Toksikologi

75
BAB I PENDAHULUAN Toksikologi merupakan ilmu yang berkaitan dengan racun. Toksikologi ditekankan pada kandungan kimia atau fisik dari substansi racun dan efek fisiologis pada makhluk hidup, metode kuaitatif dan kuantitatif untuk analisis materi biologis dan nonbiologis, dan perkembangan prosedur untuk mengobati keracunan. Racun dianggap sebagai substansi yang ketika digunakan dalam jumlah yang cukup akan menyebabkan penyakit atau kematian. 1 Racun ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian. Keracunan adalah salah satu masalah kesehatan yang semakin meningkat baik di negara maju maupun negara berkembang. Angka yang pasti dari kejadian keracunan di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun banyak dilaporkan kejadian keracunan di

description

Toksikologi

Transcript of Toksikologi

BAB I

PENDAHULUAN

Toksikologi merupakan ilmu yang berkaitan dengan racun. Toksikologi

ditekankan pada kandungan kimia atau fisik dari substansi racun dan efek

fisiologis pada makhluk hidup, metode kuaitatif dan kuantitatif untuk analisis

materi biologis dan nonbiologis, dan perkembangan prosedur untuk mengobati

keracunan. Racun dianggap sebagai substansi yang ketika digunakan dalam

jumlah yang cukup akan menyebabkan penyakit atau kematian.1

Racun ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang

dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan

kematian. Keracunan adalah salah satu masalah kesehatan yang semakin

meningkat baik di negara maju maupun negara berkembang. Angka yang pasti

dari kejadian keracunan di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun

banyak dilaporkan kejadian keracunan di beberapa rumah sakit, tetapi angka

tersebut tidak menggambarkan kejadian yang sebenarnya di masyarakat. 2,3

Dari data statistik diketahui bahwa penyebab keracunan yang banyak terjadi

di Indonesia adalah akibat paparan pestisida, obat obatan, hidrokarbon, bahan

kimia korosif, alkohol dan beberapa racun alamiah termasuk bisa ular,

tetradotoksin, asam jengkolat dan beberapa tanaman beracun lainnya. Setiap

tahunnya di Amerika puluhan ribu orang meninggal akibat obat-obatan, baik

langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium

toksikologi sangatlah penting sebagai bagian dari investigasi.3,4

Saat ini, pengetahuan tentang toksikologi diperluas, meliputi evaluasi risiko

penggunaan di bidang farmasi, pestisida, dan bahan adiktif makanan, selain itu

pengetahuan tentang penggunaan racun, paparan polusi lingkungan, efek radiasi,

dan peran kimia dan biologis. Toksikologi forensik lebih ditekankan pada deteksi

dan estimasi racun pada jaringan dan cairan tubuh yang didapatkan pada otopsi

atau pada darah, urin, atau cairan lambung pada korban hidup. Jika hasil analisis

toksikologi telah lengkap, ahli toksikologi dapat menginterpretasikan hasil

sebagai efek dan atau psikologis dari racun pada seseorang yang diambil sampel

tubuhnya untuk diperiksa.5

Kerja utama dari toksikologi forensik adalah melakukan analisis kualitatif

maupun kuantitatif dari racun dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan

analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada atau tidaknya racun yang terlibat

dalam tindak kriminal, yang dituduhkan, sebagai bukti dalam tindak kriminal

(forensik) di pengadilan2,3.

Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan, dapat dibagi dalam dua

kelompok, yaitu atas dasar tujuan pemeriksaan itu sendiri bertujuan untuk mencari

penyebab kematian, misalnya karena keracunan sianida, karbonmonoksisa,

insektisida, atau yang lainnya. Kedua untuk mengetahui mengapa suatu peristiwa

dapat terjadi, misalnya kasus pembunuhan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan

pesawat udara, pemerkosaan, dan penyebab lainnya.5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Toksikologi ialah imu yang mempelajari sumber, sifat serta khasiat racun,

gejala-gejala dan pengobatan pada keracunan, serta kelainan yang didapatkan

pada korban yang meninggal.

Toksikologi (berasal dari kata Yunani, toxicos dan logos) merupakan studi

mengenai perilaku dan efek yang merugikan dari suatu zat terhadap

organisme/mahluk hidup. Dalam toksikologi, dipelajari mengenai gejala,

mekanisme, cara detoksifikasi serta deteksi keracunan pada sistim biologis

makhluk hidup. Toksikologi sangat bermanfaat untuk memprediksi atau mengkaji

akibat yang berkaitan dengan bahaya toksik dari suatu zat terhadap manusia dan

lingkungannya.

Racun ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologis

dalam dosis toksis akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan

kematian. Berdasarkan sumber dapat digolongkan menjadi racun yang berasal dari

tumbuh-tumbuhan : opium, kokain, aflatoksin. Dari hewan : bisa/toksin ular/laba-

laba/hewan laut. Mineral : arsen, timah hitam. Berasal dari sintetik : heroin.

Keracunan atau intoksikasi adalah masuknya zat ke dalam tubuh yang dapat

mengakibatkan gangguan kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian. Semua

zat dapat menjadi racun bila diberikan dalam dosis yang tidak seharusnya. Bebeda

dengan alergi, keracunan memiliki gejala yang bervariasi dan harus ditindaki

dengan cepat dan tepat karena penanganan yang kurang tepat tidak menutup

kemungkinan hanya akan memperparah keracunan yang dialami oleh penderitan.

Toksikologi forensik adalah salah satu dari cabang ilmu forensik. Menurut

Saferstein yang dimaksud dengan Forensic Science adalah ”the application of

science to low”, maka secara umum ilmu forensik (forensik sain) dapat dimengerti

sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk penegakan

hukum dan peradilan.

Guna lebih memahami pengertian dan ruang lingkup kerja toksikologi

forensik, maka akan lebih baik sebelumnya jika lebih mengenal apa itu bidang

ilmu toksikologi. Ilmu toksikologi adalah ilmu yang menelaah tentang kerja dan

efek berbahaya zat kimia atau racun terhadap mekanisme biologis suatu

organisme. Racun adalah senyawa yang berpotensi memberikan efek yang

berbahaya terhadap organisme. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan oleh:

dosis, konsentrasi racun di reseptor, sifat fisiko kimis toksikan tersebut, kondisi

bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk

efek yang ditimbulkan. Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi atau

pemanfaatan ilmu toksikologi untuk kepentingan peradilan. Kerja utama dari

toksikologi forensik adalah melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif dari

racun dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan analisisnya ke dalam ungkapan

apakah ada atau tidaknya racun yang terlibat dalam tindak kriminal, yang

dituduhkan, sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Hasil

analisis dan interpretasi temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu

laporan yang sesuai dengan hukum dan perundanganundangan.

Menurut Hukum Acara Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan

Surat Keterangan Ahli atau Surat Keterangan. Jadi toksikologi forensik dapat

dimengerti sebagai pemanfaatan ilmu tosikologi untuk keperluan penegakan

hukum dan peradilan. Toksikologi forensik merupakan ilmu terapan yang dalam

praktisnya sangat didukung oleh berbagai bidang ilmu dasar lainnya, seperti kimia

analisis, biokimia, kimia instrumentasi, farmakologitoksikologi, farmakokinetik,

biotransformasi.

B. Klasifikasi Racun

Berdasarkan sumber dapat digolongkan menjadi racun yang berasal dari

tumbuh-tumbuhan; opium, kokain, kurare, aflatoksin. Dari hewan; bisa/toksin

ular/laba-laba/hewan laut. Mineral; arsen, timah hitam. Dan berasal dari sintetik;

heroin.

Berdasarkan tempat dimana racun berada, dapat dibagi menjadi racun

yang terdapat di alam bebas, misalnya gas racun di alam, racun yang terdapat di

rumah tangga misalnya deterjen, insektisida, pembersih. Racun yang digunakan

dalam pertanian misalnya insektisida, herbesida, pestisida. Racun yang digunakan

dalam industri laboratorium dan industri misalnya asam dan basa kuat, logam

berat. Racun yang terdapat dalam makanan misalnya CN di dalam singkong,

toksin botulinus, bahan pengawet, zat aditif serta racun dalam bentuk obat

misalnya hipnotik sedatif.

C. Efek Kerja Racun

Mekanisme racun dalam menimbulan efek terbagi atas tiga yaitu secara

lokal, sistemik maupun lokal-sistemik.

Racun yang bekerja secara lokal

yaitu racun yang merusak kulit, terutama berasal dari asam atau basa kuat

atau zat kimia lain, seperti: H2SO4, HNO3, HCL, dan NaOH. Biasanya

menimbulkan sensasi nyeri yang heba,rasa terbakar, panas di mulut, sukar

menelan, haus yang hebat, muntah berwarna hitam, sakit perut, oliguria,

konstipasi. Setelah 12 jam dapat terjadi asfiksia, perforasi lambung, dan

neurogenic syok.

Racun yang bekerja secara sistemik

Racun pada golongan ini memiliki akibat atau afinitas pada salah satu

sistem atau organ tubuh yang lebih besar bila dibandingkan dengan sistem

atau organ lainnya. Misalnya CO dan CN yang berpengaruh terhadap

darah dan enzim pernafasan, dan insektisida golongan hidrokarbon yang

di chlor-kan dan phosphorus yang terutama berpengaruh terhadap hati.

Contoh lain misalnya pada keracunan morfin, bisa terjadi asfiksia, edema

paru, depresi SSP, bahkan kematian.

