Triswan Makalah Pola Distribusi Bb Textile
-
Upload
triswan-suseno -
Category
Documents
-
view
439 -
download
4
Transcript of Triswan Makalah Pola Distribusi Bb Textile
POLA DISTRIBUSI BATUBARA UNTUK INDUSTRI TEKSTIL DI PROPINSI JAWA BARAT
(Studi Kasus Kota/Kabupaten Bandung, Kabupaten Purwakarta dan Bekasi)
DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERALPUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI
MINERAL DAN BATUBARA2004
1
S A R I
Jawa Barat merupakan salah satu propinsi yang memiliki banyak industri tekstil, empat daerah di antaranya adalah Kota Bandung sebanyak 98 perusahaan, Kabupaten Bandung 215 perusahaan, Kabupaten Purwakarta sebanyak 6 buah dan Kabupaten Bekasi sebanyak 10 buah. Hingga tahun 2004, terdapat 38 perusahaan (11,55%) yang telah memanfaatkan batubara sebagai bahan bakar untuk kegiatan produksinya. Berdasarkan hasil jajag pendapat tentang batubara terhadap perusahaan yang masih menggunakan BBM, ternyata bahwa sekitar 14,28% responden ingin menggunakan batubara sebagai bahan bakar untuk boilernya, 42,28% perusahaan tidak menginginkan pemakaian batubara dalam kegiatan produksinya, sedangkan 57,14% masih berpikir dulu. Perusahaan tekstil pengguna batubara sebagian besar membeli batubara secara langsung ke agen-agen pemasok batubara di wilayah Cirebon, harganya berkisar antara Rp.300.000 – Rp.400.000 per ton sampai di tempat tujuan. Batubara itu sendiri sebagian besar didatangkan dari Propinsi Kalimantan Selatan, seperti PT. Arutmin, PT. Adaro dan KUD, serta kualitas kandungan kalori yang diterima di lokasi pemakai berkisar antara 5.400-6.600 kkal/kg.Pada masa mendatang, diperkirakan potensi kebutuhan batubara per tahun untuk boiler industri tekstil di Bandung Raya (Kota dan Kabupaten Bandung) antara 500.000-700.000 ton, Kabupaten Purwakarta antara 13.000-18.000 ton dan Kabupaten Bekasi antara 22.000-32.000 ton.Permasalahan utama yang dihadapi oleh perusahaan tekstil (batubara) adalah reaksi negatif dari masyarakat sekitar pabrik yang merasa terganggu akibat dari proses pembakaran batubara. Permasalahan lain adalah kesulitan dalam membuang abu dasar (bottom ash) hasil pembakaran batubara.Besarnya potensi kebutuhan batubara untuk industri tekstil di Jawa Barat baru mencapai 0,84% dari total industri. Terdapat 3 jalur saja yang layak dijadikan sebagai alternatif pengiriman batubara dari Cirebon lokasi-lokasi industri tekstil di Jawa Barat. 3 jalur alternatif tersebut adalah yaitu jalur Cirebon-Cikampek-Bandung dengan biaya Rp. 55.000,00 per ton-km, jalur Cirebon-Cikajang-Kawali-Ciamis-Malangbong dengan biaya Rp. 81.000,00 per ton-km dan
2
jalur Cirebon-Cimalaka-Sumedang-Bandung dengan biaya Rp. 40.000,00 per ton-km.
