toxoplasma

35
BAB I PENDAHULUAN Bell’s palsy atau yang biasa disebut kelumpuhan wajah idiopatik merupakan penyebab yang paling umum dari kelumpuhan wajah unilateral selain stroke. Bell’s Palsy adalah kelumpuhan saraf wajah perifer yang bersifat akut, unilateral dan merupakan salah satu gangguan neurologis yang paling sering mempengaruhi saraf kranial. Bell’s palsy juga merupakan penyebab tersering kelumpuhan wajah di seluruh dunia yaitu sekitar 60-75% dari kasus kelumpuhan wajah akut unilateral. 1 Insiden tahunan Bell’s palsy tercatat sekitar 11,5- 53,3 kasus per 100.000 orang pada populasi yang berbeda. 2 Di dunia, insiden tertinggi ditemukan dalam sebuah penelitian di Seckori, Jepang, pada tahun 1986, dan kejadian terendah ditemukan di Swedia pada tahun 1971. 3 Kebanyakan studi populasi umumnya menunjukkan kejadian tahunan dari 15-30 kasus per 100.000 penduduk. 1 Kejadian Bell's palsy adalah sama baik pada laki- laki maupun perempuan. Namun, angka kejadian pada perempuan muda berusia 10-19 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan pria dalam kelompok usia yang sama. 3 Bell’s palsy juga lebih sering terjadi pada orang 1

description

ilmiah

Transcript of toxoplasma

BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s palsy atau yang biasa disebut kelumpuhan wajah idiopatik merupakan

penyebab yang paling umum dari kelumpuhan wajah unilateral selain stroke. Bell’s

Palsy adalah kelumpuhan saraf wajah perifer yang bersifat akut, unilateral dan

merupakan salah satu gangguan neurologis yang paling sering mempengaruhi saraf

kranial. Bell’s palsy juga merupakan penyebab tersering kelumpuhan wajah di

seluruh dunia yaitu sekitar 60-75% dari kasus kelumpuhan wajah akut unilateral.1

Insiden tahunan Bell’s palsy tercatat sekitar 11,5-53,3 kasus per 100.000

orang pada populasi yang berbeda.2 Di dunia, insiden tertinggi ditemukan dalam

sebuah penelitian di Seckori, Jepang, pada tahun 1986, dan kejadian terendah

ditemukan di Swedia pada tahun 1971.3 Kebanyakan studi populasi umumnya

menunjukkan kejadian tahunan dari 15-30 kasus per 100.000 penduduk.1

Kejadian Bell's palsy adalah sama baik pada laki-laki maupun perempuan.

Namun, angka kejadian pada perempuan muda berusia 10-19 tahun lebih tinggi

dibandingkan dengan pria dalam kelompok usia yang sama.3 Bell’s palsy juga lebih

sering terjadi pada orang dewasa.4 Angka kejadian yang sedikit lebih tinggi terdapat

pada pasien berusia di atas 65 tahun (59 kasus per 100.000 orang), dan insiden yang

lebih rendah terdapat pada anak-anak  di bawah 13 tahun (13 kasus per 100.000

orang). Insiden paling rendah terjadi pada kelompok usia di bawah 10 tahun, dan

insiden tertinggi terdapat pada kelompok usia 60 tahun ke atas.3. Puncak insiden

terjadi pada usia dekade kedua dan keempat, terutama usia 15-45 tahun.1,3

Meskipun bell’s palsy jarang terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan

orang dewasa, namun penyakit ini merupakan penyebab tersering dari paralisis wajah

pada anak-anak.4 Pada umumnya yang paling dikhawatirkan dari kelumpuhan wajah

adalah apakah penyembuhannya dapat berlangsung secara sempurna sehingga fungsi-

fungsi otot wajah kembali seperti sediakala. Penyakit ini juga masih kontroversial

1

baik dari sisi etiologi maupun pengobatan yang diberikan. Karena itulah penulis

tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai penyakit ini agar dapat menjadi salah

satu sumber informasi yang bermanfaat bagi dunia kesehatan.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Bell’s palsy adalah gangguan neurologis berupa kelemahan atau kelumpuhan

nervus VII (nervus fasialis) jenis perifer yang timbul secara akut, tanpa adanya

kelainan neurologik lain. Keadaan ini menyebabkan paralisis satu sisi wajah sehingga

terjadi asimetri wajah serta mengganggu fungsi normal, seperti menutup mata dan

makan.5,6 Kemungkinan lain penyebab paralisis nervus fasialis seperti kelainan

kongenital (misalnya trauma saat lahir), penyebab genetik seperti Melkersson-

Rosenthal syndrome, Godenhar syndrome dan penyebab didapat lain seperti infeksi

(Lyme disease, otitis media), trauma, dan tumor perlu disingkirkan sebelum kita

mendiagnosis Bell’s palsy.1,2

Awitan Bell’s palsy biasanya mendadak. Penderita setelah bangun pagi

mendapati salah satu sisi wajahnya asimetris. Gejala awal yang ringan seperti

kesemutan di sekitar bibir atau mata kering biasanya cepat menjadi berat dalam 48

jam atau kurang.6

2.2 Anatomi Nervus Fasialis

Nervus fasialis merupakan saraf kranial terpanjang yang berjalan dalam

tulang, Sehingga sebagian besar kelainan n.fasialis terletak dalam tulang temporal.