Racun lokal dan sistemik

Racun takan menimbulkan rasa nyeri (efek lokal) dan racun tersebut juga

akan menimbulkan depresi pada susunan saraf pusat (efek sistemik). Hal

tersebut dimungkinkan karena sebagian dari asam karbol diserap dan

berpengaruh pada otak. Bersifat kongestif terhadap mukosa dan erosif

terhadap tunika muscularis GIT dimana penderita muntah, kolik, diare,

serta mengalami gangguan hati dan ginjal.

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerja Racun

1. Cara Pemberian

Setiap racun akan menimbulkan efek yang maksimal pada tubuh jika

diberikan secara tepat. Berdasarkan cara pemberian, maka umumnya racun

paling cepat bekerja jika masuknya racun secara inhalasi. Cara masuk lain

secara berturut-turut melalui intravena, intramuskular, intraperitoneal,

subkutan, peroral dan paling lambat ialah melalui kulit yang sehat.

2. Keadaan tubuh

a. Umur

Orang tua dan anak-anak lebih sensitif misalnya pada barbiturat. Bayi

prematur lebih rentan terhadap obat oleh karena eksresi melalui ginjal

belum sempurna dan aktifitas mikrosom dalam hati belum cukup.

b. Kesehatan

Pada seseorang yang memiliki kerusakan organ seperti penyakit hati

ataupun ginjal biasanya akan lebih mudah mengalami keracunan bila

dibandingkan dengan orang sehat. Meskipun racun yang masuk ke

dalam tubuhnya belum mencapai dosis toksik. Hal ini terjadi karena

proses detoksikasi, dan ekskresinya tidak berjalan dengan baik.

3. Kebiasaan

Faktor ini berpengaruh dalam hal besarnya dosis racun yang dapat

menimbulkan gejala-gejala keracunan atau kematian, yaitu karena

terjadinya toleransi. Tetapi perlu diingat bahwa toleransi itu tidak

selamanya menetap, contohnya pada pecandu alkohol.

4. Alergi-Idiosinkrasi

Banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin, streptomisin, dan preparat

yang mengandung yodium menyebabkan kematian pada orang yang

sensitive terhadap preparat tersebut. Pengaruh langsung racun tergantung

pada takaran. Makin tinggi takaran maka akan semakin cepat (kuat)

keracunan. Konsentrasi berpengaruh pada racun yang bersifat local,

misalnya asam sulfat.

5. Racun itu sendiri

Salah satu faktor yang mempengaruhi kerja racun berasal dari racun itu

sendiri. Berdasarkan dosis, konsentrasi, bentuk dan kombinasinya, adiksi

dan sinergismenya, susunan kimia, serta efek antagonisnya.

E. Mekanisme Kerja dan Efek Racun

Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses

fisika, biokimia, dan biologik yang sangat rumit dan komplek. Proses ini

umumnya dikelompokkan ke dalam tiga fase, yaitu: fase eksposisi toksokinetik

dan fase toksodinamik. Dalam menelaah interaksi xenobiotika/tokson dengan

organisme hidup terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan, yaitu: kerja

xenobiotika pada organisme dan pengaruh organisme terhadap xenobiotika. Yang

dimaksud dengan kerja tokson pada organisme adalah sebagai suatu senyawa

kimia yang aktif secara biologik pada organisme tersebut (aspek toksodinamik).

Sedangkan reaksi organisme terhadap xenobiotika/tokson umumnya dikenal

dengan fase toksokinetik.

Fase eksposisi merupakan kontak suatu organisme dengan xenobiotika,

pada umumnya, kecuali radioaktif, hanya dapat terjadi efek toksik/farmakologi

setelah xenobiotika terabsorpsi. Umumnya hanya tokson yang berada dalam

bentuk terlarut, terdispersi molekular dapat terabsorpsi menuju sistem sistemik.

Dalam konstek pembahasan efek obat, fase ini umumnya dikenal dengan fase

farmaseutika. Fase farmaseutika meliputi hancurnya bentuk sediaan obat,

kemudian zat aktif melarut, terdispersi molekular di tempat kontaknya. Sehingga

zat aktif berada dalam keadaan siap terabsorpsi menuju sistem sistemik. Fase ini

sangat ditentukan oleh faktor-faktor farmseutika dari sediaan farmasi.

Fase toksikinetik disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah

xenobiotika berada dalam ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan

xenobiotika siap untuk diabsorpsi menuju aliran darah atau pembuluh limfe, maka

xenobiotika tersebut akan bersama aliran darah atau limfe didistribusikan ke

seluruh tubuh dan ke tempat kerja toksik (reseptor). Pada saat yang bersamaan

sebagian molekul xenobitika akan termetabolisme, atau tereksresi bersama urin

melalui ginjal, melalui empedu menuju saluran cerna, atau sistem eksresi lainnya.

Fase toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat

kerja toksik) dan juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul

efek toksik/farmakologik. Interaksi tokson-reseptor umumnya merupakan

interaksi yang bolak-balik (reversibel). Hal ini mengakibatkan perubahan

fungsional, yang lazim hilang, bila xenobiotika tereliminasi dari tempat kerjanya

(reseptor). Selain interaksi reversibel, terkadang terjadi pula interaksi tak bolak-

balik (irreversibel) antara xenobiotika dengan subtrat biologik. Interaksi ini

didasari oleh interaksi kimia antara xenobiotika dengan subtrat biologi dimana

terjadi ikatan kimia kovalen yang bersbersifat irreversibel atau berdasarkan

perubahan kimia dari subtrat biologi akibat dari suatu perubaran kimia dari

xenobiotika, seperti pembentukan peroksida. Terbentuknya peroksida ini

mengakibatkan luka kimia pada substrat biologi.

Secara keseluruhan deretan proses sampai terjadinya efek

toksik/farmakologi dapat digambarkan dalam suatu diagram seperti pada gambar

2.1. Dari gambaran singkat di atas dapat digambarkan dengan jelas bahwa efek

toksik/farmakologik suatu xenobiotika tidak hanya ditentukan oleh sifat

toksokinetik xenobiotika, tetapi juga tergantung kepada faktor yang lain seperti:

- bentuk farmasetika dan bahan tambahan yang digunakan,

- jenis dan tempat eksposisi,

- keterabsorpsian dan kecepatan absorpsi,

- distribusi xenobiotika dalam organisme,

- ikatan dan lokalisasi dalam jaringan,

- biotransformasi (proses metabolisme), dan

- keterekskresian dan kecepatan ekskresi, dimana semua faktor di atas dapat

dirangkum ke dalam parameter farmaseutika dan toksokinetika

(farmakokinetika).

Gambar 2.1. Rantai proses pada fase kerja toksik dalam organisme secara biologik

F. Biotransformasi Racun

Tidak bisa dihindari, bahwa setiap harinya manusia akan terpapar oleh

berbagai xenobiotika, baik secara sengaja maupun tidak disengaja untuk tujuan

tertentu. Beberapa xenobiotika tidak menimbulkan bahaya, tetapi sebagian besar

lagi dapat menimbulkan respon-respon biologis, baik yang menguntungkan atau

merugikan bagi organisme tersebut. Respon biologis tersebut seringkali

bergantung pada perubahan kimia yang dialami oleh xenobiotika di dalam tubuh

organisme. Perubahan biokimia yang terjadi dapat mengakhiri respon biologis

atau mungkin terjadi pengaktifan.

Pada umumnya reaksi biotransformasi merubah xonobitika lipofil menjadi

senyawa yang lebih polar sehingga akan lebih mudah diekskresi dari dalam tubuh

organinsme. Karena sel pada umumnya lebih lipofil dari pada lingkungannya,

maka senyawa-senyawa lipofil akan cendrung terakumulasi di dalam sel.

Bioakumulasi xenobiotika di dalam sel pada tingkat yang lebih tinggi yang dapat

mengakibatkan keracunan sel (sitotoksik), namun melalui reaksi biotransformasi

terjadi penurunan kepolaran xenobiotika sehingga akan lebih mudah diekskresi

dari dalam sel, oleh sebab itu keracunan sel akan dapat dihindari.

Pada umumnya senyawa aktif biologis adalah senyawa organik yang

bersifat lipofil, yang umumnya susah dieksresi melalui ginjal, jika tanpa

mengalami perubahan biokimia di dalam tubuh. Senyawa-senyawa lipofil setelah

terfiltrasi glumerular umumya akan dapat direabsorpsi melalui tubili ginjal

menuju sistem peredaran darah. Ekskresi senyawa ini akan belangsung dengan

sangat lambat. Jika senyawa tersebut tidak mengalami perubahan kimia,

kemungkinan akan menimbulkan bahaya yang sangat serius. Senyawa lipofil ini

akan tinggal dalam waktu yang cukup di dalam tubuh, yaitu terdeposisi di

jaringan lemak.

Pada prinsipnya senyawa yang hidrofil akan dengan mudah terekskresi

melalui ginjal. Ekskresi ini adalah jalur utama eliminasi xenobiotika dari dalam

tubuh, oleh sebab itu oleh tubuh sebagian besar senyawa-senyawa lipofil terlebih

dahulu dirubah menjadi senyawa yang lebih bersifat hidrofil, agar dapat dibuang

dari dalam tubuh. Pada awalnya toksikolog berharap melalui berbagai proses

reaksi biokimia tubuh akan terjadi penurunan atau pengilangan toksisitas suatu

toksikan, sehingga pada awalnya reaksi biokimia ini diistilahkan dengan reaksi

”detoksifikasi”. Kebanyakan toksikolog lebih mencurahkan perhatiannya kepada:

bagaimana dan berapa banyak sistem enzim yang terlibat pada proses

detoksifikasi dan metabolisme dari suatu ”endotoksik”. Edotoksik merupakan

senyawa toksik hasil samping dari proses biokimia normal tubuh dalam

mempertahankan kelangsungan hidup. Sebagai contoh beberapa enzim oksidatif

yang terlibat reaksi oksigenase selama metabolisme aerob pada detoksifikasi suatu

tokson dapat mengakibatkan depresi oksidatif dan kerusakan pada jaringan.

