Tradisi Pisowanan di daerah Banyumas sebagai Model Liturgi...

19
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah 1.1. Agama dan Kebudayaan Agama sebagai sebuah usaha manusia untuk membentuk kosmos keramat, di samping berhubungan dengan hal yang bersifat gaib, supranatural dan yang tidak terjangkau oleh akal, juga berkaitan dengan perkembangan suatu masyarakat. 1 Sebagai sebuah sistem kepercayaan, agama melegitimasikan pranata-pranata sosial masyarakat dengan meletakkannya ke dalam suatu kerangka acuan yang bersifat kosmik dan keramat. Dengan demikian, sebagaimana dinyatakan oleh Clifford Geertz, agama adalah : sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana hati (moods) dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresap dan tahan lama dalam diri manusia, dengan merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan membungkus konsepsi ini dengan semacam pancaran (aura) faktualitas, sehingga suasana hati (moods) dan motivasi-motivasi itu nampak khas realistis. 2 Agama sebagai sebuah sistem kebudayaan membungkus fenomena alam dan perilaku masyarakat dengan tatanan relijius tertentu yang diyakini dan dihayati bersama dengan pemaknaan di dalamnya. Konsepsi bermakna tersebut membentuk pola yang diteruskan secara historis dan diwujudkan dalam simbol-simbol, yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan tersebut. 3 1 H. Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologis, (Bandung: Alfabeta, 1992), h.77. 2 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 5. 3 Ibid, h. 4. @UKDW

Transcript of Tradisi Pisowanan di daerah Banyumas sebagai Model Liturgi...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

1.1. Agama dan Kebudayaan

Agama sebagai sebuah usaha manusia untuk membentuk kosmos keramat, di samping

berhubungan dengan hal yang bersifat gaib, supranatural dan yang tidak terjangkau oleh akal,

juga berkaitan dengan perkembangan suatu masyarakat.1 Sebagai sebuah sistem kepercayaan,

agama melegitimasikan pranata-pranata sosial masyarakat dengan meletakkannya ke dalam

suatu kerangka acuan yang bersifat kosmik dan keramat. Dengan demikian, sebagaimana

dinyatakan oleh Clifford Geertz, agama adalah :

sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana hati

(moods) dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresap dan tahan lama dalam

diri manusia, dengan merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum

eksistensi dan membungkus konsepsi ini dengan semacam pancaran (aura)

faktualitas, sehingga suasana hati (moods) dan motivasi-motivasi itu nampak khas

realistis.2

Agama sebagai sebuah sistem kebudayaan membungkus fenomena alam dan perilaku

masyarakat dengan tatanan relijius tertentu yang diyakini dan dihayati bersama dengan

pemaknaan di dalamnya. Konsepsi bermakna tersebut membentuk pola yang diteruskan

secara historis dan diwujudkan dalam simbol-simbol, yang dengannya manusia

berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan

dan sikap-sikap terhadap kehidupan tersebut.3

1 H. Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologis, (Bandung: Alfabeta, 1992), h.77. 2 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 5. 3 Ibid, h. 4.

@UKDW

2

Dalam kaitannya dengan kebudayaan lama Indonesia, Jakob Sumardjo menjelaskan konsepsi

Ketuhanan masyarakat Indonesia yang terkait dengan kondisi alam sekitarnya. Konsep

“Tuhan” dalam kebudayaan Indonesia lama dilihat sebagai totalitas, yang terwujud dalam

harmoni oposisi. Mengikuti pandangan Rudolf Otto, Sumardjo menegaskan bahwa Tuhan

yang dihayati masyarakat Indonesia lama bersifat memikat (fascinosum) sekaligus

menakutkan (tremendum).4 Maka, tidak mengherankan pada apa terungkap dari pandangan

masyarakat lereng Gunung Merapi yang ditulis Sindhunata, “Tuhan itu dahsyat, tapi indah,

Dia mematikan tetapi juga menghidupkan, Dia jauh tapi dekat, Dia menuntut banyak tetapi

juga memberi dengan murah hati, Dia kaya raya tetapi juga sangat sederhana”5.

1.2. Agama dan Bencana

Berdasarkan Undang-undang no. 24 tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana, yang

dimaksud dengan bencana adalah :

peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan

dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau

faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya

korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak

psikologis. 6

Bencana, entah itu bencana alam maupun non-alam, pada dasarnya menjadi sebuah persoalan

ketika ada kena mengenanya dengan manusia. Hal ini nampak jelas pada bencana sosial yang

tidak jarang terjadi mengikuti sebuah bencana alam/non-alam. Maka tepat ketika Prof.

Bernard T. Adeney mengemukakan bahwa bencana alam dan bencana manusia tidak

4 Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, (Yogyakarta: Qalam, 2002), h. 3-10, band. Rudolf Otto, The Idea of

the Holy (London: Oxford University Press, 1958), h.12-40 5 Sindhunata, Mata Air Bulan, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 175. Dikutip E. Gerrit Singgih, dalam Allah dan

Penderitaan di Dalam Refleksi Rakyat Indonesia, dalam Zakaria J. Ngelow, dkk (ed.), Teologi Bencana, (Makassar:

Oase Intim, 2006), h. 254. 6 Pemerintah Republik Indonesia, Undang-undang no. 24 tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana, h. 2.

@UKDW

3

bermakna dalam dirinya sendiri Kita sebagai manusia harus membangun maknanya sendiri.

