Tinjauan Pustaka TB
Click here to load reader
-
Upload
classicorner -
Category
Documents
-
view
436 -
download
2
Transcript of Tinjauan Pustaka TB
Tinjauan Pustaka
Definisi
Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberkulosis (dan kadang-kadang oleh M. bovis dan africanum). Organisme ini
disebut pula sebagai basil tahan asam.
Penularan terjadi melalui udara (airborne spreading) dari “droplet” infeksi. Sumber
infeksi adalah penderita TB paru yang membatukkan dahaknya, dimana pada
pemeriksaan hapusan dahak umumnya ditemukan BTA positif. Batuk akan
menghasilkan droplet infeksi (droplet nuclei). Pada sekali batuk dikeluarkan 3000
droplet. Penularan umumnya terjadi dalam ruangan dengan ventilasi kurang. Sinar
matahari dapat membunuh kuman dengan cepat, sedang pada ruangan gelap kuman
dapat hidup. Risiko penularan infeksi akan lebih tinggi pada BTA (+) dibanding BTA
(-). Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit menahun, bahkan dapat seumur hidup.
Setelah seseorang terinfeksi kuman tuberkulosis, hampir 90% penderita secara klinis
tidak sakit, hanya didapatkan test tuberkulin positif, 10% akan sakit. Penderita yang
sakit, bila tanpa pengobatan, setelah 5 tahun, 50% penderita TB paru akan mati, 25%
sehat dengan pertahanan tubuh yang baik dan 25% menjadi kronik dan infeksius.
Epidemiologi
WHO menyatakan bahwa 1/3 penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB. Setiap
tahunnya diseluruh dunia didapatkan sekitar 4 juta penderita baru TB menular,
ditambah dengan jumlah yang sama TB yang tidak menular dan sekitar 3 juta
meninggal setiap tahunnya. Dari seluruh kematian yang dapat dicegah, 25%
diantaranya disebabkan oleh tuberkulosis. Saat ini di negara maju diperkirakan setiap
tahun terdapat 10-20 kasus baru setiap 100.000 penduduk dengan kematian 1-5 per
100.000 sedang di negara berkembang angkanya masih tinggi. Pada tahun 1995
diperkirakan 9 juta kasus baru dengan 3 juta kematian akibat tuberkulosis. 95% kasus
TB dan 98% kematian akibat TB terjadi di negara berkembang. 75% kasus TB
menyerang usia produktif (15-50 tahun). Pada tahun 1992, WHO telah mencanangkan
TB sebagai Global Emergency.
Di Indonesia, berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001,
penyakit pada system pernafasan merupakan penyebab kematian kedua setelah system
sirkulasi. Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992, TB merupakan
penyebab kematian kedua, sedang pada SKRT 2001 menunjukkan TB nerupakan
penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi.
WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat
TB dan terdapat 550.000 kasus TB. Sedangkan data Departemen Kesehatan pada
tahun 2001 di Indonesia terdapat 50.443 penderita TB BTA (+). Tiga perempat dari
kasus berusia 15-49 tahun dan baru 20% yang tercakup dalam program
pemberantasan tuberculosis yang dilaksanakan pemerintah.
Patogenesis
Tuberkulosis primer:
Infeksi primer terjadi setelah seseorang menghirup mikobakterium tuberculosis.
Setelah melalui barier mukosilier saluran napas, basil TB akan mencapai alveoli.
Kuman akan mengalami multiplikasi di paru, disebut focus Ghon. Melalui aliran
limfe, basil mencapai kelenjar limfe hilus. Fokus Ghon dan limfadenopati hilus
membentuk kompleks primer. Melalui kompleks primer basil dapat menyebar melalui
pembuluh darah ke seluruh tubuh. Respons imun seluler/hipersensitivitas tipe lambat
terjadi 4-6 minggu setelah infeksi primer. Banyaknya basil TB serta kemampuan daya
tahan tubuh host akan menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Pada kebanyakan
kasus, respons imun tubuh dapat menghentikan multiplikasi kumanm sebagian kecil
menjadi kuman dorman. Pada penderita dengan daya tahan tubuh yang buruk, respons
imun tidak dapat menghentikan multiplikasi kuman sehingga akan menjadi sakit pada
beberapa bulan kemudian. Sehingga kompleks primer akan mengalami salah satu hal
sebagai berikut:
1. Penderita akan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat (restirution ad
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan bekas (seperti sarang Ghon, fibrotik,
kalsifikasi)
3. Menyebar dengan cara:
a. Perkontinuitatum ke jaringan sekitarnya
Sebagai contoh adalah pembesaran kelenjar limfe di hilus, sehingga
menyebabkan penekanan bronkus lobus medius, berakibat atelektasis.