3
ABSTRACT
West Jawa has a lot of textile industries which some of them are located in Bandung City as much as 98 enterprises, 215 enterprises located in bandung Regency, 6 enterprises located in Purwakarta Regency and 10 enterprises located in Bekasi Regency. Until the year 2004, there are 38 enterprises (11.55%) that have utilized coal as an energy source for the production activity. According to the survey for the coal utilization toward the enterprises which are still utilizing oil fuel, shows that 14.28% of respondents intend to utilize coal as the fuel for boiler, 42,28% are not willing to utilize coal in their production activity, while 57.14 are still considering it. The textile enterprises as coal user mostly purchase coal directly to agents of coal supply in Cirebon with price ranging from Rp. 300,000 to Rp. 400,000/ton until location of the industry. The coais supplied from South Kalimantan like PT. Arutmin, PT. Adaro and village unit cooperatives, with calorific values of 5,400-6,600 kcal/kg. In the future, it is predicted tha the need of coal for boiler of textile industries in Bandung City and Regency are between 500,000 tons and 700,000 tons/years, Purwakarta Regency is 13,000-18,000 tons/years and Bekasi Regency is 22,000-32,000 tons/years. The main problem faced by textile industries coal users) is a negative response for the community in surrounding areas due to the coal burning process which disturb them. The other problem is difficulty of disposing the bottom ash reslting from the coal burning. Potencial of coal needs for small-scale industry in West Jawa reaches 0.84% from production total. There are 3 alternative lanes of delivering the coal to the textile industries in West Jawa, namely Cirebon-Cikampek-Bandung with the cost of Rp 55,000/ton/km, Cirebon-Cikajang-Kawali-Ciamis-Malangbong-Bandung with the cost of Rp 81,000/ton/km ang Cirebon-Cimalaka-Sumedang-bandung with the cost of Rp. 40,000/ton/km.
4
1 PENDHULUAN
Selain minyak bumi dan gas alam, batubara merupakan salah satu
sumberdaya energi yang dimiliki oleh Indonesia. Batubara sudah
sejak lama digunakan, terutama untuk kegiatan produksi pada
industri semen dan pembangkit listrik. Mengingat batubara sebagai
energi alternatif dan mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi
sehingga ia dapat menggantikan peran bahan bakar minyak (BBM)
dalam kegiatan produksi untuk industri tersebut. Apalagi beberapa
tahun terakhir ini harga BBM terus mengalami kenaikan dan hal ini
sangat dirasakan dampaknya oleh pelaku ekonomi di Indonesia.
Salah satu industri yang mengalami hal tersebut adalah industri
tekstil di Propinsi Jawa Barat, karena industri ini sangat tergantung
pada bahan bakar solar atau residu untuk kegiatan produksinya.
Hal ini mengakibatkan tingginya biaya produksi, sehingga
mempengaruhi pula terhadap kegiatan hilirnya, yaitu penjualan
produk. Sebagian dari mereka mengalami kebangkrutan karena
tidak mampu menutupi tingginya biaya produksi dan kalaupun
mampu bertahan, mereka harus bersaing dengan produk-produk
luar negeri, seperti Cina yang harganya jauh lebih murah. Dalam
dua tahun terakhir ini telah terjadi perubahan penggunaan energi
yang begitu cepat, dimana batubara mulai dilirik oleh industri
tekstil sebagai bahan bakar dalam proses produksinya. Beberapa
perusahaan di antaranya telah mulai beralih menggunakan
batubara sebagai bahan bakar dan hal ini ternyata sangat efektif
dalam menekan biaya produksi. Untuk saat ini, pemasokan
batubara ke beberapa industri tekstil masih tampak lancar. Akan
tetapi, apabila seluruh perusahaan tekstil potensial di Propinsi Jawa
5
Barat telah menggunakan batubara, maka kelancaran pemasokan
harus tetap terjaga ketersediaannya. Oleh karena itu, perlu
dilakukan suatu penelitian yang berhubungan dengan pemasokan-
kebutuhan batubara untuk industri tekstil melalui Pola Distribusi
Batubara Untuk Industri tekstil di Propinsi Jawa Barat, dengan studi
kasus Kota/Kabupaten Bandung, Kabupaten Purwakarta dan
Kabupaten Bekasi.
Maksud dari pada penelitian ini adalah untuk memperkirakan
jumlah pemasokan–kebutuhan, membuat simulasi pola pemasokan
dan alternatif jalur transportasi batubara untuk industri tekstil.