N.fasialis terdiri dari 3 komponen yaitu, komponen motoris, sensoris dan para

simpatis. Komponen motoris mempersarafi otot wajah, kecuali m. Levator palpebra

superior. Selain otot wajah n. fasialis juga mempersarafi m. stapedius dan veter

posterior m. digastrikus. Komponen sensori mempersarafi duapertiga anterior lidah

untuk mengecap, melalui n. korda timpani. Komponen parasimpatis memberikan

persarafan pada glandula lakrimalis, glandula submandibula dan glandula lingualis.7,8

N. fasialis mempunyai dua inti, yaitu inti superior dan inti inferior. Inti

superior mendapat persarafan dari korteks motor secara bilateral, sedangkan inti

3

inferior hanya mendapatkan persarafan dari satu sisi. Serabut dari ke dua inti berjalan

mengelilingi inti (nukleus) nervus abdusen (n.VI), kemudian meninggalkan pons

bersama-sama dengan n.VIII (nervus koklea) dan nervus intermedius (Whrisberg),

masuk ke dalam tulang temporal melalui pons akustika interus. Setelah masuk ke

dalam tulang temporal, n.VII (n. fasialis) akan berjalan dalam suatu saluran tulang

yang di sebut kanal fallopi.7,8

Dalam perjalanan di dalam tulang temporal, n.VII di bagi dalam 3 segmen,

yaitu segmen labirin, segmen timpani dan segmen mastoid. Segmen labirin terletak

antara akhir kanal akustik Internus dan ganglion genikulatum. Panjang segmen ini 2-4

milimeter. Segmen timpani (segmen vertikal), terletak di antara bagian distal

ganglion genikulatum dan berjalan ke arah tingkap lonjong (fenestra ovalis) dan

stapes, lalu turun dan kemudian terletak sejajar dengan kanal semikularis horizontal.

Panjang segmen ini kira-kira 12 milimeter. Segmen mastoid (segmen vertikal) mulai

dari dinding media superior kavum timpani. Perubahan posisi dari segmen timpani

menjadi segmen mastoid, disebut segmen piramidal atau genu eksterna. Bagian ini

merupakan bagian paling posterior dari n.VII sehingga mudah terkena trauma pada

saat operasi. Selajutnya segmen ini berjalan ke arah kadal menuju foramen

stilomastoid. Panjang segmen ini 15-20 milimeter.7,8

Setelah keluar dari tulang mastoid, n. VII menuju glandula parotis dan

membagi diri untuk mensarafi otot-otot wajah. Di dalam tulang temporal n.VII

memberikan 3 cabang penting, yaitu nervus petrosus superior mayor, nervus

stapedius dan korda timpani. Nervus petrosus superior mayor yang keluar dari

ganglion genikulatum. Saraf ini memberikan rangsangan untuk sekresi pada kelenjar

lakrimalis. Nervus stapedius yang mensarafi muskulus stapedius dan berfungsi

sebagai peredam suara. Korda timpani memberikan serabut perasa pada duapertiga

lidah bagian depan.7,8

4

Gambar 1. Anatomi Nervus Fasialis

2.3 Etiologi

Di masa lalu, situasi yang menghasilkan paparan dingin misalnya angin dingin

atau pendingin ruangan dianggap sebagai pemicu terjadinya Bell’s palsy. Namun kini

sebagian besar pakar percaya bahwa herpes simplex virus (HSV) adalah penyebab

umum Bell’s palsy, meskipun hubungan kausal definitif HSV untuk Bell’s palsy

mungkin sulit untuk dibuktikan karena sifat HSV yang cenderung terdapat di mana-

mana (ubiquitous).1,3

Hipotesis bahwa HSV adalah agen penyebab Bell’s palsy menyatakan bahwa

setelah menyebabkan infeksi primer pada bibir, virus berjalan sampai ke akson saraf

sensorik dan tinggal di ganglion genikulata. Pada saat stres, virus aktif kembali dan

menyebabkan kerusakan lokal pada myelin. Hipotesis ini pertama kali diukemukakan

pada tahun 1972 oleh McCormick. Studi otopsi telah menunjukkan HSV di ganglion

genikulatum pasien dengan Bell’s palsy. Murakami et al melakukan polymerase

chain reaction (PCR) assay menguji cairan endoneural dari nervus facialis pada

pasien Bell’s palsy yang menjalani operasi dan menemukan HSV dalam 11 dari 14

kasus.3

5

Selain infeksi HSV, etiologi yang mungkin untuk Bell’s palsy diantaranya

adalah infeksi herpes zoster, penyakit Lyme, sifilis, Epstein-Barr infeksi virus,

cytomegalovirus, human immunodeficiency virus [HIV], Mycoplasma dan penyakit

mikrovaskuler (diabetes mellitus dan hipertensi). Bell palsy juga baru-baru ini

ditemukan terjadi pasca infeksi saluran pernapasan atas.3

Bell’s palsy pernah dilaporkan terjadi pasca pemberian imunisasi dengan

inactivated trivalent influenza vaccine (TIV) dan vaksin hepatitis B virus (HBV).

