Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

22
TUGAS MATA KULIAH ANALISIS EPIDEMIOLOGI FAKTOR RISIKO KERACUNAN PESTISIDA PADA PETANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN BREBES PROVINSI JAWA TENGAH Disusun Oleh : DWI SARASWATI 25010113140329 TRI DAMAYANTI S IMANJUNTAK 25010113140370 RARAS SEKTI PUDYASARI 25010113130395 DIAN SUTRISNI 25010113130398 PEMINATAN EPIDEMIOLOGI DAN PENYAKIT TROPIK FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2016

description

Analisis Univariat dan Bivariat pada Faktor Risiko Keracunana Pestisida Petani Bawang Merah di Brebes Provinsi Jawa Tengah

Transcript of Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

Page 1: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

TUGAS MATA KULIAH ANALISIS EPIDEMIOLOGI

FAKTOR RISIKO KERACUNAN PESTISIDA PADA PETANI BAWANG

MERAH DI KABUPATEN BREBES PROVINSI JAWA TENGAH

Disusun Oleh :

DWI SARASWATI 25010113140329

TRI DAMAYANTI S IMANJUNTAK 25010113140370

RARAS SEKTI PUDYASARI 25010113130395

DIAN SUTRISNI 25010113130398

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI DAN PENYAKIT TROPIK

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2016

Page 2: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS UNIVARIAT

1. Jenis Kelamin Responden

Berdasarkan tabel diatas maka dapat dilihat sebanyak 82,5% petani laki-

laki dan 17.5% petani perempuan sebagai respoden tekait status keracunan

pestisida.

2. Usia Responden

Umur adalah fenomena alam, semakin lama seseorang hidup makan

umurpun akan bertambah. Semakin bertambahnya umur seseorang semakin

banyak yang diaalminya, dan semakin banyak pula pemaparan yang

dialaminya, dengan bertambahnya umur seseorang maka fungsi metabolisme

akan menurun dan ini juga akan berakibat menurunnya aktifitas kholinesterase

darahnya sehinggga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida. Usia

juga berkaitan dengan kekebalan tubuh dalam mengatasi tingkat toksisitas

suatu zat, semakin tua umur seseorang maka efektifitas sistem kekebalan di

dalam tubuh akan semakin berkurang.

Menurut Moekijad (1992:36) menyatakan faktor usia yang dimiliki

pekerja sangat berpengaruh sekali dalam menjalankan aktivitas kerjanya,

sebagai contoh hal ini bisa kita ketahui pada jenis golongan pelopor. Golongan

pelopor usianya antara 25-40 tahun.

Menurut Mulyadi (2003 : 59) tenaga kerja adalah penduduk dalam usia

kerja (berusia 15-64 tahun) atau jumlah seluruh penduduk dalam suatu negara

yang dapat memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga

Tabel 1. Jenis Kelamin

Masa Kerja Frekuensi (N) Presentase (%)

Baru 33 82.5

Lama 7 17.5

Total 40 100

Page 3: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

mereka, dan jika mereka mau berpartisipasi dalam aktivitas tersebut. Menurut

Depnakertrans Tahun 2006 pengertian tenaga kerja ada 2 yaitu :

1. Setiap orang yg mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang

dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.

2. Setiap orang laki - laki atau wanita yang berumur 15 tahun ke atas yang

sedang dalam dan atau akan melakukan pekerjaan baik di dalam maupun

di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa usia pekerja

yang produktif yaitu antara 15-40 tahun, dan sedangkan usia di atas 40 - 60

tahun ke atas sudah dikatakan usia tua atau tidak produktif lagi.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 32 responden

(80%) merupakan petani penyemprot dengan kategori usia produktif

sedangkan sebanyak 8 responden (20%) merupakan petani penyemprot

dengan kategori usia tidak produktif. Dengan rata-rata usia responden yaitu 34

tahun.