Makna bencana terkait erat dengan bagaimana kita menanggapinya.7

Pemaknaan yang dilakukan manusia dalam situasi bencana seringkali tidak lepas dari

pemaknaan secara teologis. Paling tidak ada tiga sudut pandang tanggapan terhadap situasi

bencana : secara agamis, mitologis dan ilmiah.8 Sejalan dengan hal ini, Furedi

mengungkapkan tiga jejak pandangan mengenai penyebab bencana, yakni sebagai “karena

Allah”, “karena alam”, dan “karena manusia”.9

1.3. Gunung Merapi

Gunung Merapi sudah sangat lama dikenal sebagai gunung yang indah. Keindahan itu sangat

memberi berkah bagi masyarakat di sekitar Merapi. Kawasan yang terletak pada ketinggian

600-2986 meter di atas permukaan laut dan secara administratif berada di kawasan Propinsi

D.I. Yogyakarta (sekitar 1550 ha) serta Jawa Tengah (sekitar 6447 ha). Potensi alam dan

keindahan Merapi semakin didukung oleh interaksi yang harmonis antara penduduk dengan

alam di kawasan tersebut. Keindahan dan kelimpahan berkah yang didapat dari Gunung

Merapi ini di sisi lain menyimpan potensi ancaman. Dengan siklus erupsi yang pendek, yakni

antara 2 – 5 tahun, masyarakat di sekitarnya memiliki persepsi tersendiri terhadap keberadaan

dan aktivitas vulkanik gunung tersebut.

Masyarakat Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten

Sleman DIY sudah begitu akrab dengan Gunung Merapi. Masyarakat disana sangat

mempercayakan kondisi mereka berkaitan dengan aktivitas Gunung Merapi, kepada juru

kuncinya yaitu Mbah Marijan. Kapan mereka harus mengungsi dan kapan mereka harus

bertahan di dusunnya semua tergantung kepada ‘instruksi’ dari Mbah Marijan. Konsepsi

masyarakat terhadap keberadaan Gunung Merapi menguatkan kepercayaan mereka bahwa

mereka tidak akan diganggu oleh letusan Gunung Merapi.

7 Bernard T. Adeney, “Pendahuluan”, dalam Teologi Bencana, (ibid), h. 37. 8 Andreas A.Yewangoe, “Membangun Teologi Bencana – Pergumulan Teodice dan Teologi Penderitaan Allah”,

dalam dalam Ngelow, Zakaria J., dkk (ed.), Teologi Bencana, h. 222-224. 9 Furedi, F., 2007. “The Changing Meaning of Disaster” Area Bulletin, vol. 39, April 2007, h. 483–485

@UKDW

4

Sikap masyarakat yang enggan meninggalkan tempatnya bermukim untuk mengungsi dari

bencana Merapi, dapat dipahami sebagai sebuah sikap hidup yang mengandung nilai-nilai

rasa kecintaan, keterikatan, kepemilikan, kesetiaan, dalam berhubungan dengan alam semesta

Merapi sebagai tempat hidup. Masyarakat lereng Merapi pada umumnya, memandang Merapi

secara positif, lebih melihat sebagai anugerah ketimbang sebagai sumber musibah.

Ungkapan-ungkapan lokal yang dipakai untuk menyebut Merapi dengan segala

aktivitasnyapun senantiasa bernada positif. Misalnya ungkapan ”Mbah buyut lagi dandan-

dandan” (Eyang buyut sedang berbenah) atau “Simbah lagi duwe gawe” (Eyang sedang

punya hajat”, untuk mengungkapkan peristiwa erupsi Merapi menjadi salah satu contoh

ungkapan yang bernada positif atas aktivitas gunung ini. Ada ikatan yang sulit dijelaskan

antara penduduk kawasan Merapi dengan Gunung Merapi. Minsarwati menjelaskan bahwa

manusia yang berdiam di kawasan Merapi berkedudukan sebagai mikrokosmos atau jagat

cilik, sedang Gunung Merapi sebagai makrokosmos atau jagat gedhe. Keduanya memiliki

hubungan yang erat, sebagai satu kesatuan, yang bersifat timbal-balik.10

Konsepsi masyarakat terhadap keberadaan Gunung Merapi menguatkan kepercayaan mereka

bahwa mereka tidak akan diganggu oleh letusan gunung merapi. Mereka, yang dibiasakan

memanggil gunung tersebut dengan sebutan Mbah Merapi akan mengatakan kalau Mbah

Merapi sedang dandan-dandan (berbenah diri), duwe gawe (punya hajat) atau resik-resik

(bersih-bersih) ketika Gunung Merapi mengeluarkan lahar atau erupsi. Mereka juga percaya

bahwa lahar Mbah Merapi tidak akan sampai ke dusun mereka karena percaya bahwa dusun

mereka merupakan pelataran rumah Mbah Merapi sehingga Mbah Merapi tidak akan

membuang sampah di pelatarannya sendiri. Mereka juga percaya bahwa di dusun mereka

bersemayam bibinya Mbah Merapi sehingga tidak mungkin Gunung Merapi memutahkan

laharnya ke dusun mereka.11

10 Wisnu Minsarwati, Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi: Menguak Bahasa Mitos Dalam Kehidupan Masyarakat

Jawa Pegunungan, (Yogyakarta, 2002), h. 79. 11 Penelitian Kearifan Lokal di Daerah Bencana, oleh Tim Peneliti Pusat Penelitian Dan Pengembangan Kebudayaan

Badan Pengembangan Sumberdaya Budpar – Kemenbudpar, Juli – Agustus 2010, di mana penulis terlibat di

dalamnya.

