tinjauan pusaataka

32
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Populasi Sepeda Motor Sebagaimana diungkapkan pada Bab Pendahuluan, tesis ini akan mengkonsentasikan penelitian pada kajian karakteristik lalu lintas sepeda motor pada persimpangan bersinyal, terutama dikaitkan kebutuhan serta implementasi ruang henti khusus sepeda motor pada pendekat persimpangan bersinyal serta pengaruhnya terhadap konflik lalu lintas. Kajian ini dinilai penting mengingat banyaknya kasus-kasus berkaitan dengan kesulitan bermanuver dan keselamatan pada pendekat persimpangan yang diperkirakan akibat pengaruh pergerakan sepeda motor ketika keluar dari area penumpukan secara tak beraturan pada mulut persimpangan. Kondisi ini merupakan salah satu gambaran umum dari dampak pertumbuhan populasi sepeda motor yang tinggi di perkotaan. Secara statistik tingkat pertumbuhan kepemilikan kendaraan sepeda motor di kota Bandung hampir memiliki trend yang relative sama dengan kondisi Indonesia pada umumnya, yaitu dengan tingkat pertumbuhan sekitar 23%-30% pertahun. Tingginya pertumbuhan lalu lintas terutama sepeda motor di satu sisi memberi pengaruh terhadap perubahan karakteristik lalu lintas. Di sisi lain, menurunnya kinerja prasarana lalu lintas diperkirakan diakibatkan tidak seimbangnya pertumbuhan lalu lintas dengan pertumbuhan panjang ruas jalan. Dalam tiga tahun (2002-2004) pertumbuhan panjang ruas jalan 1 di kota Bandung praktis statis, dan baru pada tahun 2005 terdapat pertambahan panjang 3,6 km (2,8 km jalan Pasupati dan 0,8 km jalan layang Kiaracondong). Pertambahan sebesar 0,003% tersebut jelas tidak seimbang dengan pertumbuhan lalu lintas yang mencapai 21,7% pertahun, dengan pertumbuhan sepeda motor berkisar 23,4% pertahun. Tingginya pertumbuhan lalu lintas terutama sepeda 1 Berdasarkan data dari Dinas Bina Marga Kota Bandung, panjang ruas jalan pada tahun 2004 mencapai 1169km yang terdiri dari 1103 km jalan kota, 23km jalan propinsi dan 42km jalan nasional

description

aa

Transcript of tinjauan pusaataka

  • 9

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Populasi Sepeda Motor

    Sebagaimana diungkapkan pada Bab Pendahuluan, tesis ini akan mengkonsentasikan

    penelitian pada kajian karakteristik lalu lintas sepeda motor pada persimpangan

    bersinyal, terutama dikaitkan kebutuhan serta implementasi ruang henti khusus sepeda

    motor pada pendekat persimpangan bersinyal serta pengaruhnya terhadap konflik lalu

    lintas. Kajian ini dinilai penting mengingat banyaknya kasus-kasus berkaitan dengan

    kesulitan bermanuver dan keselamatan pada pendekat persimpangan yang diperkirakan

    akibat pengaruh pergerakan sepeda motor ketika keluar dari area penumpukan secara

    tak beraturan pada mulut persimpangan. Kondisi ini merupakan salah satu gambaran

    umum dari dampak pertumbuhan populasi sepeda motor yang tinggi di perkotaan.

    Secara statistik tingkat pertumbuhan kepemilikan kendaraan sepeda motor di kota

    Bandung hampir memiliki trend yang relative sama dengan kondisi Indonesia pada

    umumnya, yaitu dengan tingkat pertumbuhan sekitar 23%-30% pertahun. Tingginya

    pertumbuhan lalu lintas terutama sepeda motor di satu sisi memberi pengaruh terhadap

    perubahan karakteristik lalu lintas. Di sisi lain, menurunnya kinerja prasarana lalu lintas

    diperkirakan diakibatkan tidak seimbangnya pertumbuhan lalu lintas dengan

    pertumbuhan panjang ruas jalan. Dalam tiga tahun (2002-2004) pertumbuhan panjang

    ruas jalan1 di kota Bandung praktis statis, dan baru pada tahun 2005 terdapat

    pertambahan panjang 3,6 km (2,8 km jalan Pasupati dan 0,8 km jalan layang

    Kiaracondong). Pertambahan sebesar 0,003% tersebut jelas tidak seimbang dengan

    pertumbuhan lalu lintas yang mencapai 21,7% pertahun, dengan pertumbuhan sepeda

    motor berkisar 23,4% pertahun. Tingginya pertumbuhan lalu lintas terutama sepeda

    1 Berdasarkan data dari Dinas Bina Marga Kota Bandung, panjang ruas jalan pada tahun 2004 mencapai 1169km yang terdiri dari 1103 km jalan kota, 23km jalan propinsi dan 42km jalan nasional

  • 10

    motor di satu sisi diperkirakan telah memberi pengaruh terhadap perubahan

    karakteristik lalu lintas pada ruas-ruas jalan perkotaan.

    Kusnandar (2005) memprediksi komposisi lalu lintas pada ruas-ruas jalan di kota

    Bandung memiliki perubahan akibat pertumbuhan sepeda motor. Di dalam papernya

    (Kusnandar, 2005) menyebutkan rata-rata perbandingan proporsi sepeda motor pada

    ruas-ruas jalan arteri pada kota dengan populasi 1-3 juta penduduk berbanding terbalik

    dengan yang ada pada MKJI yaitu kendaraan ringan (31%) : kendaraan berat (5%) :

    sepeda motor (64%). Di dalam MKJI (1997) komposisi sepeda motor untuk kota

    berukuran 1-3 juta penduduk adalah dengan perbandingan kendaraan ringan (60%) :

    kendaraan berat (8%) : sepeda motor (32%). Perubahan komposisi ini, memperlihatkan

    sebuah fenomena baru, dan ini diperkirakan akan mempengaruhi karakteristik lalu lintas

    yang pada akhirnya diperkirakan dapat menurunkan kinerja prasarana lalu lintas,

    termasuk kinerja ruas-ruas jalan serta persimpangan bersinyal maupun persimpangan

    tak bersinyal.

    2.2. Ruang Henti Khusus Sepeda Motor

    Salah satu fenomena menarik dari kehadiran sepeda motor pada persimpangan bersinyal

    sebagaimana di ungkapkan pada Bab-1 adalah terjadinya penumpukan sepeda motor di

    mulut-mulut persimpangan khususnya pada fase merah. Salah satu penyebabnya adalah

    tidak tersedianya fasilitas berhenti sepeda motor pada persimpangan bersinyal. Fasilitas

    yang tersedia hanya garis henti serta ruang di belakang garis henti secara bersama

    dengan kendaraan bermotor lainnya. Penggunaan garis henti secara bersama pada

    beberapa persimpangan bersinyal dinilai sudah tidak memadai lagi. Hal ini dapat dilihat

    dari kondisi persimpangan, di mana keberadaan sepeda motor pada mulut-mulut

    persimpangan banyak yang melanggar peraturan seperti melampaui garis henti dan

    mengganggu pergerakan kendaraan bermotor lainnya karena menggunakan lajur belok

    kiri langsung untuk mengantri di persimpangan.

    Ruang henti khusus (Exclusive Stopping Space) untuk sepeda motor, disingkat RHK,

    pada persimpangan merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah penumpukan

    sepeda motor pada persimpangan bersinyal. RHK sepeda motor merupakan fasilitas

    ruang berhenti untuk sepeda motor selama fase merah yang ditempatkan di depan

  • 11

    antrian kendaraan bermotor roda empat. RHK ditempatkan di depan garis henti untuk

    kendaraan bermotor roda empat, akan tetapi penempatannya tidak melewati ujung

    pendekat persimpangan. RHK ini batasi oleh garis henti untuk sepeda motor dan marka

    garis henti untuk kendaraan bermotor roda empat lainnya. Kedua marka garis henti ini

    ditempatkan secara berurutan dan dipisahkan oleh suatu ruang dengan jarak tertentu.

