Trend Dan Issue Child Abuse

14
TREND DAN ISSUE TREATMENT ANAK (PTSD) POST TRAUMATIC STRESS DISORDER DENGAN PLAY THERAPY Anak-anak adalah tunas bangsa atau generasi penerus yang dapat mewujudkan cita-cita suatu bangsa dan di pundak merekalah eksistensi suatu bangsa dapat ditentukan. Oleh karena itu mereka harus mendapatkan kesempatan yang seluas- luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, psikis, sosial, maupun spiritual dan mereka juga perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan. Karenanya, segala bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap anak perlu dicegah dan diatasi sebagaimana tercantum dalam pasal 2 undang-undang nomor 4 tahun 1976 tentang kesejahteraan anak dan konvensi hak anak yang telah diratifikasi dengan dikeluarkanya Keputusan Presiden RI No. 28 tahun 1990, bahwa anak harus mendapatkan perlindungan dan dipenuhi hak-haknya untuk tumbuh dan berkembang secara normal, dan anak-anak diberikan kesempatan berpartisipasi yaitu dengan didengarkan suara hatinya, diberi kesempatan Orang tua merupakan manusia pertama yang harus memberikan kepada anak berupa hak-hak mereka sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang perlindungan anak yaitu antara lain memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada seorang anak, agar anak-anak tersebut dapat tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang baik. Tetapi sangat disayangkan bahwa kebanyakan para pelaku kekerasan terhadap anak merupakan orang-orang

description

child abuse

Transcript of Trend Dan Issue Child Abuse

Page 1: Trend Dan Issue Child Abuse

TREND DAN ISSUE

TREATMENT ANAK (PTSD) POST TRAUMATIC STRESS DISORDER DENGAN

PLAY THERAPY

Anak-anak adalah tunas bangsa atau generasi penerus yang dapat mewujudkan cita-

cita suatu bangsa dan di pundak merekalah eksistensi suatu bangsa dapat ditentukan. Oleh

karena itu mereka harus mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh

dan berkembang secara optimal baik fisik, psikis, sosial, maupun spiritual dan mereka juga

perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan. Karenanya, segala

bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap anak perlu dicegah dan diatasi sebagaimana

tercantum dalam pasal 2 undang-undang nomor 4 tahun 1976 tentang kesejahteraan anak dan

konvensi hak anak yang telah diratifikasi dengan dikeluarkanya Keputusan Presiden RI No.

28 tahun 1990, bahwa anak harus mendapatkan perlindungan dan dipenuhi hak-haknya

untuk tumbuh dan berkembang secara normal, dan anak-anak diberikan kesempatan

berpartisipasi yaitu dengan didengarkan suara hatinya, diberi kesempatan

Orang tua merupakan manusia pertama yang harus memberikan kepada anak berupa

hak-hak mereka sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang perlindungan anak

yaitu antara lain memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada seorang anak, agar

anak-anak tersebut dapat tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang baik. Tetapi sangat

disayangkan bahwa kebanyakan para pelaku kekerasan terhadap anak merupakan orang-

orang terdekat dari anak itu sendiri,mengembangkan potensinya sesuai dengan keinginan

anak (Tursilarini, 2005 dalam Nindya P, 2012). Terutama orang tua mereka sendiri, di mana

seharusnya para anak-anak merasa damai dan aman bila berada di dekat orang tuanya tetapi

orang tua lah yang menjadi pelaku kekerasan.

Setiap dua menit sekali terjadi kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Itu

artinya, ada 788 ribu kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia setiap tahunnya. Ironisnya,

sebagian besar kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga, catatan jelang peringatan Hari

Anak Nasional (HAN) dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan,

pelaku kekerasan terhadap anak tidak hanya orang luar, bahkan orang terdekat seperti ayah,

ibu dan guru. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Wiyogo di Jakarta,

mengatakan, sejak sebulan terakhir, pihaknya bahkan telah menerima sedikitnya 100

Page 2: Trend Dan Issue Child Abuse

pengaduan masyarakat soal anak-anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga

(http//www.waspada.co.id)