@UKDW

5

1.4. Upaya Kontekstualisasi Teologi Bencana Gereja Kristen Jawa (GKJ)

Gereja Kristen Jawa (GKJ), tempat penulis melayani, dewasa ini sedang mendalami dan

mempergumulkan jalan baru dalam berteologi : Teologi Lokal, dimana Teologi Bencana ada

di dalamnya. Sebagai sebuah gereja etnis (Jawa) yang hidup di tengah konteks bergereja dan

bermasyarakat yang dinamis, GKJ menyadari perlunya sebuah upaya kontekstalisasi dalam

berteologi. Hal ini tercermin dalam Artikel Sidang Sinode XXIV12 :

Setelah membahas:

1. Laporan Deputat Pengembangan Kepemimpinan tentang penerimaan utusan dari

Protestant Church in the Netherlands (PCN) dalam diri Ibu Josien Folbert dan Pdt.

Jaspert Slob sebagai tenaga ahli dalam program teologi lokal, teologi bencana, dan

teologi lintas agama bersama Yayasan Persemaian Cinta Kemanusiaan (Percik)

Salatiga

2. Laporan Deputat Keesaan tentang pengembangan teologi lokal

3. Masukan Ibu Josien Folbert tentang pemahaman teologi lokal

Sidang memutuskan:

1. Menerima laporan tersebut dan menugasi Bapelsin untuk menindaklanjuti program

pengembangan teologi lokal, teologi bencana, dan teologi lintas agama bersama

Yayasan Percik.

2. Mendorong Gereja-gereja untuk mengembangkan teologi lokal, teologi bencana, dan

teologi lintas agama.

12 Artikel 33, Akta Sidang Sinode GKJ XXIV, di Wirobrajan, Yogyakarta

@UKDW

6

yang dilanjutkan dalam Sidang Sinode GKJ XXV, tahun 200913 :

Menanggapi rekomendasi kelompok Kerja Berteologi Lokal tentang program teologi

bencana;

Sidang mempertimbangkan:

1. Indonesia termasuk daerah dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi.

2. Bencana menimbulkan kompleksitas persoalan yang tinggi, yang perlu dihadapi dan

dijawab secara teologis.

Sidang memutuskan:

Menugasi Kelompok Kerja Teologi Lokal untuk melanjutkan program teologi bencana.

Pergumulan teologis GKJ tersebut dipicu dengan situasi kebencanaan di tanah air, khususnya

mulai dengan adanya peristiwa Gempa Bumi di Yogyakarta, pada 27 Mei 2006, yang turut

meluluhlantakkan 46 gereja GKJ di wilayah Klaten, Bantul, Sleman, Kulonprogo.14 Bukan

hanya bangunan gereja dan rumah jemaat yang porak poranda, namun peristiwa tersebut

cukup mengguncang bangunan teologis jemaat GKJ. Ditambah dengan adanya Erupsi Merapi

tahun 2010, yang sekalipun tidak berdampak banyak dan langsung kepada jemaat/gereja-

gereja GKJ, namun mengingat wilayah persebaran gereja cukup banyak di sekitar lereng

Gunung tersebut, maka Sinode GKJ memandang perlu untuk menggali Teologi Bencana

seperti apa yang dapat dihidupkan dan dikembangkan dalam konteks seperti itu.

Sebagai tindak lanjut keputusan Sidang Sinode tersebut, bekerjasama dengan Yayasan Percik

Salatiga, diadakan serangkaian seminar untuk menggali Teologi Lokal tersebut (I: 14-15 April

13 Artikel 17, Akta Sidang Sinode GKJ XXV, di Kaliurang, Yogyakarta 14 Laporan Pokja Pemulihan Korban Gempa Sinode GKJ (2007), h. 22

@UKDW

7

2008 ; II: 10-11 Juni 2008 ; III: 27-28 November 2008 ; IV: 12-13 November 2009)15. Dari

rangkaian seminar tersebut, semakin disadari ketegangan dalam upaya berteologi di GKJ,

antara teologi “resmi”, yang notabene sangat kental dengan teologi “Barat”, berhadapan

dengan teologi “lokal” yang masih banyak dihidupi oleh kaum awam GKJ namun seringkali

terpinggirkan.16 Namun demikian, rangkaian seminar itu belum sampai pada pembicaraan dan

pergumulan mengenai Teologi Bencana sebagaimana diamanatkan dalam Akta Persidangan

Sinode GKJ XXIV.

Baru pada tahun 2011 – sesudah Sidang Sinode GKJ XXV, Bidang Litbang Sinode GKJ

XXV bekerjasama dengan Yayasan Percik memfasilitasi Pokja Penanggulangan Bencana

Sinode GKJ menyelenggarakan Lokakarya Penanggulangan Bencana bertempat di Pondok

Remaja Salib Putih, Salatiga. Bidang Litbang dan Kespel bersama Pokja Penanggulangan

Bencana sempat membicarakan perihal teologi bencana. Beberapa pertanyaan pun muncul

dalam Lokakarya tersebut, terkait dengan program pengembangan teologi bencana,

diantaranya:

Siapa sesungguhnya yang berhak berteologi atas bencana?

Darimana starting point program teologi bencana dimulai? Penyintas17, yang

terkadang bahkan seringkali bukan anggota jemaat, relawan ataukah teolog/pendeta?

Kemudian, pendekatan seperti apakah yang dipakai?

