TRANSISI EPi
Transcript of TRANSISI EPi
-
7/26/2019 TRANSISI EPi
1/8
TRANSISI EPIDEMIOLOGI
Di negara yang telah maju angka kematian menurun menyusul terjadinyakemajuan dalam perekonomian dan teknologi. Revolusi Mortalitas di Indonesia
yang merupakan revolusi demografi pertama di Indonesia terjadi pada sekitar
tahun 1950-an. Indonesia termasuk "beruntung", karena ketika memulai usaha
penurunan kematian, di negara lain sudah tercipta teknologi untuk memirunkan
angka kematian. Indonesia dapat segera mengadopsi teknologi kedokteran
modern, seperti imunisasi dan anti biotic, tanpa menunggu kemajuan
perekonomian yang cepat.
Transisi mortalitas dari angka kematian yang tinggi ke angka kematian
yang rendah umumnya disertai dengan transisi epidemiology, yaitu bergesernya
jenis penyakit penyebab kematian. Penyakit menular merupakan penyebab
kematian paling banyak pada saat angka kematian masih tinggi yang
pengobatanya biasanya hanya memerlukan teknologi kedokteran yang relatif
"sederhana" dalam ukuran zaman sekarang. Contoh penyakit tersebut:
tubercoluse dan diare. Namun, ketika angka kematian sudah rendah penyebab
kematian tidak lagi disebabkan karena penyakit Infeksi, tetapi lebih disebabkan
oleh penyakit degeneratif (penyakityang berhubungan dengan penurunan fungsi
organ tubuh karena proses penuaan, seperti penyakit jantung, kanker dan
tekanan darah tinggi). Kelainan jiwa dan kecelakaan.
Dalam bahasan ini, penyakit dikelompokkan menjadi penyakit menular
dan bukan menular. Beberapa penyakit yang tergolong penyakit dipteri, pertusis,
campak malaria, dan HIV/AIDS. Penyakit tidak menular antara lain termasuk
kardiovaskuler (penyakit yang berkaitan dengan jantung), kelainan dan
gangguan perintal, neoplasma, bronchitis, asma, emfisema, kelainan hati,
penyakit susunan syaraf, komplikasi kehamilan / persalinan, serta cedera
kecelakaan.
Pengukuran kecenderungan angka kematian di Indonesia selama ini
didasarkan suatu asumsi bahwa terdapat suatu hubungan yang konsisten antara
besaran dan pola kematian bayi dan anak di suatu pihak dengan besaran dan
pola kematian dewasa di pihak lain. Para pakar demografi Indonesia biasanya
menggunakan suatu model matematis dari Coale-Demeny. Seperti model
matematis lainya (yang berkenaan dengan kematian), peningkatan (penurunan)
-
7/26/2019 TRANSISI EPi
2/8
angka kematian bayi selalu bersamaan dengan peningkatan (penurunan) angka
kematian dewasa. Dengan kata lain, data empiris yang digunakan untuk diskusi
kematian di Indonesia semata di dasarkan pada data empiris untuk kematian dibab ini dipusaykan pada data empiri angka kematian bayi.
Angka kematian bayi (IMR) Indonesia mengalami penurunan dari 142 per
1000 kelahiran. (menjelang tahun 1971) menjadi 70 per 1000 kelahiran
(menjelang tahun 1990). Ketika angka kematian bayi masih di atas 100
biasanya disebut tahap soft rock penyebab kematian masih didominasi oleh
penyakit menular. Sampai akhir tahun 1970-an Indonesia masih berada pada
tahap shaft rock, namun, Di Yogyakarta sudah lepas dari tahap shqft rock pada
akhir tahun 1960-an, dengan IMR sebeasar 93. saat ini (1995-2000) Di
Yogyakarta sudah memiliki angka kematian bayi di bawah 30-an yang disebut
dengan tahap hard rock, yang harus dicapai oleh propinsi lain mulai periode
2000-2005 (lihat table 5.1). di DI Yogyakrta penyebab kematian tidak lagi
didominasi oleh penyakit menular, tetapi oleh penyakit degeneratif yang secara
kedokteran memerlukan teknologi pengobatan yang lebih canggih, kelainan jiwa,
dan kecelakaan.
Di antara tahap shaft rock dan tahap hard rock terdapat tahap
intermediate rack. Banyak propinsi di Indonesia, dan Indonesia secara
keseluruhan, kini berada pada tahap lintermediate rock. Di tahap ini, penyebab
kematian merupakan gabungan penyakit menular dan penyakit degeneratif,
kelainan jiwa, serta kecelakaan. Table 5.1 memperlihatkan pengelompokan
propinsi menurut ketiga tahap ini pada periode 1990-1995 dan proyeksi hingga
2020-2025. Nusa Tenggara Barat merupakan satu-saumya propinsi yang masih
berada di tahap shaft rock pada tahun 1990-1995.
