tuberkulosis

31
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis Tuberkulosis itu biasanya disingkat menjadi TB adalah penyakit menular disebabkan oleh kuman tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis) umumnya menyerang paru, tetapi bisa juga menyerang bagian tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, selaput otak, kulit, tulang dan persendian, usus, ginjal dan organ tubuh lainnya (Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia, 2010). TB sangat berbahaya karena bisa menyebabkan seseorang meninggal dan sangat mudah ditularkan kepada siapa saja dimana 1 orang pasien TB dengan BTA positif bisa menularkan kepada 10-15 orang disekitarnya setiap tahun (PPTI, 2010). 2.1.1 Penyebab Penyakit TB adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 mm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor dan mycobacterial sulfolipid yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan M.tuberculosis bersifat tahan asam yaitu tersebut dengan larutan asam-alkohol (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2002). Suhu optimal untuk tumbuh pada 37°C dan pH 6,4-7,0 jika dipanaskan pada suhu 60°C akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Disamping itu organisme ini agak resisten terhadap bahan-bahan kimia dan tahan pengeringan, sehingga memungkinkan untuk Universitas Sumatera Utara

description

tuberkulosis

Transcript of tuberkulosis

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

Tuberkulosis itu biasanya disingkat menjadi TB adalah penyakit menular

disebabkan oleh kuman tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis) umumnya

menyerang paru, tetapi bisa juga menyerang bagian tubuh lainnya seperti kelenjar

getah bening, selaput otak, kulit, tulang dan persendian, usus, ginjal dan organ tubuh

lainnya (Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia, 2010).

TB sangat berbahaya karena bisa menyebabkan seseorang meninggal dan

sangat mudah ditularkan kepada siapa saja dimana 1 orang pasien TB dengan BTA

positif bisa menularkan kepada 10-15 orang disekitarnya setiap tahun (PPTI, 2010).

2.1.1 Penyebab

Penyakit TB adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang lurus atau sedikit

melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6

mm dan panjang 1 4 mm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari

lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah

asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord

factor dan mycobacterial sulfolipid yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat

merupakan asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan

arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan

fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah

polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur apabila sekali

diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna dinding sel yang

kompleks tersebut menyebabkan M.tuberculosis bersifat tahan asam yaitu tersebut

dengan larutan asam-alkohol (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2002).

Suhu optimal untuk tumbuh pada 37°C dan pH 6,4-7,0 jika dipanaskan pada

suhu 60°C akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini sangat rentan terhadap

sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Disamping itu organisme ini agak resisten

terhadap bahan-bahan kimia dan tahan pengeringan, sehingga memungkinkan untuk

Universitas Sumatera Utara

tetap hidup dalam periode yang panjang didalam ruangan-ruangan, selimut dan kain

yang ada di kamar tidur (Putra, 2010).

2.1.2 Cara Penularan

Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau

bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet

nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya

penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang

lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung

dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam

keadaan gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya

kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil

pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan

seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan

lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2008).

Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien

TB paru dengan BTA positif memberi kemungkinan risiko penularan lebih besar dari

pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan

dengan Annual Risk Of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang

berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang

diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara

1–3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi

positif (Depkes RI, 2008).

Risiko menjadi sakit TB hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi

sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi

1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap

tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif (Depkes RI, 2008).

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah

daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS (Human

Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) dan malnutrisi (gizi

buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi terinfeksi TB menjadi

sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler

Universitas Sumatera Utara

(cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti

tuberkulosis, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB

di masyarakat akan meningkat pula (Depkes RI, 2008). Faktor risiko kejadian TB,

secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:

Gambar 2.1. Faktor Risiko Kejadian TB

INFEKSITERPAJAN TB MATI

SEMBUH

Risiko menjadi TB bila

dengan HIV:

• 5-10% setiap tahun

• >30% lifetime

Jumlah kasus TB BTA+

Faktor lingkungan :

Ventilasi

Kepadatan

Dalam ruangan

Faktor Perilaku

HIV(+)

Malnutrisi

Penyakit DM,

immuno-supresan

10%

Keterlambatan diagnosis dan

pengobatan

Tatalaksana tak memadai

Kondisi kesehatan

Konsentrasi Kuman

Lama kontak

transmisi

Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati setelah 5 tahun, pasien akan

50% meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi dan

25% menjadi kasus kronis yang tetap menular (Depkes RI, 2008).

2.1.3 Tatalaksana Pasien TB

Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola

dengan menggunakan strategi DOTS. Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah

menurunkan angka kematian dan kesakitan serta mencegah penularan dengan cara

menyembuhkan pasien. Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari

surveilans penyakit, tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan

sembuh tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan

petugas terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjutnya

(Depkes RI, 2007).

Diagnosis tepat dan cepat

Pengobatan tepat dan lengkap

kondisi kesehatan mendukung

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Penemuan Pasien TB

Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,

penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah

pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan

pasien TB menular, secara bermakna akan menurunkan kesakitan dan kematian akibat

TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan

penularan TB yang paling efektif di masyarakat

(Depkes RI, 2007).

Strategi penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.

Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan didukung dengan

penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk

meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB; pemeriksaan terhadap kontak

pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menderita

TB yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya; penemuan secara aktif

dari rumah ke rumah dianggap tidak cost efektif (Depkes RI, 2007).

2.1.5 Gejala klinis pasien TB

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau

lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk

darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,

malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu

bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,

seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat

prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke

UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai

seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara

mikroskopis langsung (Depkes RI, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.1.6 Pemeriksaan dahak mikroskopis

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai

keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak

untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang

dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu

(SPS).

S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama

kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan

dahak pagi pada hari kedua.

P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah

bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan

dahak pagi (Depkes RI, 2007).

2.1.7 Pemeriksaan biakan

Peran biakan dan identifikasi M.tuberculosis pada penanggulangan TB

khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap

OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman

serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi:

a. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis

b. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.

c. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda (Depkes RI,

2007).

