Tugas
-
Upload
edysusanto -
Category
Documents
-
view
5 -
download
0
description
Transcript of Tugas
-
EDY SUSANTO FHUI
FILSAFAT HUKUM, FHUI MARET 2014 | Kelas A
Pasal 362 KUHP Indonesia
Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal yang ada diatas, akan menjadi seakan tidak adil, bila yang ditampar oleh Pasal dalam KUHPidana
tersebut adalah pihak yang diruncing ke bawah oleh Hukum itu sendiri.
Sebagai contoh kasus Nenek Minah, menurut Aliran Positivisme bagaimana pun hukum harus ditegakkan
tanpa melihat baik atau buruknya serta adil atau tidak adilnya. Hukum harus dilepaskan dari unsur-unsur
sosial, karena tujuan dari aliran ini adalah kepastian hukum. Lebih lagi menurut paham Positivisme, setiap
norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan
dalam wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini
hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan,
melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai
apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang
bukan terbilang hukum.1 Yang terjadi adalah negara yang menganut aliran Positivisme, mau tidak mau cara
berpikir aliran Positivisme yang harus diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib berpikir, terlepas dari
serba keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum Positivisme ini, cara memandang
persoalannya harus dengan kacamata Positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya.
Karena melihat persoalan hukum ini melalui kacamata Positivisme, maka harus melihat kembali fakta-fakta
substansi hukum Pidana Indonesia dalam menjawab persoalan ini, sebagai negara yang menganut aliran
Positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran Positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang
disebut dengan tertib berpikir, sehingga hukum Pidana terlepas dari Ins konsistensi hukum. Dengan kata
lain, terlepas dari serba keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum Positivisme ini, cara
memandang persoalannya harus dengan kacamata Positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya.
Menurut Hans Kelsen, aliran Positivisme hukum tidak mempersoalkan keadilan, karena hal tersebut bukan
konsen dari hukum.
1 Soetandyo Wignjosobroto, Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam & Huma, Jakarta, 2002,
hlm. 96
-
EDY SUSANTO FHUI
FILSAFAT HUKUM, FHUI MARET 2014 | Kelas A
Sebagai Tambahan[LAMPIRAN], Penjelasan terkait aliran Positivisme Hukum adalah sebagai
berikut ;
Konsep dan Teori Positivisme
1. Metode penelitian: kuantitatif
2. Sifat metode Positivisme adalah obyektif.
3. Penalaran: deduktif.
4. Hipotetik
Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan
segala uraian/ persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang
diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam
bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.2 Dalam hal itu aliran
Positivisme ini menyebutkan, hanya ada dua jalan untuk mengetahui : (1) Verifikasi langsung
melalui data pengindera (empirikal). (2) Penemuan lewat logika (rasional). Adapun juga ide-ide
pokok Positivisme, antara lain :
1. Bahwa ilmu pengetahuan merupakan jenis pengetahuan yang paling tinggi tingkatannya, dan
karenanya kajian filsafat harus juga bersifat ilmiah (that science is the highest form of knowledge
and that philosophy thus must be scientific).
2. Bahwa hanya ada satu jenis metode ilmiah yang berlaku secara umum, untuk segala bidang atau
disiplin ilmu, yakni metode penelitian ilmiah yang lazim digunakan dalam ilmu alam.
3. Bahwa pandangan-pandangan metafisik tidak dapat diterima sebagai ilmu, tetapi "sekadar"
merupakan pseudoscientific.
Jadi, kebenaran yang dianut Positivisme dalam mencari kebenaran adalah teori
korespondensi.Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika
terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu
pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian
(korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut.
2 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004), h. 154-155.