Tipus MATA Skenario 1

21
Retinopati Diabetik A. Definisi Retinopati diabetik merupakan komplikasi kronis diabetes melitus berupa mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan mikro vaskular pada retina dengan gejala penurunan atau perubahan penglihatan secara perlahan. (Lubis, 2008) B. Epidemiologi Manifestasi penyakit ini dapat terjadi pada 80% dari semua penderita diabetes yang sudah menderita selama lebih dari 10 tahun atau 15 tahun. Retinopati diabetik pada diabetes tipe I paling sedikit terlihat 3-5 tahun sesudah onset, sedangkan pada diabetes tipe II retinopati, sejak diagnosis ditegakkan sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetic nonproliperatif dan setelah 20 tahun, prevalensinya meningkat menjadi leih dari 60% dalam berbagai derajat. Di Inggris retinopati diabetes merupakan penyebab kebutaan nomor 4 dari seluruh penyebab kebutaan yang terdapat pada kelompok usia 30-65 tahun, sedangkan di Amerika Serikat terdapat kebutaan 5.000 orang per tahun akibat retinopati diabetes. (Ilyas, 2006)

Transcript of Tipus MATA Skenario 1

Page 1: Tipus MATA Skenario 1

Retinopati Diabetik

A. Definisi

Retinopati diabetik merupakan komplikasi kronis diabetes melitus berupa

mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan mikro vaskular pada

retina dengan gejala penurunan atau perubahan penglihatan secara perlahan.

(Lubis, 2008)

B. Epidemiologi

Manifestasi penyakit ini dapat terjadi pada 80% dari semua penderita

diabetes yang sudah menderita selama lebih dari 10 tahun atau 15 tahun.

Retinopati diabetik pada diabetes tipe I paling sedikit terlihat 3-5 tahun

sesudah onset, sedangkan pada diabetes tipe II retinopati, sejak diagnosis

ditegakkan sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetic nonproliperatif dan

setelah 20 tahun, prevalensinya meningkat menjadi leih dari 60% dalam berbagai

derajat.

Di Inggris retinopati diabetes merupakan penyebab kebutaan nomor 4

dari seluruh penyebab kebutaan yang terdapat pada kelompok usia 30-65 tahun,

sedangkan di Amerika Serikat terdapat kebutaan 5.000 orang per tahun akibat

retinopati diabetes. (Ilyas, 2006)

C. Etiologi

Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai sekarang belum diketahui,

namun keadaan hiperglikemia yang lama dianggap sebagai factor resiko utama.

Teori lain menyebutkan karena Growth Hormone, misalnya retinopati diabetik

yang menyembuh pada pasien nekrosis hipofisis hemoragik pascapartum

(Sindrom Sheehan). Dapat juga akibat abnormalitas komponen darah berupa

kelainan viskositas akibat peningkatan agregasi eritrosit, penurunan

deformabilitas sel darah merah, peningkatan agregasi trombosit, serta adhesi

trombosit ke pembuluh darah yang mengakibatkan sirkulasi yang mampet,

Page 2: Tipus MATA Skenario 1

kerusakan endotel, yang akhirnya berbuah oklusi kapiler fokal. (Pandelaki,

2007).

D. Gejala Retinopati Diabetik

Kesulitan membaca

Pandangan kabur

Floaters (benda yang melayang-layang pada penglihatan)

Dengan pemeriksaan funduskopi didapatkan

–     Mikroaneurisma

–     Edema makula

–     Perdarahan retina

–     Neovaskularisasi

–     Proliferasi jaringan fibrosis retina

(Bhavsar, 2009); (Ilyas, 2006)

E. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya RD masih belum jelas, namun beberapa studi

menyatakan bahwa hiperglikemi kronis merupakan penyebab utama kerusakan

multipel organ. Komplikasi hiperglikemia kronis pada retina akan menyebabkan

perfusi yang kurang adekuat akibat kerusakan jaringan pembuluh darah organ,

termasuk kerusakan pada retina itu sendiri. Terdapat 4 proses biokimiawi yang

terjadi pada hiperglikemia kronis yang diduga berhubungan dengan timbulnya

retinopati diabetik, antara lain: (Pandelaki, 2007)

 

1)    Akumulasi Sorbitol

Produksi berlebihan serta akumulasi dari sorbitol sebagai hasil dari

aktivasi jalur poliol terjadi karena peningkatan aktivitas enzim aldose

reduktase yang terdapat pada jaringan saraf, retina, lensa, glomerulus, dan

dinding pembuluh darah akibat hiperglikemi kronis. Sorbitol merupakan

suatu senyawa gula dan alkohol yang tidak dapat melewati membrana

Page 3: Tipus MATA Skenario 1

basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak dalam sel.