3. Pendidikan Responden

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada petani bawang merah di

Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah yang melakukan penyemprotan

pestisida, maka diperoleh data pendidikan petani sebagai responden dalam

penelitian. Pendidikan dalam penelitian dikategorikan menjadi 2 yaitu

(Arikunto, 2006):

1. pendidikan rendah yaitu dari tidak sekolah sampai sekolah

menengah pertama (SMP)

2. pendidikan tinggi yaitu dari sekolah menengah atas (SMA) hingga

perguruan tinggi (PT).

Tabel 2. Usia Responden

Usia Frekuensi (N) Presentase (%)

Produktif 32 80

Tidak Produktif 8 20

Total 40 100

Page 4: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

Tabel.3 Distribusi Petani Bawang Merah Di Kabupaten Brebes

Propinsi Jawa Tengah Berdasarkan Pendidikan

No Pendidikan n %

1 Pendidikan Rendah 30 75

2 Pendidikan Tinggih 10 25

Total 40 100

Berdasarkan tabel diatas maka dilihat sebanyak 75% petani sebagai

respoden tekait status keracunan pestisida memiliki tingkat pendidikan tinggi

dan 25% memiliki tingkat pendidikan rendah.

4. Masa Kerja Responden

Masa kerja atau lama kerja adalah waktu untuk melakukan suatu kegiatan

atau lama waktu seseorang sudah bekerja. (KBBI, 2010). Masa kerja adalah

lama waktu sejak responden aktif sebagai petani penyemprot hingga saat

penelitian dilakukan, dalam satuan tahun. Merupakan masa waktu berapa lama

petani mulai bekerja sebagai petani. Semakin lama petani bekerja maka

smakin banyak pula kemungkinan terjadi kontak langsung dengan pestisida.

Responden dikategorikan lama jika telah menjadi petani selama lebih dari

5 tahun karena pada kurun waktu tersebut, toksisitas kronis akibat paparan/

keracunan pestisida biasa telah terjadi (Fatmawati, 2006). Adapun

KlasifikasiMasa kerja dikategorikan menjadi 2 yaitu:

1. Masa kerja kategori baru ≤ 5 tahun

2. Mas kerja kategori lama > 5 tahun (Urnia, 2008)

Tabel 4. Masa Kerja Petani Penyemprot

Masa Kerja Frekuensi (N) Presentase (%)

Baru 16 40

Lama 24 60

Total 40 100

Page 5: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 24 responden

(60%) merupakan petani penyemprot dengan kategori mempunyai masa kerja

lama sedangkan sebanyak 16 responden (40%) merupakan petani penyemprot

dengan kategori masa kerja baru. Dengan rata-rata masa kerja petani yaitu 11

tahun.

5. Lama Penyemprotan Responden

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada petani bawang merah di

Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah yang melakukan penyemprotan

pestisida, maka diperoleh lama penyemprotan per jam yang dilakukan petani

sebagai responden dalam penelitian. Lama penyempotan adalah waktu yang

digunakan dari mulai hingga selesai melakukanpenyemprotan dalam sehari

kerja. Pengelompoknya adalah sebagai berikut (Zakaria, 2007) :

1. 3 jam

2. < 3 jam

Tabel.5 Distribusi Petani Bawang Merah Di Kabupaten Brebes

Propinsi Jawa Tengah Berdasarkan Lama Penyemprotan Per Jam

No Lama Penyemprotan Per Jam n %

1 3 jam 2 5

2 < 3 jam 38 95

Total 40 100

Berdasarkan tabel diatas maka dilihat sebagian besar petani melakukan

penyemprotan < 3 jam (95%). Sedangkan petani yang melakukan

penyemprotan 3 jam (5%).

6. Frekuensi Menyemprot Responden

Jumlah pemakaian pestisida untuk penyemprotan di daerah pertanian per

minggu (Fiananda, 2014) :

1. Lebih dari 1 kali seminggu

2. Kurang dari 1 kali seminggu

Page 6: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

Berdasarkan tabel diatas maka dilihat sebanyak 70% petani melakukan

penyemprotan pestisida per minggu lebih dari 1 kali seminggu dan 30% petani

melakukan penyemprotan 1 kali seminggu.