Kuman akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat menuju lobus
yang atelektasis, menimbulkan peradangan pada lobus yang
atelektasis, hal ini disebut sebagai epituberkulosis. Pembesaran
kelenjar limfe di leher, dapat menjadi abses disebut scrofuloderma.
Penyebaran ke pleura menyebabkan efusi pleura.
b. Penyebaran bronkogen ke paru bersangkutan atau paru sebelahnya.
Atau tertelan bersama dahak sehingga terjadi penyebaran di usus.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen ke organ lain seperti
tuberculosis milier, meningitis, ke tulang, ginjal, genetalia.
Tuberkulosis post primer
Terjadi setelah periode laten (beberapa bulan/tahun) setelah infeksi primer. Dapat
terjadi karena reaktivasi atau reinfeksi. Reaktivasi terjadi akibat kuman dorman yang
berada pada jaringan selama beberapa bulan/tahun setelah terjadi akibat daya tubuh
yang lemah. Reinfeksi diartikan adanya infeksi ulang pada seseorang yang
sebelumnya pernah mengalami infeksi primer. TB post primer umunya menyerang
parum tetapi dapat pula di tempat lain di seluruh tubuh umumnya pada usia dewasa.
Karakteristik TB post primer adalah adanya kerusakan paru yang luas dengan kavitas,
hapusan dahak BTA positif, pada lobus atas, umunya tidak terdapat limadenopati
intratoraks
Tuberkulosis post primer dimulai dari sarang dini yang umunya pada segmen apical
lobus superior atau lobus inferior. Awalnya berbentuk sarang pneumonic kecil.
Sarang ini dapat mengalami salah satu keadaan sbb:
1. Diresorbsi dan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang meluas, tetap segera mengalami penyembuhan berupa jaringan fibrosis
dan kalsifikasi. Sarang dapat aktif kembali membentuka jaringan keju dan bila
di batukkan menimbulkan kaviti.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju, yang bila dibatukkan
akan menimbulkan kaviti. Kaviti awalnya berdinding tipis kemudia menjadi
tebal (kaviti sklerotik).
Kaviti akan mengalami:
a. Meluas dan menimbulkan sarang pneumonik baru.
b. Memadat dan membungkus diri disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat
mengapur dan sembuh, tapi dapat aktif kembali dan mencair menimbulkan
kaviti kembali.
c. Menyembuh dan disebut open healed cavity, atau menyembuh dengan
membungkus diri, akhirnya mengecil. Kaviti dapat menciut dan tampak
sebagai bintan (stellate shape).
Bentuk tuberculosis paru post primer dapat sebagai tuberculosis paru dan ekstra paru:
Pulmonary TB:
o Cavitas
o Upperlobe infiltrate
o Fibrosis
o Progressive pneumonia
o Endobrochial
Extrapulmonary TB:
o Common:
Pleural effusion
Lymphadenopathy (usually cervical)
Central nervous system (meningitis, cerebral tuberculoma)
Pericarditis (effusion/constrictive)
Gastrointestinal (ileocecal, peritoneal)
Spine, other bone & joint
o Less common:
Empyema
Male genital tract (epididymitis, orchitis)
Femal genital tract (tubo-ovarial, endometrium)
Kidney
Adrenal gland
Skin (lupus vulgaris, tuberculids, military)
Patogenesis dan manifestasi patologi tuberculosis paru merupakan hasil respons imun
seluler (cell mediated immunity) dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap
antigen kuman tuberkulosis.
Perjalanan infeksi tuberculosis terjadi melalui 5 tahap.
Tahap 1: dimulai dari masuknya kuman tuberkulosis ke alveoli. Kuman akan
difagositosis oleh makrofag alveolar dan umunya dapat dihancurkan. Bila daya bunuh
makrofag rendah, kuman tuberkulosis akan berproliferasi dalam sitoplasma dan
menyebabkan lisis makrofag. Pada umunya pada tahap ini tidak terjadi pertumbuhan
kuman.
Tahap 2: stage simbiosis, kuman tumbuh secara logaritmik dalam non-activated
macrophage yang gagal mendestruksi kuman tuberkulosis hingga makrofag hancur
dan kuman tuberkulosis difagositosis oleh makrofag lain yang masuk ke tempat
radang karena faktor kemotaksis komponen komplemen C5a dan monocyte chemo-
attractant protein (MPC-1). Lama kelamaan makin banyak makrofag dan kuman
tuberculosis yang berkumpul di tempat lesi.