2 GAMBARAN UMUM INDUSTRI TEKSTIL JAWA BARAT
Jawa Barat merupakan salah satu propinsi yang paling banyak
memiliki industri tekstil, khususnya di wilayah Bandung, Kabupaten
Purwakarta, dan Kabupaten Bekasi. Di wilayah Bandung, jumlah
industri tekstil tersebar di tiga wilayah, yaitu di Kabupaten
Bandung, Kota Bandung, dan Kota Cimahi. Pada mulanya,
penyebaran industri ini hanya dibagi ke dalam dua wilayah, yaitu
Kabupaten Bandung dan Kota Bandung. Namun setelah berdirinya
Kota Cimahi, maka pengawasan industri tekstil yang berada di
daerah ini menjadi kewenangan Pemerintah Kota Cimahi.
Jumlah industri tekstil di 5 wilayah penelitian terdapat 341 buah
dengan rincian Kabupaten Bandung sebanyak 215 buah, Kota
Bandung 98 buah, Kota Cimahi 12 buah, Kabupaten Purwakarta 6
buah, dan Kabupaten Bekasi sebanyak 10 buah (Disnaker Propinsi
jawa Barat).
6
Sebagian besar bahan bakar yang digunakan pada boiler untuk
industri tekstil adalah bahan bakar minyak (solar atau residu), dan
hanya sebagian kecil yang sudah menggunakan batubara.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Pertekstilan
Indonesia ( API) Bandung, pada tahun 2003 di wilayah Bandung
tercatat sebanyak 18 perusahaan yang telah menggunakan
batubara dengan kebutuhan sebesar 274.163 ton. Pada tahun
2004, bertambah sebanyak 20 perusahaan tekstil yang jumlah
pemakaiannya sebesar 245.364 ton. Tercatat 7 perusahaan yang
paling banyak menggunakan batubara yaitu, PT. Kahatex, PT.
Panasia Filamen Inti, PT. Ayoe Taihotex, PT. Bintang Agung, PT.
Central Georgete Nusantara, Dewasuteratex, dan PT. Trisulatex
(API, 2003).
Penggunaan batubara pada industri tekstil di Kabupaten
Purwakarta masih sangat terbatas, yaitu dari enam perusahaan
yang ada, tiga di antaranya sudah menggunakan batubara, yaitu
PT. Indonesia Asahi Chemical, PT. Indobarat Pasific, dan PT.
Indorama Synthetics. Batubara yang digunakan oleh PT. Indonesia
Asahi Chemical dimanfaatkan untuk boiler (proses produksi),
sedangkan pada PT. Indobarat Pasific, dan PT. Indorama Synthetics
dimanfaatkan untuk energi pada power plant (pembangkit listrik).
Biaya pemakaian bahan bakar batubara untuk boiler industri tekstil
dapat menghemat 74% dibandingkan dengan menggunakan solar.
3 ANALISIS POLA PEMASOKAN BATUBARA UNTUK BOILER
3.1 Tempat Penyimpanan (Stockyard)
7
Untuk industri tekstil di wilayah Jawa Barat, pasokan batubara
dilakukan oleh pembeli yang berlokasi di Cirebon. Sebagian
pembeli juga bertindak/ merangkap sebagai pemasok (supplier)
bagi pabrik-pabrik tekstil di wilayah Bandung, Cimahi, Purwakarta,
dan wilayah Jawa Tengah. Oleh karena itu, pemasok tersebut
membangun lokasi penyimpanan (stockyard) yang berlokasi tidak
jauh dari pelabuhan, yaitu di tepi jalan raya Losari dengan
kapasitas yang bervariasi antara 3.000–5.000 ton. Di samping itu,
lokasi tersebut berdekatan dengan gerbang tol Kanci sehingga
mempermudah pengiriman batubara ke luar daerah. Di lokasi ini,
tercatat 8 buah pemasok berada di sebelah timur tol Kanci dan 2
buah pemasok di sebelah baratnya. Di samping itu, terdapat 4
buah pemasok lain yang memilih stockyard yang berlokasi di
pelabuhan Cirebon.