Namun studi epidemiologi yang mempelajari hubungan antara imunisasi dengan

penyakit ini pada anak-anak masih sangat sedikit. Dalam sebuah studi di California,

Rowhani-Rahbar et al menemukan bahwa tidak ada hubungannya antara imunisasi

TIV, HBV ataupun vaksin lainnya dengan kejadian Bell’s palsy dalam interval 1-14

hari, 1-28 hari dan 29-56 hari pasca imunisasi pada anak-anak berumur 18 tahun ke

bawah.9

Bell’s palsy mungkin terjadi sekunder dari reaksi virus dan/atau autoimun

yang menyebabkan saraf wajah mengalami demyelinisasi sehingga mengakibatkan

kelumpuhan wajah unilateral. Riwayat keluarga menderita Bell’s palsy telah

dilaporkan pada sekitar 4% kasus. Pengaruh genetik dalam kasus tersebut mungkin

bersifat autosomal dominan dengan penetrasi yang rendah, namun faktor predisposisi

yang diwariskan masih belum jelas. Riwayat keluarga mungkin juga positif untuk

saraf lainnya, akar saraf, atau gangguan pleksus (misalnya neuralgia trigeminal) pada

saudara kandung. Selain itu, ada laporan Bell’s palsy familial dengan defisit

neurologis, termasuk oftalmoplegia dan tremor esensial. Sebuah bentuk yang jarang

dari Bell’s palsy familial cenderung terjadi pada perempuan usia remaja. Namun

dikarenakan ada faktor predisposisi lingkungan yang cukup kuat untuk terjadinya

Bell’s palsy, yaitu etiologi virus, maka riwayat keluarga positif kemungkinan tidak

mengindikasikan penyebab yang bersifat genetik.3

6

2.4 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, insiden tahunan Bell’s palsy adalah sekitar 23 kasus per

100.000 orang. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan dalam sebuah penelitian di

Seckori, Jepang, pada tahun 1986, dan kejadian terendah ditemukan di Swedia pada

tahun 1971. Kebanyakan studi populasi umumnya menunjukkan kejadian tahunan

dari 15-30 kasus per 100.000 penduduk.2,3

Bell’s palsy diperkirakan menyumbang sekitar 60-75% dari kasus

kelumpuhan wajah akut unilateral, dengan sisi kanan merupakan sisi yang paling

sering terkena (63%). Kekambuhan terhadap penyakit ini dilaporkan sebesar 4-14%.

Bell’s palsy bilateral simultan dapat juga terjadi, namun cukup jarang yaitu sekitar

23% dari kelumpuhan wajah bilateral dan memiliki tingkat kekambuhan kurang dari

1% untuk kelumpuhan saraf unilateral wajah. Sebagian besar pasien dengan

kelumpuhan wajah bilateral memiliki sindrom Guillain-Barré, sarkoidosis, penyakit

Lyme, meningitis (infeksi atau neoplastik), atau neurofibroma bilateral (pada pasien

dengan tipe neurofibromatosis tipe 2).3

Orang dengan diabetes memiliki risiko 29% lebih tinggi dari yang

dipengaruhi oleh Bell’s palsy dibandingkan orang tanpa diabetes. Dengan demikian,

mengukur kadar glukosa darah pada saat mendiagnosis Bell palsy juga dapat

mendeteksi diabetes yang belum terdiagnosis. Penderita diabetes 30% lebih mungkin

untuk mengalami pemulihan yang hanya bersifat parsial dibandingkan dengan pasien

nondiabetes. Kekambuhan Bell’s palsy juga lebih sering terjadi pada pasien dengan

diabetes. Selain pada penderita diabetes, Bell’s palsy juga lebih sering terjadi pada

orang dengan immunocompromised atau pada wanita hamil dengan preeklamsia.3

Bell's palsy mempengaruhi jenis kelamin dalam jumlah yang sama baik laki-

laki maupun perempuan. Namun, angka kejadian pada perempuan muda berusia 10-

19 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan pria dalam kelompok usia yang sama.

Wanita hamil memiliki risiko 3,3 kali lebih tinggi terkena penyakit Bell's palsy

daripada wanita yang tidak hamil dan penyakit ini terjadi paling sering pada trimester

ketiga.2,3,6,10

7

Secara umum, Bell’s palsy lebih sering terjadi pada orang dewasa. Angka

kejadian yang sedikit lebih tinggi terdapat pada pasien berusia di atas 65 tahun (59

kasus per 100.000 orang), dan insiden yang lebih rendah terdapat pada anak-anak  di

bawah 13 tahun (13 kasus per 100.000 orang). Insiden paling rendah terjadi pada

kelompok usia di bawah 10 tahun, dan insiden tertinggi terdapat pada kelompok usia

60 tahun ke atas. Usia puncak adalah antara 20 dan 40 tahun. Penyakit ini juga terjadi

pada orang tua berusia 70-80 tahun.3,4

2.5 Patofisiologi

Patofisiologi Bell's palsy hingga kini masih menjadi perdebatan.