    Model RHK untuk sepeda motor dikembangkan dari model Advanced Stop Lines

    (ASLs) untuk sepeda, yaitu fasilitas yang diperuntukkan bagi sepeda yang ditempatkan

    di depan antrian kendaraan bermotor (Wall GT et al, 2003). Model RHK yang akan

    dikembangkan dilengkapi dengan lajur pendekat yang dimaksudkan untuk membantu

    memudahkan sepeda motor mendekati ke ruang penungguan (reservoir). RHK berfungsi

    untuk membantu sepeda motor langsung ke persimpangan secara efektif dan aman yang

    memungkinkan sepeda motor untuk bergerak lebih dahulu dari kendaraan roda empat

    dan membuat persimpangan bersih lebih dahulu. Hal ini akan membuat kendaraan lain

    lebih mudah bergerak serta dapat mengurangi resiko konflik lalu lintas yang diakibatkan

    oleh berbagai manuver sepeda motor khususnya manuver sepeda motor yang akan

    berbelok (belok kanan).

    2.3. Advanced Stop Lines

    Advanced Stop Lines (ASLs) merupakan suatu fasilitas untuk sepeda yang didesain

    untuk memberikan prioritas kepada sepeda pada persimpangan bersinyal. ASLs adalah

    marka garis henti yang disiapkan sebagai marka garis henti kedua pada persimpangan

    bersinyal di depan garis henti kendaraan bermotor roda empat lainnya. Di antara kedua

    garis henti ini, terbentuk suatu area yang dikenal sebagai area reservoir yang merupakan

    area penungguan selama fase merah, yang memungkinkan sepeda dapat menunggu di

    depan kendaraan bermotor lainnya di kaki persimpangan. Sebagai pelengkap ASLs

    biasanya dibuatkan lajur pendekat sepeda untuk memudahkan sepeda menuju area

    reservoir ketika kendaraan lainnya menunggu pada saat fase merah. Secara umum ASLs

    dapat membantu sepeda, antara lain:

    a. menempatkan sepeda pada suatu posisi yang mudah terlihat oleh kendaraan

    bermotor lainnya di persimpangan,

    b. memungkinkan sepeda untuk bergerak lebih dahulu serta menghindarkan dari

    kemungkinan terpotong oleh pergerakan kendaraan bermotor lainnya, dan

  • 12

    c. memungkinkan sepeda melakukan pergerakan (manuver) secara aman dan

    nyaman di persimpangan.

    2.3.1. Penerapan ASLs di Belanda

    Pada tahun 1978, ASLs diperkenalkan di Leiden (Netherland) pada empat

    persimpangan. Berdasarkan hasil penerapan tersebut ternyata ASLs memberikan

    kontribusi terhadap arus lalu lintas seperti halnya mengurangi konflik lalu lintas antara

    sepeda dengan kendaraan bermotor lainnya (Wall GT et al, 2003). Penerapan ASLs

    selain menurunkan konflik, ternyata ASLs merupakan salah satu solusi murah yang

    sangat bermanfaat bagi pengguna sepeda dan pengemudi kendaraan bermotor.

    Lebih lanjut, penerapan ASLs juga dilakukan di beberapa kota di Belanda pada tahun

    1983 dengan beberapa variasi desain. Desain ASLs dibuat dengan mempertimbangkan

    lajur pendekat sepeda pada sisi dekat (near-side lane) dan dengan membuat tanda atau

    simbol sepeda pada area tunggu (waiting area atau reservoir) di depan garis henti

    kendaraan bermotor. Bahkan pada beberapa desain ASLs juga dilengkapi dengan tulisan

    CYCLIST (Sepeda) yang dicat pada area tunggu guna mengurangi kendaraan bermotor

    berhenti pada area tersebut, dan untuk mendorong sepeda menggunakan fasilitas

    tersebut. Pada salah satu site, desain ASLs dibuat dengan warna merah pada permukaan

    jalan baik pada lajur sepeda maupun pada area tunggunya. Lebih lanjut, studi yang

    dilakukan di Leiden (1982) dan Enshede (Solomons-1985) menunjukkan bahwa

    mayoritas pengguna kendaraan bermotor dan sepeda mengerti dan menuruti lay-out

    ASLs yang diterapkan.

    2.3.2. Penerapan ASLs di Inggris

    Mengikuti keberhasilan penerapan ASLs di Netherland, Inggris pertama kali

    memperkenalkan konsep tersebut di Oxport (1984), Newark (1989), Bristol (1991).

    Hasil riset yang dilakukan oleh TRL pada ketiga kota tersebut memperlihatkan

    penerapan ASLs yang dinilai memuaskan dan umumnya mudah dipahami oleh

    pengguna jalan. Pada setiap site yang diteliti, menunjukkan lebih dari 75% pengguna

    sepeda menggunakan lajur sepeda dan area tunggu sepeda, serta lebih dari 90%

    pengguna kendaraan bermotor keluar dari lajur sepeda. Secara keseluruhan, 82%

  • 13

    kendaraan bermotor sampai di persimpangan ketika sinyal merah berada di luar area

    tunggu (reservoir).

    Gambar-2.1. ASLs tanpa lajur pendekat (Inggris)

    Model penanganan yang diterapkan di ke empat kota Oxport, Newark, Bristol dan

    Menchester merupakan penyempurnaan desain yang diterapkan di Belanda. Dari desain

    pertama telah ada penambahan sinyal yang dibuat pada garis henti kendaraan bermotor,

    lajur untuk sepeda motor dan perambuan yang lengkap. Berdasarkan hasil survey

    terakhir oleh Wheeler pada tahun 1992 (Wall GT et al, 2003) menunjukkan bahwa lajur

    sepeda dan penyempurnaan ASLs yang digunakan sangat memuaskan bagi kebanyakan

    pengguna sepeda, sama dengan hasil survey sebelumnya. Hal ini tampak

    memungkinkan bahwa penyempurnaan lay-out dengan kombinasi pembuatan lajur

    sepeda serta pewarnaan lajur dan area tunggu sepeda seperti ditunjukkan pada Gambar-

    2.2 adalah lebih efektif meningkatkan kendaraan bermotor mengikutinya.

    Gambar-2.2. ASLs dengan lajur pendekat pada sisi dekat (near-side) (Inggris)

  • 14

    Wheleer pada tahun 1995 sebagaimana dikutip dari paper Wall GT et al (2003)

    menyarankan bahwa lajur sepeda yang ditempatkan di tengah di antara lajur belok kiri

    (belok kanan untuk kondisi Indonesia) dan ujung depan semua lajur kendaraan sangat

    perlu dipertimbangkan (Gambar-2.3).

    Gambar-2.3. ASLs dengan lajur pendekat di tengah (Inggris)

    Desain ini dinilai penting khususnya untuk lengan persimpangan dengan arus kendaraan

    belok kiri yang besar serta arus sepeda menerus (lurus) yang besar. Beberapa studi lain

    yang dilakukan juga memperlihatkan bahwa proporsi pengguna sepeda (cyclist) yang

    besar menggunakan sisi dekat lajur pendekat sepeda untuk belok kiri atau menerus.

    Hanya sedikit sepeda menggunakan panjang lajur sisi dekat hingga ke garis henti untuk

    belok kanan. Mayoritas sepeda yang akan belok kanan menggunakan bagian atau tidak

    lajur sepeda. Ditemukan juga bahwa lajur sepeda yang dibuatkan di tengah seperti

    ditunjukkan pada Gambar-2.3 memainkan fungsi untuk memudahkan penempatan

    sepeda ke kanan kendaraan.

    Menggunakan hasil-hasil studi yang telah dilakukan, beberapa pedoman (guideline)

    penerapan ASLs yang telah di buat, antara lain menyarankan agar:

    1) menggunakan desain lay-out ASLs terbaru tanpa menggunakan sinyal tambahan,

    2) menggunakan warna permukaan berbeda dari warna lajur lalu lintas untuk lajur

    sepeda dan area tunggu sepeda,

  • 15

    3) menggunakan logo sepeda baik pada lajur sepeda maupun pada area tunggu

    sepeda.

    4) menyediakan lajur pendekat untuk sepeda dengan lebar minimum 1.5 meter.

    5) menggunakan lajur pendekat sepeda bukan sisi dekat jika terdapat lebih dari satu

    lajur kendaraan dan proporsi arus belok kanan yang besar.

    6) menghilangkan semua gangguan samping pada lajur sepeda seperti parkir atau

    aktifitas yang dapat mengganggu pergerakan sepeda.

