3. Tinjauan Pustaka EDEMA
-
Upload
mochammad-adam-eldi -
Category
Documents
-
view
57 -
download
2
description
Transcript of 3. Tinjauan Pustaka EDEMA
BAB I
PENDAHULUAN
Edema atau sembab adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara
sel-sel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh. Edema terjadi karena
meningkatnya volume cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler (cairan intestinum)
yang disertai dengan penimbunan cairan abnormal dalam sela-sela jaringan dan
rongga serosa (jaringan ikat longgar dan rongga-rongga badan). Edema dapat bersifat
lokal dan umum (general).
Cairan edema bersifat transudat, memiliki berat jenis dan kadar protein
rendah, jernih tidak berwarna atau kekuningan dan merupakan cairan yang encer atau
mirip gelatin bila mengandung di dalamnya sejumlah fibrinogen plasma.
Pretest kali ini akan membahas tentang definisi edema, penyebab yang dapat
menimbulkan edema, mekanisme terjadinya serta cara mendiagnosis edema.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Edema adalah peningkatan volume cairan interstitial yang tampak secara klinis.
Peningkatan volume ini dapat mencapai beberapa liter sebelum kelainan tampak.
Karena itu, penambahan berat badan beberapa kilogram biasanya mendahului
manifestasi edema, dan diuresis dapat menginduksi kehilangan berat badan dalam
jumlah yang sama pada pasien edema ringan sebelum mencapai “berat badan kering”.
Asites dan hidrotoraks diartikan sebagai akumulasi cairan berlebihan dalam rongga
peritoneum dan rongga pleura. Kedua keadaan ini dianggap sebagai bentuk khusus
dari edema. Anasarka adalah edema seluruh tubuh yang tampak mencolok.
Menurut penyebab dan mekanisme terjadinya, edema dapat terlokalisir atau
generalisata. Edema tampak sebagai bengkak di wajah, biasanya tampak paling jelas
di daerah periorbital, dan adanya indentasi kulit setelah penekanan, hal ini dikenal
sebagai “pitting” edema. Edema yang tersamar (sangat minimal), dapat dideteksi
dengan stetoskop seperti pada pemeriksaan auskultasi di dada. Setelah stetoskop
diangkat dari dinding dada, bell stetoskop akan membekas dan tampak sebagai
indentasi di kulit dada berbentuk lingkaran bell stetoskop. Edema dapat juga dideteksi
dari keluhan pasien, misalnya cincin yang menjadi sempit, atau kesulitan memakai
sepatu.
II.2 Patofisiologi
Sekitar sepertiga dari volume cairan tubuh total berada dalam ruang
ekstraseluler. Kira-kira 25% dari jumlah tersebut adalah plasma, dan sisanya berupa
cairan interstitial.
Hukum Starling
Hukum Starling sering dianggap sebagai kekuatan yang mengatur perpindahan
kedua komponen cairan di ruang ekstraseluler. Tekanan hidrostatik dalam sistem
vaskuler dan tekanan onkotik koloid dalam cairan interstitial cenderung mendorong
perpindahan cairan dari vaskuler ke ruang ekstravaskuler. Sebaliknya, tekanan
onkotik koloid dari protein plasma dan tekanan hidrostatik dalam cairan interstitial,
2
seperti pada tekanan jaringan, mendorong perpindahan cairan ke dalam ruang
vaskuler. Akibatnya, terjadi perpindahan air dan diffusible solutes dari ruang vaskuler
pada akhiran arteriolar kapiler.
Cairan akan masuk kembali ke sistem vaskuler pada akhir vena kapiler dan
sistem llimfatik. Aliran limfatik cenderung untuk meningkat dengan adanya
peningkatan jumlah perpindahan cairan dari ruang vaskuler ke interstitium, kecuali
jika terdapat obstruksi. Aliran ini biasanya setimbang, sehinga terdapat keadaan yang
stabil dalam ruang intravaskuler dan interstitial, dan timbul pertukaran cairan antara
kedua ruang tersebut. Meskipun demikian, bila terjadi perubahan yang signifikan pada
gradien tekanan hidrostatik atau onkotik, akan terjadi lebih banyak perpindahan cairan
ekstraseluler (komponen plasma dan cairan interstitial). Terjadinya edema tergantung
pada perubahan satu atau lebih hukum starling yang menyebabkan peningkatan aliran
cairan dari sistem vaskuler ke dalam interstitium atau rongga tubuh.
Edema yang berhubungan dengan peningkatan tekanan kapiler mungkin
disebabkan oleh peningkatan tekanan vena akibat adanya obstruksi drainase vena.
Peningkatan tekana kapiler ini dapat terjadi di seluruh tubuh, seperti pada gagal
jantung kongestif. Kekuatan Starling dapat menjadi tidak seimbang apabila tekanan
onkotik koloid plasma menurun. Penurunan ini disebabkan oleh faktor-faktor yang
menginduksi terjadinya hipoalbuminemia, seperti kelebihan NaCl, malnutrisi,
penyakit hepar, terbuangnya protein melalui urine atau traktus gastrointestinal, atau
keadaan katabolik berat.
Kerusakan Kapiler
Edema dapat terjadi akibat kerusakan endotel kapiler, yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas sehinga memungkinkan perpindahan protein ke ruang
interstitial. Kerusakan dinding kapiler dapat disebabkan oleh obat-obatan, agen-agen
virus atau bakteri, dan trauma termal maupun mekanis. Peningkatan permeabilitas
dapat juga disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas yang merupakan karakteristik dari
kerusakan sistem imun. Kerusakan endotel kapiler diduga merupakan penyebab
terjadinya edema inflamatorial. Edema ini biasanya nonpitting, terlokalisir, dan
disertai gejala-gejala inflamasi lainnya seperti kulit kemerahan, panas, dan nyeri.
