toxoplasma
-
Upload
shawn-dyer -
Category
Documents
-
view
40 -
download
3
description
Transcript of toxoplasma
BAB I
PENDAHULUAN
Bell’s palsy atau yang biasa disebut kelumpuhan wajah idiopatik merupakan
penyebab yang paling umum dari kelumpuhan wajah unilateral selain stroke. Bell’s
Palsy adalah kelumpuhan saraf wajah perifer yang bersifat akut, unilateral dan
merupakan salah satu gangguan neurologis yang paling sering mempengaruhi saraf
kranial. Bell’s palsy juga merupakan penyebab tersering kelumpuhan wajah di
seluruh dunia yaitu sekitar 60-75% dari kasus kelumpuhan wajah akut unilateral.1
Insiden tahunan Bell’s palsy tercatat sekitar 11,5-53,3 kasus per 100.000
orang pada populasi yang berbeda.2 Di dunia, insiden tertinggi ditemukan dalam
sebuah penelitian di Seckori, Jepang, pada tahun 1986, dan kejadian terendah
ditemukan di Swedia pada tahun 1971.3 Kebanyakan studi populasi umumnya
menunjukkan kejadian tahunan dari 15-30 kasus per 100.000 penduduk.1
Kejadian Bell's palsy adalah sama baik pada laki-laki maupun perempuan.
Namun, angka kejadian pada perempuan muda berusia 10-19 tahun lebih tinggi
dibandingkan dengan pria dalam kelompok usia yang sama.3 Bell’s palsy juga lebih
sering terjadi pada orang dewasa.4 Angka kejadian yang sedikit lebih tinggi terdapat
pada pasien berusia di atas 65 tahun (59 kasus per 100.000 orang), dan insiden yang
lebih rendah terdapat pada anak-anak di bawah 13 tahun (13 kasus per 100.000
orang). Insiden paling rendah terjadi pada kelompok usia di bawah 10 tahun, dan
insiden tertinggi terdapat pada kelompok usia 60 tahun ke atas.3. Puncak insiden
terjadi pada usia dekade kedua dan keempat, terutama usia 15-45 tahun.1,3
Meskipun bell’s palsy jarang terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan
orang dewasa, namun penyakit ini merupakan penyebab tersering dari paralisis wajah
pada anak-anak.4 Pada umumnya yang paling dikhawatirkan dari kelumpuhan wajah
adalah apakah penyembuhannya dapat berlangsung secara sempurna sehingga fungsi-
fungsi otot wajah kembali seperti sediakala. Penyakit ini juga masih kontroversial
1
baik dari sisi etiologi maupun pengobatan yang diberikan. Karena itulah penulis
tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai penyakit ini agar dapat menjadi salah
satu sumber informasi yang bermanfaat bagi dunia kesehatan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Bell’s palsy adalah gangguan neurologis berupa kelemahan atau kelumpuhan
nervus VII (nervus fasialis) jenis perifer yang timbul secara akut, tanpa adanya
kelainan neurologik lain. Keadaan ini menyebabkan paralisis satu sisi wajah sehingga
terjadi asimetri wajah serta mengganggu fungsi normal, seperti menutup mata dan
makan.5,6 Kemungkinan lain penyebab paralisis nervus fasialis seperti kelainan
kongenital (misalnya trauma saat lahir), penyebab genetik seperti Melkersson-
Rosenthal syndrome, Godenhar syndrome dan penyebab didapat lain seperti infeksi
(Lyme disease, otitis media), trauma, dan tumor perlu disingkirkan sebelum kita
mendiagnosis Bell’s palsy.1,2
Awitan Bell’s palsy biasanya mendadak. Penderita setelah bangun pagi
mendapati salah satu sisi wajahnya asimetris. Gejala awal yang ringan seperti
kesemutan di sekitar bibir atau mata kering biasanya cepat menjadi berat dalam 48
jam atau kurang.6
2.2 Anatomi Nervus Fasialis
Nervus fasialis merupakan saraf kranial terpanjang yang berjalan dalam
tulang, Sehingga sebagian besar kelainan n.fasialis terletak dalam tulang temporal.
N.fasialis terdiri dari 3 komponen yaitu, komponen motoris, sensoris dan para
simpatis. Komponen motoris mempersarafi otot wajah, kecuali m. Levator palpebra
superior. Selain otot wajah n. fasialis juga mempersarafi m. stapedius dan veter
posterior m. digastrikus. Komponen sensori mempersarafi duapertiga anterior lidah
untuk mengecap, melalui n. korda timpani. Komponen parasimpatis memberikan
persarafan pada glandula lakrimalis, glandula submandibula dan glandula lingualis.7,8
N. fasialis mempunyai dua inti, yaitu inti superior dan inti inferior. Inti
superior mendapat persarafan dari korteks motor secara bilateral, sedangkan inti
3
inferior hanya mendapatkan persarafan dari satu sisi. Serabut dari ke dua inti berjalan
mengelilingi inti (nukleus) nervus abdusen (n.VI), kemudian meninggalkan pons
bersama-sama dengan n.VIII (nervus koklea) dan nervus intermedius (Whrisberg),
masuk ke dalam tulang temporal melalui pons akustika interus. Setelah masuk ke
dalam tulang temporal, n.VII (n. fasialis) akan berjalan dalam suatu saluran tulang
yang di sebut kanal fallopi.7,8
Dalam perjalanan di dalam tulang temporal, n.VII di bagi dalam 3 segmen,
yaitu segmen labirin, segmen timpani dan segmen mastoid. Segmen labirin terletak
antara akhir kanal akustik Internus dan ganglion genikulatum. Panjang segmen ini 2-4
milimeter. Segmen timpani (segmen vertikal), terletak di antara bagian distal
ganglion genikulatum dan berjalan ke arah tingkap lonjong (fenestra ovalis) dan
stapes, lalu turun dan kemudian terletak sejajar dengan kanal semikularis horizontal.
