Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring
-
Upload
siti-dwiaulia-risnomarta -
Category
Documents
-
view
243 -
download
16
description
Transcript of Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring
0
Tinjauan Pustaka
PERANAN VIRUS EPSTEIN-BARR PADA KARSINOMA NASOFARING
Presentan : Dr. Heru Kurniawan Anwar
Hari / Tanggal : Jumat / 10 Mei 2013
Waktu : 08.00 WIB
Tempat : Ruang Konfrensi Bagian THT-KL
FK Universitas Andalas / RSUP Dr. M. Djamil Padang
Oponen : Dr. Aci Mayang Sari
Notulen : Dr. Gunawan
Moderator : Dr. Effy Huriyati, Sp.THT-KL
Pembimbing : Dr. Sukri Rahman, Sp.THT-KL
Narasumber : Dr. Bestari J. Budiman, Sp.THT-KL
Konsultan Tamu : Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UNAND
BAGIAN ILMU KESEHATAN THT BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RS Dr. M. DJAMIL
PADANG
2013
1
PERANAN VIRUS EPSTEIN-BARR PADA KARSINOMA NASOFARING
Heru Kurniawan Anwar
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas / RS Dr. M. Djamil Padang
Abstrak
Latar Belakang : Virus Epstein-Barr (VEB) termasuk gammaherpesvirus
yang menginfeksi lebih dari 95% populasi dewasa. Selama infeksi akut VEB
mengalami replikasi di epitel dengan target infeksi pada sel limfosit B tanpa
memperlihatkan gejala klinis yang serius, sebagian kecil dapat berkembang
menjadi keganasan. Tujuan : untuk mengetahui peranan infeksi VEB pada
Karsinoma Nasofaring (KNF). Tinjauan Pustaka : KNF adalah keganasan
kepala dan leher yang disebabkan oleh multifaktorial seperti adanya faktor
genetik, faktor lingkungan dan faktor infeksi VEB. Kesimpulan : Infeksi VEB
mempunyai hubungan terhadap kejadian KNF yang dibuktikan dengan
terdapatnya titer antibodi IgA anti VCA, IgA anti EA yang tinggi pada
pemeriksaan serologi dan terdapatnya produk VEB berupa EBNA-1, LMP-1
dan EBERs pada mayoritas biopsi KNF.
Kata Kunci : Virus Epstein-Barr, Karsinoma Nasofaring, Serologi
Abstract
Background: Epstein-Barr Virus (EBV) is part of gammaherpesvirus that
infected more than 95% of the adult population. During acute infection EBV
infect and replicate in stratified squamous epithelium with target of infection in
B lymphocyte cells without showing seriously clinical symptoms and small
proportion may develop into malignancy. Purpose: to determine the role of
EBV infection in nasopharyngeal carcinoma (NPC). Review: NPC is a
malignancy of the head and neck which caused by multifactorial such as the
existence of genetic factors, environmental factors and EBV infection factors.
Conclusions: EBV Infection had relationship to incidence of NPC as evidenced
by the high titers of IgA antibody anti-VCA IgA antibody anti-EA on serology
and the presence of EBV products such as EBNA-1, LMP-1 and EBERs in the
majority of NPC biopsy.
Keywords : Epstein-Barr Virus, Nasopharyngeal Carcinoma, Serology
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF)
merupakan keganasan sel
skuamosa yang meliputi sekitar 2%
atau lebih dari seluruh keganasan
kepala dan leher di dunia dengan
angka kejadian tertinggi pada usia
antara 40-50 tahun dan lebih sering
terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan dengan rasio 2-3 : 1.1,2,3
2
Indonesia merupakan salah satu
negara dengan prevalensi
penderita KNF yang termasuk
tinggi di luar Cina Selatan.4
Berdasarkan data histopatologi
kanker di Indonesia tahun 2003
menunjukan bahwa KNF
menempati urutan pertama dari
semua tumor ganas primer pada
laki – laki dan urutan ke 8 pada
perempuan.4 Pada tahun 2006-
2008 di Sumatera Barat
berdasarkan data Laboratorium
Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas
telah didapatkan 45 kasus yang
didiagnosis KNF.5
Angka kejadian KNF lebih
tinggi didapatkan di Cina Selatan
terutama di propinsi Guangdong
dan Guangxi yang mencapai 50-
100.000 penduduk pertahun.3,4
Sedangkan di Asia Tenggara sering
juga ditemukan di Vietnam,
Thailand, Indonesia, Singapura dan
Filipina.5 Pada orang Jepang dan
India angka kejadiannya
1/100.000, lebih kurang sama
dengan bangsa kulit putih di Eropa
dan Amerika Utara yang rata-rata
0,5-2 kasus/100.000 penduduk.1,5
WHO menggolongkan KNF
menjadi tiga tipe berdasarkan
histologinya, yaitu Tipe 1 skuamosa
sel karsinoma berkeratinisasi, Tipe
2 skuamosa sel karsinoma tidak
berkeratinisasi dan Tipe 3
skuamosa sel karsinoma yang tidak
berdiferensiasi. Prevalensi
berdasarkan tipe histologi ini
berbeda antara daerah endemik
dan non endemik dimana pada
daerah endemik paling banyak tipe
3 yang ditemukan yaitu lebih dari
97% kasus sedangkan daerah non
endemik ditemukan 75% tipe 1.6
KNF disebabkan oleh
multifaktorial seperti adanya faktor
genetik yang berhubungan dengan
gen Human Leukocyte Antigen
(HLA) class 1, faktor kebiasaan
seperti penggunaan kayu bakar,
pengawet pada ikan asin yang
diduga berperan merubah nitrat
menjadi zat karsinogen,
nitrosamin.1 Pengaruh rendahnya
kadar vitamin C, kekurangan
vitamin A, merokok, minuman
beralkohol serta paparan tehadap
nikel termasuk faktor yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya
KNF.7
Infeksi Virus Epstein-Barr
(VEB) telah lama diperkirakan
menjadi faktor penting pada proses
terjadinya KNF.8 Hubungan ini
dibuktikan dengan terdapatnya
titer antibodi IgA anti VCA terhadap
VEB yang tinggi pada mayoritas
penderita KNF serta terdapatnya
genom atau produk gen dari VEB
pada sel tumor yang diambil dari
hasil biopsi pada pasien KNF.2,8
VIRUS EPSTEIN-BARR
Struktur Virus
Virus Epstein-Barr
ditemukan pada tahun 1964 oleh
Michael Epstein dan Yvonne Barr,
bersama dengan Bert Achong
ketika mengamati partikel mirip
virus dengan mikroskop elektron
3
Gambar 1. Struktur virus Epstein-Barr.14
pada hasil biopsi pasien penderita
limfoma Burkitt.9 VEB merupakan
anggota dari keluarga virus Herpes.