Untuk menyusun hipotesis mengenai patofisiologi keadaan edematuos, hal
penting yang harus diperhatikan adalah membedakan antara kejadian primer dan
konsekuensi sekunder yang sudah diprediksi sebelumnya. Kejadian primer antara lain
3
adalah: obstruksi vena atau limfatik yang terlokalisir maupun generalisata, penurunan
curah jantung, hipoalbuminemia, cairan yang terjebak di rongga tertentu seperti
rongga pleura atau peritoneum, atau adanya peningkatan permeabilitas kapiler.
Sedangkan konsekuensi sekunder misalnya retensi garam dan air di ginjal dalam
rangka mempertahankan volume plasma yang menurun seperti pada obstruksi vena.
Baik kejadian primer maupun konsekunsi sekunder, keduanya memiliki kontribusi
dalam pembentukan edema. Pada beberapa kasus, kejadian primer berupa retensi
garam dan air di ginjal, misalnya pada gagal ginjal, sindroma nefrotik,
glomerulonefritis, dan kegagalan fungsi hati tahap awal.
Penurunan Volume Arteri Efektif
Pada banyak jenis edema, volume arteri efektif berkurang, dan sebagai
konsekuensinya terjadi respon fisiologis yang dirancang untuk mengembalikan
volume tersebut kembali normal. Kunci dari respon ini adalah retensi garam dan air,
yang pada prinsipnya dikerjakan oleh tubulus renalis proksimal. Dalam banyak
keadaan, respon ini berhasil memperbaiki volume arteri efektif, seringkali bahkan
tanpa diikuti pembentukan edema. Apabila retensi garam dan air tidak memadai
untuk mengembalikan dan mempertahankan volume darah arteri efektif, retensi tetap
berlanjut, dan akhirnya terbentuk edema. Keadaan tersebut juga berlaku pada
dehidrasi dan perdarahan. Walaupun pada kedua kondisi tersebut terjadi penurunan
volume darah efektif arteri, termasuk penurunan ekskresi garam dan air, namun
karena keseimbangan garam dan air negatif, maka tidak terjadi edema. Pada hampir
semua keadaan yang menyebabkan terjadinya edema, mekanisme yang bertanggung
jawab mempertahankan osmolalitas efektif yang normal dalam cairan tubuh bekerja
secara efisien, sehingga retensi garam akan mendorong timbulnya rasa haus dan
sekresi hormon antidiuretik. Pada status edematous, ekspansi isotonis dari cairan
ekstraseluler dapat terjadi dengan masif, sedangkan volume cairan intraseluler tidak
berubah.
Penurunan Curah Jantung
Penurunan curah jantung, apapun penyebabnya, disertai dengan berkurangnya
volume darah arteri efektif dan juga aliran darah renal, konstriksi arteri-arteri renalis,
dan peningkatan fraksi filtrasi. Pada gagal jantung yang berat, terjadi reduksi tingkat
filtrasi glomerulus. Vasokonstriksi tersebut disebabkan oleh aktivasi sistem saraf
4
simpatis dan sistem renin angiotensin. Agen penghambat -adrenergik dan/atau
penghambat ACE yang meningkatkan aliran darah renal dan menginduksi diuresis
membantu kedua sistem ini dalam meningkatkan resistensi vaskuler dan retensi garam
dan air.
Faktor Renal
Penurunan curah jantung mengurangi volume darah arteri efektif. Terjadi
peningkatan reabsorpsi tubuler dari filtrasi glomerulus di tubulus proksimal dan distal.
Perubahan hemodinamik intrarenal tampaknya memegang peranan yang signifikan.
Gagal jantung dan beberapa keadaan lain seperti sindroma nefrotik dan sirosis hepatis
yang mengurangi volume darah efektif arteri, menyebabkan konstriksi arteriol renalis
eferen. Hal ini, selanjutnya akan menurunkan tekanan hidrostatik, sedangkan
fpeningkatan fraksi filtrasi akan meningkatkan tekanan osmotik koloid di kapiler
peritubulus, akibatnya akan menambah reabsorpis garam dan air di tubulus proksimal
dan pada lengkung henle asenden.
Selain itu, penurunan aliran darah renal merangsang sel-sel jukstaglomerulus
mengirim sinyal untuk meningkatkan pelepasan renin. Mekanisme yang mengatur
pelepasan tersebut meliputi respon baroreseptor, penurunan perfusi renal, dan
berukurangnya regangan dari sel-sel jukstaglomerulus, suatu sinyal yang
menyebabkan peningkatan atau pelepasan renin, atau keduanya. Mekanisme kedua
yang mengatur pelepasan renin melibatkan makula densa; sebagai akibat dari
menurunnya filtrasi glomerulus, natrium klorida yang dapat mencapai tubulus distal
menjadi berkurang. Keadaan ini tercium oleh makula densa, yang akan mengirim
sinyal ke sel-sel jukstaglomerulus yang berdekatan untuk mensekresi renin.
Mekanisme ketiga melibatkan sistem saraf simpatis dan katekolamin dalam sirkulasi.
Aktivasi reseptor -adrenergik pada sel jukstaglomerulus akan merangasang
pelepasan renin. Ketiga mekanisme ini secara umum bekerja simultan.