3.2 Analisis Variabel-variabel Pemasokan
Dalam pemasokan batubara, jumlah batubara yang tersedia di
stockyard merupakan cadangan yang diperhitungkan untuk
memenuhi kebutuhan batubara konsumen. Pada saat ini, pasokan
batubara ke pelabuhan Cirebon tercatat sebesar 150.000 ton per
bulan (TBI Cirebon, 2003). Karena jumlah tersebut terdistribusi
habis ke beberapa pemasok yang membangun stockyard di dalam
maupun di luar pelabuhan, maka besar cadangan batubara di
stockyard tersebut adalah sama dengan jumlah pasokan ke
pelabuhan, yaitu 150.000 ton untuk pasokan selama 1 bulan.
Secara keseluruhan jumlah stockyard di Cirebon mencapai 14 buah
dengan kapasitas setiap stockyard berkisar antara 3.000-5.000 ton. 8
Kalau kapasitas rata-ratanya adalah 4.000 ton, maka jumlah
kapasitas stockyard Cirebon akan mencapai 46.000 ton. Di sisi lain,
konsumsi batubara oleh pabrik tekstil rata-rata mencapai 1.372 ton
per hari atau 41.160 ton per bulan. Angka ini lebih rendah dari
konsumsi batubara oleh pabrik tekstil di wilayah Bandung yang
tercatat di pelabuhan Cirebon, yaitu 45.000 ton per bulan. Selisih
yang terjadi sebagai akibat adanya penimbunan batubara di
beberapa pabrik tekstil sebagai cadangan pada musim hujan.
Namun demikian, selain pabrik tekstil juga terdapat konsumen lain,
di antaranya adalah : pabrik semen, pabrik kertas, pabrik ban, dan
industri peleburan baja.
Selama ini, pabrik tekstil yang mengoperasikan boiler di wilayah
Bandung memiliki cadangan batubara untuk operasi selama 4 – 8
hari, terutama pada musim hujan. Meskipun boiler tekstil di wilayah
Bandung dan sekitarnya mengkonsumsi batubara sebesar 41.160
ton per bulan, belum ada pemasok yang membangun stockyardnya
di Bandung. Dengan demikian, seluruh boiler di wilayah ini sangat
bergantung pada pasokan batubara dari Cirebon. Apabila terjadi
gangguan terhadap pasokan tersebut sehingga pasokannya
terhenti selama 8 hari atau lebih, maka operasi semua boiler
batubara tersebut akan terancam berhenti.
9
Pasokan dari tambang sering mengalami keterlambatan pada
musim hujan antara bulan Oktober sampai Januari, terutama
tambang berskala kecil yang dikelola oleh koperasi setempat.
Gangguan hujan tersebut berpengaruh langsung terhadap tingkat
produksi batubara, baik dalam operasi penggalian maupun
pengangkutannya di daerah tambang. Kemungkinan lain adalah
terjadinya gangguan pada jalur pengangkutan batubara dari
tambang ke pembeli di Cirebon, ke pemasok, hingga ke konsumen.
Gelombang laut yang besar pada musim hujan, merupakan
penghambat perjalanan tongkang batubara menuju Cirebon. Di
samping itu, gangguan keamanan yang pernah terjadi di lokasi
stockyard Cirebon sebagai akibat dari konflik/benturan kepentingan
dengan masyarakat setempat serta semakin padatnya jalur lalu-
lintas Cirebon-Bandung merupakan faktor tambahan bagi
keterlambatan pasokan. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi
risiko gangguan pasokan dapat dilakukan melalui peningkatan
cadangan dan pembangunan stockyard di wilayah Bandung dan
sekitarnya. Stockyard tersebut harus mampu memasok semua
konsumennya di wilayah Bandung dan sekitarnya. Keterlambatan
pasokan dari lokasi tambang ke pelabuhan Cirebon pada musim
hujan sekitar 2 minggu. Dengan demikian, cadangan di stockyard
Bandung harus mampu menopang operasi boiler minimal selama 2
minggu. Jumlah minimal cadangan batubara di stockyard tersebut
adalah 14 x 1.372 ton = 19.208 ton.
