Tinjauan Pustaka 2009rsd-3

download Tinjauan Pustaka 2009rsd-3

of 11

description

jjj

Transcript of Tinjauan Pustaka 2009rsd-3

  • TINJAUAN PUSTAKA

    Importasi Sapi Pedaging di Indonesia Standar kecukupan masyarakat dalam memenuhi konsumsi protein hewani (daging) yaitu 6 gram/kapita/hari atau 10,3 kg/kapita/tahun, sedangkan rataan konsumsi yang baru terpenuhi oleh masyarakat Indonesia yaitu 4,1 gram/kapita/hari, angka itu lebih rendah dari angka standar kecukupan. Menteri Pertanian menyebutkan populasi sapi potong di Indonesia sebesar 11 juta hanya memenuhi produksi daging nasional sebesar 306 ribu ton atau 1,5 juta ekor/tahun. Angka ini belum memenuhi kebutuhan nasional sehingga pemerintah masih memerlukan importasi sapi bakalan sebanyak 408 ekor/tahun atau setara dengan 56 ribu ton daging (Depkominfo 2005), dengan pertimbangan nilai tambah maka pemerintah menggariskan kebijakan impor sapi bakalan untuk digemukkan selama 2 3 bulan sehingga akan ada nilai tambah dan dapat menggerakkan perekonomian di pedesaan. Data menunjukkan jumlah impor sapi bakalan dari luar negeri terus meningkat, pada tahun 1994 sebanyak 78.000 ekor kemudian tahun 1997 menjadi 349.000 ekor, terjadi penurunan pada tahun 1998 menjadi 49.000 ekor karena krisis ekonomi, kemudian meningkat kembali pada tahun 2000 mencapai angka 296.000 ekor (Abidin 2002, diacu dalam Harjono 2008).

    Jumlah impor sapi potong dari Australia tahun 2002 sampai 2005 rata-rata 325.000 375.000 ekor sapi, tahun 2006 dan 2007 meningkat menjadi 496.000 ekor sapi (Boediyana 2008).

    Sapi yang diekspor ke Indonesia terutama jenis sapi Bos indicus seperti sapi jenis Brahman atau jenis campuran silang seperti sapi jenis Branford dan Droughtmaster. Sapi-sapi jenis ini sangat berhasil diternakkan di daerah tropis. Sapi ini mempunyai ciri yang dimiliki sapi jenis Bos indicus seperti tahan panas, tahan terhadap kekeringan dan serangan kutu, juga mempunyai ciri sapi jenis Bos taurus misalnya laju pertumbuhannya tinggi, produksinya banyak dan tingkat kesuburannya tinggi (LAI 1999).

  • Babesiosis Babesiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit darah yang

    penyebarannya meluas di dunia. Parasit ini bersifat intraerythrocytic dan sering disebut piroplasmosis, bentuknya seperti buah pear (the pear shaped form) didalam Butir Darah Merah yang terinfeksi (Homer et al. 2000). Babesiosis ditularkan melalui gigitan caplak (Boophilus sp.) disebut juga tick fever atau red water (Lubis 2006).

    Sapi yang terkena babesiosis sangat lemah kadang-kadang kolaps dan mati saat dalam perjalanan. Aborsi terjadi bila infeksi cukup parah pada sapi betina bunting. Gejala klinis lain yaitu anoreksia, depresi, respiratory rate meningkat terutama setelah beraktifitas, tremor otot, suhu tubuh meningkat bersamaan dengan parasitemia hingga mencapai 4142oC dalam 23 hari, haemoglobinemia dan haemoglobinuria akan terjadi diikuti jaundice dan ada yang memperlihatkan gejala kerusakan otak seperti berputar-putar, sakit kepala dan konvulsi (Sevinc et al. 2001). Mortalitas babesiosis mencapai 5 10% walaupun sapi tersebut diobati, bila tidak diobati dapat mencapai 50 100% pada kasus yang disebabkan B. bovis (CFED 2008). Masa inkubasi babesiosis 2 3 minggu pada infeksi alam tetapi dapat lebih singkat 4 5 hari (B. bigemina) dan 10 14 hari (B. bovis) pada inokulasi percobaan tergantung dari ukuran inokulum. Masa inkubasi pada infeksi alami yang disebabkan B. bovis lebih lama dibandingkan B. bigemina (CFED 2008). Babesiosis, anaplasmosis dan tripanosomiasis perlu dipertimbangkan sebagai penyebab terjadinya kematian sapi dan kerbau impor (Payne et al. 1990).