Panjang segmen ini kira-kira 12 milimeter. Segmen mastoid (segmen vertikal) mulai
dari dinding media superior kavum timpani. Perubahan posisi dari segmen timpani
menjadi segmen mastoid, disebut segmen piramidal atau genu eksterna. Bagian ini
merupakan bagian paling posterior dari n.VII sehingga mudah terkena trauma pada
saat operasi. Selajutnya segmen ini berjalan ke arah kadal menuju foramen
stilomastoid. Panjang segmen ini 15-20 milimeter.7,8
Setelah keluar dari tulang mastoid, n. VII menuju glandula parotis dan
membagi diri untuk mensarafi otot-otot wajah. Di dalam tulang temporal n.VII
memberikan 3 cabang penting, yaitu nervus petrosus superior mayor, nervus
stapedius dan korda timpani. Nervus petrosus superior mayor yang keluar dari
ganglion genikulatum. Saraf ini memberikan rangsangan untuk sekresi pada kelenjar
lakrimalis. Nervus stapedius yang mensarafi muskulus stapedius dan berfungsi
sebagai peredam suara. Korda timpani memberikan serabut perasa pada duapertiga
lidah bagian depan.7,8
4
Gambar 1. Anatomi Nervus Fasialis
2.3 Etiologi
Di masa lalu, situasi yang menghasilkan paparan dingin misalnya angin dingin
atau pendingin ruangan dianggap sebagai pemicu terjadinya Bell’s palsy. Namun kini
sebagian besar pakar percaya bahwa herpes simplex virus (HSV) adalah penyebab
umum Bell’s palsy, meskipun hubungan kausal definitif HSV untuk Bell’s palsy
mungkin sulit untuk dibuktikan karena sifat HSV yang cenderung terdapat di mana-
mana (ubiquitous).1,3
Hipotesis bahwa HSV adalah agen penyebab Bell’s palsy menyatakan bahwa
setelah menyebabkan infeksi primer pada bibir, virus berjalan sampai ke akson saraf
sensorik dan tinggal di ganglion genikulata. Pada saat stres, virus aktif kembali dan
menyebabkan kerusakan lokal pada myelin. Hipotesis ini pertama kali diukemukakan
pada tahun 1972 oleh McCormick. Studi otopsi telah menunjukkan HSV di ganglion
genikulatum pasien dengan Bell’s palsy. Murakami et al melakukan polymerase
chain reaction (PCR) assay menguji cairan endoneural dari nervus facialis pada
pasien Bell’s palsy yang menjalani operasi dan menemukan HSV dalam 11 dari 14
kasus.3
5
Selain infeksi HSV, etiologi yang mungkin untuk Bell’s palsy diantaranya
adalah infeksi herpes zoster, penyakit Lyme, sifilis, Epstein-Barr infeksi virus,
cytomegalovirus, human immunodeficiency virus [HIV], Mycoplasma dan penyakit
mikrovaskuler (diabetes mellitus dan hipertensi). Bell palsy juga baru-baru ini
ditemukan terjadi pasca infeksi saluran pernapasan atas.3
Bell’s palsy pernah dilaporkan terjadi pasca pemberian imunisasi dengan
inactivated trivalent influenza vaccine (TIV) dan vaksin hepatitis B virus (HBV).