Seorang toksikolog seharusnya memiliki pengetahuan dasar dari suatu proses

detoksifikasi guna memahami, memperkirakan, dan menentukan potensial

toksisitas dari suatu senyawa. Dalam subbahasan ini akan diberikan pengetahuan

dasar reaksi metabolisme dari suatu xenobiotika, yang dapat dijadikan

pengetahuan dasar dalam mengkaji toksikologi.

Pada umumnya prose resaksi detoksifikasi/metabolisme akan mengakhiri

efek farmakologi dari xenobiotika (detoksifikasi / inaktivasi). Namun, pada

kenyaaanya terdapat beberapa xenobiotika, justri setelah mengalami reaksi

detoksifikasi/metabolisme terjadi peningkatan aktivitasnya (bioaktivasi), seperti

bromobenzen melalui oksidasi membentuk bentuk bromobenzen epoksid.

Bromobenzen epoksid akan terikat secara kovalen pada makromlekul jaringan hati

dan mengakibatkan nekrosis hati. Oleh sebab itu, dalam hal ini istilah

detoksifikasi kurang tepat digunakan. Para ahli menyatakan lebih tepat

menggunakan istilah biotransformasi untuk menggambarkan reaksi biokimia yang

dialami oleh xenobiotika di dalam tubuh. Biotransformasi belangsung dalam dua

tahap, yaitu reaksi fase I dan fase II. Rekasi-reaksi pada fase I biasanya mengubah

molekul xenobiotika menjadi metabolit yang lebih polar dengan menambahkan

atau memfungsikan suatu kelompok fungsional (-OH, -NH2, -SH, -COOH),

melibatkan reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Kalau metabolit fase I cukup

terpolarkan, maka ia kemungkinannya akan mudah diekskresi. Namun, banyak

produk reaksi fase I tidak segera dieliminasi dan mengalami reaksi berikutnya

dengan suatu subtrat endogen, seperti: asam glukuronida, asam sulfat, asam asetat,

atau asam amino ditempelkan pada gugus polar tadi. Oleh sebab itu reaksi fase II

disebut juga reaksi pengkopelan atau reaksi konjugasi.

Enzim-enzim yang terlibat dalam biotransformasi pada umumnya tidak

spesifik terhadap substrat (lihat tabel 2.1). Enzim ini (seperti monooksigenase,

glukuronidase) umumnya terikat pada membran dari reticulum endoplasmik dan

sebagian terlokalisasi juga pada mitokondria, disamping itu ada bentuk terikat

sebagai enzim terlarut (seperti esterase, amidase, sulfoterase).

Tabel 2.1. Jenis reaksi dan enzim yang terlibat dalam reaksi metabolimse suatu xenobiotika

Sistem enzim yang terlibat pada reaksi fase I umumnya terdapat di dalam

reticulum endoplasmik halus, sedangkan sistem enzim yang terlibat pada reaksi

fase II sebagian besar ditemukan di sitosol. Disamping memetabolisme

xenobiotika, sistem enzim ini juga terlibat dalam reaksi biotransformasi senyawa

endogen (seperti: hormon steroid, biliribun, asam urat, dll). Selain organ-organ

tubuh, bakteri flora usus juga dapat melakukan reaksi metabolisme, khususnya

reaksi reduksi dan hidrolisis.

Gambar 2.2 Mekanisme Kerja Enzim dalam reaksi metabolism atau

xenobiotika

G. Analisis Toksikologi

Analisis toksikologi merupakan pemeriksaan laboratorium yang berfungsi

untuk:

1. Analisa tentang adanya racun.

2. Analisa tentang adanya logam berat yang berbahaya.

3. Analisa tentang adanya asam sianida, fosfor dan arsen.

4. Analisa tentang adanya pestisida baik golongan organochlorin maupun

organophospat.

5. Analisa tentang adanya obat-obatan misalnya: transquilizer, barbiturate,

narkotika, ganja, dan lain sebagainya.

Analitikal toksikologi meliputi isolasi, deteksi, dan penentuan jumlah zat

yang bukan merupakan komponen normal dalam material biologis yang

didapatkan dalam otopsi. Guna toksikologi adalah menolong menentukan sebab

kematian. Kadang-kadang material didapatkan dari pasien yang masih hidup,

misalnya darah, rambut, potongan kuku atau jaringan hasil biopsi. Hasil

toksikologi disini membantu dalam menentukan kasus-kasus yang diduga

keracunan. Pada pengiriman material untuk analitikal toksikologi, diharapkan

dokter mengirimkan material sebanyak mungkin, dengan demikian akan

memudahkan pemeriksaan dan hasilnya akan lebih sempurna. Jaringan tubuh

masing-masing memiliki afinitas yang berbeda terhadap racun-racun tertentu,

misalnya:

Jaringan otak adalah material yang paling baik untuk pemeriksaan racun-

racun organis, baik yang mudah menguap maupun yang tidak mudah

menguap.

Hepar dan ginjal adalah material yang paling baik untuk menentukan

keracunan logam berat yang akut.

Darah dan urin adalah material yang paling baik untuk analisa zat organik

non volatile, misalnya obat sulfa, barbiturate, salisilat dan morfin.

Darah, tulang, kuku, dan rambut merupakan material yang baik untuk

pemeriksaan keracunan logam yang bersifat kronis.

Untuk racun yang efeknya sistemik, harus dapat ditemukan dalam darah

atau organ parenkim ataupun urin. Bila hanya ditemukan dalam lambung saja

maka belum cukup untuk menentukan keracunan zat tersebut. Penemuan racun-

racun yang efeknya sistemik dalam lambung hanyalah merupakan penuntun bagi

seorang analis toksikologi untuk memeriksa darah, organ, dan urin ke arah racun

yang dijumpai dalam lambung tadi. Untuk racun-racun yang efeknya lokal, maka

penentuan dalam lambung sudah cukup untuk dapat dibuat diagnosa.

Secara umum tugas analisis toksikolog forensik (klinik) dalam melakukan

analisis dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu: 1) penyiapan sampel

“sample preparation”, 2) analisis meliputi uji penapisan “screening test” atau

dikenal juga dengan “general unknown test” dan uji konfirmasi yang meliputi uji

identifikasi dan kuantifikasi, 3) langkah terakhir adalah interpretasi temuan

analisis dan penulisan laporan analisis. Berbeda dengan kimia analisis lainnya

(seperti: analisis senyawa obat dan makanan, analisis kimia klinis) pada analisis

toksikologi forensik pada umumnya analit (racun) yang menjadi target analisis,

tidak diketahui dengan pasti sebelum dilakukan analisis. Tidak sering hal ini

menjadi hambatan dalam penyelenggaraan analisis toksikologi forensik, karena

seperti diketahui saat ini terdapat ribuan atau bahkan jutaan senyawa kimia yang

mungkin menjadi target analisis. Untuk mempersempit peluang dari target

analisis, biasanya target dapat digali dari informasi penyebab kasus forensik

(keracunan, kematian tidak wajar akibat keracunan, tindak kekerasan dibawah

pengaruh obat-obatan), yang dapat diperoleh dari laporan pemeriksaan di tempat

kejadian perkara (TKP), atau dari berita acara penyidikan oleh polisi penyidik.

Sangat sering dalam analisis toksikologi forensik tidak diketemukan senyawa

induk, melainkan metabolitnya. Sehingga dalam melakukan analisis toksikologi

forensik, senyawa metabolit juga merupakan target analisis. Sampel dari

toksikologi forensik pada umumnya adalah spesimen biologi seperti: cairan

biologis (darah, urin, air ludah), jaringan biologis atau organ tubuh. Preparasi

sampel adalah salah satu faktor penentu keberhasilan analisis toksikologi forensik

disamping kehadalan penguasaan metode analisis instrumentasi. Berbeda dengan

analisis kimia lainnya, hasil indentifikasi dan kuantifikasi dari analit bukan

merupakan tujuan akhir dari analisis toksikologi forensik. Seorang toksikolog

forensik dituntut harus mampu menerjemahkan apakah analit (toksikan) yang

diketemukan dengan kadar tertentu dapat dikatakan sebagai penyebab keracunan

(pada kasus kematian).

H. Beberapa Contoh Keracunan dan Diagnosis Keracunan

1. Keracunan Sianida

Sianida adalah zat beracun yang sangat mematikan. Sianida telah

digunakan sejak ribuan tahun yang lalu. Sianida juga banyak digunakan pada saat

perang dunia pertama. Efek dari sianida ini sangat cepat dan dapat mengakibatkan

kematian dalam jangka waktu beberapa menit. Hidrogen sianida disebut juga

formonitrile, sedang dalam bentuk cairan dikenal sebagai asam prussit dan asam

hidrosianik.

Hidrogen sianida adalah cairan tidak berwarna atau dapat juga berwarna

biru pucat pada suhu kamar. Bersifat volatile dan mudah terbakar. Hidrogen

sianida dapat berdifusi baik dengan udara dan bahan peledak.Hidrogen sianida

sangat mudah bercampur dengan air sehingga sering digunakan. Bentuk lain ialah

sodium sianida dan potassium sianida yang berbentuk serbuk dan berwarna putih.