    Banyak faktor yang mempengaruhi kerentanan sapi terhadap babesiosis, secara umum disebutkan bahwa sapi muda kurang rentan dibandingkan sapi dewasa terhadap infeksi Babesia (Benavides dan Sacco 2007). Umur adalah faktor penting yang mempengaruhi tingkat keparahan penyakit babesiosis, anak sapi yang berumur kurang dari dua bulan dan lahir dari induk yang tidak terinfeksi maka anak sapi tersebut akan tahan terhadap infeksi babesiosis, baik oleh B. bigemina maupun oleh B. bovis. Pada sapi muda yang memiliki antibodi pasif dari induknya (kolostrum) akan lebih tahan terhadap infeksi babesiosis (CFED 2008). Anak-anak sapi di daerah endemik biasanya mempunyai antibodi foetal dan

  • maternal, dengan bertambahnya umur hewan kepekaan terhadap penyakit ini semakin meningkat. Kekebalan yang didapat pada ternak di alam umumnya adalah premunitas dan dapat bersifat kekebalan steril (Siswansyah 1990).

    Sapi Bos indicus juga kurang rentan bila dibandingkan dengan Bos taurus (Benavides dan Sacco 2007). Bos indicus dan silangannya lebih tahan terhadap infeksi B. bigemina dibandingkan terhadap sapi Bos taurus. Pada observasi yang dilakukan ditemukan bahwa kejadian wabah B. bigemina lebih banyak sepuluh kali lebih besar pada Bos taurus dibandingkan pada Bos indicus di Australia (Bock et al. 1999, diacu dalam Geleta 2005). Menurut Benavides dan Sacco (2007) terdapat tiga macam gejala klinis pada induk semang sapi (Bos taurus) akibat infeksi Babesia bovis yaitu : 1. Hewan rentan (susceptible) yaitu hewan dengan gejala klinis dan

    membutuhkan pengobatan untuk menghindari kematian, dengan frekuensi 45,4%.

    2. Intermediate yaitu hewan dengan gejala klinis parasitaemia, penurunan packed cell volume (PCV) 21.5% dan suhu tubuh meningkat, tidak dilakukan pengobatan dan hewan dapat sembuh dengan sendirinya, dengan frekuensi 26,7%.

    3. Resistant yaitu hewan tanpa gejala klinis tetapi terdapat B. bovis pada ulas darahnya, penurunan PCV

  • Etiologi

    Klasifikasi Babesia sp Phylum : Apicomplexa Class : Sporozoasida Order : Eucoccidiorida Sub order : Piroplasmorina Family : Babesiidae (Anonim 2005)

    Babesia bovis termasuk dalam Babesia kecil berukuran 2 x 1-5 m sedangkan Babesia bigemina termasuk dalam Babesia besar berukuran 4-5 x 2 m (Ristic dan Kreier 1981), bentuknya bulat atau oval dalam eritrosit dan merupakan parasit hewan liar maupun hewan peliharaan seperti kelinci, kuda, biri-biri, anjing, rusa, dan tikus hutan. Hewan-hewan tertular parasit melalui gigitan caplak (tick), berbagai jenis caplak dapat menjadi intermediate host pada babesiosis (Lubis 2006).

    Gambar 1 Babesia sp (Anonim 2005)

    Babesia sp yang menyerang sapi adalah Babesia bovis, Babesia bigemina, Babesia divergens dan Babesia jakimovi. Babesia bovis dan Babesia bigemina adalah spesies Babesia yang telah menyebar di dunia. B. bigemina adalah penyebab Texas Fever di Amerika dan diidentifikasi sebagai penyebab red water di Australia. Pada sebagian besar negara B. bovis lebih penting peranannya dalam menyebabkan penyakit (Ristic dan Kreier 1981).