7. Pemakaian APD Responden

Tabel.7 Distribusi Petani Bawang Merah Di Kabupaten Brebes

Propinsi Jawa Tengah Berdasarkan Pemakaian APD

No Pemakaian Alat Pelindung Diri n %

1 Lengkap 6 15

2 Tidak Lengkap 34 85

Total 40 100

Berdasarkan tabel diatas maka dilihat sebagian besar petani yang

melakukan penyemprotan dengan APD Tidak lengkap sebesar 85 %

sedangkan petani yang melakukan penyemprotan dengan memakai lengkap

yaitu 15%.

Tabel 6. Frekuensi menyemprot per minggu

Klasifikasi

Menyemprot per

Minggu

Frekuensi (N) Presentase (%)

>1 kali seminggu 28 70

1 kali seminggu 12 30

Total 40 100

Page 7: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

8. IMT Responden

Klasifikasi IMT menurut Depkes RI :

Sehingga untuk klasifikasi IMT petani berdasarkan teori diatas :

1. Normal : Mempunyai IMT 18,5 – 25,0

2. Tidak Normal : Mempunyai IMT <18,5 atau >25,0

Tabel 8. IMT pada Petani

No IMT n %

1 Normal 35 87,5

2 Tidak Normal 5 12,5

Total 40 100

Berdasarkan tabel diatas maka dilihat sebagian besar petani memiliki IMT

normal 87,5 % sedangkan petani yang memiliki IMT tidak normal yaitu

sebesar 12,5 %.

9. Status Keracunan Responden

Tabel 9. Status Keracunan

Status Keracunan Frekuensi (N) Presentase (%)

Ya 21 52,5

Tidak 19 47,5

Total 40 100

Page 8: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

Berdasarkan tabel diatas maka dilihat sebanyak 52,5 % petani

mengalami keracunan pestisida dan 47,5% petani tidak mengalami keracunan

pestisida.

Page 9: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

ANALISIS BIVARIAT

1. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Status Keracunan Petani

Tabel 13. Hubungan Antara jenis kelamin dengan status Keracunan Petani

Status Keracunan Total

Ya Tidak

N % N % N

Jenis

Kelamin

Laki-laki 19 90,5 14 73,7 33

Perempuan 2 9,5 5 26,3 7

Total 21 100 19 100 40

Hasil p-Value = 0,163

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa petani laki-laki lebih

banyak ditemukan mengalami keracunan pestisida(90,5%), sedangkan pada

perempuan, lebih banyak ditemukan tidak mengalami keracunan

pestisida(26,3%).

Analisis hubungan menggunakan Chi-Square = 0,163 (>0.05) maka dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan status

keracunan pestisida pada petani

2. Hubungan Usia Responden Dengan Status Keracunan Petani

Tabel 11. Hubungan Antara Usia dengan status Keracunan Petani

Status Keracunan Total

Ya Tidak

N % N % N

Usia Produktif 17 81 15 78,9 32

Tidak Produktif 4 19 4 21,1 8

Total 21 100 19 100 40

Page 10: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

Tabel di atas menunjukkan bahwa 17 responden mempunyai usia

produktif sebagai petani penyemprot. Petani yang memiliki usia produktif

sebagian besar mengalami keracunan akibat pestisida sebanyak 17 orang

(81%) dan yang tidak keracunan sebanyak 4 orang (19%). Sedangkan diantara

petani yang mempunyai tidak usia produktif tidak mengalami keracunan

sebanyak 4 orang ( 21,1%) dan yang mengalami keracunan sebanyak 15 orang

(78,9%).

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Korelasi

Pearson dengan (p-Value = 0,878>0,05), didapatkan kesimpulan bahwa tidak

ada hubungan antara usia petani penyemprot dengan kejadian keracunan pada

responden. Hal ini berarti bahwa hipotesis yang menyatakan adanya hubungan

antara usia petani penyemprot dengan kejadian keracunan akibat pestisida

pada petani Bawang di Brebes ditolak.