    2.4. Performansi Indikator

    Di dalam perencanaan transportasi, kajian terhadap sistem secara keseluruhan dapat

    dilakukan dari kajian komponen-komponen sistem. Seringkali di dalam pengkajian

    diperlukan suatu penilaian terhadap kondisi yang ada. Oleh karenanya, pengkajian harus

    diawali dengan penemukenalan paramater-parameter sistem yang dinilai memiliki

    pengaruh terhadap sistem tersebut. Sistem pergerakan, misalnya, dinilai baik jika

    performansinya baik, di mana indikator penilaian sistem pergerakan tersebut

    ditunjukkan oleh suatu kondisi pergerakan yang lancar, aman, nyaman, murah, dsb.

    Performansi indikator (Idwan S, 1996) merupakan besaran kuantitatif yang

    menggambarkan kondisi objektif dari sistem yang ditinjau dari suatu aspek tertentu

    dengan skala tertentu dan satuan tertentu yang berlaku untuk suatu rentang waktu

    tertentu. Performansi indikator dimaksudkan untuk menyimpulkan kondisi dari sistem

    atau komponen sistem yang dikaji dari aspek tertentu dan dari sudut pandang tertentu,

    dengan tujuan untuk menyimpulkan kondisi suatu sistem secara umum dan menilai

    performansi komponen sistem dari aspek tertentu. Sedangkan manfaatnya adalah untuk

    mengkomunikasikan suatu acuan sistem yang bisa digunakan semua fihak, menilai atau

    mengevaluasi suatu kondisi sistem, menetapkan skala prioritas, dan memilih suatu

    kondisi tertentu.

    Kondisi objektif dari suatu sistem transportasi, pada dasarnya dapat ditinjau dari

    masing-masing kondisi objektif elemen sistem transportasi yang mencakup prasarana

    dan sarana transportasi, pola intensitas pergerakan, pola dan distribusi aktivitas, dan

    organisasi dan kelembagaan. Secara sederhana, performansi indikator elemen

    transportasi yang dimaksudkan di atas adalah sebagai berikut:

  • 16

    a) Prasana transportasi; mencakup jaringan jalan (geometri jalan, kualitas

    perkerasan jalan, dsb), fasilitas pejalan kaki, kapasitas jalan, parkir (off atau on

    street parking)

    b) Sarana transportasi, yang meliputi jenis moda transportasi yang melewati suatu

    ruang dengan deskripsi operasional yang mencakup kapasitas, headway,

    frekuensi, dsb.

    c) Pengaturan yang antara lain mencakup pengaturan lalu lintas, pengaturan parkir,

    pengaturan terminal, pengaturan route angkutan, regulasi tentang pemanfaatan

    ruang, pengaturan pedagang kaki lima, dsb

    Performansi indikator komponen sistem transportasi (Idwan S, 1996) lebih

    menunjukkan spesifikasi, standar, kemampuan teknis, ataupun kondisi operasional dari

    komponen-komponen yang dimaksud. Secara umum parameter performansi indikator

    komponen sistem yang lebih spesifik komponen sistem sebagai pembentuk sistem yang

    antara lain mencakup prasarana dan sarana; sistem operasi; pola dan intensitas

    pergerakan; pola dan distribusi aktivitas; serta organisasi dan kelembagaan.

    Secara umum, parameter performansi indikator yang dapat digunakan untuk menilai

    performansi persimpangan bersinyal antara lain kapasitas, tundaan, panjang antrian,

    konflik lalu lintas, kecelakaan, dan sebagainya. Berdasarkan pengembangan konsep

    ASLs, maka indikator yang digunakan di dalam tesis ini untuk menilai kemudahan

    bermanuver serta keselamatan pada penerapan RHK sepeda motor adalah konflik lalu

    lintas.

    2.5. Konflik Lalu Lintas

    Teknik konflik lalu lintas (TCT: traffic conflict technique) atau studi konflik lalu lintas

    pertama kali dikembangkan oleh General Motor, Amerika. Di dalam pengertian yang

    lebih luas, konflik lalu lintas merupakan suatu peristiwa lalu lintas yang melibatkan

    interaksi dua kendaraan, di mana salah satu atau kedua pengemudi kendaraan harus

    melakukan tindakan mengelak untuk menghindari kecelakaan (Glauz & Migletz, 1980).

    Lebih lanjut Glauz & Miglezt menyatakan bahwa konflik lalu lintas bukan penyebab

    kecelakaan lalu lintas akan tetapi merupakan suatu gejala (symptomatic) dari berbagai

    pegerakan yang pada akhirnya dapat berkontribusi ke kejadian kecelakaan. Di dalam

  • 17

    penhertian lain, suatu kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu bentuk konflik lalu

    lintas dimana tindakan mengelak yang dilakukan sudah terlalu kecil atau terlalu lambat

    dilakukan.

    2.5.1. Definisi Konflik Lalu Lintas

    Berdasarkan hasil konferensi Internasional di Oslo, menyepakati konflik lalu lintas

    merupakan suatu stuasi yang menggambarkan di mana dua pengguna jalan atau lebih

    saling mendekati satu sama lain di dalam ruang dan waktu sehingga sedemikian rupa

    berkembang menjadi suatu resiko kecelakaan (tabrakan) jika pergerakan kendaraan-

    kendaraan tersebut tetap tidak berubah (Glauz & Migletz, 1980; TRL, 1987).

    Lebih lajut Glauz & Migletz memodifikasi definisi tersebut menjadi lebih sepesifik

    untuk tujuan penelitian yang dilakukannya.Konflik lalu lintas didefinisikan sebagai

    kejadian lalu lintas yang melibatkan dua atau lebih pengguna jalan, di mana salah satu

    pengguna jalan (pengemudi) membuat tipikal tindakan yang tidak biasa, seperti

    mengubah arah, mengubah kecepatan yang menempatkan pengguna jalan lainnya

    berada dalam situasi berbahaya tabrakan kecuali tanpa pergerakan mengelak

    dilakukan. Bagulay CJ (1984) menggunakan definisi konflik lalu lintas sebagai situasi

    di mana seorang pengguna jalan atau lebih yang saling mendekati objek lain pada suatu

    ruang dan waktu sedemikian sehingga menyebabkan resiko tabrakan bila pergerakan

    salah satu atau kedua pergerakan kendaraan tidak dapat diubah, di dalam risetnya yang

    lebih berorientasi untuk mengidentifikasi keseriusan konflik lalu lintas.

    Analisis konflik lalu lintas, oleh berbagai peneliti sering juga dimanfaatkan untuk

    menganalisis pergerakan atau manuver pergerakan kendaraan pada suatu lokasi rawan

    kecelakaan. Analisis ini terutama dimanfaatkan untuk memprediksi atau memperkirakan

    kemungkinan- kemungkinan manuver kendaraan yang dapat mendekati suatu kejadian

    tabrakan. Biasanya analisis konflik lalu lintas dimanfaatkan untuk menangani suatu

    persimpangan.

    2.5.2. Titik Konflik

    Di dalam berbagai penelitian, konflik lalu lintas ini kemudian berkembang jauh, hingga

    menjadi salah satu alat yang dapat dimanfaatkan untuk menganalisis kondisi

  • 18

    kecelakaan lalu lintas pada persimpangan. Bahkan data konflik lalu lintas menjadi data

    suplemen penting yang dapat melengkapi analisis kecelakaan, bila data kecelakaan yang

    dimiliki tidak cukup akurat. Analisis konflik lalu lintas, oleh berbagai peneliti sering

    juga dimanfaatkan untuk menganalisis pergerakan atau manuver pergerakan kendaraan

    pada suatu lokasi rawan kecelakaan. Analisis ini terutama dimanfaatkan untuk

    memprediksi atau memperkirakan kemungkinan-kemungkinan manuver kendaraan yang

    dapat mendekati suatu kejadian tabrakan.

    Pada dasarnya konflik lalu lintas pada persimpangan terjadi karena berbagai bentuk

    pergerakan lalu lintas seperti pergerakan lurus, belok, memotong, jalinan, berpisah,

    menyatu, dan sebagainya. Di tinjau dari pergerakan kendaraan, secara umum konflik

    lalu lintas pada persimpangan dimungkinkan dapat dapat terjadi pada beberapa titik

    konflik. Pada persimpangan-T seperti ditunjukkan pada Gambar-2.4a, konflik lalu lintas

    dapat terjadi pada 9 titik konflik. Untuk persimpangan dengan 4-kaki konflik lalu lintas

    dimungkinkan terjadi pada 32 titik konflik (Gambar-2.4b). Sedangkan untuk bundaran-4

    kaki dingkinkan dapat terjadi pada 8 titik konflik (Gambar-2.4c).