  • Dikenal lebih 100 spesies Babesia yang sering dipersoalkan, B. microti di Amerika Serikat, B. divergen dan B. bovis di Eropa, B. mayor menginfeksi sapi, B. equi pada kuda dan B. canis pada anjing, B. felis pada tikus, dan B. microti pada binatang mengerat (rodent), juga binatang menyusui kecil dan jenis kera, sedangkan B. divergen pada tikus dan gerbil (sejenis tikus yang kaki belakang dan ekornya panjang) yang sering terdapat di dalam rumah. Belakangan ini dilaporkan spesies yang dulu tidak disebut sebagai spesies Babesia yaitu Babesia (WA-1) berhasil diisolasi dari seorang penderita dengan gejala babesiosis di Washington. Spesies Babesia baru yang juga sudah dilaporkan yaitu Babesia (MO1) terdapat di negara bagian Missouri (Lubis 2006).

    Siklus Hidup Secara umum ada 3 tahap reproduksi yaitu (i) Gamogoni (formasi dan fusi

    gamet di dalam usus caplak) (ii) Sporogoni (reproduksi aseksual dalam kelenjar ludah) (iii) Merogoni (reproduksi aseksual pada inang vertebrata) (Homer et al. 2000). Caplak yang terinfeksi Babesia sp. akan menggigit mamalia, sporozoit akan masuk melalui kelenjar ludah caplak dengan cepat penetrasi ke dalam eritrosit mamalia. Parasit akan tumbuh di dalam butir darah merah berubah menjadi bentuk tropozoit. Tropozoit berdiferensiasi dan bertunas dua atau empat membentuk merozoit. Merozoit yang sudah tumbuh penuh dengan ukuran panjang 1-5 m parasit tersebut akan merusak butir darah merah kemudian pindah ke butir darah merah yang baru. Siklus ini terus berlanjut sampai infeksi yang terjadi tidak terkontrol lagi dan mamalianya mati. Ketika caplak menghisap darah inang yang mengandung parasit, sebagian merozoit akan rusak di dalam saluran pencernaan caplak sedangkan sebagian merozoit lain berubah menjadi gametosit akan matang dan menjadi jantan dan betina yang akan fusi dan membentuk zigot (ookinet) yang motil. Gametosit yang berkembang di dalam eritrosit induk semang (sapi) akan berbentuk oval atau bulat yang pada saat tertentu akan berhenti tumbuh. Gametosit adalah prekursor pada saat perkembangan seksual parasit yang akan memperbanyak diri di dalam caplak (tick). Zigot akan menjadi ookinet yang bermigrasi ke hemolymph dan kemudian masuk ke berbagai organ caplak, kadang

  • ke dalam telur caplak yang akan diturunkan ke generasi selanjutnya melalui transovarial transmission. Ookinet yang lain akan menjadi oosit yang mengandung sporozoit di dalam kelenjar ludah caplak. Sporozoit dalam kelenjar ludah akan memindahkan penyakit ke induk semang sapi melalui gigitannya (Acha et al. 1980).

    Waktu yang diperlukan Babesia sp dari mulai menginfeksi sampai terlihat diperedaran darah adalah 7-10 hari (Schuster 2002).

    Keterangan : A. Sporozoit masuk ketika menghisap darah inang Vetebrata

    B. Piroplasma membelah (binary fission) di dalam eritrosit

    C. Piroplasma teringesti ketika caplak mengingesti eritrosit inang vertebrata

    D. Schizogoni dalam epithe- lium intestinal caplak

    E. Generasi ke dua schizogoni dalam epithelium caplak

    F. Transmisi Transovari G. Gamogoni dalam epithelium

    intestinal caplak H. Fertilisasi (Fusi gamet) i. Zigot berkembang menjadi

    oosit bersporulasi. Sporo -zoit keluar dan bermigrasi ke kelenjar ludah

    Gambar 2 Siklus Hidup Babesia sp.(Anonim 2007)

