Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

18
0 Tinjauan Pustaka PERANAN VIRUS EPSTEIN-BARR PADA KARSINOMA NASOFARING Presentan : Dr. Heru Kurniawan Anwar Hari / Tanggal : Jumat / 10 Mei 2013 Waktu : 08.00 WIB Tempat : Ruang Konfrensi Bagian THT-KL FK Universitas Andalas / RSUP Dr. M. Djamil Padang Oponen : Dr. Aci Mayang Sari Notulen : Dr. Gunawan Moderator : Dr. Effy Huriyati, Sp.THT-KL Pembimbing : Dr. Sukri Rahman, Sp.THT-KL Narasumber : Dr. Bestari J. Budiman, Sp.THT-KL Konsultan Tamu : Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UNAND BAGIAN ILMU KESEHATAN THT BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RS Dr. M. DJAMIL PADANG 2013

description

frgd

Transcript of Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

Page 1: Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

0

Tinjauan Pustaka

PERANAN VIRUS EPSTEIN-BARR PADA KARSINOMA NASOFARING

Presentan : Dr. Heru Kurniawan Anwar

Hari / Tanggal : Jumat / 10 Mei 2013

Waktu : 08.00 WIB

Tempat : Ruang Konfrensi Bagian THT-KL

FK Universitas Andalas / RSUP Dr. M. Djamil Padang

Oponen : Dr. Aci Mayang Sari

Notulen : Dr. Gunawan

Moderator : Dr. Effy Huriyati, Sp.THT-KL

Pembimbing : Dr. Sukri Rahman, Sp.THT-KL

Narasumber : Dr. Bestari J. Budiman, Sp.THT-KL

Konsultan Tamu : Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UNAND

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RS Dr. M. DJAMIL

PADANG

2013

Page 2: Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

1

PERANAN VIRUS EPSTEIN-BARR PADA KARSINOMA NASOFARING

Heru Kurniawan Anwar

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas / RS Dr. M. Djamil Padang

Abstrak

Latar Belakang : Virus Epstein-Barr (VEB) termasuk gammaherpesvirus

yang menginfeksi lebih dari 95% populasi dewasa. Selama infeksi akut VEB

mengalami replikasi di epitel dengan target infeksi pada sel limfosit B tanpa

memperlihatkan gejala klinis yang serius, sebagian kecil dapat berkembang

menjadi keganasan. Tujuan : untuk mengetahui peranan infeksi VEB pada

Karsinoma Nasofaring (KNF). Tinjauan Pustaka : KNF adalah keganasan

kepala dan leher yang disebabkan oleh multifaktorial seperti adanya faktor

genetik, faktor lingkungan dan faktor infeksi VEB. Kesimpulan : Infeksi VEB

mempunyai hubungan terhadap kejadian KNF yang dibuktikan dengan

terdapatnya titer antibodi IgA anti VCA, IgA anti EA yang tinggi pada

pemeriksaan serologi dan terdapatnya produk VEB berupa EBNA-1, LMP-1

dan EBERs pada mayoritas biopsi KNF.

Kata Kunci : Virus Epstein-Barr, Karsinoma Nasofaring, Serologi

Abstract

Background: Epstein-Barr Virus (EBV) is part of gammaherpesvirus that

infected more than 95% of the adult population. During acute infection EBV

infect and replicate in stratified squamous epithelium with target of infection in

B lymphocyte cells without showing seriously clinical symptoms and small

proportion may develop into malignancy. Purpose: to determine the role of

EBV infection in nasopharyngeal carcinoma (NPC). Review: NPC is a

malignancy of the head and neck which caused by multifactorial such as the

existence of genetic factors, environmental factors and EBV infection factors.

Conclusions: EBV Infection had relationship to incidence of NPC as evidenced

by the high titers of IgA antibody anti-VCA IgA antibody anti-EA on serology

and the presence of EBV products such as EBNA-1, LMP-1 and EBERs in the

majority of NPC biopsy.

Keywords : Epstein-Barr Virus, Nasopharyngeal Carcinoma, Serology

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF)