Namun studi epidemiologi yang mempelajari hubungan antara imunisasi dengan
penyakit ini pada anak-anak masih sangat sedikit. Dalam sebuah studi di California,
Rowhani-Rahbar et al menemukan bahwa tidak ada hubungannya antara imunisasi
TIV, HBV ataupun vaksin lainnya dengan kejadian Bell’s palsy dalam interval 1-14
hari, 1-28 hari dan 29-56 hari pasca imunisasi pada anak-anak berumur 18 tahun ke
bawah.9
Bell’s palsy mungkin terjadi sekunder dari reaksi virus dan/atau autoimun
yang menyebabkan saraf wajah mengalami demyelinisasi sehingga mengakibatkan
kelumpuhan wajah unilateral. Riwayat keluarga menderita Bell’s palsy telah
dilaporkan pada sekitar 4% kasus. Pengaruh genetik dalam kasus tersebut mungkin
bersifat autosomal dominan dengan penetrasi yang rendah, namun faktor predisposisi
yang diwariskan masih belum jelas. Riwayat keluarga mungkin juga positif untuk
saraf lainnya, akar saraf, atau gangguan pleksus (misalnya neuralgia trigeminal) pada
saudara kandung. Selain itu, ada laporan Bell’s palsy familial dengan defisit
neurologis, termasuk oftalmoplegia dan tremor esensial. Sebuah bentuk yang jarang
dari Bell’s palsy familial cenderung terjadi pada perempuan usia remaja. Namun
dikarenakan ada faktor predisposisi lingkungan yang cukup kuat untuk terjadinya
Bell’s palsy, yaitu etiologi virus, maka riwayat keluarga positif kemungkinan tidak
mengindikasikan penyebab yang bersifat genetik.3
6
2.4 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insiden tahunan Bell’s palsy adalah sekitar 23 kasus per
100.000 orang. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan dalam sebuah penelitian di
Seckori, Jepang, pada tahun 1986, dan kejadian terendah ditemukan di Swedia pada
tahun 1971. Kebanyakan studi populasi umumnya menunjukkan kejadian tahunan
dari 15-30 kasus per 100.000 penduduk.2,3
Bell’s palsy diperkirakan menyumbang sekitar 60-75% dari kasus
kelumpuhan wajah akut unilateral, dengan sisi kanan merupakan sisi yang paling
sering terkena (63%). Kekambuhan terhadap penyakit ini dilaporkan sebesar 4-14%.
Bell’s palsy bilateral simultan dapat juga terjadi, namun cukup jarang yaitu sekitar
23% dari kelumpuhan wajah bilateral dan memiliki tingkat kekambuhan kurang dari
1% untuk kelumpuhan saraf unilateral wajah. Sebagian besar pasien dengan
kelumpuhan wajah bilateral memiliki sindrom Guillain-Barré, sarkoidosis, penyakit
Lyme, meningitis (infeksi atau neoplastik), atau neurofibroma bilateral (pada pasien
dengan tipe neurofibromatosis tipe 2).3
Orang dengan diabetes memiliki risiko 29% lebih tinggi dari yang
dipengaruhi oleh Bell’s palsy dibandingkan orang tanpa diabetes. Dengan demikian,
mengukur kadar glukosa darah pada saat mendiagnosis Bell palsy juga dapat
mendeteksi diabetes yang belum terdiagnosis. Penderita diabetes 30% lebih mungkin
untuk mengalami pemulihan yang hanya bersifat parsial dibandingkan dengan pasien
nondiabetes. Kekambuhan Bell’s palsy juga lebih sering terjadi pada pasien dengan
diabetes. Selain pada penderita diabetes, Bell’s palsy juga lebih sering terjadi pada
orang dengan immunocompromised atau pada wanita hamil dengan preeklamsia.3
Bell's palsy mempengaruhi jenis kelamin dalam jumlah yang sama baik laki-
laki maupun perempuan. Namun, angka kejadian pada perempuan muda berusia 10-
19 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan pria dalam kelompok usia yang sama.
Wanita hamil memiliki risiko 3,3 kali lebih tinggi terkena penyakit Bell's palsy
daripada wanita yang tidak hamil dan penyakit ini terjadi paling sering pada trimester
ketiga.2,3,6,10
7
Secara umum, Bell’s palsy lebih sering terjadi pada orang dewasa. Angka
kejadian yang sedikit lebih tinggi terdapat pada pasien berusia di atas 65 tahun (59
kasus per 100.000 orang), dan insiden yang lebih rendah terdapat pada anak-anak di
bawah 13 tahun (13 kasus per 100.000 orang). Insiden paling rendah terjadi pada
kelompok usia di bawah 10 tahun, dan insiden tertinggi terdapat pada kelompok usia
60 tahun ke atas. Usia puncak adalah antara 20 dan 40 tahun. Penyakit ini juga terjadi
pada orang tua berusia 70-80 tahun.3,4
2.5 Patofisiologi
Patofisiologi Bell's palsy hingga kini masih menjadi perdebatan.
Sebuah teori populer menduga bahwa edema dan iskemik menyebabkan kompresi
nervus fasialis dalam kanal di tulang temporal. Kompresi nervus tersebut dapat
terlihat pada pemeriksaan MRI. Penyebab edema dan iskemik masih belum dapat
dipastikan. Kemungkinan adalah vasospasme perifer pembuluh darah yang
memperdarahi nervus fasialis, atau mononeuritis virus. Hal ini menimbulkan
terjadinya edema saraf, secara sekunder mengganggu aliran kapiler dan limfe ke
saraf, sehingga terjadi gangguan fungsi yang parsial atau total.3,11,12
Bagian pertama dari kanalis fasialis, segmen labirin, merupakan daerah paling
sempit; foramen meatal di segmen ini memiliki diameter hanya sekitar 0,66 mm.