Pada awal mulanya istilah tindak kekerasan atau child abuse and neglect berasal dan

mulai dikenal dari dunia kedokteran sekitar tahun 1946. Caffey seorang radiologist

melaporkan kasus cedera yang berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang

majemuk (multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendaharahan subdural tanpa

mengetahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran kasus ini dikenal

dengan istilah Caffey Syndrome. Henry Kempe menyebut kasus penelantaran dan

penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome yaitu :”Setiap

keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orang

tua atau pengasuh lain.” Disini yang diartikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak tidak

hanya luka berat saja, tapi termasuk juga luka memar atau pembengkakan sekalipun dan

diikuti kegagalan anak untuk berkembang baik secara fisik maupun intelektual (Woller,

2012)

Banyak orang tua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka

beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa

orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan,

perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang

anaknya. Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan

terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak. Jika kekerasan terhadap anak di dalam

rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal tersebut dapat disebut kekerasan dalam

rumah tangga. Tindak kekerasan rumah tangga yang termasuk di dalam tindakan kekerasan

rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik secara fisik maupun mental di luar batas-

batas tertentu (Woller, 2012)

Kekerasan terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan posisi nya

untuk menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan. Kekerasan juga meliputi

ancaman, dan tindakan yang bisa mengakibatkan luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan

bisa berupa luka fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental. Kekerasan

anak Kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik,

mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi

termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking jual-beli anak. Sedangkan Child Abuse adalah

semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya

bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut,

yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.

Page 3: Trend Dan Issue Child Abuse

Kasus kekerasan pada anak semakin marak akhir-akhir ini seperti nampak pada

contoh kasus “Seorang anak perempuan usia 6 tahun dibawa ke rumah sakit jiwa dalam

kondisi ketakutan. Saat diobservasi tampak pada sekujur anak tersebut bekas luka akibat

cubitan dan luka bakar akibat rokok. Setiap didatangi orang asing anak tersebut tampak

gelisah menghindar dan duduk seperti janin di pojok ruangan.sesekali anak tersebut sering

mengatakan aku tidak bodoh,jangan pukul aku, jangan paksa aku”

Dari kasus di atas tampak adanya traumatic psikis yang mendalam pada anak

sehingga memerlukan terapi khusus terutama pada anak dengan post trauma child abuse,

Berbagai kondisi yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan psikologis dapat dikaji dari

teori Maslow mengenai hirarki kebutuhan. Maslow meyakini bahwa setiap individu yang

dapat memenuhi kebutuhan fisik dan psikologinya dengan baik, ia akan berkembang menjadi

individu yang sehat. Namun jika individu tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar atau

deficiency needs (fisik, rasa aman, kasih sayang, dan harga diri), maka ia juga belum dapat

memenuhi kebutuhan untuk tumbuh atau growth needs (aktualisasi diri dan transenden).

Khusus mengenai ganguan kejiwaan setelah terjadi kekerasan fisik, secara teori usaha-usaha

yang harus dilakukan dalam kaitannya dengan kesehatan jiwa pada saat terjadinya trauma

pada anak maupun sesudah terjadinya trauma (post traumatic stress disorder atau PTSD)

telah banyak dibicarakan dalam literatur medis maupun dimedia cetak ataupun elektronik.

Anak-anak dengan PTSD pada umumnya memiliki kecenderungan untuk terjadi

kenakalan remaja dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami trauma pada masa

kecilnya. Mereka yang pernah terpapar kekerasan sebelumnya menjadi mudah curiga, juga

sangat sulit percaya dengan orang lain, mereka selalu merasa tidak nyaman dalam interaksi

sosialnya sehingga ketika karakterikstik tersebut dibawa hingga dewasa biasanya anak-anak

dengan PTSD mempunyai resiko yang lebih besar terkena gangguan jiwa. Terlebih lagi

ketika masa remaja yaitu pada saat pencarian jati diri anak-anak dengan PTSD mempunyai

kecenderungan untuk terjadi juvenile deliquency /kenakalan remaja apalgi ditambah dengan

faktor-faktor koping yang tidak mendukung anak untuk lepas dari trauma masa lalu.

Misalnya orang tua, sekolah, peer group, lingkungan masyarakat sekitar. Terbentuknya

perilaka kenakalan remaja dianggap sebagai dampak dari aspek psikososial dari remaja

tersebut.