2.1.8 Pemeriksaan tes resistensi

Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu

melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar

internasional dan telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh

laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut

memberikan simpulan yang benar sehinggga kemungkinan kesalahan dalam

pengobatan MDR dapat dicegah (Depkes RI, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.1.9 Diagnosa TB

1. Diagnosa TB paru

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu Sewaktu-

Pagi-Sewaktu (SPS).

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman

TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan

dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto

toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis

sepanjang sesuai dengan indikasinya.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks

saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,

sehingga sering terjadi overdiagnosis.

Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.

Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.

2. Diagnosis TB ekstra paru

Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada

Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe

superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada

spondilitis TB dan lain-lainnya.

Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan

berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan

kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode

pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji

mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2. Alur Diagnosis TB Paru

Catatan : Pada keadaan-keadaan tertentu dengan pertimbangan kegawatan dan medis

spesialistik, alur tersebut dapat digunakan secara lebih fleksibel.

2.1.10 Indikasi pemeriksaan foto toraks

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun

pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi

sebagai berikut:

Pemeriksaan dahak mikroskopis - Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)

Foto toraks dan

pertimbangan dokter

Antibiotik Non-OAT

pemeriksaan dahak mikroskopis

Foto toraks dan

pertimbangan dokter

Suspek TB Paru

Hasil BTA

+ + +

+ + -

+ - -

Hasil BTA

- - -

Hasil BTA

+ + +

+ + -

Hasil BTA

- - -

Tidak ada

perbaikan Ada

perbaikan

TB BUKAN TB

Hasil BTA

+ - -

Universitas Sumatera Utara

Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini

pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru

BTA positif (lihat bagan alur).

Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada

pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah

pemberian antibiotika non OAT (lihat bagan alur).

Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan

penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis

atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk

menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma) (Depkes RI, 2008).

2.1.11 Klasifikasi penyakit dan tipe pasien

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu

“definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu:

1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;

2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA

negatif;

3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat;

4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati.

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah:

1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai

2. Registrasi kasus secara benar

3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif

4. Analisis kohort hasil pengobatan

Beberapa istilah dalam definisi kasus:

1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis

oleh dokter.

2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk M. tuberculosis atau

tidak ada fasilitas biakan, sekurang kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS

hasilnya BTA positif.

Universitas Sumatera Utara

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat

diperlukan untuk:

1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah

timbulnya resistensi

2. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan

pemakaian sumber daya lebih biaya efektif (cost effective)

3. Mengurangi efek samping

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:

1. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru,

tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2. Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain

selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),

kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat

kelamin, dan lain-lain.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB

Paru:

1. Tuberkulosis paru BTA positif

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada

pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah

pemberian antibiotika non OAT (Obat Anti Tuberkulosis).

2. Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik

TB paru BTA negatif harus meliputi:

a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.

b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Universitas Sumatera Utara

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit:

1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan

penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks

memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far

advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.

2. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:

a. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,

tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

b. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,peritonitis, pleuritis

eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat

kelamin.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe

pasien, yaitu:

1. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah

pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (Relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan

lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3. Kasus setelah putus berobat (Default ) adalah pasien yang telah berobat dan putus

berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4. Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya

tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama

pengobatan.

5. Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang

memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

6. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam

kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih

BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2007).

Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011) dalam Sihombing (2011)

penderita TB paru kategori I adalah TB paru yang tergolong dalam penderita kasus

Universitas Sumatera Utara

baru dengan hasil pemeriksaan dahak pewarnaan langsung BTA positif (+) atau BTA

negatif (-) namun dengan lesi yang luas. Berdasarkan WHO pada tahun 1997 dalam

Usman (2008) membuat klasifikasi menurut regimen pengobatan yang dibagi atas

empat kategori yaitu :

1. Kategori I adalah pasien kasus dengan dahak yang positif dan penderita dengan

keadaan yang berat seperti meningitis, tuberkulosis milier, perikarditis, peritonitis,

pleuritis atau spondilitis bilateral dengan gangguan neurologik, penderita dengan

dahak negatif tetapi kelainan paru luas, tuberkulosis usus, saluran kemih dan

sebagainya.

2. Kategori II adalah kasus relaps atau gagal dengan dahak yang tetap positif.

3. Kategori III adalah kasus dengan dahak yang negatif dan kelainan paru yang tidak

luas dan kasus tuberkulosis ekstrapulmoner selain dari yang disebut dalam kategori

I.

4. Kategori IV adalah kasus tuberkulosis kronik.

Tabel 2.1. Kategori Pengobatan TB Menurut WHO

Kategori

Pengobatan

TB

Pasien TB Alternatif Panduan

Pengobatan TB

I

Kasus baru TB paru BTA (+)

Kasus baru TB paru BTA (-)

dengan kerusakan parenkim yang

luas

Kasus baru dengan kerusakan

yang berat pada TB ekstra

pulmoner

2 RHZE 4 R3H3

4 RH

6 HE

II TB paru BTA (+) dengan

riwayat pengobatan sebelumnya:

- Kambuh

- Kegagalan pengobatan

- Pengobatan tidak selesai

2 RHZES

+

1RHZE

5 R3H3E3

5 RHE

III Kasus baru TB paru dengan

BTA (-)(diluar kategori I)

Kasus baru yang berat dengan

TB ekstra pulmoner

2 RHZ 4 R3H3

4 HR

6 HE

IV Kasus kronis (sputum BTA tetap

positif, setelah pengobatan

ulang)

Rujuk ke dokter

spesialis

Universitas Sumatera Utara

2.1.12 Tatalaksana TB anak

Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik

overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala

utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu

kriteria lain dengan menggunakan sistem skor. Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP

IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan

sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang

dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program nasional

penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak (Depkes RI, 2008).

Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah

skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan

mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari

6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan

diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi

lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi,

CT-Scan, dan lain lainnya (Depkes RI, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang

TB

Parameter 0 1 2 3 Jumlah

Kontak TB Tidak

jelas

Laporan

keluarga,

BTA

negatif

atau

tidak

tahu,

BTA

tidak

jelas

BTA positif

Uji tuberkulin Negatif Positif (≥ 10

mm, atau ≥ 5

mm pada

keadaan

imunosupresi)

Berat badan/

keadaan gizi

Bawah garis

merah (KMS)

atau BB/U

<80%

Klinis

gizi

buruk

(BB/U

<60%)

Demam tanpa

sebab jelas

> 2 minggu

Batuk * ≥3 minggu

Pembesaran

kelenjar limfe

koli, aksila,

inguinal

>1 cm,

jumlah >1,

tidak nyeri

Pembengkakan

tulang/sendi

panggul, lutut,

falang

Ada

pembengkakan

Foto toraks

toraks

Normal/

tidak

jelas

Kesan TB

Jumlah

Universitas Sumatera Utara

Catatan :

Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.

Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya

seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.

Jika dijumpai skrofuloderma** (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat

langsung didiagnosis tuberkulosis.

Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan

badan.

Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak

Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah

penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.

Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 13)

Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

*Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya

seperti asma, sinusitis, refluks gastroesofageal dan lainnya.

**Skrofuloderma adalah suatu bentuk reaktivasi infeksi TB, diawali oleh suatu

limfadenitis atau osteomielitis yang membentuk abses dingin dan melibatkan kulit di

atasnya, kemudian pecah, dan membentuk sinus di permukaan kulit. Skrofuloderma

ditandai oleh massa yang padat atau fluktuatif, sinus yang mengeluarkan cairan, ulkus

dengan dasar bergranulasi dan tidak beraturan serta tepi bergaung, serta sikatriks yang

menyerupai jembatan. Biasanya ditemukan di daerah leher atau

wajah, tetapi dapat juga dijumpai di ekstremitas atau trunkus.

Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:

1. Tanda bahaya

Kejang, kaku kuduk

Penurunan kesadaran

Kegawatan lain, misalnya sesak nafas

2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura

3. Gibbus, koksitis

Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skoring. Pasien dengan jumlah

skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan

Universitas Sumatera Utara

mendapat OAT (obat anti TB). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis dicurigai

TB maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya, seperti bilasan lambung,

patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT

Scan, dan lain-lainnya sesuai indikasi (Depkes, 2008).

Sumber penularan dan Case Finding TB Anak : Apabila kita menemukan

seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang menyebabkan

anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB

aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan

dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila

telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari

anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.

Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak di sekitarnya atau yang

kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal).

Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan

pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin (Depkes RI, 2008).

Gambar 2.3. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak pada Unit Pelayanan Kesehatan

Dasar

Respons (+) Respons ( )

Terapi TB diteruskan Teruskan terapi TB sambil

mencari penyebabnya

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah

pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang.

Skor >6

Beri OAT

selama 2 bulan dan dievaluasi

Universitas Sumatera Utara

Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan

pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik

tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan (Depkes RI, 2008).

2.1.13 Pemberantasan tuberkulosis di Indonesia

Menurut Noerolandra (1999) dalam Priyadi (2003), diketahui bahwa

Pengobatan tuberkulosis di Puskesmas diberikan secara gratis dengan dana Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan bantuan teknis dari WHO (World Health

Organization). Program tuberkulosis dengan DOTS melalui Puskesmas secara relatif

dapat dikatakan berhasil, khususnya dari sudut operasional. Namun masih

dipertanyakan dari sudut epidemiologis. Berdasarkan prosedur tetap program

pemberantasan tuberkulosis yang sekarang dilaksanakan di Puskesmas yang

menempatkan kasus tuberkulosis dengan BTA positif sebagai sasaran utama, dengan

diagnosis pemeriksaan mikroskopis sputum, pemeriksaan ulang sputum 3 kali di masa

pengobatan, obat direkomendasikan WHO, pencatatan dan pelaporan standard,

ditunjuknya Pengawas Minum Obat (PMO), pelacakan penderita, serta distribusi obat

yang lancar dan berlanjut, tentu saja merupakan hal yang baru bagi rumah sakit yang

menempatkan pendekatan klinis sebagai misi utama. Beberapa kendala yang perlu

mendapat perhatian dan perlu diantisipasi untuk keberhasilan program pemberantasan

tuberkulosis adalah tersedianya tenaga dan saranan pelayanan kesehatan sebagai

pengendali program. Hal ini sangat menentukan karena pengobatan tuberkulosis yang

terpantau memerlukan petugas pengendali yang akan melakukan konseling,

pencatatan, keperluan pemeriksan ulang sputum, mengurus sarana stok obat dan

koordinator PMO.

2.2 Beberapa Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru

2.2.1 Umur

Menurut Crofton (1989) dalam Iskandar (2010), daya tahan tubuh untuk

melawan infeksi pada hakekatnya sama untuk semua umur akan tetapi pada usia

sangat muda awal kelahiran dan pada usia 10 tahun pertama hidupnya memiliki sistem

pertahanan tubuh sangat lemah. Kemungkinan anak balita untuk terinfeksi dan

menimbulkan sakit sangat tinggi. Sebelum masa pubertas infeksi primer ditemukan di

Universitas Sumatera Utara

paru. Sampai usia 2 tahun dapat mengakibatkan keadaan yang berat seperti

Tuberculosis millier dan Meningitis tuberculosis. Selaras dengan Samallo dalam

Nurhidayah,dkk (2007), usia anak merupakan usia yang sangat rawan terhadap

penularan penyakit tuberkulosis dan angka penularan serta bahaya penularan yang

tinggi terdapat pada golongan umur 0-6 tahun dan golongan umur 7-14 tahun. Juga

Selaras dengan penelitian Diani, dkk (2011) proporsi infeksi TB pada anak <5 tahun

yang tinggal dalam satu rumah dengan 85 orang pasien

TB paru dewasa di Puskesmas Kecamatan Tebet Jakarta Selatan berdasarkan uji

tuberkulin 42,4%.

