tinea put

24
Responsi TINEA KORPORIS Disusun oleh : Kusni Kurnia Putri G9911112086 Pembimbing : Dr. Suci Widhiati, SpKK, M.Sc 0

Transcript of tinea put

Page 1: tinea put

Responsi

TINEA KORPORIS

Disusun oleh :

Kusni Kurnia Putri

G9911112086

Pembimbing :

Dr. Suci Widhiati, SpKK, M.Sc

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2012

0

Page 2: tinea put

STATUS RESPONSI

ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : Dr. Suci Widhiati, SpKK, M.Sc

Nama Mahasiswa : Kusni Kurnia Putri

NIM : G9911112086

TINEA KORPORIS

A. SINONIM

Sinonim dari tinea korporis adalah :

Tinea sirsinata

Tina glabrosa

Scherende Flechte

Ring-worm (Kurap)

Herpes sircine trichophytique 1

B. DEFINISI

Tinea korporis adalah infeksi dermatofita ssuperfisialis, secara umum

dikenal dengan nama kurap, menyerang daerah kulit tak berambut pada wajah,

lengan, badan , dan tungkai.1,2

C. EPIDEMIOLOGI

Tinea korporis dapat menyerang semua umur, meyerang pria dan wanita

dan tersebar di seluruh dunia.2 Tinea corporis adalah penyakit infeksi yang

umumnya lebih sering terjadi di daerah panas dan beriklim lembab.

Trichophyton rubrum adalah agen menular yang paling umum di dunia dan

merupakan sumber dari 47% kasus tinea corporis. Trichophyton tonsurans

adalah dermatofit paling umum yang menyebabkan tinea capitis, dan orang

dengan infeksi tinea capitis antropofilik lebih mungkin untuk mengembangkan

1

Page 3: tinea put

tinea corporis yang terkait. Oleh karena itu, prevalensi tinea corporis yang

disebabkan oleh T. tonsurans meningkat.3 Microsporum canis adalah

organisme penyebab ketiga paling umum dan berhubungan dengan 14%

infeksi tinea corporis. Sebuah kasus langka Microsporum fulvum infeksi kulit

(lengan bawah) baru-baru ini dilaporkan.4

Tinea korporis mungkin ditransmisikan secara langsung dari infeksi

manusia atau hewan melalui autoinokulasi dari reservoir seperti kolonisasi T.

rubrum di kaki.5 Anak-anak lebih sering terinfeksi M. canis karena kontak

dengan hewan yang terinfeksi seperti kucing, anjing, kuda, dan hewan ternak.6

Pakaian ketat dan dan cuaca panas dihubungkan dengan banyaknya frekuensi

dan beratnya erupsi.5

D. ETIOLOGI

Tinea korporis dapat disebabkan oleh spesies dermatofita seperti

Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Variasi penyebabnya

dapat ditemukan berdasarkan spesies yang terdapat di daerah tertentu. Namun

demikian yang lebih umum menyebabkan tinea korporis adalah T. rubrum, T.

mentagrophytes, dan M. canis.7

E. PATOGENESIS

Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah utama: perlekatan ke

keratinosit, penetrasi melalui dan diantara sel, dan perkembangan respon host.

Perlekatan ke keratinosit. Jamur superfisial harus melewati berbagai

rintangan untuk bisa melekat pada jaringan keratin diantaranya sinar UV,

variasi temperatur, kelembaban, kompetisi dengan flora normal dan

sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang diproduksi

oleh glandula sebasea juga bersifat fungistatik.

Penetrasi melalui dan diantara sel. Setelah terjadi perlekatan, spora harus

berkembang dan menembus stratum korneum pada kecepatan yang lebih cepat

daripada proses desquamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase,

lipase dan enzim mucinolitik sebagai factor virulen, dan juga menyediakan

nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke

2

Page 4: tinea put

jaringan. Fungal mannan di dalam dinding sel dermatofita juga bisa

menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika

jamur mencapai lapisan terdalam dari epidermis.

Perkembangan respons host. Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status

imun pasien dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau

Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting

dalam melawan dermatofita. Pada pasien yang belum pernah terinfeksi

dermatofita sebelumnya, infeksi primer menyebabkan inflamasi minimal dan

trichopitin tes hasilnya negatif. Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan

skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit.