Beberapa virus Herpes yang ada
antara lain Herpes simplex I dan
Herpes simplex II, virus Varicella
zoster (subfamili alphavirus),
Cytomegalo virus dan virus Human
herpes 6 dan 7 (subfamili
betaherpesvirus), virus Human
herpes 8 dan Virus Epstein-Barr
(subfamili gammaherpesvirus).9,10
Beberapa keganasan pada manusia
telah dikaitkan dengan infeksi VEB
antara lain limfoma Burkitt,
karsinoma nasofaring (KNF),
limfoma Hodgkin dan Non-
Hodgkin.9,11,12,13
Virus Epstein-Barr adalah
virus berselubung dan berisi inti
DNA yang dikelilingi oleh
nukleokapsid ikosahedral dan
tegument-a (protein yang terletak
antara nukleokapsid dan selubung)
serta dilengkapi selubung luar yang
mempunyai tonjolan glikoprotein
eksternal.11,12 VEB mempunyai
panjang 175-184 kbp, dengan
double-stranded genom DNA yang
mengkode 100 protein.9,10,11,12 Dua
subtipe yang diketahui dapat
menginfeksi manusia adalah VEB-1
dan VEB-2 yang berbeda dalam
pengorganisasian gen yang
mengkode antigen nuklear VEB
(EBNA-2, EBNA-3a, EBNA-3b, dan
EBNA-3c).11 VEB-2 kurang efisien
dalam mengubah sel limfosit B
dibandingkan VEB-1 dan
kelangsungan hidup sel
lymphoblastoid VEB-2 lebih singkat
dibandingkan dengan VEB-1.9,13
Infeksi Virus
VEB telah menginfeksi lebih
dari 95% populasi orang dewasa di
dunia.13 Virus ini dapat hidup
didalam tubuh manusia dalam
jangka panjang tanpa menimbulkan
gejala klinik yang jelas dan infeksi
primer biasanya terjadi dalam
beberapa tahun pertama kehidupan
serta pada beberapa individu, virus
ini dapat terlibat langsung dalam
proses keganasan.13 Mekanisme
masuknya VEB dan terjadinya
infeksi kemungkinan dengan cara ;
1) hubungan langsung pada
membran bagian apikal sel dengan
limfosit yang sudah terinfeksi virus,
2) melalui membran basolateral
yang dimediasi oleh adanya
interaksi antara integrin β1 atau
α5B1 dengan VEB, 3) penyebaran
virus secara langung melalui
membran lateral yang terjadi
setelah host terinfeksi VEB pertama
kali.10
Setelah terinfeksi virus ini,
tubuh akan terus membawa virus
dan dapat menularkannya melalui
saliva dan infeksi VEB ini dapat
bersifat menetap (persisten),
4
tersembunyi (laten) dan sepanjang
masa (long life).4,12 Pada proses
infeksi akut, VEB akan menginfeksi
epitel skuamosa di daerah
orofaring dan menyebabkan infeksi
litik serta replikasi virus dengan
menghasilkan virion yang
kemudian akan diikuti oleh infeksi
laten pada limfosit B.9,11,13 Limfosit
B yang terinfeksi VEB diperkirakan
terdapat pada organ limfoid
orofaringeal dan virus ini akan
menetap dalam memori sel limfosit
B sehingga membuat sel ini menjadi
imortal.9
Sebelum virus memasuki sel
limfosit B, selubung glikoprotein
utama (gp350) akan berikatan
dengan reseptor virus yaitu
molekul CD21 (reseptor
komplemen C3d) pada permukaan
sel limfosit B.11,12 Faktor-faktor lain
selain CD21 yang penting untuk
proses infeksi ini adalah molekul
Gambar 2. Siklus hidup virus Epstein-Barr selama proses infeksi dari host melalui saliva, kemudian masuk ke epitel orofaring dan sel limfosit B sehingga terjadi proses infeksi laten dan infeksi litik.7
5
Major Histocompatibility Complex
(MHC) kelas II yang berfungsi
sebagai kofaktor untuk infeksi sel
limfosit B.9 Setelah mengikat
reseptor CD21 pada limfosit B, VEB
akan masuk ke sitoplasma sel host
dalam waktu 1-2 jam yang
mengakibatkan partikel-partikel
virus akan terurai dan genom-
genom virus masuk ke dalam
nukleus. Proses ini merupakan
bentuk VEB saat infeksi laten yang
ditandai dengan aktivasi dan
proliferasi sel yang disebut sebagai
VEB imortal pada sel limfosit B.10
Proses ini melibatkan interaksi
beberapa komplek glikoprotein
virus termasuk gH dan gL yang
merupakan homolog dari molekul
gp42 dengan MHC kelas II pada
limfosit B. Sel limfosit B yang
terinfeksi VEB akan menghindari
apoptosis dengan mengekspresikan
Latent Membrane Protein (LMP) 1
dan 2a.13
Genom VEB terdiri dari
molekul DNA linear yang mengkode
hampir 100 protein virus. Pada
proses replikasi virus, protein ini
penting untuk mengatur ekspresi
gen virus, replikasi DNA virus,
membentuk komponen struktural
dari virion dan modulasi respon
imun host. Infeksi sel epitel oleh
VEB menghasilkan replikasi aktif,
produk-produk virus dan infeksi
litik.11 Sebaliknya, infeksi sel
limfosit B oleh VEB menyebabkan
infeksi laten dengan terbentuknya
sel yang imortal.11,12 Replikasi virus
secara spontan diaktifkan hanya
dalam persentase kecil dari sel
limfosit B yang terinfeksi secara
laten. Pada orang dewasa normal,
dari 1-50 /1 juta sel limfosit B
dalam sirkulasi tubuh telah
terinfeksi VEB dan jumlah sel yang
terinfeksi secara laten akan tetap
stabil selama bertahun-tahun.12,15
Pada kondisi normal infeksi