3. Hubungan Antara Pendidikan Dengan Status Keracunan Petani

Tabel 12. Hubungan Antara Pendidikan dengan Status Keracunan

Status Keracunan N

Ya Tidak

N % N %

Pendidikan Rendah 14 66,7 16 84,2 30

Tinggi 7 33,3 3 15,8 10

Total 21 100 19 100 40

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa petani yang memiliki

tingkat pendidikan rendah lebih banyak ditemukan tidak mengalami

keracunan pestisida(84,2%), sedangkan pada petani yang memiliki tingkat

pendidikan tinggi lebih banyak ditemukan mengalami keracunan pestisida

(33,3%).

Analisis hubungan menggunakan Chi-Square= 0,201 (>0.05) maka dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan status

keracunan pestisida pada petani.

Page 11: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

4. Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Status Keracunan Petani

Tabel 13. Hubungan Antara masa kerja dengan status Keracunan Petani

Status Keracunan Total

Ya Tidak

N % N % N

Masa

Kerja

Baru 9 42,9 7 36,8 16

Lama 12 57,1 12 63,2 24

Total 21 100 19 100 40

Hasil p-Value = 0,755

Tabel di atas menunjukkan bahwa 24 responden telah lama bekerja

sebagai petani penyemprot. Petani yang mempunyai masa kerja baru sebagian

besar mengalami keracunan akibat pestisida sebanyak 9 orang (42,9%) dan

yang tidak keracunan sebanyak 7 orang (36,8%). Sedangkan diantara petani

yang mempunyai masa kerja lama yang tidak mengalami keracunan sebanyak

12 orang ( 63,2%) dan yang mengalami keracunan sebanyak 12 orang

(57,1%).

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-square

denan (p-Value = 0,755), didapatkan kesimpulan bahwa tidak ada hubungan

antara masa kerja sebagai petani penyemprot dengan kejadian keracunan pada

responden. Hal ini berarti bahwa hipotesis yang menyatakan adanya hubungan

antara masa kerja sebagai petani penyemprot dengan kejadian keracunan

akibat pestisida pada petani Bawang di Brebes ditolak.

Page 12: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

5. Hubungan Antara Lama Penyemprotan per Jam dengan Status

Keracunan Pestisida

Tabel 14. Hubungan antara Lama Menyemprot dengan Status Keracunan

Status Keracunan N

Ya Tidak

N % N %

Lama Penyemprotan

per Jam

3 Jam 2 9,5 0 0 2

< 3 Jam 19 90,5 19 15,8 38

Total 21 100 19 100 40

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa petani yang melakukan

penyemprotan 3 jam lebih banyak ditemukan mengalami keracunan

pestisida(9,5%), sedangkan pada petani yang melakukan penyemprotan < 3

jam ditemukan tidak mengalami keracunan pestisida (100%).

Analisis hubungan menggunakan Chi-Square= 0,168 (>0.05) maka dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara lama menyemprot per jam

dengan status keracunan pestisida pada petani.

6. Hubungan Antara Frekuensi Penyemprotan dengan Status Keracunan

Pestisida

Tabel 13. Hubungan Antara jenis kelamin dengan status Keracunan Petani

Status Keracunan Total

Ya Tidak

N % N % N

Frekuensi

Menyemprot

per minggu

>1x

seminggu

16 76,2 16 63,2 28

1x

seminggu

5 23,8 3 36,8 12

Total 21 100 19 100 40

Hasil p-Value = 0,369

Page 13: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa petani yang melakukan

penyemprotan per minggu >1 kali lebih banyak ditemukan mengalami

keracunan pestisida (76,2%), sedangkan pada petani yang melakukan

penyemprotan per minggu 1 kali lebih banyak ditemukan tidak mengalami

keracunan pestisida (36,8%).

Analisis hubungan menggunakan Chi-Square= 0,369(>0.05) maka dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara frekuensi menyeprot per

minggu dengan status keracunan pestisida pada petani.

7. Hubungan Antara Penggunaan APD dengan Status Keracunan Pestisida

Tabel 16. Hubungan Antara Penggunaan APD dengan Status Keracunan

Status Keracunan N

Ya Tidak

N % N %

Pemakaian

APD

Lengkap 2 9,5 4 21.1 6

Tidak Lengkap 19 90,5 15 78,9 34

Total 21 100 19 100 40

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa diantara petani yang

memakai APD lengkap paling banyak tidak mengalami keracunann (21.1%) .

