Trend Dan Issue Child Abuse
-
Upload
shanti-r-laksono -
Category
Documents
-
view
120 -
download
0
description
Transcript of Trend Dan Issue Child Abuse
![Page 1: Trend Dan Issue Child Abuse](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082404/55cf96ac550346d0338d0c73/html5/thumbnails/1.jpg)
TREND DAN ISSUE
TREATMENT ANAK (PTSD) POST TRAUMATIC STRESS DISORDER DENGAN
PLAY THERAPY
Anak-anak adalah tunas bangsa atau generasi penerus yang dapat mewujudkan cita-
cita suatu bangsa dan di pundak merekalah eksistensi suatu bangsa dapat ditentukan. Oleh
karena itu mereka harus mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh
dan berkembang secara optimal baik fisik, psikis, sosial, maupun spiritual dan mereka juga
perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan. Karenanya, segala
bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap anak perlu dicegah dan diatasi sebagaimana
tercantum dalam pasal 2 undang-undang nomor 4 tahun 1976 tentang kesejahteraan anak dan
konvensi hak anak yang telah diratifikasi dengan dikeluarkanya Keputusan Presiden RI No.
28 tahun 1990, bahwa anak harus mendapatkan perlindungan dan dipenuhi hak-haknya
untuk tumbuh dan berkembang secara normal, dan anak-anak diberikan kesempatan
berpartisipasi yaitu dengan didengarkan suara hatinya, diberi kesempatan
Orang tua merupakan manusia pertama yang harus memberikan kepada anak berupa
hak-hak mereka sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang perlindungan anak
yaitu antara lain memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada seorang anak, agar
anak-anak tersebut dapat tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang baik. Tetapi sangat
disayangkan bahwa kebanyakan para pelaku kekerasan terhadap anak merupakan orang-
orang terdekat dari anak itu sendiri,mengembangkan potensinya sesuai dengan keinginan
anak (Tursilarini, 2005 dalam Nindya P, 2012). Terutama orang tua mereka sendiri, di mana
seharusnya para anak-anak merasa damai dan aman bila berada di dekat orang tuanya tetapi
orang tua lah yang menjadi pelaku kekerasan.
Setiap dua menit sekali terjadi kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Itu
artinya, ada 788 ribu kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia setiap tahunnya. Ironisnya,
sebagian besar kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga, catatan jelang peringatan Hari
Anak Nasional (HAN) dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan,
pelaku kekerasan terhadap anak tidak hanya orang luar, bahkan orang terdekat seperti ayah,
ibu dan guru. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Wiyogo di Jakarta,
mengatakan, sejak sebulan terakhir, pihaknya bahkan telah menerima sedikitnya 100
![Page 2: Trend Dan Issue Child Abuse](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082404/55cf96ac550346d0338d0c73/html5/thumbnails/2.jpg)
pengaduan masyarakat soal anak-anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga
(http//www.waspada.co.id)
Pada awal mulanya istilah tindak kekerasan atau child abuse and neglect berasal dan
mulai dikenal dari dunia kedokteran sekitar tahun 1946. Caffey seorang radiologist
melaporkan kasus cedera yang berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang
majemuk (multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendaharahan subdural tanpa
mengetahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran kasus ini dikenal
dengan istilah Caffey Syndrome. Henry Kempe menyebut kasus penelantaran dan
penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome yaitu :”Setiap
keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orang
tua atau pengasuh lain.” Disini yang diartikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak tidak
hanya luka berat saja, tapi termasuk juga luka memar atau pembengkakan sekalipun dan
diikuti kegagalan anak untuk berkembang baik secara fisik maupun intelektual (Woller,
2012)
Banyak orang tua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka
beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa
orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan,
perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang
anaknya. Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan
terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak. Jika kekerasan terhadap anak di dalam
rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal tersebut dapat disebut kekerasan dalam
rumah tangga. Tindak kekerasan rumah tangga yang termasuk di dalam tindakan kekerasan
rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik secara fisik maupun mental di luar batas-
batas tertentu (Woller, 2012)
Kekerasan terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan posisi nya
untuk menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan. Kekerasan juga meliputi
ancaman, dan tindakan yang bisa mengakibatkan luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan
bisa berupa luka fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental. Kekerasan
anak Kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik,
mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi
termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking jual-beli anak. Sedangkan Child Abuse adalah
semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya
bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut,
yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.