VEB dapat terkontrol dan masuk ke
fase laten, dimana hanya sedikit sel
limfosit B yang terinfeksi. Setelah
infeksi primer dan pembentukan
fase laten, ekspresi gen VEB
dibatasi hanya untuk LMP-2A yaitu
protein yang mempertahankan fase
laten dengan memberikan sinyal
kelangsungan hidup dan
menghambat aktivasi sel limfosit B
sehingga nantinya masuk fase
litik.13 Fase litik dapat terjadi baik
di epitel rongga mulut maupun di
sel limfosit B yang terletak
berdekatan dengan epitel rongga
mulut.9,16,17 VEB dapat menginfeksi
individu lainnya yang rentan ketika
memasuki fase litik. Ketika terjadi
reaktivasi, beberapa protein virus
litik yang disajikan secara aktif
menghambat mekanisme
kekebalan tubuh, termasuk
homolog interleukin-10 yang dapat
menghambat costimulatory dan
fungsi antigen presenting
monosit/makrofag serta beberapa
protein yang merusak pelepasan
sitokin, terutama interferon (α dan
β).10,13 Selain itu, bcl-2 akan
memperpanjang kelangsungan
hidup sel yang terinfeksi dengan
menghambat apoptosis. Namun
6
pada manusia normal terdapat
keseimbangan antara host dan
virus sehingga virus akan persisten
dan mengalami replikasi tanpa
membahayakan host.13
Produk Virus
VEB menghasilkan produk
yang akan berinteraksi ke berbagai
molekul antiapoptotic dan sitokin
sehingga menyebabkan infeksi VEB
dapat bertahan lama dan
bertransformasi.
a. Infeksi Laten
Pada infeksi laten VEB akan
diekspresikan beberapa gen, yaitu :
1) Epstein-Barr Virus Nuclear
Antigen-1 (EBNA-1)
EBNA-1 adalah urutan
spesifik DNA binding
phosphoprotein yang diperlukan
untuk replikasi dan pemeliharaan
gen VEB serta memiliki peran
sentral dalam mempertahankan
infeksi laten virus ini.9,11 EBNA-1
mengikat sumber replikasi plasmid,
yang terdiri dari dua elemen EBNA-
1 yang berbeda. Setelah EBNA-1
mengikat sumber replikasi plasmid,
VEB akan menggunakan enzim host
sebagai mediasi pada semua
langkah saat proses replikasi.9
2) Epstein-Barr Virus Nuclear
Antigen-2 (EBNA-2)
EBNA-2 adalah co-activator
transkripsi yang
mengkoordinasikan ekspresi gen
virus pada latensi III dan juga
transaktivasi gen pada banyak sel
sambil memainkan peran penting
dalam mempertahankan sel. EBNA-
2 (dan EBNA-LP) adalah protein
laten pertama kali yang terdeteksi
setelah infeksi VEB. Ada dua jenis
EBNA-2 yang dapat diidentifikasi
secara serologis dimana kedua tipe
serologis EBNA-2 sesuai dengan
jenis virus VEB-1 dan VEB-2.9
EBNA-2 berfungsi terutama untuk
mengatur peningkatan ekspresi gen
virus dan seluler, diantaranya CD23
(penanda permukaan sel limfosit B
yang teraktivasi), c-myc (protein
onkogen-seluler) dan promotor
virus EBNA-C.12 EBNA-2 juga
dikenal dapat berinteraksi dengan
faktor transkripsi lain.
3) Epstein-Barr Virus Nuclear
Antigen Leader Protein
(EBNA-LP)
EBNA-LP yang juga dikenal
sebagai EBNA-5 merupakan salah
satu protein virus pertama yang
diproduksi selama infeksi VEB pada
sel limfosit B. EBNA-LP berinteraksi
dengan EBNA-2 untuk
mengaktivasi limfosit B yang
berbeda dalam keaadaan istirahat
masuk ke fase G1 pada siklus sel
dengan cara mengikat dan
menonaktifkan p53 seluler dan
produk supresor gen protein tumor
retinoblastoma.9,12 EBNA-LP juga
berinteraksi dengan faktor
transkripsi lain.9
4) Epstein-Barr Virus Nuclear
Antigen-3A, 3B, 3C (EBNA-3A,
EBNA-3B, dan EBNA-3C)
Secara invitro EBNA-3A,
EBNA-3B, dan EBNA-3C adalah
regulator transkripsi dimana
EBNA-3A dan EBNA-3C sangat
7
penting untuk proses transformasi
sel limfosit B.9,11,12 Terdapat
perbedaan pada EBNA-3A, EBNA-
3B, dan EBNA-3C diantara dua
subtipe VEB. EBNA-3A dan EBNA-
3C telah terbukti penting dalam
mempertahankan sel limfosit B
yang terinfeksi. EBNA-3C berperan
pada retinoblastoma dengan
mengurangi produk gen supresor
tumor retinoblastoma pada fase G1
dari siklus sel. EBNA-3C juga telah
terbukti meningkatkan produksi
LMP-1 dalam beberapa kondisi
dimana LMP-1 akan memfasilitasi
transformasi dan pertumbuhan sel
dan menghambat apoptosis.9,11
Baru-baru ini, EBNA-LP telah
terbukti menyebabkan redistribusi
EBNA-3A dalam nukleus yang
berperan pada jaringan yang terdiri
dari semua faktor transkripsi
EBNA.9
5) Latent Membrane Protein
(LMP-1)
LMP-1 adalah protein
membran yang terdiri dari enam
membran hidrofobik. LMP-1
diagregasi pada membran plasma
dan sangat penting untuk membuat
sel menjadi imortal.9,11,13 LMP-1
secara langsung terkait dengan
onkogenesis berdasarkan
kemampuannya untuk merubah
susunan gen seluler dan juga
menghambat apoptosis dengan
meninggikan tingkat bcl-2.13,15
LMP-1 merupakan produk virus
yang dapat mencegah sel yang
terinfeksi VEB dari apoptosis
dengan menginduksi dan
meningkatkan protein anti-
apoptotik seperti bcl-2, dan a20.