Sebuah teori populer menduga bahwa edema dan iskemik menyebabkan kompresi

nervus fasialis dalam kanal di tulang temporal. Kompresi nervus tersebut dapat

terlihat pada pemeriksaan MRI. Penyebab edema dan iskemik masih belum dapat

dipastikan. Kemungkinan adalah vasospasme perifer pembuluh darah yang

memperdarahi nervus fasialis, atau mononeuritis virus. Hal ini menimbulkan

terjadinya edema saraf, secara sekunder mengganggu aliran kapiler dan limfe ke

saraf, sehingga terjadi gangguan fungsi yang parsial atau total.3,11,12

Bagian pertama dari kanalis fasialis, segmen labirin, merupakan daerah paling

sempit; foramen meatal di segmen ini memiliki diameter hanya sekitar 0,66 mm.

lokasi ini diduga sebagai lokasi tersering terjadinya kompresi nervus facialis pada

Bell's palsy. Mengingat batas-batas yang rapat dari kanalis fasialis, kemungkinan

besar proses inflamasi, demielinasi, iskemik, atau penekanan dapat mengganggu

konduksi saraf di wilayah ini.3,12

Cedera pada saraf wajah pada Bell's palsy berada di perifer inti saraf. Cedera

ini diperkirakan terjadi di dekat atau pada ganglion genikulatum. Jika lesi berada di

proksimal ganglion genikulatum, paralisis motorik diikuti dengan kelainan saraf

otonom dan pengecapan. Lesi antara ganglion genikulatum dan asal Korda timpani

menghasilkan efek yang sama, kecuali bahwa mereka lakrimasi cadang. Jika lesi pada

foramen stylomastoideum, gejala yang tampak hanya paralisis fasial.3

8

2.6 Gejala Klinis

Gejala klinis pada Bell’s palsy meliputi:3,6

- Terjadinya kelumpuhan atau kelemahan otot-otot wajah unilateral secara tiba-

tiba. Ketika pasien mengangkat alis, dahi di sisi yang mengalami kelumpuhan

tetap datar. Ketika pasien tersenyum, wajah menjadi terdistorsi dan tertarik ke

sisi yang sehat

- Hilangnya kerutan pada dahi dan lipatan nasolabial di sisi wajah yang

mengalami kelumpuhan

- Nyeri postaurikular

- Hiperakusis (sensitif terhadap suara)

- Nyeri pada telinga atau mastoid maupun di bagian dalam telinga

- Kesemutan atau mati rasa dari pipi / mulut

- Sulit berkedip atau menutup kelopak mata

- Epiphora (aliran air mata yang berlebihan)

- Menurunnya produksi air mata (mata kering)

- Nyeri okular

- Penglihatan kabur

- Gangguan pengecapan dan salivasi yang berlebihan atau berkurang.

2.7 Diagnosis

Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik untuk Bell’s palsy antara lain:

- Pemeriksaan otologi:

Pneumatic otoscopy dan pemeriksaan garpu tala, terutama jika terdapat tanda-

tanda otitis media akut atau kronis

- Pemeriksaan okular:

Pasien sering tidak dapat benar-benar menutup mata pada sisi yang terkena

- Pemeriksaan oral:

9

Pemeriksaan fungsi pengecapan dan kelenjar saliva

- Pemeriksaan neurologis:

Semua saraf kranial terutama nervus fasialis, pemeriksaan sensorik dan

motorik.3

Pemeriksaan fungsi n. fasialis7

Tujuan pemeriksaan fungsi n. fasialis ialah untuk menentukan letak lesi dan

menentukan derajat kelumpuhan. Derajat kelumpuhan ditetapkan berdasarkan hasil

pemeriksaan fungsi motorik yang dihitung dalam persen.

1. Pemeriksaan fungsi saraf motorik

Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya

mimik dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan kesepuluh otot-otot tersebut

secara berurutan dari sisi superior adalah sebagai berikut :

a. m. frontalis: diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas

b. m. sourcilier: diperiksa degan cara mengerutkan alis

c. m. piramidalis: diperiksa degan cara mengangkat dan mengerutkan hidung ke

atas

d. m. orbikularis okuli: diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata dengan

kuat

e. m. zigomatikus: diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil memperlihatkan

gigi

f. m. relever komunis: diperiksa degan cara memoncongkan mulut ke depan

sambil memperlihatkan gigi

g. m. businator: diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi

h. m. orbikularis oris: diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul

i. m. triangularis: diperiksa dengan cara menarik kedua bibir ke bawah

j. m. mentalis: diperiksa dengan cara memoncongkan mulut tertutup rapat ke

depan.7

10

Pada tiap gerakan dari kesepuluh otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan kiri:

a. untuk gerakan yang normal dan simetris di nilai angka tiga (3).

b. Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu (1).

c. Diantaranya dinilai dengan angka dua (2).

d. Tidak ada gerak sama sekali dinilai dengan angka nol (0).

Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai nilai tiga

puluh(30).7

2. Tonus

Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan terhadap

kesempurnaan mimik/ekspresi muka. Freyss menganggap penting akan fungsi tonus

sehingga mengadakan penelitian pada setiap tingkatan kelompok otot muka, bukan

pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan bahwa tonus yang jelek memberikan

gambaran prognosis yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15)

yaitu seluruh terdapat lima tingkatan dikalikan 3 untuk setiap tingkatan. Apabila

terdapat hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai minus dua (-2) pada

setiap tingkatan tergantung dari garis gradasinya.7

3. Sinkinesis

Sinkinesis menentukan suatu komplikasi dari paresis fasialis yang sering kita

jumpai. Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri,

selalu timbul gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot

orbikularis oris pun ikut berkontraksi dan sudut mulut terangkat. Bila ia disuruh

menggembungkan pipi, kelopak mata ikut merapat.5 Cara mengetahui ada tidaknya

sinkinesis adalah sebagai berikut :

a. Penderita diminta untuk memejamkan mata dengan kuat kemudian kita

melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau pergerakan

normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2).kalau pergerakan pada

sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan sisi normal nilainya dikurangi

satu (-1) atau dua (-2). Tergantung dari gradasinya.

