendah 14 66,7 16 84,2 30
Tinggi 7 33,3 3 15,8 10
Total 21 100 19 100 40
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa petani yang memiliki
tingkat pendidikan rendah lebih banyak ditemukan tidak mengalami
keracunan pestisida(84,2%), sedangkan pada petani yang memiliki tingkat
pendidikan tinggi lebih banyak ditemukan mengalami keracunan pestisida
(33,3%).
Analisis hubungan menggunakan Chi-Square= 0,201 (>0.05) maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan status
keracunan pestisida pada petani.
4. Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Status Keracunan Petani
Tabel 13. Hubungan Antara masa kerja dengan status Keracunan Petani
Status Keracunan Total
Ya Tidak
N % N % N
Masa
Kerja
Baru 9 42,9 7 36,8 16
Lama 12 57,1 12 63,2 24
Total 21 100 19 100 40
Hasil p-Value = 0,755
Tabel di atas menunjukkan bahwa 24 responden telah lama bekerja
sebagai petani penyemprot. Petani yang mempunyai masa kerja baru sebagian
besar mengalami keracunan akibat pestisida sebanyak 9 orang (42,9%) dan
yang tidak keracunan sebanyak 7 orang (36,8%). Sedangkan diantara petani
yang mempunyai masa kerja lama yang tidak mengalami keracunan sebanyak
12 orang ( 63,2%) dan yang mengalami keracunan sebanyak 12 orang
(57,1%).
Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-square
denan (p-Value = 0,755), didapatkan kesimpulan bahwa tidak ada hubungan
antara masa kerja sebagai petani penyemprot dengan kejadian keracunan pada
responden. Hal ini berarti bahwa hipotesis yang menyatakan adanya hubungan
antara masa kerja sebagai petani penyemprot dengan kejadian keracunan
akibat pestisida pada petani Bawang di Brebes ditolak.
5. Hubungan Antara Lama Penyemprotan per Jam dengan Status
Keracunan Pestisida
Tabel 14. Hubungan antara Lama Menyemprot dengan Status Keracunan
Status Keracunan N
Ya Tidak
N % N %
Lama Penyemprotan
per Jam
3 Jam 2 9,5 0 0 2
< 3 Jam 19 90,5 19 15,8 38
Total 21 100 19 100 40
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa petani yang melakukan
penyemprotan 3 jam lebih banyak ditemukan mengalami keracunan
pestisida(9,5%), sedangkan pada petani yang melakukan penyemprotan < 3
jam ditemukan tidak mengalami keracunan pestisida (100%).
Analisis hubungan menggunakan Chi-Square= 0,168 (>0.05) maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara lama menyemprot per jam
dengan status keracunan pestisida pada petani.
6. Hubungan Antara Frekuensi Penyemprotan dengan Status Keracunan
Pestisida
Tabel 13. Hubungan Antara jenis kelamin dengan status Keracunan Petani
Status Keracunan Total
Ya Tidak
N % N % N
Frekuensi
Menyemprot
per minggu
>1x
seminggu
16 76,2 16 63,2 28
1x
seminggu
5 23,8 3 36,8 12
Total 21 100 19 100 40
Hasil p-Value = 0,369
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa petani yang melakukan
penyemprotan per minggu >1 kali lebih banyak ditemukan mengalami
keracunan pestisida (76,2%), sedangkan pada petani yang melakukan
penyemprotan per minggu 1 kali lebih banyak ditemukan tidak mengalami
keracunan pestisida (36,8%).
Analisis hubungan menggunakan Chi-Square= 0,369(>0.05) maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara frekuensi menyeprot per
minggu dengan status keracunan pestisida pada petani.
7. Hubungan Antara Penggunaan APD dengan Status Keracunan Pestisida
Tabel 16. Hubungan Antara Penggunaan APD dengan Status Keracunan
Status Keracunan N
Ya Tidak
N % N %
Pemakaian
APD
Lengkap 2 9,5 4 21.1 6
Tidak Lengkap 19 90,5 15 78,9 34
Total 21 100 19 100 40
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa diantara petani yang
memakai APD lengkap paling banyak tidak mengalami keracunann (21.1%) .