    Gambar-2.4a. Titik konflik pada

    persimpangan-T

    Gambar-2.4b. Titik konflik pada

    persimpangan empat kaki

  • 19

    Gambar-2.4c. Titik konflik pada bundaran dengan empat kaki

    2.5.3. Kategori Konflik

    Secara umum konflik lalu lintas pada persimpangan (TRB, 1979; FHWA, 1989) dapat

    dikelompokkan ke dalam 6 (enam) kelompok, yaitu konflik sama arah, konflik belok

    kiri berlawanan (left opposing left turn), konflik memotong lalu lintas (cross traffic),

    konflik belok kanan, konflik pejalan kaki, dan konflik sekunder. Keenam kelompok

    konflik tersebut terbagi ke dalam beberapa tipe konflik. Penjelasan mengenai masing-

    masing konflik diberikan sebagai berikut:

    a) Konflik sama arah

    Konflik sama arah pada dasarnya terjadi ketika kendaraan pertama bergerak lambat dan

    atau berubah hakuan dan tempat atau lajur (lane change) yang menempatkan kendaraan

    berikutnya ke situasi bahaya tabrak depan-belakang (rear-end). Untuk menghindari

    terjadinya tabrakan, kendaraan kedua yang berada di belakang kendaraan pertama harus

    melakukan tindakan berupa merem (brakes) atau berubah haluan (swerves). Konflik

    sama arah pada persimpangan antara lain:

    1) Konflik belok kiri-sama arah

    Konflik belok kiri-sama arah terjadi ketika kendaraan pertama melakukan pergerakan

    belok kiri dengan lambat, yang menyebabkan kendaraan berikutnya ke dalam situasi

    bahaya tabrak depan-belakang seperti ditunjukkan pada Gambar-2.5.a.

  • 20

    Gambar-2.5a. Konflik belok kiri-sama

    arah

    Gambar-2.5b. Konflik belok kanan-sama

    arah

    2) Konflik belok kanan-sama arah

    Konflik belok kanan sama arah pada prinsipnya sama halnya dengan konflik belok kiri

    sama arah, hanya saja pergerakan kendaraan adalah belok kanan. Kedua kendaraan yang

    terlibat konflik belok kanan sama arah juga berpotensi tabrak depan-belakang seperti

    diberikan pada Gambar-2.5b.

    1) Konflik kendaraan lurus-sama arah

    Konflik ini terjadi ketika kendaraan pertama bergerak lurus yang terlalu lambat, yang

    menyebabkan gangguan pada kendaraan di belakangnya. Kendaraan kedua harus

    melakukan tindakan merem dan atau mengubah haluan untuk menghindari terjadinya

    tabrak depab belakang seperti ditunjukkan pada Gambar-2.6a.

    2) Konflik berubah lajur

    Konflik berubah lajur (lane change) terjadi ketika kendaraan pertama berusaha

    mendahului kendaraan lain dan kembali masuk ke lajurnya (Gambar-2.6b). Pada kondisi

    seperti ini, sering menimbulkan konflik akibat kurang antisipasi, sehingga kendaraan

    kedua harus merem kendaraannya untuk menghindari terjadinya tabrakan.

  • 21

    Gambar-2.6a. Konflik lurus-sama arah

    kendaraan lambat

    Gambar-2.6b. Konflik lurus-sama arah,

    berubah lajur

    b) Konflik arus melawan belok kanan (opposing right turn)

    Konflik ini terjadi ketika kendaraan pertama yang akan berbelok kanan, pada saat

    bersamaan kendaraan kedua bergerak dari depan yang akan memotong pergerakan

    kendaraan pertama. Kondisi pergerakan seperti ini sangat berpotensi terjadinya tabrak

    depan saamping atau depan-depan. Untuk menghindari terjadinya tabrakan, kendaraan

    kedua harus melakukan tindakan menginjak rem dan atau mengubah haluan. Konflik

    belok kanan melawan arus diillustrasikan seperi pada Gambar-2.7.

    Gambar-2.7. Konflik belok kanan-berlawanan arah

    c) Konflik belok kanan-memotong arus

    Konflik ini terjadi ketika kendaraan pertama belok kanan, di mana kendaraan kedua

    yang memotong pergerakan dari arah kiri (Gambar-2.7a) atau dari arah kanan (Gambar-

  • 22

    2.8b). Untuk menghindari terjadinya tabrakan samping-samping atau depan samping,

    kendaraan kedua harus mengerem dan atau mengubah haluan.

    Gambar-2.8a. Konflik belok kanan dan

    memotong arus dari arah kiri

    Gambar-2.8b. Konflik belok kanan dan

    memotong arus dari arah

    kanan

    d) Konflik belok kiri dan memotong arah

    Konflik belok kiri dan memotong arah merupakan konflik yang terjadi ketika kendaraan

    pertama belok kiri dan pada saat bersamaan kendaraan kedua yang bergerak lurus dari

    arah kanan (Gambar-2.9a), atau kendaraan kedua yang belok kanan dari arah

    berlawanan (Gambar-2.9b). Untuk konflik pergerakan kendaraan pertama belok kiri

    dengan pergerakan kendaraan kedua lurus dari arah kanan, maka untuk menghindari

    terjadinya tabrakan kendaraan kedua harus melakukan tindakan mengerem dan atau

    mengubah arah. Sedangkan untuk konflik akibat pergerakan kendaraan pertama belok

    kiri dengan kendaraan kedua yang belok kanan, maka untuk menghindari tabrakan

    kendaraan kedua juga harus melakukan mengerem dan atau menhubah haluan.

  • 23

    Gambar-2.9a Konflik belok kiri dan

    memotong arus dari arah

    kanan

    Gambar-2.9b Konflik belok kiri dan

    belok kanan dari arah

    berlawanan

    e) Konflik sekunder

    Konflik sekunder merupakan koflik lalu lintas yang terjadi akibat konflik lalu lintas

    lainnya. Konflik sekunder sering terjadi akibat dampak konflik lurus sama arah seperti

    ditunjukkan pada Gambar-2.10a atau dampak konflik belok kanan sama arah seperti

    pada Gambar-2.10b. Tipikal konflik sekunder lainnya antara lain akibat konflik belok

    kiri atau kanan dengan pergerakan memotong (Gambar-2.10c), atau akibat konflik

    pejalan kaki (Gambar-2.10d). Umumnya konflik sekunder berpotensi menimbulkan

    tabrakan depan-belakang. Untuk menghindari terjadinya tabrakan, maka kendaraan

    ketiga harus melakukan tindakan mengerem dan atau mengubah haluan.

    Gambar-2.10a Konflik sekunder lurus

    sama arah

    Gambar-2.10b Konflik sekunder belok

    kanan sama arah

  • 24

    Gambar-2.10c Konflik sekunder belok

    kiri dan berpotongan

    Gambar-2.10d Konflik sekunder lurus

    pejalan kaki

    f) Konflik pejalan kaki

    Konflik pejalan kaki terjadi ketika pejalan kaki menyeberang tanpa memperhatikan

    situasi lalu lintas. Pada saat pejalan kaki menyeberang lajur lalu lintas, secara

    bersamaan muncul kendaraan dari arah lain yang bergerak memotong lintasan

    pergerakan pejalan kaki. Untuk menhindari terjadinya tabrakan, pada umumnya

    kendaraan yang melakukan tindakan mengerem dan atau mengubah haluan. Ditinjau

    dari posisi pejalan kaki terhadap kendaraan, dikenal dua tipe konflik pejalan kaki yaitu

    konflik pejalan kaki dengan kendaraan yang terjadi pada satu pendekat yang sama

    (near-side conflict) seperti ditunjukkan pada Gambar-2.11a. Jenis lainnya adalah

    konflik pejalan kaki dengan kendaraan yang terjadi tidak dalam satu pendekat (far-side

    conflict) seperti diberikan pada Gambar-2.11b.