Dihipotesiskan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans

epidermis dan dipresentasikan dalam limfosit T di kelenjar limfe regional.

Selanjutnya limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke bagian kulit

tubuh yang terinfeksi untuk melawan jamur. Imunitas selular diperankan oleh

INF γ yang disekresi oleh Th1. Pada saat ini, tiba-tiba muncul lesi inflamasi

dan barier epidermal menjadi lebih permeable terhadap sel-sel radang. Setelah

melalui serangkaian mekanisme tersebut, jamur mati dan akan terjadi

perbaikan pada lesi.2

F. GAMBARAN KLINIS

Tinea korporis bisa mengenai bagian tubuh manapun meskipun lebih

sering terjadi pada bagian yang terpapar. Pada penyebab antropofilik biasanya

terdapat di daerah yang tertutup atau oklusif atau daerah trauma.8

Pada infeksi tinea corporis didapatkan plak eritema dengan batas tegas,

skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul ditepi.1,6 Bagian tengah

tampak menyembuh dan tepi lesi tampak tanda radang lebih aktif. Bagian

tengah lesi yang tampak menyembuh mungkin merupakan manifestasi dari

respon imun tubuh pada organisme penginfeksi.6 Kadang-kadang terlihat erosi

dan krusta akibat garukan.1 Gambaran klasik lesinya adalah berbentuk annular

(ring-worm) dikelilingi tepi eritema.9 Kelainan kulit juga dapat terlihat secara

polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.1 Gejala umumnya

3

Page 5: tinea put

adalah pruritus, rasa nyeri dapat muncul jika area lesi mengalami maserasi

atau terjadi infeksi sekunder. Tinea korporis juga dapat berupa papul

eritematosa atau beberapa vesikel.6

Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama

dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea korporis et kruris

atau sebaliknya tinea kruris et korporis.1

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri

atas pemeriksaan lansung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain seperti

pemeriksaan histopatologik dan imunologik tidak diperlukan.1 Gambaran

histopatologi tinea korporis tidak khas. Gambaran histopatologi tidak lazim

digunakan untuk menegakkan diagnosis karena gambaran klinis dan

pemeriksaan laboratorium lebih jelas, mudah, murah, dan khas daripada

melakukan pemeriksaan histopatologi.2

Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan

klinis yang berupa kerokan kulit. Bahan untuk pemeriksaan mikologik

diambil dan dikumpulkan sebagai berikut: terlebih dahulu tempat kelainan

dibersihkan dengan spiritus 70%, kemudian dari bagian tepi kelainan sampai

dengan bagian sedikit di luar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok dengan

pisau tumpul steril.

Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-

mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran 10x45.

Pemeriksaan dengan pembesaran 10x100 biasanya tidak diperlukan.

Sediaan basah dengan meletakkan bahan di atas gelas objek. Kemudian

ditambah 1-2 tetes larutan KOH, untuk sediaan rambut adalah 10% dan untuk

kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan dicampur dengan KOH, ditunggu 15-20

menit, hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk memepercepat

proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah di atas api kecil.

Pada saat keluar asap dari sediaan tersebut, pemanasan dihentikan. Bila

terjadi penguapan, maka akan terbebtuk Kristal KOH, sehingga tujuan yang

4

Page 6: tinea put

diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur yang lebih nyata dapat

ditambahkan zat pewarna pada sediaaqn KOH, misalnya tinta parker

superchroom blue black.

Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis

sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artospora)

pada kelainan kulit lama dan/atau sudah diobati.1

Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong

pemeriksaan langsung dengan sediaan basah dan untuk menentukan spesies

jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada

media buatan. Pembiakan dilakukan pada medium agar Sabouraud karena

dianggap merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan jamur.

Media ini dibubuhi antibiotik kloramfenikol atau ditambah pula klorheksimid

untuk menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan.

