TINJAUAN YURIDIS ANAK BAYI TABUNG DALAM HUKUM …/Tinjauan... · perundang-undangan (statue...
Transcript of TINJAUAN YURIDIS ANAK BAYI TABUNG DALAM HUKUM …/Tinjauan... · perundang-undangan (statue...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
TINJAUAN YURIDIS ANAK BAYI TABUNG DALAM HUKUM WARIS
BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
Penelitian Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih
Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
TIAR NURUL CHASANAH
NIM: E0007054
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Tiar Nurul Chasanah
NIM : E0007054
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penelitian hukum (skripsi) berjudul:
”TINJAUAN YURIDIS ANAK BAYI TABUNG DALAM HUKUM WARIS
BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA”
adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penelitian
hukum (skripsi) ini, diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan penelitian hukum dan gelar yang
saya peroleh dari penelitian hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 12 Januari 2012
Yang Membuat Pernyataan
Tiar Nurul Chasanah NIM. E0007054
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAKSI
TIAR NURUL CHASANAH. E0007054. 2012. TINJAUAN YURIDIS ANAK BAYI TABUNG DALAM HUKUM WARIS BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Hukum di Indonesia yang saat ini telah menyentuh di segala bidang kehidupan termasuk dalam bidang kedokteran. Adanya alih teknologi mengenai bayi tabung dalam rangka menanggulangi infertilisasi pada pasangan suami istri memerlukan perlindungan hukum pula untuk diterapkan di Indonesia seperti mengenai hubungan hukum anak bayi tabung dalam perkawinan menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta mengenai hak mewaris atas anak bayi tabung berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan jenis peneltian normatif, penulisan ini bersifat preskriptif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini yaitu sumber data sekunder dengan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penulisan ini dengan menggunakan studi kepustakaan. Penulisan ini menggunakan teknis analisis bahan metode silogisme dan interpretasi.
Adanya teknologi bayi tabung di Indonesia memaksa para legislatif untuk membuat peraturan yang berkaitan dengan penerapan anak bayi tabung di Indonesia. Pelaksanaan teknologi bayi tabung di Indonesia berdasarkan proses alih teknologi yang diambil dari temuan teknologi para ahli kedoteran dari luar negeri dengan pertimbangan untuk mengambil aspek kemanfaatan dari teknologi bayi tabung serta mengingat arti pentingnya anak dalam suatu keluarga. Akan tetapi hukum di Indonesia ternyata ketinggalan dari pada fenomena tentang bayi tabung. Bayi tabung di Indonesia pertama kali dilakukan pada tahun 1988 namun peraturan bayi tabung baru muncul pada tahun 1993 pada Pasal 16 Undang-Udang No 23 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang selanjutnya disempurnakan dengan Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam Undang-Undang tersebut hanya mengatur secara umum mengenai syarat umum bayi tabung dapat diterapkan di Indonesia, tidak menyebutkan peraturan mengenai kedudukan hukum maupun hak mewaris anak bayi tabung. Dengan dasar penafsiran secara analogi atau memperluas pengertian dari anak sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka anak bayi tabung dapat dikategorikan sebagai anak sah. Dikategorikannya anak bayi tabung ke dalam anak sah menjadikan anak bayi tabung memiliki hak waris yang sama dengan anak sah. anak bayi tabung merupakan salah satu ahli waris ab intestato golongan I berdasarkan Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
Kata Kunci: Kedudukan Hukum Anak Bayi Tabung, Anak Sah, Hak Waris Anak
Bayi Tabung menurut KUHPerdata
ABSTRACT
TIAR NURUL CHASANAH. E0007054. 2012. A JURIDICAL REVIEW ON IN VITRO FERTILIZATION-CHILD IN LEGACY LAW BASED ON THE CIVILE CODE. Faculty of Law of Surakarta Sebelas Maret University.
The law in Indonesia has currently touched every areas of life including medical area. The presence of technology transfer about in vitro fertilization in the attempt of coping with infertility in husband-wife couple needs law protection to be applied to Indonesia like that concerns the legal relationship of in vitro fertilization-child in marriage according to the Act No. 1 of 1974 about Marriage as well as concerns the right to give legacy to the in vitro fertilization based on the Civil Code.
In this legal research, the author employed a normative type of research that was prescriptive in nature, using statute and conceptual approaches. The data source used in this research was secondary data source with primary, secondary, and tertiary law materials. Technique of collecting law material used in this research was library research. Meanwhile the technique of analyzing material used in this research was syllogism and interpretation method.
The presence of in vitro fertilization technology in Indonesia forced the legislature to develop a regulation concerning the application of in vitro fertilization-child in Indonesia. The implementation of in vitro fertilization in Indonesia was based on the technology transfer process taken from the technological findings of foreign medical experts by taking into account the beneficial aspect of in vitro fertilization technology and recalling the importance of child within a family. However, Indonesian law, in fact, was left behind the phenomenon of in vitro fertilization. The first in vitro fertilization in Indonesia was done in 1988, but the regulation about it emerged only in 1993 in the Article 16 of Act No. 23 about 2009 about Health, thereafter accomplished by the Article 127 of Act No. 36 of 2009 about general conditions of in vitro fertilization that can be applied in Indonesia, without mentioning the regulation about the legal position and the right to give the in vitro fertilization-child the legacy. Based on the analogical interpretation or the extension of definition of legal child about Act No. 1 of 1974 about Marriage and Civil Code, the in vitro fertilization-child could be categorized as legal child. The inclusion of in vitro fertilization-child into legal child made him/her having the right to legacy equal to the legal child. The in vitro fertilization-child was one of ab intestato class I beneficiaries based on the Article 852 of Civil Code.
Keywords: Legal Position of In vitro fertilization-child, Legal Child, the In vitro fertilization’s Right to Legacy according to the Civil Code.
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
O you who believe! stand out firmly for justice, as witnesses to Allah, even as
against yourselves, or your parents, or your kin, and whether it be (against) rich or
poor: for Allah can best protect both. Follow not the lusts (of your hearts), lest you
swerve, and if you distort (justice) or decline to do justice, verily Allah is well-
acquainted with all that you do.
- Q.S. An-Nisa : 135 –
Harus ada dari kamu segolongan (orang-orang) yang mengajak kepada
kebaikan, menganjurkan kebaikan dan mencegah yang munkar. Merekalah orang-
orang yang beruntung dan berbahagia.
- Q.S. Ali Imran : 104 –
Yakinlah, bahwa apa pun yang Anda kerjakan, atau yang tidak Anda kerjakan,
mengarah ke sesuatu, dan akan menyampaikan Anda kepada kualitas hidup
tertentu di masa depan.
- Mario Teguh -
Sakit dalam perjuangan itu hanya sementara. Bisa jadi Anda rasakan dalam
semenit, sejam, sehari, atau setahun. Namun jika menyerah, rasa sakit itu akan
terasa selamanya”
- Lance Armstrong-
Memang baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik
- Peneliti -
vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini peneliti persembahkan kepada : § Allah SWT, Penguasa semesta
alam, yang senantiasa memberikan yang terbaik dalam setiap detik episode kehidupan;
§ Bapak dan Ibu yang tiada henti memberi dukungan dan senantiasa mendoakanku selama ini;
§ Kakak-kakakku yang selalu membantu dan menyemangati;
§ Keponakanku yang telah menjadi sumber penghiburanku;
§ Indonesia tercinta, tempatku bernaung;
§ Almamaterku, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
§ Giniung Pratidina, yang selalu menguatkan di segala keadaanku.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan hukum ( skripsi ) dengan judul: “TINJAUAN
YURIDIS ANAK BAYI TABUNG DALAM HUKUM WARIS
BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA”.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai
syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau
skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materil maupun moril
yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada :
1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan
kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu hukum melalui
penulisan skripsi.
2. Ibu Djuwityastuti, S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ibu Endang Mintorowati, S.H., M.H. selaku Pembimbing I yang telah dengan
sabar membantu, membimbing, serta memberikan banyak pembelajaran yang
sangat berharga bagi penulis.
4. Ibu Ambar Budhi Sulistyawati, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Skripsi
yang telah membimbing, membantu, mendukung dan memberikan curahan
ilmunya kepada penulis.
viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
5. Bapak Tuhana, S.H., M.Si selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan dan
nasehatnya selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga
dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis
amalkan dalam kehidupan masa depan nantinya.
7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Achmad Sumardi dan Ibunda Sri Surati,
atas segala untaian doa, dukungan, kasih sayang, kerja keras serta tetesan air
matanya telah diberikan selama ini. I’m here because you love me.
8. Kakak tercinta, Retno Nugraini Rahayu, yang selalu memberikan kasih
sayang, dukungan dan motivasi kepada penulis.
9. Kakak tersayang, Riska Anggit Dwi Ning Tyas yang selalu mendukung
penulis, memberikan ide cemerlang, arahan dan membantu menyelesaikan
masalah penulis.
10. Kakak-kakakku, Alfath Fathoni Jumadil Ula, S. Ip. dan Asep Surono, SE yang
telah memberikan motivasi dan dukungan untuk penulis.
11. Keponakanku, Deff Abdillah Ahmad Al Ghozali, yang selalu menjadi sumber
penghiburan penulis.
12. Giniung Pratidina, S.H. yang senantiasa memberikan semangat penulis,
menuntun kedewasaan penulis dan selalu menguatkan penulis dalam segala
keadaan.
13. Mas Arif Agus yang telah menjaga dan membantu penulis selama menuntut
ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
14. Mas Say, S.H. atas kesabaran dan kepeduliannya untuk membagikan ilmunya
kepada penulis.
15. Seluruh teman-teman Justicia Angkatan 2007 FH UNS.
16. Segenap anggota Dewan Mahasiswa Fakultas Hukum (DEMA FH) periode
2007-2008.
ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
17. Saudaraku, Satya Nugraha, Maya Istia, Padang, Buyung Loding, Istiana, Dedi
Tri Yulianto, Bu Tin (Tina Tince) yang telah bersama-sama penulis mengukir
kebahagiaan dan kesuksesan.
18. Sahabat-sahabatku di Shimanist, Kartika Purbasari, Giska Talisha, Bu Laras,
Maya, yang telah memberikan warna dalam hidup penulis.
19. Teman-teman Magelangers, Dura, Dhanis, Dhani, Randu, Nera, Nunna yang
selalu memberikan kesan kehebohan dan memberi keceriaan bagi penulis.
20. Teman-teman Himaho, Ocki, Riskiyes, Hapsoro, Jefri, Bayu, Black, Penden,
Tama, Penceng, yang telah membuat semangat bagi penulis selama ini.
21. Teman-teman alumni Akademi Putri Ayu, Ike, Mega, Sari, Ana, Peny, dan Eli
yang dengan cerianya memberikan rasa kekeluargaan yang mendalam bagi
penulis.
22. Sang idola Beyonce Knowless, untuk gertakan lagu Run The World yang turut
memberikan inspirasi serta kobaran semangat selama penyelesaian penulisan
hukum ini.
23. Seluruh teman-teman kost Putri Shima 2 yang telah membantu dan memberi
dukungannya selama ini.
24. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan
penulisan hukum ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang
membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya
tulis ini mampu memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.
Surakarta, 12 Januari 2012
Peneliti
x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
TIAR NURUL CHASANAH
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI…………………….. .... iii
PERNYATAAN……………........................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................... v
HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ........................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
DAFTAR ISI.................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................ 8
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian .................................................................. 9
E. Metode Penelitian ................................................................... 10
F. Sistematika Penelitian Hukum ............................................... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Kerangka Teori ....................................................................... 16
a. Tinjauan Umum tentang Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ....................................... 16
b. Tinjauan Umum tentang Perkawinan
di Indonesia ................................................. ..................... 19
xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
c. Tinjauan Umum tentang Waris di Indonesia .................... 21
d. Tinjauan Umum tentang Anak ......................................... 23
e. Tinjauan Umum tentang Bayi Tabung ............................. 26
f. Dasar Hukum, Status, dan Kedudukan Atas Anak Bayi
Tabung terhadap Harta Warisan ....................... ............... 32
g. Tinjauan Umum tentang Penafsiran Hukum .................... 33
2. Kerangka Pemikiran................................................................ 39
BAB III PEMBAHASAN
A. Kedududkan Kedudukan Hukum Anak Bayi Tabung
dalam Perkawinan Orang Tua menurut Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan............................. 42
1. Aturan Yuridis dan Problematika tentang
Anak Bayi Tabung…………………………………… 42
a. Anak menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan……………………………….. 44
b. Proses Lahirnya Anak Bayi Tabung ……………... 45
c. Legalitas Bayi Tabung melalui Akta atau
Pencatatan Kelahiran Anak ………………………. 50
2. Korelasi Alih Teknologi Berdasarkan Konsep
Kedokteran dan Mekanisme Pengaturannya ………….. 52
a. Konsep Alih Teknologi Bayi Tabung
Berdasarkan Ilmu Kedokteran ……………………. 52
b. Mekanise Pengaturan Anak Bayi Tabung ………... 57
3. Perkawinan Sah sebagai Syarat Pelaksanaan Bayi
Tabung di Indonesia …………………………………… 60
4. Konsep dan Legalias Anak Bayi Tabung sebagai
Anak Sah ……………………………………………… 64
B. Hak Waris atas Anak Bayi Tabung dalam Pewarisan
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata................. 71
1. Konsep Hukum Waris berdasarkan Kitab
xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
Undang-Undang Hukum Perdata ……………….……… 71
2. Penggolongan Warisan menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ………………………. 75
3. Tinjauan Yuridis Anak Bayi Tabung dalam Hukum
Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata .. 81
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 83
B. Saran ....................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 85
xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
xiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Negara Indonesia adalah Negara hukum yang berdasar atas konstitusi.
Di dalam negara hukum maka semua pola tindakan masyarakatnya diatur
dengan hukum. Baik dalam bidang hukum pidana, perdata, adat, hukum tata
negara, maupun hukum administrasi negara. Mengenai hukum perdata pada
intinya bersumber pada Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPer) dan juga peraturan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang. Selain itu ada pula peraturan perundang-undangan yang
lainnya misalnya seperti undang-undang. Berkaitan dengan hukum waris di
Indonesia bahwa sampai pada saat ini di Indonesia, belum ada hukum waris
nasional. Masih berlaku tiga hukum waris, yaitu hukum waris perdata, hukum
waris Islam dan hukum waris adat. Berlakunya hukum waris masih
tergantung pada hukum waris mana yang berlaku bagi yang meninggal dunia
(Eman Suparman, 1991:7). Sehingga penduduk di Indonesia dapat memilih
untuk tunduk pada salah satu hukum waris yang ada tersebut.
Pada zaman Hindia Belanda terdapat penggolongan penduduk menurut
Pasal 163 Indische Staatsregeling (I.S.) yang terbagi dalam tiga golongan
yaitu golongan pribumu (Indonesia Asli), golongan Eropa (Barat), dan
golongan Timur Asing, maka hukum perdata yang berlaku juga terbagi dalam
beberapa golongan sebagaimana yang terdapa dalam Pasal 131 Indische
Staatsregeling yaitu:
1. Bagi golongan Eropa, berlaku hukum perdata yang ketentuannya terdapat
di dalam Burgerlijke Wetboek/B.W. (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata), Wetboek Van Koophandel/W.v.k (Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang) dan Failsementverordering (Peraturan Kepailitan);
2. Bagi Golongan Timur Asing, mula-mula berlaku hukum adanya masing-
masing, kemudian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Kitab
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Undang-Undang Hukum Dagang dinyatakan berlaku bagi golongan Timur
Asing;
3. Bagi golongan Bumi Putera, pada pokoknya berlaku hukum adatnya
masing-masing (Kussunaryatun, dkk. 2008:21-22).
Mulanya Hukum Perdata Barat hanya berlaku bagi golongan Eropa
saja. Bagi golongan Timur Asing dan Indonesia masing-masing berlaku
Hukum Perdata Timur Asing dan Hukum Perdata Adat. Kemudian diadakan
ketentuan dalam peraturan-perundang-undangan Hindia Belanda menurut
Pasal 131 ayat (3) dan (4) I.S. yang mana membuka peluang atau
kemungkinan bagi golongan yang bukan Eropa untuk menikmati Hukum
Perdata Barat di Indonesia yang berlaku pula bagi golongan Eropa. Terdapat
beberapa cara bagi golongan selain eropa untuk tunduk pada Hukum Perdata
Barat di Indonesia yaitu antara lain dengan Persamaan Hak, Pernyataan
Berlakunya Hukum, serta penundukan sukarela Kepada Hukum Perdata Eropa
(Vrijwillige Onderwerping aan het Europese Privaatrecht). Pasal 131 I.S. ayat
(4) menyebutkan bahwa “Bagi orang Indonesia asli dan orang Timur Asing,
sepanjang mereka belum diletakkan di bawah suatu peraturan bersama dengan
bangsa Eropa diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku
untuk Eropa”. Sehingga dibentuk Stb. 1917/No. 12 tentang Penundukan
Sukarela Kepada Hukum Perdata Eropa melalui Lembaga Penundukan Diri.
Dalam peraturan ini menentukan adanya 4 macam Penundukan Dengan
Sukarela kepada hukum Perdata Barat di Indonesia yaitu melalui Lembaga
Penundukan Diri yang terdapat dalam Buku I Hukum Perdata Barat.
Penundukan tersebut terdiri dari:
1. penundukan diri untuk seluruh hukum perdata Eropa;
2. penundukan untuk sebagian hukum perdata Eropa,;
3. penundukan mengenai suatu perbuatan tertentu; dan
4. penundukan diri anggapan, yang mana merupakan penundukan tidak
sengaja untuk suatu perbuatan tertentu (secara diam-diam) (C.S.T. Kansil,
1992:8-9).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Berdasarkan pada Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia ditentukan bahwa “segala badan negara dan
peraturan yang masih berlangsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar”. Adanya peraturan perlaihan tersebut
dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum. Akan tetapi di Indonesia
pada saat ini terdiri dari 2 golongan warga Negara, yaitu Warga Negara
Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA) sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 26 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Mengenai Warga Negara Indonesia (WNI) itu sendiri berdasarkan dari
aspek biologis dapat dibedakan ke dalam 2 kelompok yaitu kelompok Warga
Negara Indonesia Asli (Bumi Putera) serta Warga Negara Indonesia keturunan
Tionghoa dan keturunan yang lain. Untuk keturunan asing seperti Tionghoa
dan keturunan yang lain dapat berkewarganegaraan Indonesia dengan cara
proses naturalisasi yang diatur sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang No 3
Tahun 1946 sehingga Warga Negara Asing tersebut Indonesia dapat menjadi
Warga Negara Indonesia.
Oleh karena Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 tidak mengenal adanya pembagian penduduk menjadi golongan-
golongan (tetapi hanya mengenal warga Negara dan bukan warga Negara),
maka di Indonesia sekarang ini sedang bersaha untuk membentuk hukum
perdata nasional. Sementara belum terbentuk hukum perdata nasional di
Indonesia sehingga BW/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masih berlaku
jika tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dengan maksud agar tidak terjadi kekosongan
hukum. Dengan demikian bagaimanapun juga Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata masih diperbolehkan dan berlaku terlebih dalam hal ini hukum waris
selama belum ada hukum waris nasional maka dapat memilih untuk
menggunakan salah satu dari tiga hukum waris yang ada di Indonesia.
Hukum di Indonesia menganut asas lex specialis de rograt lex
generalis yang berarti peraturan hukum yang khusus mengenyampingkan
peraturan hukum yang umum. Sebagai contoh dalam Kitab Undang-Undang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Hukum Perdata memuat pengaturan tentang perkawinan yang diatur dalam
Titel Buku IV mulai dari Pasal 26. Selanjutnya perkawinan diatur lebih lanjut
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata sebagai sumber hukum umum dan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai sumber hukum
umum sehingga isi dan muatan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang harus
didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak, yang bertujuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal atas dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa. Akan tetapi berdasarkan pada Aturan Peralihan Pasal II Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa apabila telah
ada hukum yang baru, maka peraturan hukum yang lama menjadi tidak
berlaku, sehingga dalam hal ini lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan sebagai hukum nasional yang menyebabkan tidak
berlakunya lagi Pasal-pasal yang mengatur tentang Perkawinan di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tersebut
berlaku bagi siapapun yang berada di Indonesia.