merupakan keganasan sel

skuamosa yang meliputi sekitar 2%

atau lebih dari seluruh keganasan

kepala dan leher di dunia dengan

angka kejadian tertinggi pada usia

antara 40-50 tahun dan lebih sering

terjadi pada laki-laki dibandingkan

perempuan dengan rasio 2-3 : 1.1,2,3

Page 3: Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

2

Indonesia merupakan salah satu

negara dengan prevalensi

penderita KNF yang termasuk

tinggi di luar Cina Selatan.4

Berdasarkan data histopatologi

kanker di Indonesia tahun 2003

menunjukan bahwa KNF

menempati urutan pertama dari

semua tumor ganas primer pada

laki – laki dan urutan ke 8 pada

perempuan.4 Pada tahun 2006-

2008 di Sumatera Barat

berdasarkan data Laboratorium

Patologi Anatomi Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas

telah didapatkan 45 kasus yang

didiagnosis KNF.5

Angka kejadian KNF lebih

tinggi didapatkan di Cina Selatan

terutama di propinsi Guangdong

dan Guangxi yang mencapai 50-

100.000 penduduk pertahun.3,4

Sedangkan di Asia Tenggara sering

juga ditemukan di Vietnam,

Thailand, Indonesia, Singapura dan

Filipina.5 Pada orang Jepang dan

India angka kejadiannya

1/100.000, lebih kurang sama

dengan bangsa kulit putih di Eropa

dan Amerika Utara yang rata-rata

0,5-2 kasus/100.000 penduduk.1,5

WHO menggolongkan KNF

menjadi tiga tipe berdasarkan

histologinya, yaitu Tipe 1 skuamosa

sel karsinoma berkeratinisasi, Tipe

2 skuamosa sel karsinoma tidak

berkeratinisasi dan Tipe 3

skuamosa sel karsinoma yang tidak

berdiferensiasi. Prevalensi

berdasarkan tipe histologi ini

berbeda antara daerah endemik

dan non endemik dimana pada

daerah endemik paling banyak tipe

3 yang ditemukan yaitu lebih dari

97% kasus sedangkan daerah non

endemik ditemukan 75% tipe 1.6

KNF disebabkan oleh

multifaktorial seperti adanya faktor

genetik yang berhubungan dengan

gen Human Leukocyte Antigen

(HLA) class 1, faktor kebiasaan

seperti penggunaan kayu bakar,

pengawet pada ikan asin yang

diduga berperan merubah nitrat

menjadi zat karsinogen,

nitrosamin.1 Pengaruh rendahnya

kadar vitamin C, kekurangan

vitamin A, merokok, minuman

beralkohol serta paparan tehadap

nikel termasuk faktor yang dapat

meningkatkan risiko terjadinya

KNF.7

Infeksi Virus Epstein-Barr

(VEB) telah lama diperkirakan

menjadi faktor penting pada proses

terjadinya KNF.8 Hubungan ini

dibuktikan dengan terdapatnya

titer antibodi IgA anti VCA terhadap

VEB yang tinggi pada mayoritas

penderita KNF serta terdapatnya

genom atau produk gen dari VEB

pada sel tumor yang diambil dari

hasil biopsi pada pasien KNF.2,8

VIRUS EPSTEIN-BARR

Struktur Virus

Virus Epstein-Barr

ditemukan pada tahun 1964 oleh

Michael Epstein dan Yvonne Barr,

bersama dengan Bert Achong

ketika mengamati partikel mirip

virus dengan mikroskop elektron

Page 4: Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

3

Gambar 1. Struktur virus Epstein-Barr.14

pada hasil biopsi pasien penderita

limfoma Burkitt.9 VEB merupakan

anggota dari keluarga virus Herpes.

Beberapa virus Herpes yang ada

antara lain Herpes simplex I dan

Herpes simplex II, virus Varicella

zoster (subfamili alphavirus),

Cytomegalo virus dan virus Human

herpes 6 dan 7 (subfamili

betaherpesvirus), virus Human

herpes 8 dan Virus Epstein-Barr

(subfamili gammaherpesvirus).9,10

Beberapa keganasan pada manusia

telah dikaitkan dengan infeksi VEB

antara lain limfoma Burkitt,

karsinoma nasofaring (KNF),

limfoma Hodgkin dan Non-

Hodgkin.9,11,12,13

Virus Epstein-Barr adalah

virus berselubung dan berisi inti

DNA yang dikelilingi oleh

nukleokapsid ikosahedral dan

tegument-a (protein yang terletak

antara nukleokapsid dan selubung)

serta dilengkapi selubung luar yang

mempunyai tonjolan glikoprotein

eksternal.11,12 VEB mempunyai

panjang 175-184 kbp, dengan

double-stranded genom DNA yang

mengkode 100 protein.9,10,11,12 Dua

subtipe yang diketahui dapat

menginfeksi manusia adalah VEB-1

dan VEB-2 yang berbeda dalam

pengorganisasian gen yang

mengkode antigen nuklear VEB

(EBNA-2, EBNA-3a, EBNA-3b, dan

EBNA-3c).11 VEB-2 kurang efisien

dalam mengubah sel limfosit B

dibandingkan VEB-1 dan

kelangsungan hidup sel

lymphoblastoid VEB-2 lebih singkat

dibandingkan dengan VEB-1.9,13

Infeksi Virus

VEB telah menginfeksi lebih

dari 95% populasi orang dewasa di

dunia.13 Virus ini dapat hidup

didalam tubuh manusia dalam

jangka panjang tanpa menimbulkan

gejala klinik yang jelas dan infeksi

primer biasanya terjadi dalam

beberapa tahun pertama kehidupan

serta pada beberapa individu, virus

ini dapat terlibat langsung dalam

proses keganasan.13 Mekanisme

masuknya VEB dan terjadinya

infeksi kemungkinan dengan cara ;

1) hubungan langsung pada

membran bagian apikal sel dengan

limfosit yang sudah terinfeksi virus,

2) melalui membran basolateral

yang dimediasi oleh adanya

interaksi antara integrin β1 atau

α5B1 dengan VEB, 3) penyebaran

virus secara langung melalui

membran lateral yang terjadi

setelah host terinfeksi VEB pertama

kali.10

Setelah terinfeksi virus ini,

tubuh akan terus membawa virus

dan dapat menularkannya melalui

saliva dan infeksi VEB ini dapat

bersifat menetap (persisten),

Page 5: Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

4

tersembunyi (laten) dan sepanjang

masa (long life).4,12 Pada proses

infeksi akut, VEB akan menginfeksi

epitel skuamosa di daerah

orofaring dan menyebabkan infeksi

litik serta replikasi virus dengan

menghasilkan virion yang

kemudian akan diikuti oleh infeksi

laten pada limfosit B.9,11,13 Limfosit

B yang terinfeksi VEB diperkirakan

terdapat pada organ limfoid

orofaringeal dan virus ini akan

menetap dalam memori sel limfosit

B sehingga membuat sel ini menjadi

imortal.9

Sebelum virus memasuki sel

limfosit B, selubung glikoprotein

utama (gp350) akan berikatan

dengan reseptor virus yaitu

molekul CD21 (reseptor

komplemen C3d) pada permukaan

sel limfosit B.11,12 Faktor-faktor lain

selain CD21 yang penting untuk

proses infeksi ini adalah molekul

Gambar 2. Siklus hidup virus Epstein-Barr selama proses infeksi dari host melalui saliva, kemudian masuk ke epitel orofaring dan sel limfosit B sehingga terjadi proses infeksi laten dan infeksi litik.7