    Gambar-2.11a Konflik pejalan kaki near-

    side

    Gambar-2.11b Konflik pejalan kaki far-

    side

  • 25

    g) Tipe konflik lainnya

    Pada umumnya tipe konflik yang dikemukakan di atas merupakan tipikal konflik yang

    umum terjadi pada suatu persimpangan empat lengan. Tipe konflik lainnya bisa saja

    terjadi di luar dari tipe-tipe konflik tersebut. Hal ini dimungkinkan akibat kondisi lalu

    lintas setempat yang tidak diperkirakan sebelum melihat kondisi lalu lintas

    persimpangan yang akan diobservasi.

    Gambar-2.12a Konflik putar arah sama

    arah

    Gambar-2.12b Konflik putar arah

    berlawanan arah

    Perhatikan konflik pada suatu persimpangan yang memperbolehkan kendaraan untuk

    putar arah pada kaki persimpangan, maka kemuingkinan tipe konflik yang terjadi adalah

    konflik putar arah-sama arah (Gambar-2.12a) atau putar arah-berlawanan arah (Gambar-

    2.12b). Tipe konflik lainnya baru dapat teridentifikasi setelah pengamatan awal di

    lapangan dilakukan sebelum dilaksanakannya survey sesuai disain penelitian yang

    dibuat sebelumnya.

    2.5.4. Tingkat Keparahan Konflik

    a. Klasifikasi keparahan konflik

    Tingkat keparahan konflik (severity conflict) merupakan suatu ukuran seberapa

    seriusnya suatu konflik lalu lintas yang ditinjau dari tipikal manuver kendaraan untuk

    menghindari suatu tabrakan. Risser R et al (1984) mengklasifikasikan keseriusan

    konflik atas konflik ringan dan konflik serius, sebagai berikut:

  • 26

    1) Konflik ringan (slight conflict); mengontrol rem atau pindah lajur yang cukup

    untuk menghindari tabrakan. Terdapat waktu yang cukup untuk mengontrol

    kendaraan atau pejalan kaki secara tidak langsung terlibat dalam konflik lalu

    lintas.

    2) Konflik serius (serious conflict); mengurangi kecepatan secara cepat atau

    mengerem secara darurat, melakukan perubahan arah yang keras (violent). Waktu

    untuk melakukan manuver pergerakan terlalu pendek untuk mempertimbangkan

    kendaraan atau pejalan kaki secara tidak langsung melibatkannya dalam konflik

    lalu lintas.

    Muhlrad N et al (1984) memasukkan faktor waktu, jarak dan tipikal tindakan

    menghindar serta membagi tingkat keseriusan konflik ke dalam 5 (lima) kelas, yaitu:

    1) Konflik ringan (light conflict); satu dari pengguna jalan terlibat ke dalam suatu

    kejadian yang tidak diharapkan, akan tetapi masih memiliki waktu yang cukup

    atau jarak yang cukup untuk menghindari tabrakan.

    2) Konflik sedang (moderate conflict); suatu konflik lalu lintas yang melibatkan

    beberapa kendaraan, di mana tindakan merubah haluan dinilai penting. Pada

    kondisi konflik sedang ini akan menjurus ke suatu situasi yang dekat ke peristiwa

    tabrakan bila tidak melakukan tindakan merubah haluan.

    3) Konflik serius (serious conflict); suatu konflik lalu lintas di mana tindakan

    merubah haluan terbentuk sangat brutal untuk menhindari tabrakan. Biasanya

    konflik serius ini bisa menjurus kepada tabrakan ringan dengan kerusakan ringan

    (contoh: kedua bumper bersentuhan).

    4) Konflik yang menghasilkan tabrakan ringan; suatu konflik di mana tidak memiliki

    waktu dan jarak yang cukup untuk menghindari tabrakan yang menghasilkan

    kerusakan ringan.

    5) Konflik yang menghasilkan tabrakan serius; suatu konflik di mana situasinya

    berkembang dengan sangat cepat, tanpa waktu dan jarak yang cukup untuk

    melakukan tindakan menghindar terjadinya tabrakan yang menhasilkan luka-luka

    atau paling tidak menghasilkan kerusakan material berat

    Lebih lanjut Bagulay CJ (1984) mengklasifikasikan tingkat konflik lalu lintas ke dalam

    5 (lima) tingkatan (grade) seperti ditunjukkan pada Tabel-2.1. Kelima tingkatan konflik

  • 27

    tersebut masing-masing dinilai dari faktor waktu, tipe tindakan, keseriusan menghindar,

    dan kedekatan atau jarak. Kriteria penilaian tingkat konflik tersebut diberikan pada

    Tabel-2.2.

    Tabel-2.1 Tingkat keparahan konflik lalu lintas

    Keparahan

    Konflik

    Grade

    Konflik Penjelasan

    Ringan 1 Mengontrol rem atau pindah lajur untuk menghindari terjadinya

    tabrakan, tetapi memiliki waktu yang cukup untuk melakukan

    manuver

    2

    Mengerem atau berpindah lajur untuk menghindari terjadinya suatu

    tabrakan dengan waktu yang relatif kurang untuk melakukan

    manuver dibandingkan dengan konflik ringan atau yang

    membutuhkan lebih dari satu tindakan (mengerem dan atau

    mengelak) atau yang membutuhkan tindakan yang lebih keras

    3

    Melakukan pengurangan kecepatan secara cepat, pindah lajur atau

    berhenti untuk menghindari terjadinya tabrakan yang menghasilkan

    suatu situasi yang sangat dekat dengan suatu kejadian tabrakan.

    Pada kondisi ini tidak cukup banyak waktu untuk mengendalikan

    manuver yang tetap

    4

    Melakukan pengereman darurat atau mengelak dengan keras untuk

    menghindari tabrakan yang menghasilkan suatu situasi yang sangat

    dekat dengan terjadinya tabrakan, biasanya berakhir dengan

    tabrakan ringan

    Serius

    5 Tindakan darurat yang diikuti dengan tabrakan Sumber: Bagulay CJ (1984) International Calibration Study of Traffic Conflicts Studies hal-60

    b. Kriteria peringkatan konflik

    Labih lanjut Bagulay CJ (1984) dan TRL (1987) membuat kriteria penilaian keseriusan

    konflik dengan memasukkan keseriusan tindakan menghindar selain faktor waktu, tipe

    tindakan, dan jarak atau kedekatan seperti di berikan pada Tabel-2.2.

    Tabel-2.2 Kriteria faktor-faktor peringkatan konflik lalu lintas

    No. Faktor Konflik Tingkat Pengaruh Faktor Konflik

    1 WAKTU, waktu sebelum

    kemungkinan terjadinya

    tabrakan hingga tindakan

    menghindar berakhir

    1) Waktu panjang (L)

    2) Waktu sedang (M)

    3) Waktu pendek (S)

    2 KESERIUSAN, tingkat

    keseriusan tindakan

    menghindar

    1) Pengereman ringan dan atau berubah haluan (L)

    2) Pengereman sedang dan atau berubah haluan (M)

    3) Pengereman berat dan atau berubah haluan (H)

    4) Pengeraman darurat dan atau berubah haluan (E)

    3 TIPE, kekompleksan tipe

    tindakan untuk mengindari

    1) Simpel, mengerem atau berubah haluan (S)

    2) Kompleks, mengerem dan berubah haluan (C)

  • 28

    tabrakan

    4 KEDEKATAN, jarak antara

    kendaraan yang berkonflik

    hingga pada saat tindakan

    menghindar berakhir

    1) >2 panjang kendaraan (>2C)

    2) 1-2 panjang kendaraan (1-2C)

    3) [1 panjang kendaraan ([1C) 4) Tabrakan ringan (Lc)

    5) Tabrakan berat (Hc) Sumber: Bagulay CJ (1984) International Calibration Study of Traffic Conflicts Studies hal-61

    1) Waktu untuk menghindar (time to collision)

    Faktor waktu yang dimaksud adalah lama waktu (detik) yang dibutuhkan oleh

    kendaraan yang berkonflik ke situasi tabrakan (time to collision). Bagulay membagi

    waktu ini ke dalam tiga kelas, yaitu panjang (L: long), sedang (M: moderat), dan

    pendek (S: short). Waktu Panjang didefinisikan bahwa salah satu di antara kendaraan

    berkonflik memiliki waktu yang cukup panjang untuk melakukan tindakan pengereman

    atau berubah haluan. Waktu Sedang, bila kendaraan berkonflik memiliki waktu yang

    cukup untuk melakukan tindakan penghindaran kecelakaan. Waktu Pendek, bila waktu

    yang dibutuhkan untuk menghindari tabrakan sangat pendek.