Berdasarkan aspek culture atau budaya di Indonesia, dalam suatu
perkawinan memiliki tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, selain itu tujuan untuk
terciptanya kebahagiaan dalam perkawinan salah satunya dengan memiliki
anak dari pasangan suami istri. Harapan untuk memiliki anak tersebut dengan
maksud bahwa memiliki anak sebagai penerus keturunan dari pasangan suami
istri. Mayoritas penduduk di Indonesia beranggapan bahwa tidak lengkap
suatu keluarga tanpa memiliki anak dalam budaya Indonesia.
Sebagai contoh di suku Batak, dikenal sebuah filosofi kuno yang
sampai saat ini masih dipegang teguh dalam kehidupan generasi-generasi
penerusnya yaitu, anakkonhi do hamoraon di au yang secara sederhana dapat
diberi arti, anaklah kekayaanku. Berkaca dari filosofi itu, kehadiran anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
mempunyai makna yang sangat penting dalam keluarga-keluarga Batak.
Tanpa anak, maka tak lengkap sebuah keluarga inti. Kehadiran anak pulalah
yang membuat orangtua dipandang hormat di tengah-tengah masyarakat.
Meski dalam masyarakat Batak tak dikenal sistem kasta, anak secara tidak
langsung ikut menopang posisi orangtua (http://sosbud.kompasiana.com/
2011/07/23/anak-harta-bagi-orang-batak/> [21 September 2011, pukul
03:25]). Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan dari pernikahan adalah
membentuk keluarga yang bahagia yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak serta
keturunan.
Arti penting kehadiran anak dalam suatu keluarga juga dapat
dipandang dalam ketentuan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu
pada Pasal 852 yang menyebutkan tentang anak dalam hal waris. Adanya
pengaturan khusus tentang anak terutama dalam hal waris menunjukkan
bahwa kehadiran anak sangatlah penting, terlebih lagi anak dalam hal waris
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dikategorikan dalam
golongan 1 yang hanya berdiri sendiri, tidak disatukan dengan janda, bapak,
ibu, kakek, nenek, atau ahli waris yang lain. Akan tetapi tidak semua keluarga
dapat memiliki anak atau keturunan.
Mayoritas dari pasangan suami istri di dunia ini mengalami
kemudahan untuk memiliki anak. Akan tetapi sekitar ada juga pasangan suami
istri yang mengalami masalah dalam memiliki anak atau keturunan. Kesulitan
dalam memiliki keturunan dikarenakan berbagai macam faktor dan kelainan
sistem reproduksi yang mungkin dimiliki, diantaranya yang disebut dengan
infertilisasi (kelainan) yang dapat mencegah pasangan suami istri yang ingin
memiliki anak (Wiryawan Permadi, 2008:2).
Fenomena yang terjadi bahwa atas alasan ketidakmampuan atau
kesulitan pasangan suami istri untuk memiliki anak menjadi pemicu untuk
melaksanakan program poligami atau bahkan perceraian. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi kesulitan pasangan suami istri untuk memiliki anak.
Sebagai contoh, menurut Wiryawan Permadi (2008, 4) bahwa faktor yang
sering tidak dapat dihindari dan memiliki peran besar dalam menentukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
mampu tidaknya pasangan suami istri untuk memiliki anak yakni faktor usia.
Dalam beberapa dekade terakhir, ilmu kedokteran telah berupaya untuk dapat
mengatasi setiap penyebab yang menghalangi impian pasangan suami istri
dalam memiliki keturunan (infertilisasi). Hasil yang diperoleh para ahli dan
penulis kedokteran dalam mengatasi infertilisasi adalah penerapan Fertilisasi
In Vitro (FIV) atau program bayi tabung. Teknologi bayi tabung di Indonesia
dapat diterapkan atas dasar adanya proses alih teknologi dari luar negeri ke
dalam negeri, sehingga Indonesia dapat menikmati penemuan baru di bidang
kedokteran yaitu adanya proses bayi tabung. Proses alih teknologi tersebut
dapat diterapkan di Indonesia asalkan tidak bertentangan dengan nilai luhur
bangsa dan konstitusi di Indonesia. Namun demikian, adanya proses alih
teknologi yang memunculkan teknologi bayi tabung tersebut belum ada suatu
ketentuan hukum yang mengatur mengenai bayi tabung terlebih dahulu
sebelum diberlakukannya proses bayi tabung di Indonesia. Sehingga hukum
menjadi tertinggal atas fenomena yang terjadi dalam bidang kedokteran itu
yang mana anak bayi tabung telah terlahir lebih dahulu dari pada hukum yang
mengatur bayi tabung di Indonesia. Dengan demikian baik dilihat dari aspek
culture di Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maupun
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 bahwa keberadaan anak sangat penting di
dalam suatu keluarga.
Pada mulanya program pelayanan bayi tabung bertujuan untuk
mengatasi pasangan suami istri yang tidak mungkin memiliki keturunan
secara alamiah disebabkan tuba falopi istrinya mengalami kerusakan yang
permanen. Namun kemudian mulai ada perkembangan yang mana program
atau teknologi bayi tabung ini diterapkan pula pada pasangan suami istri yang
memiliki penyakit atau kelainan lainnya yang menyebabkan tidak
dimungkinkan untuk memperoleh keturunan. Otto Soemarwoto dalam
bukunya “Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global” dengan tambahan
dan keterangan dari Drs. Muhammad Djumhana, S.H. yang dikutip oleh
bayitabung.blogspot.com, menyatakan bahwa bayi tabung pada satu pihak
merupakan hikmah. Ia dapat membantu pasangan suami istri yang subur tetapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
karena suatu gangguan pada organ reproduksi, mereka tidak dapat mempunyai
anak. Dalam kasus ini, sel telur istri dan sperma suami dipertemukan di luar
tubuh dan zigot yang terjadi ditanam dalam kandungan istri. Dalam hal ini
kiranya tidak ada pendapat pro dan kontra terhadap bayi yang lahir karena
merupakan keturunan genetik suami dan istri (http://bayitabung.blogspot.com
/2007/11/bayi-tabung-dari-sudut-pandang-hukum.html> [20 September 2011
pukul 01:29 WIB]).
Setelah adanya penemuan baru mengenai bayi tabung menjadi kaitan
dalam hukum positif di Indonesia yakni menyangkut tentang kepentingan
manusia yang perlu mendapat perlindungan hukum. Perlindungan hukum
yang terkait dengan bayi tabung ialah mengatur hubungan dalam hukum
keluarga dan pergaulan di dalam masyarakat. Dalam hubungan keluarga
antara lain tentang kedudukan yuridis anak, perkawinan, dan warisan.
Sedangkan yang termasuk dalam pergaulan di dalam masyarakat yang
menyangkut dengan bayi tabung ialah dalam hal perikatan (Salim HS,
1993:74). Problematik yang terjadi pada anak bayi tabung dalam hukum
positif di Indonesia yang menjadi acuan ialah dalam penentuan status dan
kedudukan yuridis atas anak bayi tabung, apakah termasuk dalam kategori
anak sah ataukah anak luar kawin.
Hukum yang mengatur tentang kedudukan hukum serta hak mewaris
bayi tabung di Indonesia belum ada, sedangkan hukum yang mengatur tentang
status hukum anak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga terjadi
kekosongan hukum dalam hal hukum atas anak bayi tabung, baik terkait
dengan hubungan hukum atas perkawinan menurut Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun mengenai hak mewaris atas anak
bayi tabung dalam hukum waris di Indonesia.
Berdasarkan atas arti penting dari kehadiran anak sebagai penerus
keturunan keluarga berdasarkan pada aspek culture dan juga pada Pasal 852
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Disamping itu atas pertimbangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
bahwa di dalam aturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dijelaskan
mengenai hak dan kewajiban anak bayi tabung terhadap pewarisan orang tua.
Berdasarkan problematik yang ada bahwa di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata tentang hak waris maupun Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tantang Perkawinan tidak menyebutkan pengaturan tentang anak
bayi tabung, maka penulis tertarik untuk mengadakan penulisan dalam bentuk
karya ilmiah skripsi dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS ANAK BAYI
TABUNG DALAM HUKUM WARIS BERDASARKAN KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA”.
B. RUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah merupakan suatu pertanyaan yang
mengidentifikasikan mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti,
sehingga dapat menemukan pemecahan masalah dengan tepat dan sesuai
dengan tujuan.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis membuat rumusan masalah
yang berhubungan dengan penulisan yang dilakukan sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan hukum anak bayi tabung dalam perkawinan
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
2. Bagaimana hak waris atas anak bayi tabung dalam pewarisan menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?
C. TUJUAN PENULISAN
Penulisan dilakukan karena memiliki tujuan. Tujuannya adalah
memecahkan permasalahan yang tergambar dalam latar belakang dan rumusan
masalah. Karena itu tujuan penulisan sebaiknya dirumuskan berdasarkan
rumusan masalahnya. Tujuan penulisan dicapai melalui serangkaian
metodologi penulisan (Subana dan Sudrajat, 2001: 71). Tujuan penulisan
diperlukan guna memberikan arahan dalam melangkah pada waktu penulisan.
Adapun tujuan dari dilakukannya penulisan ini antara lain sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui kedudukan hukum anak bayi tabung dalam
perkawinan orang tua menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan;
b. Untuk mengetahui hak waris atas anak bayi tabung dalam pewarisan
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Tujuan Subyektif
a. Memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun
penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam
meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret;
b. Menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan
pemahaman penulis mengenai aspek hukum di dalam teori maupun
praktek pada lapangan hukum.
D. MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan ini yaitu sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penulisan ini dapat memberikan kegunaan guna pengembangan
ilmu hukum, khususnya hukum perdata;
b. Memberikan jawaban atas rumusan masalah yang sedang diteliti oleh
penulis;
c. Hasil penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi
penulisan lain yang sejenis.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat mengembangkan kemampuan berpikir penulis sehingga dapat
mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang
dipelajari;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
b. Sebagai bahan masukan yang dapat digunakan dan memberikan
sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dan terlibat dalam
penanganan perkara waris;
c. Dapat memperluas cakrawala berpikir dan pandangan bagi civitas
akademika Universitas Sebelas Maret Surakarta, khususnya mahasiswa
fakultas hukum yang menerapkan penulisan hukum ini.
E. METODE PENULISAN
Metode berarti penyelidikan yang berlangsung menurut suatu rencana
tertentu. Menempuh suatu jalan tertentu untuk mencapai tujuan, artinya
penulis tidak bekerja secara acak-acakan. Langkah-langkah yang diambil
harus jelas serta ada pembatasan-pembatasan tertentu untuk menghindari jalan
yang menyesatkan dan tidak terkendalikan. Oleh karena itu metode ilmiah
timbul dengan membatasi secara tegas bahasa yang dipakai oleh ilmu tertentu
(Johnny Ibrahim, 2005:294).
1. Jenis penulisan
Jenis penulisan hukum ini adalah jenis penulisan hukum normatif
atau penulisan hukum doktrinal. Penulisan hukum normatif adalah suatu
prosedur penulisan ilmiah untuk menemukan pendapat berdasarkan logika
keilmuan hukum berdasarkan ilmu hukum itu sendiri sebagai objeknya,
dalam hal ini yaitu peraturan–peraturan hukum (Johnny Ibrahim, 2006:57).
Penulis memilih penulisan hukum normatif dikarenakan sesuai dengan
objek kajian dan isu hukum yang diangkat dan dianalisis melalui peraturan
hukum yang terkait dengan isu.
2. Sifat Penulisan
Sifat penulisan hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu
sendiri yakni ilmu hukum yang bersifat preskriptif. Sebagai ilmu yang
bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum , nilai-nilai
keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008:22). Penulisan hukum ini
bersifat preskriptif karena berusaha menjawab isu hukum yang diangkat
dengan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Dalam penulisan hukum ini
penulis menjawab isu hukum hak waris atas anak bayi tabung menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan konsep anak bayi tabung
sebagai anak sah dalam hubungan hukum dengan perkawinan menurut
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3. Pendekatan Penulisan
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penulisan
hukum terdapat lima pendekatan yaitu pendekatan undang-undang (statue
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach)
dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud
Marzuki, 2008: 93).
Pendekatan (approach) yang digunakan dalam satu penulisan
normatif akan memungkinkan seseorang penulis untuk memanfaatkan
hasil-hasil temuan ilmu hukum empiris dan ilmu-ilmu lain untuk
kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter
ilmu hukum sebagai ilmu normatif. Dalam kaitannya dengan penulisan
normatif dapat digunakan beberapa pendekatan berikut: pendekatan
perundang-undangan (statue approach), pendekatan konsep (conceptual
approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan
perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), pendekatan
kasus (case approach) (Johnny Ibrahim, 2005:300).
Dalam penulisan hukum ini, Penulis akan menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan
konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan
dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan peraturan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
bersangkut paut dan isu hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 93). Isu
hukum yang diangkat oleh penulis dalam penulisan hukum ini yaitu
mengenai hak mewaris dari anak bayi tabung menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang mana berkaitan dengan kedudukan hukum
anak bayi tabung, sehingga penulis meninjau perundang-undangan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai hukum warisnya,
Undnag-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penulisan ini juga
menggunakan pendekatan konsep dengan salah satu fungsi logis dari
konsep ialah memunculkan objek-objek yang menarik perhatian dari sudut
pandangan praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut
tertentu (Johnny Ibrahim, 2005: 306). Penulisan ini menggunakan
pendekatan konsep dengan alasan di dalam hukum positif Indonesia belum
ada suatu peraturan perundangan yang mengatur mengenai status dan
kedudukan hukum atas anak hasil bayi tabung yang dikategorikan dalam
anak sah atau anak tidak sah.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Sumber-sumber penulisan hukum dapat dibedakan menjadi
sumber-sumber penulisan yang berupa bahan-bahan hukum primer dan
bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan
hukum autoritatif yang artinya bahan hukum primer merupakan bahan
yang memiliki otoritas atau kekuasaan dalam pelaksanaannya. Yang
termasuk bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan,
catatan resmi yang berkaitan dengan hukum. Publikasi hukum tersebut
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,jurnal-jurnal hukum dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,
2008: 141).
Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah sumber
data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari kepustakaan, dalam
hal ini dibedakan menjadi 2 yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
a. Bahan Hukum Primer
Semua bahan hukum yang mempunyai kedudukan mengikat
secara yuridis. Meliputi peraturan perundang-undangan dalam hal ini:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
b. Bahan Hukum Sekunder
Semua bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer meliputi:
1) Buku-buku ilmiah di bidang hukum;
2) Buku-buku ilmiah di bidang kedokteran;
3) Makalah-makalah dan hasil-hasil karya ilmiah para sarjana;
4) Kamus-kamus hukum dan ensiklopedia;
5) Jurnal-jurnal hukum;
6) Literatur dan hasil penulisan lainnya.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan hukum
sekunder, misalnya; bahan dari media internet, kamus, ensiklopedia,
indeks kumulatif dan sebagainya.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan data dalam suatu penulisan merupakan hal yang
sangat penting dalam penulisan. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam
penulisan ini adalah menggunakan teknik studi pustaka atau “collecting by
library” yang mana menurut Lexy.J.Moleong (2005: 216-217) teknik ini
untuk mengumpulkan dan menyusun data yang diperlukan. Dalam
penulisan ini teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan jalan
membaca perundang-undangan seperti Kitab Undang-Undang Hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Perdata, Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-
Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta Peraturan Menteri
Kesehatan No.72/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi
Reproduksi Buatan, selain itu pengumpulan bahan hukum dengan
mempelajari literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang
dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersebut
kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai bahan hukum penunjang
dalam penulisan ini.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Penulisan normatif menggunakan teknik analisis dengan metode
silogisme dan interpretasi, dengan menggunakan pola pikir induktif.
Silogisme dengan teknik analisis induksi yaitu proses analisis bermula dari
penarikan kesimpulan dari permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan khusus yang diteliti. Penulisan hukum ini juga
menggunakan interpretasi berdasarkan Undang-Undang, interpretasi
berdasarkan Undang-Undang yaitu merupakan suatu “interpretasi
berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam undang-undang.
Interpretasi ini dapat dilakukan dengan singkat, padat, serta akurat
mengenai makna yang dimaksud dalam undang-undang tersebut nantinya
tidak mengandung multitafsir atau arti yang bermacam-macam” (Peter
Mahmud Marzuki, 2008:112).
F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM
Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika
penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan
hukum. Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 4 (empat) bab
yang saling berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan hukum
ini yaitu sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini, penulis akan menguraikan mengenai
latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat
penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan hukum
yang digunakan untuk memberikan pemahaman terhadap isi dari
penulisan ini secara garis besar.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan dibahas kajian pustaka berkaitan dengan judul dan isu
hukum yang diteliti yang memberikan landasan teori terhadap
penulisan hukum. Pada bab ini akan dibahas mengenai kerangka
teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori berisi tentang
tinjauan umum tentang Undang-Undang No 1 tahun 1974; tinjuan
umum tentang perkawinan di Indonesia; tinjauan umum tentang
hukum waris di Indonesia; tinjauan umum tentang anak, tinjauan
umum tentang bayi tabung; dasar hukum, status, dan kedudukan
atas anak bayi tabung terhadap harta warisan; dan tinjauan umum
tentang penafsiran hukum.
Kerangka pemikiran berisi tentang landasan berpikir penulis
terhadap permasalahan yang diteliti untuk mendapatkan jawaban
atas permasalahan tersebut.
BAB III HASIL PENULISAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan membahas sekaligus menjawab permasalahan
yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu mengenai kedudukan
hukum anak bayi tabung dalam perkawinan orang tua berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
hak mewaris atas anak bayi tabung dalam pewarisan menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
BAB IV PENUTUP
Pada bab ini penulis memberikan kesimpulan dan saran penulis
atas pembahasan setelah melakukan penulisan atau penulisan
hukum ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kerangka Teori
a. Tinjauan Umum tentang Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan
dan ditandatangani Presiden Republik Indonesia Jenderal
TNI Soeharto di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974 dan hari itu juga
diundangkan yang ditandatangani Menteri/Sekretaris Negara Republik
Indonesia, Mayor Jenderal TNI Sudarmono, S.H., serta dimuat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974 no. 1 dan penjelasannya
dimuat dalam tambahan lembaran Negara Republik Indonesia no. 3019
(Hilman Hadikusuma, 2003:4).
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan antara lain dinyatakan bahwa:
Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi barbagai golongan dalam masyarakat.
Diberlakukannya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan berarti bahwa keanekaragaman hukum perkawinan yang
selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan warga
Negara dalam masyarakat dan dalam berbagai daerah dapat diakhiri.
Namaun demikian ketentuan hukum perkawinan sebelumnya masih tetap
berlaku selama belum diatur sendiri oleh Undang-Undang No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Rachmadi Usman, 2006:230).
Peraturan perundangan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam Pasal 1 Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa Perkawinan adalah
16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memuat
kaidah-kaidah yang berhubungan dengan perkawinan dalam garis besar
secara pokok, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti dalam berbagai
peraturan pelaksananya. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan berfungsi sebagai paying hukum dan sumber pokok bagi
pengaturan hukum perkawinan, perceraian, dan rujuk yang berlaku bagi
semua warga Negara di Indonesia (Rachmadi Usman, 2006:245).