Sianida dalam dosis rendah dapat ditemukan di alam dan ada pada setiap produk

yang biasa kita makan atau gunakan. Sianida dapat diproduksi oleh bakteri, jamur

dan ganggan. Sianida juga ditemukan pada rokok, asap kendaraan bermotor, dan

makanan seperti bayam, bambu, kacang, tepung tapioka dan singkong. Selain itu

juga dapat ditemukan pada beberapa produk sintetik.

Sianida banyak digunakan pada industri terutama dalam pembuatan garam

seperti natrium, kalium atau kalsium sianida. Sianida yang digunakan oleh militer

NATO (North American Treaty Organization) adalah yang jenis cair yaitu asam

hidrosianik (HCN).1,3Gejala yang ditimbulkan oleh zat kimia sianida ini

bermacam-macam; mulai dari rasa nyeri pada kepala, mual muntah, sesak nafas,

dada berdebar, selalu berkeringat sampai korban tidak sadar dan apabila tidak

segera ditangani dengan baik akan mengakibatkan kematian. Penatalaksaan dari

korban keracunan ini harus cepat, karena prognosis dari terapi yang diberikan juga

sangat tergantung dari lamanya kontak dengan zat toksik tersebut. Efek utama dari

racun sianida adalah timbulnya hipoksia jaringan yang timbul secara progresif.

Tanda dan Gejala Keracunan Sianida

Gejala dan tanda fisik yang ditemukan sangat tergantung dari;

· Dosis sianida

· Banyaknya paparan

· Jenis paparan

· Tipe komponen dari sianida

Sianida dapat menimbulkan banyak gejala pada tubuh, termasuk pada

tekanan darah, penglihatan, paru, saraf pusat, jantung, sistem endokrin, sistem

otonom dan sistem metabolisme. Biasanya penderita akan mengeluh timbul rasa

pedih dimata karena iritasi dan kesulitan bernafas karena mengiritasi mukosa

saluran pernafasan. Gas sianida sangat berbahaya apabila terpapar dalam

konsentrasi tinggi. Hanya dalam jangka waktu 15 detik tubuh akan merespon

dengan hiperpnea, 15 detik setelah itu sesorang akan kehilangan kesadarannya.

menit kemudian akan mengalami apnea yang dalam jangka waktu 5-8 menit akan

mengakibatkan aktifitas otot jantung terhambat karena hipoksia dan berakhir

dengan kematian. Dalam konsentrasi rendah, efek dari sianida baru muncul sekitar

15-30 menit kemudian, sehingga masih bisa diselamatkan dengan pemberian

antidotum.

Tanda awal dari keracunan sianida adalah;

· Hiperpnea sementara,

· Nyeri kepala,

· Dispnea

· Kecemasan

· Perubahan perilaku seperti agitasi dan gelisah

· Berkeringat banyak, warna kulit kemerahan, tubuh terasa lemah dan vertigo juga

dapat muncul.

Tanda akhir sebagai ciri adanya penekanan terhadap CNS adalah koma dan

dilatasi pupil, tremor, aritmia, kejang-kejang, koma penekanan pada pusat

pernafasan, gagal nafas sampai henti jantung, tetapi gejala ini tidak spesifik bagi

mereka yang keracunan sianida sehingga menyulitkan penyelidikan apabila

penderita tidak mempunyai riwayat terpapar sianida. Karena efek racun dari

sianida adalah memblok pengambilan dan penggunaan dari oksigen, maka akan

didapatkan rendahnya kadar oksigen dalam jaringan. Pada pemeriksaan

funduskopiakan terlihat warna merah terang pada arteri dan vena retina karena

rendahnya penghantaran oksigen untuk jaringan. Peningkatan kadar oksigen pada

pembuluh darah vena akan mengakibatkan timbulnya warna kulit seperti “cherry-

red”, tetapi tanda ini tidak selalu ada.

Pemeriksaan Forensik

Uji kertas saring.

Kertas saring dicelupkan ke dalam larutan asam pikrat jenuh, biarkan

hingga menjadi lembab. Teteskan satu tetes isi lambung atau darah korban,

diamkan sampai agak mengering, kemudian teteskan Na2CO3 10 % 1 tetes. Uji

positif bila terbentuk warna ungu.

Kertas saring dicelupkan ke dalam larutan HNO3 1%, kemudian ke dalam

larutan kanji 1% dan keringkan. Setelah itu kertas saring dipotong-potong seperti

kertas lakmus. Kertas ini dipakai untuk pemeriksaan masal pada pekerja yang

diduga kontak dengan CN. Caranya dengan membasahkan kertas dengan ludah di

bawah lidah. Uji positif bila warna berubah menjadi biru. Hasil uji berwarna biru

muda meragukan sedangkan bila warna tidak berubah (merah muda) berarti tidak

dapat keracunan.

Kertas saring dicelup ke dalam larutan KCL, dan dipotong kecil-kecil.

Kertas tersebut dicelupkan ke dalam darah korban, bila positif maka warna akan

berubah menjadi merah terang karena terbentuk sianmethemoglobin.

Pemeriksaan Laboratorium Forensik Lain

 Isi Lambung

a. Reaksi Schonbein-Pagenstecher (Reaksi Guajacol).

Masukkan 50 mg isi lambung/ jaringan ke dalam botol Erlenmeyer. Kertas

saring (panjang 3-4 cm, lebar 1-2 cm) dicelupkan ke dalam larutan guajacol 10%

dalam alkohol, keringkan. Lalu celupkan ke dalam larutan 0,1% CuSO4 dalam air

dan kertas saring digantungkan di atas jaringan dalam botol. Bila isi lambung

alkalis, tambahkan asam tartrat untuk mengasamkan, agar KCL mudah terurai.

Botol tersebut dihangatkan. Bila hasil reaksi positif, akan terbentuk warna biru-

hijau pada kertas saring.

Reaksi ini tidak spesifik, hasil positif semu didapatkan bila isi lambung

mengandung klorin, nitrogen oksida atau ozon; sehingga reaksi ini hanya untuk

skrining.

b. Reaksi Prussian Blue (Biru Berlin).

Isi lambung/ jaringan didestilasi dengan destilator.

5 ml destilat + 1 ml NaOH 50 % + 3 tetes FeSO4 10% rp + 3 tetes FeCl3 5%,

Panaskan sampai hampir mendidih, lalu dinginkan dan tambahkan HCl pekat tetes

demi tetes sampai terbentuk endapan Fe(OH)3, teruskan sampai endapan larut

kembali dan terbentuk biru berlin.

c. Cara Gettler Goldbaum.

Dengan menggunakan 2 buah flange (‘piringan’), dan diantara kedua

flange dijepitkan kertas saring Whatman No. 50 yang digunting sebesar flange.

Kertas saring dicelupkan ke dalam larutan FeSO4 10% rp selama 5 menit,

keringkan lalu celupkan ke dalam larutan NaOH 20% selama beberapa detik.

Letakkan dan jepitkan kertas saring di antara kedua flange. Panaskan bahan dan

salurkan uap yang terbentuk hingga melewati kertas saring ber-reagensia antara

kedua flange. Hasil positif bila terjadi perubahan warna pada kertas saring,

menjadi biru.

d. Kristalografi

Bahan yang dicurigai berupa sisa makanan/ minuman, muntahan, isi

lambung di masukkan ke dalam gelas beker, dipanaskan dalam pemanas air

sampai kering, kemudian dilarutkan dalam aceton dan disaring dengan kertas

saring. Filtrat yang didapat, diteteskan dalam gelas arloji dan dipanaskan sampai

kering, kemudian dilihat di bawah mikroskop. Bila terbentuk kristal-kristal seperti

sapu, ini adalah golongan hidrokarbon terklorinasi.

Pemeriksaan kualitatif dapat menggunakan penentuan titik cair, misal

veronal murni mencair pada suhu 191° C. Uji kristal dilakukan terhadap sisa obat

yang ditemukan dalam isi lambung. Masing-masing barbiturat mempunyai kristal

yang khas bila dilihat dengan mikroskop. Metoda Kopanyi (reaksi warna kobalt)

dengan modifikasinya.

e. Metoda Kopanyi

Dilakukan dengan memasukkan 50 ml urin atau isi lambung dalam sebuah

corong. Periksa dengan kertas lakmus, jika bersifat alkali tambahkan HCl sampai

bersifat asam. Tambahkan 100 ml eter, kocok selama beberapa menit. Diamkan

sebentar, tampak air terpisah dari eter, lapisan air dibuang, barbiturat terdapat

dalam lapisan eter. Saring eter ke dalam beaker glass dan uapkan sampai kering di

atas penangas air. Tambahkan 10 tetes kloroform untuk melarutkan sisa barbiturat

yang mengering.

Ambil beberapa tetes larutan dan letakkan pada white pocelain spot plate.

Tambahkan 1 tetes kobalt asetat (1 % dalam metil alkohol absolut) dan 2 tetes

isopropilamin (5% dalam metil-alkohol absolut), Barbiturat akan memberi warna

merah muda sampai ungu.

Pemeriksaan kuantitatif dan kuantitatif dapat dilakukan dengan

kromatografi lapis tipis (TLC), kromatografi gas cair (GLC), spektrofotometri

ultra-violet dan spektrofotofluorimetri.

2. Keracunan Karbon Monoksida (CO)

Karbon monoksida (CO) adalah racun yang tertua dalam sejarah manusia.

Sejak dikenal cara membuat api, manusia senantiasa terancam oleh asap yang

mengandung CO. Gas CO adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak

meransang selaput lendir, sedikit lebih ringan dari udara sehingga mudah

menyebar.