Kerusakan sel terjadi akibat akumulasi sorbitol yang bersifat hidrofilik

sehingga sel menjadi bengkak akibat proses osmotik. (Pandelaki, 2007)

Selain itu, sorbitol juga meningkatkan rasio NADH/NAD+ sehingga

menurunkan uptake mioinositol. Mioinositol berfungsi sebagai prekursor

sintesis fosfatidilinositol untuk modulasi enzim Na-K-ATPase yang

mengatur konduksi syaraf. Secara singkat, akumulasi sorbitol dapat

menyebabkan gangguan konduksi saraf. (Reddy, 2008)

Percobaan pada binatang menunjukkan inhibitor enzim aldose

reduktase (sorbinil) yang bekerja menghambat pembentukan sorbitol, dapat

mengurangi atau memperlambat terjadinya retinopatik diabetik. Namun uji

klinik pada manusia belum menunjukkan perlambatan dari progresifisitas

retinopati. (Mitchell, 2008)

 

2)  Pembentukan protein kinase C (PKC)

Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel

vaskular meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol,

yang merupakan suatu regulator PKC dari glukosa. PKC diketahui memiliki

pengaruh terhadap agregasi trombosit, permeabilitas vaskular, sintesis

growth factor dan vasokonstriksi. Peningkatan PKC secara relevan

meningkatkan komplikasi diabetika, dengan mengganggu permeabilitas dan

aliran darah vaskular retina.

Peningkatan permeabilitas vaskular akan menyebabkan terjadinya

ekstravasasi plasma, sehingga viskositas darah intravaskular meningkat

disertai dengan peningkatan agregasi trombosit yang saling berinteraksi

menyebabkan terjadinya trombosis. Selain itu, sintesis growth factor akan

menyebabkan peningkatan proliferasi sel otot polos vaskular dan matriks

ekstraseluler termasuk jaringan fibrosa, sebagai akibatnya akan terjadi

penebalan dinding vaskular, ditambah dengan aktivasi endotelin-1 yang

merupakan vasokonstriktor sehingga lumen vaskular makin menyempit.

Page 4: Tipus MATA Skenario 1

Seluruh proses tersebut terjadi secara bersamaan, hingga akhirnya

menyebabkan terjadinya oklusi vaskular retina. (Pandelaki, 2007); (Roy,

2000)

 

3)   Pembentukan Advanced Glycation End Product (AGE)

Glukosa mengikat gugus amino membentuk ikatan kovalen secara non

enzimatik. Proses tersebut pada akhirnya akan menghasilkan suatu senyawa

AGE. Efek dari AGE ini saling sinergis dengan efek PKC dalam

menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, sintesis growth factor,

aktivasi endotelin 1 sekaligus menghambat aktivasi nitrit oxide oleh sel

endotel. Proses tersebut tentunya akan meningkatkan risiko terjadinya oklusi

vaskular retina.(Pandelaki, 2007); (Ciulla, 2003)

AGE terdapat di dalam dan di luar sel, berkorelasi dengan kadar

glukosa. Akumulasi AGE mendahului terjadinya kerusakan sel. Kadarnya

10-45x lebih tinggi pada DM daripada non DM dalam 5-20 minggu. Pada

pasien DM, sedikit saja kenaikan glukosa maka meningkatkan akumulasi

AGE yang cukup banyak, dan akumulasi ini lebih cepat pada intrasel

daripada ekstrasel. (Ciulla, 2003)

 

4)   Pembentukan Reactive Oxygen Speciesi (ROS)

ROS dibentuk dari oksigen dengan katalisator ion metal atau enzim

yang menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2), superokside (O2-).

