Tipus MATA Skenario 1
-
Upload
agil-wahyu-wicaksono -
Category
Documents
-
view
29 -
download
2
Transcript of Tipus MATA Skenario 1
Retinopati Diabetik
A. Definisi
Retinopati diabetik merupakan komplikasi kronis diabetes melitus berupa
mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan mikro vaskular pada
retina dengan gejala penurunan atau perubahan penglihatan secara perlahan.
(Lubis, 2008)
B. Epidemiologi
Manifestasi penyakit ini dapat terjadi pada 80% dari semua penderita
diabetes yang sudah menderita selama lebih dari 10 tahun atau 15 tahun.
Retinopati diabetik pada diabetes tipe I paling sedikit terlihat 3-5 tahun
sesudah onset, sedangkan pada diabetes tipe II retinopati, sejak diagnosis
ditegakkan sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetic nonproliperatif dan
setelah 20 tahun, prevalensinya meningkat menjadi leih dari 60% dalam berbagai
derajat.
Di Inggris retinopati diabetes merupakan penyebab kebutaan nomor 4
dari seluruh penyebab kebutaan yang terdapat pada kelompok usia 30-65 tahun,
sedangkan di Amerika Serikat terdapat kebutaan 5.000 orang per tahun akibat
retinopati diabetes. (Ilyas, 2006)
C. Etiologi
Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai sekarang belum diketahui,
namun keadaan hiperglikemia yang lama dianggap sebagai factor resiko utama.
Teori lain menyebutkan karena Growth Hormone, misalnya retinopati diabetik
yang menyembuh pada pasien nekrosis hipofisis hemoragik pascapartum
(Sindrom Sheehan). Dapat juga akibat abnormalitas komponen darah berupa
kelainan viskositas akibat peningkatan agregasi eritrosit, penurunan
deformabilitas sel darah merah, peningkatan agregasi trombosit, serta adhesi
trombosit ke pembuluh darah yang mengakibatkan sirkulasi yang mampet,
kerusakan endotel, yang akhirnya berbuah oklusi kapiler fokal. (Pandelaki,
2007).
D. Gejala Retinopati Diabetik
Kesulitan membaca
Pandangan kabur
Floaters (benda yang melayang-layang pada penglihatan)
Dengan pemeriksaan funduskopi didapatkan
– Mikroaneurisma
– Edema makula
– Perdarahan retina
– Neovaskularisasi
– Proliferasi jaringan fibrosis retina
(Bhavsar, 2009); (Ilyas, 2006)
E. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya RD masih belum jelas, namun beberapa studi
menyatakan bahwa hiperglikemi kronis merupakan penyebab utama kerusakan
multipel organ. Komplikasi hiperglikemia kronis pada retina akan menyebabkan
perfusi yang kurang adekuat akibat kerusakan jaringan pembuluh darah organ,
termasuk kerusakan pada retina itu sendiri. Terdapat 4 proses biokimiawi yang
terjadi pada hiperglikemia kronis yang diduga berhubungan dengan timbulnya
retinopati diabetik, antara lain: (Pandelaki, 2007)
1) Akumulasi Sorbitol
Produksi berlebihan serta akumulasi dari sorbitol sebagai hasil dari
aktivasi jalur poliol terjadi karena peningkatan aktivitas enzim aldose
reduktase yang terdapat pada jaringan saraf, retina, lensa, glomerulus, dan
dinding pembuluh darah akibat hiperglikemi kronis. Sorbitol merupakan
suatu senyawa gula dan alkohol yang tidak dapat melewati membrana
basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak dalam sel.