Page 6: Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

5

Major Histocompatibility Complex

(MHC) kelas II yang berfungsi

sebagai kofaktor untuk infeksi sel

limfosit B.9 Setelah mengikat

reseptor CD21 pada limfosit B, VEB

akan masuk ke sitoplasma sel host

dalam waktu 1-2 jam yang

mengakibatkan partikel-partikel

virus akan terurai dan genom-

genom virus masuk ke dalam

nukleus. Proses ini merupakan

bentuk VEB saat infeksi laten yang

ditandai dengan aktivasi dan

proliferasi sel yang disebut sebagai

VEB imortal pada sel limfosit B.10

Proses ini melibatkan interaksi

beberapa komplek glikoprotein

virus termasuk gH dan gL yang

merupakan homolog dari molekul

gp42 dengan MHC kelas II pada

limfosit B. Sel limfosit B yang

terinfeksi VEB akan menghindari

apoptosis dengan mengekspresikan

Latent Membrane Protein (LMP) 1

dan 2a.13

Genom VEB terdiri dari

molekul DNA linear yang mengkode

hampir 100 protein virus. Pada

proses replikasi virus, protein ini

penting untuk mengatur ekspresi

gen virus, replikasi DNA virus,

membentuk komponen struktural

dari virion dan modulasi respon

imun host. Infeksi sel epitel oleh

VEB menghasilkan replikasi aktif,

produk-produk virus dan infeksi

litik.11 Sebaliknya, infeksi sel

limfosit B oleh VEB menyebabkan

infeksi laten dengan terbentuknya

sel yang imortal.11,12 Replikasi virus

secara spontan diaktifkan hanya

dalam persentase kecil dari sel

limfosit B yang terinfeksi secara

laten. Pada orang dewasa normal,

dari 1-50 /1 juta sel limfosit B

dalam sirkulasi tubuh telah

terinfeksi VEB dan jumlah sel yang

terinfeksi secara laten akan tetap

stabil selama bertahun-tahun.12,15

Pada kondisi normal infeksi

VEB dapat terkontrol dan masuk ke

fase laten, dimana hanya sedikit sel

limfosit B yang terinfeksi. Setelah

infeksi primer dan pembentukan

fase laten, ekspresi gen VEB

dibatasi hanya untuk LMP-2A yaitu

protein yang mempertahankan fase

laten dengan memberikan sinyal

kelangsungan hidup dan

menghambat aktivasi sel limfosit B

sehingga nantinya masuk fase

litik.13 Fase litik dapat terjadi baik

di epitel rongga mulut maupun di

sel limfosit B yang terletak

berdekatan dengan epitel rongga

mulut.9,16,17 VEB dapat menginfeksi

individu lainnya yang rentan ketika

memasuki fase litik. Ketika terjadi

reaktivasi, beberapa protein virus

litik yang disajikan secara aktif

menghambat mekanisme

kekebalan tubuh, termasuk

homolog interleukin-10 yang dapat

menghambat costimulatory dan

fungsi antigen presenting

monosit/makrofag serta beberapa

protein yang merusak pelepasan

sitokin, terutama interferon (α dan

β).10,13 Selain itu, bcl-2 akan

memperpanjang kelangsungan

hidup sel yang terinfeksi dengan

menghambat apoptosis. Namun

Page 7: Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

6

pada manusia normal terdapat

keseimbangan antara host dan

virus sehingga virus akan persisten

dan mengalami replikasi tanpa

membahayakan host.13

Produk Virus

VEB menghasilkan produk

yang akan berinteraksi ke berbagai

molekul antiapoptotic dan sitokin

sehingga menyebabkan infeksi VEB

dapat bertahan lama dan

bertransformasi.

a. Infeksi Laten

Pada infeksi laten VEB akan

diekspresikan beberapa gen, yaitu :

1) Epstein-Barr Virus Nuclear

Antigen-1 (EBNA-1)

EBNA-1 adalah urutan

spesifik DNA binding

phosphoprotein yang diperlukan

untuk replikasi dan pemeliharaan

gen VEB serta memiliki peran

sentral dalam mempertahankan

infeksi laten virus ini.9,11 EBNA-1

mengikat sumber replikasi plasmid,

yang terdiri dari dua elemen EBNA-

1 yang berbeda. Setelah EBNA-1

mengikat sumber replikasi plasmid,

VEB akan menggunakan enzim host

sebagai mediasi pada semua

langkah saat proses replikasi.9

2) Epstein-Barr Virus Nuclear

Antigen-2 (EBNA-2)

EBNA-2 adalah co-activator

transkripsi yang

mengkoordinasikan ekspresi gen

virus pada latensi III dan juga

transaktivasi gen pada banyak sel

sambil memainkan peran penting

dalam mempertahankan sel. EBNA-

2 (dan EBNA-LP) adalah protein

laten pertama kali yang terdeteksi

setelah infeksi VEB. Ada dua jenis

EBNA-2 yang dapat diidentifikasi

secara serologis dimana kedua tipe

serologis EBNA-2 sesuai dengan

jenis virus VEB-1 dan VEB-2.9

EBNA-2 berfungsi terutama untuk

mengatur peningkatan ekspresi gen

virus dan seluler, diantaranya CD23

(penanda permukaan sel limfosit B

yang teraktivasi), c-myc (protein

onkogen-seluler) dan promotor

virus EBNA-C.12 EBNA-2 juga

dikenal dapat berinteraksi dengan

faktor transkripsi lain.

3) Epstein-Barr Virus Nuclear

Antigen Leader Protein

(EBNA-LP)

EBNA-LP yang juga dikenal

sebagai EBNA-5 merupakan salah

satu protein virus pertama yang

diproduksi selama infeksi VEB pada

sel limfosit B. EBNA-LP berinteraksi

dengan EBNA-2 untuk

mengaktivasi limfosit B yang

berbeda dalam keaadaan istirahat

masuk ke fase G1 pada siklus sel

dengan cara mengikat dan

menonaktifkan p53 seluler dan

produk supresor gen protein tumor

retinoblastoma.9,12 EBNA-LP juga

berinteraksi dengan faktor

transkripsi lain.9

4) Epstein-Barr Virus Nuclear

Antigen-3A, 3B, 3C (EBNA-3A,

EBNA-3B, dan EBNA-3C)

Secara invitro EBNA-3A,

EBNA-3B, dan EBNA-3C adalah

regulator transkripsi dimana

EBNA-3A dan EBNA-3C sangat

Page 8: Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

7

penting untuk proses transformasi

sel limfosit B.9,11,12 Terdapat

perbedaan pada EBNA-3A, EBNA-

3B, dan EBNA-3C diantara dua

subtipe VEB. EBNA-3A dan EBNA-

3C telah terbukti penting dalam

mempertahankan sel limfosit B

yang terinfeksi. EBNA-3C berperan

pada retinoblastoma dengan

mengurangi produk gen supresor

tumor retinoblastoma pada fase G1

dari siklus sel. EBNA-3C juga telah

terbukti meningkatkan produksi

LMP-1 dalam beberapa kondisi

dimana LMP-1 akan memfasilitasi

transformasi dan pertumbuhan sel

dan menghambat apoptosis.9,11

Baru-baru ini, EBNA-LP telah

terbukti menyebabkan redistribusi

EBNA-3A dalam nukleus yang

berperan pada jaringan yang terdiri

dari semua faktor transkripsi

EBNA.9

5) Latent Membrane Protein

(LMP-1)

LMP-1 adalah protein

membran yang terdiri dari enam

membran hidrofobik. LMP-1

diagregasi pada membran plasma

dan sangat penting untuk membuat

sel menjadi imortal.9,11,13 LMP-1

secara langsung terkait dengan

onkogenesis berdasarkan

kemampuannya untuk merubah

susunan gen seluler dan juga

menghambat apoptosis dengan

meninggikan tingkat bcl-2.13,15

LMP-1 merupakan produk virus

yang dapat mencegah sel yang

terinfeksi VEB dari apoptosis

dengan menginduksi dan

meningkatkan protein anti-

apoptotik seperti bcl-2, dan a20.