Pembentukan ROS meningkat melalui autooksidasi glukosa pada jalur poliol

dan degradasi AGE. Akumulasi ROS di jaringan akan menyebabkan

terjadinya stres oksidatif yang menambah kerusakan sel. (Pandelaki, 2007);

(Ciulla, 2003)

F. Klasifikasi

a. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis

1. Retinopati Diabetik Nonproliperatif (RDNP)

Page 5: Tipus MATA Skenario 1

a. RDNP minimal: terdapat ≥ 1 tanda berupa dilatasi vena,

mikroaneurisma, perdarahan intraretina yang kecil, atau hard eksudat.

b. RDNP ringan-sedang: terdapat ≥ 1 tanda berupa dilatasi vena derajat

ringan, perdarahan, hard eksudat, soft eksudat, atau intraretinal

microvascular abnormalities (IRMA)

c. RDNP berat: terdapat ≥ 1 tanda berupa perdarahan dan

mikroaneurisma pada 4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2 kuadran

atau IRMA pada1 kuadran

d. Retinopati nonproliperatif sangat berat: ditemukan ≥ 2 tanda pada

RDNP berat

2. Retinopati Diabetik Proliperatif (RDP)

a. RDP ringan (tanpa resiko tinggi): bila ditemukan minimal adanya

neovaskular pada diskus (NVD) yang mencakup < ¼ daerah diskus

tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus; atau neovaskular

dimana saja di retina (NVE) tanpa disertai perdarahan preretina atau

vitreus (Ilyas, 2006)

b. RDP berat (dengan resiko tinggi): apabila ditemukan 3 atau 4 resiko

berikut, a) ditemukan pembuluh darah baru dimana saja di retina, b)

ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat diskus optikus, c)

pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang mencakup

> ¼ daerah diskus, d) perdarahan vitreus. (Ilyas, 2006)

G. Pemeriksaan Penunjang

Untuk dapat membantu mendeteksi secara awal adanya edema

makula pada retinopati diabetik nonproliferatif dapat digunakan stereoscopic

biomicroskopic menggunakan lensa + 90 dioptri. Di samping itu, angiografi

flouresens juga sangat berrmanfaat dalam mendeteksi kelainan mikrovaskuler

retinopati diabetik non proliferative. Tes angiografi menggunakan kontras

untuk melihat aliran darah dan kebocoran (Ilyas, 2006).

Page 6: Tipus MATA Skenario 1

H. Komplikasi

Komplikasi yang paling parah adalah kebutaan. Penyebab kebutaan pada

retinopati diabetik dapat terjadi karena 4 proses berikut, antara lain:

1)   Retinal Detachment (Ablasio Retina)

Peningkatan sintesis growth factor pada retinopati diabetik juga akan

menyebabkan peningkatan jaringan fibrosa pada retina dan corpus vitreus.

Suatu saat jaringan fibrosis ini dapat tertarik karena berkontraksi, sehingga

retina juga ikut tertarik dan terlepas dari tempat melekatnya di koroid. Proses

inilah yang menyebabkan terjadinya ablasio retina pada retinopati diabetik.

(Pandelaki, 2007)

2)  Oklusi vaskular retina

Penyempitan lumen vaskular dan trombosis sebagai efek dari proses

biokimiawi akibat hiperglikemia kronis pada akhirnya akan menyebabkan

terjadinya oklusi vaskular retina. Oklusi vena sentralis retina akan

menyebabkan terjadinya vena berkelok-kelok apabila oklusi terjadi parsial,

namun apabila terjadi oklusi total akan didapatkan perdarahan pada retina

dan vitreus sehingga mengganggu tajam penglihatan penderitanya. Apabila

terjadi perdarahan luas, maka tajam penglihatan penderitanya dapat sangat

buruk hingga mengalami kebutaan. Perdarahan luas ini biasanya didapatkan

pada retinopati diabetik dengan oklusi vena sentral, karena banyaknya

dinding vaskular yang lemah. (Pandelaki, 2007); (Ilyas, 2006)

Selain oklusi vena, dapat juga terjadi oklusi arteri sentralis retina.