![Page 3: Trend Dan Issue Child Abuse](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082404/55cf96ac550346d0338d0c73/html5/thumbnails/3.jpg)
Kasus kekerasan pada anak semakin marak akhir-akhir ini seperti nampak pada
contoh kasus “Seorang anak perempuan usia 6 tahun dibawa ke rumah sakit jiwa dalam
kondisi ketakutan. Saat diobservasi tampak pada sekujur anak tersebut bekas luka akibat
cubitan dan luka bakar akibat rokok. Setiap didatangi orang asing anak tersebut tampak
gelisah menghindar dan duduk seperti janin di pojok ruangan.sesekali anak tersebut sering
mengatakan aku tidak bodoh,jangan pukul aku, jangan paksa aku”
Dari kasus di atas tampak adanya traumatic psikis yang mendalam pada anak
sehingga memerlukan terapi khusus terutama pada anak dengan post trauma child abuse,
Berbagai kondisi yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan psikologis dapat dikaji dari
teori Maslow mengenai hirarki kebutuhan. Maslow meyakini bahwa setiap individu yang
dapat memenuhi kebutuhan fisik dan psikologinya dengan baik, ia akan berkembang menjadi
individu yang sehat. Namun jika individu tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar atau
deficiency needs (fisik, rasa aman, kasih sayang, dan harga diri), maka ia juga belum dapat
memenuhi kebutuhan untuk tumbuh atau growth needs (aktualisasi diri dan transenden).
Khusus mengenai ganguan kejiwaan setelah terjadi kekerasan fisik, secara teori usaha-usaha
yang harus dilakukan dalam kaitannya dengan kesehatan jiwa pada saat terjadinya trauma
pada anak maupun sesudah terjadinya trauma (post traumatic stress disorder atau PTSD)
telah banyak dibicarakan dalam literatur medis maupun dimedia cetak ataupun elektronik.
Anak-anak dengan PTSD pada umumnya memiliki kecenderungan untuk terjadi
kenakalan remaja dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami trauma pada masa
kecilnya. Mereka yang pernah terpapar kekerasan sebelumnya menjadi mudah curiga, juga
sangat sulit percaya dengan orang lain, mereka selalu merasa tidak nyaman dalam interaksi
sosialnya sehingga ketika karakterikstik tersebut dibawa hingga dewasa biasanya anak-anak
dengan PTSD mempunyai resiko yang lebih besar terkena gangguan jiwa. Terlebih lagi
ketika masa remaja yaitu pada saat pencarian jati diri anak-anak dengan PTSD mempunyai
kecenderungan untuk terjadi juvenile deliquency /kenakalan remaja apalgi ditambah dengan
faktor-faktor koping yang tidak mendukung anak untuk lepas dari trauma masa lalu.
Misalnya orang tua, sekolah, peer group, lingkungan masyarakat sekitar. Terbentuknya
perilaka kenakalan remaja dianggap sebagai dampak dari aspek psikososial dari remaja
tersebut.
PTSD sangat penting untuk diketahui, selain karena banyaknya kejadian “trauma”
yang terjadi di Indonesia. Terdapat banyak pengertian PTSD, menurut Kaplan (1998), PTSD
adalah sindrom kecemasan, labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik
dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui
![Page 4: Trend Dan Issue Child Abuse](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082404/55cf96ac550346d0338d0c73/html5/thumbnails/4.jpg)
batas ketahanan orang biasa. Roan sebagai psikiater menyatakan trauma sebagai cidera,
kerusakan jaringan, luka atau shock. Sementara trauma psikis dalam psikologi diartikan
sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat peristiwa dilingkungan seseorang yang
melampaui batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau menghinda. PTSD dapat
menyebabkan masalah yang berat di rumah ataupun di tempat kerja. Semua orang dapat
mengalami PTSD baik laki-laki, wanita, anak-anak, tua maupun muda. Namun demikian,
PTSD dapat sembuh dengan pengobatan. Pada mulanya PTSD dianggap hanya terbatas pada
korban langsung dari suatu kejadian traumatik. Saat ini diketahui bahwa orang yang
menyaksikan terjadinya peristiwa traumatik pada orang lainpun dapat menderita PTSD
(Flanery, 1999). Tidak semua orang yang mengalami suatu kejadian traumatik akan
menderita PTSD. Perbedaan dalam bereaksi terhadap sesuatu tergantung dari kemampuan
seseorang tersebut untuk mengatasi kejadian traumatik. tersebut. Sebagai konsekuensi dari
hal ini maka setiap orang akan berbeda-beda dalam mengatasi kejadian traumatik. Beberapa
orang akan terlihat tidak terpengaruh dengan peristiwa traumatik tersebut atau tidak terlihat
dampak dari peristiwa itu sementara orang lainnya akan muncul berbagai gejala adanya
PTSD. Banyak korban menunjukkan gejala terjadinya PTSD. segera sesudah terjadinya
trauma atau abuse, sementara sebagian lainnya baru berkembang gejala PTSD beberapa
bulan ataupun beberapa tahun kemudian. Pada sebagian kecil orang, PTSD dapat menjadi
suatu gangguan kejiwaan yang kronis dan menetap beberapa puluh tahun bahkan seumur
hidup.