3.3 Harga Ekonomis
Harga batubara merupakan faktor utama yang dipertimbangkan
dalam pemilihan jenis boiler berbahan bakar batubara atau boiler
BBM. Selisih harga antara kedua jenis bahan bakar tersebut sangat 10
menentukan jenis boiler yang dinilai paling ekonomis. Di samping
harga, faktor lain yang dipertimbangkan adalah kesinambungan
pasokan dan kemudahan pengoperasian boilernya. Oleh karena
itu, perbandingan besar biaya yang harus dibayar untuk
memproduksi setiap ton uap antara BBM dengan batubara dapat
digunakan sebagai alat untuk menilai boiler yang lebih ekonomis
daripada yang lainnya.
Untuk memproduksi 1 ton uap dengan BBM diperlukan 85,1 liter
solar, sedangkan dengan batubara diperlukan 131,6 kg batubara
(Soedjoko TS, 2003). Perbedaan penggunaan jenis bahan bakar
tersebut berakibat pada perbedaan besar biaya yang harus dibayar
seperti terlihat pada Tabel 1. Selisih biaya yang relatif besar
seperti tertera pada tabel tersebut menunjukkan bahwa
penggunaan batubara jauh lebih ekonomis daripada BBM.
TABEL 1BIAYA PENGGUNAAN BAHAN BAKAR UNTUK MEMPRODUKSI
1 TON UAP
Jenis Bahan Bakar Jumlah Bahan
Bakar
Biaya Bahan
Bakar
Solar (8.500 Kcal/l)
Batubara (5.500
Kcal/Kg)
85,1 liter
131,6 kg
Rp 178.710,-
Rp 46.060,-
Selisih Biaya Rp 132.650,-
Keterangan:Untuk harga solar Rp 2.100,-/liter. Untuk harga batubara Rp 350,-/kg.
11
Bila diasumsikan bahwa harga solar tidak mengalami perubahan
(Rp 2.100,-/liter), maka biaya penggunaan batubara akan sama
dengan BBM, apabila harga batubara terus mengalami kenaikan
hingga mencapai Rp 1.358,-/kg. Demikian pula bila harga solar
mengalami kenaikan, maka harga batubara akan menjadi lebih
tinggi dari Rp 1.358,-/kg, agar biaya penggunaan kedua jenis bahan
bakar tersebut menjadi sama.
3.4 Pengangkutan
Dalam pengangkutan batubara dari tambang sampai ke konsumen
diterapkan moda transportasi yang beragam, yaitu transportasi
darat dan laut.
Dalam transportasi ini, gangguan yang sering terjadi adalah
kemacetan lalu-lintas dan tanah longsor. Kepadatan lalu-lintas
pada jalur tersebut cenderung terus meningkat sebanding dengan
peningkatan kegiatan ekonomi di wilayah Bandung-Cirebon dan
sekitarnya. Oleh karena itu, kecepatan pengangkutan rata-rata
terancam menurun dari 21,3 km/jam pada tahun-tahun mendatang.
Jalur Cirebon – Bandung menelusuri pinggang pebukitan, sehingga
jalan yang dibangun sempit dan berkelok-kelok. Kondisi morfologis
yang demikian sangat menyulitkan pemerintah setempat untuk
meningkatkan dan melebarkan jalan raya yang ada. Di samping itu,
lereng perbukitan yang curam dan tersusun oleh material lepas
sangat rawan longsor. Daerah Nyalindung (Kecamatan Paseh) dan
Cadas Pangeran (Kecamatan Rancakalong) di Sumedang
merupakan titik-titik rawan longsor, terutama pada musim hujan.