Namun, perlu disebutkan bahwa pada angka kematian bayi di bawah 30
pun muncul penyakit infeksi yang mematikan. Akhir-akir ini kita menemuhi
penyakit HIV/AIDS yang belum ada pengobatanya, dan penyakit ini termasuk
kelompok penyakit menular, walau (untungnya) penyebaran infeksi ini melaluhi
cara yang sangat khas, dan tidak melaluhi udara, air atau makanan.
Dipihak lain, ebagai akibat revolusi fertilitas dan mortalitas, jumlah
penduduk lansia(60+) meningkat dari sekitar 7,9 juta pada tahun 1980 menjadi
kira-kira 11,3 juta pada tahun 1990, dan diperkirakan menjadi kurang lebih 12,8
juta pada tahun 1995, dan 17,7 juta pada tahun 2005, serta 28,8 juta pada tahun
-
7/26/2019 TRANSISI EPi
3/8
2020. jumlah 17,7 juta penduduk lansia pada tahun 2005 mirip dengan dua kali
jumlah penduduk UKI Jakarta terdiri penduduk lansia. Pada tahun 2020 jumlah
penduduk lansia di Indonesia mirip jumlah propinsi Jawa Tengah pada tahun1990 bila semua penduduknya lansia.
Pasar kerja perlu menanggapi kebutuhan para lansia ini, Misalnya, perlu
adanya angka kerja yang melayani kesehatan, pendidikan, keamanan,
transportasi, dan rekreasi para lansia. Mungkin pula semua fasilitas unuk para
lansia telah serba elektronik sehingga tidak lagi, atau hanya sedikit,
membutuhkan pelayanan dari tenaga kerja. Biia para lansia ini sakit-sakitan,
kebutuhan pengobatan penyakit lansia akan meningkat. Bila mereka tetap sehat,
kebutuhan untuk menjaga mereka tetap sehat dan pemenuhan asasi mereka
akan menonjol. Perlukah dipikirkan usaha yang menciptakan komunikasi teras-
menerus antara para penduduk lansia dan penduduk muda, agar tercipta suatu
pasar kerja yang lebih optimal, selain hal tersebut akan memperlambat
kepikunan para lansia.
Bila kebijakan hidup sehat berhasil di galakkan, pasar kerja juga akan
dibanjiri oleh mereka yang lansia. Mereka ini dapat di fanfaatkan untuk mengisi
lapangan pekerjaan yang lebih padat "otak" dan kurang mempergunakan tenaga
fisik. Kemajuan dalam teknologi komputer tampaknya dapat dimanfaatkan untuk
peningkatan pasar kerja, mereka juga membutuhkan barang dan jasa yang
berbeda dengan ketika para pemuda masuk pasar kerja. Transportasi dan
keamanan perlu dipikirkan untuk memperhatikan mooilitas pekerja lansia dari
rumah ke tempat kerja. Pola pemukiman juga perlu memperhatikan perubahan
pasar kerja ini.
Di tinjau dari prosentase penduduk lansia terhadap penduduk
keseluruhan, DI Yogyakarta merupakan penduduk "paling tua". Pada awal PJP II
lebih dari 10% keseluruhan penduduk DI Yogyakarta sudah mencapai usia 60
tahun atau lebih. Penduduk perempuan di DI Yogyakarta sudah mengalami
penuaan yang lebih cepat dari pada penduduk laki-laki. Persentase tersebut
12,16% untuk perempuan, sebaliknya hanya 9,98% untuk laki-laki pada awal
PJP II.
Para lansia pun memiliki sisa hidup yang makin panjang. Kalau waktu
yang makin panjang ini tidak dimanfaatkan dengan baik, mereka akan makin
lama menjadi beban perekonomian. Namun, dari sisi lain, para lansia ini
-
7/26/2019 TRANSISI EPi
4/8
sesungguhnya masih mempunyai "waktu" yang lebih lama untuk "menikmati"
investasi yang telah mereka lakukan selama 60 tahun. Mereka pun masih dapat
belajar lagi, karena mereka masihdapat hidup lebih lama lagi. Setelah usia 60 tahun, rata-rata mereka akan masih
bertalian hidup sekitar 17 tahun.
Peningkatan akan harapan hidup ini juga mengimplikasikan terjadinya
peningkatan kebutuhan barang dan jasa bagu penduduk pada usia yang lebih
tua. Bila juga mempunyai pendapatan, atau didukung oleh pendapatan keluarga
mereka atau oleh pemerintah, kebutuhan ini akan berabah menjadi pennintaan
terhadap barang dan jasa, yang akhiraya mempenganihi permintaan terhadap
pekerja.