11

b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi, kemudian

kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah. Penilaian seperti

pada (a).

c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan emosi)

dengan memperlihatkan pergerakan otot-otot disekitar mulut. Nilai satu kalau

pergerkan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak simetris.7

4. Hemispasme

Hemispasme merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada penyembuhan

paresis fasialis yang berat. Diperiksa dengan cara penderita diminta untuk melakukan

gerakan-gerakan bersahaya seperti mengedip–ngedipkan mata berulang-ulang maka

akan tampak jelas gerakan otot-otot pada sudut bibir bawah atau sudut mata bawah.

Pada penderita yang berat kadang-kadang otot-otot platisma di daerah leher juga ikut

bergerak. Untuk setiap gerakan hemispasme dinilai dengan angka minus satu (-1).7

5. Gustometri

Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah di persarafi oleh n. korda timpani,

salah satu cabang n. fasialis. Pada pemeriksaan fungsi n. korda timpani adalah

perbedaan ambang rangsang antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda

50% antara kedua sisi adalah patologis.7

6. Schirmer Test atau Naso-Lacrymal Reflex

Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk mengetahui fungsi serabut-

serabut pada simpati dari n. fasialis yang disalurkan melalui nervus petrosus

superfisisalis mayor setinggi ganglion genikulatum. Dengan pemeriksaan ini dapat

dihitung berapa banyak sekresi kelenjar lakrimalis. Cara pemeriksaan dengan

meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm, panjang 5-10 cm pada dasar

konjungtiva. Freyss menyatakan bahwa kalau ada beda kanan atau kiri lebih atau

sama dengan 50% maka dianggap patologis.7

12

7. Refleks Stapedius

Untuk menilai refleks stapedius di gunakan elektroakustik impendans meter,

yaitu dengan cara memberikan rangsang pada m. stapedius yang bertujuan untuk

mengetahui fungsi N. stapedius cabang N.VII.7

Pemeriksaan lain ialah dengan alat gustometer. Dengan pemeriksaan

gustometer ini dapat ditentukan ambang kecap dari pasien. Untuk mengetahui

ambang rangsang permukaan n. VII yang kuar dari foramen stilomastoid, dilakukan

pemeriksaan NET (nerve exitability test) dengan membedakan kiri dan kanan.

Perbedaan yang lebih dari 3,5 mA menandakan fungsi n.VII dalam keadaan serius.7

Pada lesi yang terletak di atas ganglion genikulatum hampir selalu diikuti oleh

kelainan audiovestibuler. Oleh karena itu perlu diperiksa audiovestibuler.

Pemeriksaan radiologi dan elektromigrafi, dilakukan untuk melengkapi pemeriksaan.7

Penetapan penurunan fungsi n.VII juga dapat dilakukan dengan metode

pemeriksaan menurut House-Brackman. Sistem penilaian yang dikembangkan oleh

House dan Brackmann mengkategorikan Bell’s palsy pada Grade I sampai VI, yaitu

sebagai berikut

Grade I : Fungsi wajah yang normal

Grade II : Disfungsi ringan

Grade III : Disfungsi moderat

Grade IV : Disfungsi cukup parah

Grade V : Disfungsi parah

Grade VI : Paralisis total7

Dalam kebanyakan kasus, diagnosis Bell’s palsy sudah dapat ditegakkan

dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Namun jika gejala klinis meragukan

ataupun kelumpuhan terjadi selama lebih dari 6-8 minggu, maka dapat

dipertimbangkan untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut dengan pemeriksaan

penunjang. Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk mendiagnosa

13

Bell’s palsy. Pemeriksaan penunjang terutama bertujuan untuk mengeksklusikan

kelainan-kelainan ataupun diagnosis banding lain.3 Pemeriksaan penunjang yang

dapat dilakukan yaitu:

1. Laboratorium

-  Rapid plasma reagin (RPR) dan/atau venereal disease research laboratory

(VDRL) test atau fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-ABS) test

- Skrining HIV dengan cara enzim-linked immunosorbent assay (ELISA)

dan/atau Western blot

- Hitung Sel darah lengkap (Complete Blood Cell count)

- Tingkat sedimentasi eritrosit

- Pemeriksaan fungsi tiroid

- Kadar glukosa darah dan HbA1c

- Analisis cairan serebrospinal

Selain tes di atas, pemeriksaan titer serum untuk virus herpes simpleks

(HSV) dapat diperoleh. Namun, tes ini biasanya tidak membantu, karena sifat

virus ini yang sering terdapat di mana-mana. Pemeriksaan tingkat antibodi

Antineutrofil sitoplasma (Antineutrophil cytoplasmic antibody/cANCA)