    2) Keseriusan menghindar (severity of evasive action)

    Keseriusan menghindar dapat dilihat dari upaya yang dilakukan oleh kendaraan

    berkonflik dalam menghindari tabrakan, misalnya dari cara pengereman atau cara

    penghindaran (mengelak atau berubah haluan). Bagulay membagi keseriusan

    menghindar ini atas empat tingkatan yaitu ringan (L: light), sedang (M: moderat), berat

    (H: heavy), dan darurat (E: emergency). Keseriusan menghindar karegori Ringan bila

    mana salah satu atau kedua kendaraan hanya melakukan pengereman ringan dan atau

    mengelak secara ringan secara terkendali. Tingkat keseriusan Sedang, bila mana terjadi

    pengereman ringan dan panjang serta penghindaran sedikit lebih keras dari kategori

    ringan. Berat, bila mana pengereman dilakukan secara cepat dan keras yang kadang-

    kadang disertai bunyi rem dan dengan tindakan mengelak yang keras. Darurat, bila

    mana pengereman dilakukan secara keras dan tidak terkendali serta penghindaran yang

    tidak terkendali pula, biasanya situasi ini berujung kepada kejadian tabrakan.

  • 29

    3) Kekomplekan tipe menghindar (complexity of evasive action)

    Kekomplekan tipe menghindar oleh Bagulay di bagi dalam dua kategori, yaitu

    sederhana (S: simple) dan kompleks (C: complex). Tipe menghindar Sederhana bila

    mana upaya menhidari tabrakan berupa pengereman saja atau mengelak (mengubah

    haluan) saja. Tipe Kompleks, bila mana upaya menghindari tabrakan dilakukan baik

    mengerem atau upaya mengelak (pindah haluan).

    4) Kedekatan jarak antara kendaraan yang berkonflik (proximity of conflict

    vehicles)

    Bagulay membagi jarak kedekatan antara kendaraan berkonflik atas tiga kriteria, yaitu

    panjang (L: long), sedang (M: moderat), dan pendek (S: short). Jarak Panjang, bila

    mana kedekatan jarak antara kendaraan berkonflik lebih dari 2 kali panjang kendaraan

    mobil penumpang (>2C). Sedang, bila mana jarak antara kendaraan sekitar satu hingga

    dua kali panjang kendaraan mobil penumpang (1-2C), dan Pendek bila mana jarak

    antara kedua kendaraan berkonflik kurang dari satu kali panjang kendaraan mobil

    penumpang (2 C 1 1 1 1 1 2 1 1 2 3

    1-2 C 1 2 1 2 2 3 1 3 3 3

    [[[[1 C 2 3 2 3 3 3 3 3 4 4 Tabrakan Ringan (Lc)

    3 4 3 3 4 4 4 4 4 4

    Ke- dekat- an

    Tabrakan Berat (Hc)

    5 5 5 5 5 5 5 5 5 5

    Sumber: Bagulay CJ (1984) International Calibration Study of Traffic Conflicts Studies hal-62

    2.5.5. Pengambilan Data Konflik

    a. Teknik pengambilan data konflik

    Teknik pengambilan data konflik selain menggunakan cara manual melalui beberapa

    orang observer, Gelennon (1977) melakukan pengamatan menggunakan bantuan

    kamera video. Kamera video ditempatkan pada suatu tempat yang lebih tinggi atau

    menara yang dimaksudkan agar kamera dapat merekam semua pergerakan kendaraan

  • 30

    berkonflik. Penempatan kamera baik jarak dan posisi disesuaikan dengan titik pandang

    yang memungkinkan untuk dapat merekam semaksimal mungkin pergerakan kendaraan.

    Oleh karena itu, sebelum melakukan pengambilan data konflik terlebih dahulu

    dilakukan pengamatan awal, sedemikian hingga diperoleh titik penempatan kamera

    yang paling optimal.

    Pengamatan konflik yang akan dilakukan pada thesis ini dilakukan menggunakan

    kamera CC-TV, di mana kamera CC-TV terhubung langsung dengan PC-Computer

    sehingga hasil rekaman kamera dapat terrekam ke komputer. Tinggi tiang kamera yang

    digunakan dapat diatur hingga 9 meter, di mana jangkauan kamera bisa mencapai 50

    meter.

    b. Durasi waktu pengambilan data konflik

    Beberapa studi konflik lalu lintas yang dilakukan di Eropa dan Amerika, waktu

    pengambilan data konflik sangat bervariasi. Berkisar antara 1 sampai 3 hari, dan durasi

    waktunya juga cukup bervariasi mulai dari 7 jam/hari hingga 24 jam/hari. Amundsen

    (1974) di Norwegia melakukan pengambilan data konflik di 31 persimpangan masing-

    masing 1 hari dengan durasi waktu 7 jam/hari. Pengambilan sampel dengan durasi

    waktu tersebut dilakukan pada persimpangan yang memiliki volume yang rendah.

    Demikian juga dengan Perkin dan Harris (1963) di Amerika pada 30 persimpangan

    bersinyal dan tak bersinyal masing-masing selama 3 hari dengan durasi waktu 12

    jam/hari.

    Cooper PJ (1984) dalam studi konfliknya di 7 persimpangan di Hamilton, Ontario-

    Canada mengatakan bahwa konflik yang paling sering terjadi adalah antara jam 07.30-

    18.00 dalam 2 kali 24 jam observasi yang dilakukannya. Cooper lebih lanjut membuat

    klasifikasi pengambilan data yang terbagi ke dalam 3 kelompok waktu selama 10,5

    jam/hari, yaitu periode 07.30-10.00; periode jam 10.00-15.30; dan periode 15.30-18.00.

    Bagulay CJ (1984) mengatakan bahwa sebagaimana halnya kejadian kecelakaan yang

    dapat terjadi pada setiap waktu, konflik lalu lintas juga seharusnya terjadi seperti itu.

    Idealnya observasi dilakukan selama 24 jam/hari agar merepleksikan kondisi lalu lintas.

    Dalam validasi data hasil observasi konflik yang dilakukannya, merekomendasikan

  • 31

    pengamatan konflik lalu lintas dalam durasi waktu 10 jam/hari, dari jam 08.00 pagi

    hingga jam 18.00 sore. Periode waktu tersebut telah mencakup waktu padat pagi dan

    waktu padat sore. Robertson (1994) menyatakan studi konflik dilakukan pada siang hari

    dalam cuaca baik serta permukaan jalan yang baik dalam periode waktu antara 07.00

    s.d. 18.00. Lebih lanjut Bagulay CJ (1984) di dalam papernya menyebutkan bahwa

    Spicer (1980) dan Hauer (1978) menyatakan bahwa pengambilan sampel konflik lebih

    dari 3 hari tidak terlalu banyak membawa manfaat.

    c. Ukuran sampel konflik

    Pada dasarnya ukuran sampel yang dibutuhkan untuk studi konflik lalu lintas

    bergantung kepada tingkat tipe konflik yang akan dinalisis. Terdapat dua ukuran tingkat

    konflik yang biasa digunakan yaitu konflik per unit waktu atau konflik per unit

    kendaraan yang diobservasi (Robertson D H et all, 1994). Ukuran tingkat konflik per

    unit waktu untuk persimpangan diperlukan untuk menjugedment problem keselamatan

    pada suatu lokasi atau untuk menyusun daftar penanganan kecelakaan berdasarkan unit

    waktu. Konflik per unit waktu juga cukup menguntungkan bilamana data pergerakan

    belok tidak tersedia atau tidak dibutuhkan.

    Lebih lanjut Robertson mengatakan bahwa konflik per unit kendaraan dapat dihitung

    menggunakan persamaan 2.1, di mana persamaan tersebut memerlukan variabel yang

    telah tersedia seperti ditunjukkan pada Tabel-2.4. Tabel-2.5 memperlihatkan beberapa

    tipikal tingkat konflik per unit waktu yang mengacu kepada tingkat konflik yang

    dikeluarkan oleh Glauz & Migletz (1980) dan Migletz et al (1985) (Robertson DH et al,

    1994).