Media ini lalu disimpan pada suhu kamar. Spesies jamur ditentukan oleh sifat

koloni, hifa, dan spora yang dibentuk.10

H. DIAGNOSIS

Diagnosis ditetapkan berdasarkan gambaan klinis dan

lokalisasinya atau pemeriksaan sediaan langsung kerokan lesi

dengan larutan KOH 20%, untuk melihat elemen jamur

dermatofita. Biakan jamur diperlukan untuk identifikasi spesies

jamur penyebab yang lebih akurat.11

Diagnosis pasti digunakan pemeriksaan dengan

menggunakan mikoskop untuk mengidentifikasi adanya hifa dan

spora.12

I. DIAGNOSIS BANDING

Bergantung variasi gambaran klinis, tinea korporis kadang sulit

dibedakan dengan beberapa kelainan kulit yang lainnya, antara lain dermatitis

kontak, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, dan

psoriasis.1,8

5

Page 7: tinea put

J. PENATALAKSANAAN

1. Menghilangkan faktor predisposisi dan pencetus

a. Menjaga kulit agar tetap bersih dan kering

b. Memakai pakaian yang kering, bersih, dan menyerap keringat, misalnya

yang berbahan katun dan tidak terlalu tebal

c. Tidak memakai pakaian yang terlalu ketat

2. Menghilangkan sumber penularan

a. Memotong kuku agar tetap pendek

b. Mencuci tangan dengan air mengalir

c. Tidak berbagi handuk dan lap tangan

d. Mencuci atau membersihkan bathtub, bak mandi, dan kloset duduk13

3. Pengobatan

a. Topikal

Obat topikal diberikan bila lesi terbatas. Kebanyakan antijamur topikal

ini dipakai dua kali sehari selama 2-4 minggu.

1) Konvensional

Pengobatan dengan agen topikal lama kurang efektif dan

memerlukan waktu yang lama.

a) Salep 2-4: asam salisilat dan sulfur

Asam salisilat bersifat keratolitik. Untuk lesi yang sangat

superficial asam salisilat mungkin sudah cukup efektif, namun

untuk lesi yang kebih dalam maka asam salisilat akan

mempermudah penetrasi antijamur lain yang lebih poten.

b) Salep Whitfield dan modifikasinya (AAV-I dan AAV-II): asam

salisilat dan asam benzoate

c) Asam undesilenat

a) Merupakan cairan kuning dengan bau khas yang tajam

b) Dosis biasa berefek sebagai fungistatik, namun dalam dosis

tinggi dan pemakaian yang lama berefek fungisidal

c) Aktif terhadap Epidermophyton, Tricophyton, dan

Microsporum

6

Page 8: tinea put

d) Tersedia dalam bentuk salep campuran mengandung 5%

undesilenat dan 20% seng undesilenat

e) Bentuk bedak dan aerosol mengandung 2% undesilenat

dengan 20% seng undesilenat (seng berfungsi untuk menekan

luasnya peradangan)

f) Dapat menyebabkan iritasi mukosa

2) Baru

a) Tolnaftat, tolsiklat

Suatu tiokarbamat yang efektif untuk pengobatan sebagian

besar dermatofitosis

Tidak efektif terhadap kandida

Reaksi alergi atau toksik belumpernah dilaporkan

Tersedia dalam bentuk krim, gel, bubuk, cairan aerososl atau

larutan topikal dengan kadar 1%

Diberikan topikal 2-3 kali sehari

Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam

Pada lesi dengan hyperkeratosis sebaiknya diberikan

bergantian dengan salep asam salisilat 10%

Beberapa kasus membutuhkan waktu 4-6 minggu, jarang

yang melebihi 10 minggu

b) Haloprogin

Antijamur sintetik berbentuk kristal putih kekuningan

Larut dalam alkohol, tidak larut air

Efektif terhadap dermatofita, Malassezia furfur, dan Kandida

Dapat timbul iritasi, rasa terbakar, vesikulasi, meluasnya

maserasi dan sensitisasi

Tersedia dalam bentuk krim dengan kadar 1%

c) Derivat Imidazole (mikonazole, klotrimazole, tiokonazole,

bifonazole, ketokonazole)

d) Siklopiroksolamin

Antijamur topical berspektrum luas

7

Page 9: tinea put

Untuk dermatofitosis, kandidiasis, dan tinea versikolor

Tersedia dalam bentuk krim 1%

Iritasi jarang terjadi

e) Derivat alilamin (naftitin HCl, terbinafin)14

b. Sistemik Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology menyatakan bahwa obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat digunakan pada kasus hyperkeratosis terutama pada telapak tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais, atau pasien tidak responsive maupun intoleran terhadap OAJ topikal.1. Griseofulvin

Obat ini berasal dari Penicillium griceofulvum dan masih dinggap baku emas pada pengobatan infeksi dermatofit genus Trichophyton, Microsporum,  Epidermophyton. Bekerja pada ini sel, menghambat mitosis pada stadium metafase.

