Kanker Nasofaring

19
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas, sedangkan daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari Fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi skuamosa (Asroel, 2002 ) Gejala karsinoma nasofaring sangat bervariasi dan sering samar-samar sehingga membingungkan pemeriksa. Kendala yang dihadapi dalam menangani kasus karsinoma nasofaring adalah pasien datang dalam stadium yang sudah lanjut, bahkan dalam keadaan umum yang jelek. Hal ini karena terlambatnya diagnosa ditegakkan, maka sangatlah penting untuk menemukan dan menegakan diagnosis secara dini (Arima, 2006) 1.2 Tujuan Penulisan Adapun tujuan kami membuat makalah ini adalah : 1. Untuk mengetahuai defenisi ca nasofaring, etiologi, penatalaksanaan medis, 2. Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pembimbing. 1 | Page Karsinoma Nasofaring

description

Gambaran umum Kanker Nasofaring

Transcript of Kanker Nasofaring

Page 1: Kanker Nasofaring

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas, sedangkan daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari Fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi skuamosa (Asroel, 2002 )

Gejala karsinoma nasofaring sangat bervariasi dan sering samar-samar sehingga membingungkan pemeriksa. Kendala yang dihadapi dalam menangani kasus karsinoma nasofaring adalah pasien datang dalam stadium yang sudah lanjut, bahkan dalam keadaan umum yang jelek. Hal ini karena terlambatnya diagnosa ditegakkan, maka sangatlah penting untuk menemukan dan menegakan diagnosis secara dini (Arima, 2006)

1.2  Tujuan Penulisan

Adapun tujuan kami membuat makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahuai defenisi ca nasofaring, etiologi, penatalaksanaan medis,2. Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pembimbing.

1 | P a g eKarsinoma Nasofaring

Page 2: Kanker Nasofaring

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang rongga hidung.

Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi occiput dan ruas pertama

tulang belakang. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orificium

dari tuba eustachian berada pada dinding samping dan pada bagian depan dan belakang

terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Bagian atas dan

samping dari torus tubarius merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa

rosenmuller. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian soft palatum.

2.2 Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring

dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring (Arima, 2006 dan Nasional

Cancer Institute, 2009).

2.3 Epidemiologi

KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai penderita di bawah

usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45 – 54 tahun. Laki-laki lebih banyak dari wanita

dengan perbandingan antara 2 – 3 : 1. Kanker nasofaring tidak umum dijumpai di Amerika

2 | P a g eKarsinoma Nasofaring

Page 3: Kanker Nasofaring

Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di Amerika Syarikat adalah kurang dari 1

dalam 100.000 (Nasional Cancer Institute, 2009).

Disebahagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu 15-30

per 100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan

Guangzhou,dilaporkan sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun.Insiden tetap

tinggi untuk keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di negara-negara lain. Hal ini

menunjukkan sebuahkecenderungan untuk penyakit ini apabila dikombinasikan dengan

lingkungan pemicu (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan Nasional Cancer Institute,

2009).

Di Indonesia, KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang terdapat di

seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga , Hidung dan Tenggorok (THT).

Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF (Nasir, 2009). Dari data

Departemen Kesehatan, tahun 1980 menunjukan prevalensi 4,7 per 100.000 atau diperkirakan

7.000-8.000 kasus per tahun (Punagi,2007). Dari data laporan profil KNF di Rumah Sakit

Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar ,periode Januari 2000

sampai Juni 2001 didapatkan 33% dari keganasan di bidang THT adalah KNF. Di RSUP H.

Adam Malik Medan pada tahun 2002 -2007 ditemukan 684 penderita KNF.

3 | P a g eKarsinoma Nasofaring

Page 4: Kanker Nasofaring

2.4 Etiologi

Terjadinya KNF mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin

mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya KNF adalah:

2.4.1 Kerentanan Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan

terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif lebih menonjol dan

memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte

antigen) dan gen pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen

kerentanan terhadap karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar

karsinoma nasofaring (Pandi, 1983 dan Nasir, 2009) .

2.4.2 Infeksi Virus Eipstein-Barr

Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma nasofaring

dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum pasien-pasien orang Asia dan

Afrika dengan karsinoma nasofaring primer maupun sekunder telah dibuktikan mengandung

antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen

dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi.

Hubungan ini juga terdapat pada pasien di Amerika yang mendapat karsinoma

nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan karsinoma nasofaring

tidak berdifrensiasi (undifferentiated) dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi (non-

keratinizing) yang aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak berhubung dengan

tumor sel skuamosa atau elemen limfoid dalam limfoepitelioma (Nasir, 2009 dan Nasional

Cancer Institute, 2009).

2.4.3 Faktor Lingkungan

Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan dengan timbulnya

karsinoma nasofaring yaitu golongan Nitrosamin,diantaranya dimetilnitrosamin dan

dietilnitrosamin, Hidrokarbon aromatic dan unsur Renik, diantaranya nikel sulfat (Roezin,

Anida, 2007 dan Nasir, 2009).