Tahap 3: terjadi nekrosis kaseosa, jumlah kuman tuberculosis menetap karena
pertumbuhannya dihambat oleh respons imun tubuh terhadap tuberculin-like antigen.
Pada stadium ini delayed type of hypersensitivity (DTH) merupakan respons imun
utama yang mampu menghancurkan makrofag yang berisi kuman. Respons ini
terbentuk 4-8 minggu dari saat infeksi. Dalam solid caseous center yang terbentuk,
kuman ekstraseluler tidak dapat tumbuh, dikelilingi non-activated macrophage, dan
partly activated macrophage. Pertumbuhan kuman TB secara logaritmik terhenti,
namun respons imun DTH ini menyebabkan perluasan nekrosis kaseosa tapi tidak
dapat berkembang biak karena keadaan anoksia, penurunan pH dan adanya inhibitory
fatty acid. Pada keadaan dorman ini metabolisme kuman minimal sehingga tidak
sensitif terhadap terapi. Nekrosis kaseosa ini merupakan reaksi DTH yang berasal dari
limfosit T, khususnya T sitotoksik (Tc), yang melibatkan clotting factor, sitokin TNF-
alfa, antigen reaktif, nitrogen intermediate, kompleks antigen antibodi, komplemen
dan produk-produk yang dilepaskan kuman yang mati. Pada reaksi inflamasi, endotel
vaskuler menjadi aktif menghasilkan molekul-molekul adhesi (ICAM-1, ELAM-1,
VCAM-1), MCH kelas I dan II.
Endotel yang aktif mampu mempresentasikan antigen tuberkulin pada sel Tc sehingga
menyebabkan jejas pada endotel dan memicu kaskade koagulasi. Trombosis lokal
menyebabkan iskemia dan nekrosis di dekat jaringan.
Tahap 4: respons cell mediated immunity (CMI) memegang peran utama dimana CMI
akan mengaktifkan makrofag sehingga mampu memfagositosis dan menghancurkan
kuman. Activated macrophage menyelimuti tepi nekrosis kaseosa untuk mencegah
terlepasnya kuman. Pada keadaan dimana CMI lemah, kemampuan makrofag untuk
menghancurkan kuman hilang sehingga kuman dapat berkembang biak didalamnya
dan selanjutnya akan dihancurkan oleh respons imun DTH, sehingga caseous nekrosis
makin luas. Kuman tuberkulosis yang terlepas akan masuk ke dalam kelenjar limfe
trakheobronkial dan menyebar ke organ lain.
Tahap 5: terjadi likuifikasi caseous center dimana untuk pertama kalinya terjadi
multiplikasi kuman tuberkulosis ekstraseluler yang dapat mencapai jumlah besar.
Respons imun CMI sering tidak mampu mengendalikannya.
Dengan progesifisitas penyakit terjadi perlunakan nekrosis kaseosa, membentuk
kavitas dan erosi dinding bronkus. Perlunakan ini disebabkan oleh enzim hidrolisis
dan respons DTH terhadap tuberkuloprotein, menyebabkan makrofag tidak dapat
hidup dan merupakan media pertumbuhan yang baik bagi kuman. Kuman tuberkulosis
masuk ke dalam cabang-cabang bronkus, menyebar ke bagian paru lain dan jaringan
sekitarnya.
Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik
pemeriksaan laboratorium, radiologis dan penunjang yang lain.
Gejala:
Respiratorik: batuk > 3 minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak
napas
Sistemik: demam, keringat malam, malaise, nafsu makan menurun, berat
badan turun.
Penderita dengan gejala tersebut dianggap sebagai curiga TB dan harus
diperiksakan dahaknya. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali (sewaktu-pagi-
sewaktu/SPS) dengan cara pengecatan.
Pemeriksaan fisik:
Tanda fisik penderita TB tidak khas, tidak dapat membantu untuk membedakan TB
dengan penyakit paru lain. Tanda fisik tergantung pada lokasi kelainan serta luasnya
kelainan struktur paru. Dapat ditemukan tanda-tanda antara lain penarikan struktur
sekitar, suara napas bronchial, amforik, ronki basah. Pada efusi pleura didpatkan
gerak napas tertinggal, keredupan dan suara napas menurun sampai tidak terdengar.