Di balik pertanyaan-pertanyaan tersebut ada kebutuhan penting yang menjadi dasar program

teologi bencana ini. Jangan sampai program teologi bencana hanya didasari dari apa kata

orang tentang bencana. Dari seminar tersebut, dipandang penting untuk mendengarkan orang

yang mengalami bencana dan menjadi penyintas/korban. Dalam konteks hidup bergereja,

15 Sebagaimana disarikan dan dilaporkan dalam buku yang diterbitkan Pudjaprijatma, Sinode GKJ dan Yayasan

Percik, Pdt., dkk (Ed.) “Kata Pengantar”, dalam Pijar-pijar Berteologi Lokal : Berteologi Lokal dari Perspektif

Sejarah dan Budaya. (Salatiga, 2010), h. xxiii-xxvi 16 Pudjaprijatma, dkk (Ed.) “Kata Pengantar”, dalam Pijar-pijar Berteologi Lokal : Berteologi Lokal dari Perspektif

Sejarah dan Budaya. (Salatiga, 2010), h. xxvii. 17 Terminologi “korban” untuk sebuah peristiwa bencana telah diganti dengan terminologi “penyintas” yang menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti lebih positif, yakni terus bertahan hidup, mampu

mempertahankan keberadaannya, sehingga penyintas didefinisikan sebagai orang yang mampu bertahan hidup.

@UKDW

8

perlu dilihat bahwa GKJ punya pengalaman dengan kebencanaan. Ketika ada bencana, GKJ

ada, hadir, dan terlibat di situ. Entah itu sebagai korban, penyintas, relawan, hingga

keterlibatan para pendetanya di tengah-tengah situasi bencana. Dari pengalaman perjumpaan

dengan para penyintas, ada sinyal bahwa penyintas membutuhkan jawaban teologis atas

situasi yang menimpa. Bagi relawan juga membutuhkan refleksi teologis dari apa yang

dilakukan dalam karya kemanusiaan. Berteologi bencana lintas iman menjadi perhatian ketika

sinode GKJ melalui litbangnya, Lembaga Percik, forum SOBAT (persaudaraan lintas agama)

berkumpul di Kampoeng Percik, 19 April 2011, untuk merefleksikan pengalaman

kebencanaan. Paham berteologi bencana lintas iman didasari fakta bahwa bencana memang

tidak pandang bulu.18

Sebagai salah satu lokasi hidup jemaat GKJ, daerah sekeliling lereng Merapi

(Sleman/Yogyakarta, Muntilan, Magelang dan Klaten) menghadapi situasi kebencanaan yang

bisa datang setiap saat. Di tengah bangunan Teologi Bencana yang belum rapih tersusun,

dirasa akan bermanfaat sekiranya jemaat dapat belajar dari mereka yang benar-benar berada

pada titik episentrum erupsi Merapi, sekaligus pusat spiritual Jawa terkait hubungan antara

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Gunung Merapi, dan yang secara turun-temurun

akrab dengan bencana akibat erupsi gunung berapi. Dengan melakukan studi ini diharapkan

akan lebih menemukan Kristus dalam situasi, ketimbang memusatkan perhatian pada usaha

membawa Kristus ke dalam situasi tersebut, sebagaimana langkah kontekstualisasi yang

diyakini oleh Schreiter.19 Maka dalam kerangka berteologi kontekstual atas bencana ini,

penulis akan mencoba menggali teologi-teologi lokal dari mereka yang notabene justru bukan

komunitas Kristen, sekalipun bukan berarti tidak mengalami perjumpaan dengan kekristenan,

terlebih dalam situasi-situasi kebencanaan.

18 Notulen pertemuan, disarikan oleh Pdt. Setiyadi. 19 Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, (Jakarta, 2006), h. 64-65.

@UKDW

9

2. Rumusan masalah

Bagaimanapun, Gunung Merapi menjadi pusat refleksi masyarakat di lereng gunung

tersebut.20 Dengan peristiwa alamiah yang dilihat, dialami dan dimaknai, sebuah kelompok

masyarakat membangun teologianya, yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya –

bahkan seringkali berbeda dan tak terduga oleh para ahli/peneliti, untuk sebuah peristiwa

yang sama. Oleh karena itu, menjadi penting untuk dapat menggali persepsi masyarakat

lereng Gunung Merapi terhadap situasi alam sekitar mereka, dalam hal ini erupsi dari gunung

teraktif di dunia yang menjadi salah satu dari enam belas Gunung teraktif di dunia (Decades

of Vulcano)21 ini.

Sebelum erupsi besar tahun 2010, masyarakat Kinahrejo pada umumnya memandang positif

keberadaan Gunung Merapi dengan segala aktivitasnya. Mereka percaya bahwa dusun

mereka – Kinahrejo sebagai “Pelataran Merapi” tidak mungkin terkena dampak erupsi

gunung tersebut. Ungkapan yang sering muncul adalah “Kalau Simbah Merapi duwe gawe

(punya hajat), tidak mungkin membuang sampahnya ke pelataran depan rumahnya”.

Demikian pula pandangan dan kepercayaan terhadap Juru Kunci, Mbah Maridjan, sebagai

simbol penghubung mereka dengan makhluk Illahi penunggu gunung, sedemikian kuatnya.