Karbon dan Oksigen dapat bergabung membentuk senjawa karbon monoksida

(CO) sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna dan karbon dioksida (CO2)

sebagai hasil pembakaran sempurna. Karbon monoksida merupakan senyawa

yang tidak berbau, tidak berasal dan pada suhu udara normal berbentuk gas yang

tidak berwarna. Tidak seperti senyawa CO mempunyai potensi bersifat racun yang

berbahaya karena mampu membentuk ikatan yang kuat dengan pigmen darah

yaitu hemoglobin.( Hudak & Gallow,2000)

Sumber utama karbon monoksida pada kasus kematian adalah kebakaran, knalpot

mobil, pemanasan tidak sempurna, dan pembakaran yang tidak sempurna dari

produk-produk terbakar, seperti bongkahan arang. Diluar kematian akibat

kebakaran, ada sekitar 2700 kematian yang disebabkan oleh karbon monoksida

setiap tahunnya di AS. Sekitar 2000 dari kasus ini adalah bunuh diri dan 700-nya

adalah kecelakaan. Pada kenyataannya seluruh kasus bunuh diri tersebut

melibatkan penghirupan gas buangan mobil.

Gas alam( tanpa CO) telah digantikan oleh gas arang yang menjadi bahan bakar

dan sumber racun terbesar,Dan CO masih merupakan sumber racun yang

membahayakan. Bahaya tentang CO ini telah bayak dipublikasi,khususnya

terhadap lingkungan dan industri.

Tanda dan Gejala Keracunan CO

Keracunan gas CO atau karbon monoksida sukar didiagnosa. Gejalanya

mirip dengan flu yaitu didahului dengan sakit kepala, mual, muntah, lelah, lesi

pada kulit, berkeringat banyak, pyrexia, pernapasan meningkat, mental dullness

dan konfusion, gangguan penglihatan, konvulsi, hipotensi, myocardinal, dan

ischamea. 

Kemungkinan terjadi kematian akibat sukar bernafas sangat tinggi.

Kematian terhadap kasus keracunan karbon monoksida disebabkan oleh

kurangnya oksigen pada tingkat selular (cellular hypoxia). 

Sel darah merah tidak hanya mengikat oksigen melainkan juga gas lain.

Kemampuan atau daya ikat ini berbeda untuk satu gas dengan gas lain. Sel darah

merah mempunyai ikatan yang lebih kuat terhadap karbon monoksida dari pada

oksigen. Sehingga jika terdapat CO dan O2, sel darah merah akan cenderung

berikatan dengan CO. 

Bila terhirup, karbon monoksida akan terbentuk dengan hemoglobin (Hb)

dalam darah dan akan terbentuk karboksi haemoglobin sehingga oksigen tidak

dapat terbawa. Ini disebabkan karbon monoksida dapat mengikat 250 kali lebih

cepat dari oksigen. 

Gas ini juga dapat mengganggu aktivitas selular lainnya yaitu dengan

mengganggu fungsi organ yang menggunakan sejumlah besar oksigen seperti otak

dan jantung. Gejala klinis saturasi darah oleh karbon monoksida adalah sebagai

berikut: (Marylin.D,2000)

1)   Konsentrasi CO dalam darah kurang dari 20%, tidak ada gejala.

2)   Konsentrasi CO dalam darah 20%, gejala nafas menjadi sesak.

3)   Konsentrasi CO dalam darah 30%, gejala sakit kepala, lesu, mual, nadi dan

pernapasan meningkat sedikit. 

4)   Konsentrasi CO dalam darah 30% hingga 40%, gejala sakit kepala berat,

kebingungan, hilang daya ingat, lemah, hilang daya koordinasi gerakan.

5)   Konsentrasi CO dalam darah 40% sampai 50%, gejala kebingungan makin

meningkat dan setengah sadar.

6)   Konsentrasi CO dalam darah 60% hingga 70%, gejala tidak sadar, kehilangan

daya mengkontrol feses dan urin.

7)   Konsentrasi CO dalam darah 70% hingga 80%, gejala koma, nadi menjadi

tidak teratur, kematian karena kegagalan pernapasan.

Pemeriksaan Forensik

Pada korban yang mati tidak lama setelah keracunan CO, ditemukan lebam

mayat berwarna merah terang (cherry pink colour) yang tampak jelas bila kadar

COHb mencapai 30% atau lebih. Warna lebam mayat seperti itu juga dapat

ditemukan pada mayat yang di dinginkan, pada korban keracunan sianida dan

pada orang yang mati akibat infeksi oleh jasad renik yang mampu membentuk

nitrit, sehingga dalam darahnya terbentuk nitroksi hemoglobin. Meskipun

demikian masih dapat di bedakan dengan pemeriksaan sederhana.

Pada mayat yang didinginkan dan pada keracunan CN, penampang ototnya

berwarna biasa, tidak merah terang. Juga pada mayat yang di dinginkan warna

merah terang lebam mayatnya tidak merata selalu masih ditemukan daerah yang

keunguan (livid). Sedangkan pada keracunan CO, jaringan otot, visera dan darah

juga berwarna merah terang. Selanjutnya tidak ditemukan tanda khas lain.

Kadang-kadang dapat ditemukan tanda asfiksia dan hiperemia visera. Pada otak

besar dapat ditemukan petekiae di substansia alba bila korban dapat bertahan

hidup lebih dari ½ jam.

Pada analisa toksikologik darah akan di temukan adanya COHb pada

korban keracunan CO yang tertunda kematiannya sampai 72 jam maka seluruh

CO telak di eksresi dan darah tidak mengandung COHb lagi, sehingga ditemukan

lebam mayat berwarna livid seperti biasa demikian juga jaringan otot, visera dan

darah. Kelainan yang dapat di temukan adalah kelainan akibat hipoksemia dan

komplikasi yang timbul selama penderita di rawat.

Otak, pada substansia alba dan korteks kedua belah otak, globus palidus

dapat di temukan petekiae. Kelainan ini tidak patognomonik untuk keracunan CO,

karena setiap keadaan hipoksia otak yang cukup lama dapat menimbulkan

petekiae. Pemeriksaan mikroskopik pada otak memberi gambaran:

- Pembuluh-pembuluh halus yang mengandung trombihialin

- Nikrosis halus dengan di tengahnya terdapat pembuluh darah yang

mengandung trombihialin dengan pendarahan di sekitarnya, lazimnya di

sebut ring hemorrage

- Nikrosis halus yang di kelilingi oleh pembuluh-pembuluh darah yang

mengandung trombi

- Ball hemorrgae yang terjadi karena dinding arterior menjadi nekrotik

akibat hipoksia dan memecah.

Pada miokardium di temukan perdarahan dan nekrosis, paling sering di

muskulus papilaris ventrikal kiri. Pada penampang memanjangnya, tampak bagian

ujung muskulus papilaris berbercak-bercak perdarahan atau bergaris-garis seperti

kipas berjalan dari tempat insersio tendinosa ke dalam otak.

Ditemukan eritema dan vesikal / bula pada kulit dada, perut, luka, atau

anggota gerak badan, baik di tempat yang tertekan maupun yang tidak tertekan.

Kelainan tersebut di sebabkan oleh hipoksia pada kapiler-kapiler bawah kulit.

Pneunomonia hipostatik paru mudah terjadi karena gangguan peredaran darah.

Dapat terjadi trombosis arteri pulmonalis.

3. Keracunan Hidrokarbon

Hidrokarbon adalah senyawa organik yang hanya terdiri dari hidrogen dan

karbon. Hidrokarbon banyak ditemukan di dalam minyak bumi, gas alam dan

batubara. Intoksikasi hidrokarbon biasanya terjadi karena anak menelan hasil

penyulingan minyak bumi, seperti bensin, minyak tanah, pengencer cat dan

hidrokarbon terhalogenasi (misalnya karbon tetraklorida yang banyak ditemukan

di dalam larutan dan pencair dry-cleaning atau etilen diklorida).

Kematian banyak terjadi pada remaja yang dengan sengaja menghirup

atsiri. Sejumlah kecil bahan tersebut (terutama dalam bentuk cairan yang mudah

mengalir) bisa masuk ke dalam paru-paru dan menyebabkan kerusakan pada paru-

paru. Cairan yang lebih kental, yang digunakan pada semir furnitur, sangat

berbahaya karena bisa menyebabkan iritasi dan pneumonia aspirasi yang berat.

Efek toksis terpenting dari hidrokarbon adalah pneumonitis

aspirasi. Studipada binatang menunjukkan toksisitas pada paru > 140 x dibanding

pada saluran pencernaan. Aspirasi umumnya terjadi akibat penderita batuk atau

muntah. Akibat viskositas yang rendah dan tekanan permukaan, aspirat dapat

segera menyebar secara luas pada paru. Penyebaran melalui penetrasi pada

membran mukosa, merusak epithel jalan napas, serta alveoli, dan menurunkan

jumlah surfactan sehingga memicu terjadinya perdarahan, edema paru, ataupun

kolaps pada paru. Jumlah < 1 ml dari aspirasi pada paru dapat menyebabkan

kerusakan yang bermakna. Kematian dapat terjadi karena aspirasi sebanyak + 2,5

ml pada paru (pada lambung + 350 ml). Selain itu, jumlah 1 ml/kg BB hidokarbon

dapat menyebabkan depresi CNS ringan–sedang, karditis, kerusakan hepar,

kelenjar adrenal, ginjal, dan abnormalitas eritrosit. Namun efek sistemik tersebut

jarang karena tidak diabsorbsi dalam jumlah banyak pada saluran pencernaan.

Hidrokarbon juga diekskresikan lewat urin.