Arteri yang mengalami penyumbatan tidak akan dapat memberikan suplai

darah yang berisi nutrisi dan oksigen ke retina, sehingga retina mengalami

hipoksia dan terganggu fungsinya. Oklusi arteri retina sentralis akan

menyebabkan penderitanya mengeluh penglihatan yang tiba-tiba gelap tanpa

terlihatnya kelainan pada mata bagian luar. Pada pemeriksaan funduskopi

akan terlihat seluruh retina berwarna pucat. (Pandelaki, 2007); (Ilyas, 2006)

Page 7: Tipus MATA Skenario 1

3)  Glaukoma

Mekanisme terjadinya glaukoma pada retinopati diabetik masih belum

jelas. Beberapa literatur menyebutkan bahwa glaukoma dapat terjadi pada

retinopati diabetik sehubungan dengan neovaskularisasi yang terbentuk

sehingga menambah tekanan intraokular. (Pandelaki, 2007)

 

Neuritis Optik

A. Definisi

Neuritis optik adalah peradangan atau demielinisasi saraf optikus akibat

berbagai macam penyakit. (Ilyas, 2006)

B. Etiologi

Anak-anak Usia Pertengahan Usia Tua

Post viral

Herpes simpleks atau

zoster Sarcoid

Leukimia

Proses granulamatous

Multiple sclerosis

Giant cell arteri

Iskhemik yang

berhubungan dengan

Arteriosclerosis atau

diabetes

(Ilyas, 2006)

C. Gejala

a. Sakit

Biasanya dijumpai pada 63 % kasus. Dapat ringan bahkan sampai

berat. Rasa sakit ini dinyatakan dengan sakit yang tumpul pada retro bulbar

atau rasa sakit yang tajam pada mata jika mata digerakkan atau di raba. Pada

19 % pasien, sakit dapat didahului hilangnya visus, dalam 7 hari. Biasanya

berlangsung 24-28 jam sebelum bersamaan dengan hilangnya visus. Tak ada

hubungan yang nyata antara rasa sakit dengan keparahan hilangnya visus atau

gambaran fundus (papilitis vs retrobulbar optik neuritis). (Ilyas, 2006)

Page 8: Tipus MATA Skenario 1

b. Kaburnya penglihatan dalam beberapa menit atau beberapa jam yang lalu juga

didapati pada optik neuritis. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hal ini

termasuk :

Gangguan afektif

Latihan

Menstruasi (8 %)

Meningkatnya penerangan / cahaya (3 %)

Makanan (2 %)

Merokok (0,8 %) (Ilyas, 2006)

c. Hilangnya visus dapat : - ringan (≥ 20 / 30)

- sedang (≥ 20 / 60)

- berat (≤ 20 / 70)

Visus dapat mengurangi persepsi sinar. Pasien mengeluh adanya

pandangan berkabut atau visus yang kabur, kesulitan membaca, adanya bintik

buta, perbedaan subjektif pada terangnya cahaya, persepsi warna yang

terganggu, hilangnya persepsi dalam atau kaburnya visus untuk sementara.

(Ilyas, 2006)

d. Gangguan lapangan pandang

Depresi secara keseluruhan dari lapangan pandang adalah tipe defek

visual yang sering ditemukan. Banyak tipe kehilangan lapangan pandang

dilaporkan, termasuk skotoma centrocecal, kerusakan gelendong saraf

parasentral, kerusakan gelendong saraf yang meluas ke perifer, kerusakan

gelendong saraf yang melibatkan fiksasi dan perifer. Setelah 7 bulan, 51 %

kasus memiliki lapangan pandang yang normal. (Ilyas, 2006)

e. Ukuran pupil

Ukuran pupil sama dengan optik neuritis yang unilateral walaupun mata

tersebut buta. Umumnya, defek/kerusakan afferent pupil di karakteristikan

Page 9: Tipus MATA Skenario 1

dengan hilangnya konstriksi pada penyinaran langsung, hal ini didapati pada

mata yang ipsilateral. Tes dengan lampu senter yang berayun adalah metode

sederhana untuk mendeteksi ukuran pupil. (Ilyas, 2006)

D. Pemeriksaan Penunjang

a. Perubahan awal

Papilitis dapat ditemukan dalam 38 % kasus. Diskus optikus normal

dalam 44 % kasus. Pucatnya bagian temporal menunjukkan adanya lesi optik

neuritis yang berat pada mata yang sama, hal ini dijumpai pada 18 % dari

pasien yang menjalani pemeriksaan. Papilitis tahap awal di karakteristikkan

dengan adanya batas diskus yang mengabur dan sedikit hiperemis.

b. Papilitis yang mencapai perkembangan yang lengkap

Adanya papiledema pada opthalmoskopi ditandai dengan adanya

pembengkakan, hilangnya fisiologis cup, hiperemis dan perdarahan yang

terpisah. Pembungkus vena biasanya jarang terlihat. Pemeriksaan dengan split

lamp untuk melihat adanya sel pada vitreous adalah hal yang sangat penting.