Hal yang cukup signifikan berbeda terjadi, tatkala Gunung Merapi meletus hebat pada tahun

2010. Erupsi beruntun dari tanggal 26 Oktober 2010 dan berpuncak tanggal 5 November

2010 meluluh-lantakkan dusun-dusun di Desa Umbulharjo dan Desa Kepuharjo, termasuk

Dusun Kinahrejo, tempat tinggal Mbah Maridjan – Juru Kunci Gunung Merapi, bahkan

menewaskannya. Peristiwa tersebut seakan menyentak kesadaran mereka bahwa dusun yang

mereka percayai sebagai “pelataran Merapi” itu ternyata bisa terkena dampak negatif erupsi,

bahkan hancur berantakan. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Surono,

menyatakan letusan Merapi 2010 merupakan bencana terburuk Merapi sejak 1870, karena

20 E. Gerrit Singgih, “Allah dan Penderitaan di Dalam Refleksi Rakyat Indonesia”, dalam Ngelow, Zakaria J., dkk

(ed.), Teologi Bencana, h. 253. 21 http://vulcan.wr.usgs.gov/Volcanoes/DecadeVolcanoes/ (Diakses tanggal 12 Mei 2011)

@UKDW

10

dalam letusan kali ini sebanyak 32 desa dengan jumlah penduduk lebih dari 70.000 jiwa

direkomendasikan harus mengungsi karena berada dalam zona berbahaya,22

Pertanyaannya kemudian adalah, seiring dengan letusan besar yang meluluhlantakkan desa

yang mereka percayai sebagai “pelataran Merapi” dan turut menewaskan juru kunci

terpercaya mereka, bagaimana pemahaman dan penghayatan warga Kinahrejo terhadap

Merapi dengan segala aktivitasnya pasca erupsi 2010 ini? Atau dengan kata lain, bagaimana

bangunan teologi atau sistem kepercayaan – terkait dengan Gunung Merapi dengan segala

aktivitasnya ini?

3. Tujuan Penelitian/Penulisan

Dengan penelitian dan penulisan tesis ini bertujuan sebagai berikut:

1. Menginventarisasi dan mendokumentasikan pengetahuan teologis masyarakat Dusun

Kinahrejo terhadap situasi bencana yang diakibatkan oleh aktivitas erupsi Gunung

Merapi, Yogyakarta, yang pada gilirannya bisa menjadi sebuah pembanding dan bisa

menjadi sebuah alternatif berteologi lokal kontekstual atas bencana bagi Gereja

Kristen Jawa.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi aksi bantuan maupun pendampingan yang bisa

dilakukan gereja ataupun kelompok masyarakat lain, dengan tetap memperhatikan

bangunan teologis yang dimiliki masyarakat yang menjadi korban bencana tersebut

Dengan menggali dan menemukan bangunan teologis masyarakat lokal lereng Merapi

pasca erupsi 2010 ini, apa yang bisa dilakukan oleh gereja/komunitas lain dengan

memperhatikan lingkaran pastoral/hermenutik berikut ini:

22 http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/10/11/05/144681-letusan-merapi-2010-terburuk-sejak-

1870 , (diakses tanggal 5 November 2010)

@UKDW

11

interpretasi

Analisis Planning / Action

Observasi

4. Landasan Teori

Indonesia memiliki keaneka-ragaman budaya dan setiap budaya memiliki cerita tradisional

(mitos) untuk menjaga lingkungan hidup mereka. Dekker J. Mouboi juga menyatakan dalam

tulisannya, bahwa cerita, di satu pihak menghubungkan manusia dengan masa lampaunya,

serentak dengan itu pula, di pihak lain, cerita mengungkapkan visi dan cita-cita masa depan

manusia.23 Manusia dalam arti tertentu dibentuk oleh dan melaui cerita, dan oleh karena itu

kelanjutan hidup suatu kelompok masyarakat ikut ditentukan oleh kemampuan kelompok

tertentu dalam menciptakan cerita mereka sendiri dan melanjutkannya kepada generasi

berikutnya.24

Untuk itu, Dekker dalam tulisannya menyarankan bahwa di samping cerita penciptaan di

dalam Alkitab, hendaknya gereja tidak mengabaikan berbagai cerita rakyat yang sangat kaya

kandungan pedagogisnya dalam rangka membangun suatu pandangan dunia yang utuh

dengan kesadaran dan tanggung jawab yang tulus terhadap lingkungan hidup.25

Maka, dalam upaya menggali cerita yang bisa menjadi titik pijak upaya berteologi lokal

dalam konteks bencana ini, penulis memakai kerangka teori kearifan lokal (local wisdom)

Paradigma ini penulis pakai karena sesuai dengan sistem kepercayaan Jawa yang oleh E.

23 Dekker J. Mouboi, “Ekologi dalam PAK”, dalam buku Andar Ismail, Ajarlah Mereka Melakukan (Jakarta, 2004),

h. 99. 24 ibid, h. 100 25 ibid

@UKDW

12

Gerrit Singgih disebut sebagai agama “kosmis”.26 Paradigma ini juga dipilih untuk

menghindari dominasi dan pemaksaan makna terhadap masyarakat Kinahrejo sendiri sebagai

pelaku budaya, sehingga didapatkan gambaran kearifan lokal sebagai sebuah upaya

masyarakat sendiri berteologi atas kesadaran dan realitas lingkungannya, Gunung Merapi.