    Patogenesa

    Babesia sp. merupakan parasit di dalam butir darah merah (intraeritrosit). Pada fase eksoeritrositik tidak ada keluhan dan gejala seperti yang terjadi pada malaria. Parasit Babesia berbiak secara aseksual, dengan tumbuh di dalam Butir Darah Merah, biasanya menjadi 2 - 4 tunas. Bila butir darah merah yang terinfeksi pecah, parasit menginfeksi butir darah merah lain dan memulai siklus baru. Faktor

  • yang paling penting dalam Babesiosis adalah invasi dan kerusakan eritrosit oleh parasit (Mc Cosker 1981, diacu dalam Anonim 2005). Kerusakan eritrosit tersebut akan menyebabkan gejala seperti hemoglobinemia, hemoglobinuria dan kuning (jaundice), babesiosis pada hewan berlangsung menahun setelah terjadi gejala akut karena parasit mampu mengubah spesifisitas antigen di permukaan sel hingga berubah kepekaannya terhadap antibodi (Lubis 2006).

    Penularan

    Babesia ditularkan secara alamiah oleh Ixodes, caplak berkulit keras. Parasit tertelan oleh caplak saat mengisap darah. Parasit selanjutnya memperbanyak diri di dalam sel epitel saluran cerna yang kemudian menyebar ke seluruh tubuh caplak Babesia menginvasi indung telur caplak kemudian melalui telur, parasit berada di dalam larva (transovarial transmission)(Lubis 2006).

    Boophilus microplus adalah vektor babesiosis di Australia dan infeksi menyebar di area yang endemik caplak (Steward et al. 1986). Vektor tick fever sangat berperan dalam kejadian penyakit, ada tiga jenis organisme yang dapat ditularkan oleh Boophilus microplus yaitu Babesia bovis, Babesia bigemina dan Anaplasma marginale (Jonsson et al. 2008). Menurut Wilson dan Ronohardjo (1984) diacu dalam Sukanto et al. (1993), Boophilus microplus adalah vektor primer dari Babesia bovis, Babesia bigemina dan Anaplasma marginale di Indonesia. Penelitian terhadap caplak dilakukan di Switzerland, caplak dikoleksi dan sebanyak 700 caplak di analisa dengan metode PCR untuk mendeteksi adanya Babesia sp., didapatkan sebanyak 26 positif Babesia sp. Caplak-caplak tersebut dikoleksi tidak hanya dari ruminansia domestik tetapi juga dari ruminansia liar (Hilpertshauser et al. 2006).

    Diagnosis Pemeriksaaan terhadap Babesia sp. dapat menggunakan pemeriksaaan mikroskopis yaitu dengan preparat ulas darah tipis yang diambil dari ujung telinga sapi kemudian difiksasi dengan methyl alkohol dan diwarnai dengan pewarnaan giemsa selama 45 menit. Cuci dengan air kemudian keringkan pada

  • suhu ruang. Periksa dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000 x. Metode lain yang dapat digunakan yaitu Indirect Immunoflourescent Antibody Assay yang belakangan ini digunakan untuk pemeriksaan pada manusia (Sevinc et al. 2001, Lubis 2006).

    Pemeriksaan Polymerase Chains Reaction (PCR) dilakukan untuk diagnostik penyakit tetapi tidak dapat membedakan infeksi khronis atau akut. Enzim Linked Immunosorbent Assay (ELISA) immunoglobulin M (IgM), pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, urinalisis dan direct combs dilakukan untuk membantu diagnosa (Hedayati 2007).

    Gambaran Darah pada Sapi Babesiosis Babesia bigemina dan Babesia bovis adalah parasit protozoa intra eritrositik yang dapat menyebabkan anemia karena terjadi kerusakan eritrosit (Goes et al. 2007). Jumlah eritrosit dapat menurun sampai 2.1 x 106/mm3. Penurunan kadar PCV dan hemoglobin juga terjadi. PCV dapat turun hingga 20% pada infeksi B. bigemina. Jumlah leukosit mulai turun (lekopenia) sampai 8 juta/mm3 lalu naik sampai 33.600/mm3 (lekositosis) (Mahoney 1979, diacu dalam Astyawati 1987).