LMP-1 juga terlibat dalam

pengaturan proliferasi sel dengan

memicu progresifitas dan

proliferasi sel melalui siklus sel

(fase G1/S) dan inhibisi apoptosis.4

6) Latent Membrane Protein-2A,

2B (LMP-2A dan LMP-2B)

LMP-2 terdiri dari dua

protein yaitu LMP-2A dan LMP-2B

yang berfungsi untuk mencegah

reaktivasi VEB pada infeksi laten di

dalam sel limfosit B yang sudah

terinfeksi.11,12 LMP-2 berperan

dalam memodifikasi pertumbuhan

sel limfosit B normal yang dapat

mendukung pemeliharaan latensi

VEB didalam sumsum tulang.

Ekspresi LMP-2A pada penyakit

Hodgkin dan KNF menunjukkan

adanya pengaruh fungsi protein ini

pada onkogenesis yang saat ini

belum diketahui.9

7) Epstein-Barr Virus Encoded

RNAs-1 dan 2 (EBERs 1 dan 2)

EBERs-1 dan 2 merupakan

suatu non-polyadenylated,

noncoding RNA dari nukleotida 167

dan 172.11,12 EBERs banyak

terdapat di hampir semua sel yang

terinfeksi VEB kecuali lesi oral

berupa leukoplakia pada pasien

AIDS. EBERs-1 dan 2 (selain dua

LMPs) terdapat dalam segala

bentuk proses latensi.9,11 Meski

begitu, rekombinan VEB dengan

menghapus gen EBERs dapat

mengubah limfosit dan

menunjukkan bahwa EBERs tidak

penting untuk proses transformasi

Page 9: Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

8

sel, oleh karena itu, peran EBERs

dalam transformasi masih menjadi

pertanyaan.9

b. Infeksi Litik

Pada infeksi litik, telah

diekspresikan 90 protein yang

diklasifikasikan menjadi :

1) Immediate-Early Protein

Protein utama VEB yang

digolongkan ke dalam kelompok ini

antara lain BZLF1 yang disebut juga

protein Z Epstein-Barr Replication

Activator (ZEBRA) atau Zta dan

BRLF1 yang dikenal Rta. Keduanya

merupakan protein aktif

transkripsi gen virus dimana BZLF1

merupakan protein inhibitor

transkripsi dari EBNA Cp promotor

dan akan memfasilitasi perubahan

sel dari infeksi laten menjadi infeksi

litik.11

2) Early Protein

Early protein VEB termasuk

enzim yang berperan penting pada

replikasi DNA, penghambat

apoptosis, reseptor sitokin yang

terlarut dan protein yang

mengaktifkan ekspresi gen

lainnya.11 Enam protein virus telah

diidentifikasi sebagai protein

replikasi yang terdiri dari replikasi

DNA virus polymerase (dikode oleh

BALF5), DNA polimerase

processivity factor (dikode oleh

BMRF1), single- stranded DNA-

binding protein homolog (dikode

oleh BALF2), homolog primase

(dikode oleh BSLF1), yang homolog

helicase (dikode oleh BBLF4) dan

homolog helikase-primase (dikode

oleh BBLF2 / 3).11

Early Protein virus lainnya

yang penting untuk replikasi DNA

virus adalah protein reductase

ribonucleotide yang dikode oleh

BORF2 dan BaRF1 serta glycosylase

DNA uracil yang dikode oleh

BKRF3.11 BHRF1 dan BALF1 adalah

homolog dari bcl-2 yang

merupakan protein seluler yang

dapat menghambat apoptosis sel.

BHRF1 berinteraksi dengan bcl-2

dalam mitokondria dan

menghambat apoptosis baik pada

sel limfosit B maupun sel-sel epitel,

sedangkan efek BALF1 dapat

memodulasi efek BHRF1 pada sel

epitel.9

3) Late Protein

Late Protein VEB termasuk

glikoprotein virus, protein

nukleokapsid dan sitokin virus.

Sebagian besar Viral Capsid Antigen

(VCA) terdiri dari protein

nukleokapsid utama yang

dikodekan oleh BCLF1. Antibodi

terhadap VCA dapat digunakan

dalam diagnosis infeksi virus ini.

VEB dikode oleh beberapa

glikoprotein termasuk gp350,

gp110, gp85, gp42, dan gp25.11

Glikoprotein gp350 yang dikodekan

oleh BLLF1 yang merupakan

protein selubung virus yang besar

dan dapat mengikat reseptor CD21

pada sel limfosit B. Penghilangan

gp350 dari virus secara nyata dapat

mengurangi virulensi virus tetapi

tidak menghilangkannya.11

Glikoprotein gp110 VEB dikodekan

Page 10: Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

9

oleh BALF4 yang merupakan

homolog dari glikoprotein virus

herpes simplex B (HSV) yang

diperlukan HSV untuk masuk ke

dalam sel.11 Glikoprotein gp85 VEB

yang dikodekan oleh BXLF2

merupakan homolog dari

glikoprotein HSV H (GH) yang

penting untuk fusi virus ke dalam

sel limfosit B dan penyerapan ke sel

Tabel 1. Produk virus Epstein-Barr selama terjadinya infeksi laten pada sel limfosit B.8

Tabel 2. Tipe infeksi laten virus Epstein-Barr pada beberapa penyakit.16

Page 11: Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

10

epitel. Glikoprotein gp25 adalah

produk dari BKRF2 yang

merupakan homolog dari HSV gL

dan bertindak sebagai pengantar

virus untuk mengangkut gp85 ke

dalam membran sel. Glikoprotein

gp42 (dikodekan oleh BZLF2),

mengikat molekul MHC kelas II dan

berfungsi sebagai ko-reseptor

untuk masuknya virus ke dalam sel

limfosit B dan tidak diperlukan VEB

untuk menginfeksi sel epitel.11

INFEKSI VIRUS EPSTEIN-BARR

PADA KARSINOMA NASOFARING

Mekanisme patogenesis VEB

yang menyebabkan KNF masih

kontroversi tetapi ada beberapa

kenyataan yang menyebutkan

hampir semua kasus KNF

berkeratinisasi positif VEB

dihubungkan dengan kebiasaan

merokok pada geografi tertentu.