Sedangkan diantara petani yang memakai APD tidak lengkap paling banyak

mengalami keracunan ( 90.5%).

Analisis menggunakan uji Chi-Square dengan p = 0.308 (>0.05) maka

dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara penggunaan APD dengan

status keracunan pada petani

Page 14: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

8. Hubungan Antara IMT dengan Status Keracunan Petani

Status Keracunan N

Ya Tidak

N % N %

IMT Normal 18 85,7 17 89,5 35

Tidak Normal 3 14,3 2 10,5 5

Total 21 100 19 100 40

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa diantara petani yang

memiliki IMT normal yang paling banyak yaitu yang tidak mengalami

keracunan (89,7 %). sedangkan diantara petani yang memiliki IMT tidak

normal yang paling banyak yaitu yang mengalami keracunan (14.3%)

Analisis menggunakan uji Chi-Square dengan p = 0.720 (>0.05) maka

dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara IMT dengan status

keracunan pada petani

Page 15: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

PEMBAHASAN

1. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Status Keracunan Petani

Penelitian ini tidak sejalan dengan Ajeng tahun 2014 dimana terdapat

hubungan antara jenis kelamin dengan status keracunan pestididaPetani

perempuan cenderung memiliki rata-rata kadar kolinesterase yang lebih tinggi

dibandingkan petani laki-laki. Meskipun demikian, tidak dianjurkan

perempuan menyemprot pestisida, karena pada kehamilan kadar kolinesterase

perempuan cenderung turun sehingga kemampuan untuk menghidrolisis

asetilkolin berkurang. . Hal ini dapat terjadi karena jumlah responden laki-

laki dan perempuan tidak seimbang dimana petani laki-laki lebih banyak

daripada perempuan (Ajeng, 2014)

2. Hubungan Usia Responden Dengan Status Keracunan Petani

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Korelasi

Pearson dengan (p-Value = 0,878>0,05), didapatkan kesimpulan bahwa tidak

ada hubungan antara usia petani penyemprot dengan kejadian keracunan pada

responden.

Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Prabowo (2007) dan Dedi Ruhendi

(200&), dengah hasil tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan

status keracunan. Tetapi secara teoritis menurut Soedarmo (1990) dalam

Ruhendi 2007, ada kecenderungan semakin tua umur petani semakin rendah

aktivitas kolinesterase darahnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Nurhayati

(1997), diperoleh hasil ujinya bahwa ada hubungan yang bermakna antara

kolisterase dan umur untuk jenis kelamin laki-laki, dimana yang berumur tua

kadar kolinesterase darahnya cenderung rendah yang dapat menyebabkan

terjadinya status keracunan.

3. Hubungan Antara Pendidikan Dengan Status Keracunan Petani

Analisis hubungan menggunakan Chi-Square= 0,201 (>0.05) maka dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan status

keracunan pestisida pada petani.

Page 16: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

Tidak ada hubungan antara pendidikan dengan keracunan pestisida pada

petani. Hal ini sama dengan penelitian Irnawati dan Arlinda (2007). Hal ini

dapat dijelaskan bahwa petani yang berpendidikan tinggi maupun rendah

menggunakan pestisida sesuai kebiasan di masyarakat. Sebagian besar

penduduk memakai pestisida tidak sesuai dosis dan kegunaannya. Kebiasan

ini terus berlangsung, karena tidak mau dikatakan berbeda dengan orang lain.

Yang berpengaruh bukanlah tingkat pendidikan namun pelatihan terkait

dengan pemakaian pestisida yang baik dan benar yaitu dengan membaca dan

mengikuti petunjuk pemakaian pestisida sesuai dengan label yang tertera di

kemasan pestisida. Dan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran mengenai

bahaya pestisida, memberinpengenalan bentuk alat pelindung diri dan

pelatihan cara memakai alat pelindung diri.

4. Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Status Keracunan Petani

Pada tabel 13. Hubungan Masa kerja atau lama bekerja dalam penelitian

ini mempunyai nilai p-value > 0,05 yang menyatakan tidak sifnifikan atau

bermakna antara masa kerja dengan tingkat keracunan.