c. Perubahan lanjut

Pada retrobulbar optik neuritis, diskus yang normal dapat dijumpai

selama 4-6 minggu. Papilitis yang berlanjut kadang-kadang didapati gambaran

optik atropi sekunder. Pada keadaan ini batas diskus dapat mengabur, terdapat

jaringan glial pada diskus, dan pucatnya diskus bagian stadium akhir optik

neuritis. Pada stadium ini, serabut saraf atropi diamati pada retina dengan

perangkat lampu hijau merah. (Ilyas, 2006)

Uveitis

A. Definisi

Uveitis adalah inflamasi traktus uvea (iris,korpus siliaris,dan koroid)

dengan berbagai penyebabnya.Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea

yang mengalami inflamasi biasanya juga ikut mengalami inflamasi.

Page 10: Tipus MATA Skenario 1

Pemeriksaan Pada Mata

A. Pemeriksaan Lapang Pandang

1. Uji Konfrontasi

Mata kiri pasien dan mata kanan pemeriksa ditutup. Penderita diperiksa

dengan duduk berhadapan dengan pemeriksa pada jarak kira-kira 1 meter.

Mata kanan pasien dengan mata kiri pemeriksa saling bertahap. Sebuah benda

dengan jarak yang sama digeser perlahan-lahan dari perifer lapang pandangan

ke tengah. Bila pasien sudah melihatnya ia diminta memberi tahu. Pada

keadaan ini bila pasien melihat pada saat yang bersamaan dengan pemeriksa

berarti lapang pandangan pasien adalah normal. Syarat pada pemeriksaan ini

adalah lapang pandangan pemeriksa adalah normal. (Ilyas, 2006)

2. Kampimeter dan Perimeter

Kampimeter merupakan alat pengukur atau pemetaan lapang pandangan

terutama daerah sentral atau parasentral. Disebut juga sebagai uji tangent

screen. Pasien duduk 2 meter dari sebuah tabir kain berwarna hitam layar

tangent screen Bjerrum dengan berfiksasi satu mata pada titik tengahnya.

Objek digeser perlahan-lahan dari tepi ke arah tengah. Dicari batas-batas pada

seluruh lapang pandangan pada saat dimana benda mulai terlihat. Pada

akhirnya didapatkan pemetaan lapang pandangan pasien. (Ilyas, 2006)

3. Uji Proyeksi Sinar

Uji proyeksi sinar hampir sama dengan uji konfrontasi. Gunanya untuk

mengetahui fungsi perifer retina. Caranya, penlight disinarkan ke daerah

nasal, temporal, atas, bawah, dan pasien diminta untuk menyebutkan dari

mana arah datangnya sinar tersebut. Apabila pasien masih bisa untuk

membedakan arah datangnya sinar, berarti fungsi retina perifer pasien masih

baik. (Ilyas, 2006)

B. Pemeriksaan Tajam Penglihatan

Page 11: Tipus MATA Skenario 1

1. Pemeriksaan Visus

Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui tajam penglihatan pasien.

Alat yang digunakan adalah trial lens, trial frame, kartu Snellen, Astigmat

dial. Cara pemeriksaan, visus sentralis jauh diperiksa dengan kartu Snellen.

Jarak pemeriksaan 5 atau 6 meter. Pasien diminta untuk menutup salah satu

mata (kiri dahulu) dengan menggunakan telapak tangan kiri, untuk memeriksa

visus mata kanan. Pasien diminta untuk menyebutkan huruf / angka / gambar /

huruf E yang berbeda ukuran, makin kebawah makin kecil. Bila huruf baris

paling atas tidak terbaca, maka diperiksa dengan hitungan jari tangan yang

berarti visusnya .../60. Bila tidak bisa menghitung jari, digunakan goyangan

tangan dengan jarak 1 meter, yang berarti visusnya 1/300. Bila tidak bisa

melihat goyangan tangan, digunakan berkas cahaya dengan jarak 1 meter,

yang berarti visusnya 1/ tak terhingga. (Ilyas, 2006)

2. Uji Pinhole

Uji ini untuk mengetahui apakah tajam penglihatan yang kurang terjadi

akibat kelainan refraksi atau kelainan organik media penglihatan.

Penderita duduk menghadap kartu Snellen dengan jarak 6 meter.