Diagnosis PTSD biasanya terbatas pada mereka yang pernah mengalami pengalaman
traumatik. Kriteria diagnosis PTSD lainnya meliputi : Kenangan yang mengganggu atau
ingatan tentang kejadian pengalaman traumatik yang berulang-ulang, Adanya perilaku
menghindar, Timbulnya gejala-gejala berlebihan terhadap sesuatu yang mirip saat kejadian
traumatik dan Tetap adanya gejala tersebut minimal satu bulan. Pada umumnya penderita
PTSD menderita insomnia dan mudah tersinggung serta mudah terkejut. Penderita PTSD
sering menunjukkan reaksi yang berlebihan yang merupakan akibat adanya perubahan
neurobiologis pada sistem syarafnya (Grinage, 2003 dalam Mashar, 2010). Penderita PTSD
juga mengalami gangguan konsentrasi atau gangguan mengingat, sehingga sering
mengakibatkan buruknya hubungan antar manusia, prestasi pekerjaan. Penderita PTSD sering
berusaha untuk mengatasi konflik batinnya dengan menyendiri atau bisa juga menjadi
pemarah. Hal ini akan mengganggu hubungannya dengan sesama. Secara umum Grinage
(2003) mengungkapkan bahwa PTSD ditandai oleh beberapa gangguan, yaitu: Gangguan
fisik/perilaku ditandai: sulit tidur, terbangun pagi sekali; Gangguan kemampuan berpikir;
![Page 5: Trend Dan Issue Child Abuse](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082404/55cf96ac550346d0338d0c73/html5/thumbnails/5.jpg)
Gangguan emosi; Tidur terganggu sepanjang malam dan gelisah; Terbangun dengan keringat
dingin; Selalu merasa lelah walaupun tidur sepanjang malam; Mimpi buruk dan berulang,
Sakit kepala; Gemetar dan; Mual.
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan penderita PTSD, yaitu
dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan farmakoterapi dapat berupa
terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Terapi anti
depresiva pada gangguan stres pasca traumatik ini masih kontroversial. Penanganan melalui
konseling atau psikoterapi. Para terapis yang berkonsentrasi pada masalah PTSD percaya
bahwa ada tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD,
yaitu: anxiety management, cognitive therapy, exposure therapy .
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk
membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui: 1) relaxation training, yaitu
belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok
otot -otot utama, 2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan
-lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa - gesa yang menimbulkan perasaan
tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala,
3)positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan
menanamkan pikiran positif ketika menghadapi hal–hal yang membuat stress (stresor), 4)
assertiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi
tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain, 5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana
mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress
(Nindya, 2010).
Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak
rasional yang mengganggu emosi dan kegiatan sehari-hari klien. Misalnya seorang korban
kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif terapi
adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa
pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi
pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Nindya,
2010).
Sementara itu, dalam exposure therapy para terapis membantu menghadapi situasi
yang khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yangmengingatkan pada trauma dan
menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupannya. Terapi dapat berjalan
dengan cara: exposure in the imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang
cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan; atau exposure in reality,
![Page 6: Trend Dan Issue Child Abuse](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082404/55cf96ac550346d0338d0c73/html5/thumbnails/6.jpg)
yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena
menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal: kembali ke rumah setelah terjadi
perampokan di rumah). Ketakutan bertambah kuat jika kita ber -usaha mengingat situasi
tersebut dibanding berusaha melupakannya. Pengulangan situasi disertai penyadaran yang
berulang akan membantu menyadari situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya
dan dapat diatasi .