Kerusakan sel terjadi akibat akumulasi sorbitol yang bersifat hidrofilik
sehingga sel menjadi bengkak akibat proses osmotik. (Pandelaki, 2007)
Selain itu, sorbitol juga meningkatkan rasio NADH/NAD+ sehingga
menurunkan uptake mioinositol. Mioinositol berfungsi sebagai prekursor
sintesis fosfatidilinositol untuk modulasi enzim Na-K-ATPase yang
mengatur konduksi syaraf. Secara singkat, akumulasi sorbitol dapat
menyebabkan gangguan konduksi saraf. (Reddy, 2008)
Percobaan pada binatang menunjukkan inhibitor enzim aldose
reduktase (sorbinil) yang bekerja menghambat pembentukan sorbitol, dapat
mengurangi atau memperlambat terjadinya retinopatik diabetik. Namun uji
klinik pada manusia belum menunjukkan perlambatan dari progresifisitas
retinopati. (Mitchell, 2008)
2) Pembentukan protein kinase C (PKC)
Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel
vaskular meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol,
yang merupakan suatu regulator PKC dari glukosa. PKC diketahui memiliki
pengaruh terhadap agregasi trombosit, permeabilitas vaskular, sintesis
growth factor dan vasokonstriksi. Peningkatan PKC secara relevan
meningkatkan komplikasi diabetika, dengan mengganggu permeabilitas dan
aliran darah vaskular retina.
Peningkatan permeabilitas vaskular akan menyebabkan terjadinya
ekstravasasi plasma, sehingga viskositas darah intravaskular meningkat
disertai dengan peningkatan agregasi trombosit yang saling berinteraksi
menyebabkan terjadinya trombosis. Selain itu, sintesis growth factor akan
menyebabkan peningkatan proliferasi sel otot polos vaskular dan matriks
ekstraseluler termasuk jaringan fibrosa, sebagai akibatnya akan terjadi
penebalan dinding vaskular, ditambah dengan aktivasi endotelin-1 yang
merupakan vasokonstriktor sehingga lumen vaskular makin menyempit.
Seluruh proses tersebut terjadi secara bersamaan, hingga akhirnya
menyebabkan terjadinya oklusi vaskular retina. (Pandelaki, 2007); (Roy,
2000)
3) Pembentukan Advanced Glycation End Product (AGE)
Glukosa mengikat gugus amino membentuk ikatan kovalen secara non
enzimatik. Proses tersebut pada akhirnya akan menghasilkan suatu senyawa
AGE. Efek dari AGE ini saling sinergis dengan efek PKC dalam
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, sintesis growth factor,
aktivasi endotelin 1 sekaligus menghambat aktivasi nitrit oxide oleh sel
endotel. Proses tersebut tentunya akan meningkatkan risiko terjadinya oklusi
vaskular retina.(Pandelaki, 2007); (Ciulla, 2003)
AGE terdapat di dalam dan di luar sel, berkorelasi dengan kadar
glukosa. Akumulasi AGE mendahului terjadinya kerusakan sel. Kadarnya
10-45x lebih tinggi pada DM daripada non DM dalam 5-20 minggu. Pada
pasien DM, sedikit saja kenaikan glukosa maka meningkatkan akumulasi
AGE yang cukup banyak, dan akumulasi ini lebih cepat pada intrasel
daripada ekstrasel. (Ciulla, 2003)
4) Pembentukan Reactive Oxygen Speciesi (ROS)
ROS dibentuk dari oksigen dengan katalisator ion metal atau enzim
yang menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2), superokside (O2-).
Pembentukan ROS meningkat melalui autooksidasi glukosa pada jalur poliol
dan degradasi AGE. Akumulasi ROS di jaringan akan menyebabkan
terjadinya stres oksidatif yang menambah kerusakan sel. (Pandelaki, 2007);
(Ciulla, 2003)
F. Klasifikasi
a. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis
1. Retinopati Diabetik Nonproliperatif (RDNP)
a. RDNP minimal: terdapat ≥ 1 tanda berupa dilatasi vena,
mikroaneurisma, perdarahan intraretina yang kecil, atau hard eksudat.