Menurut Racmadi Usman (2006:247) kandungan materi Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur persoalan-
persoalan pokok yaitu:
1) Meletakkan kerangka dan prinsip dasar pengaturan perkawinan yang
meliputi pengertian, tujuan dan dasar perkawinan, kesahan dan
pencatatan perkawinan, serta asas monogami dan poligami sebagai
pengecualian (syarat-syarat dan alasan berpoligami), diatur dalam
Pasal 1-5;
2) Syarat-syarat perkawinan, larangan perkawinan, waktu tunggu bagi
seorang wanita yang putus perkawinannya dan pelaksanaan
perkawinan, diatur dalam Pasal 6-12;
3) Mengatur perkawinan yang dapat dicegah, pihak-pihak yang dapat
mengajukan pencegahan perkawinan, dan penolakan perkawinan
pencatat perkawinan, diatur dalam Pasal 13-21;
4) Pembatalan perkawinan, pihak-pihak yang dapat mengajukan
pembatalan perkawinan, tempat mengajukan pembatalan perkawinan,
saat mulai berlakunya batalnya suatu perkawinan dan keputusan
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap beberapa hal,
diatur dalam Pasal 22-28;
5) Kemungkinan mengadakan perjanjian perkawinan pada waktu atau
sebelum perkawinan dilansungkan, diatur dalam Pasal 29;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
6) Mengatur mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam rumah
tangga , diatur dalam Pasal 30-35;
7) Pengaturan mengenai harta bersama dan status penguasaan harta
bawaan, tanggung jawab suami istri terhadap harta bersama maupun
harta bawaan, dan pengaturan penyelesaian harta bersama bila
perkawinan putus karena perceraian, diatur dalam Pasal 35-37;
8) Mengatur mengenai sebab-sebab putusnya perkawinan, tempat
mengajukan permohonan atau gugatan perceraian dan alasan-alasan
perceraian, dan akibat-akibat hukumnya, diatur dalam Pasal 38-41;
9) Hal menyangkut pengerian anak sah dan anak tidak sah, hubungan
nasab anak serta hak suami untuk mengingkari sahnya anak yang
dilahirkan oleh istrinya, diatur dalam Pasal 42-44;
10) Hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban antara orang tua dan
anak dalam rumah tangga, kekuasaan orang tua terhadap anak, dan
pencabutan kekuasaan orang tua, diatur dalam ada Pasal 45-49;
11) Hal-hal yang berkaitan dengan perwalian anak, penunjukan wali,
kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab wali, dan pencabutan
kekuasaan wali, diatur dalam Pasal 50-54;
12) Pembuktian dan penetapan asal usul seorang anak, diatur dalam Pasal
55;
13) Perkawinan di luar Indonesia, diatur dalam Pasal 56;
14) Pengertian perkawinan campuran, akibat hukum perkawinan campuran
terhadap kewarganegaraan suami dan istri, syarat-syarat perkawinan
campuran, sanksi pelanggaran ketentuan perkawinan campuran dan
kedudukan anak dalam perkawinan campuran, diatur dalam Pasal 57-
62;
15) Kewenangan pengadilan dalam hubungan dengan perkawinan, diatur
dalam pasal 63;
16) Ketentuan yang berhubungan peralihan berlakunya Undang-Undang
No 1 tahun 1974, yaitu pernyataan sahnya perkawinan yang terjadi
sebelum Undang-Undang No 1 tahun 1974 berlaku dan dijalankan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
menurut peraturan yang lama serta poligami yang dilakukan
berdasarkan hukum lama manapun, diatur dalam Pasal 65;
17) Ketentuan pernyataan tidak berlakunya ketntuan-ketentuan hukum
perkawinan yang lama dan pernyataan mulai berlakunya Undang-
Undang No 1 Tahun 1974, diatur dalam Pasal 66-67.
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut
asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal;
2) Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya
dan kepercayaannya itu;
3) Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan;
4) Perkawinan berasas monogami;
5) Calon suami istri harus sudah masuk jiwa raganya untuk
melangsungkan perkawinan;
6) Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16
tahun;
7) Perceraian dipersulit dan harus dilakukan dimuka siding pengadilan;
8) Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang (Hilman Hadikusuma,
2003:6).
b. Tinjauan Umum tentang Perkawinan di Indonesia
Perkawinan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur
dalam titel buku IV Pasal 26 dan seterusnya. Setelah berlakunya Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan beserta peraturan pelaksana
yaitu Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 perkawinan yang diatur
dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagian besar sudah
tidak berlaku lagi. Hal ini diatur pada Pasal 66 Undang-Undang No 1
Tahun 1974 yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan lain yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Cristen Indonesiers St. 1993
Nomor 74), Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
St. 1898 Nomor 198), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur
perkawinan sejauh telah diatur dari dalam Undang-Undang ini, dinyatakan
tidak berlaku (Kussunaryatun, 2011:31).
Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batn antara
seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Menurut Mark Kammack menjelaskan ada dua tujuan dari
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu :
1) Untuk mengurangi frekuensi perkawinan, perceraian dan perkawinan
dibawah tangan;
2) Untuk menyeragamkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan di Indonesia sebagai bagian program persatuan Indonesia
dibawah Ideologi Negara Pancasila (Baharuddin Ahmad 2008:51).
Legalitas perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terkait dengan sahnya perkawinan
yang dilakukan di Indonesia diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi
perkawinan adalah sah, apabila dailakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian dalam Pasal 2 ayat
(2) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Mengacu pada Pasal 2 ayat (1) dan (2)
secara tegas dikatakan bahwa sahnya perkawinan di Indonesia adalah
berdasarkan agama. Sedangkan pencatataan merupakan aspek
administratif demi ketertiban sebagai warga Negara (Mudiarti
Trisnaningsih 2007:55-56).
Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
adalah pertalian yang sah antara laki-laki dan seorang perempuan untuk
waktu yang lama. Undang-Undang memandang perkawinan hanya dari
hubungan keperdataan (Pasal 26 Burgerlijk Wetboek).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
c. Tinjauan Umum Hukum Waris di Indonesia
Di Indonesia, belum ada hukum waris nasional. Masih berlaku tiga
hukum waris, yaitu hukum waris perdata, hukum waris Islam dan hukum
waris adat. Berlakunya hukum waris masih tergantung pada hukum waris
mana yang berlaku bagi yang meninggal dunia. Jika yang meninggal dunia
atau pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia maka yang berlaku
adalah hukum waris adat, sedangkan jika pewaris termasuk golongan
Eropa atau Timur Asing Cina, berlaku hukum waris Barat. Jika pewaris
termasuk golongan penduduk Indonesia yang beragama Islam maka
mempergunakan peraturan hukum waris berdasarkan hukum waris Islam.
Jika pewaris termasuk golongan penduduk Timur Asing Arab atau India,
maka berlaku hukum adat masing-masing penduduk Timur Asing Arab
maupun India (Eman Suparman, 1991:7).
Dalam penulisan hukum ini, penulis akan meneliti tentang anak
dengan proses bayi tabung sebagai ahli waris dalam perspektif hukum
perdata sehingga pembahasan terfokus pada hukum waris berdasarkan
Hukum Perdata di Indonesia. Hukum waris ini merupakan bagian dari
hukum perdata dimana menurut Salim HS dalam buku yang dikutip oleh
Titik Triwulan Tutik (2006:212) bahwa:
Hukum Perdata pada dasarnya merupakan keseluruhan kaidah-kaidah hukum (baik tertulis/tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan subjek hukum yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.
Menurut Idris Ramulya yang dikutip oleh Eman Suparman
(1991:1), bahwa:
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana kepengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Istilah waris sendiri berarti “orang yang berhak menerima pusaka
(peninggalan) orang yang telah meninggal” (Eman Suparman, 1991:2).
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya
bagi para ahli warisnya (Effendi Perangin, 2005:3).
Definisi hukum waris menurut Pitlo yang dikutip oleh Eman
Suparman (1991:21):
Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai peminahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga. Kekayaan yang dimaksud dalam rumusan Pitlo adalah mengenai
sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal
dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. Pewarisan baru akan terjadi jika
terpenuhi tiga persyaratan, yaitu:
1) ada seseorang yang meninggal dunia;
2) ada orang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh
warisan pada saat pewaris meninggal dunia;
3) ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris (Eman
Suparman, 1991:21).
Berdasarkan Pasal 830 disebutkan bahwa “Pewarisan hanya
berlangsung karena kematian”. Terdapat dua cara untuk mendapat suatu
pewarisan menurut Undang-Undang yaitu:
1) Secara ab intestato (ahli waris menurut Undang-Undang);
2) Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat
dalam Pasal 899).
Dalam penulisan ini penulis akan membahas tentang ahli waris
mengenai anak sebagai ahli waris ab intestato atau ahli waris menurut
Undang-Undang. Ahli waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata terdiri atas 4 (empat) golongan, yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
1) Golongan pertama
Ahli waris golongan pertama terdiri dari suami atau istri yang
hidup terlama ditambah anak atau anak-anak serta sekalian keturunan
anak-anak. Ahli waris golongan pertama diatur dalam 852, 852 a Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata mengenai anak hanya mengatur tentang anak
sah, anak yang disahkan dan anak luar kawin yang diakui. Tentang
anak luar kawin diatur dalam Pasal 863 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Akan tetapi dalam hal ini tidak ada pengaturan mengenai anak
dengan proses bayi tabung.
2) Golongan kedua
Ahli waris golongan kedua terdiri atas ayah dan ibu yang masih
hidup, ayah atau ibu yang salah satunya telah meninggal dan saudara
serta keturunan saudara. Ahli waris golongan kedua ini diatur dalam
Pasal 854, 855, 856, dan 857 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3) Golongan ketiga
Ahli waris golongan ketiga terdiri atas kakek nenek garis ibu
dan kakek nenek garis ayah. Menurut Pasal 853 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, jika yang meninggal dunia tidak meninggalkan
keturunan maupun suami atau istri maupun saudara, maka harta
warisan dikloving (dibagi dua), satu bagian untuk sekalian keluarga
sedarah dalam garis bapak lurus keatas dan satu bagian lainnya untuk
sekalian keluarga sedarah dalam garis ibu lurus keatas.
4) Golongan keempat
Ahli waris golongan keempat terdiri atas sanak keluarga
pewaris dalam garis menyimpang sampai derajat keenam dan derajat
ketujuh karena penggantian tempat (Anisitus Amanat, 2001:7).
d. Tinjauan Umum tentang Anak
Dalam lingkungan hukum Perdata Indonesia, anak-anak dari si
peninggal warisan merupakan golongan yang terpenting dan yang utama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Menurut Dr. Wirjono dalam buku Hukum Waris di Indonesia yang dikutip
oleh Soedharyo Soimin (2002:31) menyebutkan bahwa “oleh karena
mereka (anak-anak) pada hakikatnya merupakan satu-satunya golongan
ahli waris, artinya sanak keluarga tidak menjadi ahli waris apabila si
peninggal warisan meninggalkan anak-anak”. Pengertian anak dalam tata
hukum negara Indonesia antara lain:
1) Pasal 250 KUHPerdata
Anak sah adalah tiap-tiap anak yang dilahirkan atau
ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai
bapaknya.
2) Pasal 42 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat dari perkawinan yang sah.
3) Pasal 280 dan 862 KUHPerdata dan Pasal 43 Undang-Undang No. 1 tahun 1974)
Anak yang lahir di luar perkawinan menurut istilah yang
dipakai atau dikenal dalam Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
dinamakan natuurlijk kind (anak alam). Anak luar kawin itu dapat
diakui oleh ayah atau ibunya. Anak luar kawin berstatus sebagai anak
yang diakui atau istilah hukumnya natuurlijk kind. Menurut sistem
yang dianut Burgerlijk Wetboek dengan adanya keturunan di luar
perkawinan saja belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak
dengan orang tua. Setelah ada pengakuan, baru terbitlah suatu pertalian
kekeluargaan dengan segala akibat-akibat dari pertalian kekeluargaan
tersebut (terutama hak mewaris) antara anak dengan orang tua yang
mengakuinya, demikian menurut Prof Subekti yang dikutip oleh
Soedharyo Soimin (2004:40).
Fenomena yang ada mengenai perkawinan bahwa adanya
perkawinan yang hanya dilangsungkan menurut hukum adat atau
perkawinan-perkawinan yang tidak dicatat menurut ketentuan Undang-
Undang Perkawinan. Dengan tidak dilangsungkannya perkawinan
menurut ketentuan hukum yang berlaku mengakibatkan anak-anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
yang dilahirkan di dalam perkawinan tersebut berstatus sebagai anak
luar kawin.
Sesuai ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal
280 dan 862) anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata
dengan orang tua yang mengakui dan hanya berhak mewaris dari orang
tua yang mengakui tersebut. Sehingga sepanjang tidak terdapat
pengakuan anak luar kawin oleh ayah dan atau ibu maka anak luar
kawin tersebut tidak berhak mewaris dari orang tuanya.
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal
43 menentukan bahwa anak luar kawin hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibu dari anak luar kawin. Berdasarkan
ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan maka seorang anak
luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu
dan juga berhak mewaris dari ibu dan keluarga ibu.
Berkaitan dengan pengakuan anak luar kawin bahwa jika kedua
orang tua yang telah melangsungkan perkawinan belum memberikan
pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum perkawinan,
pengesahan anak hanya dapat dilakukan dengan surat pengesahan dari
Kepala Negara. Dalam hal ini Presiden harus meminta pertimbangan
dari Mahkamah Agung. Pengakuan anak tidak dapat dilakukan secara
diam-diam, tetapi semata-mata dilakukan di hadapan Pencatatan Sipil
dengan catatan dalam akta kelahiran anak tersebut atau dalam akta
perkawinan orang tua atau dalam surat akta tersendiri dari pegawai
Pencatatan Sipil bahkan dibolehkan juga dalam akta notaris
(Soedharyo Soimin, 2006 :40).
Ditinjau dari Hukum Perdata akan terlihat adanya tiga
tingkatan status hukum dari anak di luar perkawinan yaitu:
a) Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua ibu-
bapak dari anak luar kawin itu;
b) Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau
kedua orang tua dari anak luar kawin tersebut;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
c) Anak di luar perkawinan yang menjadi anak sah, sebagai akibat
kedua orang tua melangsungkan perkawinan yang sah (Soedharyo
Soimin, 2006:40-41).
Mengenai pengesahan anak luar kawin menurut Soetojo
Prawirohamidjojo dan Martalena Pohan (2000: 188-189) adalah status
upaya hukum (rechtmiddel) untuk memberikan suatu kedudukan
(status) sebagai anak sah melalui perkawinna yang dilakukan orang
tuanya. Pengesahan dapat dilakukan melalui perkawinan orang tua
anak yang bersangkutan atau dengan surat-surat pengesahan
berdasarkan pengakuan terlebih dahulu oleh orang tua yang
bersangkutan. Pengesahan hanya dapat terjadi oleh:
a) Karena perkawinan orang tuanya (Pasal 272 BW);
Pasal 272 BW menyatakan anak-anak yang dibenihkan diluar
perkawinan akan menjadi anak sah jika:
(1) Orang tua melangsungkan perkawinan;
(2) Sebelum orang tua melangsungkan perkawinan terlebih dahulu
telah mengakui anaknya atau pengakuan tersebut dilakukan
dalam akta perkawinan.
b) Adanya surat-surat pengesahan (Pasal 274 BW).
Pengesahan dengan surat-surat pengesahan dapat dilakukan karena
dua hal yaitu:
(1) Jika orang tuanya lalai untuk mengakui anak-anaknya sebelum
perkawinan dilangsungkan atau pada saat perkawinan
dilangsungkan (Pasal 274 BW); atau
(2) Jika terdapat masalah hubungan intergentil (Soetojo
Prawirohamidjojo dan Martalena Pohan, 2000: 188-189).
e. Tinjauan Hukum tentang Bayi Tabung
Berdasarkan P.C. Steptoe dan Dr. R.G. Edwards dalam buku Birth
After Reimplantation of Human Embryo yang dikutip oleh Salim HS
(1993:6) bahwa:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Proses bayi tabung pertama kali berhasil dilakukan oleh Dr. P.C. Steptoe dan Dr. R.G. Edwards atas pasangan suami istri John Brown dan Leslie. Sperma dan ovum yang digunakan berasal dari pasangan suami istri, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istrinya, sehingga pada tanggal 25 Juli 1978 lahirlah bayi tabung yang pertama yang bernama Louise Brown di Oldham Inggris dengan berat badan 2.700 gram.
Momentum awal penemuan bayi tabung di Indonesia pada tanggal
2 Mei 1988 dengan lahirnya bayi tabung bernama Nugroho Karyanto,
hasil dari pasangan suami istri Markus dan Chai Lian yang mana sperma
dan ovum yang digunakan berasal dari Markus dan Chai Lian dan embrio
ditanamkan kembali ke rahim istri. Anak bayi tabung Nugroho Karyanto
merupakan hasil karya dari Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita
Jakarta (Salim HS, 1993:19).
Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta dan Rumah
Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo ditunjuk oleh pemerintah
Indonesia sebagai pusat pelayanan program bayi tabung di Indonesia,
maka jenis bayi tabung yang dikembangkan di RSAB Harapan Kita
Jakarta dan Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo adalah jeni
bayi tabung yang sperma dan sel telurnya diambil dari pasangan suami
istri yang sah dan embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istri yang
menanamkan benih tersebut. Hal demikian sesuai dengan Pasal 16
Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang sekarang
diberlakukan dengan Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan (Salim HS, 1993:19).
Menurut John David Gordon dan Michael DiMattina (2011:98)
bahwa bayi tabung atau in vitro fertilization secara harfiah berarti
“pembuahan telur dengan sperma dalam kaca” yang diterjemahkan
menjadi pembuahan di luar tubuh di dalam laboratorium. Menurut Hanifa
Wiknjosastro (1999:497), Fertilitas ialah kemampuan seorang istri untuk
menjadi hamil dan melahirkan anak hidup oleh suami yang mampu
menghasilkan istri. Fertilitas merupakan fungsi satu pasangan yang
sanggup menjadikan kehamilan dan kelahiran anak hidup. Pada beberapa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
pasangan suami istri, ada yang mengalami berbagai macam faktor dan
kelainan sistem reproduksi (infertilisasi) yang mungkin dimiliki sehingga
pasangan suami istri yang mengalami masalah infertilisasi dapat
mengalami pencegahan atau hambatan untuk memiliki keturunan.
Teknologi reproduksi buatan atau program bayi tabung merupakan
bagian dari pengobatan infertilitas. Infertilitas dikatakan sebagai kelainan
atau kondisi sakit dalam masalah reproduksi. Manusia pada dasarnya
mempunyai hak untuk bebas dari sakit. Apabila infertilitas merupakan
manifestasi dari sakit maka semua manusia mempunyai hak untuk bebas
dari kondisi infertil atau dengan kata lain berhak untuk bereproduksi.
Teknologi reproduksi buatan dalam program bayi tabung digunakan untuk
mengatasi infertilitas ini, dimana apabila reproduksi secara alami tidak
memungkinkan dilakukan maka teknik reproduksi buatan dapat
diterapkan. (http://yendi.blogdetik.com/2011/02/17/hukum-teknologi-
reproduksi-buatan/> [29 November 2011 pukul 09:45 WIB]).
Berdasarkan Hanifa Wiknjosastro (1999:497), disebutkan bahwa
infertilisasi memiliki dua jenis, yakni:
Disebut infertilisasi primer apabila istri belum pernah hamil walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada kemunginan kehamilan selama 12 bulan. Infertilisasi sekunder terjadi apabila istri pernah amil, akan tetai kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan.
Bayi tabung itu sendiri di dalam istilah kedokteran dikenal dengan
Fertilisasi In Vitro atau In Vitro Fertilization. Menurut John David
Gordon, Michael DiMattina (2011:98) bahwa “IVF secara harfiah berarti
pembuahan telur dengan sperma kaca yang diterjemahkan jadi
pembuahan di luar tubuh di dalam laboratorium”.