lokasi ini diduga sebagai lokasi tersering terjadinya kompresi nervus facialis pada
Bell's palsy. Mengingat batas-batas yang rapat dari kanalis fasialis, kemungkinan
besar proses inflamasi, demielinasi, iskemik, atau penekanan dapat mengganggu
konduksi saraf di wilayah ini.3,12
Cedera pada saraf wajah pada Bell's palsy berada di perifer inti saraf. Cedera
ini diperkirakan terjadi di dekat atau pada ganglion genikulatum. Jika lesi berada di
proksimal ganglion genikulatum, paralisis motorik diikuti dengan kelainan saraf
otonom dan pengecapan. Lesi antara ganglion genikulatum dan asal Korda timpani
menghasilkan efek yang sama, kecuali bahwa mereka lakrimasi cadang. Jika lesi pada
foramen stylomastoideum, gejala yang tampak hanya paralisis fasial.3
8
2.6 Gejala Klinis
Gejala klinis pada Bell’s palsy meliputi:3,6
- Terjadinya kelumpuhan atau kelemahan otot-otot wajah unilateral secara tiba-
tiba. Ketika pasien mengangkat alis, dahi di sisi yang mengalami kelumpuhan
tetap datar. Ketika pasien tersenyum, wajah menjadi terdistorsi dan tertarik ke
sisi yang sehat
- Hilangnya kerutan pada dahi dan lipatan nasolabial di sisi wajah yang
mengalami kelumpuhan
- Nyeri postaurikular
- Hiperakusis (sensitif terhadap suara)
- Nyeri pada telinga atau mastoid maupun di bagian dalam telinga
- Kesemutan atau mati rasa dari pipi / mulut
- Sulit berkedip atau menutup kelopak mata
- Epiphora (aliran air mata yang berlebihan)
- Menurunnya produksi air mata (mata kering)
- Nyeri okular
- Penglihatan kabur
- Gangguan pengecapan dan salivasi yang berlebihan atau berkurang.
2.7 Diagnosis
Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik untuk Bell’s palsy antara lain:
- Pemeriksaan otologi:
Pneumatic otoscopy dan pemeriksaan garpu tala, terutama jika terdapat tanda-
tanda otitis media akut atau kronis
- Pemeriksaan okular:
Pasien sering tidak dapat benar-benar menutup mata pada sisi yang terkena
- Pemeriksaan oral:
9
Pemeriksaan fungsi pengecapan dan kelenjar saliva
- Pemeriksaan neurologis:
Semua saraf kranial terutama nervus fasialis, pemeriksaan sensorik dan
motorik.3
Pemeriksaan fungsi n. fasialis7
Tujuan pemeriksaan fungsi n. fasialis ialah untuk menentukan letak lesi dan
menentukan derajat kelumpuhan. Derajat kelumpuhan ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan fungsi motorik yang dihitung dalam persen.
1. Pemeriksaan fungsi saraf motorik
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya
mimik dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan kesepuluh otot-otot tersebut
secara berurutan dari sisi superior adalah sebagai berikut :
a. m. frontalis: diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas
b. m. sourcilier: diperiksa degan cara mengerutkan alis
c. m. piramidalis: diperiksa degan cara mengangkat dan mengerutkan hidung ke
atas
d. m. orbikularis okuli: diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata dengan
kuat
e. m. zigomatikus: diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil memperlihatkan
gigi
f. m. relever komunis: diperiksa degan cara memoncongkan mulut ke depan
sambil memperlihatkan gigi
g. m. businator: diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi
h. m. orbikularis oris: diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul
i. m. triangularis: diperiksa dengan cara menarik kedua bibir ke bawah
j. m. mentalis: diperiksa dengan cara memoncongkan mulut tertutup rapat ke
depan.7
10
Pada tiap gerakan dari kesepuluh otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan kiri:
a. untuk gerakan yang normal dan simetris di nilai angka tiga (3).
b. Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu (1).
c. Diantaranya dinilai dengan angka dua (2).
d. Tidak ada gerak sama sekali dinilai dengan angka nol (0).
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai nilai tiga
puluh(30).7
2. Tonus
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan terhadap
kesempurnaan mimik/ekspresi muka. Freyss menganggap penting akan fungsi tonus
sehingga mengadakan penelitian pada setiap tingkatan kelompok otot muka, bukan
pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan bahwa tonus yang jelek memberikan
gambaran prognosis yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15)
yaitu seluruh terdapat lima tingkatan dikalikan 3 untuk setiap tingkatan. Apabila
terdapat hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai minus dua (-2) pada
setiap tingkatan tergantung dari garis gradasinya.7
3. Sinkinesis
Sinkinesis menentukan suatu komplikasi dari paresis fasialis yang sering kita
jumpai. Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri,
selalu timbul gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot
orbikularis oris pun ikut berkontraksi dan sudut mulut terangkat. Bila ia disuruh
menggembungkan pipi, kelopak mata ikut merapat.5 Cara mengetahui ada tidaknya
sinkinesis adalah sebagai berikut :
a. Penderita diminta untuk memejamkan mata dengan kuat kemudian kita
melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau pergerakan
normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2).kalau pergerakan pada
sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan sisi normal nilainya dikurangi
satu (-1) atau dua (-2). Tergantung dari gradasinya.