    Anemia dipercaya bertanggung jawab terhadap gejala klinis yang muncul pada hewan ataupun manusia yang terinfeksi Babesia sp. Butir Darah Merah akan rusak ketika merozoit terlepas yaitu sesudah tahap merogony. Mekanisme perusakan anemia tidak diketahui secara pasti, secara teori disebutkan immune mediated hemolytic anemia disebabkan cairan antigen parasit (soluble parasite antigen) berikatan dengan permukaan Butir Darah Merah baik melalui antibodi atau complement mediated hemolysis (Homer et al. 2000). Anemia terjadi karena adanya kerusakan pada eritrosit yang tidak terinfeksi (non infected erytrocyte) yang disebabkan oleh antibodi antieritrosit yang banyak ditemukan pada serum sapi terinfeksi (Goes et al. 2007). Babesia adalah organisme yang mudah menyesuai-kan diri dan beradaptasi pada inang vertebrata. Hampir disetiap kasus yang diuji, hewan-hewan akan membentuk proteksi respon imun setelah terjadinya infeksi atau pada tahap penyembuhan dan imunisasi. Protektif immun respon tersebut tidak dapat mencegah infeksi berulang tetapi menurunkan derajat

  • parasitemia, morbiditas dan mortalitas ketika terjadi paparan berulang parasit (Homer et al. 2000). Kekebalan silang (Cross immunity) diantara spesies Babesia yang berbeda juga sudah dipelajari, Wright et al. (1987) diacu dalam Geleta (2005) melaporkan imunitas B. bigemina juga dapat melindungi sapi terhadap infeksi B. bovis (cross protected).

    Pencegahan dan Kontrol Kontrol terhadap babesiosis yaitu dengan kombinasi antara kontrol terhadap penyakit dan vektor caplak. Kontrol terhadap caplak dilakukan dengan spray dan dipping yang banyak dilakukan di area endemik. Akarisida yang digunakan seperti komponen pyrethoids, amitraz dan beberapa organophosphate. Dipping yang dilakukan pada area terinfeksi berat periodik 4-6 minggu sekali. Pada area endemik caplak peternak mengganti memelihara bangsa sapi dengan Bos indicus karena jenis sapi ini lebih resisten terhadap infeksi caplak. Vaksin terhadap babesiosis juga dapat digunakan dan efektifitasnya cukup tinggi (Anonim 2000). Vaksinasi terhadap sapi impor sebaiknya dilakukan di negara asal (Payne et al. 1989). Vaksinasi menggunakan parasit hidup yang dilemahkan berhasil dilakukan pada beberapa negara seperti Argentina, Brazil, Israel, Afrika selatan dan Uruguay (Anonim 2005).

    Babesiosis di Indonesia Babesiosis pertama kali dilaporkan di Indonesia selama terjadinya wabah Texas fever pada tahun 1896 (De does 1905, diacu dalam Sukanto et al. 1993). Pada tahun 1982 dilaporkan 710 kasus, tahun 1983 dilaporkan 3.563 kasus sedangkan pada tahun 1984 meningkat menjadi 5.579 kasus (Anonim 1986, diacu dalam Astyawati 1987). Dalam Payne et al. (1988) dilakukan penelitian terhadap sampel darah sapi dan kerbau lokal dan impor di daerah Aceh, Yogyakarta dan Garut dengan menggunakan uji ELISA untuk mendeteksi Trypanosoma evansi, Babesia bovis, dan Anaplasma marginale. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Aceh merupakan daerah endemik terhadap ketiga parasit tersebut. Pada Kerbau Lokal di daerah Yogyakarta dan garut ditemukan positif terhadap Trypanosoma evansi .