Di Indonesia, salah satu program bayi tabung juga dilakukan oleh
pasangan Inul Daratista dan Adam. Pasangan suami istri Inul Daratista dan
Adam berhasil menjalani program bayi tabung di Rumah Sakit Siloam
Surabaya dan melahirkan anak hasil program bayi tabung yang diberi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
nama Yusuf Ivander Damares di Rumah Sakit Medistra Jakarta pada hari
Selasa tanggal 19 Mei 2009 pukul 21.29 WIB (http://showbiz.liputan6.
com/read/230068/bayi-rp-400-juta-inul-daratista-lahir, [12 September
2011 pukul 12:17 WIB])
Program bayi tabung dilakukan dengan berbagai alasan yang
menjadi sebab serta syarat diperbolehkannya pelayanan program bayi
tabung. Teknik Bayi Tabung diperuntukkan bagi pasangan suami istri
yang mengalami masalah infertilitas. Pasien Bayi Tabung umumnya
wanita yang menderita kelainan sebagai berikut :
1. kerusakan pada saluran telurnya;
2. lendir rahim istri yang tidak normal;
3. adanya gangguan kekebalan dimana terdapat zat anti terhadap sperma
di tubuh istri;
4. tidak hamil juga setelah dilakukan bedah saluran telur atau seteleh
dilakukan pengobatan endometriosis;
5. sindroma LUV (Luteinized Unruptured Follicle) atau tidak pecahnya
gelembung cairan yang berisi sel telur; dan
6. sebab-sebab lainnya yang belum diketahui.
Sedangkan alasan yang menjadi sebab pada suami untuk
menjalankan program bayi tabung, teknik ini diperuntukkan bagi pasien
pria atau suami yang pada umumnya memiliki kelainan mutu sperma yang
kurang baik, seperti oligospermia atau jumlah sperma yang sangat sedikit
sehingga secara alamiah sulit diharapkan terjadinya pembuahan
(http://pendidikanagamaislam07.blogspot.com/2009/12/setatus-anak-zina-
anak-angkat-bayi.html, [5 September 2011 pukul 01:54 WIB]).
Dewasa ini ilmu kedokteran berupaya untuk mengatasi setiap
penyebab yang menghalangi impian pasangan suami istri dalam memiliki
keturunan. Salah satu hasil kerja keras yang didapat para ahli dan penulis
kedokteran yang menjadi andalan dalam rangka mengatasi masalah
infertilisasi pada pasangan suami istri adalah Fertilisasi In Vitro (FIV).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Wiryawan Permadi (2008:1) istilah “bayi tabung” atau yang
dikenal masyarakat, pada dasarnya mengacu pada proses Fertilisasi In
Vitro (FIV) dalam dunia kedokteran. Fertilisasi berarti pembuahan sel
telur wanita ole spermatozoa pria, sedangkan In Vitro berarti di luar tubuh.
Sehingga Fertilisasi In Vitro berarti proses pembuahan sel telur wanita
oleh spermatozoa pria (bagian dari proses reproduksi manusia), yang
terjadi di luar tubuh.
Latar belakang dilakukan proses bayi tabung atau Fertilisasi In
Vitro dibagi menjadi dua bagian:
1) Faktor Pria
a) Gangguan pada saluran keluar spermatozoa;
b) Kelumpuhan fisik yang menyebabkan pria tidak mampu
melakukan hubungan seksual seperti kelumpuhan tubuh bagian
pinggang ke bawah setelah terjadinya kecelakaan;
c) Sangat terbatasnya jumlah spermatozoa yang mampu membuahi
sel telur (yang mengalami bentuk tubu spermatozoa normal dan
bergerak secara aktif);
d) Hal lain yang masih belum dapat dijelaskan secara ilmiah.
2) Faktor Wanita
a) Gangguan pada saluran reproduksi wanita seperti pada
perlengketan atau sumbatan tuba;
b) Adanya antibody abnormal pada saluran reproduksi wanita,
sehingga menyebabkan spermatozoa pria yang masuk ke dalam
saluran reproduksi wanita tidak mampu bertahan hidup;
c) Hal lain yang masih belum dapat dijelaskan secara ilmiah
(Wiryawan Permadi, 2008:4).
Proses bayi tabung yang dilakukan yaitu pertama dilakukan
pengumpulan atau pengambilan spermatozoa dan sel telur yang telah
matang dari organ reproduksi pria dan wanita yang hendak memiliki anak,
dalam hal ini pasangan suami istri yang sah. Kedua, spermatozoa dan sel
telur yang memiliki kualitas baik ditempatkan dalam sebuah cawan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
khusus, berisi cairan yang serupa dengan cairan dalam saluran reproduksi
wanita. Dengan cara demikian, fertilisasi dapat berlangsung layaknya
dalam saluran reproduksi wanita, yang karena suatu penyebab tidak dapat
berlangsung secara spontan pada pasangan suami istri yang bersangkutan.
Kelanjutan proses setelah terciptanya embrio sebagai hasil dari sel telur
yang dibuahi oleh spermatozoa pada kehamilan spontan (tanpa bantuan
teknologi kedokteran) dan kehamilan dengan Fertilisasi In Vitro adalah
sama yakni embrio yang terbentuk akan tertanam dalam dinding rahim
(istilah kedokteran : Implantasi). Jika tidak terdapat gangguan, proses bayi
tabung atau Fertilisasi In Vitro akan terus berlangsung hingga lahirnya
seorang bayi (Wiryawan Permadi, 2008:6).
Setiap upaya untuk mencapai keberhasilan selalu memiliki resiko
akan terjadinya kegagalan, seperti pada hal proses bayi tabung atau
Fertilisasi In Vitro. Berdasarkan waktu terjadinya maka resiko proses
pelaksanaan bayi tabung atau Fertilisasi In Vitro terdiri dari:
1) Resiko saat pelaksanaan tahap-tahap fertilisasi in vitro
a) Sindrom Hiperstimulasi Ovarium
Pada tahap awal fertilisasi in vitro, ovarium istri dirangsang
untuk memproduksi sel telur matang dalam jumlah yang lebih
banyak dibandingkan siklus reproduksi normal. Sekitar 5% dari
wanita yang mengalami stimulasi ovarium terjadi kelainan yang
disebut syndrome hiperstimulasi ovarium dengan gejala seperti
perut mual, diare, kenaikan berat badan, warna utin lebih gelap,
nyeri dada, serta dinding perut menjadi tegang.
b) Resiko kegagalan embrio untuk tumbuh di laboratorium, hingga
siap ditanamkan kembali ke dalam rahim
Meskipun tata laksana proses Fertilisasi In Vitro dilakukan
dengan baik akan tetapi masih ada kemungkinan akan gagalnya
pertumbuhan embrio di laboratorium yang penyebab kegagalannya
belum diketahui.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
c) Resiko kegagalan embrio untuk menanamkan diri dalam dinding
rahim, setelah dilakukan transfer embrio
Setelah dokter menempatkan embrio yang dihasilkan dari
fertilisasi sel telur oleh spermatozoa di laboratorium ke raim istri,
maka kelanjutan hubungan antara embrio dan dinding rahim
bergantung pada embrio dan rahim istri.
2) Resiko kegagalan embrio untuk tumbuh di laboratorium, hingga
ditanamkan kembali ke dalam rahim
a) Resiko keguguran
Keguguran berarti keluarnya buah kehamilan secara
spontan (tanpa penyebab yang jelas), sebelum usia kehamilan
mencapai 20 minggu, atau sebelum bayi dapat hidup di luar
kandungan (Wiryawan Permadi, 2008:52-57).
b) Resiko kehamilan lebih dari 1 janin/kembar
Menurut pendapat dari David Orentlicher (2010: 2, Vol 40,
No 3) bahwa, any multiple birth raises health risks. Among twins,
more than 60% are born prematurely; among triplets or other
multiples, more than 95 % are premature. IVF twins, triplets, and
other multiples are more likely than singletons to require neonatal
intensive care, to develop cognitive and physical disabilities, and
to die. Kehamilan lebih dari satu dalam fertilisasi in vitro sangat
rawan sekali dalam kesehatan, dapat membahayakan kesehatan
bahkan dampak yang terjadi dapat berupa kematian.
f. Dasar Hukum, Status, dan Kedudukan atas Anak Bayi Tabung
terhadap Harta Warisan
Adanya alih teknologi dari luar negeri ke dalam negeri di bidang
kedokteran yang menghasilkan program bayi tabung yang akan diterapkan
sesuai dengan budaya dan hukum di Indonesia. Dasar hukum yang
digunakan telah dipertegas dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Undang-Undang Kesehatan yang berbunyi:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh
pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum
berasal;
b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu; dan
c. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Menurut pandangan dari Sudikno Mertokusumo (Salim HS,
1993:77):
Dengan lahirnya teknologi canggih yang menghasilkan bayi tabung, sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak dan menginginkannya makin lama akan makin lebih suka memperoleh bayi tabung daripada mengangkat orang lain (hal ini tergantung pada pendidikan dan kesadaran). Kedudukan yuridis bayi tabung pun seperti halnya anak angkat, yaitu “menggantikan” atau sama dengan anak kandung. Jadi anak yang dilahirkan melalui bayi tabung hak dan kewajibannya sama dengan anak kandung. Ia berhak atas pemeliharaan, pendidikan dan warisan dari orang tuanya.
Di Indonesia belum ada pengaturan mengenai bayi tabung secara
spesifik, akan tetapi sudah ada suatu persyaratan umum untuk
dilakukannya proses bayi tabung sesuai dengan Pasal 127 Undang-Undang
No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu yang berhak untuk melakukan
program bayi tabung di Indonesia yakni suami istri dari perkawinan yang
sah dan ditanamkan pada rahim si istri yang bersangkutan.
g. Tinjauan Umum tentang Penafsiran Hukum
Penafsiran (interpretasi) menurut Soedjono Dirjosisworo yang
dikutip oleh Ishaq (2008:254) adalah “menentukan arti atau makna suatu
teks atau bunyi pasal berdasar pada kaitannya”. Berdasarkan pendapat dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
R. Soeroso dalam buku Ishaq (2008:254) menjelaskan bahwa penafsiran
atau interpretasi ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil
yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki
serta dimaksud oleh pembuatan undang-undang.
Tujuan perbuatan penafsiran undang-undang itu sendiri selalu
untuk menentukan arti sebenarnya dari putusan kehendak pembuat
undang-undang, yaitu seperti tertulis di dalam rumusan dari ketentuan
pidana di dalam undang-undang. hakim berkewajiban untuk menafsirkan
ketentuan pidana dengan setepat-tepatnya, yakni apa yang sebenarnya
dimaksud dengan rumusan mengenai ketentuan pidana tersebut.
Dalam praktik penggunaan undang-undang sehari-hari, tidak selalu
ditemukan pengertian dari suatu istilah terdapat dalam suatu perumusan
undang-undang yang sedang dihadapi. Akan tetapi, bagaimanapun juga
harus ditemukan tafsir atau pengertiannya. Adapun mengenai macam-
macam penafsiran antara lain:
1) Penafsiran menurut tata bahasa (grammatical interpretative), yaitu
memberikan arti kepada suatu istilah atau perkataan sesuai dengan tata
bahasa;
2) Penafsiran secara sistematis, yaitu apabila suatu istilah atau perkataan
dicantumkan dua kali dalam satu pasal, atau pada undang-undang,
maka pengertiannya harus sama pula;
3) Penafsiran mempertentangkan (argentums acontrario), yaitu
menemukan kebalikan dari pengertian suatu istilah yang sedang
dihadapi;
4) Penafsiran memperluas (extensieve interpretative), yaitu memperluas
pengertian dari suatu istilah berbeda dengan pengertiannya yang
digunakan sehari-hari. Contohnya aliran listrik ditafsirkan sebagai
benda;
5) Penafsiran mempersempit (restrictieve interpretative), yaitu
mempersempit pengertian dari suatu istilah. contoh Kerugian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
ditafsirkan tidak termasuk kerugian yang “tidak terwujud”, seperti
sakit, cacat, dan sebagainya;
6) Penafsiran historis (rects/wets-istoris), yaitu mempelajari sejarah
yang berkaitan atau mempelajari pembuatan undang-undang yang
bersangkutan akan ditemukan pengertian dari suatu istilah sedang
dihadapi. Contoh: Seseorang yang melanggar hukum atau melakukan
tindak pidana dihukum denda Rp 250,00 denda sebesar itu jika
ditetapkan saat ini jelas tidak sesuai, maka harus ditafsirkan sesuai
dengan keadaan harga saat ini;
7) Penafsiran theologies, yaitu mencari tujuan atau maksud dari suatu
peraturan undang-undang. Misalnya tujuan dari pembentukan
Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), Undang-undang No 16
Pnps Tahun 1963, ialah untuk mempercepat proses penyelesaian suatu
perkara khusus;
8) Penafsiran logis, yaitu mencari pengertian dari suatu istilah atau
ketentuan berdasarkan hal-hal yang masuk di akal. Cara ini tidak
banyak dipergunakan;
9) Penafsiran analogi, yaitu memperluas pengertian atau cakupan dari
ketentuan undang-undang.
10) Penafsiran komparatif, yaitu penafsiran dengan cara membandingkan
dengan penjelasan berdasarkan perbandingan hukum, agar dapat
ditemukan kejelasan suatu ketentuan undang-undang;
11) Penafsiran futuristis, yaitu penafsiran dengan penjelasan undang-
undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum
mempunyai kekuatan hukum, yaitu rancangan undang-undang (Ishaq,
2008:255-256).
Sedangkan menurut Soedjono Dirdjosisworo (2005:157), beberapa
macam penafsiran hukum yang lazim diterapkan yaitu:
1) Penafsiran gramatikal atau konteks, dengan cara mempelajari dan
menggunakan hubungan kalimat;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
2) Penafsiran sistematis, konteks, dengan cara mempelajari sistem dan
rumusan undang-undang, yang meliputi:
a) Penalaran analogi dan penalaran a kontrario. Penggunaan a
kontrario yaitu memastikan sesuatu yang tidak disebut oleh pasal
undang-undang secara kebalikan. Sedangkan analogi berarti
pengluasan berlakunya kaidah undang-undang;
b) Penafsiran ekstensif dan restriktif (bentuk-bentuk yang lemah
yang terdahulu secara logis tak ada perbedaan);
c) Penghalusan hukum atau rechsverfijning atau pengkhususan
berlakunya undang-undang.
3) Penafsiran historis dengan cara mempelajari:
a) Sejarah hukum, konteks, perkembangan yang telah lalu dari hukum
tertentu seperti KUHP dan BW;
b) Sejarah undang-undang, konteks, penjelasan-penjelasan dari
pembentuk undang-undang pada pembentukan undang-undang
yang bersangkutan.
4) Penafsiran teleologis, konteks, dengan cara pergaulan sosial.
Menurut Soeroso (2007:97) bahwa penafsiran hukum dapat
dilakukan dengan cara:
1) Dalam pengertian subjektif dan objektif
Penggunaan cara penafsiran secara subjektif apabila ditafsirkan
seperti yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang, sedangkan
pengertian objektif digunakan apabila penafsirannya lepas dari
pendapat pembuat undang-undang dan sesuai dengan adat bahasa
sendiri;
2) Dalam pengertian sempit dan luas
Dalam pengertian sempit (restriktif) yakni apabila dalil yang
ditafsirkan diberi pengertian yang sangat dibatasi sedangkan dalam
pengertian secara luas (ekstensif) yaitu apabila dalil yang ditafsirkan
diberi pengertian seluas-luasnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Selanjutnya menurut Soeroso (2007:98), dilihat dari sumbernya
penafsiran hukum dapat bersifat:
1) Otentik, ialah penafsiran seperti yang diberikan oleh pembuat undang-
undang seperti yang dilampirkan pada undang-undang sebagai
penjelasan. Penafsiran otentik mengikat umum;
2) Doktrinair atau ilmiah, ialah penafsiran yang didapat dalam buku-buku
dan lain-lain hasil karya para ahli. Hakim tidak terikat karena
penafsiran ini hanya mempunyai nilai teoritis;
3) Hakim, penafsiran yang bersumber pada pendapat dan pertimbangan
hakim dalam peradilan yang hanya mengikat pihak-pihak yang
bersangkutan dan berlaku bagi kasus-kasus tertentu (Pasal 1917 ayat
(1) KUHPerdata).
Dalam penulisan hukum ini, penulis akan menggunakan penafsiran
gramatikal atau konteks, penafsiran hukum sistematis, dan penafsiran
analitik. Penggunaan penafsiran hukum gramatikal atau konteks dalam
penulisan ini dengan alasan bahwa penulisan hukum ini perlu
menggunakan penafsiran menurut tata bahasa atau kata-kata dalam
peraturan perundang-undangan yang relevan dengan penulisan hukum ini.
Penafsiran gramatikal ini digunakan dengan mempelajari dan
menggunakan hubungan kalimat yang terdapat ada pasal-pasal yang
diperlukan untuk penulisan ini baik dalam Undang-Undang No 1 Tahun
1974 beserta peraturan pelaksanaannya seperti pasal yang berkaitan
dengan sahnya suatu perkawinan atau pencatatan perkawinan di Indonesia,
selain itu pada Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
seperti pada pasal yang mengatur mengenai kehamilan diluar cara alami.
Penafsiran secara gramatikal juga akan digunakan dalam memelajari tata
bahasa pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai pengaturan
tentang hukum warisnya.
Sedangkan penafsiran hukum secara sistematis digunakan apabila
suatu istilah atau perkataan dicantumkan dua kali dalam satu pasal atau
pada undang-undang, maka pengertiannya harus sama pula. Selain itu,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
penafsiran sistematis itu memiliki arti bahwa suatu penafsiran yang
menghubungkan pasal yang satu dengan yang lain dalam suatu perundang-
undangan yang bersangkutan atau pada peundang-undangan hukum
lainnya atau membaca penjelasan suatu perundang-undangan sehingga
dapat dimengerti apa yang dimaksud (Soeroso, 2007:102). Pada Undang-
Undang Perkawinan, bahwa yang dimaksud perkawinan dalam beberapa
pasal pengertian dan maknanya sama, selain itu mengenai hal pencatatan
perkawinan mengandung arti yang sama pula dalam undang-undang
perkawinan dan juga dalam peraturan pelaksana dari undang-undang
perkawinan itu.
Penafsiran selanjutnya yang digunakan dalam penulisan hukum ini
yaitu penafsiran analogi dengan cara memperluas pengertian atau cakupan
dari ketentuan undang-undang. Penafsiran analogi ini diterapkan dengan
cara memperluas pengertian dan maksud dari anak sah yang diatur dalam
Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan pada Pasal 42
Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perluasan
pengertian dan cakupan dari anak sah tersebut selanjutnya dihubungakan
dengan pengaturan mengenai anak dengan proses bayi tabung atau
kehamilan diluar cara alami yang termuat dalam Pasal 127 Undang-
Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Sifat penulisan hukum ini
bersifat doktinair dimana penafsiran yang dilakukan menggunakan buku-
buku dan literatur lain hasil karya para ahli sehingga penafsiran ini
mempunyai penafsiran teoritis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
2. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Kerangka pemikiran penulisan hukum ini berdasarkan atas kedudukan
hukum anak bayi tabung dalam hubungan hukum perkawinan menurut
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya
menyangkut tentang hak mewaris atas anak bayi tabung menurut hukum
perdata di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada penelitan
hukum ini meninjau pasal-pasal yang berkaitan dengan hukum warisnya.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan suatu sumber hukum
perdata yang memuat mengenai pengaturan tentang perkawinan dengan
ketentuan pada pasal-pasal yang masih berlaku. Mengenai perkawinan diatur
selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang sebagai Undang-Undang Perkawinan nasional lebih menitikberatkan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Hukum Waris)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Anak Bayi Tabung
Kedudukan Hukum atas Anak Bayi Tabung
Hak Mewaris atas Anak Bayi Tabung
(KUHPerdata)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan
Alih Teknologi Perkawinan Sah dan Anak Sah
Anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
pada perkawinan sah. Tujuan dari perkawinan yaitu memperoleh kebahagiaan
dan kekal atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta bertujuan untuk
memiliki keturunan atau anak. Perkawinan yang sah menurut Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut menghasilkan anak yang sah
pula menurut hukum. Tujuan perkawinan erat sekali dengan hal memiliki anak
sebagi penerus keturunan. Namun ada beberapa pasangan suami istri di
Indonesia yang tidak dapat memiliki keturunan atau anak karena suatu hal
seperti kelainan alat reproduksi dan juga faktor usia. Ketidakmampuan untuk
memiliki keturunan atau anak menjadi suatu permasalahan yang sering timbul
dalam keluarga.