Transisi Kesehatan
Diare merupakan penyakit penyumbang terbesar terhadap kematian pada
tahun 1971, 1989 dan 1986. walau pada tahun 1986 diare masih merupakan
penyumbang terbesar, namun prosentasenya telah menurun dari 18,8% pada
tahun 1980 menjadi 12,0% pada tahun 1986. Persentase ini teras menurun
menjadi 8,0% pada tahun 1992. pada tahun 1992 penyakit penyumbang
terbesar (16,5%) terhadap kematian. Presentase penyakit kardiovaskuler
sebagai penyebab kematian pada tahun 1992 kira-kira tiga kali lipat persentase
pada tahun 1971.
-
7/26/2019 TRANSISI EPi
5/8
Tabel 4. Penyakit Penyebab Kematian Utama, di Indonesia, 1992
Sumber : Wilopo, 1995
Pada tahun 1971 dan 1980 penyakit radang saluran pernapasan
menjadi penyumbang kedua dalam penyebab kematian di Indonesia.
Sumbangan penyakit lain seperti tuberkulosa dalampenyebab kematian,
cenderung meningkat penyakit yang juga mangalami kenaikan dalam
persentase:cedera dan kecelakaan, bronchitis/asma serta difteri, pertusis dan
campak.
-
7/26/2019 TRANSISI EPi
6/8
Tabel 5. Kematian Akibat Penyakit Kardiovaskuler di Indonesia, 1992
Gambar 4. Persentase Kematian Akibat Penyakita Kardiovaskuler
Untuk kasus penyakit kardiovaskuler, wilayah Jawa dan Bali mempunyai
persentase kematian paling besar dibandingkan dengan wilayah lain. Ssekitar
20,8% penyakit kardiovaskuler sebagai penyebab kematian terdapat di Jawa dan
Bali. Angka tersebut bahkan melebihi angka nasional (15,5%). Sumatra hampir
menyamai angka nasional. Penyakit tersebut dapat diakibatkan oleh konsumsi
makanan yang kurang seirnbang (terlalu banyak kolesterol), stress, kurang olali
raga, dan kegeinukan. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa pulau Jawa dan
-
7/26/2019 TRANSISI EPi
7/8
Bali mempunyai persentase tertinggi, karena umumnya wilayah tersebut
cenderung lebih maju dan masyarakatnya mempunyai gaya hidup yang berbeda
dibandingkan wilayah lainya.Terdapat pola penyakit menurut kelompok umur. Penyakit menular/dalam
hal ini penyakit diare dan saluran peraapasan, masih mendominasi kematian
kelompok umur muda (kurang dari lima tahun). Dengan meningkatnya usia,
penyebab kematian bergeser ke penyakit tidak menular, terutama oleh penyakit
kardiovaskuler.
Penyakit penyebab kematian juga mengalami pergeseran posisi, dari
Tetanus Neonatorium pada tahun 1986 menjadi ISPA (Infeksi Saluran
Pernafasan Akut) pada tahun 1992. penurunan persentase penyakit Tetanus
Neonatorium tersebut mungkin disebabkan adanya program imunisasi untuk
para ibu hamil.
Tabel 6. Beberapa Pola Penyakit Penyebab Kematian Bayi:
Indonesia, 1986 Dan 1992
Jenis penyakit 1986 (%) 1992 (%)
1 . Tetanus
Neonatorium
2. Gangguan
perinatal
3. Diare
4. ISPA
5. Difteria
pertusis, dan
campak
6. Penyakit
system syaraf
19,3
12,4
15,5
12,4
9,4
tt
7,9
11,8
11,5
37,7
2,6
7,3
Sumber: Wilopo, 1995
-
7/26/2019 TRANSISI EPi
8/8
Selain itu, perubahan dalam penyebab kematian ini dibarengi pula
dengan perubahan pada derajat kesehatan masyarakat. Pada saat angka
kematian bayi masih tinggi atau angka harapan hidup waktu lahir masih rendah,penurunan angka kematian bayi (dan peningkatan angka harapan hidup waktu
lahir) biasanya mencerminkan terjadinya peningkatan derajat kesehatan
masyarakat. Perbaikan kesehatan terjadi pada pencegahan terjadinya kematian
pada bayi dan usia yang masih muda. Perbaikan ini juga terlihat dengan
meningkatnya jumlah penduduk berusia muda. Peningkatan penduduk berusia
muda, yang terjadi dengan cepat, menyebabkan terjadinya peledakan penduduk,
khususnya penduduk muda.
Sumber; Indonesia, Departemen Kcesehatan (1993).
Gambar 3. Pola Penyakit Penyebab Kematian Bayi