b. RDNP ringan-sedang: terdapat ≥ 1 tanda berupa dilatasi vena derajat
ringan, perdarahan, hard eksudat, soft eksudat, atau intraretinal
microvascular abnormalities (IRMA)
c. RDNP berat: terdapat ≥ 1 tanda berupa perdarahan dan
mikroaneurisma pada 4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2 kuadran
atau IRMA pada1 kuadran
d. Retinopati nonproliperatif sangat berat: ditemukan ≥ 2 tanda pada
RDNP berat
2. Retinopati Diabetik Proliperatif (RDP)
a. RDP ringan (tanpa resiko tinggi): bila ditemukan minimal adanya
neovaskular pada diskus (NVD) yang mencakup < ¼ daerah diskus
tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus; atau neovaskular
dimana saja di retina (NVE) tanpa disertai perdarahan preretina atau
vitreus (Ilyas, 2006)
b. RDP berat (dengan resiko tinggi): apabila ditemukan 3 atau 4 resiko
berikut, a) ditemukan pembuluh darah baru dimana saja di retina, b)
ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat diskus optikus, c)
pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang mencakup
> ¼ daerah diskus, d) perdarahan vitreus. (Ilyas, 2006)
G. Pemeriksaan Penunjang
Untuk dapat membantu mendeteksi secara awal adanya edema
makula pada retinopati diabetik nonproliferatif dapat digunakan stereoscopic
biomicroskopic menggunakan lensa + 90 dioptri. Di samping itu, angiografi
flouresens juga sangat berrmanfaat dalam mendeteksi kelainan mikrovaskuler
retinopati diabetik non proliferative. Tes angiografi menggunakan kontras
untuk melihat aliran darah dan kebocoran (Ilyas, 2006).
H. Komplikasi
Komplikasi yang paling parah adalah kebutaan. Penyebab kebutaan pada
retinopati diabetik dapat terjadi karena 4 proses berikut, antara lain:
1) Retinal Detachment (Ablasio Retina)
Peningkatan sintesis growth factor pada retinopati diabetik juga akan
menyebabkan peningkatan jaringan fibrosa pada retina dan corpus vitreus.
Suatu saat jaringan fibrosis ini dapat tertarik karena berkontraksi, sehingga
retina juga ikut tertarik dan terlepas dari tempat melekatnya di koroid. Proses
inilah yang menyebabkan terjadinya ablasio retina pada retinopati diabetik.
(Pandelaki, 2007)
2) Oklusi vaskular retina
Penyempitan lumen vaskular dan trombosis sebagai efek dari proses
biokimiawi akibat hiperglikemia kronis pada akhirnya akan menyebabkan
terjadinya oklusi vaskular retina. Oklusi vena sentralis retina akan
menyebabkan terjadinya vena berkelok-kelok apabila oklusi terjadi parsial,
namun apabila terjadi oklusi total akan didapatkan perdarahan pada retina
dan vitreus sehingga mengganggu tajam penglihatan penderitanya. Apabila
terjadi perdarahan luas, maka tajam penglihatan penderitanya dapat sangat
buruk hingga mengalami kebutaan. Perdarahan luas ini biasanya didapatkan
pada retinopati diabetik dengan oklusi vena sentral, karena banyaknya
dinding vaskular yang lemah. (Pandelaki, 2007); (Ilyas, 2006)
Selain oklusi vena, dapat juga terjadi oklusi arteri sentralis retina.