diindikasikan untuk mengeksklusikan Wegener granulomatosis. Di daerah

endemis penyakit Lyme, sebaiknya diperiksa titer serum (immunoglobulin M

[IgM] dan IgG) untuk Borrelia burgdorferi. Titer serum (IgM dan IgA) untuk

Mycoplasma pneumoniae juga dapat diperiksa. Sebuah studi di Jerman

mengukur titer tersebut pada pasien dengan Bell’s palsy dan menemukan

bahwa beberapa pasien memiliki titer tinggi untuk M. pneumoniae, meskipun

hanya 2 orang dengan hasil tes positif yangmemiliki gejala pernafasan.3,6

2. Radiologi

Pencitraan dengan CT scan atau metode lain diindikasikan jika ada

temuan fisik yang berhubungan atau jika terjadi paresis yang progresif. CT

scan dapat menunjukkan arsitektur tulang temporal dan dapat digunakan jika

dicurigai keadaan patologis lain.3

14

MRI berguna sebagai untuk menyingkirkan kemungkinan keadaan

patologis lain sebagai penyebab kelumpuhan dan lebih disukai untuk

pencitraan cerebellopontine angle. MRI pada pasien dengan Bell’s palsy

mungkin menunjukkan kompresi nervus facialis pada atau dekat ganglion

genikulatum. MRI juga dapat menunjukkan neoplasma yang menekan saraf

wajah. Tumor yang menekan atau melibatkan saraf wajah misalnya

schwannoma (paling sering), hemangioma, meningioma, dan sclerosing

hemangioma.3

3. Uji kecepatan hantar saraf dan EMG

Dilakukan untuk menilai fungsi saraf wajah. Pemeriksaan ini paling

berguna apabila dilakukan 3-10 hari setelah onset kelumpuhan. Namun

Sebagian besar pemeriksaan elektromiografi/konduksi saraf tidak

menunjukkan hasil abnormal selama 3 minggu setelah terjadinya cedera saraf

perifer.3,6

2.8 Penatalaksanaan

Karena orang-orang dengan Bell’s palsy umumnya memiliki prognosis yang

sangat baik, dan karena penyembuhan secara spontan cukup sering terjadi, maka

pengobatan Bell’s palsy masih kontroversial. Tujuan pengobatan adalah untuk

mengembalikan fungsi saraf wajah (nervus VII) dan mengurangi kerusakan saraf.

Pengobatan dapat dipertimbangkan untuk pasien yang datang berobat dalam waktu 1-

4 hari dari onset kelumpuhan.3

American Academy of Neurology (AAN) menerbitkan sebuah parameter

praktek pada tahun 2001 yang menyatakan bahwa steroid mungkin efektif dan

acyclovir (bersama dengan prednison) cukup efektif untuk pengobatan Bell’s palsy.

Belum ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan bedah dekompresi wajah pada

penderita penyakit ini. Pada tahun 2012, AAN merilis pedoman (guideline) yang

menyatakan bahwa steroid kemungkinan besar sangat mungkin efektif dan

meningkatkan kemungkinan pemulihan fungsi saraf wajah pada onset baru Bell’s

15

palsy. Berbagai tindakan nonfarmakologik telah diujicobakan untuk mengobati Bell’s

palsy, termasuk terapi fisik (misalnya, latihan wajah, pelatihan neuromuskular) dan

akupunktur. Tidak ada efek samping dari perawatan ini. Laporan yang ada

menunjukkan bahwa terapi fisik dapat memberikan efek berupa pemulihan yang lebih

cepat dan mengurangi gejala sisa, namun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut

untuk memastikan manfaat kedua terapi tersebut.3,12

Penatalaksanaan Bell’s palsy terdiri dari:

a. Farmakoterapi

Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mencegah

komplikasi. Obat-obatan yang digunakan dalam kasus-kasus Bell’s palsy yakni

kortikosteroid dan antiviral. Perawatan dini dengan kortikosteroid adalah pengobatan

yang paling diterima secara luas, tetapi tetap kontroversial karena kebanyakan pasien

sembuh tanpa pengobatan. Literatur kurang mendukung penggunaan antiviral baik

sebagai monoterapi maupun terapi kombinasi, meskipun pengobatan dengan

kombinasi kortikosteroid dan agen antiviral agak lebih didukung.3

Kortikosteroid

Prednisone, obat standar yang digunakan dalam menangani Bell’s palsy, merupakan

glukokortikoid yang mudah diserap dari saluran pencernaan. Obat ini memiliki efek

anti-inflamasi dan modulasi imun, serta efek metabolik yang mendalam dan

bervariasi. Untuk hasil terbaik, pengobatan prednison hendaknya dimulai dalam 72

jam pertama setelah onset gejala.3

Antiviral

Acyclovir dan valacyclovir telah diberikan dalam pengobatan Bell’s palsy

sebagai kombinasi dengan prednison atau sebagai monoterapi pada pasien dengan

kontraindikasi terhadap prednison. Penggunaan antiviral telah terbukti

menguntungkan pada pasien dengan kelumpuhan wajah berat hingga total.3

Acyclovir bekerja menghambat replikasi DNA virus. Obat ini menghambat

aktivitas HSV-1 dan HSV-2. Pasien umumnya mengalami nyeri yang berkurang dan

resolusi lesi kulit yang lebih cepat apabila menggunakan acyclovir dalam waktu 48