SIstem Renin Angiostensisn Aldosteron (RAA)
Renin, bekerja pada substratnya, yaitu angiotensinogen, untuk melepaskan
angiontensin I, yang akan dipecah menjadi angiotensin II (AII). Sistem ini
menyebabkan vasokonstriksi; khususnya bekerja pada arteriol eferen dan secara
independen meningkatkjan reabsorpsi natrium di tubulus proksimal. Sistem RAA
telah lama diketahui sebagai sistem hormonal. Meskipun begitu, sistem ini juga
5
bekerja secara lokal. AII yang diproduksi baik di sirkulasi maupun intrarenal
mempunyai andil dalam vasokostriksi renal dan retensi garam dan air. Efek AII
terhadap renal ini diperantarai oleh akivasi reseptor AII tipe I, yang dapat dihambat
oleh antagonis spesifik seperti losartan. AII juga memasuki sirkulasi dan merangsang
produksi aldosteron oleh zona glomerulosa di korteks adrenal. Pada pasien dengan
gagal jantung, tidak hanya terjadi peningkatan sekresi aldosteron, tapi juga terjadi
perpanjangan waktu paruh biologis aldosteron, yang akan meningkatakan kadar
hormon ini dalam plasma. Depresi aliran darah hepatik sekunder terhadap penurunan
curah jantung, khususnya selama olah raga, bertanggung jawab terhadap penurunan
katabolisme aldosteron di hepar. Aldosteron, selanjutnya, meningkatkan reabsopsi
natrium (dan ekskresi kalium) oleh colecting tubule. Aktivasi sistem RAA terjadi
paling mencolok pada fase awal gagal jantung akut yang berat, dan intensitasnya
berkurang pada pasien dengan gagal jantung kronis yang stabil dan terkompensasi.
Walaupun peningkatan kuantitas aldosteron terjadi pada gagal jantung dan
keadaan status edematous lain, dan walaupun pengambatan kerja aldosteron oleh
spironolakton seringkali menyebabkan diuresis sedang, peningkatan kadar aldosteron
(atau mineralokortikoid lain) yang persisten saja tidak selalu menyebabkan akumulasi
edema. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi pada sebagian besar pasien
aldosteronisme, di mana tidak terjadi retensi cairan secara mencolok. Selain itu,
walaupun individu normal yang mengkonsumsi mineralokortikoid poten seperti
deoksikortikosteron asetat atau fludokortison meretensi sejumlah garam dan air,
akumulasi ini akan berhenti dengan sendirinya, kecuali jika konsumsi steroid
dilakukan terus menerus (dikenal sebagai fenomena “mineralokortikoid escape”).
Edema yang terjadi pada individu yang mengkonsumsi mineralokortikoid dalam dosis
besar kemungkinan disebabkan oleh peningkatan filtrasi glomerulus (menghambat
natriuresis) dan aksi substansi natriuretik. Sekresi aldosteron terus menerus mungkin
berperan penting dalam akumulasi cairan pada status edematous, karena pasien
dengan edema sekunder terhadap gagal jantung, sindroma nefrotik, dan sirosis
biasanya tidak mampu memperbaiki defisit volume darah arteri efektif. Sebagai
konsekuensinya, keadaan tersebut tidak menyebabkan terhambatnya natriuresis.
Penghambatan sistem RAA, dengan menghambat reseptor AII atau ACE, akan
menurunkan resistensi arteriol efferen dan meningkatkan aliran darah renal. Aksi ini
(bekerja secara kombinasi pada pasien gagal jantung dengan peningkatan curah
jantung sekunder terhadap reduksi afterload), seperti halnya pada penurunan sekresi
6
aldosteron, akan menyebabkan diuresis. Namun, pada pasien dengan kerusakan fungsi
ginjal sedang atau berat, atau dengan stenosis arteri renalis, pengaruh sistem RAA
dapat menyebabkan retensi garam yang paradoks akibat memburuknya kerusakan
fungsi ginjal.
Arigin Vasopresin (ACP) dan Endotelin
Sekresi AVP terjadi sebagai respon terhadap peningkatan konsentrasi
osmolalitas seluler. Sekresi AVP juga terjadi akibat stimulasi reseptor-reseptor V2
yang akan meningkatkan reabsorpsi air di tubulus renalis distal dan collecting tubule,
sehingga meningkatkan volume air tubuh total. Pada sejumlah pasien dengan gagal
jantung terjadi peningkatan AVP sekunder terhadap stimulus nonosmotik yang
disertai dengan pnurunan volume darah efektif arteri. Pasien seperti ini mengalami
penurunan AVP yang abnormal sehingga terjadi penurunan osmolalitas yang
menyebabkan hiponatremia dan timbulnya edema.
Endotelin: Endotelin merupakan peptida vasokonstriktor yang poten,
dilepaskan oleh sel-sel endotel. Konsentrasi endotelin meningkat pada gagal
jantung yang kemudian berperan dalam vasokonstriksi renal, rentensi natrium,
dan pembentukan edema.