Arteri yang mengalami penyumbatan tidak akan dapat memberikan suplai
darah yang berisi nutrisi dan oksigen ke retina, sehingga retina mengalami
hipoksia dan terganggu fungsinya. Oklusi arteri retina sentralis akan
menyebabkan penderitanya mengeluh penglihatan yang tiba-tiba gelap tanpa
terlihatnya kelainan pada mata bagian luar. Pada pemeriksaan funduskopi
akan terlihat seluruh retina berwarna pucat. (Pandelaki, 2007); (Ilyas, 2006)
3) Glaukoma
Mekanisme terjadinya glaukoma pada retinopati diabetik masih belum
jelas. Beberapa literatur menyebutkan bahwa glaukoma dapat terjadi pada
retinopati diabetik sehubungan dengan neovaskularisasi yang terbentuk
sehingga menambah tekanan intraokular. (Pandelaki, 2007)
Neuritis Optik
A. Definisi
Neuritis optik adalah peradangan atau demielinisasi saraf optikus akibat
berbagai macam penyakit. (Ilyas, 2006)
B. Etiologi
Anak-anak Usia Pertengahan Usia Tua
Post viral
Herpes simpleks atau
zoster Sarcoid
Leukimia
Proses granulamatous
Multiple sclerosis
Giant cell arteri
Iskhemik yang
berhubungan dengan
Arteriosclerosis atau
diabetes
(Ilyas, 2006)
C. Gejala
a. Sakit
Biasanya dijumpai pada 63 % kasus. Dapat ringan bahkan sampai
berat. Rasa sakit ini dinyatakan dengan sakit yang tumpul pada retro bulbar
atau rasa sakit yang tajam pada mata jika mata digerakkan atau di raba. Pada
19 % pasien, sakit dapat didahului hilangnya visus, dalam 7 hari. Biasanya
berlangsung 24-28 jam sebelum bersamaan dengan hilangnya visus. Tak ada
hubungan yang nyata antara rasa sakit dengan keparahan hilangnya visus atau
gambaran fundus (papilitis vs retrobulbar optik neuritis). (Ilyas, 2006)
b. Kaburnya penglihatan dalam beberapa menit atau beberapa jam yang lalu juga
didapati pada optik neuritis. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hal ini
termasuk :
Gangguan afektif
Latihan
Menstruasi (8 %)
Meningkatnya penerangan / cahaya (3 %)
Makanan (2 %)
Merokok (0,8 %) (Ilyas, 2006)
c. Hilangnya visus dapat : - ringan (≥ 20 / 30)
- sedang (≥ 20 / 60)
- berat (≤ 20 / 70)
Visus dapat mengurangi persepsi sinar. Pasien mengeluh adanya
pandangan berkabut atau visus yang kabur, kesulitan membaca, adanya bintik
buta, perbedaan subjektif pada terangnya cahaya, persepsi warna yang
terganggu, hilangnya persepsi dalam atau kaburnya visus untuk sementara.
(Ilyas, 2006)
d. Gangguan lapangan pandang
Depresi secara keseluruhan dari lapangan pandang adalah tipe defek
visual yang sering ditemukan. Banyak tipe kehilangan lapangan pandang
dilaporkan, termasuk skotoma centrocecal, kerusakan gelendong saraf
parasentral, kerusakan gelendong saraf yang meluas ke perifer, kerusakan
gelendong saraf yang melibatkan fiksasi dan perifer. Setelah 7 bulan, 51 %
kasus memiliki lapangan pandang yang normal. (Ilyas, 2006)
e. Ukuran pupil
Ukuran pupil sama dengan optik neuritis yang unilateral walaupun mata
tersebut buta. Umumnya, defek/kerusakan afferent pupil di karakteristikan
dengan hilangnya konstriksi pada penyinaran langsung, hal ini didapati pada
mata yang ipsilateral. Tes dengan lampu senter yang berayun adalah metode
sederhana untuk mendeteksi ukuran pupil. (Ilyas, 2006)
D. Pemeriksaan Penunjang
a. Perubahan awal
Papilitis dapat ditemukan dalam 38 % kasus. Diskus optikus normal
dalam 44 % kasus. Pucatnya bagian temporal menunjukkan adanya lesi optik
neuritis yang berat pada mata yang sama, hal ini dijumpai pada 18 % dari
pasien yang menjalani pemeriksaan. Papilitis tahap awal di karakteristikkan
dengan adanya batas diskus yang mengabur dan sedikit hiperemis.
b. Papilitis yang mencapai perkembangan yang lengkap
Adanya papiledema pada opthalmoskopi ditandai dengan adanya
pembengkakan, hilangnya fisiologis cup, hiperemis dan perdarahan yang
terpisah. Pembungkus vena biasanya jarang terlihat. Pemeriksaan dengan split
lamp untuk melihat adanya sel pada vitreous adalah hal yang sangat penting.
c. Perubahan lanjut
Pada retrobulbar optik neuritis, diskus yang normal dapat dijumpai
selama 4-6 minggu. Papilitis yang berlanjut kadang-kadang didapati gambaran
optik atropi sekunder. Pada keadaan ini batas diskus dapat mengabur, terdapat
jaringan glial pada diskus, dan pucatnya diskus bagian stadium akhir optik
neuritis. Pada stadium ini, serabut saraf atropi diamati pada retina dengan
perangkat lampu hijau merah. (Ilyas, 2006)
Uveitis
A. Definisi
Uveitis adalah inflamasi traktus uvea (iris,korpus siliaris,dan koroid)
dengan berbagai penyebabnya.Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea
yang mengalami inflamasi biasanya juga ikut mengalami inflamasi.