Tanda dan Gejala Keracunan Hidrokarbon

Efek pada paparan akut hidrokarbon :

a.       Kontak kulit: kering, dapat iritasi, menyebabkan rash

b.      Absorbsi kulit: jarang

c.       Kontak mata: iritasi, dapat menyebabkan kerusakan permanen

d.      Inhalasi: iritasi, sakit kepala, pusing, mengantuk, intoksikasi

e.       Ingesti: sakit kepala, pusing, mengantuk, intoksikasi

Efek pada paparan kronis hidrokarbon:

a.       Secara umum: kulit pecah-pecah, dermatitis, kerusakan hepar/kelenjar

adrenal/ginjal, dan abnormalitas eritrosit

b.      Karsinogenik: terlihat pada studi eksperimental pada tikus. Pada manusia

tidak ada data yang tercatat

c.       Sistem reproduksi: tidak ada data yang tercatat

Gejala intoksikasi hidrokarbon dapat dibagi menjadi gejala inhalasi dan

gejala akibat hidrokarbon yang terminum. Gejala inhalasi dapat menimbulkan

euphoria yang menyerupai intoksikasi alkohol.

a.    Gejala iritatif terhadap faring, esophagus, lambung dan usus halus dan dapat

menyebabkan perasaan terbakar pada mulut, tenggorokan, esophagus dan ulkus

pada mukosa.

b.    Gejala fibriasi ventrikel, walaupun jarang terjadi. Fibriasi ventrikel ini

disebabkan karena minyak tanah menyebabkan sensitifasi jantung terhadap

katekolamin eksogen dan endogen (epinefrin, norepinefrin).

c.    Gejala pada susunan syaraf pusat berupa mengantuk atau koma yang terjadi

segera setelah terminum hidrokarbon.

d.   Gejala pada paru berupa bronkopneumonia.

e.     Bronkopneumonia ini bukan disebabkan oleh hidrokarbon yang di absorbs

melalui oral atau ekskresi hidrokarbon melalui paru, tetapi akibat aspirasi

trakeobronkial. Pada intoksikasi hidrokarbon yang berat dapat pula dilihat

kelainan pada urin berupa albuminuria. Kematian biasanya timbul sebagai akibat

asfiksia

4. Keracunan Obat

Analgesik

Aspirin ( Acetyl Salicylic ) And Salicylates

Aspirin merupakan obat yang mempunyai efek terapi yang luas seperti

meliputi analgesik, antipiretik dan anti inflamasi. Dahulu aspirin dikenal sebagai

agen atau obat yang menimbulkan efek racun bagi dirinya dimana berbahaya bagi

anak dan berefek racun juga pada orang dewasa. Di Inggris, dua dekade belakang

ini penggunaan aspirin sebagai agen yang berefek racun bagi dirinya menurun

secara luar biasa, jadi sekarang penggunaannya jarang digunakan.

            Dosis Terapi aspirin yang biasa digunakan sebesar 325-975 mg yaitu

sekitar 1-3 tablet. Pada orang yang alergi terhadap aspirin, jarang ditemui

menimbulkan efek sakit atau bahkan meninggal setelah pemakaian obat dengan

dosis terapi. Jarang juga dijumpai menimbulkan urtikaria, edema angioneurotik,

hipotensi, gangguan vasomotor, edem laring dan edem glotis.

            Pasien dengan penggunaan salisilat jangka panjang untuk penyakit arthritis

atau rheumatic, yang biasa menggunakan obat ini sebanyak 3-5 g/hari, secara

perlahan dapat mencapai konsentrasi dalam darahnya, dimana pada batas tertentu

dapat mengakibatkan overdosis yang menimbulkan kematian. Pada orang yang

mengkonsumsi salisilat 3g/hari, tingkat obat dalam darah bervariasi antara 44 dan

330 mg/l.

            Selain kematian yang disebabkan karena hipersensitivitas, kematian tidak

terjadi pada orang dewasa yang memakai aspirin kurang dari 50 tablet, yaitu

sekitar 16g. Konsentrasi dalam darah ( diukur sebagai total salisilat ) dari dosis

obat 975mg, mempunyai jarak berkisar antara 30 – 100mg/l ( dengan rata-rata

77 ) 2 jam setelah pemakaian. Selanjutnya terjadi penurunan sekiar 25mg/l 8 jam

kemudian.

            Pada saat autopsi, aspirin merupakan salah satu obat yang dapat

menimbulkan ketidaknormalan walau tidak terlihat secara spesifik. Kelainan

secara fisik tidak ditemukan kecuali mual dominan menjadi efek akibat

pemakaian aspirin dan bila penggunaan lama dapat menimbulkan efek lambung

tererosi mengakibatkan lambung berdarah dan terkadang menimbulkan muntah

yang berwarna merah kehitaman. Manifestasi perdarahan yang tampak di kulit

berupa petekiae jarang terjadi.

            Walau secara external tidak tampak gejala, namun secara internal, di

dalam perut masih tampak sisa dari tablet yang tidak terserap. Ini cenderung untuk

menghilang dan menyatu berwarna abu-abu / kumpulan masa putih yang kotor

terbentuk dari sisa tablet yang banyak. Mukosa lambung teriritasi akibat asam

yang dihasilkan dan mengerosinya. Lambung tererosi dan teriritasi meluas dan

dapat menyebar melewati fundus sampai kardia. Lesi pada erosi akut berupa titik,

namun lama-lama dapat menyebabkan perdarahan dalam jumlah yang banyak.

Perubahan darah menjadi hitam dapat terjadi didalam lambung dan mengalir

melewati usus dan bila bertahan lebih lama dapat menyebabkan terjadinya

melena. Petekiae mukosa dan ekimosis di perut tanpa ada destruksi yang

mengerosi lambung, secara aktual merupakan bagian dari perdarahan akibat

antikoagulan dari aspirin. Petekiae dapat menyebar ke membran serosa yang

merupakan bagian dari pleura parietal dan epicardium. Walaupun tablet dengan

dosis kecil atau tunggal, namun juga masih dapat menyebabkan luka berupa ulkus

kecil bila tablet tersebut melekat pada lambung. Ketika autopsi hal ini dapat

terlihat, tapi bukan kasus keracunan, dan terlihat adanya bagian tablet yang tersisa

sebelum dia meninggal.

            Pemeriksaan Toksikologi setelah meninggal, mengambil contoh dari

darah, urine, isi lambung dan liver. Bagian tablet dari aspirin dapat ditemukan

dengan adanya sisa tablet tersebut yang dimakan sebelum korban meninggal.

Bagian ini merupakan bagian yang lambat diserap. Itulah sebabnya mengetahui

apa yang terdapat didalam lambung penting sehingga bila terjadi pada korban

hidup, segera mungkin sisa aspirin tersebut dikeluarkan dari lambung dengan

segera sebelum menimbulkan efek pada seluruh tubuhnya. Dengan adanya aspirin

yang dapat larut atau preparat effervesent, menyebabkan tidak ada bagian atau

sisa tablet lagi yang tersisa di lambung. Pada saat autopsi, bagian dari sisa tablet

dipakai sebagai bukti dan analisis. Dilakukan dengan tes adakah bagian yang

tertinggal baik di dalam/luar yang cepat diambil. Saat autopsi, untuk menyakinkan

apakah sisa tablet itu merupakan aspirin, maka dilakukan dengan bantuan bahan

kimia berupa larutan feri-chlorida yang dilarutkan dengan sedikit urine dari

korban. Bila muncul warna ungu kebiruan berarti itu benar aspirin. Tes ini tidak

spesifik tapi sensitif. Jika negatif, bukan tidak mungkin itu adalah aspirin. Tes ini

hanya sebagai skreening cepat dan bukan berasal dari analisis laboratorium.

            Batas racun dalam darah ( dihitung dari total salisilat yang ada ) berkisar

antara 300 – 500 mg/l. Bila kadar berada dibawah atau atas kadar yang ada maka

dapat menyebabkan kematian atau malah dapat bertahan hidup. Konsentrasi

dalam darah yang beresiko sangat fatal berkisar antara 60 – 750mg/l, beberapa

ahli mengatakan batas rata-rata dengan level minimum sekitar 500 mg/l.

Konsentrasi yang menyebabkan liver menjadi rusak berkisar dari 2,5 – 1000mg/l ,

dimana tingkat ini tergantung dari kemampuan bertahan hidupnya. Kadar salisilat

dalam darah lambat diserap, sekitar ½ sampai 1 hari sampai mencapai dosis yang

sesuai.

            Racun aspirin sangat berbahaya dan berpotensi dalam menimbulkan

kematian jantung yang secara mendadak. Hal ini menyebabkan pasien meninggal

ketika dibawa ke rumah sakit, karena timbulnya cepat dan tanpa gejala. Walau

tanpa gejala, namun menyebabkan pembuluh darah menjadi kollaps, dan tanpa

disadari ini berlangsung terus-menerus sehingga jantung menjadi lemah dengan

gambaran aritmia, yang sewaktu-waktu dapat menyebabkan berhentinya kerja

jantung. Mengingat akan terjadi hal ini maka pasien pengguna aspirin harus selalu

di amati sehingga hal tersebut tidak terjadi.

Parasetamol

Parasetamol dikenal juga dengan nama asetaminofen, N-Asetil-P-

aminofel, atau 4-hidroxyasetanolid. Obat ini bersifat sebagai analgesik dan

antipiretik, namun tidak memiliki sifat antiinflamasi aspirin, sehingga

dipergunakan sebagai alternatif oleh karena hanya menyebabkan iritasi lambung

ringan.