11
b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi, kemudian
kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah. Penilaian seperti
pada (a).
c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan emosi)
dengan memperlihatkan pergerakan otot-otot disekitar mulut. Nilai satu kalau
pergerkan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak simetris.7
4. Hemispasme
Hemispasme merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada penyembuhan
paresis fasialis yang berat. Diperiksa dengan cara penderita diminta untuk melakukan
gerakan-gerakan bersahaya seperti mengedip–ngedipkan mata berulang-ulang maka
akan tampak jelas gerakan otot-otot pada sudut bibir bawah atau sudut mata bawah.
Pada penderita yang berat kadang-kadang otot-otot platisma di daerah leher juga ikut
bergerak. Untuk setiap gerakan hemispasme dinilai dengan angka minus satu (-1).7
5. Gustometri
Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah di persarafi oleh n. korda timpani,
salah satu cabang n. fasialis. Pada pemeriksaan fungsi n. korda timpani adalah
perbedaan ambang rangsang antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda
50% antara kedua sisi adalah patologis.7
6. Schirmer Test atau Naso-Lacrymal Reflex
Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk mengetahui fungsi serabut-
serabut pada simpati dari n. fasialis yang disalurkan melalui nervus petrosus
superfisisalis mayor setinggi ganglion genikulatum. Dengan pemeriksaan ini dapat
dihitung berapa banyak sekresi kelenjar lakrimalis. Cara pemeriksaan dengan
meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm, panjang 5-10 cm pada dasar
konjungtiva. Freyss menyatakan bahwa kalau ada beda kanan atau kiri lebih atau
sama dengan 50% maka dianggap patologis.7
12
7. Refleks Stapedius
Untuk menilai refleks stapedius di gunakan elektroakustik impendans meter,
yaitu dengan cara memberikan rangsang pada m. stapedius yang bertujuan untuk
mengetahui fungsi N. stapedius cabang N.VII.7
Pemeriksaan lain ialah dengan alat gustometer. Dengan pemeriksaan
gustometer ini dapat ditentukan ambang kecap dari pasien. Untuk mengetahui
ambang rangsang permukaan n. VII yang kuar dari foramen stilomastoid, dilakukan
pemeriksaan NET (nerve exitability test) dengan membedakan kiri dan kanan.
Perbedaan yang lebih dari 3,5 mA menandakan fungsi n.VII dalam keadaan serius.7
Pada lesi yang terletak di atas ganglion genikulatum hampir selalu diikuti oleh
kelainan audiovestibuler. Oleh karena itu perlu diperiksa audiovestibuler.
Pemeriksaan radiologi dan elektromigrafi, dilakukan untuk melengkapi pemeriksaan.7
Penetapan penurunan fungsi n.VII juga dapat dilakukan dengan metode
pemeriksaan menurut House-Brackman. Sistem penilaian yang dikembangkan oleh
House dan Brackmann mengkategorikan Bell’s palsy pada Grade I sampai VI, yaitu
sebagai berikut
Grade I : Fungsi wajah yang normal
Grade II : Disfungsi ringan
Grade III : Disfungsi moderat
Grade IV : Disfungsi cukup parah
Grade V : Disfungsi parah
Grade VI : Paralisis total7
Dalam kebanyakan kasus, diagnosis Bell’s palsy sudah dapat ditegakkan
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Namun jika gejala klinis meragukan
ataupun kelumpuhan terjadi selama lebih dari 6-8 minggu, maka dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut dengan pemeriksaan
penunjang. Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk mendiagnosa
13
Bell’s palsy. Pemeriksaan penunjang terutama bertujuan untuk mengeksklusikan
kelainan-kelainan ataupun diagnosis banding lain.3 Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan yaitu:
1. Laboratorium
- Rapid plasma reagin (RPR) dan/atau venereal disease research laboratory
(VDRL) test atau fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-ABS) test
- Skrining HIV dengan cara enzim-linked immunosorbent assay (ELISA)
dan/atau Western blot
- Hitung Sel darah lengkap (Complete Blood Cell count)
- Tingkat sedimentasi eritrosit
- Pemeriksaan fungsi tiroid
- Kadar glukosa darah dan HbA1c
- Analisis cairan serebrospinal
Selain tes di atas, pemeriksaan titer serum untuk virus herpes simpleks
(HSV) dapat diperoleh. Namun, tes ini biasanya tidak membantu, karena sifat
virus ini yang sering terdapat di mana-mana. Pemeriksaan tingkat antibodi
Antineutrofil sitoplasma (Antineutrophil cytoplasmic antibody/cANCA)
diindikasikan untuk mengeksklusikan Wegener granulomatosis. Di daerah