Bila terdapat limfadenitis tuberkulosa didapatkan pembesaran kelenjar limfe, sering di
daerah leher, kadang disertai adanya skrofuloderma.
Pemeriksaan laboratorium:
Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan untuk menegakkan diagnosis. Spesimen
dapat berupa dahak, cairan pleura, cairan serebro spinalis, bilasan lambung,
bronchoalveolar lavage, urin, dan jaringan biopsi. Pemeriksaan dapat dilakukan secara
mikroskopis dan biakan.
Pemeriksaan dahak untuk menemukan basil tahan asam merupakan pemeriksaan yang
harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita tuberkulosis atau suspek.
Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali (sewaktu-pagi-sewaktu/SPS), dengan perwarnaan
Ziehl-Nielsen atau Kinyoun Gabbet. Interpretasi pembacaan didasarkan skala
IUATLD atau bronkhorst.
Diagnosis TB paru ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam pada
pemeriksaan hapusan sputum secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan
positif bila sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak ditemukan BTA (+).
Bila hanya 1 spesimen positif, perlu pemeriksaan foto toraks atau SPS ulang. Bila foto
toraks mendukung TB maka didiagnosis sebagai TB paru BTA (+). Bila foto toraks
tidak mendukung TB maka perlu dilakukan pemeriksaan SPS ulang. Bila SPS ulang
hasilnya negatif berarti bukan penderita TB. Bila SPS positif berarti penderita TB
BTA (+). Bila foto toraks mendukung TB tetapi pemeriksaan SPS negatif, maka
diagnosis adalah TB paru BTA (-) rontgen positif.
Foto toraks
Pada kasus dimana pada pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan
lagi. Pada beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila:
Curiga adanya komplikasi (missal: efusi pleura, pneumotoraks)
Hemoptisis berulang atau berat
Didapatkan hanya 1 spesimen BTA (+)
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB aktif:
1. Bayangan berawan/nodular di segmen apical dan posterior lobus atas dan
segmen superior lobus bawah paru.
2. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan berawan atau nodular,
3. Bayangan bercak milier
4. Efusi pleura
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB inaktif:
1. Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau
segmen superior lobus bawah
2. Kalsifikasi
3. Penebalan pleura
Destroyed lung:
Gambaran radiologis yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya
secara klinis disebut luluh paru. Sulit untuk menilai aktiviti penyakit berdasarkan
gambaran radiologis tersebut. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologis untuk
mengetahui aktivitas penyakit.
Luas proses yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dinyatakan
sbb:
1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas lesi tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal
junction dari iga kedua dan prosesus spinosus vertebra torakalis IV, atau
korpus vertebra torakalis V (sela iga ke-2) dan tidak dijumpai kaviti.
2. Lesi luas, bila proses lebih dari minimal
Pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan darah rutin kurang spesifik. LED penting sebagai indikator kestabilan
penyakit sehingga dapat digunakan untuk evaluasi penyembuhan.
Pemeriksaan serologi dilakukan dengan metoda Elissa, Mycodot, PAP (peroksidase
anti peroksidase). Tehnik lain untuk mengidentifikasi M.tb dengan PCR (polymerase
chain reaction), RALF (restrictive fragment length polymorphism), LPM (light
producing mycobacterophage).
Pemeriksaan histopatologi jaringan, diperoleh melalui transbronchial lung biopsy,
transthoracal biopsy, biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar dan organ lain
diluar paru. Diagnosis TB ditegakkan bila jaringan menunjukkan adanya granuloma
dengan perkejuan.
Definisi kasus
Saat menegakkan diagnosis TB, dan sebelum menentukan pengobatan yang diberikan,
harus ditentukan pula definisi kasus TB. Definisi kasus ditentukan oleh 4 determinan
yaitu:
1. Lokasi penyakit (pulmoner/extra pulmoner)
2. Hasil hapusan dahak
3. Riwayat pengobatan sebelumnya
4. Beratnya penyakit
1. Definisi kasus berdasarkan lokas penyakit:
a. TB paru yaitu bila penyakit melibatkan parenkim paru
b. TB extra paru yaitu pada organ selain paru
2. Definisi kasus berdasarkan hasil hapusan dahak:
a. TB paru BTA (+), bila 2 atau lebih dari pemeriksaan dahak didapatkan
BTA (+) atau satu BTA (+) plus abnormalitas radiologis yang
menunjukkan TB paru, atau satu hapusan BTA (+) plus kultur M.tb
positif
b. TB paru BTA (-), yaitu diluar definisi pada BTA (+) tersebut.