Selain teknik-teknik yang telah dijelaskan tersebut, didapatkan pula terapi bermain (
play therapy) yang biasa diterapkan dalam upaya penanganan anak PTSD. Terapi bermain
dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai
topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa
nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya.
Selain itu, didapatkan pula support group therapy dan terapi bicara. Dalam support
group therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman
serupa dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis
mereka, kemdian mereka sa ling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).
Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi penelitian
dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai trauma, mampu
memperbaiki kondisi jiwa penderita. Den gan berbagi, bisa memperingan beban pikiran dan
kejiwaan yang dipendam. Bertukar cerita membuat merasa mereka senasib, bahkan merasa
dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma
yang diderita dan melawan kecemasan. Pendidikan dan supportive konseling juga merupakan
upaya lain untuk mengobati PTSD. Konselor ahli mempertimbangkan pentingnya penderita
PTSD (dan keluarganya) untuk mempelajari gejala PTSD dan bermacam treatment (terapi
dan pengobatan) yang cocok untuk PTSD.
Bermain digunakan sebagai terapi untuk anak-anak sebagaimana konseling digunakan
sebagai terapi untuk orang-orang dewasa. Play therapy merupakan suatu teknik konseling
yang diberikan orang dewasa kepada anak-anak dengan didasari oleh konsep bermain sebagai
suatu cara komunikasi anak-anak dengan orang dewasa untuk mengungkapkan ekspresinya
yang sifatnya alami, maka orang dewasa menggunakan pendekatan ini untuk mengintervensi
atau mengajak dialog dengan mereka sehingga tercipta perasaan yang lebih baik dan
mengembangkan kemampuan untuk mengatasi masalah. Terapi bermain merupakan terapi
yang dalam pelaksanaan terapi menggunakan media alat-alat bermain. Setiap permainan
memiliki makna simbolis yang dapat membantu terapis untuk mendeteksi sumber
permasalahan anak (Sukmaningrum, 2001). Dalam play therapy penerapan konsep client-
![Page 7: Trend Dan Issue Child Abuse](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082404/55cf96ac550346d0338d0c73/html5/thumbnails/7.jpg)
centered dapat dilakukan terhadap klien individual dan juga kelompok, sehingga dikenallah
bentuk child-centered play therapy dan child-centered group play therapy. Selain itu dengan
orientasi efisiensi waktu maka dikembangkan play therapy dalam durasi short term, tetapi
pada kasus yang kritis atau traumatic. membutuhkan frekuensi lebih banyak maka
dirancanglah bentuk intensive short term (Landreth, 2001 dalam Mashar, 2010).
Agar pelaksanaan terapi bermain lebih efektif, filial therapy dikembangkan oleh Landreth
(2001) untuk orang tua, selama 10 minggu hubungan orang tua-anak diperkuat melalui
komponen didaktik dan dinamis. Orang tua mendapat keterampilan tentang child-centered
play therapy seperti merefleksikan perasaan, menunjukkan penerimaan, dan menentukan
batasan yang tepat. Terapi ini memberikan dukungan emosional bagi orang tua dan
mengembangkan keterampilan pola asuh yang lebih sehat.
Dewasa ini play therapy dituntut untuk lebih mempertimbangkan efektifitas biaya,
lebih berorientasi pada tujuan, dan pembatasan waktu terapi. Dengan demikian terapis play
terapi mengembangkan penelitian tentang short term play therapy agar mampu membuktikan
efektifitas play therapy sebagai tritmen terhadap anak berdasarkan bukti empiris dan juga
untuk membantah anggapan bahwa play therapy membutuhkan komitmen
jangka panjang. Short term play therapy merupakan bentuk penanganan yang terdiri dari
kurang atau sama dengan 12 sesi dengan durasi 30-45 menit per sesi, dan dilakukan
seminggu sekali.