endemis penyakit Lyme, sebaiknya diperiksa titer serum (immunoglobulin M
[IgM] dan IgG) untuk Borrelia burgdorferi. Titer serum (IgM dan IgA) untuk
Mycoplasma pneumoniae juga dapat diperiksa. Sebuah studi di Jerman
mengukur titer tersebut pada pasien dengan Bell’s palsy dan menemukan
bahwa beberapa pasien memiliki titer tinggi untuk M. pneumoniae, meskipun
hanya 2 orang dengan hasil tes positif yangmemiliki gejala pernafasan.3,6
2. Radiologi
Pencitraan dengan CT scan atau metode lain diindikasikan jika ada
temuan fisik yang berhubungan atau jika terjadi paresis yang progresif. CT
scan dapat menunjukkan arsitektur tulang temporal dan dapat digunakan jika
dicurigai keadaan patologis lain.3
14
MRI berguna sebagai untuk menyingkirkan kemungkinan keadaan
patologis lain sebagai penyebab kelumpuhan dan lebih disukai untuk
pencitraan cerebellopontine angle. MRI pada pasien dengan Bell’s palsy
mungkin menunjukkan kompresi nervus facialis pada atau dekat ganglion
genikulatum. MRI juga dapat menunjukkan neoplasma yang menekan saraf
wajah. Tumor yang menekan atau melibatkan saraf wajah misalnya
schwannoma (paling sering), hemangioma, meningioma, dan sclerosing
hemangioma.3
3. Uji kecepatan hantar saraf dan EMG
Dilakukan untuk menilai fungsi saraf wajah. Pemeriksaan ini paling
berguna apabila dilakukan 3-10 hari setelah onset kelumpuhan. Namun
Sebagian besar pemeriksaan elektromiografi/konduksi saraf tidak
menunjukkan hasil abnormal selama 3 minggu setelah terjadinya cedera saraf
perifer.3,6
2.8 Penatalaksanaan
Karena orang-orang dengan Bell’s palsy umumnya memiliki prognosis yang
sangat baik, dan karena penyembuhan secara spontan cukup sering terjadi, maka
pengobatan Bell’s palsy masih kontroversial. Tujuan pengobatan adalah untuk
mengembalikan fungsi saraf wajah (nervus VII) dan mengurangi kerusakan saraf.
Pengobatan dapat dipertimbangkan untuk pasien yang datang berobat dalam waktu 1-
4 hari dari onset kelumpuhan.3
American Academy of Neurology (AAN) menerbitkan sebuah parameter
praktek pada tahun 2001 yang menyatakan bahwa steroid mungkin efektif dan
acyclovir (bersama dengan prednison) cukup efektif untuk pengobatan Bell’s palsy.
Belum ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan bedah dekompresi wajah pada
penderita penyakit ini. Pada tahun 2012, AAN merilis pedoman (guideline) yang
menyatakan bahwa steroid kemungkinan besar sangat mungkin efektif dan
meningkatkan kemungkinan pemulihan fungsi saraf wajah pada onset baru Bell’s
15
palsy. Berbagai tindakan nonfarmakologik telah diujicobakan untuk mengobati Bell’s
palsy, termasuk terapi fisik (misalnya, latihan wajah, pelatihan neuromuskular) dan
akupunktur. Tidak ada efek samping dari perawatan ini. Laporan yang ada
menunjukkan bahwa terapi fisik dapat memberikan efek berupa pemulihan yang lebih
cepat dan mengurangi gejala sisa, namun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut
untuk memastikan manfaat kedua terapi tersebut.3,12
Penatalaksanaan Bell’s palsy terdiri dari:
a. Farmakoterapi
Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mencegah
komplikasi. Obat-obatan yang digunakan dalam kasus-kasus Bell’s palsy yakni
kortikosteroid dan antiviral. Perawatan dini dengan kortikosteroid adalah pengobatan
yang paling diterima secara luas, tetapi tetap kontroversial karena kebanyakan pasien
sembuh tanpa pengobatan. Literatur kurang mendukung penggunaan antiviral baik
sebagai monoterapi maupun terapi kombinasi, meskipun pengobatan dengan
kombinasi kortikosteroid dan agen antiviral agak lebih didukung.3
Kortikosteroid
Prednisone, obat standar yang digunakan dalam menangani Bell’s palsy, merupakan
glukokortikoid yang mudah diserap dari saluran pencernaan. Obat ini memiliki efek
anti-inflamasi dan modulasi imun, serta efek metabolik yang mendalam dan
bervariasi. Untuk hasil terbaik, pengobatan prednison hendaknya dimulai dalam 72
jam pertama setelah onset gejala.3
Antiviral
Acyclovir dan valacyclovir telah diberikan dalam pengobatan Bell’s palsy
sebagai kombinasi dengan prednison atau sebagai monoterapi pada pasien dengan
kontraindikasi terhadap prednison. Penggunaan antiviral telah terbukti
menguntungkan pada pasien dengan kelumpuhan wajah berat hingga total.3
Acyclovir bekerja menghambat replikasi DNA virus. Obat ini menghambat
aktivitas HSV-1 dan HSV-2. Pasien umumnya mengalami nyeri yang berkurang dan