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara

ekonomis yaitu usia 15-50 tahun (Depkes RI, 2008). Berdasarkan penelitian Musadad

(2006) menyatakan bahwa karakteristik penderita TB paru di rumah tangga sebagian

besar merupakan kelompok usia produktif dimana 90,2% usianya di bawah 49 tahun

dengan jenis kelamin perempuan sedikit lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Banyaknya penderita kelompok usia tersebut sangat memprihatinkan mengingat itu

merupakan kelompok umur produktif yang biasanya secara ekonomi menanggung

beban biaya kelompok usia di bawah

15 tahun dan di atas 60 tahun. Bahkan terdapat 14,7% penderita TB paru berusia

di bawah 20 tahun yang masih merupakan usia sekolah.

Hasil penelitian Hariyanto (2013) menyatakan Dari 80 responden didapatkan

11 (13,8%) dengan BTA positif. Hasil analisis dengan uji

Chi square didapatkan x2 = 4,396; p = 0,036 (p< 0,05) menunjukkan adanya hubungan

yang bermakna antara umur dengan TB paru BTA positif. Selaras dengan penelitian

Iskandar (2010) hasil uji Chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan umur

responden dengan kejadian TB paru dengan nilai

p = 0,018 (p< 0,05).

Berbeda pendapat dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil

analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,361 (p> 0,05) bahwa umur bukan merupakan

faktor risiko terhadap kejadian TB paru.

Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Jenis kelamin

Menurut Enarson DA ( 2003) dalam Putra (2010) di benua Afrika banyak

tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita

TB paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB paru pada

wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987

penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita

TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki

dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan

merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Suswati (2007) menyatakan bahwa

dari 200 sampel yang diteliti sebanyak 45% terdiri dari laki-laki dan sisanya 55%

diderita oleh perempuan. Kondisi ini juga sesuai dengan hasil penelitian WHO yang

menyatakan bahwa TB paru banyak menyerang perempuan. Kenyataan ini memang

sangat memprihatinkan karena perempuan yang bertugas menjaga kualitas generasi

bangsa ternyata sebagian besar banyak menderita penyakit TB paru yang bersifat

kronis dan potensial menular ke anggota keluarganya apabila tidak mendapat

penanganan dengan baik dan tuntas.

Berdasarkan hasil penelitian Retnaningsih, dkk (2010) dari analisa statistik

mendapatkan nilai p= 0,96 yang menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak bermakna

secara statistik terhadap kejadian infeksi TB paru. Sejalan dengan penelitian Ruswanto

(2010) mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p=0,609 (p> 0,05) bahwa

jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru.

Berbeda dengan hasil penelitian Iskandar (2010) menyatakan hasil uji

Chi square terdapat hubungan signifikan antara jenis kelamin responden dengan

kejadian TB paru, dengan nilai p= 0,027 (p< 0,05), artinya bahwa jenis kelamin sangat

berdampak terhadap terjadinya TB paru.

2.2.3 Pekerjaan

Faktor lingkungan kerja mempengaruhi seseorang untuk terserang suatu

penyakit atau tidak. Seseorang yang bekerja pada lingkungan kerja yang buruk seperti

supir, tukang becak, orang yang sering terpapar debu, polusi asap lebih gampang

Universitas Sumatera Utara

untuk terkena penyakit TB paru dibandingkan dengan orang yang sehari-hari bekerja

di kantor (Sitepu, 2009).

LIPI (2000) dalam Iskandar (2010), menyatakan bahwa penurunan tingkat

pendapatan menyebabkan banyak rumah tangga mengalami kesulitan untuk membeli

pangan, mengakibatkan berubahnya pola pengeluaran konsumsi dengan proforsi yang

lebih besar untuk bahan makanan dibandingkan untuk kebutuhan bukan makanan

seperti kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Dan WHO tahun 2007 menyebutkan

90% penderita TB di dunia menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin

(Putra, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian Retnaningsih, dkk (2010) dari analisa statistik

mendapatkan nilai p= 0,610 yang menunjukkan bahwa jenis pekerjaan tidak bermakna

terhadap kejadian infeksi TB paru, sebenarnya dengan bekerja diharapkan dapat

mengurangi risiko terinfeksi TB paru, orang yang bekerja di luar rumah, relatif lebih

sedikit memiliki waktu berada di dalam rumah dibandingkan kelompok yang tidak

bekerja. Jika waktu berada di dalam rumah lebih sedikit, maka intensitas kontak

dengan penderita TB paru akan berkurang.

2.2.4 Status ekonomi

Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat

kesejahteraan masyarakat sebagai hasil pembangunan. Perubahan pendapatan akan

mempengaruhi pengeluaran. Di negara berkembang tingkat pendapatan penduduk

masih rendah dan pengeluaran untuk makan merupakan bagian terbesar dari seluruh

pengeluaran rumah tangga. Akan tetapi untuk negara yang sudah maju pengeluaran

terbesar bukan untuk makan, melainkan untuk biaya kesehatan, pendidikan, olah raga,

pajak dan jasa-jasa atau pengeluaran non makan lainnya (Putra, 2011).

Menurut Elvina Karyadi (2002) dalam Putra (2011) menyatakan bahwa

ekonomi lemah atau miskin mempengaruhi seseorang mendapatkan penyakit

TB paru, disebabkan daya tahan tubuh yang rendah, begitu juga kebutuhan akan

rumah yang layak huni tidak di dapatkan, ditambah dengan penghuni yang ramai dan

sesak. Keadaan ini akan mempermudah penularan penyakit terutama penyakit saluran

pernafasan seperti penyakit TB Paru. Selaras dengan penelitian Kuniarsih (2009)

Universitas Sumatera Utara

menyatakan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

TB paru adalah tingkat pendapatan per kapita.

Berbeda pendapat dengan hasil penelitian Sunar (2005) mengatakan tidak ada

hubungan pendapatan dengan praktek penemuan tersangka TB paru (p= 0,770 dan p=

0,328). Sejalan dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil analisis statistik

menunjukkan nilai p= 0,0170 (p> 0,05) bahwa tingkat pendapatan bukan merupakan

faktor risiko terhadap kejadian TB paru.