LMP-1 juga terlibat dalam
pengaturan proliferasi sel dengan
memicu progresifitas dan
proliferasi sel melalui siklus sel
(fase G1/S) dan inhibisi apoptosis.4
6) Latent Membrane Protein-2A,
2B (LMP-2A dan LMP-2B)
LMP-2 terdiri dari dua
protein yaitu LMP-2A dan LMP-2B
yang berfungsi untuk mencegah
reaktivasi VEB pada infeksi laten di
dalam sel limfosit B yang sudah
terinfeksi.11,12 LMP-2 berperan
dalam memodifikasi pertumbuhan
sel limfosit B normal yang dapat
mendukung pemeliharaan latensi
VEB didalam sumsum tulang.
Ekspresi LMP-2A pada penyakit
Hodgkin dan KNF menunjukkan
adanya pengaruh fungsi protein ini
pada onkogenesis yang saat ini
belum diketahui.9
7) Epstein-Barr Virus Encoded
RNAs-1 dan 2 (EBERs 1 dan 2)
EBERs-1 dan 2 merupakan
suatu non-polyadenylated,
noncoding RNA dari nukleotida 167
dan 172.11,12 EBERs banyak
terdapat di hampir semua sel yang
terinfeksi VEB kecuali lesi oral
berupa leukoplakia pada pasien
AIDS. EBERs-1 dan 2 (selain dua
LMPs) terdapat dalam segala
bentuk proses latensi.9,11 Meski
begitu, rekombinan VEB dengan
menghapus gen EBERs dapat
mengubah limfosit dan
menunjukkan bahwa EBERs tidak
penting untuk proses transformasi
8
sel, oleh karena itu, peran EBERs
dalam transformasi masih menjadi
pertanyaan.9
b. Infeksi Litik
Pada infeksi litik, telah
diekspresikan 90 protein yang
diklasifikasikan menjadi :
1) Immediate-Early Protein
Protein utama VEB yang
digolongkan ke dalam kelompok ini
antara lain BZLF1 yang disebut juga
protein Z Epstein-Barr Replication
Activator (ZEBRA) atau Zta dan
BRLF1 yang dikenal Rta. Keduanya
merupakan protein aktif
transkripsi gen virus dimana BZLF1
merupakan protein inhibitor
transkripsi dari EBNA Cp promotor
dan akan memfasilitasi perubahan
sel dari infeksi laten menjadi infeksi
litik.11
2) Early Protein
Early protein VEB termasuk
enzim yang berperan penting pada
replikasi DNA, penghambat
apoptosis, reseptor sitokin yang
terlarut dan protein yang
mengaktifkan ekspresi gen
lainnya.11 Enam protein virus telah
diidentifikasi sebagai protein
replikasi yang terdiri dari replikasi
DNA virus polymerase (dikode oleh
BALF5), DNA polimerase
processivity factor (dikode oleh
BMRF1), single- stranded DNA-
binding protein homolog (dikode
oleh BALF2), homolog primase
(dikode oleh BSLF1), yang homolog
helicase (dikode oleh BBLF4) dan
homolog helikase-primase (dikode
oleh BBLF2 / 3).11
Early Protein virus lainnya
yang penting untuk replikasi DNA
virus adalah protein reductase
ribonucleotide yang dikode oleh
BORF2 dan BaRF1 serta glycosylase
DNA uracil yang dikode oleh
BKRF3.11 BHRF1 dan BALF1 adalah
homolog dari bcl-2 yang
merupakan protein seluler yang
dapat menghambat apoptosis sel.
BHRF1 berinteraksi dengan bcl-2
dalam mitokondria dan
menghambat apoptosis baik pada
sel limfosit B maupun sel-sel epitel,
sedangkan efek BALF1 dapat
memodulasi efek BHRF1 pada sel
epitel.9
3) Late Protein
Late Protein VEB termasuk
glikoprotein virus, protein
nukleokapsid dan sitokin virus.
Sebagian besar Viral Capsid Antigen
(VCA) terdiri dari protein
nukleokapsid utama yang
dikodekan oleh BCLF1. Antibodi
terhadap VCA dapat digunakan
dalam diagnosis infeksi virus ini.
VEB dikode oleh beberapa
glikoprotein termasuk gp350,
gp110, gp85, gp42, dan gp25.11
Glikoprotein gp350 yang dikodekan
oleh BLLF1 yang merupakan
protein selubung virus yang besar
dan dapat mengikat reseptor CD21
pada sel limfosit B. Penghilangan
gp350 dari virus secara nyata dapat
mengurangi virulensi virus tetapi
tidak menghilangkannya.11
Glikoprotein gp110 VEB dikodekan
9
oleh BALF4 yang merupakan
homolog dari glikoprotein virus
herpes simplex B (HSV) yang
diperlukan HSV untuk masuk ke
dalam sel.11 Glikoprotein gp85 VEB
yang dikodekan oleh BXLF2
merupakan homolog dari
glikoprotein HSV H (GH) yang
penting untuk fusi virus ke dalam
sel limfosit B dan penyerapan ke sel
Tabel 1. Produk virus Epstein-Barr selama terjadinya infeksi laten pada sel limfosit B.8
Tabel 2. Tipe infeksi laten virus Epstein-Barr pada beberapa penyakit.16
10
epitel. Glikoprotein gp25 adalah
produk dari BKRF2 yang
merupakan homolog dari HSV gL
dan bertindak sebagai pengantar
virus untuk mengangkut gp85 ke
dalam membran sel. Glikoprotein
gp42 (dikodekan oleh BZLF2),
mengikat molekul MHC kelas II dan
berfungsi sebagai ko-reseptor
untuk masuknya virus ke dalam sel
limfosit B dan tidak diperlukan VEB
untuk menginfeksi sel epitel.11
INFEKSI VIRUS EPSTEIN-BARR
PADA KARSINOMA NASOFARING
Mekanisme patogenesis VEB
yang menyebabkan KNF masih
kontroversi tetapi ada beberapa
kenyataan yang menyebutkan
hampir semua kasus KNF
berkeratinisasi positif VEB
dihubungkan dengan kebiasaan
merokok pada geografi tertentu.