resolusi lesi kulit yang lebih cepat apabila menggunakan acyclovir dalam waktu 48
16
jam setelah onset ruam. Valacyclovir adalah prodrug yang dengan cepat diubah
menjadi acyclovir. Obat ini lebih mahal dibandingkan acyclovir, tetapi memiliki
regimen dosis yanglebih nyaman.3
b. Perawatan Mata
Perawatan mata sangat penting dalam penanganan Bell’s palsy. Mata pasien
berisiko kering, terjadi abrasi kornea, dan ulkus kornea. Perawatan mata tujuannya
adalah untuk mencegah terjadinya kekeringan pada kornea karena kelopak mata yang
tidak dapat menutup sempurna dan produksi air mata yang berkurang. Perawatan ini
dapat dilakukan dengan menggunakan artificial tear solution pada waktu pagi dan
siang hari dan salep mata pada waktu tidur. Pasien juga dianjurkan menggunakan
kacamata bila keluar rumah. Bila telah terjadi abrasi kornea atau keratitis, maka
dibutuhkan penatalaksanaan bedah untuk melindungi kornea seperti partial
tarsorrhaphy.10,12
c. Fisioterapi
Fisioterapi dapat dilakukan pada stadium akut atau bersamaan dengan
pemberian kortikosteroid. Tujuan fisioterapi adalah untuk mempertahankan tonus otot
yang lumpuh. Caranya yaitu dengan memberikan radiasi sinar infra red pada sisi
yang lumpuh dengan jarak 2 ft (60 cm) selama 10 menit. Terapi ini diberikan setiap
hari sampai terdapat kontraksi aktif dari otot dan 2 kali dalam seminggu sampai
tercapainya penyembuhan yang komplit. Di samping itu juga dapat dilakukan
massage pada otot wajah selama 5 menit pagi dan sore hari.12
d. Pembedahan
Terapi pembedahan pada kasus Bell’s palsy masih kontroversi. Terapi
dekompresi saraf fasialis hanya dilakukan pada kelumpuhan yang komplit atau hasil
pemeriksaan elektroneurography (ENoG) menunjukkan penurunan amplitudo lebih
dari 90%. Karena lokasi lesi saraf fasialis ini sering terdapat pada segmen labirin,
maka pada pembedahan digunakan pendekatan middle fossa subtemporal craniotomy
sedangkan bila lesi terdapat pada segmen mastoid dan timpani digunakan pendekatan
transmastoid. Pilihan bedah untuk Bell’s palsy meliputi:
17
- Dekompresi saraf wajah (facial nerve decompression)
- Pengangkatan lemak subokularis okuli (Subocularis oculi fat/SOOF lift)
- Menggunakan perangkat implan yang ditempatkan ke dalam kelopak mata
- Tarsorrhaphy
- Transposisi otot temporalis
- Grafting saraf wajah
- Direct brow lift
Bukti menunjukkan bahwa perbaikan dengan menggunakan kombinasi
prosedur bedah yang disesuaikan dengan temuan klinis pada pasien memberikan hasil
yang baik dalam memperbaiki gejala dan exposure mata. Kebanyakan pasien dengan
kornea terpapar yang parah akibat dari lagoftalmus dengan atau tanpa ektropion
lumpuh telah menerima tindakan kombinasi bedah berupa penempatan jalur lateral
yang tarsal (lateral tarsal strip placement), pengangkatan SOOF, dan implantasi gold-
weight. Pada pasien tanpa paparan berat dapat dilakukan tindakan berupa prosedur
tunggal ataupun kombinasi.3
2.9 Prognosis
Perjalanan Bell’s palsy bervariasi mulai dari penyembuhan awal yang komplit
sampai cedera saraf substansial dengan gejala sisa permanen. Berdasarkan
prognostiknya, penderita Bell’s palsy dapat terbagi ke dalam 3 kelompok:
- Kelompok 1 mengalami penyembuhan sempurna fungsi motorik wajah tanpa
disertai gejala sisa
- Kelompok 2 mengalami pemulihan fungsi motorik wajah secara tidak
sempurna, tetapi tidak ada cacat kosmetik yang jelas bagi mata yang tak
terlatih
- Kelompok 3 mengalami gejala sisa neurologis permanen yang tampak jelas,
baik secara kosmetik maupun klinis.3
18
Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s palsy sembuh tanpa cacat terlihat dalam
waktu 6 minggu sampai 3 bulan. Penggunaan skala penilaian Sunnybrook
(Sunnybrook grading scale) untuk fungsi saraf wajah pada 1 bulan pertama
dianjurkan sebagai sarana untuk memprediksi probabilitas pemulihan.Kebanyakan
pasien yang menderita Bell’s palsy memiliki neurapraxia atau blok konduksi saraf
lokal. Pasien-pasien ini cenderung mengalami pemulihan saraf yang cepat dan
sempurna. Pasien dengan axonotmesis, dengan gangguan akson, memiliki pemulihan
yang cukup baik, tetapi biasanya tidak sempurna.3
Faktor risiko dianggap berhubungan dengan outcome yang buruk pada pasien
dengan Bell’s palsy, faktor risiko tersebut diantaranya (1) usia lebih dari 60 tahun, (2)
paralisis komplit, dan (3) penurunan rasa atau aliran saliva pada sisi yang mengalami
kelumpuhan (biasanya 10 - 25% dibandingkan dengan sisi yang normal pasien).