2.2.5 Pengetahuan

Notoatmodjo (2011) mengatakan pengetahuan merupakan hasil “tahu” setelah

orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa

dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya

tindakan seseorang (overt behavior) karena dari pengalaman dan penelitian ternyata

perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku

yang tidak didasari oleh pengetahuan.

Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat

yaitu know (tahu), memahami (comfrehension), aplikasi (application), analisis

(analysis), sintesis (syntesis), evaluasi (evaluation). Pengukuran pengetahuan dapat

dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang

ingin diukur dan subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang

ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan tersebut di atas

Notoatmodjo (2003) dalam Iskandar (2010).

Penelitian yang dilakukan di Serbia oleh Vukonic, dkk (2008) menunjukkan

bahwa satu-satunya prediktor yang signifikan dari pemahaman yang benar tentang

cara penularan TB adalah tingkat pendidikan dan hubungan pribadi yang dekat dengan

pasien TB, prediktor terkuat dari kesalahpahaman adalah usia lebih tua.

Selaras dengan penelitian Rusnoto,dkk (2006) pengetahuan tentang

TB paru yang rendah akan berisiko 23,021 kali lebih besar dari pengetahuan yang

tinggi. Juga selaras dengan hasil penelitian Iskandar (2010) hasil uji Chi square

dengan nilai p= 0,003 (p< 0,005) artinya terdapat hubungan signifikan antara

Universitas Sumatera Utara

pengetahuan dengan kejadian TB paru. Dan juga berdasarkan hasil penelitian Tobing

(2009) mengatakan hasil analisis uji Chi square didapat nilai p= 0,024 berati pada α=

5% (0,05) dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan

dengan potensi penularan TB paru, analisis lebih lanjut diperoleh nilai OR= 2,5 (CI=

1,124–5,918) artinya potensi penularan TB paru 2,5 kali lebih besar pada yang

berpengetahuan rendah. Sejalan juga dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan

hasil analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,034, OR= 2,622 artinya tingkat

pengetahuan yang kurang mempunyai risiko meningkatkan kejadian TB paru

sebanyak 2,622 kali lebih besar dibandingkan dengan tingkat pengetahuan yang baik.

2.2.6 Sanitasi perumahan dan lingkungan

Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan

kepada pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan di dalam maupun di luar

rumah yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat dengan timbulnya atau

penularan penyakit. Pengawasan lingkungan di sini meliputi pengawasan lingkungan

fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana

lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan

diperbaiki atau dihilangkan. Pentingnya lingkungan rumah yang sehat ini telah

dibuktikan WHO dengan penyelidikan-penyelidikan

di seluruh dunia dimana didapatkan hasil bahwa angka kematian, angka perbandingan

orang sakit yang tinggi serta sering terjadi epidemik, terdapat

di tempat-tempat dimana hygiene dan sanitasi lingkungan buruk (Priyadi, 2003).

a. Kepadatan hunian

Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan

jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian

untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per

orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasillitas yang tersedia.

Untuk perumahan sederhana, minimum 8 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan

minimum 2 orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami

istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi

penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya

(Lubis, 1989 dalam Juslan 2011).

Universitas Sumatera Utara

Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan

standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan

diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥10 m²/orang dan

kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara

luas lantai dengan jumlah penghuni < 10 m²/orang (Lubis, 1989).

Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang Kesehatan (2000), didapatkan

data bahwa:

1. Rumah tangga yang penderita mempunyai kebiasaan tidur dengan balita

mempunyai risiko terkena TB 2,8 kali dibanding dengan tidur terpisah;

2. Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana

seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam

rumahnya;

3. Besar risiko terjadinya penularan dengan penderita lebih dari 1 orang adalah

4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita TB

(Juslan, 2011).

Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa kepadatan hunian

bisa menjadi salah satu faktor penyebab (faktor risiko) TB paru seperti penelitian yang

dilakukan oleh Daryatno (2000) di Semarang yang menyatakan bahwa kepadatan

hunian memiliki hubungan dengan kejadian TB paru. Selanjutnya, Sugiharto (2004)

melakukan penelitian tentang hubungan kepadatan hunian dengan kejadian TB paru

dan diperoleh hasil adanya hubungan dengan nilai OR= 3,161 dengan nilai p= 0,001.

Selanjutnya, Tobing (2009) melaksanakan penelitian dengan salah satu variabel yaitu

kepadatan hunian yang memperoleh nilai p sebesar 0,004 yang berarti adanya

hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan penyakit TB paru dimana

nilai OR sebesar 3,3 (95% CI : 1,45 7,9). Hal ini berarti, potensi kejadian penyakit

TB paru sebesar 3,3 kali di bangunan atau rumah yang kepadatan huniannya < 0,5

(Sumampouw, 2012).

b. Ventilasi rumah

Menurut Depkes RI (1989) dalam Sumampouw (2012) secara umum, penilaian

ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai

rumah, dengan menggunakan Role meter. Menurut indikator pengawaan rumah, luas

Universitas Sumatera Utara

ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas

ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah ≤ 10% luas lantai rumah.

Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan

membawa pengaruh bagi penghuninya. Menurut Azwar (1990) dan Notoatmodjo

(2003), salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah

tersebut tetap segar. luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi

syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan

bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya.

Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban

ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.

Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan

berkembang biaknya bakteri-bakteri pathogen termasuk kuman tuberkulosis

(Sumampouw, 2012).

Selain itu menurut Lubis (1989) dalam Sumampouw (2012) luas ventilasi yang

tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran

aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman

tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama

udara pernafasan.

Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa ventilasi bisa

menjadi salah satu faktor penyebab (faktor risiko) TB paru seperti yang dilakukan

oleh Ratnawati (2001) hasil penelitiannya menunjukkan tidak ada hubungan antara

ventilasi rumah dengan kejadian TB paru di Kabupaten Jepara (p > 0,05). Selanjutnya

penelitian yang dilakukan Sumarjo (2004) di Kabupaten Banjarnegara memperoleh

hasil yaitu adanya hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian TB paru dengan

nilai p sebesar 0,003 dan OR = 6,176. Hal ini berarti individu yang tinggal di rumah

dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena TB paru

sebesar 6,2 kali dibandingkan mereka yang memiliki luas ventilasi yang memenuhi

syarat. Selanjutnya, Tobing (2009) menyatakan bahwa dalam penelitian yang

dilakukannya diperoleh hasil yaitu nilai p sebesar 0,037 dan nilai OR sebesar 2,4 (9%

CI-1,04-5.8). Selanjutnya, Darsoni (2005) yang melaksanakan penelitian di Desa

Padang memperoleh hasil yaitu bahwa adanya hubungan antara luas ventilasi rumah

dengan kejadian TB paru dimana nilai p = 0,001 dan OR sebesar 10,8. Selanjutnya,

Universitas Sumatera Utara

penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto dkk (2004) tentang faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian TB paru di Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit

Paru ditemukan luas ventilasi berhubungan dengan kejadian TB paru dimana nilai OR

sebesar 29,99 dengan 95% CI: 3,39-265,50 (Sumampouw, 2012).

2.2.7 Kebiasaan merokok

Kebiasaan merokok meningkatkan risiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2

kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang,

relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun

di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan menurut Achmadi (2005) dalam

Fidiawati (2011), prevalensi merokok pada hampir semua negara berkembang lebih dari 50%

terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya

kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru (Fidiawati,

2011).

Menurut Amin (1993) dalam Priyadi (2003) mengatakan terdapat cukup fakta

untuk menghubungkan rokok dengan TB paru. Dalam jangka panjang yaitu 10 20

tahun pengaruh risiko merokok terhadap tuberkulosis adalah bila merokok 1 10

batang per hari meningkatkan risiko 15 kali, bila merokok 20 30 batang per hari

meningkatkan risiko 40 50 kali dan bila merokok 40 50 batang per hari

meningkatkan risiko 70 80 kali. Penghentian kebiasaan merokok, baru akan

menunjukkan penurunan risiko setelah 3 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian Suarni (2009) menunjukkan tidak ada hubungan

yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB paru BTA positif (p=

0,298). Selaras dengan penelitian Widyasari (2012) menunjukkan responden yang

memiliki kebiasaan merokok (46,7%), dengan hasil analisis Chi square nilai p= 0,606

OR= 0,766, 95% CI= 0,278–2,111 dan responden yang merupakan perokok pasif

(53,3%) dengan hasil analisis

Chi square nilai p= 0,438 OR= 1, 495, 95% CI= 0,540 4,136 dapat disimpulkan

bahwa status terpapar rokok tidak memiliki hubungan dengan kejadian TB Paru

di Wilayah Semarang Utara.

Universitas Sumatera Utara

2.2.8 Penyakit penyerta

Umumnya penderita TB dalam keadaan malnutrisi dengan berat badan sekitar

30-50 kg atau indeks masa tubuh kurang dari 18,5 pada orang dewasa. Sementara

berat badan yang lebih kecil 85% dari berat badan ideal kemungkinan mendapat TB

adalah 14 kali lebih besar dibandingkan dengan berat badan normal. Ini yang menjadi

pemikiran bahwa malnutrisi atau penurunan berat badan telah menjadi faktor utama

peningkatan risiko TB menjadi aktif. Pola makan orang Indonesia yang hampir 70%

karbohidrat dan hanya 10% protein yang pada penyakit kronis selalu disertai dengan

tidak selera makan, tidak mau makan, tidak bisa makan atau tidak mampu membeli

makanan yang mempunyai kandungan gizi baik (kurang protein), sehingga penderita

ini mempunyai status gizi yang buruk. Selain faktor gizi, penyakit seperti Diabetes

mellitus (DM) dan infeksi HIV merupakan salah satu faktor risiko yang tidak

berketergantungan untuk berkembangnya infeksi saluran napas bagian bawah.

Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM dan aktivitas

kuman tuberkulosis meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM ringan. Penderita

tuberkulosis menular (dengan sputum BTA positif) yang juga mengidap HIV

merupakan penularan kuman tuberkulosis tertinggi (Putra,2010). Selaras dengan

laporan Maurice (2011) menyatakan bahwa penderita diabetes mempunyai risiko tiga

kali lipat untuk menderita tuberkulosis, kami memperkirakan sekitar 8%

berkonstribusi untuk terjadinya kasus TB baru setiap tahunnya.

Berdasarkan hasil penelitian Widyasari (2012) menunjukkan responden yang

memiliki riwayat Diabetes mellitus (26,7%), dengan hasil analisis

Chi square nilai p= 0,038 OR= 5,092, 95% CI= 0,981-26,430, dari hasil analisis dapat

disimpulkan bahwa riwayat penyakit penyerta memiliki hubungan dengan kejadian TB

Paru di Wilayah Semarang Utara.

2.2.9 Riwayat kontak

Yulistyaningrum dan Rejeki (2010) menyatakan bahwa sebesar 74,23% dari

seluruh kasus tuberkulosis terdapat pada golongan anak, dimana angka penularan dan

bahaya penularan yang tinggi terdapat pada golongan umur 0-6 tahun dan golongan

umur 7 14 tahun. Faktor risiko yang dapat menimbulkan penyakit tuberkulosis

terutama pada anak-anak adalah faktor genetik, malnutrisi, vaksinasi, kemiskinan dan

Universitas Sumatera Utara

kepadatan penduduk. Faktor risiko utama yang dapat menimbulkan penyakit TB paru

pada anak adalah kontak dengan penderita

TB dewasa. Anak-anak yang sakit TB tidak dapat menularkan kuman TB ke anak lain

atau ke orang dewasa. Sebab, pada anak biasanya TB bersifat tertutup. Kasus TB paru

anak di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru Purwokerto pada tahun 2009 mencapai

26,4%. Hal ini dimungkinkan karena adanya kontak serumah atau sering berinteraksi

dengan orang dewasa yang terbukti mengidap TB paru dengan hasil tes Basil Tahan

Asam (BTA) positif.

Penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto, dkk (2006) menyatakan Riwayat

penularan anggota keluarga jika ada yang menderita TB paru akan mampu menularkan

79,781 kali dari keluarga yang tidak ada yang menderita TB paru. Riwayat kontak

penderita dalam satu keluarga dengan anggota keluarga yang lain yang sedang

menderita TB paru merupakan hal yang sangat penting karena kuman Mycobacterium

tuberculosis sebagai etiologi TB paru adalah memiliki ukuran yang sangat kecil,

bersifat aerob dan mampu bertahan hidup dalam sputum yang kering atau ekskreta lain

dan sangat mudah menular melalui ekskresi inhalasi baik melalui nafas, batuk, bersin

ataupun berbicara (droplet infection). Sehingga adanya anggota keluarga yang

menderita TB paru aktif, maka seluruh anggota keluarga yang lain akan rentan dengan

kejadian TB paru termasuk juga anggota keluarga dekat . Riwayat kontak anggota

keluarga yang serumah dan terjadi kontak lebih dari atau sama dengan 3 bulan

berisiko untuk terjadinya TB paru terutama kontak yang berlebihan melalui

penciuman, pelukan, berbicara langsung. Hasil penelitian didapatkan sebesar 63,8%

yang terdeteksi menderita TB paru yang berasal dari kontak serumah dengan keluarga

atau orang tua yang menderita TB paru.

2.2.10 Status gizi

Untuk orang Indonesia pengukuran status gizi dilakukan berdasarkan standard

IMT ( Indeks Massa Tubuh) yaitu dengan menggunakan standard Asia atau Depkes

RI yang merupakan suatu pengukuran yang menghubungkan (membandingkan) berat

badan dengan tinggi badan. Walaupun dinamakan "indeks", BMI (Body Mass Index)

sebenarnya adalah rasio yang dinyatakan sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi

dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter). Setelah mendapatkan hasil angka tersebut

Universitas Sumatera Utara

dicocokkan dengan cut off point sehingga kita dapat mengetahui status gizi kita

apakah under weight, normal, overweight atau obesitas. Cut Off Point berdasarkan

Depkes RI adalah :

1. Kurus : <17 18,4

2. Normal : 18,5 25

3. Gemuk : 25,1 >27

Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa yang berusia 18 tahun

ke atas. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, ibu hamil dan olahragawan.

Disamping itu pula IMT tidak dapat diterapkan dalam keadaan khusus (penyakit)

lainnya seperti edema, asites dan hepatomegali [http://www.ilmu-gizi.net/2011/09/imt-

indeks-massa-tubuh-bmi.html (diakses 29 September 2012)]. Sedangkan untuk

pengukuran status gizi anak diukur secara antropometri dan dikatagorikan berdasarkan

standar baku WHO-NCHS dengan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB (Kepmenkes,

2002).

Keadaan status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan yang terkait.

Penderita infeksi sering mengalami anoreksia, penggunaan waktu yang berlebih,

penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan

sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada keadaan gizi yang buruk ,maka reaksi

kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan dalam mempertahankan diri

terhadap infeksi menjadi menurun (Rusnoto, dkk, 2006)

Rakhmawati, dkk (2009) dalam penelitian menyatakan bahwa ada hubungan

yang signifikan antara status gizi dengan kejadian tuberkulosis pada anak. Perbedaan

pada antara status gizi kurang dan baik dapat dilihat pada nilai OR = 0,176

(0,034 0,905) dan 0,235 (0,044 1,267), artinya anak dengan gizi kurang mempunyai

peluang untuk terkena tuberkulosis 0,176 kali dibandingkan anak dengan gizi baik,

dan anak dengan status gizi sedang mempunyai peluang untuk terkena tuberkulosis

0,235 kali dibandingkan dengan anak yang status gizi baik. Menurut Markum (1991)

dalam Rakhmawati, dkk (2009) pada anak yang mengalami kekurangan gizi akan

menimbulkan penurunan daya tahan tubuh hal ini disebabkan pada anak dengan

kekurangan energi dan protein akan terjadi penurunan sintesis asam amino, selain itu

juga akan terjadi perubahan dalam sel mediator imunitas, dalam fungsi bakterisidal

netropil dan sistem komplemen dalam respon Ig A. Sekresi Ig A yang rendah

Universitas Sumatera Utara

bersamaan dengan penurunan imunitas makrosa akan memudahkan kolonisasi dan

kontak antara mikroorganisme patogen dan sel epitel.

TB lebih banyak terjadi pada anak yang kurang gizi sehubungan dengan

lemahnya daya tahan tubuh anak yang kurang gizi. TB juga memperburuk status gizi

anak dan ini merupakan satu sebab lingkaran setan gizi kurang dan infeksi. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok TB lebih banyak anak yang berstatus

gizi sedang, kurang dan buruk. Hasil uji korelasi menunjukkan terdapat korelasi

signifikan antara status gizi anak masa lalu dengan kejadian TB pada murid TK

(p=0.01; r=-0.546). Hal ini berarti semakin rendah status gizi anak pada masa lalu,

maka semakin besar kemungkinan ia menjadi TB pada usia TK (Madanijah dan

Triana, 2007).

Berdasarkan penelitian Fatimah (2008) hasil analisis statistik bivariat maupun

multivariat menunjukkan bahwa faktor status gizi mempunyai hubungan dengan

kejadian TB paru karena p < 0,05 pada analisis bivariat diperoleh hasil

p = 0,015 OR = 2,737 dengan CI 95% = 1,272 < OR < 5,887. Artinya status gizi

< 18,5 mempunyai risiko meningkatkan kejadian TB paru sebanyak 2,737 kali lebih

besar dibanding dengan status gizi ≥ 18,5. Sejalan dengan penelitian Ruswanto (2010)

mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,005 (p< 0,05) bahwa status

gizi merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru.