Titik tersebut merupakan potensi gangguan terhadap pasokan
12
batubara ke Bandung dan sekitarnya. Pada saat terjadi longsor di
titik-titik tersebut, maka jalur transportasi ke dua arah tertutup
sehingga menghambat pasokan sampai jalur normal kembali.
Untuk mengantisipasi kemacetan akibat kepadatan lalu-lintas dan
tanah longsor dapat dilakukan melalui penyiapan jalur alternatif.
Selain untuk mengatasi kemacetan, jalur ini juga dapat
dimanfaatkan untuk mendukung kelancaran transportasi pada saat
terjadi peningkatan pasokan sejalan dengan peningkatan jumlah
pengoperasian boiler berbahan bakar batubara di wilayah Bandung
dan sekitarnya. Peningkatan penggunaan batubara dalam boiler
tekstil cenderung terus meningkat hingga mencapai 64.000 ton per
tahun dan mencapai puncaknya pada 750.000 ton per tahun. Selain
oleh transportasi batubara, jalur lalu-lintas Bandung-Cirebon dan
sebaliknya akan semakin padat oleh peningkatan kegiatan
transportasi, sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi di
kedua kota tersebut dan sekitarnya.
Beberapa jalur alternatif seperti tertera pada Tabel 2 akan
dianalisis untuk menentukan jalur yang paling sesuai untuk dilalui.
TABEL 2
MODA TRANSPORTASI PEMASOKAN BATUBARA MELALUI JALUR ALTERNATIF
13
Jalur Transportasi Moda TransportasiPanjang jalur(diukur dari
peta/Mapinfo 6.0)1. Cirebon-Sumedang-
Jalan Cagak-Bandung Darat, jalan raya, truk 156 Km
2. Cirebon-Indramayu-Pamanukan-Subang-Bandung
Darat, jalan raya, truk 207 Km
3. Cirebon-Cikampek-Bandung
Darat, rel, kereta api
231 Km
4. Cirebon-Cikajang-Kawali-Ciamis-Malangbong
Darat, jalan raya, truk
230 Km
5. Cirebon-Cimalaka-Sumedang-Bandung*)
Darat, jalan raya, truk
113 Km
Keterangan
*) = Rencana jalan tol
Dari analisis berbagai jalur alternatif terlihat bahwa dua jalur
alternatif pengiriman batubara tidak layak dipilih, sedangkan tiga
jalur lainnya layak dengan besar biaya angkut per ton yang
berbeda-beda. (Tabel 3).
14
TABEL 3
KELAYAKAN JALUR ALTERNATIF TRANSPORTASI BATUBARA
Jalur Transportasi
Panjang jalur(diukur dari
peta/Mapinfo 6.0)
Biaya Angkut/Ton
(Rp.)Kelayakan
1. Cirebon-Sumedang-Cagak-Bandung
156 Km55.000 Tidak layak
2. Cirebon-Indramayu-Pamanukan-Subang-Bandung
207 Km73.000 Tidak layak
3. Cirebon-Cikampek-Bandung
231 Km 55.000 Layak (sedang)
6. Cirebon-Cikajang-Kawali-Ciamis-Malangbong
230 Km 81.000 Layak (mahal)
7. Cirebon-Cimalaka-Sumedang-Bandung*)
113 Km 40.000 Layak (murah)
*) = Rencana jalan tol
4 ANALISIS MANAJEMEN RISIKO
Proses penyediaan dan pemanfaatan batubara untuk boiler dalam
industri tekstil di Propinsi Jawa Barat, bukan suatu hal yang mudah
dan sederhana, sehingga memerlukan penanganan yang khusus
mengingat berbagai hal yang dapat menimbulkan permasalahan.
Salah satu metode yang digunakan dalam memecahkan masalah
tersebut adalah dengan menggunakan analisis manajemen resiko.