Secara khusus peran langsung VEB

dalam karsinogenesis KNF masih

diperdebatkan, namun sel

nasofaring telah terbukti terinfeksi

VEB sebelum mengalami

transformasi karena sel-sel epitel

dewasa yang membawa CD21

dapat terinfeksi oleh virus ini. Oleh

karena itu dinyatakan bahwa VEB

menginfeksi sel nasofaring yang

telah dirangsang oleh faktor

lingkungan lainnya yang meliputi

diet karsinogenik seperti produk

ikan asin dan makanan yang

diawetkan yang kaya N-

nitrosodimethyamine (NDMA), N-

nitrospyrrolidene (NPYR) dan N-

nitrospiperidine (NPIP).18 Paparan

polusi asap atau kimia, termasuk

nikel adalah beberapa faktor

lingkungan yang juga telah

dilaporkan terkait dengan

pertumbuhan KNF.

Infeksi VEB dihubungkan

dengan kejadian KNF secara jelas

ditunjukkan dengan adanya

peningkatan antibodi terhadap

antigen VEB pada kebanyakan

pasien KNF, terdapatnya DNA dan

RNA VEB pada semua sel tumor

dan pembentukan prekursor pada

lesi KNF.2 Pada KNF, VEB akan

menginfeksi terutama sel-sel epitel

nasofaring posterior pada fosa

Rosenmuller. Meskipun reseptor

VEB pada sel-sel epitel belum

ditemukan, kemungkinan virus ini

masuk ke epitel nasofaring melalui

protein permukaan yang

merupakan antigen terhadap sel

limfosit B dengan cara IgA-

mediated endositosis.13 Temuan ini

menunjukkan bahwa infeksi VEB

terjadi sebelum proses neoplasia

dan penting untuk perkembangan

fenotipe ganas. Perubahan genetik

yang paling umum adalah

hilangnya kromosom regional 9p21

(p16, p15, dan p14ARF) dan 3p

(RASSF1A) yang terjadi pada awal

perkembangan tumor. Frekuensi

kehilangan tertinggi ditemukan

pada kromosom 3p (95%) dan 9p

(85%) pada tumor invasif.

Mengingat target gen p16 dan

RASSF1A menyimpang, perubahan

genetik abnormal pada kromosom

3p dan 9p muncul untuk

mempengaruhi sel nasofaring

Page 12: Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

11

dalam mempertahankan infeksi

laten VEB. Perubahan genetik

tersebut terdeteksi di epitel

nasofaring bahkan mungkin

mendahului infeksi VEB. Infeksi

VEB di epitel nasofaring premaligna

dapat menyebabkan sel nasofaring

diubah secara genetik,

bertransformasi menjadi sel-sel

ganas. Perubahan ini hanya terlihat

pada sel-sel KNF tetapi tidak

terlihat pada sel-sel di jaringan

sekitar nasofaring.13

Beberapa produk yang

berbeda-beda dari virus

mempunyai korelasi dengan

tahapan siklus infeksi litik dan

dapat diidentifikasi dan

dikategorikan menjadi : Early

Membrane Antigen (EMA), Early

Intra-Celulair Atigen (EA), Viral

Capcid Antigen (VCA) dan Late

Membrane Antigen (LMA). Pada

infeksi laten virus terjadi ekspresi

dari beberapa protein virus antara

lain Epstein Barr Nucleus Antigen 2

& 5 (EBNA 2 & 5) yang dapat

dideteksi 2-5 jam setelah infeksi,

Latent Membrane Protein 1 & 2

(LMP 1 dan 2) yang dapat dideteksi

5-7 jam setelah infeksi. Bentuk

laten infeksi VEB pada KNF

termasuk tipe II dengan

karakteristik terekspresinya

protein LMP disamping protein

EBERs dan EBNA-1.19

Mekanisme pasti bagaimana

VEB dapat menginduksi terjadinya

kanker masih belum bisa

dipastikan. Akan tetapi penelitian

tentang ekspresi dari gen LMP

menunjukkan bisa mengubah sel

epitel nasofaring secara invitro dan

diperkirakan bahwa LMP pada sel

yang terinfeksi VEB memproteksi

sel tersebut dari program kematian

sel atau apoptosis. Sedangkan pada

penelitian lainnya ditemukan juga

LMP pada 65% penderita KNF. Hal

yang serupa dinyatakan oleh

Hutajulu dkk20 yang menyebutkan

bahwa dari 50 kasus KNF yang

dianalisis secara kuntitatif untuk

mendeteksi DNA VEB dengan cara

brushing pada nasofaring,

terdeteksi positif EBNA pada 49

kasus (98%).

IDENTIFIKASI VIRUS EPSTEIN-

BARR PADA KARSINOMA

NASOFARING

Hubungan antara VEB

dengan KNF telah disebutkan

dalam beberapa literatur setelah

ditemukannya DNA, RNA dan

protein VEB pada hampir semua sel

di dalam jaringan biopsi yang

diambil pada pasien yang

didiagnosis KNF.21,22 Pada infeksi

primer VEB akan diproduksi tiga

antibodi (IgG, IgM, dan IgA) yang

bereaksi terhadap antigen kapsid

VEB, dua antibodi (IgG dan IgA)

yang dihasilkan merupakan respon

terhadap Early Antigen D, dan satu

antibodi (IgG) yang dihasilkan

merupakan respon terhadap Early

Antigen R.19 Terdapatnya genom

VEB pada hampir semua jaringan

yang didiagnosis KNF

menimbulkan pernyataan bahwa

dengan melakukan pemeriksaan

Page 13: Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

12

analisa kuantitatif menggunakan

serologi baik terhadap antibodi

yang dihasilkan serta deteksi

terhadap adanya protein DNA dan

RNA VEB seperti EBNAs, EBERs dan

LMP pada jaringan baik

menggunakan Polymerase Chain

Reaction (PCR) ataupun Enzyme-

Linked Immunosorbent Assays

(ELISA) dapat digunakan sebagai

tumor marker yang sangat berguna

sebagai diagnosis awal, kontrol dan

prognosis pada pasien KNF.21,22,23

Adapun pemeriksaan yang dapat

dilakukan antara lain :