Peptida Natriuretik: Distensi atrium dan/atau pengisian natrium menyebabkan
pelepasan atrial natriuretic peptide (ANP) ke dalam sirkulasi. Prekursor ANP
tersimpan dalam granula sekretorik di dalam miosit atrium. Pelepasan ANP
menyebabkan: (1)ekskresi natrium dan air dengan cara meningkatkan filtrasi
glomerulus, menghambat reabsorpsi natrium di tubulus proksimalis, dan
mengambat pelepasan renin dan aldosteron; dan (2)dilatasi arteriol dan vena
dengan aksi antagonis dari AII, AVP, dan stimuasi simpatis. Selain itu, pada
keadaan hipervolemik, ANP memiliki kemampuan melawan retensi natrium
dan peningkatan tekanan arteri. Terdapat peptida natriuretik otak (BNP) yang
berhubungan erat dengan ANP dan memiliki aksi yang sama. BNP tersimpan
di miokardium ventrikel jantung dan dilepaskan ketika terjadi peningkatan
tekanan diastolik ventrikel. Kadar ANP dan BNP dalam sirkulasi meningkat
pada gagal jantung kongestif tapi tidak secara jelas memadai dalam mencegah
pembentukan edema. Bahkan, pada status edematous (khususnya gagal
jantung), terdapat resistensi yang abnormal tehadap aksi peptida natriuretik.
7
Tabel 1: Mekanisme, Fisiologi, dan Penyebab Edema
KLINIS FAKTOR YANG
BERPENGARUH
MEKANISME
Edema Lokal
Inflamasi
Thrombosis vena
dalam
Peningkatan Kf
Peningkatan perbedaan tek.
Hidrostatik
intra&ekstravaskular
Diperantarai sitokin
Obstruksi vena
Obstruksi limfe
Edema Generalisata
Sindrom nefrotik
GGA oliguria
Gagal Jantung
Kongestif
Sirosis Hepatitis
Kwashiorkor
Peningkatan Kf
Peningkatan perbedaan tek.
Hidrostatik
intra&ekstravaskular
Penurunan tek. Osmotic
Peningkatan perbedaan tek.
Hidrostatik
intra&ekstravaskular
Peningkatan perbedaan tek.
Hidrostatik
intra&ekstravaskular
Peningkatan perbedaan tek.
Hidrostatik
intra&ekstravaskular
Penurunan tek. osmotik
Peningkatan Kf
Penurunan tek. osmotik
Peningkatan perbedaan tek.
Hidrostatik
Diperantarai sitokin
Pelepasan aldosterone
Penurunan kadar albumin
Peningkatan volume darah
Penurunan curah jantung
diperantarai oleh: renin,
angiotensin, dan
aldosterone
Hipertensi portal
diperantarai oleh
aldosterone
Penurunan kadar albumnin
diperantarai oleh
prostaglandin, NO
Penurunan kadar albumin
Diperantarai renin,
8
Edema Idiopatik intra&ekstravaskular angiotensin, dan aldosteron
II.3 Etiologi
Obstruksi Drainase Vena (dan Limfatik) pada Ekstremitas
Pada keadaan obstruksi, tekanan hidrostatik dalam anyaman kapiler bagian hulu
dari obstruksi meningkat, sehingga cairan dalam jumlah abnormal berpindah dari
vaskuler ke ruang interstitial. Karena rute alternatif (yaitu limfatik) dapat juga
mengalami obstruksi, maka terjadi peningkatan volume cairan interstital di
ekstremitas (terdapat cairan terjebak dalam ekstremitas) yang menyebabkan edema
lokal. Keadaan tersebut akan mengurangi volume darah efektif arteri.
Apabila obstruksi vena dan limfatik terjadi pada sebelah ekstremitas, cairan
akan terakumulasi dalam interstitial, sehingga mengurangi volume plasma. Volume
plasma yang berkurang akan merangsang retensi garam dan air sampai defisist
volume plasma terkoreksi. Pada ekstremitas yang terkena akan terjadi regangan
jaringan sampai keseimbangan hukum Starling dapat dicapai, di mana tidak terjadi
lagi akumulasi cairan. Efek yang terjadi adalah peningkatan volume cairan interstitial
lokal. Keadaan yang sama terjadi pada asites dan hidrotoraks, di mana cairan terjebak
atau terakumulasi di dalam kavitas, mengurangi volume intravaskuler, dan
menyebabkan retensi garam dan air sekunder.
Gagal Jantung Kongestif
Pada kelainan ini, gangguan pengosongan pada saat sistolik dan/atau gangguan
relaksasi ventrikel menyebabkan akumulasi darah dalam jantung dan sirkulasi vena,
sehingga menurunkan volume arteri, dan mencetuskan berbagai keadaan yang telah
disebutkan di atas. Pada gagal jantung ringan, sedikit peningkatan volume darah total
dapat memperbaiki defisit volume arteri dan membentuk keadaan yang stabil. Melalui
kerja hukum Starling di jantung, peningkatan volume darah dalam ruang jantung
menyebabkan kontraksi jantung yang lebih kuat dengan demikian dapat
meningkatkan curah jantung. Namun, apabila gangguan jantung yang terjadi lebih
berat, retensi cairan tidak dapat memperbaiki defisit volume darah arteri. Volume
darah akan terakumulasi di sirkulasi vena, dan peningkatan tekanan hidrostatik di
kapiler dan limfatik menyebabkan pembentukan edema. Pada gagal jantung, reduksi
9
terjadi akibat penghambatan pusat vasomotor yang diperantarai oleh barorefleks. Hal
ini akan menyebabkan aktivasi saraf vasokonstriktor ginjal dan sistem RAA sehingga
terjadi retensi natrium dan air.
Pengosongan ventrikel yang tidak komplit (gagal jantung sistolik) dan/atau
relaksasi ventrikel yang tidak adekuat (gagal jantung diastolik), keduanya akan
menyebabkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel. Jika gangguan jantung
melibatkan ventrikel kanan, tekanan dalam vena sistemik dan kapiler dapat
meningkat, akibatnya akan mendorong transudasi cairan ke dalam ruang interstitial
dan memperburuk edema perifer. Peningkatan tekanan vena sistemik diteruskan ke
duktus torasikus dengan konsekuensi terjadinya penurunan drainase limfatik dan
akhirnya meningkatkan akumulasi edema.