PTSD sangat penting untuk diketahui, selain karena banyaknya kejadian “trauma”

yang terjadi di Indonesia. Terdapat banyak pengertian PTSD, menurut Kaplan (1998), PTSD

adalah sindrom kecemasan, labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik

dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui

Page 4: Trend Dan Issue Child Abuse

batas ketahanan orang biasa. Roan sebagai psikiater menyatakan trauma sebagai cidera,

kerusakan jaringan, luka atau shock. Sementara trauma psikis dalam psikologi diartikan

sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat peristiwa dilingkungan seseorang yang

melampaui batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau menghinda. PTSD dapat

menyebabkan masalah yang berat di rumah ataupun di tempat kerja. Semua orang dapat

mengalami PTSD baik laki-laki, wanita, anak-anak, tua maupun muda. Namun demikian,

PTSD dapat sembuh dengan pengobatan. Pada mulanya PTSD dianggap hanya terbatas pada

korban langsung dari suatu kejadian traumatik. Saat ini diketahui bahwa orang yang

menyaksikan terjadinya peristiwa traumatik pada orang lainpun dapat menderita PTSD

(Flanery, 1999). Tidak semua orang yang mengalami suatu kejadian traumatik akan

menderita PTSD. Perbedaan dalam bereaksi terhadap sesuatu tergantung dari kemampuan

seseorang tersebut untuk mengatasi kejadian traumatik. tersebut. Sebagai konsekuensi dari

hal ini maka setiap orang akan berbeda-beda dalam mengatasi kejadian traumatik. Beberapa

orang akan terlihat tidak terpengaruh dengan peristiwa traumatik tersebut atau tidak terlihat

dampak dari peristiwa itu sementara orang lainnya akan muncul berbagai gejala adanya

PTSD. Banyak korban menunjukkan gejala terjadinya PTSD. segera sesudah terjadinya

trauma atau abuse, sementara sebagian lainnya baru berkembang gejala PTSD beberapa

bulan ataupun beberapa tahun kemudian. Pada sebagian kecil orang, PTSD dapat menjadi

suatu gangguan kejiwaan yang kronis dan menetap beberapa puluh tahun bahkan seumur

hidup.

Diagnosis PTSD biasanya terbatas pada mereka yang pernah mengalami pengalaman

traumatik. Kriteria diagnosis PTSD lainnya meliputi : Kenangan yang mengganggu atau

ingatan tentang kejadian pengalaman traumatik yang berulang-ulang, Adanya perilaku

menghindar, Timbulnya gejala-gejala berlebihan terhadap sesuatu yang mirip saat kejadian

traumatik dan Tetap adanya gejala tersebut minimal satu bulan. Pada umumnya penderita

PTSD menderita insomnia dan mudah tersinggung serta mudah terkejut. Penderita PTSD

sering menunjukkan reaksi yang berlebihan yang merupakan akibat adanya perubahan

neurobiologis pada sistem syarafnya (Grinage, 2003 dalam Mashar, 2010). Penderita PTSD

juga mengalami gangguan konsentrasi atau gangguan mengingat, sehingga sering

mengakibatkan buruknya hubungan antar manusia, prestasi pekerjaan. Penderita PTSD sering

berusaha untuk mengatasi konflik batinnya dengan menyendiri atau bisa juga menjadi

pemarah. Hal ini akan mengganggu hubungannya dengan sesama. Secara umum Grinage

(2003) mengungkapkan bahwa PTSD ditandai oleh beberapa gangguan, yaitu: Gangguan

fisik/perilaku ditandai: sulit tidur, terbangun pagi sekali; Gangguan kemampuan berpikir;

Page 5: Trend Dan Issue Child Abuse

Gangguan emosi; Tidur terganggu sepanjang malam dan gelisah; Terbangun dengan keringat

dingin; Selalu merasa lelah walaupun tidur sepanjang malam; Mimpi buruk dan berulang,

Sakit kepala; Gemetar dan; Mual.

Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan penderita PTSD, yaitu

dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan farmakoterapi dapat berupa

terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Terapi anti

depresiva pada gangguan stres pasca traumatik ini masih kontroversial. Penanganan melalui

konseling atau psikoterapi. Para terapis yang berkonsentrasi pada masalah PTSD percaya

bahwa ada tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD,

yaitu: anxiety management, cognitive therapy, exposure therapy .

Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk

membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui: 1) relaxation training, yaitu

belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok

otot -otot utama, 2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan

-lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa - gesa yang menimbulkan perasaan

tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala,

3)positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan

menanamkan pikiran positif ketika menghadapi hal–hal yang membuat stress (stresor), 4)

assertiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi

tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain, 5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana

mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress

(Nindya, 2010).

Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak

rasional yang mengganggu emosi dan kegiatan sehari-hari klien. Misalnya seorang korban

kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif terapi

adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa

pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi

pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Nindya,

2010).

Sementara itu, dalam exposure therapy para terapis membantu menghadapi situasi

yang khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yangmengingatkan pada trauma dan

menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupannya. Terapi dapat berjalan

dengan cara: exposure in the imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang

cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan; atau exposure in reality,

Page 6: Trend Dan Issue Child Abuse

yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena

menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal: kembali ke rumah setelah terjadi

perampokan di rumah). Ketakutan bertambah kuat jika kita ber -usaha mengingat situasi

tersebut dibanding berusaha melupakannya. Pengulangan situasi disertai penyadaran yang

berulang akan membantu menyadari situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya

dan dapat diatasi .

Selain teknik-teknik yang telah dijelaskan tersebut, didapatkan pula terapi bermain (

play therapy) yang biasa diterapkan dalam upaya penanganan anak PTSD. Terapi bermain

dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai

topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa

nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya.

Selain itu, didapatkan pula support group therapy dan terapi bicara. Dalam support

group therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman

serupa dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis

mereka, kemdian mereka sa ling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).

Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi penelitian

dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai trauma, mampu

memperbaiki kondisi jiwa penderita. Den gan berbagi, bisa memperingan beban pikiran dan

kejiwaan yang dipendam. Bertukar cerita membuat merasa mereka senasib, bahkan merasa

dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma

yang diderita dan melawan kecemasan. Pendidikan dan supportive konseling juga merupakan

upaya lain untuk mengobati PTSD. Konselor ahli mempertimbangkan pentingnya penderita

PTSD (dan keluarganya) untuk mempelajari gejala PTSD dan bermacam treatment (terapi

dan pengobatan) yang cocok untuk PTSD.

Bermain digunakan sebagai terapi untuk anak-anak sebagaimana konseling digunakan

sebagai terapi untuk orang-orang dewasa. Play therapy merupakan suatu teknik konseling

yang diberikan orang dewasa kepada anak-anak dengan didasari oleh konsep bermain sebagai

suatu cara komunikasi anak-anak dengan orang dewasa untuk mengungkapkan ekspresinya

yang sifatnya alami, maka orang dewasa menggunakan pendekatan ini untuk mengintervensi

atau mengajak dialog dengan mereka sehingga tercipta perasaan yang lebih baik dan

mengembangkan kemampuan untuk mengatasi masalah. Terapi bermain merupakan terapi

yang dalam pelaksanaan terapi menggunakan media alat-alat bermain. Setiap permainan

memiliki makna simbolis yang dapat membantu terapis untuk mendeteksi sumber

permasalahan anak (Sukmaningrum, 2001). Dalam play therapy penerapan konsep client-

Page 7: Trend Dan Issue Child Abuse

centered dapat dilakukan terhadap klien individual dan juga kelompok, sehingga dikenallah

bentuk child-centered play therapy dan child-centered group play therapy. Selain itu dengan

orientasi efisiensi waktu maka dikembangkan play therapy dalam durasi short term, tetapi

pada kasus yang kritis atau traumatic. membutuhkan frekuensi lebih banyak maka

dirancanglah bentuk intensive short term (Landreth, 2001 dalam Mashar, 2010).

Agar pelaksanaan terapi bermain lebih efektif, filial therapy dikembangkan oleh Landreth

(2001) untuk orang tua, selama 10 minggu hubungan orang tua-anak diperkuat melalui

komponen didaktik dan dinamis. Orang tua mendapat keterampilan tentang child-centered

play therapy seperti merefleksikan perasaan, menunjukkan penerimaan, dan menentukan

batasan yang tepat. Terapi ini memberikan dukungan emosional bagi orang tua dan

mengembangkan keterampilan pola asuh yang lebih sehat.

Dewasa ini play therapy dituntut untuk lebih mempertimbangkan efektifitas biaya,

lebih berorientasi pada tujuan, dan pembatasan waktu terapi. Dengan demikian terapis play

terapi mengembangkan penelitian tentang short term play therapy agar mampu membuktikan

efektifitas play therapy sebagai tritmen terhadap anak berdasarkan bukti empiris dan juga

untuk membantah anggapan bahwa play therapy membutuhkan komitmen

jangka panjang. Short term play therapy merupakan bentuk penanganan yang terdiri dari

kurang atau sama dengan 12 sesi dengan durasi 30-45 menit per sesi, dan dilakukan

seminggu sekali.