1. In Situ Hybridization

Deteksi EBER pada biopsi

nasofaring oleh In Situ

Hybridization (ISH) secara umum

dianggap sebagai gold standart dan

metode pemeriksaan yang tepat

serta paling umum untuk

mendiagnosis adanya molekul VEB

yang terkait keganasan.18,24 Genom

VEB dapat dideteksi pada sel tumor

dengan ISH menggunakan fragmen

internal BamH1 dari genom virus.21

Pemeriksaan ISH ini dilakukan

dengan menggunakan probe

khusus untuk EBERs dimana EBER-

1 dan EBER-2 dapat ditemukan

pada semua bentuk infeksi VEB

tetapi pemeriksaan ini dianggap

kurang sensitif karena hanya dapat

dideteksi pada lesi nasofaring yang

high-grade tapi tidak pada lesi yang

low-grade dan epitel normal.18,24

Sela25 telah membandingkan

antara pemeriksaan imunohisto-

kimia untuk mendeteksi LMP-1

dengan penggunaan ISH untuk

mendeteksi EBERs pada hasil

biopsi 45 orang pasien yang

didiagnosis KNF dengan

kesimpulan pemeriksaan ISH lebih

sensitif daripada imunohistokimia

karena bernilai positif pada 40

kasus dibandingkan 5 kasus dengan

imunohistokimia yang ditemukan

pada fase laten.

2. Imunohistokimia/imunosito -

kimia

Pemeriksaan Immunohisto-

kimia LMP-1 telah terbukti sama

efektifnya dengan pemeriksaan

EBER menggunakan teknik ISH

untuk mendeteksi infeksi VEB pada

Post Transplant Lympho-

proliferative Disorders, limfoma

Hodgkin dan infeksi mononucleosis

tetapi kurang efektif dalam

mendeteksi penyakit limfoma non-

Hodgkin (NHL) atau KNF dan

karsinoma lambung.18 Pemeriksaan

target lainnya yang dapat diperiksa

dengan imunohistokimia pada

infeksi VEB termasuk EBNA-1,

EBNA-2, LMP-2A dan BZLF1.18

3. Amplifikasi Asam Nukleat

Virus

Pemeriksaan DNA VEB pada

jaringan tumor dapat dilakukan

untuk mendeteksi adanya KNF.21

Genom VEB dapat dideteksi pada

sel tumor dengan menggunakan tes

Real Time Polymerase Chain

Reaction (PCR) dan Nucleic Acid

Sequence-Based Amplification

(NASBA) tapi keduanya tidak bisa

Page 14: Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

13

membedakan antara jenis latensi

dan penyakit yang mungkin terjadi

pada fase latensi tersebut.18 Namun

keduanya digunakan dalam

membantu menyingkirkan

diagnosis diferensial metastasis

dari karsinoma dengan tumor

primer yang tidak diketahui. Di sisi

lain, PCR kuantitatif telah

digunakan cukup efisien untuk

medeteksi infeksi VEB terutama

dalam diagnosis dan pemantauan

KNF dan tes ini cukup cepat,

sensitif dan spesifik.18

Deteksi VEB dengan PCR

untuk mendeteksi gen VEB (EBNA-

1, EBNA-2, dan LMP-1) sebagai

target pada jaringan biopsi

nasofaring dan aspirasi jarum halus

juga terbukti sebagai metode yang

tepat dan akurat untuk

mendiagnosis KNF.26 Hal yang sama

juga dibuktikan oleh Krishna27

dengan melakukan pemeriksaan

VEB menggunakan PCR untuk

mendeteksi EBNA-1 pada 103

kasus KNF berdasarkan hasil biopsi

dengan 65 kasus positif EBNA-1

dimana 2 kasus KNF tipe I, 30 kasus

tipe II dan 33 kasus tipe III. Selain

itu, pada metode non-invasive

brushing di daerah nasofaring pada

pasien KNF juga diperoleh hasil

VEB DNA yang tinggi.

Pemeriksaan DNA VEB yang

diukur dengan real-time PCR secara

kuantitatif, telah diusulkan sebagai

penanda tumor yang sensitif dan

spesifik untuk diagnosis serta

pemantauan penyakit, dan prediksi

hasil untuk beberapa penyakit

terkait infeksi VEB.18,28 Kurangnya

DNA virus yang terdeteksi dalam

serum individu yang sehat

menunjukkan bahwa meskipun

sebagian besar dari individu

diperkirakan terdapat DNA VEB

dalam limfosit mereka tapi DNA

VEB biasanya tidak ditemukan

dalam serum bila infeksi VEB tidak

aktif.30 Hal ini menjelaskan bahwa

DNA virus terdapat dalam serum

pada kasus reaktivasi VEB seperti

pasien immunocompromised serta

dalam kasus-kasus infeksi primer.30

Breda dkk6 membandingkan

penggunaan biopsi dan

pemeriksaan darah untuk

mendeteksi VEB pada 43 kasus

KNF, dimana diperoleh hasil bahwa

ekstrak dari jaringan yang dibiopsi

menunjukkan hasil yang lebih baik

(100%) jika dibandingkan dengan

pemeriksaan darah (53,1%).