Hasil ini didukung oleh penelitian Rustia (2009), yang menyatakan tidak

ada hubungan yang bermakna antara lama kerja dengan status keracunan.

Serta Suwarno (1997) dalam Sumirat 2003 bahwa tidak ada hubungan yang

bermakna antara lama kerja dengan penurunan kadar kolinesterase, karena

pekerja yang telah memiliki pengalaman kerja cukup lama akan bekerja lebih

berhati-hati.

Lama kerja sebagai petani penyemprot tidak berpengaruh terhadap

kejadian keracunan karena penggunaan pestisida dalam waktu yang singkat

telah dapat menimbulkan keracunan pada petani. Gejala keracunan kronik

organofosfat timbul akibat penghambatan kolinesterase dan akan menetap

selama 2 – 6 minggu, menyerupai keracunan akut ringan. Tetapi bila terpapar

lagi dalam jumlah kecil dapat timbul gejala yang berat. Hal ini berarti bahwa

kejadian keracunan pada petani tidak dipengaruhi oleh masa kerja sebagai

petani tetapi dipengaruhi oleh intensitas paparan yang terjadi serta rentang

waktu penggunaan pestisida. Jika petani berhenti menggunakan pestisida

Page 17: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

dalam waktu yang lama, maka keracunan akibat pestisida akan hilang dengan

sendirinya, karena ikatan pestisida di dalam darah akan terlepas kembali.

Selain itu pula musim dapat mempengaruhi penggunaan pestisida.

Penggunaan pestisida yang jarang menyebabkan hubungan antara masa kerja

dengan kejadian keracunan pestisida menjadi tidak signifikan.

5. Hubungan Antara Lama Penyemprotan per Jam dengan Status

Keracunan Pestisida

Analisis hubungan menggunakan Chi-Square= 0,168 (>0.05) maka dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara lama menyemprot per jam

dengan status keracunan pestisida pada petani.

Tidak ada hubungan antara lama menyemprot dengan keracunan pestisida

pada petani. Hal ini sejalan dengan penelitian Mirzadevi(2007). Namun tidak

sejalan dengan penelitian Mokoagow dkk (2013), dimana berdasarkan

penelitian yang dilakukan bertambahnya waktu lama penyemprotan akan

mempengaruhi membuat kolinesterase semakin turun yang menunjukkan

keracunan pestisida pada manusia. Tidak ada hubunga dalam penelitian ini

dapat dikarenakan waktu menyemprot masih kurang lama atau kontak dengan

pestisida kurang untuk mmemunculkan keracunan pada petani. Dalam

penelitian ini lama menyemprot hanya sampai 3 jam. Prabu (2008)

menyatakan bahwa gejala keracunan pestisida organofosfat dan karbamat

biasanya timbul setelah 4 jam kontak, tetapi bisa timbul setelah 12 jam. Dan

WHO mengungkapkan lama menyemprot yang berisiko keracunan pestisida,

yaitu 5 jam per hari atau 30 jam per minggu. Selain itu dalam penelitian untuk

status keracunannya tidak dibagi menjadi keracunan tingkat rendah, sedang

dan tinggi sehingga memungkinkan pada lama penyemprotan per jam <3 jam

ada keracunan namun tingkat rendah yang tidak dimasukkan dalam kelompok

keracunan pestisida.

Page 18: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

6. Hubungan Antara Frekuensi Penyemprotan dengan Status Keracunan

Pestisida

Analisis hubungan menggunakan Chi-Square= 0,369(>0.05) maka dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara frekuensi menyeprot per

minggu dengan status keracunan pestisida pada petani. Penelitian ini sejalan

dengan penelitian Budiyono tahun 2005 Tidak ada hubungan antara frekuensi

menyemprot per minggu dengan status keracunan pestisida. Hal ini

dikarenakan pada penelitian ini frekuensinya paling banyak 3 kali seminggu,

frekuensi tersebut termasuk dalam kategori ideal dimana menimbulkan

keracunan. Namun, jika frekuensi menyemprot semakin sering dan lama akan

mempengararuhi tingkat keracunan yang tinggi, jika dilihat dari data maka

frekuensi menyemprot masih dalam batas normal (Budiyono,dkk, 2005)