Menurut Rabindra Siregar (2004), “resiko adalah kemungkinan
kehilangan atau kecelakaan, unsur atau faktor berbahaya, peluang 15
kerugian yang mungkin akan diderita dan manusia atau benda
yang diklasifikasikan berbahaya”. Pada prinsipnya resiko dapat
ditangani dengan mengurangi dampak yang ditimbulkan dengan
cara menghindari (avoidance), mengendalikan (control),
memindahkan (risk transfer), dan bertahan (assumption).
Berdasarkan hasil analisis di lapangan, terdapat beberapa
permasalahan yang mungkin timbul mulai dari pemesanan hingga
pengirimannya, antara lain :
Kedatangan batubara di Pelabuhan Cirebon, di sini akan terjadi
pembongkaran batubara. Jika telah banyak batubara yang
dibutuhkan, maka bukan tidak mungkin kapal pengangkut
batubara (tongkang) akan semakin banyak jumlahnya merapat
di pelabuhan ini. Akibat dari peristiwa ini akan menyebabkan
antrian tongkang-tongkang yang akan melakukan
pembongkaran. Untuk menanggulangi kemungkinan tersebut,
maka sebaiknya instansi yang terkait (dalam hal ini PT.
Pelabuhan Indonesia) meningkatkan kapasitas bongkar dan
meningkatkan kapasitas sandar pelabuhan.
Kegiatan pengangkutan batubara merupakan peristiwa yang
dapat menyebabkan perubahan pada biaya pengangkutan,
keterbatasan alat angkut apabila terjadi perubahan cuaca,
kenaikan harga BBM, dan adanya permintaan yang meningkat.
Jika hal ini tidak bisa diatasi akan mempengaruhi kegiatan
produksi industri tekstil. Untuk menanggulanginya adalah
dengan membentuk suatu organisasi dan sumber daya manusia
yang ahli dalam menyediakan informasi lengkap dan akurat
tentang pengangkutan batubara. Atau dengan membuat kontrak
16
pembelian dengan agen batubara serta penunjukan perusahaan
khusus untuk menangani transportasi batubara.
Terbatasnya jalur transportasi pengiriman batubara
menyebabkan kemacetan/tingkat kepadatan lalu-lintas yang
cukup tinggi. Penanganannya adalah dengan menyediakan jalur-
jalur alternatif yang dapat memperlancar pengiriman batubara.
Konsekuensi yang dihadapi adalah bertambahnya biaya
pengangkutan.
Ketersediaan lahan tempat menyimpan (stockyard) batubara
sangat berkaitan dengan kedatangan batubara di lokasi
perusahaan tekstil, dan hal ini akan menyebabkan penumpukan
batubara. Penanganannya adalah dengan membuat jadwal
pengiriman/pembelian atau meningkatkan kapasitas
penyimpanan jika memungkinkan.
Keterbatasan lahan penyediaan batubara di setiap perusahaan
tekstil menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan dalam
penyimpanannya. Salah satu alternatif penanggulannya adalah
dengan membuat atau mendirikan sentra-sentra penyediaan
batubara yang berdekatan dengan lokasi penyebaran industri
tekstil.
Meningkatnya permintaan batubara akan menyebabkan
kesulitan dalam penyimpanannya. Penanggulannya adalah
dengan menentukan lahan yang sesuai dengan lokasi
penyebaran industri tekstil berdasarkan luas, lokasi serta
memperhatikan masalah-masalah lingkungan.
Kualitas batubara sangat berkaitan dengan daya tahan (life
time) peralatan (boiler) yang digunakan. Konsekuensinya adalah
kerusakan pada boiler dan penurunan kapasitas. 17
Penanganannya adalah dengan memilih/membeli batubara
sesuai dengan spesifikasinya.
Proses pembakaran, penyebab tingkat pencemaran udara (gas,
debu dan abu). Konsekuensinya adalah melampaui kadar abu
yang diijinkan (masalah lingkungan). Penanganannya dengan
melakukan pengawasan yang ketat terhadap kegiatan industri
tekstil oleh badan yang berwenang.