Perkembangan zaman yang semakin canggih menuntut para ahli dan
kedokteran untuk memecahkan permasalahan pasangan suami istri yang tidak
mampu memiliki anak. Indonesia sebagai suatu negara berkembang
menyadari juga bahwa ilmu pengetahuan dan alih teknologi mempunyai
peranan penting dalam mempercepat pembangunan nasional (Dewi Astutty
Mochtar, 2001:51). Sehingga dirasa perlu untuk menerima teknologi karya
dari negara lain yang belum dimiliki dan belum dikuasai oleh Indonesia yang
disebut dengan alih teknologi. Selanjutnya para ahli kedokteran Indonesia
mengadopsi teknologi luar negeri yakni program fertilisasi in vitro atau yang
lebih dikenal dengan bayi tabung. Program bayi tabung ini merupakan salah
satu cara penanggulangan kesulitan memperoleh anak secara biologis dari
pasangan suami istri yang sah di Indonesia. Adanya Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Undang-Undang Kesehatan maka menjadi dasar diperbolehkan
program alih teknologi dari luar negeri ke dalam negeri.
Berdasarkan program alih teknologi tersebut maka melalui teknologi
bayi tabung para ahli dan kedokteran dapat mengatasi permasalahan pasangan
suami istri atas ketidakmampuan memiliki anak atau keturunan. Program bayi
tabung merupakan upaya pasangan suami istri untuk memperoleh anak
dengan cara diluar alamiah dengan maksud bahwa pembuahan atas proses
reproduksi menggunakan bantuan teknologi. Akan tetapi dengan timbulnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
program bayi tabung ini menjadikan problematika dalam tata hukum di
Indonesia sebab sebelumnya belum diatur mengenai bayi tabung, terutama
mengenai kedudukan yuridis dari anak hasil bayi tabung. Penting untuk
menelaah mengenai status dan kedudukan hukum, hak waris anak hasil bayi
tabung, serta hak dan kewajibannya dengan melihat dari sudut pandang
ketentuan dalam sistem hukum di Indonesia.
Melalui kerangka pemikiran tersebut, maka dianggap perlu untuk
melakukan penulisan mengenai anak bayi tabung dalam hukum waris
berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
yaitu tentang kedudukan hukum atas anak bayi tabung dan hak waris atas
anak bayi tabung berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hukum Anak Bayi Tabung dalam Perkawinan Orang Tua
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
1. Aturan Yuridis dan Problematika tentang Anak Bayi Tabung
Dewasa ini muncul beberapa penemuan baru di berbagai bidang di
Indonesia, salah satunya di bidang ilmu kedokteran yang mana para ahli
kedokteran di luar negeri menemukan suatu solusi untuk mengatasi
ketidakmampuan pasangan suami istri untuk memiliki keturunan.
Penemuan yang dimaksud tersebut ialah adanya program bayi tabung atau
dalam istilah kedokteran disebut dengan Fertilisasi in Vitro (in vitro
fertilization). Kemudian para ahli kedokteran di Indonesia mempelajari
pula penemuan program bayi tabung untuk diterapkan di Indonesia. Untuk
dapat diterapkan di Indonesia maka pelayanan program bayi tabung
memerlukan perlindungan hukum oleh karena semua tindakan dan
perilaku yang dilakukan di Indonesia harus berdasar pada hukum.
Hukum yang mengatur tentang bayi tabung di Indonesia belum
ada, sedangkan dalam hukum perdata yang mengatur tentang status hukum
anak, baik anak sah maupun anak luar kawin diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Pengertian anak sah yang disebutkan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tersebut bertitik tolak dari hasil hubungan seksual yang
dilakukan secara alami antara pasangan suami istri dan pasangan suami
istri tersebut terikat dalam perkawinan yang sah sedangkan mengenai hal
yang berkaitan dengan intervensi manusia yakni intervensi dokter atau ahli
seperti dalam hal membantu pasangan suami istri yang mandul belum
pernah terpikirkan oleh pembuat Undang-undang pada saat itu. Sehingga
dalam pasal 4 ayat (2c) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan diatur tentang kewenangan Pengadilan untuk memberikan izin
42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
kepada suami untuk melangsungkan perkawinan lebih dari satu apabila
istri tidak dapat melahirkan keturunan (Salim HS, 1993:74-75). Namun
selain ranah pada hukum perdata, terdapat pengaturan mengenai status
hukum anak bayi tabung yang menegaskan bahwa anak bayi tabung
tersebut dikatgorikan dalam anak sah yaitu dalam hukum Islam pada Pasal
99 Kompilasi Hukum Islam bahwa “Anak yang sah adalah :
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
b. hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh
istri tersebut”.
Sampai saat ini belum ada ketentuan khusus dalam hukum positif
di Indonesia mengenai bayi tabung. Akan tetapi telah ada ketentuan dalam
peraturan perundangan-undangan Republik Indonesia yang telah
menyinggung tentang kehamilan diluar cara alamiah. Kehamilan diluar
cara alamiah tersebut yakni kehamilan yang ada turut campur dengan
teknologi atau dengan bantuan medis. Campur tangan teknologi atau
bantuan medis tersebut terjadi pada kehamilan dengan hasil anak bayi
tabung yang mana tertuang dalam Undang-Undang No 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan pada Pasal 127 yang berbunyi:
(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh
pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum
berasal;
b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu; dan
c. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 127 Undang-Undang No 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan membolehkan pelaksanaan kehamilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
diluar cara alamiah atau dengan program bayi tabung yang menggunakan
sperma dan ovum dari pasangan suami istri yang sah kemudian embrionya
ditransplantasikan ke dalam rahim istri (Salim HS, 1993:76). Sehingga
unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan yaitu:
1) Upaya kehamilan diluar cara alamiah yang hanya dapat dilakukan oleh
pasangan suami istri yang sah;
2) Hasil pembuahan ditransplantasikan ke dalam rahim istri yang
bersangkutan;
3) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk program bayi tabung;
4) Dilakukan dengan fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Meskipun dalam Pasal 127 ayat (2) Undang-Undang No 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa “ketentuan mengenai
persyaratan kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah” akan tetapi sampai pada saat
ini belum ada pengaturan lebih lanjut atau pengaturan khusus dalam
hukum positif di Indonesia mengenai program bayi tabung di Indonesia
khususnya mengenai status dan kedudukan hukum dari anak bayi tabung,
melainkan baru ada pedoman pelayanan bayi tabung di rumah sakit.
a. Anak menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan selain
mengatur mengenai perkawinan itu sendiri juga mengatur mengenai
anak yang dilahirkan sebagai hasil dari perkawinan. Berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 250 bahwa anak yang
dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan memperoleh suami
sebagai ayah dari anak yang dilahirkan atau dibesarkan tersebut.
Sedangkan dalam Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyebutkan bahwa sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari
keseratus delapan puluh (6 bulan) hari perkawinan dapat diingkari oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
suami. Sehingga berdasarkan pada Pasal 250 sampai dengan pasal 251
Kiab Undang-Undang Hukum Perdata tersirat untuk dapat menentukan
status dan kedudukan seorang anak untuk dikategorikan sebagai anak
sah atau anak yang tidak sah.
Dengan demikian suatu perkawinan yang sah akan menentukan
kedudukan anak, peranan, dan tanggung jawab anak dalam keluarga.
Mengenai kedudukan hukum anak diatur dalam Pasal 42 sampai
dengan 44 dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dalam hal ini perlu diketahui Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan membedakan anak dalam perkawinan
atas anak yag sah dan anak yang tidak sah. Keduanya mempunyai
kedudukan hukum yang berbeda dalam keluarga. Ketentuan Pasal 42
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menentukan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Ini berarti bahwa anak sah
meliputi:
a. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, yakni anak-
anak yang dilahirkan sesudah perkawinan yang sah dilangsungkan
termasuk pula kawin hamil;
b. Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah, yakni
anak-anak yang dilahirkan sesudah perkawinan yang sah dilakukan
tetapi kemudian orangtua dari anak yang dilahirkan tersebut
bercerai (Rachmadi Usman, 2006:347).
b. Proses Lahirnya Anak Bayi Tabung
Perkembangan global ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran secara nyata telah sangat mempengaruhi perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dan pelayanan atau asuhan
kedokteran di Indonesia. Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran dalam upaya penyembuhan di Indonesia (Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia Komisi Bidang Ilmu Kedokteran, 1997:50).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Upaya penyembuhan suatu penyakit yang dilakukan oleh para ahli
kedokteran dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi
memerlukan biaya, tenaga dan waktu. Dalam upaya penyembuhan
tersebut ada yang memerlukan biaya yang banyak atau mahal dan ada
pula yang memerlukan biaya yang relatif sedikit murah atau
terjangkau. Sehingga diperlukan cara pendekatan dalam rangka
pemberian pelayanan kedokteran.
Cara pendekatan dalam pemberian pelayanan atau asuhan
kedokteran harus disesuaikan dengan keadaan atau tingkat
perkembangan golongan masyarakat. Selain itu juga disesuaikan
dengan kebutuhan dari setiap golongan masyarakat yang
memerlukannya tersebut. Ditinjau dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedoteran, pada perkembangan upaya
penyembuhan di Indonesia terdapat variasi rentang yang sangat lebar
dari penyembuhan yang sifatnya sederhana dengan penyembuhan atau
pemberian solusi yang sifatnya lebih kompleks atau rumit, seperti
diterapkannya teknologi di bidang reproduksi manusia dengan
dikembangakannya Assisted Reproductive Technology (ART) pada
fertilisasi in vitro (IVF-in vitro fertilization) memberi tanggung jawab
kepada ilmuwan bidang kedokteran untuk memahami berbagai
masalah hukum, etik, dan agama, sebelum dimanfaatkan dalam
pelayanan kedoteran (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Komisi
Bidang Ilmu Kedokteran, 1997:53). Dengan adanya pemahaman
mengenai penyembuhan atau solusi di bidang reproduksi manusia
dalam bentuk teknologi bayi tabung yang berkaitan dengan masalah
hukum, etik, dan agama maka besar kemungkinan bahwa penerapan
teknologi bayi tabung di Indonesia akan disesuaikan dengan nilai luhur
budaya bangsa Indonesia.
Adanya teknologi sebagai bantuan dalam bidang kedokteran
yang berkaitan dengan program pelayanan bayi tabung maka dapat
membantu pasangan suami istri yang tidak dapat memiliki keturunan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
atau mengalami kendala untuk memperoleh keturunan, salah satu
penyebabnya mengenai ketidaksuburan sistem reproduksi pada istri.
Bila saluran telur seorang istri sedemikian rusaknya sehingga tidak
mungkin lagi diatasi dengan pembedahan, atau yang tubanya rusak
atau tertutup, masih ada harapan melalui teknik pembuahan dalam
tabung atau IVF (in Vitro fertilization) atau yang lebih dikenal dengan
teknik bayi tabung (Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto, 2007:69).
Akan tetapi ketidaksuburan sistem reproduksi tersebut tidak hanya
terjadi pada pihak wanita atau istri melainkan terjadi pula pada pihak
pria atau suami yang biasanya adalah sperma yang cacat. Penyebab
sperma yang cacat atau adanya masalah dengan pemindahan sperma ke
dalam alat reproduksi wanita (Anne Charlish dan Kim Davies,
2005:66). Ketidaksuburan dalam sistem reproduksi yang terjadi pada
pria/suami ataupun wanita/istri diperlukan suatu solusi penyembuhan
atau jalan keluar untuk mengatasi ketidaksuburan sistem reproduksi
tersebut. Sehingga ahli kedokteran beserta ilmu pengetahuan teknologi
kedoteran sangat diperlukan dan berperan besar untuk penanganan
masalah sistem kesuburan reproduksi manusia.
Untuk mengatasi ketidaksuburan yang ada maka perawatan
kesuburan buatan akan disarankan oleh dokter spesialis kepada
pasangan suami istri yang tidak mungkin mendapatkan kehamilan
secara alami. Perawatan ini berupa inseminasi buatan atau fertilisasi in
vitro atau yang lebih dikenal dengan teknologi bayi tabung. Pasangan
suami istri harus memahami secara pasti mengenai hal-hal yang
termasuk dalam perawatan fertilisasi in vitro dan memahami
kesempatan keberhasilan serta beban finansial yang harus ditanggung.
Inseminasi buatan itu sendiri merupakan suatu proses pemasukan
sperma ke dalam saluran serviks (leher rahim) wanita atau langsung
ke dalam rahim wanita. Semua prosedur tersebut dilakukan di rumah
sakit dengan menggunakan alat suntik. Inseminasi buatan ini berguna
untuk pasangan suami istri yang memiliki masalah antibodi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
penghancur sperma pada tubuh si wanita serta bagi pasangan yang
mengalami kesulitan seksual. Prosedur dalam teknologi bayi tabung ini
juga digunakan untuk kasus-kasus ketidaksuburan yang tidak diketahui
sebabnya (Anne Charlish dan Kim Davies, 2005:69).
Teknologi bayi tabung adalah hasil dari pembuahan in vitro
yaitu mempertemukan sel telur dengan sperma di luar tubuh wanita.
Program bayi tabung ini berguna bagi pasangan yang memiliki
masalah antibodi penghancur sperma pada tubuh wanita serta bagi
pasangan yang mengalami kesulitan seksual, seperti impotensi atau
ejakulasi dini, produksi sperma yang rendah, atau penyumbatan dalam
organ-organ reproduksi pria (Anne Charlish dan Kim Davies, 2005:69-
70).
Bagi pasangan tidak subur (infertil) dengan kasus adanya lendir
mulut rahim yang abnormal, saluran telur mengalami kerusakan, mutu
sperma yang kurang baik, adanya antibodi terhadap sperma, tidak
hamil juga meskipun endometriosis telah diobati, serta adanya
gangguan kesuburan yang tidak diketahui penyebabnya akan
disarankan oleh ahli kedokteran untuk melakukan program inseminasi
buatan atau prosedur bayi tabung. Namun karena pertimbangan
masalah etika yang berkaitan dengan pembuahan dalam tabung atau
fertilisasi in vitro dan transfer embrio (IVF-TE), dan inseminasi buatan
dengan sperma donor, prosedur tersebut hanya dilakukan di pusat-
pusat perawatan tertentu yang mempunyai pengawasan ketat (Syamsir
Alam dan Iwan Hadibroto, 2007:66).
Pada dasarnya program bayi tabung adalah pelaksanaan proses
pembuahan yang seharusnya terjadi di dalam saluran telur tatapi
karena satu dan lain hal proses tersebut tidak dapat terjadi secara
alamiah, maka proses demikian dilakukan secara in vitro. Yang
diperlukan dalam pelayanan program bayi tabung adalah wanita yang
bersangkutan mempunyai indung telur (ovarium) yang sehat dan dapat
berfungsi, serta rahim yang sehat pula. Teknik ini pertama kali
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
dilakukan di Inggris pada tahun 1978 dan setahun kemudian banyak
Negara lain yang ikut berhasil melakukan pelayanan teknik bayi
tabung. Tetapi dalam In Vito Fertilization yang dilakukan hanya satu
kali, tingkat keberhasilannya hanya sekitar 15%. Jika diulangi dua atau
tiga kali pada wanita yang sama, maka tingkat keberhasilannya
meningkat menjadi 20%. Prosedur bayi tabung dimulai dengan
perangsangan indung telur dengan hormon. Hal ini dilakukan untuk
memacu perkembangan sejumlah folikel agar menghasilkan sel telur.
Perkembangan pematangan sel telur tersebut dipantau secara teratur
dengan alat ultrasonografi dan dilakukan juga pengukuran kadar
hormon ekstradional dalam darah (Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto,
2007:68).
Perkembangan yang terakhir pengambilan sel telur matang dari
permukaan indung telur tidak perlu lagi melalui operasi kecil tetapi
cukup lewat pengisapan cairan folikel dengan tuntunan alat
ultrasonografi transvaginal. Cairan folikel tersebut kemudian dibawa
ke laboratorium dan seluruh sel telur yang diperoleh kemudian
dieramkan dalam inkubator. Beberapa jam kemudian kepada setiap sel
telur ditambahkan sejumlah sperma yang telah dioleh dan dipilih yang
terbaik mutunya agar terjadi inseminasi. Telur-telur tersebut dilihat
dengan mikroskop untuk memastikan bahwa proses pembuahan
berjalan secara normal. Sekitar 18-20 jam kemudian akan terlihat
proses pembuahan berhasil atau tidak. Sel telur yang telah dibuahi
sperma disebut zigot, dan akan dipantau lagi selama 22-24 jam untuk
melihat perkembangan prosesnya menjadi embrio. Biasanya dokter
akan memilih empat embrio yang terbaik untuk ditanamkan ke dalam
rahim wanita. Jumlah tersebut adalah maksimal karena apabila
keempatnya berhasil dan terjadi kehamilan, risikonya akan besar bagi
calon ibu dan janin yang dikandungnya. Embrio yang terbaik itu
kemudian diisap ke dalam sebuah kateter khusus untuk dipindahkan ke
dalam rahim. Terjadinya kehimlan dapat diketahui melalui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
pemeriksaan air seni 14 hari setelah pemindahan embrio. Walaupun
umumnya hanya satu yang hidup. Langkah-langkah selanjutnya adalah
melakukan pemantauan kondisi wanita itu untuk memastikan embrio
sudah tertanam atau belum dan apakah kehamilan dapat berlangsung
dengan normal (Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto, 2007:69).
Dalam beberapa kasus, seorang wanita yang sedang
mengandung mengalami keguguran tanpa menyadarinya. Sangat
banyak kasus terjadi dalam sua bulan pertama kehamilan, bahkan
sebelum wanita tersebut menyadari bahwa dirinya sedang
mengandung. Keguguran pada tahap-tahap awal kehamilan lenih
sering terjadi dari yang diduga. Hal inilah yang kemudian dalam
beberapa kasus dianggap sebagai tertundanya kehamilan. Bisa
dikatakan bahwa lebih dari 50% kehamilan mengalami keguguran.
Gejala-gejala keguguran mencakup pendarahan vagina, kram di bagian
perut, dan rasa pegal pada punggung seperti yang biasa terjadi ketika
menstruasi. Muntah berlebihan juga bisa merupakan gejala atau tanda-
tanda awal keguguran. Hampir tidak ada yang bisa dilakukan untuk
menghentikan keguguran akan tetapi seseorang yang mengalami
keguguran harus segera mendapatkan saran medis untuk mencegah
infeksi dan komplikasi (Anne Charlish dan Kim Davies, 2005:62).
c. Legalitas Anak Bayi Tabung Melalui Akta Atau Pencatatan
Kelahiran Anak
Menurut pendapat dari Jonathan Todres dalam jurnalnya yang
berjudul Birth Registration: An Essential First Step toward Ensuring
the Rights of All Children (2003:1) mengenai pencatatan kelahiran
yaitu:
Birth registration is the process by which a child’s birth is recorded in a civil register by the applicable government authority. This step provides the first legal recognition of the child, and generally is required for the child to obtain a birth certificate. A child’s birth record typically includes the name of the child, the names of his or her parents, the name of the
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
attending healthcare professional or birth attendant, and the date and place of birth. Once this information is provided, the birth record is signed by the local registrar and filed with the relevant government agency for that region. The birth record may also include the name, address, and nationality of each parent. Such additional information, along with the child’s place of birth, can help establish the nationality of the child. Although birth registration can be achieved in a variety of ways, the registration of a newborn child typically is facilitated by the local hospital where the child is born or the community healthcare worker present at the birth. If the birth does not take place in a hospital or is not presided over by a community health worker, the parents are expected to take their child to the local government office to register the child as soon as possible after the birth. Pendaftaran kelahiran merupakan suatu proses dimana
kelahiran anak dicatat dalam register sipil oleh pemerintah yang
berlaku otoritas. Langkah ini memberikan pengakuan hukum pertama
dari anak, dan umumnya diberlakukan bagi anak untuk mendapatkan
akta kelahiran. Catatan kelahiran seseorang anak biasanya mencakup
nama anak, nama orang tuanya, nama dari professional kesehatan yang
menghadiri atau bidan, dan tanggal serta tempat lahir. Setelah
informasi ini diberikan, catatan kelahiran ditandatangani oleh
pendaftar lokal dan diajukan dengan instansi pemerintah yang relevan
untuk kawasan tersebut. Kelahiran juga dapat mencakup nama, alamat,
dan kebangsaan dari setiap orang tua. Seperti tambahan informasi
bersama dengan tempat anak lahir dapat membantu menentukan
kewarganegaraan dari anak. Walaupun pencatatan kelahiran dapat
dicapai dalam beragam cara, pendaftaran bayi yang baru lahir biasanya
difasilitasi oleh rumah sakit setempat dimana anak lahir atau
masyarakat pekerja kesehatan hadir pada kelahiran. Jika kelahiran
tidak terjadi di rumah sakit atau tidak dipimpin oleh suatu komunitas
petugas kesehatan, orang tua diharapkan untuk mendatangi kantor
pemerintah daerah untuk mendaftarkan anak sesegera mungkin setelah
kelahiran mengingat begitu pentingnya akta kelahiran bagi anak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
2. Korelasi Alih Teknologi berdasarkan Konsep Kedokteran dan
Mekanisme Pengaturannya
Teknologi menurut United Nations Conference on Transnational
Corporations (UNCTC) dapat diartikan secara sempit dan secara luas.