Menurut Alsagaf dan Mukty (2004) dalam Rotua (2013) status gizi yang buruk

dapat mempengaruhi tanggapan tubuh berupa pembentukan antibodi dan limfosit

terhadap adanya kuman penyakit. Untuk pembentukan ini diperlukan bahan baku

protein dan karbohidrat, sehingga pada anak dengan gizi buruk produksi antibodi dan

limfosit terhambat. Selain itu gizi yang buruk dapat menyebabkan gangguan

imunologis dan mempengaruhi proses penyembuhan penyakit. Selaras juga dengan

pendapat Nadesul (2004) dalam Rotua (2013) diet penderita TB harus cukup

mengandung protein. Makanan tidak cukup hanya nasi dan sayur saja tetapi perlu lauk

pauk seperti ikan, daging telur dan susu. Akibat dari kuman TB, paru-paru menjadi

keropos dan terjadi proses pengapuran (kalsifikasi). Sehingga penderita perlu asupan

zat kapur lebih banyak. Zat kapur banyak terkandung pada susu, ikan teri atau tablet

kalsium. Jadi makanan bergizi dan zat kapur ibarat semen untuk menebalkan bagian

tubuh /paru yang berlubang dan keropos akibat digerogoti kuman TB.

Universitas Sumatera Utara

Orang dengan TB aktif sering kekurangan gizi dan menderita defisiensi

mikronutrien serta penurunan berat badan dan nafsu makan menurun. Malnutrisi

meningkatkan risiko perkembangan dari infeksi TB menjadi penyakit TB aktif.

Malnutrisi atau kekurangan nutrisi adalah temuan paling umum yang dialami penderita

TB. Diet untuk penderita TB sangat penting karena kebanyakan penderita mengalami

kekurangan gizi. Kekurangan (defisiensi) protein menghambat kemampuan tubuh

untuk melawan infeksi. Selain pengobatan diet TB yang tepat juga diperlukan untuk

memasok tubuh dengan berbagai nutrisi penting. Dengan pengobatan yang tepat dan

diet yang sehat, kemungkinan untuk mendapatkan berat badan yang sehat. Penting

untuk mempertahankan asupan kalori yang tepat. Mengkonsumsi berbagai buah-

buahan dan sayuran, diet untuk pasien TB juga harus memasukkan kacang-kacangan.

Hal ini membantu untuk menjaga berat badan dan juga membangun kekebalan

terhadap penyakit lebih lanjut. Susu dan produk susu juga harus menjadi bagian diet.

Ada juga produk susu rendah lemak dan lemak bebas tersedia saat ini. Selain diet yang

tepat, individu juga harus mendapatkan istirahat yang cukup sehingga sistem

kekebalan tubuh dapat pulih dan berfungsi dengan baik. Kebutuhan energi pada pasien

TB meningkat karena penyakit itu sendiri, kebutuhan energi sekitar 35-40 kkal per

kilogram berat badan ideal (Abdurrahman, 2012).

Menurut Chandra (1996) dalam Usman (2008) pengamatan epidemiologis telah

menyatakan bahwa infeksi dan kekurangan nutrisi saling berpengaruh secara buruk.

Untuk beberapa penyakit infeksi seperti tuberkulosis ada banyak bukti menyatakan

bahwa masa ketika sakit dan masa penyembuhan dipengaruhi secara buruk oleh

kekurangan nutrisi. Bahwa kekurangan nutrisi pada umumnya berkaitan dengan

terganggunya respon imun khususnya fungsi fagosit, produksi sitokin, respon sekresi

antibodi dan sistem komplemen. Ringkasnya kekurangan nutrisi menyebabkan

immunodefisiensi secara umum untuk berbagai penyakit infeksi termasuk

tuberkulosis. Chan (1996) dalam Usman ( 2008) mengatakan peranan protein pada

pengobatan TB selain memenuhi kebutuhan gizi, meningkatkan regenerasi jaringan

yang rusak juga mempercepat sterilisasi dari kuman TB. Selain itu menurut Leitch

(2000) dalam Usman (2008) kebanyakan penderita TB adalah kelompok usia produkif

(15-55 tahun) secara tidak langsung penyakit dan status gizi yang buruk akan

mempengaruhi produktivitas. Untuk itu diperlukan dukungan nutrisi yang adekuat

Universitas Sumatera Utara

sehingga akan mempercepat perbaikan status gizi dan meningkatkan sistem imun yang

dapat mempercepat proses penyembuhan disamping pemberian obat yang teratur

sesuai metode pengobatan TB.

Pada orang-orang yang memiliki tubuh sehat karena daya tahan yang tinggi dan

gizi yang baik, penyakit TB paru tidak akan muncul dan kuman TB akan tertidur.

Namun pada mereka yang mengalami kekurangan gizi, daya tahan tubuh menurun

atau buruk, terus menerus menghirup udara yang mengandung kuman TB akibat

lingkungan yang buruk akan lebih mudah terinfeksi TB paru (menjadi TB aktif) atau

dapat juga mengakibatkan kuman TB yang tertidur di dalam tubuh dapat aktif kembali

(Hateyaningsih T, 2009).

Samuel (2013) dalam Prawira (2013) menyatakan satu hal penting yang harus

diperhatikan saat seseorang terserang TB adalah memperhatikan asupan gizinya. Jika

seseorang mengalami infeksi kronis, maka status gizi pada orang tersebut dinyatakan

menurun. Karena itu, daya tahan tubuh secara keseluruhan juga menurun. Berikan

asupan makanan yang benar supaya tidak tambah kurus. Penderita TB tidak cukup

hanya ditangani dengan pengobatan yang terus menerus tanpa henti. Asupan gizi yang

masuk pun harus diperhatikan dengan benar. Status gizi penderita TB berbeda dengan

orang sehat lainnya, pemberian asupan makanan pun harus beda dan lebih dari yang

sehat. Kalau biasanya hitungannya 1

gram per 1 kilogram, maka untuk orang yang sedang terkena TB asupan kalorinya

adalah 1,5 gram per 1 kilogram.

Universitas Sumatera Utara

2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan seperti gambar dibawah ini:

Variabel independen: Variabel dependen:

Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian

1. Umur 2. Jenis kelamin 3. Pekerjaan 4. Pengetahuan 5. Kebiasaan merokok 6. Penyakit penyerta 7. Status gizi 8. Riwayat kontak

Penularan TB paru

pada keluarga

P

e

n

u

l

a

r

a

n

T

B

p

a

r

u

p

a

d

a

Universitas Sumatera Utara