3. Definisi kasus berdasarkan beratnya penyakit:
Lokasi penyakit, luasnya kelainan, bacillary load menentukan beratnya
penyakit. Yang di klasifikasikan berat bila penyakit dapat mengancam jiwa
atau dan atau menimbulkan cacat (TB milier, efusi pericardial, efusi pleura
massif atau bilateral meningitis TB, TB spinal, intestinal, genitourinaria).
4. Definisi kasus berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
a. Kasus baru (new case):
Penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT < 1 bulan
b. Kambuh (relapse):
Penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali
lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif (hapusan
atau kultur)
c. Gagal pengobatan (treatment after failure):
Penderita yang memulai pengobatan kategori 2 setelah gagal dengan
pengobatan sebelumnya. Yaitu penderita BTA positif yang masih tetap
positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih.
Atau penderita dengan BTA negatif menjadi positif pada akhir bulan
ke-2.
d. Pengobatan setelah default (treatment after default/drop out)
Penderita yang kembali berobat, dengan hasil bakteriologi positif,
setelah berhenti minum obat 2 bulan atau lebih.
e. pindahan (transfer in):
penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten
kemudian pindah ke kabupaten lain. Penderita ini harus membawa
surat rujukan/pindah (form TB 09)
f. Kasus kronik:
Penderita dengan hasil BTA tetap positif setelah selesai pengobatan
ualng dengan kategori-2.
Pengobatan
Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah
kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain dan mecegah
terjadinya resistensi terhadap OAT. Untuk itu diperlukan OAT yang efektif dengan
pengobatan jangka pendek. Standarisasi regimen untuk pengobatan TB didasarkan
pada rekomendasi WHO.
Terdapat 4 populasi kuman TB yaitu:
1. metabolically active, yaitu kuman yang terus tumbuh dalam kaviti
2. Basili inside cell, misal dalam makrofag
3. Semi dorman bacilli persisters
4. Dorman bacilli
Pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu lama karena sulit untuk membunuh
kuman semi dorman.
Terdapat 3 aktifitas anti tuberkulosis yaitu:
1. Obat bakterisidal: INH, rifampisin, pirazinamid
2. OAT dengan kemampuan sterilisasi: rifampisin, PZA
3. OAT dengan kemampuan mencegah resistensi: rifampisin dan INH,
sedangkan streptomisin dan etambutol kurang efektif.
OBAT ANTI TB
Anti TB drug Action Potency Dose mg/kg
Daily Intermitten
3x/wk 2x/wk
Isoniazid (H) Bactericidal high 5 10 15
Rifampicin (R) Bactericidal high 10 10 10
Pyrazinamid (Z) Bactericidal low 25 35 50
Streptomisin (S) Bactericidal low 15 15 15
Etambutol (E) Bacteriostatic low 15 30 45
Kode regimen pengobatan TB
Pengobatan TB terdiri dari 2 fase, yaitu:
1. Fase inisial/fase intensif (2 bulan):
Pada fase ini membunuh kuman dengan cepat. Dalam waktu 2 minggu penderita yang
infeksius menjadi tidak infeksius, dan gejala klinis membaik. Kebanyakan penderita
BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Pada fase ini sangat penting
adanya pengawasan minum obat oleh PMO (pengawas minum obat).
2. Fase lanjutan (4-6 bulan):
Bertujuan membunuh kuman persister (dorman) dan mencegah relaps. Fase ini juga
perlu adanya PMO.
Contoh kode pada regimen pengobatan TB:
2 (HRZE)/4HR
Fase inisial adalah 2 (HRZE), lama pengobatan 2 bulan, dengan obat INH, rifampisin,
pirazinamid dan etambutol diminum tiap hari.
Fase lanjutan adalah 4 (HR)3, lama pengobatan 4 bulan, dengan INH dan rifampisin,
diminum 3 kali seminggu.