Apabila gangguan fungsi jantung melibatkan ventrikel kiri, maka tekanan vena
pulmonalis dan kapiler meningkat, begitu juga dengan tekanan arteri pulmonalis.
Keadan ini selanjutnya akan mempengaruhi diastolik ventrikel kanan dan tekanan
vena sentral serta sistemik, sehingga menyebabkan pembentukan edema perifer.
Edema paru-paru mengganggu pertukaran gas sehingga dapat menginduksi hipoksia
yang akan memperburuk fungsi jantung lebih jauh lagi.
Sindroma Nefrotik dan Keadaan Hipoalbuminemia lainnya
Perubahan primer pada kelainan ini adalah menurunya tekanan onkotik koloid
yang disebabkan oleh hilangnya protein secara masif melalui urin. Hal ini mendorong
perpindahan cairan ke dalam interstitial, menyebabkan hipovolemia, dan mencetuskan
pembentukan edema sebagai konsekuensi dari berbagai peristiwa di atas, termasuk
aktivasi sistem RAA. Dengan adanya hipoalbuminemia berat dan penurunan tekanan
onkotik koloid, maka retensi garam dan air dalam kompartemen vaskuler tidak dapat
dipertahankan, akibatnya terjadi penurunan colume darah arteri total dan efektif,
sehingga stimulus untuk terjadinya retensi garam dan air tidak dapat dikurangi.
Peristiwa serupa terjadi pada keadaan lain yang menyebabkan hipoalbuminemia berat,
termasuk defisiensi nutrisi berat, enteropati yang disertai kehilangan protein,
hipoalbuminemia kongenital, dan penyakit hati kronis yang berat. Namun, pada
sindroma nefrotik, yang berperan dalam pembentukan edema adalah gangguan
ekskresi natrium di ginjal, walaupun tidak terjadi hipoalbuminemia berat.
Sirosis Hepatik
10
Kelaianan ini ditandai dengan adanya hambatan aliran vena hepatik, yang
selanjutnya menyebabkan ekspansi volume darah splanknik dan meningkatkan
pembentukan limf hepatik. Hipertensi intrahepatik yang terjadi bekerja sebagai
stimulus poten terhadap retensi natrium dalam ginjal dan mungkin terhadap
vasodilatasi sistemik serta penurunan volume darah arteri efektif. Perubahan-
perubahan ini seringkali disertai komplikasi berupa hipoalbuminemia sekunder untuk
mengurangi sintesis di hepar, yang akan menurunakan volumedarah arteri efektif
lebih jauh lagi. Akibatnya terjadiaktivasi sistem RAA oleh saraf simpatis renal dan
mekanisme retensi garam dan air lainnya. Konsentrasi aldosteron dalam sirkulasi
meningkat akibat kegagalan fungsi hati dalam metabolisme hormon ini. Pada
mulanya, kelebihan cairan interstitial terlokalisir di bagian hulu dari kongesti sistem
vena porta dan sumbatan limfatik hati, yaitu di rongga peritoneum. Pada tingkat
lanjut, khususnya jika telah terjadi hipoalbuminemia berat, dapat terbentuk edema
perifer. Produksi prostaglandin yang berlebihan pada sirosis akan mengurangi retensi
natrium. Apabila sintesis prostaglandin tersebut dihambat oleh agen antiinflamasi
nonsteroid, akan terjadi penurunan fungsi ginjal sehingga retensi natrium akan
meningkat.
Edema akibat Induksi Obat
Sejumlah besar obat-obatan yang selama ini telah dikonsumsi secara luas dapat
menyebabkan edema. Mekanisme terbentuknya edema meliputi vasokonstriksi renal
(agen antiinflamasi nonsteroid dan siklosporin), dilatasi arteriol (vasodilator),
peningkatan reabsorpsi natrium ginjal (hormon steroid) dan kerusakan kapiler
(interleukin-2).
Tabel 2. Obat-obatan yang Menyebabkan Edema
Obat antiinflamasi nonsteroid
Obat antihipertensi
Vasodilator arteri/arteriol direk
Minoksidil
Hidralazin
Kklonidin
11
Metildopa
Guanetidin
Antagonis Kalsium
Antagonis adrenergik
Hormon steroid
Glukokortikoid
Steroid anabolik
Estrogen
Progestin
Siklosporin
Growth hormone
Imunoterapi
Interleukin-2
OKT3 atibodi monoklonal
Edema Idiopatik
Sindroma ini sebagian besar timbul pada wanita, ditandai dengan episode edema
periodik (tidak berhubungan dengan siklus haid), seringkali disertai dengan distensi
abdomen. Perubahan berat badan diurnal terjadi akibat retensi ortostatik garam dan
air, sehingga berat badan penderita bertambah beberapa gram setelah berada dalam
posisi tegak selama beberapa jam. Adanya perubahan berat diurnal yang besar pada
berat badan diduga akibat peningakatan permeabilitas kapiler yang tampaknya
berfluktuasi dalam derajat dan diperberat dengan cuaca panas. Terdapat beberapa
bukti yang menunjukkan bahwa terjadi reduksi volume plasma pada kondisi ini
disertai dengan aktivasi sekunder sistem RAA dan gagalnya supresi pelepasan AVP.