Secara khusus peran langsung VEB
dalam karsinogenesis KNF masih
diperdebatkan, namun sel
nasofaring telah terbukti terinfeksi
VEB sebelum mengalami
transformasi karena sel-sel epitel
dewasa yang membawa CD21
dapat terinfeksi oleh virus ini. Oleh
karena itu dinyatakan bahwa VEB
menginfeksi sel nasofaring yang
telah dirangsang oleh faktor
lingkungan lainnya yang meliputi
diet karsinogenik seperti produk
ikan asin dan makanan yang
diawetkan yang kaya N-
nitrosodimethyamine (NDMA), N-
nitrospyrrolidene (NPYR) dan N-
nitrospiperidine (NPIP).18 Paparan
polusi asap atau kimia, termasuk
nikel adalah beberapa faktor
lingkungan yang juga telah
dilaporkan terkait dengan
pertumbuhan KNF.
Infeksi VEB dihubungkan
dengan kejadian KNF secara jelas
ditunjukkan dengan adanya
peningkatan antibodi terhadap
antigen VEB pada kebanyakan
pasien KNF, terdapatnya DNA dan
RNA VEB pada semua sel tumor
dan pembentukan prekursor pada
lesi KNF.2 Pada KNF, VEB akan
menginfeksi terutama sel-sel epitel
nasofaring posterior pada fosa
Rosenmuller. Meskipun reseptor
VEB pada sel-sel epitel belum
ditemukan, kemungkinan virus ini
masuk ke epitel nasofaring melalui
protein permukaan yang
merupakan antigen terhadap sel
limfosit B dengan cara IgA-
mediated endositosis.13 Temuan ini
menunjukkan bahwa infeksi VEB
terjadi sebelum proses neoplasia
dan penting untuk perkembangan
fenotipe ganas. Perubahan genetik
yang paling umum adalah
hilangnya kromosom regional 9p21
(p16, p15, dan p14ARF) dan 3p
(RASSF1A) yang terjadi pada awal
perkembangan tumor. Frekuensi
kehilangan tertinggi ditemukan
pada kromosom 3p (95%) dan 9p
(85%) pada tumor invasif.
Mengingat target gen p16 dan
RASSF1A menyimpang, perubahan
genetik abnormal pada kromosom
3p dan 9p muncul untuk
mempengaruhi sel nasofaring
11
dalam mempertahankan infeksi
laten VEB. Perubahan genetik
tersebut terdeteksi di epitel
nasofaring bahkan mungkin
mendahului infeksi VEB. Infeksi
VEB di epitel nasofaring premaligna
dapat menyebabkan sel nasofaring
diubah secara genetik,
bertransformasi menjadi sel-sel
ganas. Perubahan ini hanya terlihat
pada sel-sel KNF tetapi tidak
terlihat pada sel-sel di jaringan
sekitar nasofaring.13
Beberapa produk yang
berbeda-beda dari virus
mempunyai korelasi dengan
tahapan siklus infeksi litik dan
dapat diidentifikasi dan
dikategorikan menjadi : Early
Membrane Antigen (EMA), Early
Intra-Celulair Atigen (EA), Viral
Capcid Antigen (VCA) dan Late
Membrane Antigen (LMA). Pada
infeksi laten virus terjadi ekspresi
dari beberapa protein virus antara
lain Epstein Barr Nucleus Antigen 2
& 5 (EBNA 2 & 5) yang dapat
dideteksi 2-5 jam setelah infeksi,
Latent Membrane Protein 1 & 2
(LMP 1 dan 2) yang dapat dideteksi
5-7 jam setelah infeksi. Bentuk
laten infeksi VEB pada KNF
termasuk tipe II dengan
karakteristik terekspresinya
protein LMP disamping protein
EBERs dan EBNA-1.19
Mekanisme pasti bagaimana
VEB dapat menginduksi terjadinya
kanker masih belum bisa
dipastikan. Akan tetapi penelitian
tentang ekspresi dari gen LMP
menunjukkan bisa mengubah sel
epitel nasofaring secara invitro dan
diperkirakan bahwa LMP pada sel
yang terinfeksi VEB memproteksi
sel tersebut dari program kematian
sel atau apoptosis. Sedangkan pada
penelitian lainnya ditemukan juga
LMP pada 65% penderita KNF. Hal
yang serupa dinyatakan oleh
Hutajulu dkk20 yang menyebutkan
bahwa dari 50 kasus KNF yang
dianalisis secara kuntitatif untuk
mendeteksi DNA VEB dengan cara
brushing pada nasofaring,
terdeteksi positif EBNA pada 49
kasus (98%).
IDENTIFIKASI VIRUS EPSTEIN-
BARR PADA KARSINOMA
NASOFARING
Hubungan antara VEB
dengan KNF telah disebutkan
dalam beberapa literatur setelah
ditemukannya DNA, RNA dan
protein VEB pada hampir semua sel
di dalam jaringan biopsi yang
diambil pada pasien yang
didiagnosis KNF.21,22 Pada infeksi
primer VEB akan diproduksi tiga
antibodi (IgG, IgM, dan IgA) yang
bereaksi terhadap antigen kapsid
VEB, dua antibodi (IgG dan IgA)
yang dihasilkan merupakan respon
terhadap Early Antigen D, dan satu
antibodi (IgG) yang dihasilkan
merupakan respon terhadap Early
Antigen R.19 Terdapatnya genom
VEB pada hampir semua jaringan
yang didiagnosis KNF
menimbulkan pernyataan bahwa
dengan melakukan pemeriksaan
12
analisa kuantitatif menggunakan
serologi baik terhadap antibodi
yang dihasilkan serta deteksi
terhadap adanya protein DNA dan
RNA VEB seperti EBNAs, EBERs dan
LMP pada jaringan baik
menggunakan Polymerase Chain
Reaction (PCR) ataupun Enzyme-
Linked Immunosorbent Assays
(ELISA) dapat digunakan sebagai
tumor marker yang sangat berguna
sebagai diagnosis awal, kontrol dan
prognosis pada pasien KNF.21,22,23
Adapun pemeriksaan yang dapat
dilakukan antara lain :
1. In Situ Hybridization
Deteksi EBER pada biopsi
nasofaring oleh In Situ
Hybridization (ISH) secara umum
dianggap sebagai gold standart dan
metode pemeriksaan yang tepat
serta paling umum untuk
mendiagnosis adanya molekul VEB
yang terkait keganasan.18,24 Genom
VEB dapat dideteksi pada sel tumor
dengan ISH menggunakan fragmen
internal BamH1 dari genom virus.21
Pemeriksaan ISH ini dilakukan
dengan menggunakan probe
khusus untuk EBERs dimana EBER-
1 dan EBER-2 dapat ditemukan
pada semua bentuk infeksi VEB
tetapi pemeriksaan ini dianggap
kurang sensitif karena hanya dapat
dideteksi pada lesi nasofaring yang
high-grade tapi tidak pada lesi yang
low-grade dan epitel normal.18,24
Sela25 telah membandingkan
antara pemeriksaan imunohisto-
kimia untuk mendeteksi LMP-1
dengan penggunaan ISH untuk
mendeteksi EBERs pada hasil
biopsi 45 orang pasien yang
didiagnosis KNF dengan
kesimpulan pemeriksaan ISH lebih
sensitif daripada imunohistokimia
karena bernilai positif pada 40
kasus dibandingkan 5 kasus dengan
imunohistokimia yang ditemukan
pada fase laten.