Sedangkan diantara petani yang memakai APD tidak lengkap paling banyak
mengalami keracunan ( 90.5%).
Analisis menggunakan uji Chi-Square dengan p = 0.308 (>0.05) maka
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara penggunaan APD dengan
status keracunan pada petani
8. Hubungan Antara IMT dengan Status Keracunan Petani
Status Keracunan N
Ya Tidak
N % N %
IMT Normal 18 85,7 17 89,5 35
Tidak Normal 3 14,3 2 10,5 5
Total 21 100 19 100 40
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa diantara petani yang
memiliki IMT normal yang paling banyak yaitu yang tidak mengalami
keracunan (89,7 %). sedangkan diantara petani yang memiliki IMT tidak
normal yang paling banyak yaitu yang mengalami keracunan (14.3%)
Analisis menggunakan uji Chi-Square dengan p = 0.720 (>0.05) maka
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara IMT dengan status
keracunan pada petani
PEMBAHASAN
1. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Status Keracunan Petani
Penelitian ini tidak sejalan dengan Ajeng tahun 2014 dimana terdapat
hubungan antara jenis kelamin dengan status keracunan pestididaPetani
perempuan cenderung memiliki rata-rata kadar kolinesterase yang lebih tinggi
dibandingkan petani laki-laki. Meskipun demikian, tidak dianjurkan
perempuan menyemprot pestisida, karena pada kehamilan kadar kolinesterase
perempuan cenderung turun sehingga kemampuan untuk menghidrolisis
asetilkolin berkurang. . Hal ini dapat terjadi karena jumlah responden laki-
laki dan perempuan tidak seimbang dimana petani laki-laki lebih banyak
daripada perempuan (Ajeng, 2014)
2. Hubungan Usia Responden Dengan Status Keracunan Petani
Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Korelasi
Pearson dengan (p-Value = 0,878>0,05), didapatkan kesimpulan bahwa tidak
ada hubungan antara usia petani penyemprot dengan kejadian keracunan pada
responden.
Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Prabowo (2007) dan Dedi Ruhendi
(200&), dengah hasil tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan
status keracunan. Tetapi secara teoritis menurut Soedarmo (1990) dalam
Ruhendi 2007, ada kecenderungan semakin tua umur petani semakin rendah
aktivitas kolinesterase darahnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Nurhayati
(1997), diperoleh hasil ujinya bahwa ada hubungan yang bermakna antara
kolisterase dan umur untuk jenis kelamin laki-laki, dimana yang berumur tua
kadar kolinesterase darahnya cenderung rendah yang dapat menyebabkan
terjadinya status keracunan.
3. Hubungan Antara Pendidikan Dengan Status Keracunan Petani
Analisis hubungan menggunakan Chi-Square= 0,201 (>0.05) maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan status
keracunan pestisida pada petani.
Tidak ada hubungan antara pendidikan dengan keracunan pestisida pada
petani. Hal ini sama dengan penelitian Irnawati dan Arlinda (2007). Hal ini
dapat dijelaskan bahwa petani yang berpendidikan tinggi maupun rendah
menggunakan pestisida sesuai kebiasan di masyarakat. Sebagian besar
penduduk memakai pestisida tidak sesuai dosis dan kegunaannya. Kebiasan
ini terus berlangsung, karena tidak mau dikatakan berbeda dengan orang lain.
Yang berpengaruh bukanlah tingkat pendidikan namun pelatihan terkait
dengan pemakaian pestisida yang baik dan benar yaitu dengan membaca dan
mengikuti petunjuk pemakaian pestisida sesuai dengan label yang tertera di
kemasan pestisida. Dan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran mengenai
bahaya pestisida, memberinpengenalan bentuk alat pelindung diri dan
pelatihan cara memakai alat pelindung diri.
4. Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Status Keracunan Petani
Pada tabel 13. Hubungan Masa kerja atau lama bekerja dalam penelitian
ini mempunyai nilai p-value > 0,05 yang menyatakan tidak sifnifikan atau
bermakna antara masa kerja dengan tingkat keracunan.
Hasil ini didukung oleh penelitian Rustia (2009), yang menyatakan tidak
ada hubungan yang bermakna antara lama kerja dengan status keracunan.
Serta Suwarno (1997) dalam Sumirat 2003 bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara lama kerja dengan penurunan kadar kolinesterase, karena
pekerja yang telah memiliki pengalaman kerja cukup lama akan bekerja lebih
berhati-hati.
Lama kerja sebagai petani penyemprot tidak berpengaruh terhadap
kejadian keracunan karena penggunaan pestisida dalam waktu yang singkat
telah dapat menimbulkan keracunan pada petani. Gejala keracunan kronik
organofosfat timbul akibat penghambatan kolinesterase dan akan menetap
selama 2 – 6 minggu, menyerupai keracunan akut ringan. Tetapi bila terpapar
lagi dalam jumlah kecil dapat timbul gejala yang berat. Hal ini berarti bahwa
kejadian keracunan pada petani tidak dipengaruhi oleh masa kerja sebagai
petani tetapi dipengaruhi oleh intensitas paparan yang terjadi serta rentang
waktu penggunaan pestisida. Jika petani berhenti menggunakan pestisida
dalam waktu yang lama, maka keracunan akibat pestisida akan hilang dengan
sendirinya, karena ikatan pestisida di dalam darah akan terlepas kembali.
Selain itu pula musim dapat mempengaruhi penggunaan pestisida.
Penggunaan pestisida yang jarang menyebabkan hubungan antara masa kerja
dengan kejadian keracunan pestisida menjadi tidak signifikan.
5. Hubungan Antara Lama Penyemprotan per Jam dengan Status
Keracunan Pestisida
Analisis hubungan menggunakan Chi-Square= 0,168 (>0.05) maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara lama menyemprot per jam
dengan status keracunan pestisida pada petani.
Tidak ada hubungan antara lama menyemprot dengan keracunan pestisida
pada petani. Hal ini sejalan dengan penelitian Mirzadevi(2007). Namun tidak
sejalan dengan penelitian Mokoagow dkk (2013), dimana berdasarkan
penelitian yang dilakukan bertambahnya waktu lama penyemprotan akan
mempengaruhi membuat kolinesterase semakin turun yang menunjukkan
keracunan pestisida pada manusia. Tidak ada hubunga dalam penelitian ini
dapat dikarenakan waktu menyemprot masih kurang lama atau kontak dengan
pestisida kurang untuk mmemunculkan keracunan pada petani. Dalam
penelitian ini lama menyemprot hanya sampai 3 jam. Prabu (2008)
menyatakan bahwa gejala keracunan pestisida organofosfat dan karbamat
biasanya timbul setelah 4 jam kontak, tetapi bisa timbul setelah 12 jam. Dan
WHO mengungkapkan lama menyemprot yang berisiko keracunan pestisida,
yaitu 5 jam per hari atau 30 jam per minggu. Selain itu dalam penelitian untuk
status keracunannya tidak dibagi menjadi keracunan tingkat rendah, sedang
dan tinggi sehingga memungkinkan pada lama penyemprotan per jam <3 jam
ada keracunan namun tingkat rendah yang tidak dimasukkan dalam kelompok
keracunan pestisida.