Edema idiopatik harus dibedakan dari edema siklikal atau premenstrual, di mana
retensi garam dan air yang terjadi mungkin sekunder akibat stimulasi estrogen
berlebihan. Terdapat juga beberapa kasus di mana edema yang terjadi tampaknya
diinduksi oleh diuretik. Konsumsi diuretik secara kronis akan sedikit menurunkan
volume darah sehingga menyebabkan hiperreninemia dan hiperplasia
jukstaglomerulus. Sedangkan efek langsung dari diuretik adalah kompensasi
12
berlebihan dari mekanisme retensi garam, sehingga bila konsumsi diuretik dihentikan
tiba-tiba, kekuatan untuk melawan retensi garam akah hilang, terjadi retensi cairan,
akhirnya terbentuk edema. Telah dilaporkan terjadinya penurunan aktivitas dopamin
dan kalikrein urin, serta eksresi kinin dalam kondisi tersebut, dan mungkin berperan
penting dalam patogenesis.
II.4 Diagnosis Banding
Edema terlokalisir biasanya dapat segera dibedakan dari edema generalisata. Sebagian
besar edema generalisata diderita oleh pasien dengan gangguan jantung, ginjal, hati,
atau nutrisional tingkat lanjut. Karena itu, diagnosis banding edema generalisata
seharusnya ditujukan langsung terhadap identifikasi atau eksklusi beberapa keadaan
berikut ini.
Edema Terlokalisir: Edema akibat inflamasi atau hipersensitivitas biasanya
dapat segera diidentifikasi. Edema terlokalisir yang berhubungan dengan
obstruksi vena atau limfatik dapat disebabkan oleh tromboflebitis, limfangitis
kronis, reseksi nodus limfatikus regional, filariasis, dll. Limfedema secara
khusus dapat dikenali, karena restriksi aliran limfatik akan menyebabkan
peningkatan konsentrasi protein dalam cairan interstitial, suatu keadaan yang
memperberat retensi cairan.
Tabel 3. Diagnosis Banding Edema Generalisata
JANTUNG HATI GINJAL
ANAMNESIS
Dispnea akibat
aktivitas fisik
(utama) -sering
disertai dengan
ortopnea atau
PND
Dispnea jarang
terjadi, kecuali bila
disertai dengan
asites yang
signifikan; tersering
ada riwaya
penyalahgunaan
etanol
Biasanya kronis : dapat
disertai dengan tanda
dan gejala uremia.
Dispnea dapat terjadi
tapi biasanya kurang
menonjol dibandingkan
pada gagal jantung.
13
PEMERIKSAAN
FISIK
Peningkatan JVP,
S3 gallop:
kadangkala
dengan denyut
apikal diskinetik
atau displaced;
sianosis perifer,
ekstremitas
dingin, tekanan
nadi lemah bila
berat
Sering disertai
dengan asites; JVP
normal atau rendah;
tekanan darah lebih
rendah daripada
penyakit jantung
atau ginjal; mungkin
terdapat satu atau
lebih tanda
tambahan penyakit
hati kronis
Tekanan darah mungkin
naik, retinopati
hipertensif atau diabetik
pada kasus tertentu;
fetor nitrogen; edema
periorbital dapat
menonjol; pericardial
frkction rub pada kasus
tingkat lanjut dengan
uremia.
LABORATORIUM
Sering terjadi
peningkatan urea
nitrogen terhadap
rasio kreatinin;
peningkatan asam
urat; natrium
serum sering
menurun; enzim-
enzim hati
biasanya
meningkat dengan
kongesti hati.
Apabila berat, terjadi
reduksi serum
albumin, kolesterol,
dan protein hepatik
lainnya; enzim hati
meningkat
tergantung pada
penyebab dan
akutnya kerusakan
hati; tendensi
terhadap
hipokalemia,
alkalosis respiratoir,
makrositosis akibat
defisiensi folat.
Albuminuria,
hipoalbuminemia;
kadangkala serum
kreatinini dan urea
nitrogen meningkat;
hiperkalemia, asidosis
metabolik,
hiperfosfatemia,
hipokalsemia, anemia
(biasanya normositik).
Edema pada Gagal Jantung: Adanya penyakit jantung, yang dimanifestasikan
dengan pembesaran jantung dan iirama gallop, bersama dengan adanya bukti-
bukti gagal jantung seperti dipnea, rale basiler, distensi vena, dan
hepatomegali, biasanya merupakan indikasi bahwa edema berasal dari gagal
jantung.
14
Edema pada Sindroma Nefrotik: Sindroma nefrotik ditandai dengan
proteinuria yang menonjol (>3,5 g/dL), hipoalbuminemia (<35 g/L), dan pada
beberapa keadaan terdapat hiperkolesterolemia. Sindroma ini dapat timbul
dalam berbagai penyakit ginjal, termasuk glomerulonefritis,
glomerulosklerosis diabetik, dan reaksi hipersensitivitas.
Edema pada Glomerulonefritis Akut dan Jenis Gagal Ginjal Lainnya:
Edema yang timbul pada fase akut glomerulonefritis secara khas ditandai
dengan hematuria, proteinuria, dan hipertensi. Walaupun beberapa bukti
memperkuat pendapat bahwa retensi cairan disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas kapiler, namun pada sebagian besar kasus edema berasal dari
retensi primer garam dan air oleh ginjal sebagai konsekuensi dari insufisiensi
ginjal. Keadaan ini berbeda dengan gagal jantung kongestif yang ditandai
dengan curah jantung normal (bahkan kadangkala meningkat) dan perbedaan
oksigen arterial-mixed venous yang normal. Hasil rontgen dada pasien dengan
edema akibat gagal ginjal biasanya menunjukkan adanya kongesti paru-paru
sebelum pembesaran jantung terjadi secara signifikan. Namun biasanya tidak
terdapat ortopnea. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal kronis juga dapat
mengalami edema akibat retensi primer garam dan air.