7. H

ubungan Antara Penggunaan APD dengan Status Keracunan Pestisida

Analisis menggunakan uji Chi-Square dengan p = 0.308 (>0.05) maka

dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara penggunaan APD dengan

status keracunan pada petani. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Xiang et al. (2000) bahwa penggunaan APD selama aplikasi

terhadap pestisida mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kejadian

keracunan (p-Value = 0,001; OR = 0,8; 95% CI = 0,6 – 1,07). Penelitian

tentang penggunaan APD yang dilakukan oleh Fatmawati (2006)

menunjukkan bahwa penggunaan APD secara lengkap mempunyai pengaruh

secara bermakna terhadap kadar kolinesterase darah responden.

John H.R. et al. (1999) menyatakan bahwa salah satu faktor utama dalam

keterpaparan seseorang terhadap pestisida adalah penggunaan APD. Satu hal

yang sering dilupakan oleh petani (di negara tropis), umumnya adalah contact

poison. Oleh sebab itu, route of entry melalui kulit sangat efektif. Apalagi

kalau ada kelainan pada kulit dan/atau bersama keringat, penyerapan pestisida

melalui kulit akan lebih efektif. Kejadian kontaminasi pestisida melalui kulit

merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi, meskipun tidak seluruhnya

Page 19: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

berakhir dengan keracunan akut. Lebih dari 90% kasus keracunan diseluruh

dunia disebabkan oleh kontaminasi lewat kulit. Keracunan karena partikel

pestisida atau butiran semprot terhisap melalui hidung merupakan kasus

terbanyak nomor dua setelah kontaminasi kulit. Pada penelitian ini,

kontaminasi pestisida lebih banyak melalui kulit tangan, pernafasan dan mata.

Hal ini terlihat dari data yang menunjukkan jumlah petani yang tidak

menggunakan sarung tangan pada penelitian ini sebanyak 73 orang (93,6%),

tidak menggunakan masker sebanyak 46 orang (59%) dan tidak

menggunakan pelindung mata sebanyak 78 orang (100%). Penelitian yang

dilakukan oleh Vreede et al. (1998) menunjukkan bahwa petani yang tidak

menggunakan alat pelindung diri saat kontak dengan pestisida mempunyai

paparan pestisida terbesar melalui tangan terutama saat pencampuran pestisida

dengan paparan sebesar 103,53 µg/jam dan diikuti oleh paparan melalui

pernafasan yaitu sebesar 11,6 µg/jam. Tidak adanya hubungan antara

kelengkapan APD dengan kejadian keracunan dapat disebabkan karena

pemakaian yang salah dengan APDnya walaupun sudah lengkap.

8. Hubungan Antara IMT dengan Status Keracunan Petani

Hasil analisis statistik bivariat menggunakan uji Chi-square menunjukkan

bahwa status gizi tidak mempunyai hubungan dengan kejadian keracunan

pestisida (p-Value = 0,579). Hal ini bertentangan dengan penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Farikhun (2007) yang menyatakan bahwa

petani dengan status gizi buruk memiliki kecenderungan untuk mengalami

keracunan pestisida empat kali lebih besar daripada petani yang memiliki

status gizi baik. Seseorang yang sedang menderita sakit akan mudah

terpengaruh oleh efek racun dibandingkan dengan orang yang sehat. Buruknya

keadaan gizi seseorang juga akan berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan

meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi yang buruk

menyebabkan protein yang ada dalam tubuh sangat terbatas sehingga

mengganggu pembentukan enzim kolinesterase. Dikatakan bahwa orang yang

memiliki status gizi baik cenderung memiliki kadar rata-rata kolinesterase

lebih besar. Sehingga petani yang memiliki status gizi buruk akan mempunyai

Page 20: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

resiko yang lebih besar terhadap kejadian keracunan akibat pestisida

organofosfat dan karbamat. Tidak adanya hubungan antara status

gizi dengan keracunan akibat pestisida dapat disebabkan karena jam kerja

(ratarata < 4 jam) serta suhu lingkungan saat penyemprotan yang masih relatif

aman. Pada penelitian ini status gizi tidak mempunyai hubungan dengan

kejadian keracunan akibat pestisida

Page 21: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

DAFTAR PUSTAKA

Ajeng. 2014. Hubungan Antara Aktivitas Asetilkolinestrerase Darah dan Waktu

Reaksi Petani kentang dengan Paparan Kronik Pestisida. Fakultas

Kedokteran. Universitas Diponegoro. Akses pada :

www.eprints.undip.ac.id/44429 (diakses tanggal 13 April 2016)