  • Wabah akibat penyakit haemoparasitik sangat jarang terjadi di Indonesia, walaupun terdapat laporan morbiditas dan mortalitas sapi di Sumatra Barat dan Aceh mengindikasikan Babesia, Trypanosoma dan Anaplasma memungkinkan sebagai faktor penyebab. Investigasi dilakukan dengan menggunakan metode Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) untuk mendeteksi antibodi Babesia (Sukanto et al. 1993). Sebanyak 1448 sampel serum dikoleksi dari sapi berbagai umur dan bangsa di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Sumba dan Timor. Rata-rata prevalensi antibodi keseluruhan 96% yang mengindikasikan area yang disurvey adalah endemik Babesia bovis. Tercatat terjadi peningkatan rata-rata prevalensi antibodi sesuai dengan umur (Sukanto et al. 1993). Prevalensi Babesia bigemina di Kalimantan Selatan yaitu 23,7%, Jika diamati berdasarkan bangsa sapi maka diperoleh prevalensi Babesia bigemina pada sapi Brahman 33,8%, pada sapi Bali 30,5%, pada sapi Sahiwal Cross 15,8%, pada Sapi lokal 29,8% dan sapi Peranakan ongole (PO) 14,3% (Siswansyah 1990).

    Babesiosis di Australia Tick fever adalah penyakit penting di dunia peternakan Australia dengan 7 juta sapi berpotensi untuk terpapar pada daerah endemik. Mortalitas yang terjadi akibat anaplasmosis dan babesiosis di Australia pada tahun 1998 menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 22 juta dollar selain biaya pembelian desinfektan untuk akarisida dan vaksin sebesar 8,5 juta dolar (Bock dan Vos 2001), sedangkan menurut Jonsson et al. 2001 biaya yang dikeluarkan oleh industri susu Queensland untuk mengatasi caplak di sapi adalah 4.096.000$, 49% adalah biaya untuk kontrol penyakit sedangkan 51% akibat kehilangan produksi. Infeksi yang disebabkan oleh Babesia bovis, Babesia bigemina dan Anaplasma marginale juga sangat berpotensi menyebar pada saat ekspor ke negara Asia bagian barat daya dimana parasit tersebut endemik (Bock dan Vos 2001). Tick-borne disease pada sapi di Australia yang paling banyak terjadi adalah babesiosis yang disebabkan oleh Babesia bigemina dan Babesia bovis, dengan satu-satunya vektor yaitu Boophilus microplus. Caplak sapi Boophilus microplus pertama kali masuk bagian utara Australia. Distribusi dari caplak sapi tersebut (termasuk penyakit yang menyertainya) ditentukan oleh faktor iklim.

  • Boophilus microplus membutuhkan kelembaban yang tinggi dan temperatur 15 20oC untuk bertelur dan menetas, yaitu di bagian utara dan utara barat Australia. Penelitian menyebutkan Insidensi penyakit di Queensland sekitar 75% wabah babesiosis disebabkan oleh B. bovis, 5 10% oleh B. bigemina. Distribusi babesiosis di daerah endemik tidak seragam, diagnosa babesiosis banyak dijumpai di Queensland selatan pada musim gugur ketika aktifitas caplak pada puncaknya. Dalam rangka pencegahan terhadap babesiosis dilakukan vaksinasi. Vaksinasi telah dilakukan lebih dari satu abad. Vaksin ini mengandung strain B. bovis dan B. bigemina dan Anaplasma marginale yang telah dilemahkan dan ditumbuhkan pada sapi splenektomi dan telah digunakan di Australia sejak tahun 1964. Penggunaan vaksin pada area endemik tersebut merupakan strategi manajemen resiko yang berdasarkan pada kecenderungan pendedahan (likelihood of exposure). Vaksinasi yang direkomendasikan yaitu dosis tunggal pada umur 6 9 bulan akan menghasilkan proteksi yang kuat dan waktu yang panjang. Vaksinasi yang dapat digunakan yaitu vaksin trivalent (mengandung B. bovis, B. bigemina dan A. marginale atau bivalen (mengandung B. bovis dan A. marginale). Trivalent vaksin lebih direkomendasi untuk bangsa Bos taurus, sapi pemacek/bibit dan sapi yang original berasal dari daerah yang bebas caplak, sedangkan bivalent vaksin untuk Bos indicus, dan cross breed di area yang terinfeksi caplak (Bock dan Vos 2001).