    2

    2var

    100meanPC

    tNT

    = ................................................................. (2.1)

    dengan:

    NT = jumlah unit waktu yang perlu diobservasi

    t = konstanta tingkat kepercayaan (lihat Tabel-2.4)

    PC = tingkat kesalahan estimasi rata-rata tingkat konflik

    var = ekspektasi variansi dari tingkat konflik (lihat Tabel-2.5)

    mean = ekspektasi rata-rata dari tingkat konflik (lihat Tabel-2.5)

  • 32

    Tabel-2.4 Statistik tipikal tingkat konflik untuk persimpangan dengan 4 pendekat

    Tipe Konflik Konflik/jam Konflik/hari

    Percentile

    Rata-

    rata Variansi Rata-rata Variansi 90th 95th

    Persimpangan bersinyal dengan volume kendaraan masuk > 25.000 kendaraan per hari

    Belok kri sama arah 7,6 22 83 12000 270 360

    Kendaraan lambat 61 34 670 24000 870 940

    Berubah haluan 1,7 n.a. 18 160 35 43

    Belok kanan sama

    arah 20 11 220 7600 470 510

    Belok kri berlawanan 2 1,2 22 380 48 60

    Semua sama arah 90 74 990 67000 1300 1500

    Persimpangan bersinyal dengan volume kendaraan masuk 10.000-25.000 kendaraan per hari

    Belok kiri sama arah 12 22 130 10000 270 340

    Kendaraan lambat 34 22 380 4900 470 500

    Berubah haluan 0,7 n.a. 8 53 17 22

    Belok kanan sama

    arah 11 12 120 2400 190 220

    Belok kiri berlawanan 2,6 1,2 29 210 49 56

    Semua sama arah 59 95 640 25000 860 930 Sumber: Robertson DH,1994 (Glauz & Miglezt, 1980; Miglezt et al 1985)

    Persamaan-2.1 dapat digunakan untuk tingkat konflik per unit waktu jika estimasi rata-

    rata dan variansi tingkat konflik dimungkinkan. Jika estimasi variansi dari rata-rata

    memungkinkan tetapi bukan rata-rata itu sendiri, maka persamaan 2.1. dapat ditulis

    menjadi:

    var

    2

    =PC

    tPQ ........................................................................................... (2.2)

    dimana PQ adalah estimasi kesalahan dari rata-rata tingkat konflik.

  • 33

    Tabel-2.5 Konstanta t dari tingkat kepercayaan.

    Konstanta, t Level kepercayaan (%)

    1,28

    1,50

    1.64

    1,96

    2,00

    2,50

    2,58

    80,0

    86,6

    90,0

    95,0

    95,5

    98,8

    99,0

    Sumber: Robertson DH,1994 (Glauz & Miglezt,, 1980; Miglezt et al 1985)

    Jika konflik per unit kendaraan yang diinginkan, maka kecukupan ukuran sampel yang

    mendekati suatu ketelitian di dalam estimasi dari rata-rata konflik adalah:

    2

    2

    PP

    tqpNV

    = .......................................................................................... (2.3)

    dengan:

    NV = jumlah sampel (kendaraan yang diobservasi)

    t = kontanta tingkat kepercayaan (lihat Tabel-2.5)

    p = ekspektasi proporsi kendaraan yang telibat konflik

    q = ekspektasi proporsi kendaraan yang tidak terlibat konflik

    PP = estimasi kesalahan proporsi dari kendaraan yang terlibat konflik

    Jika tingkat kepercayaan yang bersesuaian dengan t yang diambil adalah 95% dan PP

    adalah 0.01, maka aktual tingkat konflik perkendaraan akan menjadi 0.01 dari estimasi

    level 95% dari waktu. Sedangkan jumlah dari p dan q adalah 1,00. Bila nilai p dan q

    tidak diketahui, maka p dan q dapat diasumsikan 0,5 sehingga persamaan 2.3 dapat

    ditulis menjadi:

    2

    2

    25.0PP

    tNV = ......................................................................................... (2.4)

  • 34

    Tabel-2.6 Koefisien variasi yang bersesuaian dengan jumlah konflik

    Koefisien variasi (%) Jumlah Konflik

    50

    33

    25

    20

    15

    10

    5

    3

    6

    11

    18

    27

    46

    102

    401

    1100

    Sumber: Robertson DH,1994 (Glauz & Miglezt,, 1980; Miglezt et al 1985)

    2.6. Analisis Statistik

    2.6.1. Uji Hipotesis

    Uji hipotesis diperlukan manakala data statistik yang dikumpulkan melalui survey

    lapangan berhubungan dengan pengambilan sampel. Hipotesis (Sugiyono, 2003)

    merupakan pernyataan statistik tentang parameter populasi. Statistik adalah ukuran-

    ukuran yang dikenakan pada sampel yang antara lain rata-rata x , simpangan baku (s),

    variansi (s2), koefisien korelasi (r). Sedangkan parameter merupakan ukuran-ukuran

    yang dikenakan pada populasi yaitu rata-rata (), simpangan baku (), variansi (2), dan

    koefisien korelasi (). Dengan demikian, hipotesis dapat diartikan sebagai taksiran

    terhadap parameter populasi melalui data-data sampel.

    Perlu dijelaskan bahwa terdapat perbedaan mendasar mengenai pengertian hipotesis di

    dalam statistik dan di dalam penelitian. Pengertian hipotesis dalam penelitian

    merupakan jawaban sementara atau asumsi yang ditarik dari rumusan masalah pada

    penelitian. Walpole (1990) menyatakan hipotesis statistik merupakan pernyataan atau

    dugaan mengenai satu atau lebih populasi. Sutarno (200x) lebih lanjut mengatakan

    hipotesis statistik sebagai suatu pengandaian fungsi probabilitas dari suatu variabel

    random, berarti pengandaian parameter-parameter fungsi probablilitas dari suatu

    variabel random. Selanjutnya, uji-hipotesis adalah prosedur penentuan menerima atau

    menolak hipotesis penelitian. Oleh karena itu pengujian hipotesis perlu dirancang

    sedemikian rupa mulai dari perumusan hipotesis, penentukan uji-statistik yang

  • 35

    digunakan serta tingkat signifikansi yang digunakan yang digambarkan melalui daerah

    penolakan (daerah kritis) dan daerah penerimaan (daerah tak-kritis) dari suatu hipotesis.

    Di dalam memformulasikan pengujian hipotesis, dikenal ada dua jenis hipotesis, yaitu

    hipotesis nol (Ho) dan hipotesis penelitian atau lebih dikenal dengan hipotesis alternatif

    (H1). Hipotesis nol (Sugiyono, 2003) merupakan penyataan atau asumsi tidak adanya

    perbedaan antara parameter dengan statistik, atau tidak adanya perbedaan antara ukuran

    populasi dan ukuran sampel. Sedangkan hipotesis alternatif merupakan lawan dari

    hipotesis nol yang dibuat dalam bentuk pernyataan negasi dari asumsi yang diberikan

    pada hipotesis nol. Dalam hal ini, hipotesis yang diuji adalah hipotesis nol, melalui

    pembuktian terhadap hipotesis alternatif.

    2.6.2. Uji Keseragaman

    Uji keseragaman diperlukan guna mengenali keseragaman data yang terkumpul

    sehingga variansi proporsi sampel tidak terlalu besar dengan perkataan lain terdapat

    keselarasan proporsi frekuensi data dengan variansi yang kecil. Uji homogenitas yang

    digunakan adalah uji Chi-Kuadrat dengan tingkat kepercayaan () dan derajat

    kebebasan (dk) tertentu. Rumus Chi-Kuadrat yang digunakan untuk uji hipotesis

    keseragaman data adalah:

    ( )

    = =

    =

    r

    i

    c

    j ij

    ijij

    E

    EO

    1 1

    2

    2 2.5

    Untuk menguji keseragaman menggunakan menggunakan rumus tersebut, datanya harus

    telebih dahulu disusun dalam tabel kontingensi cr , di mana r menyatakan populasi

    ke-r dan c menyatakan kategori ke-c. Derajat kebebasan (dk) dari rumus tersebut adalah

    db=(r-1)(c-1). Hipotesis yang diberikan untuk menguji hipotesis keseragaman sampel

    adalah:

    Ho : proporsi frekuensi sampel adalah seragam untuk tingkat kepercayaan tertentu

    H1 : proporsi frekuensi sampel adalah tidak seragam untuk tingkat kepercayaan

    tertentu

    Bila nilai Chi-kuadrad dari hasil observasi2

    observasi yang dihitung menggunakan rumus-

    2.5 lebih besar dari nilai Chi-kuadrad tabel 2

    tabel ; atau2

    observasi > 2

    tabel untuk db=1 dan

  • 36

    tingkat kepercayaan tertentu (misalkan %5= ), maka hipotesis menerima Ho dan

    sebaliknya menolak Ha.