Bila kombinasi dengan obat lainnya, seperti kodein dan dextropropoxifen,

parasetamol menjadi racun bagi tubuh. Dosis terapetik parasetamol maksimal

adalah 500 mg, dosis tunggal 20gram atau lebih dapat berbahaya, namun dosis

lebih rendah dapat berbahaya biladikombinasikan dengan propoksifen.

Parasetamol merupakan racun yang poten bagi hati karena dapat diliputi enzim

hati P450 (mikrosomal mixed function oxidase) membentuk racun yang disebut

N-asetil-p-benzokuinon. Normalnya, glutation dan sulfidril lainnya menetralkan

substansi ini, tetapi parasetamol overdosisi, substansi tersebut menjadi jenuh

sehingga terbentuk toksik yang menyebabkakn nekrosis hepatik sentrilobular.

Selain itu, alkoholisme kronik dan penggunaan obat epilepsi seperti fenobarbiturat

atau fenitoin mengaktifkan enzim P450 dan memperburuk toksisitas hati.

Tidak ada yang spesifik ditemukan sewaktu otopsi sistem gastrointestinal.

Pada overdosis masif, sebagai besar kematian disebabkan gagal hati setelah 2-4

hari, hati dapat membesar, tetapi beratnya dibawah berat normal 1500 gram.

Sebagai kecil kematian disebabkan depresi terhadap sistem saraf pusat. Hati dapat

berwarna kuning pucat atau coklat atau kerusakan hanya dapat dilihat secara

histologis, dimana terlihat nekrosis sentrilobular terkadang terlihat kerusakan serat

miokard.

Menurut analisis, dosis terapetik 324 mg dalam kosentrasi plasma setelah

6 jam sekitar 2-6 mg/l namun sebagai menunjukkan peningkatan hingga 25mg/l.

Waktu paruh plasma dipergunakan sebagai petunjuk proses hepatotoksis, sangat

bahaya bila paruh plasma 300mg/l setelah ingesti 4 jam. Kadar dalam darah 100-

400mg/l dengan rata-rata 250mg/l setelah konsumsi 10-15 gram disebut

overdosis. Urin dapat mengandung 150-800mg/l, tapi kadar tersebut tergantung

dosis dan waktu paruh. Kombinasi dengan obat lain , terutama dextropropoxifen

dan alkohol mengurangi kadar yang diperlukan untuk keadaan fatal.

Obat Anti Depresan

            Antidepresan trisiklik biasanya dapat menimbulkan efek yang merugikan

bagi pasien yang menggunakannya karena memiliki efek racun terhadap dirinya

sendiri. Amitriptilin, dothiepin, doxepin dan trimipramine selain sebagai

antidepresan juga memiliki efek sedasi sedangkan dengan kadar sedikit atau tidak

terdapat efek sedasi seperti protriptyline, nortriptyline, imipramine, domiprimine,

iprindole, lofepramine dan butriptiline.

            Antidepresan tetrasiklik termasuk maprotiline dan mianserin. Tipe lain

seperti penghambat Monoamine Oxide yang diketahui memiliki hubungan yang

bila digunakan bersama-sama dengan obat lain dan makanan, terutama yang

memiliki efek simpatomimetik dan yang mengandung tyramine seperti kaya akan

keju, ekstrak ragi, anggur merah dan kacang. Hipertensi yang berbahaya mungkin

terjadi dengan resiko perdarahan cerebrovaskular. Obat yang digunakan termasuk

phenoxypropazine, tranylcypromine, isocarboxazid dan phenelzine.

Pemeriksaan Forensik

Tidak adanya tanda khas dari hasil autopsi  seringkali membuat ahli forensik

bingung kecuali ada kecurigaan telah meminum obat atau racun yang bisa diambil

untuk penyelidikan. Jika tidak ditemukan kelainan morfologi dipertimbangkan

untuk melakukan pemeriksaan toksikologi, yang mana di beberapa  pengadilan

menjadi sulit atau sangat mahal. Obat-obatan yang baik adalah mudah dicerna dan

tidak mengiritasi jaringan dan saluran pencernaan. Kebanyakan dalam praktek

forensik dipilih oral, dan baik untuk efek farmakologis dari organ dan jaringan

sasaran yang tidak mengiritasi / merusak saluran pencernaan.

Obat-obatan bisa menyebabkan kematian dengan cara yang paling sering

adalah gagal jantung, dan yang ke dua menekan SSP. Cara kematian tersebut

hanya perubahan tidak spesifik yang ditemukan pada autopsi, biasanya bukan

alasan dasar untuk kematian. Kegagalan jantung akut, edema paru, kadang-kadang

edem otak, patekie pada membran serosa tidak satupun hal diatas digunakan oleh

ahli forensik, yang lebih mempercayai hasil analisis toksikologi untuk jawaban

pasti.

Ada beberapa jenis pengobatan yang meskipun bukan penyebab

kelainan  dapat membantu hasil autopsi, seperti pecahnya membran

echimosis  yang terlihat pada keracunan aspirin . hal ini bagaimanapun tidak bisa

diterima sebagai penyebab kematian, kecuali ada bukti nyata dan ditemukan sisa-

sisa tablet yang tidak habis dicerna dalam perut.

Pada autopsi, tanda kegagalan kardiorespiratrius, dimana menunjukkan

sianosis, tanda-tanda bendungan. Walaupun tidak spesifik, kemungkinan paru-

paru yang kongestif pada keracunan barbiturat akut sangat fatal dibandingkan

kondisi lainnya. Organ ini hampir semuanya berwarna hitam dan sistem vena

keseluruhan dipenuhi darah deoksigenasi yang berwarna hitam. Dapat ditemukan

bister barbiturat pada daerah kulit yang tertekan terutama pantat, punggung dan

lengan bawah,. Blister ini dapat juga ditemukan pada pasien yang koma.

Dapat ditemukan tanda-tanda setempat dari erosi oleh obat tersebut.

Mukosa gaster dapat rusak oleh karena alkali dari obat seperti sodium amital

dimana merupakan garam sodium dari asam organik lemah yang mengalami

hidrolisis di dalam lambung. Fundus dapat menipis, granular dan hemoragis.

Kardia dan esofagus bagian bawah dapat terkena dikarenakan refluks dan bila

mengalami regurgitasi, darah yang berwarna hitam dapat muncul pada mulut dan

hidung.

Barbiturat tertentu dapat menunjukkan tanda karakterisitik tertentu di

mulut, esofagus dan lambung. Warnanya bervariasi pada setiap obat-obatan, tetapi

warna biru-tua dari kapul sodium amital dapat mewarnai lambung dan bahkan

dapat terlihat pada dinding usus saat abdomen dibuka. Kapsul pigmentasi gelatin

lainnya dapat berwarna merah, kuning atau biru. Seperti obat lainnya, konsumsi

dengan alkohol memperburuk tingat kefatalannya.

5. Keracunan Logam

Walaupun sebagian besar logam di alam muncul pada batu, lapisan bijih

(ores), tanah, air, dan udara, kadarnya secara umum rendah dan terdispersi secara

luas. Terkait paparan terhadap manusia dan kepentingan dalam toksikologi yang

signifikan, kegiatan antropogenik yang umumnya paling penting karena

menyebabkan kadar logam tersebut meningkat pada tempat manusia beraktivitas.

Logam telah digunakan selama sejarah peradaban manusia untuk membuat

perkakas pertukangan, mesin, dan lain-lain, dimana pertambangan dan peleburan

menyuplai logam untuk keperluan tersebut. Aktivitas ini meningkatkan kadar

logam di lingkungan. Saat ini, logam juga telah digunakan dalam industri,

pertanian, dan kesehatan. Aktivitas tersebut meningkatkan paparan tidak hanya

pada pekerja industri logam (metal-related occupational workers) tapi juga pada

konsumen bergam produk tersebut.

Meskipun jangkauan toksistas dan sifat logam beragam, terdapat beberapa

kesamaan pada banyak logam. Logam yang mengeluarkan (exert) toksisitasnya,

harus melewati membran dan memasuki sel. Jika logam tersebut dalam media

lipid seperti methylmercury, maka dengan mudah melakukan penetrasi pada

membran; saat terikat pada protein seperti cadmium-metallothionein, logam

tersebut masuk ke dalam sel dengan endositosis; logam lain (misalnya timah) bisa

diabsorbsi melalui difusi pasif. Efek toksik dari logam umumnya melibatkan

interaksi logam bebas (free metal ) dan sel target.

Mekanisme toksik dan sites of action yang umum antara lain :

1. Inhibisi/aktivasi enzim

Situs mayor pada efek toksik logam adalah interaksi dengan logam,

menyebabkan inhibisi atau aktivasi enzim. Dua mekanisme yang cukup

penting; inhibisi bisa terjadi sebagai hasil interaksi antara logam dan grup

sulfhydryl (SH) pada enzim, atau logam tersebut mengganti kofaktor logam

esensial dari enzim yang bersangkutan. Contohnya, timah bisa menggantikan

zink pada zinc-dependent enzyme δ-aminolevulinic acid dehydratase

(ALAD), sehingga menghambat sintesis heme, komponen penting

hemoglobin dan heme-containing enzymes, seperti cytochromes.

2. Organel subseluler

Logam toksik bisa merusak struktur dan fungsi dari organel. Contohnya

enzim retikulum endoplasma bisa mengalami inhibisi, logam bisa

terakumulasi di lisosom, enzim respirasi dalam mitokondria juga bisa

mengalami inhibisi, dan inclusion bodies bisa terbentuk dalam nukleus.

3. Karsinogenik

Sejumlah logam menunjukkan sifat karsinogenik pada hewan dan manusia.