Pemeriksaan Pada Mata
A. Pemeriksaan Lapang Pandang
1. Uji Konfrontasi
Mata kiri pasien dan mata kanan pemeriksa ditutup. Penderita diperiksa
dengan duduk berhadapan dengan pemeriksa pada jarak kira-kira 1 meter.
Mata kanan pasien dengan mata kiri pemeriksa saling bertahap. Sebuah benda
dengan jarak yang sama digeser perlahan-lahan dari perifer lapang pandangan
ke tengah. Bila pasien sudah melihatnya ia diminta memberi tahu. Pada
keadaan ini bila pasien melihat pada saat yang bersamaan dengan pemeriksa
berarti lapang pandangan pasien adalah normal. Syarat pada pemeriksaan ini
adalah lapang pandangan pemeriksa adalah normal. (Ilyas, 2006)
2. Kampimeter dan Perimeter
Kampimeter merupakan alat pengukur atau pemetaan lapang pandangan
terutama daerah sentral atau parasentral. Disebut juga sebagai uji tangent
screen. Pasien duduk 2 meter dari sebuah tabir kain berwarna hitam layar
tangent screen Bjerrum dengan berfiksasi satu mata pada titik tengahnya.
Objek digeser perlahan-lahan dari tepi ke arah tengah. Dicari batas-batas pada
seluruh lapang pandangan pada saat dimana benda mulai terlihat. Pada
akhirnya didapatkan pemetaan lapang pandangan pasien. (Ilyas, 2006)
3. Uji Proyeksi Sinar
Uji proyeksi sinar hampir sama dengan uji konfrontasi. Gunanya untuk
mengetahui fungsi perifer retina. Caranya, penlight disinarkan ke daerah
nasal, temporal, atas, bawah, dan pasien diminta untuk menyebutkan dari
mana arah datangnya sinar tersebut. Apabila pasien masih bisa untuk
membedakan arah datangnya sinar, berarti fungsi retina perifer pasien masih
baik. (Ilyas, 2006)
B. Pemeriksaan Tajam Penglihatan
1. Pemeriksaan Visus
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui tajam penglihatan pasien.
Alat yang digunakan adalah trial lens, trial frame, kartu Snellen, Astigmat
dial. Cara pemeriksaan, visus sentralis jauh diperiksa dengan kartu Snellen.
Jarak pemeriksaan 5 atau 6 meter. Pasien diminta untuk menutup salah satu
mata (kiri dahulu) dengan menggunakan telapak tangan kiri, untuk memeriksa
visus mata kanan. Pasien diminta untuk menyebutkan huruf / angka / gambar /
huruf E yang berbeda ukuran, makin kebawah makin kecil. Bila huruf baris
paling atas tidak terbaca, maka diperiksa dengan hitungan jari tangan yang
berarti visusnya .../60. Bila tidak bisa menghitung jari, digunakan goyangan
tangan dengan jarak 1 meter, yang berarti visusnya 1/300. Bila tidak bisa
melihat goyangan tangan, digunakan berkas cahaya dengan jarak 1 meter,
yang berarti visusnya 1/ tak terhingga. (Ilyas, 2006)
2. Uji Pinhole
Uji ini untuk mengetahui apakah tajam penglihatan yang kurang terjadi
akibat kelainan refraksi atau kelainan organik media penglihatan.
Penderita duduk menghadap kartu Snellen dengan jarak 6 meter.