16

jam setelah onset ruam. Valacyclovir adalah prodrug yang dengan cepat diubah

menjadi acyclovir. Obat ini lebih mahal dibandingkan acyclovir, tetapi memiliki

regimen dosis yanglebih nyaman.3

b. Perawatan Mata

Perawatan mata sangat penting dalam penanganan Bell’s palsy. Mata pasien

berisiko kering, terjadi abrasi kornea, dan ulkus kornea. Perawatan mata tujuannya

adalah untuk mencegah terjadinya kekeringan pada kornea karena kelopak mata yang

tidak dapat menutup sempurna dan produksi air mata yang berkurang. Perawatan ini

dapat dilakukan dengan menggunakan artificial tear solution pada waktu pagi dan

siang hari dan salep mata pada waktu tidur. Pasien juga dianjurkan menggunakan

kacamata bila keluar rumah. Bila telah terjadi abrasi kornea atau keratitis, maka

dibutuhkan penatalaksanaan bedah untuk melindungi kornea seperti partial

tarsorrhaphy.10,12

c. Fisioterapi

Fisioterapi dapat dilakukan pada stadium akut atau bersamaan dengan

pemberian kortikosteroid. Tujuan fisioterapi adalah untuk mempertahankan tonus otot

yang lumpuh. Caranya yaitu dengan memberikan radiasi sinar infra red pada sisi

yang lumpuh dengan jarak 2 ft (60 cm) selama 10 menit. Terapi ini diberikan setiap

hari sampai terdapat kontraksi aktif dari otot dan 2 kali dalam seminggu sampai

tercapainya penyembuhan yang komplit. Di samping itu juga dapat dilakukan

massage pada otot wajah selama 5 menit pagi dan sore hari.12

d. Pembedahan

Terapi pembedahan pada kasus Bell’s palsy masih kontroversi. Terapi

dekompresi saraf fasialis hanya dilakukan pada kelumpuhan yang komplit atau hasil

pemeriksaan elektroneurography (ENoG) menunjukkan penurunan amplitudo lebih

dari 90%. Karena lokasi lesi saraf fasialis ini sering terdapat pada segmen labirin,

maka pada pembedahan digunakan pendekatan middle fossa subtemporal craniotomy

sedangkan bila lesi terdapat pada segmen mastoid dan timpani digunakan pendekatan

transmastoid. Pilihan bedah untuk Bell’s palsy meliputi:

17

     - Dekompresi saraf wajah (facial nerve decompression)

     - Pengangkatan lemak subokularis okuli (Subocularis oculi fat/SOOF lift)

- Menggunakan perangkat implan yang ditempatkan ke dalam kelopak mata

- Tarsorrhaphy

- Transposisi otot temporalis

- Grafting saraf wajah

- Direct brow lift

Bukti menunjukkan bahwa perbaikan dengan menggunakan kombinasi

prosedur bedah yang disesuaikan dengan temuan klinis pada pasien memberikan hasil

yang baik dalam memperbaiki gejala dan exposure mata. Kebanyakan pasien dengan

kornea terpapar yang parah akibat dari lagoftalmus dengan atau tanpa ektropion

lumpuh telah menerima tindakan kombinasi bedah berupa penempatan jalur lateral

yang tarsal (lateral tarsal strip placement), pengangkatan SOOF, dan implantasi gold-

weight. Pada pasien tanpa paparan berat dapat dilakukan tindakan berupa prosedur

tunggal ataupun kombinasi.3

2.9 Prognosis

Perjalanan Bell’s palsy bervariasi mulai dari penyembuhan awal yang komplit

sampai cedera saraf substansial dengan gejala sisa permanen. Berdasarkan

prognostiknya, penderita Bell’s palsy dapat terbagi ke dalam 3 kelompok:

- Kelompok 1 mengalami penyembuhan sempurna fungsi motorik wajah tanpa

disertai gejala sisa

- Kelompok 2 mengalami pemulihan fungsi motorik wajah secara tidak

sempurna, tetapi tidak ada cacat kosmetik yang jelas bagi mata yang tak

terlatih

- Kelompok 3 mengalami gejala sisa neurologis permanen yang tampak jelas,

baik secara kosmetik maupun klinis.3

18

Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s palsy sembuh tanpa cacat terlihat dalam

waktu 6 minggu sampai 3 bulan. Penggunaan skala penilaian Sunnybrook

(Sunnybrook grading scale) untuk fungsi saraf wajah pada 1 bulan pertama

dianjurkan sebagai sarana untuk memprediksi probabilitas pemulihan.Kebanyakan

pasien yang menderita Bell’s palsy memiliki neurapraxia atau blok konduksi saraf

lokal. Pasien-pasien ini cenderung mengalami pemulihan saraf yang cepat dan

sempurna. Pasien dengan axonotmesis, dengan gangguan akson, memiliki pemulihan

yang cukup baik, tetapi biasanya tidak sempurna.3

Faktor risiko dianggap berhubungan dengan outcome yang buruk pada pasien

dengan Bell’s palsy, faktor risiko tersebut diantaranya (1) usia lebih dari 60 tahun, (2)

paralisis komplit, dan (3) penurunan rasa atau aliran saliva pada sisi yang mengalami

kelumpuhan (biasanya 10 - 25% dibandingkan dengan sisi yang normal pasien).