Dalam arti sempit teknologi adalah “technical knowledge or know-how
that is knowledge related to the method and techniques of production of
goods and services”. Dalam pengertian ini keahlian manusia yang
diperlukan untuk penerapan teknik-teknik itu dapat dianggap sebagai
teknologi. Sedangkan dalam arti luas teknologi meliputi barang-barang
modal yaitu alat-alat, mesin-mesin, dan seluruh system produksi yang
boleh dikatakan sebagai teknologi berwujud (Dewi Astutty Mochtar,
2001:46). Terkait dengan program bayi tabung di Indonesia, bahwa bayi
tabung dapat dilaksanakan di Indonesia dengan adanya proses alih
teknologi. Proses alih teknologi ini termasuk dalam beralihnya teknologi
atas keahlian dari ahli kedokteran di luar negeri kepada ahli kedokteran di
dalam negeri dengan mempelajari pelaksanaan program bayi tabung.
Dengan adanya proses alih teknologi tersebut maka program bayi tabung
dapat diterapkan di Indonesia sesuai dengan ketentuan hukum positif yang
ada di Indonesia dan disesuaikan dengan nilai luhur budaya Indonesia.
a. Konsep Alih Teknologi Anak Bayi Tabung Berdasarkan Ilmu
Kedokteran
Adanya penerapan teknologi bayi tabung di Indonesia diterima
baik oleh masyarakat Indonesia, terlebih oleh pasangan suami istri
yang tidak kunjung memiliki keturunan dikarenakan mengalami suatu
infertilitas. Infertilitas tersebut menyebabkan pasangan suami istri
tidak dapat memiliki keturunan secara alami. Lahirnya teknologi
canggih mengenai bantuan untuk kehamilan yang dibantu dengan
campur tangan teknologi salah satunya timbul program pelayanan bayi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
tabung. “Menurut John C. Fletcher membagi jenis bayi tabung
(fertilisasi in vitro) menjadi dua macam, yaitu:
1) In vitro (outside the human body) fertilization (IVF) using sperm of
husband or donor; and
2) Egg of wife or surrogate mother” (Salim HS, 1993:8).
Apabila ditinjau dari segi sperma dan ovum serta tempat
embrio ditransplantasikan maka bayi tabung dapat dibagi menjadi 8
(delapan) jenis, yaitu:
1) Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan
suami istri, kemudian embrio ditransplantasikan ke dalam rahim
istri;
2) Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan
suami istri, kemudian embrio ditransplantasikan ke dalam rahim
ibu pengganti (surrogate mother);
3) Bayi tabung yang menggunakan sperma dari suami dan ovum yang
berasal dari donor, kemudian embrio ditransplantasikan ke dalam
rahim istri;
4) Bayi tabung yang menggunakan sperma yang berasal dari donor
dan ovum dari istri, kemudian embrio ditransplantasikan ke dalam
rahim istri;
5) Bayi tabung yang menggunakan sperma yang berasal dari donor
dan ovum dari istri, kemudian embrio ditransplantasikan ke dalam
rahim ibu pengganti (surrogate mother);
6) Bayi tabung yang menggunakan sperma suami dan ovum dari
donor, kemudian embrio ditransplantasikan ke dalam rahim ibu
pengganti (surrogate mother);
7) Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari donor,
kemudian embrio ditransplantasikan ke dalam rahim istri
8) Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari donor,
kemudian embrio ditransplantasikan ke dalam rahim ibu pengganti
(surrogate mother) (Salim HS. 1993:8).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Sedangkan menurut Dr. Yendi bahwa berdasarkan asal sumber
sperma pada proses bayi tabung maka secara teknis teknik bayi tabung
terdiri dari empat jenis, yaitu:
1) Teknik bayi tabung dari sperma dan ovum suami isteri yang
dimasukkan kedalam rahim isterinya sendiri;
2) Teknik bayi tabung dari sperma dan ovum suami isteri yang
dimasukkan ke dalam rahim selain isterinya. Atau disebut juga
sewa rahim (Surrogate Mother);
3) Teknik bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambil dari
bukan suami/isteri;
4) Teknik bayi tabung dengan sperma yang dibekukan dari suaminya
yang sudah meninggal (http://yendi.blogdetik.com/2011/02/17/
hukum-teknologi-reproduksi-buatan/> diakses pada tanggal 29
Desember 2011, jam 1:47 WIB).
Pelayanan bayi tabung mempergunakan teknologi mutakhir
yang cukup rumit dengan biaya yang sangat mahal. Oleh karena itu
pasangan suami istri yang diterima untuk ikut pelayanan ini harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) telah dilakukan pengelolaan pelayanan infertilitas selengkapnya di
rumah sakit tersebut;
2) mempunyai indikasi yang sangat jelas;
3) memahami, menyadari dan menyetujui seluk beluk prosedur
pelayanan FIV secara umum dengan segala akibatnya termasuk
kemungkinan untuk mendapatkan kahamilan ganda dengan segala
akibatnya;
4) mampu membiayai prosedur pelayanan dan kalau berhasil mampu
membiayai pemeliharaan kehamilan, persalinan serta membesarkan
bayinya;
5) dinyatakan bebas setelah diuji terlebih dahulu terhadap Hepatitis
V, HIV dan penyakit menular lainnya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
6) mampu memberikan izin atas dasar sukarela dengan mengisi
formulir persetujuan terhadap tindakan medis (informed consent)
dan ditangani ileh suami istri tersebut (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pelayanan Medik,
1993:11-12).
Dalam melakukan fertilisasi in vitro transfer embrio dilakukan
dalam tujuh tingkatan dasar yang dilakukan oleh petugas medis, yaitu :
1) Wanita diberi obat pemicu ovulasi yang berfungsi untuk
merangsang indung telur mengeluarkan sel telur yang diberikan
setiap hari sejak permulaan haid dan baru dihentikan setelah sel-sel
telurnya matang;
2) Pematangan sel-sel telur dipantau setiap hari melalui pemeriksaan
darah dan pemeriksaan ultrasonografi;
3) Pengambilan sel telur dilakukan dengan penusukan jarum (pungsi)
melalui vagina dengan tuntunan ultrasonografi;
4) Setelah dikeluarkan beberapa sel telur, kemudian sel telur tersebut
dibuahi dengan sel sperma suami yang telah diproses sebelumnya
dan dipilih yang terbaik;
5) Sel telur dan sperma yang sudah dipertemukan di dalam tabung
petri kemudian dibiakkan di dalam lemari pengeram. Pemantauan
dilakukan 18-20 jam kemudian dan keesokan harinya diharapkan
sudah terjadi pembuahan sel;
6) Embrio yang berada dalam tingkat pembelahan sel ini kemudian
diimplantasikan ke dalam rahim wanita. Pada periode ini tinggal
menunggu terjadinya kehamilan;
7) Jika dalam waktu 14 hari setelah embrio diimplantasikan tidak
terjadi menstruasi dilakukan pemeriksaan air kemih untuk
kehamilan, dan seminggu kemudian dipastikan dengan
pemeriksaan ultrasonografi (http://yendi.blogdetik.com
/2011/02/17/hukum-teknologi-reproduksi-buatan/> diakses pada
tanggal 29 Desember 2011, jam 1:47 WIB).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian
berbagai elemen masyarakat,berkaitan dengan kedudukan dan hak
anak dalam keluarga dan perlakuan orang tua terhadap seorang anak,
bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui
kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak. Ada berbagai cara
pandang dalam menyikapi dan memperlakukan anak yang terus
mengalami perkembangan seiring dengan semakin dihargainya hak-
hak anak, termasuk oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) (Aris
Bintania, 2008:153, Vol III). Pengertian anak dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan, anak juga mengandung
pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu, anak pada
hakekatnya seorang yang berada pada satu masa perkembangan
tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa.
Asal-usul seorang anak bisa dibuktikan dengan adanya akta
kelahiran autentik oleh pejabat yang berwenang, jika akta autentik
tidak ada maka asal-usul anak ditetapkan oleh Pengadilan berdasarkan
pembuktian yang memenuhi syarat untuk kemudian dibuatkan akta
kelahiran pada instansi pencatat kelahiran. Akan tetapi pada
kenyataannya masih ada penduduk Indonesia yang dalam peristiwa
kelahirannya tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil atau tidak
mempunyai akta kelahiran melainkan hanya memiliki surat keterangan
lahir dari pejabat setempat atau dari bidan yang turut membantu dalam
proses melahirkan anak. Surat keterangan lahir ini hanya merupakan
akta di bawah tangan yang mana dalam surat keterangan lahir ini
prosesnya belum diregisterkan ke Kantor Catatan Sipil sehingga surat
keterangan lahir ini tidak menjadi akta autentik.
Teknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil
teknologi modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk
kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki
daya guna tinggi teknologi ini juga rentan terhadap penyalahgunaan
dan kesalahan etika. Teknologi bayi tabung merupakan upaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
kehamilan di luar cara alamiah. Dalam hukum Indonesia, upaya
kehamilan di luar cara alamiah diatur dalam pasal 127 Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dengan demikian
yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan
sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam
rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan metode
bayi tabung. Adapun metode atau upaya kehamilan di luar cara
alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 Undang-Undang
Kesehatan, termasuk ibu pengganti atau sewa menyewa atau penitipan
rahim, secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia yang mana
dalam hukum Islam sudah diatur mengenai pelarangan sewa rahim
(surrogate mother) di Indonesia seperti yang terdapat dalam Pasal 99
Kompilasi Hukum Islam.
b. Mekanisme Pengaturan Anak Bayi Tabung
Kehadiran teknologi bayi tabung lebih banyak diterima oleh
berbagai kalangan di Indonesia seperti kaum agamawan, moralis,
saintis, yuris, dan lainnya. Hal ini bisa dimaklumi karena proses
kejadian dan kelahiran bayi tabung masih dianggap berada pada batas
kewajaran. Lebih dari itu juga banyak memperhatikan logika dan etika
kedokteran (Halid Alkaf, 2003:26). Apabila dikaitkan dengan
peraturan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa dasar
adanya alih teknologi yaitu dalam Pasal 1320 serta Pasal 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Di Indonesia, hukum dan
perundangan mengenai teknik reproduksi buatan diatur dalam:
1) Undang-Undang Kesehatan No 36 tahun 2009, pasal 127
menyebutkan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya
dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan
ketentuan:
2) Keputusan Menteri Kesehatan No. 72/Menkes/Per/II/1999 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan, yang berisikan:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
ketentuan umum, perizinan, pembinaan, dan pengawasan,
Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup.
Pertimbangan atas Keputusan MenKes RI tersebut atas dasar
adanya Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, oleh
Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, DepKes RI, yang
menyatakan bahwa:
1) Pelayanan teknik reproduksi buatan hanya dapat dilakukan dengan
sel sperma dan sel telur pasangan suami-istri yang bersangkutan;
2) Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan
infertilitas, sehingga sehinggan kerangka pelayannya merupakan
bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan;
3) Embrio yang dipindahkan ke rahim istri dalam satu waktu tidak
lebih dari 3, boleh dipindahkan 4 embrio dalam keadaan:
a) Rumah sakit memiliki 3 tingkat perawatan intensif bayi baru
lahir;
b) Pasangan suami istri sebelumnya sudah mengalami sekurang-
kurangnya dua kali prosedur teknologi reproduksi yang gagal;
c) Istri berumur lebih dari 35 tahun.
4) Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun;
5) Dilarang melakukan jual beli spermatozoa, ova atau embrio;
6) Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk
penulisan, Penulisan atau sejenisnya terhadap embrio manusia
hanya dapat dilakukan apabila tujuannya telah dirumuskan dengan
sangat jelas;
7) Dilarang melakukan penulisan dengan atau pada embrio manusia
dengan usia lebih dari 14 hari setelah fertilisasi;
8) Sel telur yang telah dibuahi oleh spermatozoa manusia tidak boleh
dibiakkan in-vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk waktu impan
beku);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
9) Dilarang melakukan penulisan atau eksperimen terhadap atau
menggunakan sel ova, spermatozoa atau embrio tanpa seijin dari
siapa sel ova atau spermatozoa itu berasal;
10) Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies, kecuali fertilisasi tran-
spesies tersebut diakui sebagai cara untuk mengatasi atau
mendiagnosis infertilitas pada manusia. Setiap hibrid yang terjadi
akibat fertilisasi trans-spesies harus diakhiri pertumbuhannya pada
tahap 2 sel;
Setelah adanya peraturan hukum yang mengatur mengenai
program bayi tabung seperti dalam Pasal 127 Undang-Undang No 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan No.
72/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi
Reproduksi Buatan dan Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah
Sakit yang dibuat oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Direktoran Jenderal Pelayanan Medik maka praktek bayi tabung di
Indonesia sudah mulai mendapatkan pedoman dasar dalam
penyelenggaraannya. Dengan demikian dampak yang dapat dilihat
adalah meningkatnya populernya praktek atas program bayi tabung
yang dilakuan di Indonesia.
Menurut pendapat dari Dr. Yendi dalam blogdetik.com bahwa
teknologi bayi tabung jika ditinjau dari segi hukum perdata di
Indonesia yang mana benihnya berasal dari pasangan suami istri yang
sah, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan
diimplantasikan ke dalam rahim istri maka anak tersebut baik secara
biologis ataupun yuridis mempunyai status sebagai anak sah
(keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Sehingga akibat yang
ditimbulkan yaitu memiliki hubungan mewaris dan hubungan
keperdataan lainnya. Sedangkan berdasarkan asas leg spesialis
retrograde leg generale dalam ketentuan hukum maka berdasarkan
hukum yang berlaku di Indonesia teknologi bayi tabung yang
diperbolehkan adalah yang sesuai dengan ketentuan pasal 127 Undang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dimana sperma dan sel
telur berasal dari pasangan suami istri dan ditanamkan dalam rahim
istrinya tersebut. Dengan demikian, walaupun terdapat ketentuan lain
yang mengatur mengenai hubungan perdata dalam proses inseminasi
buatan dan teknologi bayi tabung selain yang diatur Undang-Undang
No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, ketentuan tersebut akan batal
dengan sendirinya demi hukum karena bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan lain yang lebih spesifik mengatur masalah
tersebut, dalam hal ini Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Semakin berkembangnya teknologi Reproduksi Buatan dan dan
semakin berkembangnya dinamika pemikiran masyarakat mengenai
etika, norma, nilai dan keyakinan yang dianut. Dalam satu sisi
perkembangan teknologi tidak dapat dibendung sedangkan perangkat
yang mengatur etika dan hukum belum dapat mengikuti. Sebagai
hasilnya, penilaian benar atau tidak hanya didasarkan pada sisi
kepentingan saja. Gap yang terjadi ini memerlukan diskusi dan
pemikiran dari para ahli dari lintas disiplin sehingga hal-hal yang dapat
menurunkan derajat dan martabat manusia yang mungkin terjadi dalam
penyelenggaraan teknik reproduksi buatan dapat dihindari
(http://yendi.blogdetik.com/2011/02/17/hukum-teknologi -reproduksi-
buatan/, diakses pada tanggal 29 November 2011 jam 9:29 WIB).
3. Perkawinan Sah sebagai Syarat Pelaksanaan Program Bayi Tabung
di Indonesia
Berdasarkan pada Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dapat terlihat bahwa salah satu syarat pelaksanaan
program bayi tabung hanya dapat dilaksanakan oleh pasangan suami istri
yang memiliki ikatan perkawinan yang sah. “Sahnya suatu perkawinan
akan menentukan kedudukan anak, peranan, dan tanggung jawab anak
dalam keluarga” (Rachmadi Usman, 2006:347). Setelah lahirnya Undang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum perkawinan
nasional, maka keabsahan suatu ikatan perkawinan harus berdasarkan
peratuan perundangan yang ada di Indonesia, yaitu Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum perkawinan nasional di
Indonesia. Seperti yang tertuang dalam Pasal 1 Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.. Kalimat ‘berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ sesuai
dengan falsafah Pancasila yang menempatkan ajaran Ketuhanan Yang
Maha Esa diatas segala-galanya. Terlebih menyangkut masalah
perkawinan yang merupakan perbuatan suci (sakramen) yang mempunyai
hubungan erat sekali dengan agama atau kerohanian sehingga perkawinan
bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani tetapi juga unsur batin
atau rohani mempunyai peranan yang penting (Hilman Hadikusuma,
2003:7). Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
merupakan suatu peraturan perkawinan nasional yang menentukan sah
atau tidaknya atas pelaksanaan suatu perkawinan.
Sahnya suatu perkawinan menurut perundangan diatur dalam Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan ‘perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu’. Perkawinan yang sah
menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang
dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama
Islam, Kristen/Katolik, Hindu/Buddha. Kata ‘hukum masing-masing
agamanya’ berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan
berarti hukum agamnya masing-masing yaitu hukum agama yang dianut
oleh kedua mempelai atau keluarganya.perkawinan yang sah jika terjadi
perkawinan antar agama adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut
tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon
istri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
oleh kedua calon suami istri dan atau keluarganya. Jika perkawinan itu
telah dilaksanakan menurut hukum Islam kemudian dilaksanakan lagi
menurut hukum Kristen dan atau Hukum Hindu/Buddha maka perkawinan
itu menjadi tidak sah, demikian sebaliknya (Hilman Hadikusuma,
2003:26).
Selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal
2 ayat (2) ditentukan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun pencatatan
perkawinan dimaksud untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi
jelas, baik bagi yang bersangkutan, maupun bagi orang lain dan
masyarakat, hal ini dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan
termuat pula dalam daftar khusus yang disediakan untuk itu sehingga
sewaktu-waktu dapat digunakan dimana perlu terutama sebagai alat bukti
tertulis yang autentik. Pelaksanaan pencatatan perkawinan menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (Peraturan Pelaksana) Pasal 2
dinyatakan bahwa bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai
Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
1945 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk sedangkan bagi masyarakat
yang tidak beragama Islam pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud
dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan.
Sahnya perkawinan menurut hukum perkawinan nasional di
Indonesia apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan calon suami dan calon istri, serta harus dilakukan pencatatan
perkawinan menurut perundangan yang berlaku. Apabila suatu perkawinan
dilaksanakan hanya di hadapan pegawai pencatatan sipil maka perkawinan
tersebut tidak sah menurut hukum perkawinan nasional Indonesia oleh
karena tidak dilaksanakan menurut tata tertib hukum agama.
Dalam menentukan status seseorang maka diperlukan 5 buah
kejadian yaitu:
a. Kelahiran;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
b. Pengakuan (terhadap kelahiran);
c. Perkawinan;
d. Perceraian;
e. Kematian (Koerniatmanto Sutropawiro, 1996:142).