5 PENUTUP
Mengingat jumlah industri tekstil di Propinsi Jawa Barat cukup
banyak dan prospek penggunaan batubara untuk industri ini cukup
potensial, maka beberapa hal dapat disimpulkan dalam laporan ini :
1) Kabupaten Bandung merupakan daerah yang paling banyak
memiliki industri tekstil, disusul Kota Bandung, Kota Cimahi,
Kabupaten Bekasi, dan Purwakarta
2) Hingga tahun 2004, jumlah perusahaan tekstil yang sudah
menggunakan batubara untuk boilernya sebanyak 38
perusahaan.
3) Berdasarkan hasil jajag pendapat (para pelaku usaha tekstil),
sekitar 70% pengusaha berkeinginan untuk menggunakan
batubara sebagai bahan untuk boilernya, sehingga potensi
kebutuhan batubara untuk industri tekstil cukup besar.
4) Para pengusaha menghendaki adanya jaminan ketersediaan
batubara setiap saat diperlukan.
5) Sebagian perusahaan yang menggunakan batubara kesulitan
dalam membuang abu batubara hasil pembakaran.18
6) Pembangunan tempat penyediaan batubara di setiap sentra
industri sangat diperlukan mengingat keterbatasan lahan
tempat penyimpanan di lokasi perusahaan tekstil.
7) Terdapat lima alternatif jalur transportasi batubara ke lokasi-
lokasi industri tekstil, namun yang layak ada tiga jalur. Jalur-
jalur tersebut antara lain : Jalur Cirebon-Cikampek-Bandung,
jalur Cirebon-Cikajang-kawali-Ciamis-Malangbong dan jalur
Cirebon-Cimalaka-Sumedang-Bandung.
Terdapat beberapa hal yang harus dilakukan dalam mengantisipasi
perkembangan kebutuhan batubara dalam industri tekstil di
Propinsi Jawa Barat, antara lain :
1) Mengoptimalkan penggunaan batubara dalam industri tekstil
dengan segera.
2) Mengembangkan/menambah jalur (alternatif) transportasi
pengangkutan batubara dari Cirebon ke Jawa Barat.
3) Menjajagi pendirian tempat penyediaan batubara di sentra-
sentra batubara (stock yard) lokasi industri tekstil.
4) Mengantisipasi masalah lingkungan sejak dini akibat
pembakaran batubara yang dilakukan oleh industri tekstil.
DAFTAR PUSTAKA
__________, TERMINAL BATUBARA INDAH, 2003-2004, Laporan pengiriman batubara di pelabuhan Cirebon, Cirebon.
__________, Indonesia Mineral and Coal Statistics, 2000, 2003 and 2004, Directorate of Mineral and Coal Enterprices, Ministry of Energy and Mineral Resources, Jakarta.
19
___________, 2002, Kajian Supply-Demand Batubara, Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara, Jakarta.
___________, Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Indonesian Textile and Garment, Guiding Book, Asosiasi Pertekstilan Indonesia, API Jawa Barat, 2002-2004.
_________, 1991, MINING IN INDONESIA DIRECTORY, The 4th International Mining and Minerals Recovery Exhibition and Conference, 4-7 December 1991, Jakarta Fairgrounds, Indonesia.
_________, 2004, “DAFTAR PERUSAHAAN TEKSTIL DI PROPINSI JAWA BARAT”,
Dinas Tenaga Kerja PROPINSI JAWA BARAT.
_________, 2004, “DAFTAR PERUSAHAAN TEKSTIL DI KABUPATEN BEKASI”, Dinas
Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi.
Tirtosoekotjo, Soedjoko, 2004, PROSPEK PERBATUBARAAN INDONESIA SERTA DALAM MEMASOK KEBUTUHAN BAHAN BAKAR BAGI PLTU BATUBARA DI MASA MENDATANG, Bandung.
20