Arsenik, senyawa chromium tertentu, dan nikel dikenal bersifat human

carcinogens; beryllium, cadmium, dan cisplatin dicurigai human carcinogens.

Mekanisme carcinogenic action, diduga terjadi karena interaksi metallic

ions dengan DNA

4. Organ target

Organ yang menjadi target dari logam toksik antara lain ginjal, sistem saraf,

endokrin, reproduksi, dan respirasi. Berikut contoh beberapa logam toksik :

1. Timah (Lead)

Karena penggunaan timah yang lama dan luas, timah menjadi salah satu

logam toksik yang paling sering ditemui. Paparan bisa terjadi lewat udara,

air, atau makanan. Sumber paparan bisa berasal dari pipa dan tempat

makan keramik. Timah inorganik bisa diabsorbsi melalui saluran cerna,

saluran napas, dan kulit. Timah inorganik yang tertelan diabsorbsi lebih

baik oleh saluran cerna anak dibandingkan orang dewasa, bisa melewati

plasenta, dan menembus blood-brain barrier pada anak. Mulanya, timah

beredar lewat darah, hepar, dan ginjal; setelah paparan yang lama, timah

juga ditemukan dalam tulang pada 95% kasus.

Target utama toksisitas timah adalah sistem hematopoietik dan

sistem saraf. Beberapa enzim yang terlibat dalam sintesis heme yang

sensitif terhadap penghambatan (inhibisi) oleh timbal, dua enzim yang

paling rentan adalah ALAD dan heme-sintetase (HS). Meskipun anemia

klinis terjadi hanya setelah paparan moderat, efek biokimia dapat diamati

di tingkat lanjut. Untuk alasan ini penghambatan ALAD atau temuan ALA

dalam urin dapat digunakan sebagai indikasi paparan timbal. Sistem saraf

adalah jaringan target yang juga penting untuk toksisitas timbal, terutama

pada bayi dan anak-anak di antaranya karena sistem saraf masih

berkembang pada usia ini.

Bahkan pada tingkat paparan rendah, anak-anak dapat

menunjukkan hiperaktif, penurunan rentang perhatian, kelainan mental,

dan gangguan penglihatan. Pada tingkat yang lebih tinggi, ensefalopati

dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Timah merusak arteriol

dan kapiler, sehingga terjadi edema serebral dan degenerasi saraf. Secara

klinis kerusakan tersebut dapat muncul berupa ataksia, pingsan, koma, dan

kejang-kejang.

Sistem lain yang terkena dampak adalah sistem reproduksi.

Paparan timbal dapat menyebabkan toksisitas pada reproduksi laki-laki

dan wanita, keguguran, dan kelainan herediter.

2. Merkuri

Mercuri ada di lingkungan dalam tiga bentuk kimia utama: elemental

merkuri (Hg0), mercurous anorganik (Hg +) dan garam merkuri (Hg2 +),

dan methylmercury organik (CH3Hg) dan senyawa dimethylmercury

(CH3HgCH3). Unsur merkuri, dalam bentuk uap merkuri, hampir

sepenuhnya diserap oleh sistem pernapasan, sedangkan tertelan merkuri

berbentuk unsur tidak mudah diserap dan relatif tidak berbahaya. Setelah

diserap, merkuri dapat melintasi penghalang darah-otak ke dalam sistem

saraf. Kebanyakan paparan elemental merkuri cenderung dari sumber

kerja.

Perhatian serius pada pencemaran lingkungan terutama pada paparan

senyawa merkuri organik. Merkuri anorganik dapat dikonversi menjadi

merkuri organik melalui aksi bakteri pereduksi sulfat, untuk menghasilkan

metilmerkuri, suatu bentuk yang sangat beracun dan mudah diserap

melintasi membran. Beberapa episode besar keracunan merkuri terjadi

akibat mengkonsumsi biji gandum yang terpapar fungisida merkuri atau

dari makan ikan yang terkontaminasi dengan methylmercury. Di Jepang

pada 1950-an dan 1960-an limbah dari bahan kimia dan plastik tanaman

yang mengandung merkuri yang mengalir ke Teluk Minamata.

Merkuri dikonversi menjadi methylmercury sehingga mudah diserap

oleh bakteri dalam sedimen perairan. Konsumsi ikan dan kerang oleh

penduduk setempat mengakibatkan sejumlah kasus keracunan merkuri

atau penyakit Minamata. Pada tahun 1970 setidaknya 107 kematian telah

dikaitkan dengan keracunan merkuri, dan 800 kasus penyakit Minamata

dikonfirmasi. Meskipun ibu tampak sehat, banyak bayi yang lahir dari ibu

yang makan ikan yang terkontaminasi menunjukkan gejala Cerebral

Palsy-Like Symptoms dan gangguan mental. Merkuri organik terutama

mempengaruhi sistem saraf, dimana otak janin menjadi lebih sensitif

terhadap efek racun dari merkuri daripada orang dewasa.

Garam merkuri anorganik, bagaimanapun, terutama bersifat

nephrotoxic, dengan target sel tubulus proksimal. Mercury mengikat

kelompok protein SH pada membran, mempengaruhi integritas membran

dan mengakibatkan aliguria, anuria, dan uremia.

3. Kadmium

Kadmium terdapat di alam terutama berkaitan dengan bijih timbal dan

seng serta dilepaskan di dekat tambang saat peleburan pada pengolahan

bijih ini. Kadmium industri digunakan sebagai pigmen dalam cat dan

plastik, dalam elektroplating, dan dalam membuat paduan dan

penyimpanan alkali pada baterai (misalnya, baterai nikel-kadmium).

Paparan lingkungan terhadap kadmium terutama dari kontaminasi air

tanah dari peleburan dan industri serta penggunaan lumpur limbah sebagai

pupuk tanaman pangan. Biji-bijian, produk sereal, dan sayuran berdaun

biasanya merupakan sumber utama cadmium dalam makanan. Contohnya

penyakit Itai-Itai yang terjadi akibat konsumsi beras kadmium-

terkontaminasi di Jepang.

Efek akut dari paparan hasil kadmium terutama dari iritasi lokal.

Setelah terpapar, efek utama adalah mual, muntah, dan sakit perut.

Paparan inhalasi dapat menyebabkan edema paru dan pneumonitis.

Efek kronis menjadi perhatian khusus karena kadmium sangat

lambat dikeluarkan dari tubuh, dengan waktu paruh sekitar 30 tahun.

Dengan demikian paparan tingkat rendah dapat menyebabkan akumulasi

yang cukup besar dari kadmium. Organ utama yang mengalami kerusakan

pada paparan jangka panjang adalah ginjal, khususnya tubulus proksimal.

Kadmium beredar dalam sistem peredaran darah terikat dengan metal-

binding protein, metallothionein, diproduksi di hati. Setelah filtrasi

glomerulus di ginjal, CdMT kembali diserap secara efisien oleh sel-sel

tubulus proksimal, sehingga terakumulasi dalam lisosom. Degradasi

berikutnya dari kompleks CdMT rilis Cd +2, yang menghambat fungsi

lisosom, mengakibatkan cedera sel.

Pengobatan Keracunan Logam

Perawatan terhadap pemaparan logam untuk mencegah atau

mengobati toksisitas dilakukan dengan chelating atau agen antagonis.

Chelation adalah pembentukan kompleks ion logam , di mana ion logam

dikaitkan dengan ligan donor elektron. Logam dapat bereaksi dengan O - ,

S - , dan N yang mengandung ligan (misalnya , - OH , - COOH , - S - S - ,

dan - NH2). Agen chelating harus mampu untuk menjangkau situs

penyimpanan, membentuk kompleks tidak beracun, tidak mudah mengikat

logam esensial ( misalnya, kalsium, seng ), dan mudah dikeluarkan.

Salah satu obat chelating yang pertama ditemukan berguna secara

klinis adalah antilewisite Inggris ( BAL [ 2,3- imercaptopropanol ] ), yang

dikembangkan selama Perang Dunia II sebagai antagonis gas perang

arsenik. BAL adalah senyawa dithiol dengan dua atom belerang pada atom

karbon yang berdekatan yang bersaing dengan situs mengikat penting

yang terlibat dalam toksisitas arsenik. Meskipun BAL akan mengikat

sejumlah logam beracun, juga merupakan obat yang berpotensi beracun

dengan beberapa efek samping. Menanggapi toksisitas BAL itu, beberapa

analog kini telah dikembangkan.

Gambar 2.2 Contoh Obat Chelating yang digunakan untuk mengobati toksik logam

BAB III

KESIMPULAN

Toksikologi adalah studi mengenai perilaku dan efek yang merugikan dari

suatu zat terhadap organisme/mahluk hidup. Dalam toksikologi, dipelajari

mengenai gejala, mekanisme, cara detoksifikasi serta deteksi keracunan pada

sistim biologis makhluk hidup. Toksikologi sangat bermanfaat untuk memprediksi

atau mengkaji akibat yang berkaitan dengan bahaya toksik dari suatu zat terhadap

manusia dan lingkungannya.

Toksikologi forensik, adalah penerapan toksikologi untuk membantu

investigasi medikolegal dalam kasus kematian, keracunan maupun penggunaan

obat-obatan. Dalam hal ini, toksikologi mencakup pula disiplin ilmu lain seperti

kimia analitik, farmakologi, biokimia dan kimia kedokteran.

Toksikologi forensik merupakan ilmu terapan yang dalam praktisnya

sangat didukung oleh berbagai bidang ilmu dasar lainnya, seperti kimia analisis,

biokimia, kimia instrumentasi, farmakologi toksikologi, farmakokinetik, dan

biotransformasi.