2. Ketokonazol Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik, termasuk golongan imidazol. Absorbsi optimum bila suasana asam.

3. Flukonazol Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.

4. Itrakonazol Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spectrum luas, bersifat fungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik maupun jamur dematiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat diminum bersama dengan makanan.

5. Amfosterin B Merupakan antijamur golongan polyen yang diproduksi oleh Streptomyces  nodosus. Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah akan menghambat pertumbuhan jamur, protozoa dan alga. Digunakan sebagai obat pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang membahayakan jiwa dan tidak sembuh dengan preparat azol.15

K. PROGNOSIS

8

Page 10: tinea put

Dengan terapi yang benar, menjaga kebersihan kulit, pakaian dan

lingkungan, prognosis tinea adalah baik. Penting juga untuk menghilangkan

sumber penularan untuk mencegah reinfeksi dan penyebaran lebih lanjut.9

DAFTAR PUSTAKA

9

Page 11: tinea put

1. Budimulja U. Mikosis. In: Djuanda A, Hamzah M dan Aisah S (eds). Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

2007. p: 89 - 105.

2. Siregar RS. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC. 2005.

3. Hryncewicz-Gwózdz A, Beck-Jendroschek V, Brasch J, Kalinowska K,

Jagielski T. Tinea capitis and tinea corporis with a severe inflammatory

response due to Trichophyton tonsurans. Acta Derm Venereol. 2011.

91(6):708-10.

4. Seyfarth F, Goetze S, Erhard M, Burmester A, Elsner P, Hipler UC.

[Infection with a rare geophilic dermatophyte.]. Hautarzt. 2009.

5. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Fungal Disease with Cutaneus

Involvement. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF,

Goldsmith LA, Katz SI (eds). Fitzpatrick’s: Dermatology in General

Medicine. 6th ed. New York: Mc Graw Hill, 2004. p:1908-2001.

6. Gupta AK, Chaudhry M, Elewski B. Tinea Corporis, Tinea Cruris, Tinea

Nigra, and Piedra. In: Dermatologic Clinics. Volume 21. Canada: WBS.

2003. p: 395-7.

7. Patel S, Meixner JA, Smith MB, McGinnis MR. Superficial Mycoses and

Dermatophytes. In : Tyring SK, Lupi O, Hengge UR (eds). Tropical

Dermatology. China: Elsenvier inc. 2006. p:185-92.

8. Goedadi MH, Suwito PS. Tinea Korporis dan Tinea Kruris. In: Budimulja

U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S (eds).

Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2004. p:31-4.

9. Verma, Shanen., Heffernan, Michael P. Fungal Dissease. In: Wolff, K.

Goldsmith, L A. Katz, S I. Gilchrest, B A. Paller, A S and Leffell, D J

(eds). Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Seventh Edition..

New York: McGraw- Hill Companies. 2005. p: 1807-19.

10. Sjarifuddin PK, Susilo J. Dermatofitosis. In: Gandahusada, S. Ilahude

HHD, Pribadi W (eds). Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI. 2000. p:289 - 95.

10

Page 12: tinea put

11. Amiruddin MD. Ilmu penyakit kulit. Makassar: Percetakan LKiS. 2003.  

12. Nugroho SA. Pemeriksan Penunjang Diagnosis Dermatomikosis

Superfisialis. In: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi, SL,

Dwihastuti P, Widaty S (eds). Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI. 2004. p:99-106.

13. Nasution MA. Mikologi dan Mikologi Kedokteran Beberapa Pandangan

Dermatologis. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam

Bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran USU.

2005.