6. Hubungan Antara Frekuensi Penyemprotan dengan Status Keracunan
Pestisida
Analisis hubungan menggunakan Chi-Square= 0,369(>0.05) maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara frekuensi menyeprot per
minggu dengan status keracunan pestisida pada petani. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian Budiyono tahun 2005 Tidak ada hubungan antara frekuensi
menyemprot per minggu dengan status keracunan pestisida. Hal ini
dikarenakan pada penelitian ini frekuensinya paling banyak 3 kali seminggu,
frekuensi tersebut termasuk dalam kategori ideal dimana menimbulkan
keracunan. Namun, jika frekuensi menyemprot semakin sering dan lama akan
mempengararuhi tingkat keracunan yang tinggi, jika dilihat dari data maka
frekuensi menyemprot masih dalam batas normal (Budiyono,dkk, 2005)
7. H
ubungan Antara Penggunaan APD dengan Status Keracunan Pestisida
Analisis menggunakan uji Chi-Square dengan p = 0.308 (>0.05) maka
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara penggunaan APD dengan
status keracunan pada petani. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Xiang et al. (2000) bahwa penggunaan APD selama aplikasi
terhadap pestisida mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kejadian
keracunan (p-Value = 0,001; OR = 0,8; 95% CI = 0,6 – 1,07). Penelitian
tentang penggunaan APD yang dilakukan oleh Fatmawati (2006)
menunjukkan bahwa penggunaan APD secara lengkap mempunyai pengaruh
secara bermakna terhadap kadar kolinesterase darah responden.
John H.R. et al. (1999) menyatakan bahwa salah satu faktor utama dalam
keterpaparan seseorang terhadap pestisida adalah penggunaan APD. Satu hal
yang sering dilupakan oleh petani (di negara tropis), umumnya adalah contact
poison. Oleh sebab itu, route of entry melalui kulit sangat efektif. Apalagi
kalau ada kelainan pada kulit dan/atau bersama keringat, penyerapan pestisida
melalui kulit akan lebih efektif. Kejadian kontaminasi pestisida melalui kulit
merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi, meskipun tidak seluruhnya
berakhir dengan keracunan akut. Lebih dari 90% kasus keracunan diseluruh
dunia disebabkan oleh kontaminasi lewat kulit. Keracunan karena partikel
pestisida atau butiran semprot terhisap melalui hidung merupakan kasus
terbanyak nomor dua setelah kontaminasi kulit. Pada penelitian ini,
kontaminasi pestisida lebih banyak melalui kulit tangan, pernafasan dan mata.
Hal ini terlihat dari data yang menunjukkan jumlah petani yang tidak
menggunakan sarung tangan pada penelitian ini sebanyak 73 orang (93,6%),
tidak menggunakan masker sebanyak 46 orang (59%) dan tidak
menggunakan pelindung mata sebanyak 78 orang (100%). Penelitian yang
dilakukan oleh Vreede et al. (1998) menunjukkan bahwa petani yang tidak
menggunakan alat pelindung diri saat kontak dengan pestisida mempunyai
paparan pestisida terbesar melalui tangan terutama saat pencampuran pestisida
dengan paparan sebesar 103,53 µg/jam dan diikuti oleh paparan melalui
pernafasan yaitu sebesar 11,6 µg/jam. Tidak adanya hubungan antara
kelengkapan APD dengan kejadian keracunan dapat disebabkan karena
pemakaian yang salah dengan APDnya walaupun sudah lengkap.
8. Hubungan Antara IMT dengan Status Keracunan Petani
Hasil analisis statistik bivariat menggunakan uji Chi-square menunjukkan
bahwa status gizi tidak mempunyai hubungan dengan kejadian keracunan
pestisida (p-Value = 0,579). Hal ini bertentangan dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Farikhun (2007) yang menyatakan bahwa
petani dengan status gizi buruk memiliki kecenderungan untuk mengalami
keracunan pestisida empat kali lebih besar daripada petani yang memiliki
status gizi baik. Seseorang yang sedang menderita sakit akan mudah
terpengaruh oleh efek racun dibandingkan dengan orang yang sehat. Buruknya
keadaan gizi seseorang juga akan berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan
meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi yang buruk
menyebabkan protein yang ada dalam tubuh sangat terbatas sehingga
mengganggu pembentukan enzim kolinesterase. Dikatakan bahwa orang yang
memiliki status gizi baik cenderung memiliki kadar rata-rata kolinesterase
lebih besar. Sehingga petani yang memiliki status gizi buruk akan mempunyai
resiko yang lebih besar terhadap kejadian keracunan akibat pestisida
organofosfat dan karbamat. Tidak adanya hubungan antara status
gizi dengan keracunan akibat pestisida dapat disebabkan karena jam kerja
(ratarata < 4 jam) serta suhu lingkungan saat penyemprotan yang masih relatif
aman. Pada penelitian ini status gizi tidak mempunyai hubungan dengan
kejadian keracunan akibat pestisida
DAFTAR PUSTAKA
Ajeng. 2014. Hubungan Antara Aktivitas Asetilkolinestrerase Darah dan Waktu
Reaksi Petani kentang dengan Paparan Kronik Pestisida. Fakultas
Kedokteran. Universitas Diponegoro. Akses pada :
www.eprints.undip.ac.id/44429 (diakses tanggal 13 April 2016)
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta :
Rineka Cipta.