Faktor lain yang diduga terkait dengan outcome yang buruk yakni rasa nyeri di daerah
aurikularis posterior dan penurunan lakrimasi.3
Pasien yang berusia 60 tahun atau lebih memiliki kemungkinan sekitar 40%
untuk sembuh sempurna dan sebagian besar mengalami gejala sisa. Pasien di bawah
30 tahun hanya 10-15% yang mengalami penyembuhan tidak sempurna dan/atau
gejala sisa jangka panjang. Semakin cepat terjadi penyembuhan, semakin kecil
kemungkinan kemungkinan terjadinya gejala sisa, dengan rincian sebagai berikut:
- Jika pemulihan fungsi terlihat dalam waktu 3 minggu, maka kemungkinan
besar pasien akan sembuh sempurna
- Jika pemulihan terlihat antara 3 minggu hingga 2 bulan, maka outcome
biasanya memuaskan
- Jika pemulihan tidak juga terlihat sampai 2-4 bulan sejak onset, kemungkinan
untuk terjadinya gejala sisa permanen (termasuk paresis sisa dan synkinesis)
lebih tinggi
19
- Jika pemulihan tidak terjadi dalam 4 bulan, maka pasien lebih mungkin untuk
mengalami gejala sisa seperti synkinesis, crocodile tears, dan (jarang) kejang
hemifasial.
- Bell’s palsy terjadi berulang pada 4-14% dari pasien, dengan satu sumber
menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan sebesar 7%. Kelumpuhan bisa
kambuh pada sisi yang sama atau berlawanan dari kelumpuhan awal.
Kekambuhan biasanya dikaitkan dengan riwayat keluarga Bell’s palsy
berulang. Namun, pada sebagian besar pasien ditemukan etiologi yang
mendasari untuk kambuh, sehingga mengeliminasi pendapat bahwa Bell’s
palsy merupakan suatu penyakit idiopatik.3
Pasien dengan kelumpuhan wajah ipsilateral berulang sebaiknya menjalani
MRI atau CT scan untuk menyingkirkan penyebab yang bersifat neoplastik ataupun
inflamasi (misalnya multiple sclerosis, sarcoidosis). Penyakit berulang atau bilateral
harus dipikirkan juga kemungkinan miastenia gravis.3
20
BAB III
KESIMPULAN
Bell’s palsy adalah gangguan neurologis berupa kelemahan atau kelumpuhan
nervus VII (nervus fasialis) jenis perifer yang timbul secara akut, tanpa adanya
kelainan neurologik lain. Gangguan terjadi pada nervus VII dan umumnya tidak
permanen. Sebagian besar pakar percaya bahwa herpes simplex virus (HSV) adalah
penyebab umum Bell’s palsy. Selain itu etiologi yang mungkin untuk Bell’s palsy
diantaranya adalah infeksi herpes zoster, penyakit Lyme, sifilis, Epstein-Barr infeksi
virus, cytomegalovirus, human immunodeficiency virus [HIV], Mycoplasma dan
penyakit mikrovaskuler (diabetes mellitus dan hipertensi). Bell’s palsy juga baru-baru
ini ditemukan terjadi pasca infeksi saluran pernapasan atas.
Penanganan terhadap Bell’s Palsy masih bersifat kontroversial. Prinsip terapi
adalah dengan pemberian kortikosteroid ataupun dikombinasi dengan antiviral,
perawatan mata, fisioterapi dan terapi bedah. Pasien dengan Bell’s palsy dapat
sembuh sempurna ataupun dengan gejala sisa. Pasien dengan usia di atas 60 tahun
lebih besar kemungkinannya untuk mengalami gejala sisa.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Greco A, Gallo A, Fusconi M, Marinelli C, Macri GF, de Vincentiis M. Bell’s palsy and autoimmunity. Autoimmunity Reviews 2012; 12: 323-8
2. Rowhani-Rahbar A, Baxter R, Rasgon B, Ray P, Black S, Klein JO et al. Epidemiologic and Clinical Features of Bell’s Palsy among Children in Northern California. Neuroepidemiology 2012; 38: 252–8
3. Taylor DC. Bell Palsy. Medscape Reference [serial online] November 2012 [cited 25 Mar 2013]. Dakses dari: http://emedicine. medscape.com/ article/1146903-overview
4. Kumar S, Garg S, Mittal A, Sahni JK. Bell’s palsy in early childhood: A series of six cases. Indian Journal of Otology 2013; 18(3): 140-2
5. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: FKUI; 2008. h. 59-60
6 Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC; 2009. h. 137-41
7. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Perifer. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta: FKUI; 2010. h. 114-7
8. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi keenam. Jakarta: EGC; 2006. h. 790
9. Rowhani-Rahbar A, Klein NP, Lewis N, Fireman B, Ray P, Rasgon B et al. Immunization and Bell’s Palsy in Children: A Case-Centered Analysis. American Journal of Epidemiology 2012; 175 (9): 878-85
10. Ginsberg L. Lecture Notes: Neurologi. Edisi Kedelapan. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008. h. 183
11. Ballenger JJ. Paralisis Nervus Fasial. Dalam Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. h. 558
12. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2006. h. 161-2
22