Pemeriksaan EBNA-1 dan LMP-1

yang dilakukan oleh Adam dkk29

pada 58 kasus KNF di Sudan

menunjukkan 77,5% hasil positif

EBNA-1 dan 84,1% positif LMP-1,

sehingga mereka menganjurkan

untuk dilakukan pemeriksaan

EBNA-1 dan LMP-1 pada daerah

endemik terjadinya KNF yang

diperkirakan berhubungan dengan

infeksi VEB. Han dkk2 melakukan

analisis terhadap 18 penelitian

yang dilakukan di Cina dan Hong

Kong mengenai hubungan infeksi

VEB terhadap KNF dengan

kesimpulan bahwa deteksi DNA

VEB di dalam plasma atau serum

merupakan metode yang paling

Page 15: Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

14

efektif untuk membantu diagnosis

KNF pada pasien yang dicurigai

menderita KNF di daerah-daerah

endemik seperti Cina Selatan,

Taiwan dan Negara di Asia

Tenggara dengan sensitivitas 75-

81% dan spesivisitas 92-96%,

Disebutkan juga bahwa deteksi

DNA VEB didalam plasma

mempunyai akurasi yang lebih

tinggi jika dibandingkan dalam

serum, oleh karena kemungkinan

terdapatnya konsentrasi DNA virus

yang lebih tinggi didalam plasma.2

4. Serologi

Pemeriksaan serologis

terhadap respon antibodi dengan

kadar yang berbeda telah

diidentifikasi selama proses infeksi

primer VEB, infeksi laten pada

individu yang sehat, reaktivasi

virus dan pada berbagai penyakit

yang terkait infeksi VEB. Parameter

serologis yang diperiksa antara lain

pendeteksian IgG terhadap EBNAs,

IgM, dan IgA terhadap Early Antigen

(dibagi menjadi dua komponen

yaitu EA-D dan EA-R) dan Viral

Capsid Antigen (VCA).19,23,24 KNF

biasanya dikaitkan dengan

peningkatan titer terhadap multiple

antigen virus terutama antibodi IgA

terhadap antigen laten ataupun

antigen litik dan pemeriksaan ini

dapat digunakan untuk memonitor

tumor, remisi dan rekurensi

KNF.18,24 Pemeriksaan serologi

antibodi untuk melihat ada

tidaknya peningkatan antibodi IgA

terhadap VCA dan EA VEB.

merupakan pemeriksaan non

invasif dan dapat digunakan

sebagai skrining untuk mendeteksi

KNF.19,21

Menurut Shan dan kawan-

kawan31, penggunaan identifikasi

IgA anti VCA pada pemeriksaan

darah telah terbukti berguna

sebagai salah satu biomarker

terhadap KNF dengan sensitivitas

dan sepesifitas yang baik yaitu

berkisar 95%. Pada daerah

endemik KNF, penggunaan antibodi

IgA untuk mendeteksi VCA dan EA

VEB dengan menggunakan

immunofluoroscent assays bisa

digunakan sebagai skrining tapi

dengan penggunaan Enzyme-Linked

Immunosorbent Assays (ELISA)

dengan purifikasi antigen VEB

rekombinan pada saat sekarang

dianggap lebih baik dibanding

dengan immunofluoroscent.1

Meskipun serologi IgA anti-

VCA telah diusulkan menjadi

biomarker prognostik dan

diagnostik yang efektif dan sensitif

untuk KNF, beberapa penelitian

telah menunjukkan terdapatnya

hasil positif palsu yang tinggi untuk

antibodi ini.21,32 Selain itu, selama

dilakukannya kontrol pada

beberapa individu dengan titer IgA

anti VCA yang tinggi ternyata

sebagian besar individu tersebut

menunjukkan kadar titer yang

dapat menjadi normal kembali dan

tidak berlanjut menjadi karsinoma

nasofaring.33

Page 16: Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

15

KESIMPULAN

1. KNF disebabkan multifaktorial

dimana terdapat keterlibatan

antara faktor genetik, faktor

lingkungan dan faktor infeksi

VEB.

2. Infeksi VEB mempunyai

hubungan yang jelas terhadap

kejadian karsinoma nasofaring

yang dapat dibuktikan dengan

terdapatnya titer antibodi

terhadap VEB yang tinggi pada

mayoritas penderita KNF serta

terdapatnya genom atau

produk gen dari VEB pada sel

tumor yang diambil dari hasil

biopsi.

3. VEB akan menghasilkan

produk-produk selama proses

infeksi laten seperti EBNA-1,

EBNA-2, EBNA-3, EBNA-LP,

LMP-1, LMP-2, EBERs yang

berperan pada proses

keganasan dan pada infeksi litik

dihasilkan Immediate-Early

Protein, Early Protein dan Late

Protein.

4. Pada KNF terdapat proses

infeksi VEB latensi II yang akan

menghasilkan produk berupa

EBNA-1, LMP-1, LMP-2, EBERs.

5. VEB dapat dideteksi pada

penderita KNF dengan cara

pemeriksaan Insitu

Hybridization, imunohistokimia

/imunositokimia, amplifikasi

asam nukleat virus dan serologi.

6. Pemeriksaan serologi antibodi

IgA anti VCA dan IgA anti EA

VEB berguna sebagai skrining

pada daerah endemik KNF dan

dapat digunakan sebagai

diagnostik non invasif serta

prognostik pada KNF.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tabuchi K, Nakayama M, Nishimura B, Hayashi K, Hara A. Early Detection of Nasopharyngeal Carcinoma. Int J of Otolaryngol 2011 : 1-6

2. Han B.L, Xu X.Y, Zhang C.Z, Wu J.J, Han C.F, Wang H et al. Systemic Review on Epstein-Barr Virus (EBV) DNA in Diagnosis of Nasopharyngeal Carcinoma in Asian Populations. Asian Pacific J Cancer Prev. 2012 ; 13 : 2577-81

3. Jeyakumar A, Brickman T.M, Jeyakumar A, Doerr T. Review of Nasopharyngeal Carcinoma. ENT Journal 2006 ; 85(3) : 168-73

4. Yenita, Asri A. Korelasi antara Latent Membrane Protein-1 Virus Epstein-Barr dengan P53 pada Karsinoma Nasofaring. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012 ; 1(1) : 1-5

5. Ondrey F.G, Wright S.K. Neoplasms of The Nasopharynx. In: Snow J.B, Ballenger J.J, editors. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 16th ed, Ontario : BC Decker Inc ; 2003. p.1392-407

6. Breda E, Catarino R.J.F, Azevedo I, Lobao M, Monteiro E, Medeiros R. Epstein Barr Virus Detection in Nasopharyngeal Carcinoma- Implication in a Low Risk Area. Braz J Otorhinolaryngol. May 2010 ; 76(3) : 310-5

7. Zeng M.S, Zeng Y.X. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal Carcinoma. In : Lu J.J, Cooper J.S, Lee A.W.M, editors. Nasopharyngeal Cancer : Multidisciplinary Management. Germany: Springer ; 2010. p.9-25

8. Lin C.T. Relationship Between Epstein-Barr Virus Infection and Nasopharyngeal Carcinoma

Page 17: Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

16

Pathogenesis. Chinese Journal of Cancer 2009 ; 28(8) : 1-14.