Budiyono,dkk. 2005. Hubungan Faktor Pemaparan Pestisida dengan Keracunan
Pestisida pada Petani Penyemprot Melon Di Ngawi. Jurnal kesehatan
masyarakat Indonesia
Faris Khamdani, 2009. Hubungan Antara Pengetahuan Dan Sikap Dengan
Pemakaian Alat Pelindung Diri Pestisida Semprot Pada Petani Di Desa
Angkatan Kidul Pati Tahun 2009 . Skripsi Jurusan Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang,
Semarang.
Fatmawati, 2006. Pengaruh Penggunaan 2,4-D (2,4-Dichlorphenoxyaceticacid)
terhadap Status Kesehatan Petani Penyemprot di Kabupaten Sidrap
Provinsi Sulawesi Selatan. J.Med. Nus Vol. 27 No.1. Makassar, 2006
Fiananda, AI., dkk. 2014. Hubungan Antara Aktivitas Asetilkolinesterase Darah
Dan Waktu Reaksi Petani Kentang Dengan Paparan Kronik Pestisida
Organofosfat. Fakultas Kedokteran Universitas Dipenegoro. Akses pada
http://eprints.undip.ac.id/44429/5/Ajeng_Indraswari_F_22010110130142_B
ab4KTI.pdf [Selasa, 05 April 2016].
Irnawati dan Arlinda. 2007. “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Keracunan Pestisida Pada Petani Hortikultura Di Kecamatan Jorlang
Hataran, Kabupaten Simalungun Tahun 2005. Media Lit bang Kesehatan
XVII Nomor 1 Tahun 2007. Akses pada
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/viewFile/803/16
72 [Selasa, 12 April 2016]
Mirza, Devi.2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keracunan
Pestisida Pada Petani Penyemprot Hama Di Desa Pedeslohor Kecamatan
Adiwerna Kabupaten Tegal. Under Graduates thesis, Universitas Negeri
Semarang. Akses pada http://lib.unnes.ac.id/6193/1/3470X.pdf [Selasa, 12
April 2016]
Mokoagow, Dolfie., dkk. 2013. Hubungan antara Masa Kerja, Pengelolaan
Pestisida dan Lama Penyemprotan Dengan Kadar Kolinesterase Darah
Pada Petani Sayur Di Kelurahan Rurukan Kecamatan Tomohon Timur
Kota Tomohon. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi
Manado. Akses pada http://fkm.unsrat.ac.id/wp-
content/uploads/2013/08/HEIDY-PATRAS-091511106.pdf [Selasa, 12
April 2016]
Prabu. 2008. Pestisida Penghambat Kolinesterase. (Online):
http//putraprabu.wordpress.com/2013/17//pestisida-penghambat-
kholinesterase/ [Selasa, 12 April 2016]
Urnia, Yodenca Assti. 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Keracunan Pestisida Organofosfat, Karbamat Dan Kejadian Anemia Pada
Petani Hortikultura Di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten
Magelang. Tesis Magister Kesehatan Lingkungan Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro Semarang
Zakaria, 2007. Hubungan Keracunan Pestisida pada Petani Penyemprot Hama di
Desa Pedeslohor Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal. Ilmu Kesehatan
Fakultas Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. Akses pada
http://lib.unnes.ac.id/123/1/6094.pdf [Rabu, 06 April 2016]