2. Imunohistokimia/imunosito -
kimia
Pemeriksaan Immunohisto-
kimia LMP-1 telah terbukti sama
efektifnya dengan pemeriksaan
EBER menggunakan teknik ISH
untuk mendeteksi infeksi VEB pada
Post Transplant Lympho-
proliferative Disorders, limfoma
Hodgkin dan infeksi mononucleosis
tetapi kurang efektif dalam
mendeteksi penyakit limfoma non-
Hodgkin (NHL) atau KNF dan
karsinoma lambung.18 Pemeriksaan
target lainnya yang dapat diperiksa
dengan imunohistokimia pada
infeksi VEB termasuk EBNA-1,
EBNA-2, LMP-2A dan BZLF1.18
3. Amplifikasi Asam Nukleat
Virus
Pemeriksaan DNA VEB pada
jaringan tumor dapat dilakukan
untuk mendeteksi adanya KNF.21
Genom VEB dapat dideteksi pada
sel tumor dengan menggunakan tes
Real Time Polymerase Chain
Reaction (PCR) dan Nucleic Acid
Sequence-Based Amplification
(NASBA) tapi keduanya tidak bisa
13
membedakan antara jenis latensi
dan penyakit yang mungkin terjadi
pada fase latensi tersebut.18 Namun
keduanya digunakan dalam
membantu menyingkirkan
diagnosis diferensial metastasis
dari karsinoma dengan tumor
primer yang tidak diketahui. Di sisi
lain, PCR kuantitatif telah
digunakan cukup efisien untuk
medeteksi infeksi VEB terutama
dalam diagnosis dan pemantauan
KNF dan tes ini cukup cepat,
sensitif dan spesifik.18
Deteksi VEB dengan PCR
untuk mendeteksi gen VEB (EBNA-
1, EBNA-2, dan LMP-1) sebagai
target pada jaringan biopsi
nasofaring dan aspirasi jarum halus
juga terbukti sebagai metode yang
tepat dan akurat untuk
mendiagnosis KNF.26 Hal yang sama
juga dibuktikan oleh Krishna27
dengan melakukan pemeriksaan
VEB menggunakan PCR untuk
mendeteksi EBNA-1 pada 103
kasus KNF berdasarkan hasil biopsi
dengan 65 kasus positif EBNA-1
dimana 2 kasus KNF tipe I, 30 kasus
tipe II dan 33 kasus tipe III. Selain
itu, pada metode non-invasive
brushing di daerah nasofaring pada
pasien KNF juga diperoleh hasil
VEB DNA yang tinggi.
Pemeriksaan DNA VEB yang
diukur dengan real-time PCR secara
kuantitatif, telah diusulkan sebagai
penanda tumor yang sensitif dan
spesifik untuk diagnosis serta
pemantauan penyakit, dan prediksi
hasil untuk beberapa penyakit
terkait infeksi VEB.18,28 Kurangnya
DNA virus yang terdeteksi dalam
serum individu yang sehat
menunjukkan bahwa meskipun
sebagian besar dari individu
diperkirakan terdapat DNA VEB
dalam limfosit mereka tapi DNA
VEB biasanya tidak ditemukan
dalam serum bila infeksi VEB tidak
aktif.30 Hal ini menjelaskan bahwa
DNA virus terdapat dalam serum
pada kasus reaktivasi VEB seperti
pasien immunocompromised serta
dalam kasus-kasus infeksi primer.30
Breda dkk6 membandingkan
penggunaan biopsi dan
pemeriksaan darah untuk
mendeteksi VEB pada 43 kasus
KNF, dimana diperoleh hasil bahwa
ekstrak dari jaringan yang dibiopsi
menunjukkan hasil yang lebih baik
(100%) jika dibandingkan dengan
pemeriksaan darah (53,1%).