Penderita diminta melihat huruf terkecil yang masih dapat terlihat dengan

jelas. Kemudian pada mata tersebut ditaruh lempeng berlubang kecil (pinhole

atau lubang sebesar 0,75-1 mm). Bila terdapat perbaikan tajam penglihatan

dengan melihat melalui lubang kecil berarti terdapat kelainan refraksi. Bila

terjadi kemunduran tajam penglihatan berarti terdapat gangguan pada media

penglihatan atau kelainan organik. Mungkin saja diakibatkan kekeruhan

kornea, katarak, kekeruhan badan kaca, glaukoma, dan kelainan makula lutea.

(Ilyas, 2006)

C. Pemeriksaan Retina

1. Pemeriksaan Reflek Fundus

Page 12: Tipus MATA Skenario 1

Pemeriksaan reflek fundus okuli sangat mudah apabila menggunakan

midriatika atau sikloplegia. Pemeriksaan ini menggunakan opthalmoskop.

Opthalmoskop merupakan alat yang mempunyai sumber cahaya untuk melihat

fundus okuli. Terdapat dua kegunaan opthalmoskop, yaitu :

- Memeriksa adanya kekeruhan pada media penglihatan yang keruh, seperti

pada kornea, lensa, dan badan kaca.

- Untuk memeriksa fundus okuli terutama retina dan papil saraf optik.

Interpretasi hasil pemeriksaan ini adalah apabila fundus okuli berwarna

kuning cemerlang, maka fundus refleknya cemerlang. Apabila fundus tampak

hitam / tidak jelas dilihat, berarti fundus reflek tidak cemerlang, bisa karena

kekeruhan lensa / katarak atau kekeruhan di vitreus. (Ilyas, 2006)

D. Pemeriksaan Glaukoma

Pemeriksaan glaukoma bertujuan untuk mengetahui tekanan pada bola

mata. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan alat yang dinamakan

tonometer. Pengukuran tekanan bola mata sebaiknya dilakukan pada setiap orang

berusia diatas 20 tahun.

Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien dengan cara ditidurkan dengan

posisi horizontal dan mata ditetesi dengan anestesi lokal. Kemudian tonometer

Schiotz diletakkan diatas permukaan kornea. Dilihat berapakah angka yang

ditunjukjarum pengukur, kemudian dikonversikan sesuai skala yang ada pada

standar penilaian. Normalnya adalah 10 – 20 mmHg. Apabila lebih dari 25

mmHg bisa menimbulkan keadaan glaukoma dimana tekanan intraokuler bola

mata >25 mmHg. (Ilyas, 2006)

Page 13: Tipus MATA Skenario 1

Daftar Pustaka

Lubis, Rodiah Rahmawati. 2008. Diabetik Retinopati. Universitas Sumatra Utara:

Medan.

Bhavsar AR & Drouilhet JH. 2009. Retinopathy, Diabetic, Background dalam

http://emedicine.medscape.com/ (online). Diakses tanggal 26 Oktober 2010.

Pemutakhiran data terakhir tanggal 6 Oktober 2009.

Pandelaki K. 2007. Retinopati Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi

IV Jilid III. Editor: Aru W. Sudoyo dkk. Departemen ilmu penyakit dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

Ilyas S. 2006. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:

Jakarta.

Mitchell PP & Foran S. 2008. Guidelines for the Management of Diabetic

Retinopathy. Australian Diabetes Society for the Department of Health and

Ageing: Australia.

Reddy GB, Satyanarayana A, Balakrishna N, Ayyagari R, Padma M, Viswanath K,

Petrash JM. 2008. Erythrocyte Aldose Reductase Activity and Sorbitol Levels

in Diabetic Retinopathy dalam www.molvis.org/molvis (online).Diakses

tanggal 26 Oktober 2010. Pemutakhiran data terakhir tanggal 24 Maret

2008.

Roy MS. 2000. Diabetic Retinopathy in African Americans with Type 1 Diabetes

dalam http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10636422 (online). Diakses

tanggal 26 Oktober 2010. Pemutakhiran data terakhir Januari 2000.

Ciulla TA, Amador AG, Zinman B. 2003. Diabetic Retinopathy and Diabetic

Macular Edema, Pathophysiology, Screening, and Novel Therapies dalam

http://care.diabetesjournals.org/content (online). Diakses tanggal 26 Oktober

2010. Pemutakhiran data terakhir tanggal 11 Mei 2003.