Selain itu berkembang pula Intensive short term play therapy, yaitu penanganan yang lebih
intensif terhadap kasus-kasus kritis atau traumatic, misalnya kecelakaan, kehilangan orang
yang dicintai, korban kekerasan, korban ledakan bom dll. Dalam penanganan ini pertemuan
tidak dilakukan seminggu sekali tetapi bisa sampai 5 kali per minggu. Pertimbangannya
adalah karena efektifitas 10 sesi dalam 10 minggu sama dengan efektifitas dari 10 sesi dalam
2 minggu, maka dalam 8 minggu selanjutnya anak akan dapat menyesuaikan diri dengan
lebih baik dan menjadi produktif lebih cepat. Model intensif yang lain adalah penanganan
dengan frekuensi 2 kali per hari setiap pagi dan sore, atau 3 sesi per hari dengan durasi 30
menit dan jeda istirahat diantaranya selama 30-45 menit. Media yang dapat digunakan untuk
play therapy bagi anak pasca trauma berupa:
1. Buku cerita dan bercerita dapat mendorong atau membesarkan hati anak untuk
merubah cerita. Anak dapat memproyeksikan jalan keluar yang sesuai dengan diri
mereka sendiri bahkan karakter-karakter dalam cerita,
![Page 8: Trend Dan Issue Child Abuse](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082404/55cf96ac550346d0338d0c73/html5/thumbnails/8.jpg)
2. Menggambar dapat memberikan pengalaman kepada anak untuk membuat gambar-
gambar yang berisi peristiwa traumatis yang mereka alami, anak dapat melukiskan
kekuatan dan kontrol diri mereka.
3. Dalam permainan perjalanan imajinasi (imaginary journey) anak dapat menjelajahi
situasi kehidupan masa lalu mereka, sehingga anak dapat memasukkan perilaku baru
dalam imajinasi mereka sendiri,
4. Permainan sandiwara atau drama dapat menggambarkan peran (role) yang sangat
kuat.
5. Menyusun potongan-potongan kertas menjadi suatu gambar.
6. Bermain boneka (puppe/soft toys)
7. Bermain pasir
8. Senjata mainan
9. Bermain lilin
Penerapan terapi bermain sebagai intervensi bagi anak yang mengalami gangguan
stress pasca trauma perlu memperhatikan beberapa prosedur terapuitik, yang diawali dengan
membangun hubungan dengan anak, tahap eksplorasi atau penjelajahan permasalahan anak
yang sensitif dan perasaan-perasaan serta pikiran-pikiran anak, tahap perkembangan, dan
terminasi atau penghentian (Sukmaningrum, 2001).
Penerapan play therapy untuk menangani anak dengan gangguan stres pasca trauma
dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Dengan terapi bermain kelompok
diharapkan dapat menjadi media bagi anak dalam melatih dan mengembangkan kompetensi
diri dan belajar mekanisme koping yang digunakan anak lain serta mengeksplorasi
kehilangan dan menormalkan reaksi anak dengan cara berbagi pengalaman.
![Page 9: Trend Dan Issue Child Abuse](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082404/55cf96ac550346d0338d0c73/html5/thumbnails/9.jpg)
REFERENSI
Flannery, R.B. (1999) Psychological trauma and post traumatic stress Disorder: a.review, International Journal of Emergency Mental Health. 1 (2) p 77 – 82
Kaplan,H.I., B. J. Sadock, J.A. Grebb (1997), Sinopsis Psikiatri:Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, 2. Jakarta: Binarupa Aksara.
Mashar, R. (2010). Konseling Pada Anak Yang Mengalami Stress Pasca Trauma Bencana Merapi Melalui Play Therapy. Universitas Pendidikan Indonesia, Jakarta.
Nindya.P, & Margaretha.R. (2012). Hubungan antara Kekerasan Emosional pada Anak terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, Vol.1(2), 1-7.
Sukmaningrum, E. 2001. Terapi Bermain sebagai Salah Satu Alternatif Penanganan Pasca Trauma Karena Kekerasan (Domestic Violence) Pada Anak. Jurnal Psikologi. Vol. 8. No. 2, 14-23
Wolfgang Wöller, M., Falk Leichsenring, D., Frank Leweke, M., & Johannes Kruse, M. (2012). Psychodynamic Psychotherapy for Posttraumatic Stress Disorder Related to Childhood Abuse—Principles for A Treatment Manual. Bulletin of the Menninger Clinic, 76(1), 69-87.