Kearifan lokal (local wisdom) dipahami sebagai perangkat pengetahuan pada suatu komunitas

untuk menyelesaikan persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, yang diperoleh dari

generasi-generasi sebelumnya secara lisan, melalui contoh tindakan dan yang memiliki

kekuatan seperti hukum ataupun tidak.27 Lebih lanjut Heddy menambahkan bahwa sebagai

sebuah perangkat pengetahuan inter-generasi, kearifan lokal mencakup baik “kearifan

tradisional” maupun “kearifan masa kini/kontemporer”.28 Istilah local wisdom (kearifan

lokal) muncul, terutama setelah para ilmuwan di Barat menyadari bahwa ilmu pengetahuan

yang mereka miliki ternyata telah gagal membawa masyarakat non-Barat ke taraf kehidupan

yang lebih baik. Pengetahuan dan teknologi Barat yang ditransfer pada masyarakat yang

dianggap tradisional gagal untuk menyelesaikan masalah lokal, bahkan terkadang

menimbulkan masalah baru yang lebih rumit dan sulit diatasi. Kesadaran akan kegagalan ilmu

pengetahuan dan teknologi Barat tersebut – menurut Heddy – telah mendorong mereka untuk

menengok pada dan mempelajari pengetahuan-pengetahuan lokal yang sudah ada selama

puluhan, bahkan ratusan tahun dalam suatu masyarakat, dan telah memungkinkan masyarakat

pemiliknya bertahan hidup hingga sekarang.29

Bagi komunitas/masyarakat sendiri, kearifan lokal yang terakumulasi dalam narasi-narasi

tertulis maupun lisan dapat menjadi sumber data empiris bagi pengetahuan terkait persoalan

spiritualitas (dan teologis) dari persektif lokal.30 Dengan demikian kearifan lokal dapat

diidentifikasikan sebagai sikap, pandangan dan kemampuan suatu komunitas di dalam

26 E. Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks, Pemikiran-pemikiran mengenai Kontekstualisasi Teologi di

Indonesia (Yogyakarta, 2007), h. 115. 27 Heddy Shri Ahimsa-Putra, Etnosains, Etnotek dan Etnoart – Paradigma Fenomenologis untuk Revitalisasi

Kearifan Lokal (Makalah yang disampaikan dalam “Seminar Pemanfaatan Hasil Riset UGM dalam Mendukung

Peningkatan Daya Saing Indonesia”, Yogyakarta, 28 November 2006), h. 6. 28 Ibid, h. 7 29 Heddy Shri Ahimsa-Putra, Kearifan Lokal–Wujud, Cara Mengenali dan Revitalisasinya (Makalah disampaikan

dalam workshop “Kewenangan Daerah Kota Yogyakarta terhadap Nilai-nilai Kebangsaaan” diselenggarakan oleh

Pemerintah Kota Yogyakarta, di Yogyakarta, 20 September 2011), h. 1. 30 Wening Udasmoro dan Joachim Agus Tridianto, Spiritualitas Warga Merapi – Agency dan Survival Strategy

Dalam Merespon Bencana (Yogyakarta, 2012), h.7-8.

@UKDW

13

mengelola lingkungan (rohani maupun jasmani), yang memberikan daya tahan dan daya

tumbuh bagi komunitas tersebut sebagai perangkat pengetahuan yang mampu menghadapi

suatu lingkungan, dan membentuk pola perilaku sehari-hari, baik terhadap sesama manusia

maupun terhadap lingkungan tersebut.

Pendekatan melalui kearifan lokal masyarakat yang berlatar belakang kepercayaan kosmik ini

sejalan dengan paradigma kosmik-holistik31, yang berpandangan bahwa pusat dari seluruh

sistem alam semesta bukanlah manusia (seperti dalam pandangan anthroposentris), tetapi

pusat kehidupan ini ada pada semua ciptaan. Paradigma kosmik-holistik ini juga memberi

perhatian terhadap komunitas ekologis seluruhnya, baik yang hidup maupun yang mati.

Secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain.

Dalam paradigma kosmik-holistik tersebut, Banawiratma menyatakan bahwa:

1. Kenyataan dunia ini dilihat sebagai yang menyatu dengan Yang Ilahi, dan didekati

secara utuh dalam kesatuan dengan Yang Ilahi.

2. Alam merupakan sacramentum (tanda) dari kehadiran Yang Ilahi, yang dialami

melalui bentuk ungkapan perempuan dan laki-laki. Unsur dan perspektif perempuan

masuk dalam pengalaman akan yang ilahi.

3. Komunitas, termasuk ciptaan non-human, merupakan titik tolak dan orientasi dalam

memandang kenyataan hidup.

4. Keseluruhan martabat manusia dimengerti dari tanggungjawab bersama untuk

menempatkan diri dalam dan ikut serta memelihara alam semesta.

5. Segala sesuatu merupakan bagian-bagian yang secara terus menerus bertali temali,

suatau proses yang ditandai oleh interdependensi dan ko-operasi timbal balik. Dengan

demikian, “keseluruhan” lebih besar dari jumlah bagian-bagian..

31 J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif: menuju pemberdayaan kaum miskin dengan perspektif adil

gender, HAM, dan lingkungan hidup, (Yogyakarta, 2002), h. 27

@UKDW

14

6. Karena keseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian-bagian maka pengertian

manusia selalu parsial dan harus selalu terbuka untuk pengertian baru dan lebih penuh,

untuk itu digunakan daya imajinasi.

7. Semua bentuk kehidupan mempunyai potensi khusus (inate) untuk mengatur diri.

Perubahan dan penyembuhan diakibatkan oleh atau terjadi dari dalam, atau barangkali

oleh pelaku perubahan dari luar.

8. Metafor dasariah dari paradigma ini adalah : holon (keseluruhan).

9. Semua potensi terbuka dalam proses yang ditempatkan dan dipelihara dalam

keseluruhan.

10. Partisipasi dari dan rasa bagi keseluruhan merupakan keutamaan dasariah.

Maka, sejalan dengan itu, penghayatan masyarakat sekitar lereng Merapi menganggap alam

sebagai saudara, sebagai akumulasi budaya Jawa di masa lalu, menjadi semakin terlihat.32

Bahwa nilai sebuah benda di alam semesta ini tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan atau

kepentingan manusia. Segala sesuatu di alam semesta ini dihargai karena mempunyai nilai

pada dirinya sendiri. Manusia hanya salah satu bentuk kehidupan yang pada prinsipnya sama

kedudukannya dalam tatanan ekologis.