Kelima kejadian tersebut merupakan hal yang penting dan perlu
karena dengan demikian orang dapat dengan mudah memperoleh
kepastian akan suatu kejadian-kejadian tersebut sehingga perlu diadakan
lembaga Catatan Sipil (Burgerlijke Stand = BS). Menurut pendapat dari
Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin (1984:23) bahwa:
Lembaga Catatan Sipil bertujuan untuk memungkinkan dengan selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya memberikan kepastian yang sebenar-benarnya mengenai kejadian-kejadian seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian, dan sebagainya. Semua kejadian dibukukan seingga baik yang bersangkutan sendiri maupun orang lain yang berkepentingan mempunyai bukti tentang kejadian-kejadian tersebut. Oleh karena orang ketiga mempunyai juga kepentingan untuk mengetahui tentang kelahran, perkawinan, perceraian, dan kematian orang itu, maka dafar kejadian-kejadian itu terbuka untuk umum.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ketentuan-
ketentuan tentang Catatan Sipil dimuat dalam 14 pasal yang berlaku hanya
untuk warga negara keturunan Eropa dimana ke-14 pasal itu terdiri atas 3
bagian yakni:
a. Tentang daftar-daftar Catatan Sipil (Pasal 4 dan 5 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata);
b. Tentang nama, penggantian nama, dan penggantian nama depan (Pasal
5a-12 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
c. Tentang pembetulan akta-akta Catatan Sipil dan tentang penambahan
diktumnya.
Disamping itu hal yang perlu dikemukakan akan daftar-daftar atau
akta-akta Catatan Sipil yaitu tentang kekuatan pembuktian atas Catatan
Sipil yang tidak dijelaskan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Berdasarkan pendapat dari Asser-Scholten yang dikutip oleh
Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin (1982:23) menyatakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
bahwa “pembentukan undang-undang sengaja tidak menyebutkannya oleh
karena hendak diberikan suatu kekuatan pembuktian khusus terhadap
kutipan-kutipan daftar Catatan Sipil itu”.
Pasal 25 ayat 1 Reglement Burgerlijke Stand menentukan bahwa
suatu kutipan atas dasar Catatan Sipil itu merupakan suatu kekuatan
pembuktian menurut hukum. Menyimpang dari apa yang ditetapkan dalam
pasal 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dinyatakan
bahwa kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan terletak pada akta yang
asli sedang dalam kutipan daftar Catatan Sipil itu kutipan yang
mempunyai kekuatan pembuktian menurut hukum Soetojo
Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin (1982:24).
4. Konsep dan Legalitas Anak Bayi Tabung sebagai Anak Sah
Makin majunya masyarakat dan makin berkembangnya teknologi
berakibat makin terlihatnya kepentingan hukum di dalam masyarakat luas.
Di dalam hubungan hukum satu sama lain orang harus mengetahui
kedudukan, hak, dan kewajiban seseorang sebagai anggota masyarakat
(Soeroso, 2007:52). Menurut Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” yang
dikutip oleh Soeroso (2007:58) bahwa teori hukum menghendaki keadilan
semata-mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh kesadaran etis
mengenai hal yang dikatakan adil dan yang tidak adil. Dalam teori ini
hukum mempunyai tugas suci dan luhur ialah keadilan dengan
memberikan kepada tiap-tiap orang atas hal yang berhak diterima yang
memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus.sehingga hukum
harus membuat “Algemeene Regels” (peraturan atau ketentuan-ketentuan
umum). Peraturan ini diperlukan oleh masyarakat teratur demi
kepentingan kepastian hukum. Terkait dengan kaidah hukum, bahwa
adanya kaidah hukum diperlukan dalam rangka melindungi kepentingan
perorangan maupun umum sehingga terdapat tata tertib dalam masyarakat.
Munculnya penemuan baru di bidang kedokteran yaitu bayi tabung
atau in vitro fertilization dengan kenyataan bahwa sampai pada saat ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
belum ada pengaturan tentang kedudukan yuridis anak bayi tabung pada
hukum positif di Indonesia. Akan tetapi hukum positif di Indonesia hanya
mengatur mengenai kedudukan yuridis anak yang dilahirkan secara
alamiah yang terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan
masalah bayi tabung sendiri merupakan kepentingan manusia yang perlu
mendapat perlindungan hukum (Salim HS, 1993:74). Hal demikian
dikarenakan anak bayi tabung juga sebagai subjek hukum di Indonesia.
Perlu adanya suatu peraturan khusus tentang bayi tabung di
Indonesia dalam rangka untuk mencapai kepastian hukum serta
perlindungan hukum di Indonesia, khususnya mengenai hal yang
menyangkut dengan kedudukan yuridis dari anak hasil bayi tabung di
Indonesia. Dalam hukum positif di Indonesia berkaitan dengan anak hanya
terdapat pengaturan tentang anak sah, anak yang disahkan dan anak luar
kawin yang diakui. Pengertian anak sah tertuang dalam Pasal 250 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa “anak sah
adalah tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang
perkawinan, memperoleh suami sebagai bapaknya”. Selain itu dalam Pasal
42 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan
bahwa “anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
dari perkawinan yang sah”.
Sedangkan Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan menyebutkan bahwa “upaya kehamilan di luar cara alamiah
hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan
ketentuan hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal”.
Pengertian anak sah pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat diperluas
berdasarkan penafsiran secara luas ke dalam Pasal 127 Undang-Undang
No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan bahwa
pengertian pasangan suami istri yang sah adalah pasangan suami istri yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
dianggap perkawinannya sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974.
Selain itu anak sah dapat diperluas dengan pengertian anak yang
dihasilkan atas pembuahan sperma dan ovum dari suami istri memiliki
status perkawinan sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Perluasan pengertian anak sah dapat diartikan anak yang lahir
dari perkawinan suami istri yang sah baik secara alami dan anak yang lahir
dengan proses bayi tabung (in vitro fertilization) berdasarkan Undang-
Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Dengan adanya salah satu unsur dalam Pasal 127 Undang-Undang
No 36 Tahun 2009 bahwa kehamilan diluar cara alami hanya dapat
dilaksanakan dari perkawinan yang sah. Sehingga syarat dilaksanakan
program bayi tabung di Indonesia yaitu dengan menunjukkan akta
perkawinan autentik dari pasangan suami istri baik akta perkawinan yang
yang disahkan oleh Pegawai Catatan Sipil maupun oleh Kantor Urusan
Agama. Akta perkawinan tersebut sebagai bukti bahwa perkawinan yang
telah dilangsungkan oleh pasangan suami istri tersebut adalah sah menurut
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. “Sedangkan
proses teknis dalam pelayanan teknologi bayi tabung dengan cara
mengambil sperma dari suami dan ovum dari istri yang selanjutnya sperma
akan diproses sehingga sel-sel sperma suami yang baik saja yang akan
dipertemukan dengan sel-sel telur istri dalam tabung gelas di laboratorium.
Sel-sel telur istri dan sel-sel telur suami yang sudah dipertemukan itu
kemudian dibiakkan dalam lemari pengeram. Pemantauan berikutnya
dilakukan 18-20 jam kemudian. Pada pemantauan keesokan harinya
diharapkan sudah terjadi pembelahan sel” (Salim HS, 1993:34). Setelah
diproses dalam tabung gelas untuk laboratorium untuk proses fertilisasi
maka terciptalah hasil pembuahan yang akan membelah menjadi beberapa
sel yang disebut dengan embrio. Embrio tersebut kemudian dipindahkan
melalui vagina ke dalam rongga rahim istri 2 sampai 3 hari kemudian.
Pelayanan program pelayanan bayi tabung di Indonesia tetap
berasal dari sperma suami dan ovum dari istri atas perkawinan yang sah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
untuk diadakan pembuahan. Selanjutnya embrio di letakkan pada rahim
istri untuk proses kehamilan. Pelayanan program bayi tabung ada campur
tangan dari teknologi dan tenaga ahli kedokteran yakni dalam hal
membantu proses pembuahan saja. Untuk proses kehamilan tetap pada
rahim istri. Sperma dan ovum yang digunakan berasal dari suami dan istri
yang sah. Hal demikian telah sesuai dengan ketentuan pada Pasal 127
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Problematika yang ada yaitu diperlukannya suatu perlindungan
hukum mengenai kedudukan yuridis atas anak bayi tabung yang sampai
pada saat ini belum ada ketentuan yang mengatur tentang status dan
kedudukan anak bayi tabung. Menilik dari pengertian anak sah menurut
Pasal 42 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyebutkan bahwa “anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat dari perkawinan yang sah”. Dari bunyi Pasal tersebut maka
anak bayi tabung dapat dikategorikan ke dalam anak sah sebab telah
memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 42 Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, yaitu:
a. Anak sah;
b. Dilahirkan dalam perkawinan yang sah; atau
c. Dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan sah yang dibuktikan dengan
akta perkawinan.
Anak bayi tabung telah memenuhi unsur “dilahirkan dalam
perkawinan yang sah”. Saat proses pelayanan program bayi tabung salah
satu syaratnya harus dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah menurut
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga
pembuahan embrio yang dihasilkan berasal dari sperma dan ovum dari
pasangan suami istri yang sah, bukan dari donor. Sedangkan unsur
“dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang sah” juga telah dapat
terpenuhi atas anak bayi tabung. Kelahiran seorang anak ditujukan unutk
meneruskan keturunan dari darah daging pasangan suami istri dari
perkawinan yang sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Perkawinan dimana dalam Perkawinan dalam Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ditujukan untuk mewujudkan keluarga
yang kekal dan bahagia. Kehadiran anak dapat mewujudkan kebahagiaan
dalam suatu keluarga. Sehingga kehadiran anak merupakan buah atau hasil
dari suatu perkawinan yang sah. Dapat dikatakan bahwa anak sebagai
akibat dari perkawinan yang sah yang mana sesuai dengan salah satu unsur
dari ketentuan dalam Pasal 42 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan
bahwa “anak sah adalah anak yang dilahirkan atau tumbuh sepanjang
perkawinan sehingga memperoleh suami ibunya sebagai ayahnya”. Dalam
hal ini berarti anak tersebut adalah anak sah dari ibu dan suami ibu dari
anak tersebut sehingga untuk dapat disebut anak sah harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. Dilahirkan;
b. Tumbuh sepanjang perkawinan (Soetojo Prawirohamidjojo dan
Marthalena Pohan, 2000:166).
Unsur atau syarat untuk dapat disebut sebagai anak sah ialah anak
yang dilahirkan. Program pelayanan bayi tabung mengenai
keberhasilannya untuk dapat terlahirkannya anak ialah sekitar 15%,
sehingga apabila program pelayanan bayi tabung berhasil maka anak anak
tersebut dapat dilahirkan setelah dikandung ibu dari anak tersebut atau
pihak istri yang melaksanakan program pelayanan bayi tabung. Dengan
demikian jika anak hasil dari program bayi tabung tersebut dapat terlahir
di dunia maka telah memenuhi unsur yang pertama dalam pasal 250 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan unsur atau syarat untuk dapat
dikatakan sebagai anak sah menurut Pasal 250 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata ialah “tumbuh sepanjang perkawinan”. Anak bayi tabung
merupakan anak yang tumbuh sepanjang perkawinan sebab anak bayi
tabung yang berhasil dilahirkan tersebut tumbuh dalam perkawinan yang
sah. Oleh karena di dalam Pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
tentang Kesehatan telah mengatur mengenai syarat yang boleh melakukan
program pelayanan bayi tabung hanya pasangan suami istri yang sah
menurut hukum perkawinan nasional di Indonesia yaitu sesuai dengan
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga anak
bayi tabung yang dilahirkan merupakan hasil dari perkawinan yang sah
dan tumbuh sepanjang perkawinan dari pasangan suami istri yang sah.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan dalam Pasal 251 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata keabsahan seorang anak yang dilahirkan sebelum
hari yang ke-180 setelah perkawinan dilangsungkan maka sebagai suami
boleh menyangkal keabsahan anak tersebut.
Masa kehamilan (zwangerschapsperiod) yang dianggap paling
pendek yaitu 180 hari, sedangkan Pasal 255 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “anak yang dilahirkan 300
hari setelah perkawinan dibubarkan, adalah tidak sah”. Menurut ilmu
kedokteran sejak zaman Romawi masa kehamilan paling panjang adalah
300 hari sehingga logikanya anak tersebut ditumbuhkan setelah
perkawinan bubar. Sehingga suami dianggap sebagai ayah sah dari anak-
anak yang dilahirkan oleh istrinya diantara hari dilangsungkannya
perkawinan sampai dengan hari ke-300 atau terhitung dari bubarnya
perkawinan (Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 2000:166).
Pengertian anak sah yang disebutkan dalam Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata bertitik tolak dari hasil hubungan seksual yang dilakukan secara
alami antara pasangan suami istri dan pasangan suami istri tersebut terikat
dalam perkawinan yang sah. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan
intervensi manusia (dokter), misalnya dalam membantu pasangan suami
istri yang mandul belum pernah terpikirkan oleh pembuat undang-undang
(Salim HS, 1993:75).
Anak hasil bayi tabung memenuhi persyaratan dalam pengertian
mengenai anak sah menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 meskipun
dalam Pasal 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
tidak menyebutkan kedudukan tentang anak sah dengan proses kehamilan
di luar cara alami. Selain itu di dalam Pasal 250 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang mengatur tentang anak sah juga tidak mengatur
mengenai kedudukan anak bayi tabung atau anak yang dilahirkan dengan
proses kehamilan di luar cara alamiah. Menurut Rachmadi Usman
(2006:347) pengertian anak yang sah ini hendaknya termasuk pula anak-
anak yang dilahirkan dari hasil pembuahan suami istri yang sah diluar
rahim dan dilahirkan oleh istri yang melangsungkan perkawinan secara sah
dengan suaminya. Sehingga ketika pasangan suami istri yang sah secara
hukum telah sepakat untuk melakukan progam bayi tabung yang mana
dalam prosesnya tidak melibatkan pihak ketiga sebagai pendonor sperma
atau tidak mengambil sperma dari bank sperma, kemudian tidak menyewa
rahim orang lain, maka program bayi tabung telah sesuai dengan peraturan
perundangan kesehatan yang ada di Indonesia. Dengan sesuainya
penerapan program bayi tabung menurut Undang-Undang Kesehatan di
Indonesia maka berarti program bayi tabung tersebut diperbolehkan dan
sah untuk dipraktekkan menurut hukum positif di Indonesia.
Menurut Salim HS (1993:76) bahwa anak yang dilahirkan melalui
teknik bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan
suami istri yang sah kemudian embrionya ditransplantasikan ke rahim istri
yang bersangkutan maka secara hukum dapat dikatakan sebagai anak sah.
Oleh karena anak yang dilahirkan dengan bantuan teknologi bayi tabung
itu dilahirkan dalam perkawinan yang sah, sperma dan ovum berasal dari
suami dan istri yang sah, serta yang mengandung dan melahirkan adalah
istri dari suami yang bersangkutan. Sedangkan intervensi teknologi adalah
semata-mata untuk membantu proses pembuahannya saja. Proses
selanjutnya embrio yang dihasilkan tetap berada dalam rahim istri.
Berdasarkan pendapat dari Sudikno Mertokusumo yang dikutip oleh
Salim HS (1993:77) bahwa:
Dengan lahirnya teknologi canggih yang menghasilkan bayi tabung, sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak dan menginginkannya makin lama akan makin lebih suka memperoleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
bayi tabung dari pada mengangkat orang lain (hal ini tergantung pada pendidikan dan kesadaran). Kedudukan yuridis bayi tabung pun seperti halnya anak angkat, yaitu menggantikan atau sama dengan anak kandung. Jadi anak yang dilahirkan melalui bayi tabung hak dan kewajibannya sama dengan anak kandung. Ia berhak atas pendidikan, pemeliharaan dan pewarisan dari orangtuanya.
Pendapat serupa yang menyatakan bahwa anak bayi tabung dalam
kadudukan hukumnya terkait dengan hokum waris di Inonesia merupakan
anak sah juga dikemukakan oleh Aris Bintania (2008:155) pada definisi
anak sah dari jurnal Hak dan Kedudukan Anak Dalam Keluarga dan
Setelah Terjadi Perceraian Volume VIII No. 2 bahwa “anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari, perkawinan
yang sah atau hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan
dilahirkan oleh istri tersebut”.
B. Hak Waris atas Anak Bayi Tabung dalam Pewarisan menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
1. Konsep Hukum Waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
Pasal 2 dalam Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bawa
Indonesia adalah Negara hukum sehingga segala tingkah laku yang
dilakukan di Indonesia memiliki ketentuan hukum atau dasar hukum
sebagai pedoman untuk berperilaku. Dalam hukum perdata yang berlaku
di Indonesia sampai saat ini masih memakai ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUH Perdata
(Burgerlijk Wetboek/BW). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
hukum waris merupakan bagian dari hukum harta kekayaan sehingga
pengaturan hukum terdapat dalam Buku Ke II Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tentang Benda.
Hukum waris merupakan satu peraturan-peraturan yang mengatur
mengenai perpindahan harata kekayaan seseorang yang telah meninggal
dunia kepada ahli waris dari orang yang meninggal dunia atau pewaris
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
tersebut yang mana asas dalam hukum waris bahwa yang berpindah di
dalam suatu pewarisan adalah kekayaan dari pewaris (Satrio, 1992:9).
Dalam suatu kehidupan seseorang pasti terjadi proses kelahiran dan juga
proses kematian. Proses kelahiran dan kematian tersebut menuntut Negara
untuk menciptakan peraturan atau ketentuan dalam rangka mengatur hal-
hal yang berkaitan dengan kelahiran sampai pada kematian seseorang
dalam suatu Negara. Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kematian
diatur dalam hukum waris.
Pengertian secara umum mengenai hukum waris adalah hukum
yang mengatur mengenai peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh
seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya atau
keluarganya. Hukum waris di Indonesia masih bersifat pluralistis, karena
pada saat ini berlaku 3 (tiga) sistem hukum waris, yaitu Hukum Waris
Adat, Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), dan Hukum Waris Islam. Semua yang berhubungan
dengan perkara warisan khususnya di Indonesia merupakan perkara
perdata yang kompleksitas masalahnya sangat beragam di dalam
masyarakat. Hal ini dikarenakan perkara waris merupakan perkara yang
menyangkut hubungan antara pribadi yang satu dengan yang lain yang
masing-masing bertindak sebagai ahli waris, yang mana semua itu
berujung pada satu masalah yaitu pembagian harta warisan, yang
seringkali menimbulkan perselisihan di dalam satu keluarga (Taufiq Tri
Kustanto, 2007:1).
Sistem hukum waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata mengikut pada sistem keluarga inti dengan pembagian harta secara
individual. Pokok-pokok kewarisan yang diatur dalam hukum perdata
dapat dilihat dalam Pasal 1066 KUH Perdata, hal- hal yang ditentukan
yaitu:
a. Tidak seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan
diwajibkan menerima langsung harta peninggalan itu dalam keadaan
yang tak terbagi;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
b. Pemisahan harta itu setiap waktu dapat dituntut, biarpun ada larangan
untuk melakukannya;
c. Namun dapat diadakan persetujuan untuk selama suatu waktu tertentu
tidak melakukan pemisahan;
d. Perjanjian ini dapat mengikat selama lima tahun, tetapi setelah
tenggang waktu lewat, perjanjian itu dapat diperbaharui.
Berdasarkan pokok-pokok sistem hukum waris menurut Pasal 1066
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa ketentuan hukum yang
mengutamakan kepentingan perorangan atas harta warisan ini sering
menimbulkan konflik diantara para ahli waris. Pada dasarnya semua harta
peninggalan baik aktiva maupun pasiva berpindah kepada ahli warisnya.
Para ahli waris sebelum dilakukan pembagian warisan dapat menentukan
salah satu sikap diantara tiga kemungkinan:
a. Menerima harta warisan secara penuh atau secara murni;
b. Menerima harta warisan dengan syarat;
c. Menolak harta warisan (Satrio, 1992:359).