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta :

Rineka Cipta.

Budiyono,dkk. 2005. Hubungan Faktor Pemaparan Pestisida dengan Keracunan

Pestisida pada Petani Penyemprot Melon Di Ngawi. Jurnal kesehatan

masyarakat Indonesia

Faris Khamdani, 2009. Hubungan Antara Pengetahuan Dan Sikap Dengan

Pemakaian Alat Pelindung Diri Pestisida Semprot Pada Petani Di Desa

Angkatan Kidul Pati Tahun 2009 . Skripsi Jurusan Ilmu Kesehatan

Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang,

Semarang.

Fatmawati, 2006. Pengaruh Penggunaan 2,4-D (2,4-Dichlorphenoxyaceticacid)

terhadap Status Kesehatan Petani Penyemprot di Kabupaten Sidrap

Provinsi Sulawesi Selatan. J.Med. Nus Vol. 27 No.1. Makassar, 2006

Fiananda, AI., dkk. 2014. Hubungan Antara Aktivitas Asetilkolinesterase Darah

Dan Waktu Reaksi Petani Kentang Dengan Paparan Kronik Pestisida

Organofosfat. Fakultas Kedokteran Universitas Dipenegoro. Akses pada

http://eprints.undip.ac.id/44429/5/Ajeng_Indraswari_F_22010110130142_B

ab4KTI.pdf [Selasa, 05 April 2016].

Irnawati dan Arlinda. 2007. “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Keracunan Pestisida Pada Petani Hortikultura Di Kecamatan Jorlang

Hataran, Kabupaten Simalungun Tahun 2005. Media Lit bang Kesehatan

XVII Nomor 1 Tahun 2007. Akses pada

http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/viewFile/803/16

72 [Selasa, 12 April 2016]

Page 22: Kelompok 13_tugas Analisis Epidemiologi

Mirza, Devi.2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keracunan

Pestisida Pada Petani Penyemprot Hama Di Desa Pedeslohor Kecamatan

Adiwerna Kabupaten Tegal. Under Graduates thesis, Universitas Negeri

Semarang. Akses pada http://lib.unnes.ac.id/6193/1/3470X.pdf [Selasa, 12

April 2016]

Mokoagow, Dolfie., dkk. 2013. Hubungan antara Masa Kerja, Pengelolaan

Pestisida dan Lama Penyemprotan Dengan Kadar Kolinesterase Darah

Pada Petani Sayur Di Kelurahan Rurukan Kecamatan Tomohon Timur

Kota Tomohon. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi

Manado. Akses pada http://fkm.unsrat.ac.id/wp-

content/uploads/2013/08/HEIDY-PATRAS-091511106.pdf [Selasa, 12

April 2016]

Prabu. 2008. Pestisida Penghambat Kolinesterase. (Online):

http//putraprabu.wordpress.com/2013/17//pestisida-penghambat-

kholinesterase/ [Selasa, 12 April 2016]

Urnia, Yodenca Assti. 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Keracunan Pestisida Organofosfat, Karbamat Dan Kejadian Anemia Pada

Petani Hortikultura Di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten

Magelang. Tesis Magister Kesehatan Lingkungan Program Pascasarjana

Universitas Diponegoro Semarang

Zakaria, 2007. Hubungan Keracunan Pestisida pada Petani Penyemprot Hama di

Desa Pedeslohor Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal. Ilmu Kesehatan

Fakultas Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. Akses pada

http://lib.unnes.ac.id/123/1/6094.pdf [Rabu, 06 April 2016]