Edema pada Sirosis: Terdapatnya asites dan bukti-bukti klinis maupun
biokimiawi atas penyakit hati merupakan karakteristik edema yang berasal
dari penyakit hati. Asites seringkali refrakter terhadap terapi karena
disebabkan oleh kombinasi antara obstruksi drainase limfatik hati, hipertensi
portal, dan hipoalbuminemia. Edema dapat juga timbul di bagian tubuh yang
lain sebagai akibat dari hipoalbuminemia. Akumulasi cairan asites dalam
jumlah tertentu dapat meningkatkan tekanan intraabdomen dan mengganggu
aliran balik vena dari ekstremitas bawah, akibatnya terjadi edema di daerah
ini.
Edema Nutrisional: Defisiensi protein dalam diet dalam jangka waktu yang
lama dapat menyebabkan hipoproteinemia dan edema. Edema dapat diperberat
dengan timbulnya penyakit jantung beriberi, yang juga nutrisional, di mana
fistula arteriovenous perifer yang terjadi menyebabkan penurunan perfusi
15
sistemik efektif dan volume darah arteri efektif. Edema sebenarnya dapat
memburuk apabila pasien langsung diberi diet yang adekuat. Konsumsi
makanan yan glebih dari biasanya dapat meningkatkan kadar garam dalam
tubuh, yang nantinya akan diretensi bersama air. Suatu keadaan yang disebut
“refeeding edema” dihubungkan dengan peningkatan pelepasan insulin, yang
secara langsung meningkatan reabsorpsi natirum di tubulus. Selain
hipoalbuminemia, hipokalemia dan defisiensi kalori dapat menyebabkan
edema nutrisional.
Penyebab-penyebab Lain Edema: Penyebab lain edema termasuk
hipotiroidisme, di mana edema (myxedema) secara khas berlokasi di daerah
pretibia dan dapat disertai dengan sembab di periorbital. Hiperadrenokortisme
eksogen, kehamilan, dan konsumsi estrogen serta vasodilator, khususnya
antagonis kalsium (nifedipin), juga dapat menyebabkan edema.
Distribusi Edema: Distribusi edema merupakan penuntun yang penting dalam
menentukan penyebab edema. Edema yang terbatas pada satu tungkai atau sebelah
atau kedua lengan biasanya akibat obstruksi vena dan/atau limfatik. Edema yang
disebabkan oleh hipoproteinemia mempunyai karakteristik generalisata, tapi biasanya
tampak lebih menonjol di kelopak mata dan wajah, terutama pada pagi hari akibat
posisi berbaring selama malam hari sebelumnya. Penyebab edema fasial yang lebih
jarang adalah trichinosis, reaksi alergi, dan myxedema. Di lain pihak, edema yang
berhubungan dengan gagal jantung cenderung lebih menonjol di tungkai dan tampak
semakin besar di malam hari. Apabila pasien gagal jantung menjalani tirah baring,
edema tampak paling menonjol di daerah presacral. Edema unilateral biasanya berasal
dari lesi di sistem saraf pusat yang berdampak pada serat vasomotor pada salah satu
sisi tubuh. Paralisis juga menurunkan drainase limfatik dan vena pada sisi tubuh yang
terkena.
II.5. Faktor-faktor untuk Penegakan Diagnosis
Warna, ketebalan, dan sensitivitas kulit merupakan hal yang signifikan. Rasa
nyeri lokal dan peningkatan temperatur kemungkinan akibat inflamasi. Sianosis lokal
dapat memperkuat dugaan obstruksi vena. Pada individu yang mengalami episode
berulang edema dalam jangka waktu lama, kulit di atas area yang terkena dapat
16
menebal, terjadi indurasi dan seringkali kemerahan.
Pengukuran atau perkiraan tekanan vena juga penting dalam mengevaluasi
edema. Peningkatan pada bagian tubuh tertentu menunjukkan obstruksi vena.
Peningkatan tekanan vena di seluruh tubuh biasanya mengindikasikan gagal jantung
kongestif. Biasanya, peningkatan ini dapat ditunjukkan level terjadinya kolaps vena
servikal. Pada pasien dengan obstruksi vena cava superior, edema ditemukan di
wajah, leher, dan ekstremitas atas, di mana tekana vena lebih tinggi daripada di
ekstremitas bawah. Pengukuran tekanan vena di ektremitas atas juga bermanfaat pada
pasien dengan edema masif di ekstremitas bawah dan asites. Tekanan vena akan
meningkat di ekstremitas atas jika edema berasal dari jantung, tapi akan normal jika
edema terjadi sekunder akibat sirosis. Gagal jantung berat dapat menyebabkan asites
yang dapat dibedakan dengan asites akibat sirosis hepatis dengan melihat JVP.
Penentuan kadar albumin serum sangat penting dalam mengidentifikasi pasien
dengan edema yang berhubungan dengan penurunan tekanan onkotik koloid
intravaskuler. Terdapatnya proteinuria juga merupakan petunjuk penting. Tidak
adanya proteinuria dapat menyingkirkan sindroma nefrotik tapi tidak dapat
menyingkirkan gagal jantung nonproteinuria. Proteinuria ringan sampai sedang
merupakan tanda pada pasien dengan gagal jantung.
II.6 Pendekatan kepada Pasien
Pertanyaan penting yang harus ditanyakan pertama kali adalah apakah edema
terlokalisir atau generalisata. Hidrotoraks dan asites merupakan bentuk edema
terlokalisir. Keduanya dapat merupakan konsekuensi dari obstruksi vena atau limfatik
lokal, seperti pada penyakit inflamasi atau neoplasma.