Asas yang terdapat dalam Pasal 836 dan 899 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata bahwa orang yang bertindak sebagai ahli waris,
harus ada (sudah lahir) pada saat terbukanya warisan. Asas tersebut
selanjutnya harus ditafsirkan bahwa orang yang akan mewaris selain
daripada ahli waris telah ada (telah lahir) ahli waris pun harus masih ada
(masih hidup) pada saat matinya pewaris. Oleh karena saat kematian dan
kelahiran seseorang sangat penting dan bersifat sangat menentukan. Saat
tersebut menentukan siapa saja yang berhak mewaris dan sejak kapan hak
dan kewajiban pewaris berpindah kepada ahli waris. Disamping itu saat
meninggalnya pewaris mempunyai pengaruh yang penting sekali
berhubung dengan adanya ketentuan yang mana sesuai dengan Pasal 1083
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa tiap ahli waris setelah
diadakan pembagian dan pemecahan warisan dianggap menerima
langsung pada saat pewaris mati. Dengan demikian disini ada dikenal
tindakan hukum yang berlaku surut (terugwerkende kracht). Ketentuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
yang demikian itu berlaku pula bagi pembeli barang warisan menurut
Pasal 1076 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Satrio. 1992:23).
Sedangkan asas hukum waris menurut Pasal 832 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata pada asasnya bahwa untuk dapat mewaris orang
harus mempunyai hubungan darah dengan si pewaris. Hubungan darah
tersebut dapat sah atau luar kawin, baik melalui garis ibu maupun garis
bapak. Hubungan darah yang sah adalah hubungan darah yang
ditimbulkan sebagai akibat dari suatu perkawinan yang sah. Hubungan
darah yang tak sah timbul sebagai akibat pengakuan anak secara sah.
Mengenai syarat suatu perkawinan yang sah dan mengenai keturunan luar
kawin diatur dalam Hukum Keluarga (Satrio. 1992:29). Selain anak sah,
anak luar kawin, serta anak luar kawin yang diakui, terdapat pula
fenomena pengangkatan anak, adopsi anak, serta memperoleh anak dengan
teknis anak bayi tabung.
Mengenai anak yang diangkat oleh suami istri sebagai anak mereka
dianggap sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan suami istri yang
diatur dalam Pasal 12 ayat (1). Sehingga anak tersebut dianggap sebagai
anak orang tua biologisnya. Demikian pula hubungan perdata antara orang
tua biologis dan sanak keluarganya di satu pihak, dengan anak tersebut di
lain pihak menjadi putus sesuai dama Pasal 14. Bilamana anak adoptif
tersebut mempunyai nama keluarga lain maka karena hukum memperoleh
nama keluarga ayah adoptifnya sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 11.
Jika seseorang duda mengadopsi seorang anak setelah perkawinannya
putus maka anak itu dianggap dilahirkan dari perkawinan duda tersebut
yang terputus karena kematian istrinya (Soetojo Prawirohamidjojo,
1998:112-113).
Ditinjau dari segi biologis setiap orang pasti mempunyai ayah dan
ibu. Ibu dari anak tersebut adalah wanita yang melahirkan, sedangkan
ayahnya ialah yang membenihkan dia atau dalam hal inseminasi buatan
(konjugatige inseminatie) dengan benih/sperma dan ovum siapa anak itu
dibenihkan. Apabila seorang anak mempunyai ayah dan ibu yuridis, maka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
terdapat hubungan hukum kekeluargaan terhadap ayah dan ibu dari anak
yang dilahirkan tersebut. Hubungan hukum kekeluargaan ini dapat
menunjukkan gradasi yang berbeda-beda. Hubungan yang paling kuat
ialah antara anak yang sah terhadap orang tua dari anak itu, misalnya
seorang anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tuanya (Soetojo
Prawirohamidjojo, 1998:103). Anak mempunyai kedudukan yang penting
dalam keluarga, terlebih dalam hal pewarisan yang terkait dengan ahli
waris oleh karena anak merupakan keturunan langsung dari orangtuanya
dan sebagai ahli waris dari orangtuanya. Akan tetapi ada pula anak yang
tidak dapat menjadi ahli waris menurut ketentuan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata.
Dalam pembahasan sebelumnya pada penulisan hukum ini, anak
bayi tabung dikategorikan ke dalam anak sah sehingga pewarisan dari
anak bayi tabung tersebut sama dengan anak sah menurut Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Sehingga anak bsaayi tabung mempunyai status, kedudukan
hukum, hak, serta kewajiban yang sama dengan anak sah. Dengan
demikian dalam sistem hukum waris menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata termasuk dalam ahli waris pada golongan pertama.
2. Penggolongan Warisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pewarisan berdasarkan Undang-undang adalah suatu bentuk pewarisan
dimana hubungan darah merupakan faktor penentu dalam hubungan pewarisan
antara Pewaris dengan ahli waris. Berdasarkan ketentuan dalam Kitab
Undang-Undang Hukumm Perdata ada 2 cara mewaris yaitu berdasarkan
Undang-undang (ab-intestato) yang mana cara mewaris ini berdasarkan
kedudukan dari ahli waris itu sendiri (Uit Eigen Hoofde) dan cara yang
selanjutnya yaitu mewaris berdasarkan penggantian (Bij Plaatsvervuling).
Cara mewaris bedasarkan kedudukan dari ahli waris itu senditi (Uit Eigen
Hoofde) disebut juga dengan pewaris langsung. Ahli waris dari Uit Eigen
Hoofde adalah mereka yang terpanggil untuk mewaris berdasarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
haknya/kedudukan dari ahli waris sendiri. Dalam pewarisan berdasarkan
kedudukan sendiri pada asasnya ahli waris mewaris kepala demi kepala
(Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah 2005:17-18).
Menurut pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berhak
menjadi ahli waris adalah keluarga sederajat baik sah maupun luar kawin yang
diakui, serta suami istri yang hidup terlama. Dalam bagian II bab XII diatur
tentang pewarisan dari keluarga yang sah dan suami istri. Dalam bagian III
diatur tentang pewarisan dalam hal adanya anak luar kawin yang diakui. Para
ahli waris yang sah karena kematian terpanggil untuk mewaris menurut urutan
dimana mereka itu terpanggil untuk mewaris. Urutan tersebut dikenal ada 4
macam yang disebut golongan ahli waris, terdiri dari golongan pertama adalah
suami atau istri dan keturunan. Golongan kedua orangtua, saudara dan
keturunan saudara. Golongan ketiga adalah leluhur lain . golongan empat
adalah sanak keluarga lainnya dalam garis menyimpang sampai derajat ke
enam. Mereka ini diukur menurut jauh dekatnya darah dengan si pewaris
dimana golongan yang lebih dekat menutup golongan yang lebih jauh (Surini
Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah 2005:50).
Hukum waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata berkaitan dengan cara ahli waris untuk mewaris terbagi menjadi:
a. Ahli Waris menurut Undang-Undang (Ab Intestato).
Ahli waris menurut undang-undang, yang merupakan ahli waris
dalam garis lurus kebawah, yang dibedakan menjadi empat golongan ahli
waris yaitu :
1) Golongan pertama,
Ahli waris golongan I menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata diatur dalam Pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Menurut ketentuan dalam Pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata ini, maka yang berhak menerima bagian warisan adalah para
keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami atau istri
yang hidup terlama. Ahli waris golongan I ini terdiri dari:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
a) Suami /istri yang hidup terlama;
b) Anak, dan keturunannya.
Golongan 1 terdiri dari anak-anak dan atau sekalian
keturunannya. Yang dimaksud anak adalah anak sah karena mengenai
anak luar kawin diatur sendiri dalam bab bagian 3 buku ke dua pasal
862 KUH perdata dan seterusnya. Termasuk golongan anak sah adalah
anak yang disahkan yang diatur dalam pasal 277 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Anak- anak mewaris dalam derajat pertama
artinya mereka mewaris kepala demi kepala mereka masing-masing
mempunyai bagian yang sama besar diatur dalam pasal 852 ayat 2
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Surini Ahlan Sjarif dan Nurul
Elmiyah 2005:51).
Kategori anak yang dimaksud dalam golongan I ini meliputi
anak sah, anak yang disahkan dan anak luar kawin yang diakui. Akan
tetapi mengenai anak bayi tabung tidak disebutkan secara tersurat
dalam golongan I menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sehingga yang menjadi permasalahan disini bahwa permasalahan atas
bayi tabung untuk dapat menjadi ahli waris atau tidak. Namun dalam
pembahasan sebelumnya telah disampaikan bahwa anak bayi tabung
memiliki kedudukan hukum sebagai anak sah dan sama dengan anak
kandung. Anak bayi tabung tersebut dapat dimasukkan dalam kategori
anak sah sehingga anak bayi tabung memiliki hak bagian atas harta
kekayaan dari pewaris sama dengan anak sah.
2) Golongan kedua
Golongan kedua terdiri dari :
a) Ayah dan Ibu;
b) Saudara.
3) Golongan ketiga yang terdiri dari :
a) Kakek dan nenek, baik dari pihak bapak maupun ibu;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
b) Orang tua;
c) Kakek dan nenek itu, dan seterusnya keatas.
4) Golongan keempat yang terdiri dari :
a) Paman dan bibi baik dari pihak bapak maupun ibu;
b) Keturunan Paman dan bibi sampai derajat keenam;
c) Saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai
derajat keenam dari si meninggal.
b. Ahli Waris menurut Wasiat (Testamentair).
Ahli waris yang mendapat warisan berdasarkan penunjukan
(erfstelling) pewaris (pembuat wasiat) pada waktu pewaris masih hidup.
Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal
empat golongan ahli waris yang bergiliran berhak atas harta peninggalan.
Artinya, apabila golongan pertama masih ada, maka golongan kedua dan
seterusnya tidak berhak atas harta peninggalan, demikian pula jika golongan
pertama tidak ada sama sekali, yang berhak hanya golongan kedua, sedangkan
golongan ketiga dan keempat tidak berhak. Bagian masing-masing ahli waris
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut:
a. Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis
lurus ke bawah, yaitu anak-anak beserta keturunan mereka, dan janda atau
duda yang hidup paling lama, masing-masing memperoleh satu bagian
yang sama. Jadi bila terdapat empat orang anak dan janda, mereka masing-
masing mendapat 1/5 bagian. Apabila salah seorang anak telah meninggal
dunia terlebih dahulu dari pewaris akan tetapi mempunyai empat orang
anak, yaitu cucu pewaris, maka bagian anak yang 1/5 dibagi di antara
anak-anak yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal
itu (plaatsvervulling), sehingga masing-masing cucu memperoleh 1/20
bagian. Jadi hakikat bagian dari golongan pertama ini, jika pewaris hanya
meninggalkan seorang anak dan dua orang cucu, maka cucu tidak
memperoleh warisan selama anak pewaris masih ada, baru apabila anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
pewaris itu telah meninggal lebih dahulu dari pewaris, kedudukannya
digantikan oleh anakanaknya atau cucu pewaris.
b. Bagian golongan kedua yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus
ke atas yaitu orang tua, ayah dan ibu, serta saudara, baik laki-laki maupun
perempuan beserta keturunan mereka. Menurut ketentuan BW, baik ayah,
ibu maupun sudara-saudara pewaris masing-masing mendapat bagian yang
sama. Akan tetapi bagian ayah dan ibu senantiasa diistimewakan karena
mereka tidak boleh kurang dari ¼ bagian dari seluruh harta warisan. Jadi
apabila terdapat tiga orang saudara yang mewaris bersama-sama dengan
ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan memperoleh ¼
bagian dari seluruh harta warisan. Sedangkan separoh dari harta warisan
itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara, masing-masing dari mereka akan
memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal
dunia, yang hidup paling lama akan memperoleh bagian sebagai berikut:
1) ½ (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris
bersama dengan seorang saudaranya, baik lakilaki maupun perempuan,
sama saja;
2) 1/3 bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama
dengan dua orang saudara pewaris;
3) ¼ (seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris
bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris
(http://darusnal.blogspot.com/search?q=waris+perdata>, [10 Januari
2012, pukul 17.57 WIB])
Jika ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta
peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara-saudara pewaris, sebagai ahli
waris golongan dua yang masih ada. Apabila di antara saudara-saudara
yang masih ada itu ternyata hanya ada yang seayah atau seibu saja dengan
pewaris, maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu
bagian saudara seibu. Jika pewaris mempunyai saudara seayah dan seibu
di samping saudara kandung, maka bagian saudara kandung itu diperoleh
dari dua bagian yang dipisahkan tadi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
c. Bagian golongan ketiga yang meliputi kakek, nenek, dan leluhur
selanjutnya ke atas dari pewaris, apabila pewaris sama sekali tidak
meninggalkan ahli waris golongan pertama maupun kedua. Dalam
keadaan seperti ini sebelum harta warisan dibuka, terlebih dahulu harus
dibagi dua (kloving). Selanjutnya separoh yang satu merupakan bagian
sanak keluarga dari pancer ayah pewaris, dan bagian yang separohnya lagi
merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ibu pewaris. Bagian yang
masing-masing separoh hasil dari kloving itu harus diberikan pada kakek
pewaris untuk bagian dari pancer ayah, sedangkan untuk bagian dari
pancer ibu harus diberikan kepada nenek.
d. Bagian golongan keempat yang meliputi anggota keluarga dalam garis ke
samping sampai derajat keenam, apabila pewaris tidak meninggalkan ahli
waris golongan ketiga sekalipun, maka cara pembagiannya, bagian yang
separoh dari pancer ayah atau dari pancer ibu jatuh kepada saudarasaudara
sepupu si pewaris yakni saudara sekakek atau saudara senenek dengan
pewaris.
Apabila dalam bagian pancer ibu sama sekali tidak ada ahli waris
sampai derajat keenam, maka bagian pancer ibu jatuh kepada para ahli waris
dari pancer ayah, demikian pula sebaliknya. Dalam pasal 832 ayat (2) BW
disebutkan: ”Apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan sama
sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik negara.
Selanjutnya negara wajib melunasi hutang-hutang peninggal warisan,
sepanjang harta warisan itu mencukupi”.
Bagian warisan untuk anak yang lahir di luar perkawinan antara lain
diatur sebagai berikut :
a. 1/3 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan
mewaris bersama-sama dengan anak yang sah serta janda atau duda yang
hidup paling lama;
b. ½ dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan
mewaris bersama-sama dengan ahli waris golongan kedua dan golongan
ketiga;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
c. ¾ dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan
mewaris bersama-sama ahli waris golongan keempat, yaitu sanak keluarga
pewaris sampai derajat keenam.
d. ½ dari bagian anak sah, apabila ia mewaris hanya bersamasama dengan
kakek atau nenek pewaris, setelah terjadi kloving
(http://darusnal.blogspot.com/search?q=waris+perdata>, [10 Januari 2012,
pukul 17.57 WIB]).
Dengan demikian, bagian anak yang lahir di luar nikah bukan ¾, sebab
untuk ahli waris golongan keempat ini sebelum warisan dibuka terlebih dahulu
diadakan kloving/ dibagi dua, sehingga anak yang lahir di luar nikah akan
memperoleh ¼ dari bagian anak sah dari separoh warisan pancer ayah dan ¼
dari bagian anak sah dari separoh warisan pacer ibu, sehingga menjadi ½
bagian. Apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris sampai
derajat keenam sedang yang ada hanya anak yang lahir di luar nikah, maka
harta peninggalan seluruhnya jatuh pada tangan anak yang lahir di luar
pernikahan, sebagai ahli waris satu-satunya (http://darusnal.blogspot.com/
search?q=waris+perdata>, [10 Januari 2012, pukul 17.57 WIB])
Anak yang lahir dari zina dan anak yang lahir dari orang tua yang tidak
boleh menikah karena keduanya sangat erat hubungan kekeluargaannya,
menurut sistem BW sama sekali tidak berhak atas harta warisan dari orang
tuanya, anak-anak tersebut hanya berhak memperoleh bagian sekedar nafkah
untuk hidup seperlunya diatur dalam Pasal 867 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
3. Tinjauan Yuridis Anak Bayi Tabung dalam Hukum Waris Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ada suatu
ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai warisan anak yang
dilahirkan melalui proses bayi tabung akan tetapi yang ada hanyalah ketentuan
yang mengatur tentang warisan anak yang dilahirkan secara alamiah seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
warisan anak sah dan anak luar kawin yang diakui. Menurut Salim SH
(1993:89) tidak berarti bahwa ketentuan yang mengatur mengenai warisan
atas anak yang dilahirkan secara alamiah tidak dapat diterapkan terhadap anak
yang dilahirkan melalui proses bayi tabung sesuai dengan Pasal 127 Undang-
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Caranya yaitu dengan
mengkaitkan dengan kedudukan yuridis anak yang dilahirkan tersebut. Karena
kedudukan yuridis mempunyai pengaruh dalam menentukan berhak atau
tidaknya seorang anak terhadap warisan yang ditinggalkan oleh orang tua.
Dengan adanya bagian yang berbeda-beda hak atas harta kekayaan
yang diperoleh anak, maka sangat perlu adanya kepastian hukum mengenai
kedudukan hukum dari anak tersebut. Dengan demikian akan dapat ditentukan
mengenai berhak atau tidaknya seorang anak memperoleh harta kakayaan
pewaris serta dapat ditentukannya besar bagian harta kekayaan pewaris untuk
anak. Begitu pula dengan anak bayi tabung yang membutuhkan kepastian
hukum dalam hal kedudukan hukum anak bayi tabung untuk mewarisi harta
kekayaan dari pewaris. Oleh karena anak bayi tabung ini mendapatkan
kedudukan yang sama dengan anak sah maka anak bayi tabung ini juga
mendapatkan hak yang sama pula dengan anak sah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Dasar hukum diterapkannya pelayanan bayi tabung di Indonesia
berdasarkan dengan pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Akan tetapi di dalam pasal 127 Undang-Undang No 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan tersebut tidak menyebutkan mengenai kedudukan
hukum dari anak bayi tabung melainkan hanya menyebutkan tentang
syarat umum dilaksanakannya teknologi bayi tabung. Dengan menggunaan
penafsiran analogi maka kedudukan hukum dari anak bayi tabung ialah
sebagai anak sah oleh karena anak bayi tabung merupakan anak hasil dari
pasangan suami istri yang memiliki ikatan perkawinan yang sah menurut
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dikandung oleh
istri sah yang menanamkan ovum untuk anak bayi tabung tersebut. Selain
itu teknologi bayi tabung hanya merupakan bantuan kehamilan dalam
proses pembuahannya saja yaitu diluar cara alamiah dengan menggunakan
in vitro;
2. Hak waris atas anak bayi tabung dalam hukum waris menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yaitu sebagai ahli waris ab intestato
golongan I oleh karena kedudukan anak bayi tabung sebagai anak sah.
Dengan demikian anak bayi tabung tersebut memiliki hak untuk mewaris
yang sama dengan anak sah. Anak bayi tabung berhak atas harta kekayaan
yang ditinggalkan pewaris sebesar yang diterima oleh anak sah.
B. Saran
1. Sebaiknya di Indonesia harus memiliki peraturan yang khusus mengatur
tentang bayi tabung yang disertai pula dengan kedudukan hukum anak
bayi tabung sehingga dapat tercapai kepastian hukum dan dalam rangka
menerapkan perlindungan hukum terhadap anak bayi tabung. Dengan
adanya kepastian hukum mengenai kedudukan hukum atas anak bayi
83
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
tabung maka dapat ditentukan pula mengenai hal pewarisan untuk anak
bayi tabung menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Sebaiknya Indonesia segera membentuk peraturan mengenai hukum waris
anak bayi tabung yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata sehingga dapat diberlakukan untuk warga negara Indonesia yang
tunduk pada hukum yang bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata atau di dalam Kitab Undang-Undang hukum Perdata segera
dilengkapi pula dengan hak waris atas anak bayi tabung dalam hukum
warisnya.