Penderita diminta melihat huruf terkecil yang masih dapat terlihat dengan
jelas. Kemudian pada mata tersebut ditaruh lempeng berlubang kecil (pinhole
atau lubang sebesar 0,75-1 mm). Bila terdapat perbaikan tajam penglihatan
dengan melihat melalui lubang kecil berarti terdapat kelainan refraksi. Bila
terjadi kemunduran tajam penglihatan berarti terdapat gangguan pada media
penglihatan atau kelainan organik. Mungkin saja diakibatkan kekeruhan
kornea, katarak, kekeruhan badan kaca, glaukoma, dan kelainan makula lutea.
(Ilyas, 2006)
C. Pemeriksaan Retina
1. Pemeriksaan Reflek Fundus
Pemeriksaan reflek fundus okuli sangat mudah apabila menggunakan
midriatika atau sikloplegia. Pemeriksaan ini menggunakan opthalmoskop.
Opthalmoskop merupakan alat yang mempunyai sumber cahaya untuk melihat
fundus okuli. Terdapat dua kegunaan opthalmoskop, yaitu :
- Memeriksa adanya kekeruhan pada media penglihatan yang keruh, seperti
pada kornea, lensa, dan badan kaca.
- Untuk memeriksa fundus okuli terutama retina dan papil saraf optik.
Interpretasi hasil pemeriksaan ini adalah apabila fundus okuli berwarna
kuning cemerlang, maka fundus refleknya cemerlang. Apabila fundus tampak
hitam / tidak jelas dilihat, berarti fundus reflek tidak cemerlang, bisa karena
kekeruhan lensa / katarak atau kekeruhan di vitreus. (Ilyas, 2006)
D. Pemeriksaan Glaukoma
Pemeriksaan glaukoma bertujuan untuk mengetahui tekanan pada bola
mata. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan alat yang dinamakan
tonometer. Pengukuran tekanan bola mata sebaiknya dilakukan pada setiap orang
berusia diatas 20 tahun.
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien dengan cara ditidurkan dengan
posisi horizontal dan mata ditetesi dengan anestesi lokal. Kemudian tonometer
Schiotz diletakkan diatas permukaan kornea. Dilihat berapakah angka yang
ditunjukjarum pengukur, kemudian dikonversikan sesuai skala yang ada pada
standar penilaian. Normalnya adalah 10 – 20 mmHg. Apabila lebih dari 25
mmHg bisa menimbulkan keadaan glaukoma dimana tekanan intraokuler bola
mata >25 mmHg. (Ilyas, 2006)
Daftar Pustaka
Lubis, Rodiah Rahmawati. 2008. Diabetik Retinopati. Universitas Sumatra Utara:
Medan.
Bhavsar AR & Drouilhet JH. 2009. Retinopathy, Diabetic, Background dalam
http://emedicine.medscape.com/ (online). Diakses tanggal 26 Oktober 2010.
Pemutakhiran data terakhir tanggal 6 Oktober 2009.
Pandelaki K. 2007. Retinopati Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
IV Jilid III. Editor: Aru W. Sudoyo dkk. Departemen ilmu penyakit dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
Ilyas S. 2006. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
Jakarta.
Mitchell PP & Foran S. 2008. Guidelines for the Management of Diabetic
Retinopathy. Australian Diabetes Society for the Department of Health and
Ageing: Australia.
Reddy GB, Satyanarayana A, Balakrishna N, Ayyagari R, Padma M, Viswanath K,
Petrash JM. 2008. Erythrocyte Aldose Reductase Activity and Sorbitol Levels
in Diabetic Retinopathy dalam www.molvis.org/molvis (online).Diakses
tanggal 26 Oktober 2010. Pemutakhiran data terakhir tanggal 24 Maret
2008.
Roy MS. 2000. Diabetic Retinopathy in African Americans with Type 1 Diabetes
dalam http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10636422 (online). Diakses
tanggal 26 Oktober 2010. Pemutakhiran data terakhir Januari 2000.
Ciulla TA, Amador AG, Zinman B. 2003. Diabetic Retinopathy and Diabetic
Macular Edema, Pathophysiology, Screening, and Novel Therapies dalam
http://care.diabetesjournals.org/content (online). Diakses tanggal 26 Oktober
2010. Pemutakhiran data terakhir tanggal 11 Mei 2003.