Demi kepentingan penelusuran Teologi Lokal dan Teologi Bencana sebagaimana

diamanatkan dalam dua persidangan Sinode GKJ terakhir di atas, penulis mencoba

mengambil pendekatan Robert J. Schreiter, dengan lebih “mendengarkan budaya”, ketimbang

menerjemahkan tradisi (dan dogma) gereja ke dalam situasi lokal. Untuk sebuah studi

budaya, Schreiter menandaskan tiga karakteristik yang mesti ada di dalamnya, yakni33 :

32 E. Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan – Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, (Jakarta, 2005),

h.72. 33 Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, (Jakarta, 2006), h.70-75.

@UKDW

15

1. Holistik : bahwa sebuah pendekatan budaya tidak bisa hanya berpusat pada satu

bagian budaya dan mengabaikan bagian lainnya. Maka dengan itu pula, pendekatan

ini tidak bisa mengabaikan “budaya populer/budaya rakyat” (tradisi dan praktek-

praktek rakyat) sebagai suatu entitas yang seolah lebih rendah dari “budaya tinggi”

(Agama resmi, karya seni ataupun ungkapan sastra yang dipandang tinggi), karena

bagi Schreiter, agama/kepercayaan bukan hanya suatu “pandangan hidup”, melainkan

sebuah “cara hidup”.

2. Jati diri : bahwa suatu pendekatan terhadap budaya harus mampu berbicara pada

kekuatan-kekuatan yang membentuk jati diri dalam suatu budaya tersebut. Sebuah

teologi lokal harus bisa memperhatikan dua dimensi kembar formasi jati diri : batas

kelompok dan pandangan dunia, yang pada gilirannya akan membentuk suatu

identitas budaya.

3. Perubahan sosial : bahwa suatu pendekatan terhadap budaya harus memperhatikan

proses perubahan sosial sebagai suatu keniscayaan dinamika dunia.

Teori dan paradigma berteologi lokal Schreiter ini menjadi penting dalam kerangka upaya

pencarian Teologi Bencana yang kontekstual yang menjadi tujuan penulisan Tesis ini.

Dengan memakai pendekatan budaya ini, penulis berharap bisa menemukan gambaran teologi

bencana yang dari perspektif lokal, karena, sebagaimana diyakini Sedmak, bahwa melalui

ekspresi budaya lokal inilah, kita dapat menemukan Allah yang melanjutkan karya

penciptaan-Nya.34

Setelah menemukan teologi lokal dalam konteks bencana erupsi gunung Merapi, pada

gilirannya akan diperlukan sebuah kerangka aksi pastoral yang berangkat dari sudut pandang

mereka yang terdampak bencana. Upaya ini menjadi penting, manakala banyak aksi

pastoral/pembantuan di tengah bencana lebih banyak berangkat dari sudut pandang dan

kepentingan “orang luar”, yang pada gilirannya menjadi tidak tepat sasaran atau bahkan

merusak harmoni di tengah masyarakat terdampak. Maka dalam tulisan ini perlu

34 Band. Clemenns Sedmak, Doing Local Theology, A Guide for Artisans f a New Humanity (New York, 2002) h..

73-74.

@UKDW

16

diketengahkan “Teori Kompleksitas Mutualis” (Mutual Complexity Theory) sebagaimana

diyakini Dorothe Hilhosrt.35 Dengan paradigma ini, Hilhosrt hendak memperlihatkan bahwa

hubungan antara risiko dan kerentanan terhadap bencana berkaitan dengan interaksi antara

alam dan masyarakat. Disamping menyoroti struktur masyarakat – sebagaimana ada dalam

kaum strukturalis, paradigma Mutual Complexity Theory ini juga menyoroti hubungan

masyarakat dan alam/lingkungannya.

Mengikuti pandangan Stacey36, dalam teori ini, Hilhorst menyampaikan tiga jalinan kompleks

antara “kekacauan” (chaos), “struktur yang galau” (dissipative structure) dan “sistem

adaptasi” (adaptive system). Dalam kekacauan, perubahan terjadi karena elemen-elemen yang

berbeda dalam suatu sistem terbuka berinteraksi satu dengan yang lain sehingga

menimbulkan perubahan-perubahan dengan pola yang tidak terduga. Ketidakterdugaan

(unpredictability) ini terutama berdasar pada “ketidakmampuan manusia dalam mengukur

ketepatan yang tidak terbatas”.37 Kompleksitas bertambah ketika terjadi ketidakseimbangan

akibat struktur dan sistem yang galau – karena perubahan kondisi. Pada akhirnya risiko dan

kerentanan terhadap suatu ancaman bencana juga bergantung pada sistem adaptasi yang

kompleks. Sistem adaptasi ini tergantung pada pengalaman (personal maupun komunal) dan

interaksi antara sistem lokal dengan yang dari luar – yang bisa sekedar sebuah interaksi

informasi.38 Interaksi tersebut terkadang membuat sistem adaptasi yang tidak terprediksi pula.

Hilhorst percaya bahwa sistem adaptasi yang tak terprediksi (the unpredictability of adaptive

system) yang tertuang dari interaksi kreatif dari agen-agen penalaran yang beragam tersebut

menawarkan solusi yang lebih tepat untuk memahami kerentanan dan bencana dalam tataran

kenyataan yang beragam (multiple realities).39

Teori kompleksitas mutual ini penulis pandang relevan bagi kajian teologi bencana karena ia

membuka pintu masuk bagi suatu penjelasan bencana sebagai sebuah interaksi antara sub-

35 Dorothe Hilhosrt, “Complexity and Diversity: Unlocking Social Domains of Disaster Respons, dalam Mapping

Vulnerability : Disaster, Development dan People, ed. by Greg Bankoff (British: Earthscan, 2004), h. 52-56, Band.