    2.6.3. Uji Komparatif Dua Sampel Berkorelasi

    Uji Chi-Kuadrad merupakan salah satu uji statistik yang banyak dimanfaatkan untuk

    menguji hipotesis statistik. Chi-kuadrad didefinisikan sebagai jumlah kuadrad variabel-

    variabel yang menyebar secara normal dan bebas dengan nilai tengah nol dan ragam

    satu seperti diberikan pada persamaan atau rumus-2.2 (Steel RGD et al, 1993).

    2

    2

    =

    i i

    iiY

    2.6

    dengan:

    : rata-rata populasi

    : simpangan baku populasi

    Yi : variabel acak

    Sugiyono (2003) menyatakan menguji komparatif berarti menguji parameter populasi

    yang berbentuk perbandingan melalui ukuran sampel yang juga berbentuk

    perbandingan. Uji hipotesis komparatif yang dikenal adalah hipotesis komparatif dua

    sampel yang berkorelasi dan yang independen. Uji hipotesis komparatif yang

    berkorelasi, bila mana ingin membandingkan dua kelompok sampel eksperimen dan

    kelompok sampel kontrol. Statistik non-parameter yang digunakan untuk menguji dua

    sampel yang berkorelasi bila datanya berbentuk nominal atau diskrit. Teknik statistik

    yang digunakan adalah teknik Mc. Nemar Tes, di mana model rancangan penelitian

    yang menggunakan teknik statistik ini berbentuk sebelum dan sesudah (before-after), di

    mana objeknya diasumsikan sama hanya saja mendapatkan perlakuan berbeda.

    Mc. Nemar test berdistribusi Chi-kuadrad (Siegel S, 1994; Sugiyono, 2003), oleh karena

    itu rumus yang digunakan untuk pengujian hipotesis ini adalah rumus Chi-kuadrad

    seperti diberikan pada rumus-2.7.

    =

    =

    k

    i h

    ho

    i

    ii

    f

    ff

    1

    2

    2)(

    .. 2.7

  • 37

    dengan:

    iof : banyaknya frekuensi yang diobservasi dalam kategori-i

    ihf : banyaknya frekuensi yang diharapkan di bawah Ho dalam kategori-i

    Untuk menguji hipotesis dengan uji ini Mc. Nemar menggunakan tabel kontingensi 2x2,

    seperti diberikan pada Tabel-2.7. Misalkan terdapat suatu sampel data suatu penelitian

    terhadap sejumlah orang berkaitan dengan suatu perlakuan tertentu. Adanya perubahan

    setelah ada perlakuan dari a ke b serta dari c ke d. Di dalam uji Mc. Nemar, untuk

    signifikasi perubahan hanya berkepentingan dengan data a dan d.

    Tabel-2.7 Tabel kontingensi 2x2

    Sesudah Sebelum

    - +

    - a b

    + c d

    Jika a = banyaknya kasus yang diobservasi dalam sel a, dan d = banyaknya kasus

    dalam sel d, dan )(21 da + = banyaknya kasus-kasus yang diharapkan pada sel a dan d,

    maka rumus Chi-kuadrad dapat disederhanakan menjadi:

    da

    da

    +

    =2

    2 )( .. 2.8

    dengan derajat kebebasan dk =1

    Lebih lanjut Yates pada tahun 1934 (Siegel S, 1994) memberikan koreksi terhadap

    rumus-2.8 yang dikenal dengan koreksi kontinuitas, yaitu dengan mengurangi dengan

    nilai 1, seperti diberikan pada rumus-2.9 berikut.

    ( )

    da

    da

    +

    =

    2

    21

    .. 2.9

    dengan derajat kebebasan dk =1

  • 38

    Di dalam prakteknya, pemanfaatan uji Mc. Nemar di dalam menguji hipotesis diawali

    dengan pendefinisian hipotesis yang diperlukan, seperti:

    Ho : tidak terdapat perbedaan yang signifikan setelah adanya perlakuan

    H1 : terdapat perbedaan yang signifikan setelah adanya perlakuan

    Bila nilai Chi-kuadrad dari hasil observasi2

    observasi yang dihitung menggunakan rumus-

    2.9 lebih besar dari nilai Chi-kuadrad tabel 2

    tabel ; atau2

    observasi > 2

    tabel untuk dk=1 dan

    tingkat kepercayaan tertentu (misalkan %5= ), maka hipotesis menerima Ho dan

    sebaliknya menolak H1.

    2.6.4. Uji Komparatif Dua Sampel Bebas

    Sampel data yang akan dianalisis di dalam tesis ini merupakan dua kelompok data

    konflik lalu lintas sebelum dan sesudah adanya perlakuan terhadap kondisi lalu lintas

    pada pendekat persimpangan. Rancangan penelitian yang dikembangkan diarahkan

    untuk menguji kondisi sebelum dan sesudah adanya perlakuan dari dua kelompok

    sampel data yang dikumpulkan. Sekalipun objek penelitiannya merupakan

    persimpangan yang sama, akan tetapi data yang terkumpulkan antara sebelum dan

    sesudah adanya perlakuan diasumsikan saling bebas (independent). Oleh karena itu dua

    kelompok sampel data konflik tersebut dikatakan tidak berkorelasi, mengingat kondisi

    jumlah lalu lintas yang masuk ke persimpangan adalah tidak sama untuk dua kondisi

    berbeda yang diasumsikan bukan objek yang sama.

    Uji statistik komparatif dua sampel data independen dilakukan dengan menggunakan

    Uji-Chi kuadrat, di mana sampel datanya disusun menggunakan tabel kontingensi.

    Rumus Chi-kuadrat yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel

    data independen adalah rusmus Chi-Kuardat dengan koreksi Yates (Sugiyono, 2003):

    ( )( )( )( )( )dcdbcaba

    nbcadn

    ++++

    =

    2

    21

    2 ... 2.10

  • 39

    Variabel-variabel yang terdapat pada rumus-2.10 mengacu kepada tabel kontingensi

    yang digunakan untuk dua sampel data diberikan seperti pada Tabel-2.8.

    Tabel-2.8 Tabel kontingensi 2x2 untuk dua sampel

    Frekuensi Data Sampel

    Sebelum Sesudah

    Jumlah

    Sampel-A a b a+b

    Sampel-B c d c+d

    Jumlah a+c b+d n=( a+b)+( c+d)

    Rumus Chi-Kuadrat yang digunakan untuk uji komparatif lebih dari dua sampel

    diberikan pada rumus-2.11, sedangkan tabel kontingensinya diberikan pada Tabel-2.9.

    =

    =

    k

    i h

    ho

    i

    ii

    f

    ff

    1

    2

    2)(

    . 2.11

    Tabel kontingensi yang digunakan untuk uji hipotesis lebih dari dua sampel diberikan

    sebagai berikut:

    Tabel-2.9 Tabel kontingensi untuk uji hipotesa lebih dari dua sampel

    Kondisi Kategori fo fh (fo-fh) (fo-fh)2 (fo-fh)

    2/fh

    1 a

    b

    n

    2 a

    b

    n

    Jumlah

    Di dalam prakteknya, pemanfaatan uji Chi-Kuadrat di dalam menguji hipotesis diawali

    dengan pendefinisian hipotesis yang diperlukan, seperti:

    H0 : tidak terdapat perbedaan yang signifikan setelah adanya perlakuan

    H1 : terdapat perbedaan yang signifikan setelah adanya perlakuan

  • 40

    Bila nilai Chi-kuadrad dari hasil observasi2

    observasi yang dihitung menggunakan rumus-

    2.10 atau 2.11 lebih besar dari nilai Chi-kuadrad tabel 2

    tabel ; atau2

    observasi > 2

    tabel untuk

    db=1 dan tingkat kepercayaan tertentu (misalkan %5= ), maka hipotesis menerima Ho

    dan sebaliknya menolak H1.

    ***

    2014-10-17T09:47:31+0700Digital Content