4 | P a g eKarsinoma Nasofaring

Page 5: Kanker Nasofaring

2.5 Klasifikasi & Histopatologi

Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi menjadi 3 tipe,

yaitu:

tipe 1 karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi,

tipe 2 gambaran histologinya karsinoma tidak berkreatin dengan sebagian sel

berdiferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel yang lebih ke arah

diferensiasi baik,

tipe 3 karsinoma tanpa diferensiensi adalah sangat heterogen, sel ganas

membentuk sinsitial dengan batas sel tidak jelas.

5 | P a g eKarsinoma Nasofaring

Page 6: Kanker Nasofaring

Jenis KNF yang banyak dijumpai adalah tipe 2 dan tipe 3. Jenis tanpa keratinisasi dan

tanpa diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan mempunyai titer antibodi terhadap virus

Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu

radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-Barr (Roezin, Anida,

2007 dan Nasir, 2009).

2.6 Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring

2.6.1 Gejala Dini

KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan

yang sedini mungkin memegang peranan penting (Roezin,Anida, 2007).

Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien mengeluh rasa

penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala

ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang

telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba,

dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin

banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan

pendengaran ( Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).

Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh sehingga

oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya

darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus,

sehingga berwarna merah muda. Selain itu, sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat

pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek

kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala

telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga

dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga

sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang ( Roezin, Anida, 2007 dan National

Cancer Institute, 2009 ).

2.6.2 Gejala Lanjut

Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher, 3-5 sentimeter

di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe,

sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan

ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker

6 | P a g eKarsinoma Nasofaring

Page 7: Kanker Nasofaring

dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya

menjadi melekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih

lanjut lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien

datang ke dokter (Nutrisno , Achadi, 1988 dan Nurlita, 2009 ).

Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga

tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan

ialah penglihatan ganda (diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai akhirnya

timbul kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan penciuman.

Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak

rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor. Biasanya

kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus

pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh (Arima, 2006 dan Nurlita, 2009).

Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran

limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang

disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi,

menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk (Pandi, 1983 dan Arima, 2006).

2.7 Stadium Karsinoma Nasofaring

2.7.1 T = Tumor

Tumor Primer (T)

TX - tumor primer tidak dapat dinilai

T0 - Tidak ada bukti tumor primer

Tis - Karsinoma in situ

T1 - Tumor terbatas pada nasofaring yang

T2 - Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan / atau hidung fosa

• T2a - Tanpa ekstensi parafaring

• T2b - Dengan perpanjangan parafaring

T3 - Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal

T4 - Tumor dengan ekstensi intrakranial dan atau keterlibatan SSP, fosa infratemporal,

hypopharynx, atau orbit (Roezin,Anida, 2007 dan National Cancer Institute,2009).

7 | P a g eKarsinoma Nasofaring

Page 8: Kanker Nasofaring

2.7.2 N = Nodule

N – Pembesaran kelenjar getah bening regional (KGB).

N0 - Tidak ada pembesaran.

N1 - Terdapat metastesis unilateral KGB dengan ukuran kurang dari 6cm merupakan ukuran

terbesar diatas fossa supraklavikular

N2 - Terdapat metastesis bilateral KGB dengan ukuran kurang dari 6cm merupakan ukuran

terbesar diatas fossa supraklavikular

N3 - Terdapat metastesis

N3.a - KGB dengan ukuran kurang dari 6cm

N3.b - KGB diatas fossa supraklavikular (Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute,

2009).

2.7.3 M = Metastasis

Mx = Adanya Metastesis jauh yang tidak ditentukan.

M0 - Tidak ada metastasis jauh

M1 - Terdapat metastasis jauh (Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).

2.7.4 Stadium

Stadium 0 – Tis, n0, M0

Stadium I - T1, n0, M0

Stadium IIA - T2a, n0, M0

Stadium IIB - (T1, N1, M0), (T2, N1, M0),(T2a, N1, M0 ),( T2b, N0, M0)

Stadium III - ( T1, N2, M0 ),(T2a, N2, M0),( T2b, N2, M0),( T3, N0, M0),( T3, N1, M0),

( T3, N2, M0)

Stadium IVA - (T4, N0, M0), (T4, N1, M0),( T4, N2, M0)

Stadium IVB - Setiap T, N3, M0

Stadium IVC - Setiap T, setiap N, M1(Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute,

2009).

2.8 Diagnosis

Diagnosis Karsinoma Nasofaring ditegakkan berdasarkan :

2.8.1 Gejala

Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan berdasarkan

jumlah nilai dapat ditentukan karsinoma nasofaring.

8 | P a g eKarsinoma Nasofaring

Page 9: Kanker Nasofaring

Gejala Nilai

Massa terlihat pada Nasofaring 25

Gejala khas di hidung 15

Gejala khas pendengaran 15

Sakit kepala unilateral atau bilateral 5

Gangguan neurologi syaraf otak 5

Eksopthalamus 5

Limfadenopati leher 25

Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat

dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi

tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga

menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis.

2.8.2 Pemeriksaan Nasofaring

Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi

posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta fibernasofaringoskopi.

2.8.3 Radiologi

Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor yang

menginvasi pada jaringan sekitarnya dengan menggunakan :

1) Computed Tomografi Scanning (CT-Scan), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan

ikat lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif mendeteksi erosi

tulang, terutama pada dasar tengkorak.

2) Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging yang multiplanar

dan lebih baik dibandingkan CT-Scan dalam membedakan tumor dari peradangan. MRI juga

lebih sensitif dalam mengevaluasi metastase pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang

dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat

mendeteksinya.

2.8.4 Serologi

Pada tumor, DNA Ebstein Barr bersifat homogen dan klonal melalui pengulangan

skuensi. Ekspresi dari spesific viral messenger RNAs atau produk gen secara konsisten dapat

dideteksi pada seluruh sel tumor. Virus dapat dideteksi pada tumor dengan pemeriksaan

9 | P a g eKarsinoma Nasofaring

Page 10: Kanker Nasofaring

insitu hibridisasi dan tekhnik imunohistokimia. Dapat juga dideteksi dengan tekhnik PCR

pada material yang diperoleh dariasprasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah

bening leher. Deteksi dari antibodi Ig G ( yang dijumpai pada masa awal infeksi virus ) dan

antibodi Ig A ( yang dijumpai pada capsid viral antigen ) digunakan di Amerika Serikat untuk

mendukung diagnosis karsinoma nasfaring. Virus Ebstein Barr dapat dijumpai pada

undifferentiated carcinoma dan non keratinizing squamous cell carcinoma.

2.8.5 Pemeriksaan Patologi

Biopsi

Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut. Biopsi

melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi

dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam

diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.

Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan

melalui hidung dan ujung kateter yang berada di dalam mulut ditarik keluar dan diklem

bersama-sama dengan ujung kateter yang dihidung. Demikian juga dengan kateter

disebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat

daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau

memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih

jelas. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain

10%.

Pada kasus dengan tidak dijumpainya lesi secara makroskopis, maka harus dilakukan

biopsi yang multipel dari daerah dinding lateral, superior dan posterior pada pasien dengan

resiko tinggi karsinoma nasofaring.

2.9 Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring

Stadium I : Raidoterapi

Stadium II & III : Kemoradiasi

Stadium IV (<6 cm) : Kemoradiasi

Stadium IV (>6 cm) : Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi

Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan

megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat

10 | P a g eKarsinoma Nasofaring

Page 11: Kanker Nasofaring

berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,

vaksin dan anti virus. Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan,

sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi adjuvant (tambahan) ( Roezin,

Anida, 2007 National Cancer Institute, 2009).

Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil saat ini

sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula telah

dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum,

meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan kesembuhan yang

lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari

sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi

harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring (Fuda Cancer Hospital

Guangzhou, 2002 dan Arisandi, 2008).

Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher

yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran

selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan

pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi sisa tumor induk (residu) atau kambuh (residif)

diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi (Roezin, Anida,

2007).

Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut rasa

kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran.

Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan dengan banyak kuah,

membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang

rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga

mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran,

sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual ( Roezin,

Anida, 2007).

Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana

tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul metastasis jauh

pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas tidak

banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya meninggal dalam keadaan umum yang

buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya

fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan

Roezin, Anida, 2007).

11 | P a g eKarsinoma Nasofaring

Page 12: Kanker Nasofaring

2.10 Prognosis

Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan lokal dan

metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi cenderung lebih agresif daripada yang non

keratinasi dan tidak berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan hematogen lebih sering

pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila dijumpai limfadenopati,

stadium lanjut, tipe histologik karsinoma skuamus berkeratinasi . Prognosis juga diperburuk

oleh beberapa faktor seperti stadium yang lebih lanjut,usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari

pada perempuan dan ras Cina daripada ras kulit putih (Arima, 2006).

2.11 Komplikasi

Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis dari

leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan gigi, dan hipoplasia

struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat terjadi sekunder akibat

radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism dapat terjadi dalam beberapa

kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin terjadi dengan penggunaan cisplatin

dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang menerima cisplatin. Mereka

yang menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari

mandibula merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan

gigi yang tepat (Maqbook, 2000 dan Nasir, 2009).

2.12 Pencegahan

Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko

tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara memasak makanan

untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan

mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan

berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Akhir

sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam

menemukan karsinoma nasofaring lebih dini (Tirtaamijaya, 2009).

BAB 3

12 | P a g eKarsinoma Nasofaring

Page 13: Kanker Nasofaring

KESIMPULAN

Kanker nasofaring atau dikenal juga dengan kanker THT adalah penyakit yang

disebabkan oleh sel ganas (kanker) dan terbentuk dalam jaringan nasofaring, yaitu bagian

atas faring atau tenggorokan. Kanker ini paling sering terjadi di bagian THT, kepala serta

leher. Sampai saat ini belum jelas bagaimana mulai tumbuhnya kanker nasofaring. Namun

penyebaran kanker ini dapat berkembang ke bagian mata, telinga, kelenjar leher, dan otak.

Sebaiknya yang beresiko tinggi terkena kanker nasofaring rajin memeriksakan diri ke dokter,

terutama dokter THT. Risiko tinggi ini biasanya dimiliki oleh laki-laki atau adanya keluarga

yang menderita kanker ini.

13 | P a g eKarsinoma Nasofaring