Apabila edema terjadi generalisata, yang harus ditentukan pertama kali adalah :
apakah terdapat hipoalbuminemia yang serius, misanya serum albumin < 25 gr/L. Jika
ada, maka anamnesis, pemeriksaan fisik, urinalisis, dan data laboratorium lainnya
akan membantu dalam evaluasi penyakit yang mendasari seperti sirosis, malnutrisi
berat, gastroenteropati dengan kehilangan protein, atau sindroma nefrotik. Apabila
tidak terdapat hipoalbuminemia, harus ditentukan apakah ada bukti gagal jantung
kongestif sebagai pencetus edema generalisata. Akhirnya, harus ditentukan apakah
pasien mengeluarkan urine dalam jumlah adekuat, atau apakah terdapat oliguria yang
signifikan, atau bahkan anuria.
17
TABEL 4. Mekanisme dan Pola Edema
Secara kasar penyebab edema dapat dibagi dalam dua kelompok : (1)
penyebab sistemik, termasuk gagal jantung kongestif, hipoalbunemia, dan retensi
garam dan air berlebihan dari ginjal; dan (2) penyebab lokal/setempat, seperti stasis
vena, stasis limfatik, dan ketergantungan yang lama (maksudnya tirah baring kali).
Peningkatan permeabilitas kapiler dapat terdistribusi secara lokal atau general.
MEKANISME
EDEMADISTRIBUSI EDEMA
TANDA –TANDA
LAIN YANG
MUNGKIN
TERMASUK
Gagal jantung
kongestif kanan
Turunnya kemampuan
jantung untuk memompa
darah vena
Edema pertama kali
timbul pada bagian tubuh
yang menggantung, di
mana terdapat tekanan
hidrostatik tertinggi
(misalnya kaki &
tungkai). Saat berbaring,
punggung yang rendah
menggantung & menjadi
edematous
Peningkatan tekanan
vena jugularis, hati
membesar dan seringkali
lunak, pembesaran
jantung, terdengar S3.
Hipo-
albuminemia
Penurunan tekanan
koloid osmotik dalam
plasma menyebabkan
keluarnya cairan secara
berlebihan ke ruang
interstitial dan menetap
di sana. Penyebabnya
termasuk sirosis,
Edema dapat muncul
pertama kali di jaringan
subkutan yang longgar
pada kelopak mata,
terutama setelah
berbaring di malam hari,
namun dapat juga terlihat
Serum albumin rendah.
Tanda-tanda penyakit
hati kronis seperti asites,
spider angiomas, dan
ikterus. Tanda-tanda dari
sindroma nefrotik
bervariasi menurut
penyebabnya.
18
sindroma nefrotik, dan
malnutrisi berat.
pertama kali di kaki dan
tungkai. Bila sirosis telah
berkembang lebih jauh,
edema dapat generalisata.
Retensi
berlebihan
garam dan air di
ginjal
Ginjal dapat
menyebabkan edema
dengan menahan garam
dan air secara berlebihan,
di mana sebagian masuk
ke ruang interstitial.
Obat-obatan seperti
kortikosteroid, estrogen,
dan sebagian
antihipertensi dapat
menyebabkan retensi
tersebut.
Edema biasanya dimulai
di bagian tubuh yang
menggantung dan dapat
menjadi generalisata.
Biasanya tidak ada.
Stasis vena
sekunder
terhadap
obstruksi atau
insufisiensi
Tromboflebitis dapat
menyumbat aliran vena.
Katup-katup vena dapat
dirusak oleh
tromboplebitis atau
menjadi inkompeten
karena varises vena.
Lebih jarang terjadi, vena
tertekan dari luar, seperti
oleh tumor atau fibrosis.
Pada semua kasus,
tekanan hidrostatik akan
Edema terbatas pada
daerah sumbatan,
seringkali satu tungkai,
atau yang lebih jarang,
pada kedua tungkai atau
sebelah lengan.Sumbatan
pada vena cava superior
dapat menyebabkan
edema di seluruh tubuh
bagian atas.
Pembengkakan lokal dan
peningkatan turgor
jaringan. Jika vena-vena
besar seperti vena cava
superior atau vena-vena
ileofemoral terlibat,
dapat terlihat
peningkatan alur vena
dan dilatasi vena. Rasa
nyeri kadangkala
menyertai flebitis.
19
meningkat di dalam
vena dan kapiler,
menyebabkan kehilangan
cairan yang berlebihan ke
dalam jaringan-jaringan.
DAFTAR PUSTAKA
Braunwald, E. EDEMA, Dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine 16 th
Edition. McGraw-Hill International. 2005 ; page 212-216
Eknoyan G. A history of edema and its management. Kidney Int Suppl. 1997; 59: S1
20
18-26.
Hamm LL, Batuman V. Edema in nephrotic syndrome: new aspect of an old enigma.
J AmSoc Nephrol. 2003; 14: 3288-3289.
Harrison’s Manual of Medicine 16th Edition. McGraw-Hill International. 2005; page
194-197.
Soedoyo. Edema. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo WH, Setiyohadi
B, Alwi I, et al. Interna Publishing. Edisi ke-5. 2010: hal. 946-951.
Wilson LM. Gangguan pada volume cairan, osmolalitas dan elektrolit. In: Price SA,
Wilson LM, editors. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 4th
edition. Volume 1. Jakarta: Penerbit buku kedokteran; 1995. P.302-326.
21