Recommended Treatment Regiment For Each Diagnostic Category
TB
DIAGNOSTI
C
CATEGORY
TB PATIENTS TB TREATMENT REGIMENS
INITIAL PHASE
(DAILY OR 3
TIMES WEEKLY)
CONTINUATION
PHASE (DAILY
OR 3 TIMES
WEEKLY)
I New smear (+) patients;
new smear (-) PTB with
extensive parenchymal
involvement; Severe
concomitant HIV
disease or severe forms
of EPTB
2 HRZEb 4 HR
or
6 HE dailyc
II Previously treated
sputum smear (+) PTB:
-relaps
-treatment after
2 HRZES/ 1HRZE 5 HRE
interruption
-treatment failure
III New smear (-) PTB
(other than in Category
I); Less severe forms of
EPTB
2 HRZEc 4 HR
or
6 HE dailyc
IV Chronic and MDR-TB
cases (still sputum-
positive after supervised
re-treatment)
Specially designed standardized or
individualized regimens are suggested for
this category
a. Direct observation of drug intake is required during the initial phase of
treatment in smear positive cases, and always in treatment that includes
rifampisin
b. Streptomisin dapat digunakan sebagai pengganti etambutol. Pada kasus
meningitis TB etambutol harus diganti dengan streptomisin.
c. Regimen HE berhubungan dengan angka gagal pengobatan dan kambuh yang
tinggi dibandingkan dengan pengobatan regimen yang menggunakan
rifampisin selama fase lanjutan
d. Bila mungkin, direkomendasikan untuk dilakukan tes sensitivity terhadap
OAT sebelum pemberian obat kategori II pada kasus gagal pengobatan.
Penderita yang terbukti MDR-TB direkomendasikan menggunakan OAT
Kategori OAT plus.
e. Etambutol dapat tidak digunakan selama pengobatan fase inisial pada
penderita tanpa adanya kavitas pada paru; hapusan dahak negatif pada
penderita HIV-negatif; telah diketahui terinfeksi dengan kuman yang sensitif
terhadap OAT; dan penderita muda TB primer
f. Kontak dengan penderita yang terbukti MDR-TB dipertimbangkan untuk
dilakukan kultur dan tes sensitiviti.
TB ekstra pulmoner meliputi:
Berat Ringan
Meningitis
Milier
Kelenjar limfe
Efusi pleura unilateral
Perikarditis
Peritonitis
Efusi pleura bilateral/massif
Spinal
Intestinal
Genitourinaria
Tulang (kecuali spinal)
Sendi kecil
Kelenjar adrenal
Indikasi steroid pada TB
Steroid pada kasus TB diindikasikan pada meningitis, perikarditis, efusi pleura
massif, TB kelenjar adrenal, laryngitis, TB pada ginjal/saluran kencing, TB kelenjar
limfe yang luas dan pada reaksi hipersensitiviti akibat OAT.
Pengobatan TB pada keadaan khusus
Kehamilan dan menyusui:
Hampir semua obat anti tuberkulosis aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin.
Streptomisin tidak boleh digunakan pada kehamilan karena sifat ototoksik pada janin.
PAda penderita TB yang menyusui, semua obat OAT dapat diberikan. Bila bayinya
tidak mendapat OAT, dianjurkan untuk tidak menyusui agar bayi tidak mendapat
dosis berlebihan.
Kontrasepsi oral:
Rifampisin berinteraksi dengan obat kontrasepsi hormonal dengan risiko penurunan
efektifitas kontrasepsi, sehingga diperlukan dosis kontrasepsi yang lebih tinggi
(estrogen 50g). Atau disarankan untuk menggunakan jenis kontrasepsi lain.
Gagal ginjal:
Rifampisin, INH dan pirazinamid aman digunakan untuk penderita gagal ginjal.
Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan capreomisin. Hindari penggunaan
etambutol, digunakan hanya bila tidak ada alternatif obat lain, dengan menyesuaikan
dosis sesuai dnegan fungsi ginjal.
Penyakit hati kronik:
Pirazinamid tidak boleh diberikan. INH dan rifampisin plus satu atau dua obat non-
hepatotoksik seperti streptomisin dan etambutol dapat diberikan dengan total
pengobatan 8 bulan. Alternatif lain dengan 9 RE atau SHE pada fase inisial
dilanjutkan HE pada fase lanjutan dengan total pengobatan 12 bulan.
Regimen yang direkomendasikan adalah 2 SHRE/6 HR; 9 RE atau 2 SHE/10 HE
Hepatitis Akut:
Sebaiknya OAT ditunda sampai hepatitis sembuh. Bila sangat diperlukan OAT dapat
diberikan dengan kombinasi SE selama 3 bulan. Selanjutnya setelah hepatitis sembuh
dapat diberikan fase lanjutan selama 6 bulan dengan INH dan rifampisin. Bila
hepatitis tidak menyembuh, SE diteruskan sampai 12 bulan. Regimen yang diberikan
3 SE/ 6 HR atau 12 SE.