Siti Syamsiatun dan Benny Baskara, “Merengkuh Merapi dengan Iman, Peran Organisasi Berbasis Agama dalam

Penanganan Pasca Erupsi Merapi 2010-2011” (Yogyakarta: UGM, 2012), h 21-26. 36 Ibid, band. Stacey Menzel Baker, Vulnerability and Resilience in Natural Disasters: A Marketing and Public

Policy Perspective, h. 115-117 37 Hilhosrt, ibid, h. 55 38 Ibid 39 Ibid, h. 56.

@UKDW

17

sistem alam dan masyarakat, juga relasi antara risiko dan kerentanan. Dengan paradigma ini,

bencana bisa dilihat sebagai akibat dari interaksi antara beberapa sub-sistem dalam

lingkungan geofisik dan klimatologi di satu sisi dan sub-sistem kemasyarakatan – seperti

pengetahuan ilmiah, sistem keyakinan dan sistem pengetahuan lokal di sisi lain.

Dengan paradigma ini, penulis berharap bisa menemukan keunikan pola hubungan

masyarakat Dusun Kinahrejo sebagai lokasi Upacara Labuhan dengan struktur Dusun

maupun struktur Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sendiri. Di samping itu, dengan

paradigma tersebut, penulis dapat menemukan pola hubungan masyarakat dengan lingkungan

mereka yang menjadi landasan pandangan teologis setempat.

5. Judul Tesis

Berteologi Kontekstual atas Bencana

(Penghayatan Teologis Masyarakat Kinahrejo Pasca Erupsi Gunung Merapi 2010)

6. Metode Penelitian

Untuk dapat “mendengarkan budaya”, seperti yang digulirkan Schreiter, penulis akan

melakukan penelitian dengan menggunakan metode etnografi baru yang memusatkan

usahanya untuk menemukan bagaimana suatu kelompok masyarakat mengorganisasikan

budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam

kehidupan. Metode yang dipelopori J. P.Spradley tersebut, menggunakan Alur Penelitian

Maju Bertahap, yakni melakukan penelitian eksploratif untuk menjajagi, mengenali,

menemukan, dan menginventarisasi potensi data budaya yang didukung oleh kelompok

@UKDW

18

masyarakat yang menjadi obyek penelitian, dengan tiga garis besar alur penelitian yang terdiri

dari : pertanyaan deskriptif, pertanyaan pembuktian dan pertanyaan kontras.40

Untuk melengkapi data dan memperkuat teori demi analisis dan eksplorasi tesis ini, dilakukan

studi kepustakaan dengan menelusuri berbagai tulisan khususnya yang terkait.

7. Alat penelitian

1. Wawancara

Penentuan responden untuk keperluan wawancara dilakukan dengan menggunakan

metode snowball sampling, artinya memilih responden dan nara sumber yang akan

berfungsi sebagai representasi dari kelompok masyarakat yang dijadikan obyek

penelitian. Pemilihan selain dilakukan secara random juga dengan mempertimbangkan

saran dari tokoh-tokoh masyarakat yang bersangkutan.

2. Live-in dalam komunitas

Live-in dalam komunitas diperlukan untuk lebih memahami pola dan cara hidup yang

dihayati oleh subyek penelitian.

8. Kerangka Penulisan Tesis

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini memaparkan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan

penelitian/penulisan, landasan teori, judul tesis, metode penelitian, alat penelitian dan

sistematika penulisan.

40 James P Spradley, Metode Etnografi, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 61-64

@UKDW

19

BAB II : ERUPSI GUNUNG MERAPI TAHUN 2010 DAN DAMPAKNYA

TERHADAP PENDUDUK KINAHREJO

Bab ini akan menguraikan deskripsi dari hasil upaya menggali dan menguraikan gambaran

umum mengenai bencana dan Gunung Merapi.

BAB III : PANDANGAN TEOLOGIS MASYARAKAT KINAHREJO TENTANG

GUNUNG MERAPI

Dalam bab ini diuraikan pandangan teologis masyarakat daerah penelitian mengenai/terhadap

Gunung Merapi. Secara khusus akan digali pandangan teologis masyarakat daerah penelitian

pasca erupsi 2010 dan cerita-cerita umum yang terkait, termasuk di dalamnya adalah

kepercayaan masyarakat yang terakumulasi dalam mitos-mitos seputar Gunung Merapi. Bab

ini menjadi sebuah langkah observasi dan analisis penulisan tesis.

BAB IV : BERTEOLOGI KONTEKSTUAL ATAS BENCANA

Dalam bab ini akan dirumuskan Teologi kontekstual atas bencana terkait dengan keberadaan

Gunung Merapi dan aktivitas erupsinya. Teologi yang coba diurai dan dibangun dalam tesis

ini diharapkan akan berguna bagi praksis berteologi jemaat GKJ khususnya yang berada di

seputar lereng Gunung Merapi ataupun masyarakat pada umumnya. Penulis akan melakukan

langkah interpretasi terhadap hasil observasi/penelitian dan analisis yang disajikan dalam bab

sebelumnya. Untuk itu, dalam bab ini akan disampaikan pula rekomendasi aksi pastoral yang

dapat dilakukan bagi korban erupsi Merapi.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan, saran dan penutup.

@UKDW