14. Bahry B. Setiabudy R. Obat Jamur. In: Ganiswara (ed). Farmakologi dan

Terapi. Jakarta: Gaya Baru FKUI. 2005. p: 560 – 70.

15. Kuswadji, Widaty KS. Obat Anti Jamur. In: Budimulja U, Kuswadji,

Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Wisaty S (eds). Dermatomikosis

Superfisialis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2004. p:108-16.

STATUS PENDERITA

I. IDENTITAS PENDERITA

11

Page 13: tinea put

Nama : An. B

Umur : 14 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama

Status

Pekerjaan

: Islam

: Belum kawin

: Pelajar

Alamat : Gemolong RT 03/03 Sragen

Tanggal Pemeriksaan : 23 April 2012

No. RM : 01124471

II. ANAMNESIS

A. Keluhan Utama :

Gatal di daerah perut.

B. Riwayat Penyakit Sekarang :

Kurang lebih sejak 2 minggu yang lalu pasien merasa gatal dan kulit

bersisik di daerah perut. Gatal awalnya kecil lalu meluas. Apabila

berkeringat semakin gatal. Pasien belum berobat ke dokter. Teman satu

kamar pasien ada yang gatal juga, tiga anak, gatal di daerah tangan, kaki,

dan perut.

C. Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat sakit serupa : disangkal

Riwayat alergi obat : disangkal

Riwayat alergi makanan

Riwayat asma

Riwayat hipertensi

Riwayat DM

: disangkal

: disangkal

: disangkal

: disangkal

D. Riwayat Keluarga :

Riwayat sakit serupa : disangkal

12

Page 14: tinea put

Riwayat alergi makanan : disangkal

Riwayat alergi obat : disangkal

Riwayat Asma : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

E. Riwayat Kebiasaan :

Pasien tinggal di asrama. Pasien tidur dengan beberapa temannya

dalam satu kamar. Pasien biasa mandi dua kali sehari, dan memakai

handuk sendiri dengan sumber air dari PAM. Pakaian seragam ganti tiap

dua hari sekali.

F. Riwayat Ekonomi :

Pasien adalah seorang pelajar yang tinggal di asrama dan dibiayai

orang tuanya.

III.PEMERIKSAAN FISIK

A. Status generalis

1. Keadaan umum : baik, compos mentis, gizi kesan berlebih

2. Kepala : dalam batas normal

3. Mata : dalam batas normal

4. Hidung : dalam batas normal

5. Mulut : dalam batas normal

6. Leher : terdapat pembesaran pada leher

7. Punggung : dalam batas normal

8. Dada : dalam batas normal

9. Abdomen : dalam batas normal

10.Inguinal dan anogenital

11. Ekstremitas atas

12.Ekstremitas bawah

: lihat status dermatologis

: dalam batas normal

: dalam batas normal

13

Page 15: tinea put

B. Status Dermatologis

Regio abdominal:

Tampak plak hiperpigmentasi dengan tepi aktif dengan skuama di

atasnya.

Gambar 1. Regio abdominal

Gambar 2. Regio abdominal

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

14

Page 16: tinea put

Dilakukan pemeriksaan kerokan kulit dari lesi yang ada menggunakan

larutan KOH 30%. Dari pemeriksaan tersebut, ditemukan adanya hifa panjang

(+).

Gambar 2. Hasil Pemeriksaan Mikroskopis dengan KOH 30%

menunjukkan adanya hifa panjang.

V. DIAGNOSIS BANDING

Tinea korporis

Dermatitis kontak

Pitiriasis rosea

VI. DIAGNOSIS KERJA

Tinea korporis

VII. TERAPI

Medikamentosa

•Sistemik

Ketokonazol 200 mg 1 x 1

Interhistin 50 mg 2 x 1

•Topikal

15

Page 17: tinea put

Ketomed SS 2 x 1

Nonmedikamentosa

• Menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan, agar kulit tetap

bersih dan kering

• Memakai pakaian yang menyerap keringat dan tidak ketat

• Jangan menggaruk lesi

VIII.PROGNOSIS

Ad vitam : bonam

Ad sanam : bonam

Ad fungsionam : bonam

Ad kosmetikam : bonam

16