Faktor lain yang diduga terkait dengan outcome yang buruk yakni rasa nyeri di daerah

aurikularis posterior dan penurunan lakrimasi.3

Pasien yang berusia 60 tahun atau lebih memiliki kemungkinan sekitar 40%

untuk sembuh sempurna dan sebagian besar mengalami gejala sisa. Pasien di bawah

30 tahun hanya 10-15% yang mengalami penyembuhan tidak sempurna dan/atau

gejala sisa jangka panjang. Semakin cepat terjadi penyembuhan, semakin kecil

kemungkinan kemungkinan terjadinya gejala sisa, dengan rincian sebagai berikut: 

- Jika pemulihan fungsi terlihat dalam waktu 3 minggu, maka kemungkinan

besar pasien akan sembuh sempurna

-  Jika pemulihan terlihat antara 3 minggu hingga 2 bulan, maka outcome

biasanya memuaskan

-  Jika pemulihan tidak juga terlihat sampai 2-4 bulan sejak onset, kemungkinan

untuk terjadinya gejala sisa permanen (termasuk paresis sisa dan synkinesis)

lebih tinggi

19

-  Jika pemulihan tidak terjadi dalam 4 bulan, maka pasien lebih mungkin untuk

mengalami gejala sisa seperti synkinesis, crocodile tears, dan (jarang) kejang

hemifasial.

- Bell’s palsy terjadi berulang pada 4-14% dari pasien, dengan satu sumber

menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan sebesar 7%. Kelumpuhan bisa

kambuh pada sisi yang sama atau berlawanan dari kelumpuhan awal.

Kekambuhan biasanya dikaitkan dengan riwayat keluarga Bell’s palsy

berulang. Namun, pada sebagian besar pasien ditemukan etiologi yang

mendasari untuk kambuh, sehingga mengeliminasi pendapat bahwa Bell’s

palsy merupakan suatu penyakit idiopatik.3

Pasien dengan kelumpuhan wajah ipsilateral berulang sebaiknya menjalani

MRI atau CT scan untuk menyingkirkan penyebab yang bersifat neoplastik ataupun

inflamasi (misalnya multiple sclerosis, sarcoidosis). Penyakit berulang atau bilateral

harus dipikirkan juga kemungkinan miastenia gravis.3

20

BAB III

KESIMPULAN

Bell’s palsy adalah gangguan neurologis berupa kelemahan atau kelumpuhan

nervus VII (nervus fasialis) jenis perifer yang timbul secara akut, tanpa adanya

kelainan neurologik lain. Gangguan terjadi pada nervus VII dan umumnya tidak

permanen. Sebagian besar pakar percaya bahwa herpes simplex virus (HSV) adalah

penyebab umum Bell’s palsy. Selain itu etiologi yang mungkin untuk Bell’s palsy

diantaranya adalah infeksi herpes zoster, penyakit Lyme, sifilis, Epstein-Barr infeksi

virus, cytomegalovirus, human immunodeficiency virus [HIV], Mycoplasma dan

penyakit mikrovaskuler (diabetes mellitus dan hipertensi). Bell’s palsy juga baru-baru

ini ditemukan terjadi pasca infeksi saluran pernapasan atas.

Penanganan terhadap Bell’s Palsy masih bersifat kontroversial. Prinsip terapi

adalah dengan pemberian kortikosteroid ataupun dikombinasi dengan antiviral,

perawatan mata, fisioterapi dan terapi bedah. Pasien dengan Bell’s palsy dapat

sembuh sempurna ataupun dengan gejala sisa. Pasien dengan usia di atas 60 tahun

lebih besar kemungkinannya untuk mengalami gejala sisa.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Greco A, Gallo A, Fusconi M, Marinelli C, Macri GF, de Vincentiis M. Bell’s palsy and autoimmunity. Autoimmunity Reviews 2012; 12: 323-8

2. Rowhani-Rahbar A, Baxter R, Rasgon B, Ray P, Black S, Klein JO et al. Epidemiologic and Clinical Features of Bell’s Palsy among Children in Northern California. Neuroepidemiology 2012; 38: 252–8

3. Taylor DC. Bell Palsy. Medscape Reference [serial online] November 2012 [cited 25 Mar 2013]. Dakses dari: http://emedicine. medscape.com/ article/1146903-overview

4. Kumar S, Garg S, Mittal A, Sahni JK. Bell’s palsy in early childhood: A series of six cases. Indian Journal of Otology 2013; 18(3): 140-2

5. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: FKUI; 2008. h. 59-60

6 Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC; 2009. h. 137-41

7. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Perifer. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta: FKUI; 2010. h. 114-7

8. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi keenam. Jakarta: EGC; 2006. h. 790

9. Rowhani-Rahbar A, Klein NP, Lewis N, Fireman B, Ray P, Rasgon B et al. Immunization and Bell’s Palsy in Children: A Case-Centered Analysis. American Journal of Epidemiology 2012; 175 (9): 878-85

10. Ginsberg L. Lecture Notes: Neurologi. Edisi Kedelapan. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008. h. 183

11. Ballenger JJ. Paralisis Nervus Fasial. Dalam Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. h. 558

12. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2006. h. 161-2

22

13. Munilson J, Edward Y, Triana W. Diagnosis dan Penatalaksanaan Bell’s Palsy [serial online] 2011 [cited 25 Mar 2013]. http://repository.unand. ac.id/17446/1/DIAGNOSIS_DAN_TATALAKSANA_BELLS_PALSY_.pdf.

23