Selain itu berkembang pula Intensive short term play therapy, yaitu penanganan yang lebih

intensif terhadap kasus-kasus kritis atau traumatic, misalnya kecelakaan, kehilangan orang

yang dicintai, korban kekerasan, korban ledakan bom dll. Dalam penanganan ini pertemuan

tidak dilakukan seminggu sekali tetapi bisa sampai 5 kali per minggu. Pertimbangannya

adalah karena efektifitas 10 sesi dalam 10 minggu sama dengan efektifitas dari 10 sesi dalam

2 minggu, maka dalam 8 minggu selanjutnya anak akan dapat menyesuaikan diri dengan

lebih baik dan menjadi produktif lebih cepat. Model intensif yang lain adalah penanganan

dengan frekuensi 2 kali per hari setiap pagi dan sore, atau 3 sesi per hari dengan durasi 30

menit dan jeda istirahat diantaranya selama 30-45 menit. Media yang dapat digunakan untuk

play therapy bagi anak pasca trauma berupa:

1. Buku cerita dan bercerita dapat mendorong atau membesarkan hati anak untuk

merubah cerita. Anak dapat memproyeksikan jalan keluar yang sesuai dengan diri

mereka sendiri bahkan karakter-karakter dalam cerita,

Page 8: Trend Dan Issue Child Abuse

2. Menggambar dapat memberikan pengalaman kepada anak untuk membuat gambar-

gambar yang berisi peristiwa traumatis yang mereka alami, anak dapat melukiskan

kekuatan dan kontrol diri mereka.

3. Dalam permainan perjalanan imajinasi (imaginary journey) anak dapat menjelajahi

situasi kehidupan masa lalu mereka, sehingga anak dapat memasukkan perilaku baru

dalam imajinasi mereka sendiri,

4. Permainan sandiwara atau drama dapat menggambarkan peran (role) yang sangat

kuat.

5. Menyusun potongan-potongan kertas menjadi suatu gambar.

6. Bermain boneka (puppe/soft toys)

7. Bermain pasir

8. Senjata mainan

9. Bermain lilin

Penerapan terapi bermain sebagai intervensi bagi anak yang mengalami gangguan

stress pasca trauma perlu memperhatikan beberapa prosedur terapuitik, yang diawali dengan

membangun hubungan dengan anak, tahap eksplorasi atau penjelajahan permasalahan anak

yang sensitif dan perasaan-perasaan serta pikiran-pikiran anak, tahap perkembangan, dan

terminasi atau penghentian (Sukmaningrum, 2001).

Penerapan play therapy untuk menangani anak dengan gangguan stres pasca trauma

dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Dengan terapi bermain kelompok

diharapkan dapat menjadi media bagi anak dalam melatih dan mengembangkan kompetensi

diri dan belajar mekanisme koping yang digunakan anak lain serta mengeksplorasi

kehilangan dan menormalkan reaksi anak dengan cara berbagi pengalaman.

Page 9: Trend Dan Issue Child Abuse

REFERENSI

Flannery, R.B. (1999) Psychological trauma and post traumatic stress Disorder: a.review, International Journal of Emergency Mental Health. 1 (2) p 77 – 82

Kaplan,H.I., B. J. Sadock, J.A. Grebb (1997), Sinopsis Psikiatri:Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, 2. Jakarta: Binarupa Aksara.

Mashar, R. (2010). Konseling Pada Anak Yang Mengalami Stress Pasca Trauma Bencana Merapi Melalui Play Therapy. Universitas Pendidikan Indonesia, Jakarta.

Nindya.P, & Margaretha.R. (2012). Hubungan antara Kekerasan Emosional pada Anak terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, Vol.1(2), 1-7.

Sukmaningrum, E. 2001. Terapi Bermain sebagai Salah Satu Alternatif Penanganan Pasca Trauma Karena Kekerasan (Domestic Violence) Pada Anak. Jurnal Psikologi. Vol. 8. No. 2, 14-23

Wolfgang Wöller, M., Falk Leichsenring, D., Frank Leweke, M., & Johannes Kruse, M. (2012). Psychodynamic Psychotherapy for Posttraumatic Stress Disorder Related to Childhood Abuse—Principles for A Treatment Manual. Bulletin of the Menninger Clinic, 76(1), 69-87.