Pemeriksaan EBNA-1 dan LMP-1
yang dilakukan oleh Adam dkk29
pada 58 kasus KNF di Sudan
menunjukkan 77,5% hasil positif
EBNA-1 dan 84,1% positif LMP-1,
sehingga mereka menganjurkan
untuk dilakukan pemeriksaan
EBNA-1 dan LMP-1 pada daerah
endemik terjadinya KNF yang
diperkirakan berhubungan dengan
infeksi VEB. Han dkk2 melakukan
analisis terhadap 18 penelitian
yang dilakukan di Cina dan Hong
Kong mengenai hubungan infeksi
VEB terhadap KNF dengan
kesimpulan bahwa deteksi DNA
VEB di dalam plasma atau serum
merupakan metode yang paling
14
efektif untuk membantu diagnosis
KNF pada pasien yang dicurigai
menderita KNF di daerah-daerah
endemik seperti Cina Selatan,
Taiwan dan Negara di Asia
Tenggara dengan sensitivitas 75-
81% dan spesivisitas 92-96%,
Disebutkan juga bahwa deteksi
DNA VEB didalam plasma
mempunyai akurasi yang lebih
tinggi jika dibandingkan dalam
serum, oleh karena kemungkinan
terdapatnya konsentrasi DNA virus
yang lebih tinggi didalam plasma.2
4. Serologi
Pemeriksaan serologis
terhadap respon antibodi dengan
kadar yang berbeda telah
diidentifikasi selama proses infeksi
primer VEB, infeksi laten pada
individu yang sehat, reaktivasi
virus dan pada berbagai penyakit
yang terkait infeksi VEB. Parameter
serologis yang diperiksa antara lain
pendeteksian IgG terhadap EBNAs,
IgM, dan IgA terhadap Early Antigen
(dibagi menjadi dua komponen
yaitu EA-D dan EA-R) dan Viral
Capsid Antigen (VCA).19,23,24 KNF
biasanya dikaitkan dengan
peningkatan titer terhadap multiple
antigen virus terutama antibodi IgA
terhadap antigen laten ataupun
antigen litik dan pemeriksaan ini
dapat digunakan untuk memonitor
tumor, remisi dan rekurensi
KNF.18,24 Pemeriksaan serologi
antibodi untuk melihat ada
tidaknya peningkatan antibodi IgA
terhadap VCA dan EA VEB.
merupakan pemeriksaan non
invasif dan dapat digunakan
sebagai skrining untuk mendeteksi
KNF.19,21
Menurut Shan dan kawan-
kawan31, penggunaan identifikasi
IgA anti VCA pada pemeriksaan
darah telah terbukti berguna
sebagai salah satu biomarker
terhadap KNF dengan sensitivitas
dan sepesifitas yang baik yaitu
berkisar 95%. Pada daerah
endemik KNF, penggunaan antibodi
IgA untuk mendeteksi VCA dan EA
VEB dengan menggunakan
immunofluoroscent assays bisa
digunakan sebagai skrining tapi
dengan penggunaan Enzyme-Linked
Immunosorbent Assays (ELISA)
dengan purifikasi antigen VEB
rekombinan pada saat sekarang
dianggap lebih baik dibanding
dengan immunofluoroscent.1
Meskipun serologi IgA anti-
VCA telah diusulkan menjadi
biomarker prognostik dan
diagnostik yang efektif dan sensitif
untuk KNF, beberapa penelitian
telah menunjukkan terdapatnya
hasil positif palsu yang tinggi untuk
antibodi ini.21,32 Selain itu, selama
dilakukannya kontrol pada
beberapa individu dengan titer IgA
anti VCA yang tinggi ternyata
sebagian besar individu tersebut
menunjukkan kadar titer yang
dapat menjadi normal kembali dan
tidak berlanjut menjadi karsinoma
nasofaring.33
15
KESIMPULAN
1. KNF disebabkan multifaktorial
dimana terdapat keterlibatan
antara faktor genetik, faktor
lingkungan dan faktor infeksi
VEB.
2. Infeksi VEB mempunyai
hubungan yang jelas terhadap
kejadian karsinoma nasofaring
yang dapat dibuktikan dengan
terdapatnya titer antibodi
terhadap VEB yang tinggi pada
mayoritas penderita KNF serta
terdapatnya genom atau
produk gen dari VEB pada sel
tumor yang diambil dari hasil
biopsi.
3. VEB akan menghasilkan
produk-produk selama proses
infeksi laten seperti EBNA-1,
EBNA-2, EBNA-3, EBNA-LP,
LMP-1, LMP-2, EBERs yang
berperan pada proses
keganasan dan pada infeksi litik
dihasilkan Immediate-Early
Protein, Early Protein dan Late
Protein.
4. Pada KNF terdapat proses
infeksi VEB latensi II yang akan
menghasilkan produk berupa
EBNA-1, LMP-1, LMP-2, EBERs.
5. VEB dapat dideteksi pada
penderita KNF dengan cara
pemeriksaan Insitu
Hybridization, imunohistokimia
/imunositokimia, amplifikasi
asam nukleat virus dan serologi.
6. Pemeriksaan serologi antibodi
IgA anti VCA dan IgA anti EA
VEB berguna sebagai skrining
pada daerah endemik KNF dan
dapat digunakan sebagai
diagnostik non invasif serta
prognostik pada KNF.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tabuchi K, Nakayama M, Nishimura B, Hayashi K, Hara A. Early Detection of Nasopharyngeal Carcinoma. Int J of Otolaryngol 2011 : 1-6
2. Han B.L, Xu X.Y, Zhang C.Z, Wu J.J, Han C.F, Wang H et al. Systemic Review on Epstein-Barr Virus (EBV) DNA in Diagnosis of Nasopharyngeal Carcinoma in Asian Populations. Asian Pacific J Cancer Prev. 2012 ; 13 : 2577-81
3. Jeyakumar A, Brickman T.M, Jeyakumar A, Doerr T. Review of Nasopharyngeal Carcinoma. ENT Journal 2006 ; 85(3) : 168-73
4. Yenita, Asri A. Korelasi antara Latent Membrane Protein-1 Virus Epstein-Barr dengan P53 pada Karsinoma Nasofaring. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012 ; 1(1) : 1-5
5. Ondrey F.G, Wright S.K. Neoplasms of The Nasopharynx. In: Snow J.B, Ballenger J.J, editors. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 16th ed, Ontario : BC Decker Inc ; 2003. p.1392-407
6. Breda E, Catarino R.J.F, Azevedo I, Lobao M, Monteiro E, Medeiros R. Epstein Barr Virus Detection in Nasopharyngeal Carcinoma- Implication in a Low Risk Area. Braz J Otorhinolaryngol. May 2010 ; 76(3) : 310-5
7. Zeng M.S, Zeng Y.X. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal Carcinoma. In : Lu J.J, Cooper J.S, Lee A.W.M, editors. Nasopharyngeal Cancer : Multidisciplinary Management. Germany: Springer ; 2010. p.9-25
8. Lin C.T. Relationship Between Epstein-Barr Virus Infection and Nasopharyngeal Carcinoma
16
Pathogenesis. Chinese Journal of Cancer 2009 ; 28(8) : 1-14.