9. Thompson M.P, Kurzrock R. Epstein Barr Virus and Cancer. Clin Cancer Res J 2004; 10 : 803-21

10. Hausen H.Z. Gammaherpesvirinae (Lymphocryptoviruses). In : Infection Causing Human Cancer. Germany: Wyley-VCH Verlag GmbH and Co ; 2006. p.65-117.

11. Cohen J.I. Virology and Molecular Biology of Epstein-Barr Virus. In : Tselis A, Jenson H.B, editors. Epstein-Barr Virus, New York : Taylor and Francis Group ; 2006. p.21-37

12. Cohen J.I. Epstein Barr Virus Infection. The New England Journal of Medicine 2000 ; 343(7) : 481-92

13. Korcum A.F, Ozyar E, Ayhan A. Epstein-Barr Virus Gene and Nasopharyngeal Cancer. Turkish Journal of Cancer 2006 ; 36 : 97-107

14. Epstein-Barr Virus. (imaged on internet) cited on March 14th 2013. Available from: http://www.cullenlab.duhs.

15. Zheng H, Li L, Hu D, Deng X, Cao Y. Role of Epstein-Barr Virus Encoded Latent Membrane Protein-1 in the Carcinogenesis of Nasopharyngeal Carcinoma. J Cellular and Molecular Immunology 2007 ; 4(3) : 185-96.

16. Gullo C, Low W.K, Teoh G. Association of Epstein-Barr Virus with Nasopharyngeal Carcinoma and Current Status of Development of Cancer-Derived Cell Lines. Annals Academy of Medicine J 2008 ; 37(9) : 769-77.

17. Niedobitek G. Epstein-Barr Virus Infection in The Pathogenesis of Nasopharyngeal Carcinoma. J Clin Pathol 2000 ; 53 : 248-54.

18. Ocheni S, Olusina D.B, Oyekunle A.A, Ibegbulam O.G, Kroger N, Bacher U, Zander A.R. EBV-Associated Malignancies. The Open Infectious Diseases Journal. 2010 ; 4 : 101-12

19. Paschale M.D, Clerici P. Serological Diagnosis of Epstein-Barr Virus Infection: Problems and Solutions. World J Virol 2012 ; 12(1) : 31-43

20. Hutajulu S.H, Indrasari S.R, Indrawati L.P, Harijadi A, Duin S, Haryana S.M, et al. Epigenetic Markers for Early Dettection of Nasopharyngeal Carcinoma in a High Risk Population. Molecular Cancer Journal. 2011 ; 10(48) : 1-9

21. Liao L.J, Lai M.S. Epstein-Barr Virus Serology in The Detection and Screening of Nasopharyngeal Carcinoma. In : Carcinogenesis, Diagnosis and Molecular Targeted Treatment for Nasopharyngeal Carcinoma. China : In Tech ; 2012. p.83-94.

22. Lin J.C, Chen K.Y, Wang W.Y, Jan J.S, Liang W.M, Tsai C.S, et al. Detection of Epstein-Barr Virus DNA in The Peripheral-Blood Cells of Patients With Nasopharyngeal Carcinoma : Relationship to Distant Metastasis and Survival. Journal of Clinical Oncology. May 2001 ; 19(10) : 2607-15.

23. Cho W.C.S. Nasopharyngeal Carcinoma : Molecular Biomarker Discovery and Progress. Molecular Cancer 2007 ; 6(1) : 1-9

24. Tsao S.W, Lo K.W, Huang D.P. Nasopharyngeal Carcinoma. In : Tselis A, Jenson H.B, editors. Epstein-Barr Virus. New York : Taylor and Francis Group ; 2006. p.273-98

25. Sela G.B, Kuten A, Minkov I, Ari E.G, Izhak O.B. Prevalence and Relevance of EBV Latency in Nasopharyngeal Carcinoma in Israel. J. Clin Pathol 2004 ; 57 : 290-3

26. Yap Y.Y, Hasan C, Chan M. Epstein Barr Virus DNA Detection in The Diagnosis of Nasopharyngeal Carcinoma. Otolaryngol Head Neck Surg 2007 ; 35 : 986-91

27. Krishna S.M, James S, Sreelekha T.T, Kattoor J, Balaram P. Primary Nasopharyngeal Cancer of Indian

Page 18: Tinjauan Pustaka Peranan Virus Epstein-barr Pada Karsinoma Nasofaring

17

Origin and the Viral Link-A Preliminary Study. Austral-Asian Journal of Cancer 2006 ; 5(4) : 241-52

28. Dolcetti R, Guidoboni M, Gloghini A, Carbone A. EBV-Associated Tumors : Pathogenic Insight for Improved Disese Monitoring and Treatment. Current Cancer Therapy Reviews Journal 2005 ; 1 : 27-44

29. Adam A.A.M, Abdullah N.E, Khalifa E.H, Elhasan L.A.M, Elamin E.M, Hamad K.M, et al. Pathology of Nasopharyngeal Carcinoma in Sudanese Patients and Its Association with Epstein Barr Virus : A Report from a Single Center in Khartoum. Libertas Academica J. 2011 ; 2 : 1-6

30. Shao J.Y, Li Y.H, Gao H.Y. Comparison of Plasma Epstein-Barr Virus (EBV) DNA Levels and Serum EBV Immunoglobulin A/Virus Capsid Antigen Antibody Titers in Patient With Nasopharyngeal Carcinoma. Cancer J 2004 ; 100 : 1162-70

31. Shan L, Yan D, Xi L, Qiao-pei C, Xiang-cheng L, Xue Q. Diagnostic Value of Epstein Barr Virus Capsid Antigen-IgA in Nasopharyngeal Carcinoma : a meta analysis. Chin Med J. 2010 ; 123(9) : 1201-05

32. Low W.K, Leong J.L, Goh Y.H, Fong K.W. Diagnostic Value of Epstein-Barr Viral Serology in Nasopharyngeal Carcinoma. Otolaryngol Head Neck Sur 2000 ; 123 : 505-07

33. Lo S, Ho W.K, Wei W.I. Outcome of patient With Positive Epstein-Barr Virus Serologic Status in The Absence of Nasopharyngeal Carcinoma in Hong Kong. Arc Otolaryngol Head Neck Surg 2004 ; 130 : 770-72