9. Thompson M.P, Kurzrock R. Epstein Barr Virus and Cancer. Clin Cancer Res J 2004; 10 : 803-21
10. Hausen H.Z. Gammaherpesvirinae (Lymphocryptoviruses). In : Infection Causing Human Cancer. Germany: Wyley-VCH Verlag GmbH and Co ; 2006. p.65-117.
11. Cohen J.I. Virology and Molecular Biology of Epstein-Barr Virus. In : Tselis A, Jenson H.B, editors. Epstein-Barr Virus, New York : Taylor and Francis Group ; 2006. p.21-37
12. Cohen J.I. Epstein Barr Virus Infection. The New England Journal of Medicine 2000 ; 343(7) : 481-92
13. Korcum A.F, Ozyar E, Ayhan A. Epstein-Barr Virus Gene and Nasopharyngeal Cancer. Turkish Journal of Cancer 2006 ; 36 : 97-107
14. Epstein-Barr Virus. (imaged on internet) cited on March 14th 2013. Available from: http://www.cullenlab.duhs.
15. Zheng H, Li L, Hu D, Deng X, Cao Y. Role of Epstein-Barr Virus Encoded Latent Membrane Protein-1 in the Carcinogenesis of Nasopharyngeal Carcinoma. J Cellular and Molecular Immunology 2007 ; 4(3) : 185-96.
16. Gullo C, Low W.K, Teoh G. Association of Epstein-Barr Virus with Nasopharyngeal Carcinoma and Current Status of Development of Cancer-Derived Cell Lines. Annals Academy of Medicine J 2008 ; 37(9) : 769-77.
17. Niedobitek G. Epstein-Barr Virus Infection in The Pathogenesis of Nasopharyngeal Carcinoma. J Clin Pathol 2000 ; 53 : 248-54.
18. Ocheni S, Olusina D.B, Oyekunle A.A, Ibegbulam O.G, Kroger N, Bacher U, Zander A.R. EBV-Associated Malignancies. The Open Infectious Diseases Journal. 2010 ; 4 : 101-12
19. Paschale M.D, Clerici P. Serological Diagnosis of Epstein-Barr Virus Infection: Problems and Solutions. World J Virol 2012 ; 12(1) : 31-43
20. Hutajulu S.H, Indrasari S.R, Indrawati L.P, Harijadi A, Duin S, Haryana S.M, et al. Epigenetic Markers for Early Dettection of Nasopharyngeal Carcinoma in a High Risk Population. Molecular Cancer Journal. 2011 ; 10(48) : 1-9
21. Liao L.J, Lai M.S. Epstein-Barr Virus Serology in The Detection and Screening of Nasopharyngeal Carcinoma. In : Carcinogenesis, Diagnosis and Molecular Targeted Treatment for Nasopharyngeal Carcinoma. China : In Tech ; 2012. p.83-94.
22. Lin J.C, Chen K.Y, Wang W.Y, Jan J.S, Liang W.M, Tsai C.S, et al. Detection of Epstein-Barr Virus DNA in The Peripheral-Blood Cells of Patients With Nasopharyngeal Carcinoma : Relationship to Distant Metastasis and Survival. Journal of Clinical Oncology. May 2001 ; 19(10) : 2607-15.
23. Cho W.C.S. Nasopharyngeal Carcinoma : Molecular Biomarker Discovery and Progress. Molecular Cancer 2007 ; 6(1) : 1-9
24. Tsao S.W, Lo K.W, Huang D.P. Nasopharyngeal Carcinoma. In : Tselis A, Jenson H.B, editors. Epstein-Barr Virus. New York : Taylor and Francis Group ; 2006. p.273-98
25. Sela G.B, Kuten A, Minkov I, Ari E.G, Izhak O.B. Prevalence and Relevance of EBV Latency in Nasopharyngeal Carcinoma in Israel. J. Clin Pathol 2004 ; 57 : 290-3
26. Yap Y.Y, Hasan C, Chan M. Epstein Barr Virus DNA Detection in The Diagnosis of Nasopharyngeal Carcinoma. Otolaryngol Head Neck Surg 2007 ; 35 : 986-91
27. Krishna S.M, James S, Sreelekha T.T, Kattoor J, Balaram P. Primary Nasopharyngeal Cancer of Indian
17
Origin and the Viral Link-A Preliminary Study. Austral-Asian Journal of Cancer 2006 ; 5(4) : 241-52
28. Dolcetti R, Guidoboni M, Gloghini A, Carbone A. EBV-Associated Tumors : Pathogenic Insight for Improved Disese Monitoring and Treatment. Current Cancer Therapy Reviews Journal 2005 ; 1 : 27-44
29. Adam A.A.M, Abdullah N.E, Khalifa E.H, Elhasan L.A.M, Elamin E.M, Hamad K.M, et al. Pathology of Nasopharyngeal Carcinoma in Sudanese Patients and Its Association with Epstein Barr Virus : A Report from a Single Center in Khartoum. Libertas Academica J. 2011 ; 2 : 1-6
30. Shao J.Y, Li Y.H, Gao H.Y. Comparison of Plasma Epstein-Barr Virus (EBV) DNA Levels and Serum EBV Immunoglobulin A/Virus Capsid Antigen Antibody Titers in Patient With Nasopharyngeal Carcinoma. Cancer J 2004 ; 100 : 1162-70
31. Shan L, Yan D, Xi L, Qiao-pei C, Xiang-cheng L, Xue Q. Diagnostic Value of Epstein Barr Virus Capsid Antigen-IgA in Nasopharyngeal Carcinoma : a meta analysis. Chin Med J. 2010 ; 123(9) : 1201-05
32. Low W.K, Leong J.L, Goh Y.H, Fong K.W. Diagnostic Value of Epstein-Barr Viral Serology in Nasopharyngeal Carcinoma. Otolaryngol Head Neck Sur 2000 ; 123 : 505-07
33. Lo S, Ho W.K, Wei W.I. Outcome of patient With Positive Epstein-Barr Virus Serologic Status in The Absence of Nasopharyngeal Carcinoma in Hong Kong. Arc Otolaryngol Head Neck Surg 2004 ; 130 : 770-72