Tindak Pidana Melakukan Pencurian Dengan Pemberatan

download Tindak Pidana Melakukan Pencurian Dengan Pemberatan

of 95

description

PRASETYO HARIBOWO

Transcript of Tindak Pidana Melakukan Pencurian Dengan Pemberatan

  • TINDAK PIDANA MELAKUKAN PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN

    (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Perkara Pengadilan Negeri Purwokerto

    Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt)

    SKRIPSI

    Oleh :

    PRASETYO HARIBOWO

    NIM. E1A006080

    KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

    UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

    FAKULTAS HUKUM

    PURWOKERTO

    2012

  • 2

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Akhir-akhir ini di Propinsi Jawa Tengah khususnya di Kabupaten

    Banyumas terdapat kecenderungan meningkatnya kasus kejahaan terhadap

    pencurian kendaraan bermotor (Curanmor). Selain melukai korban kejahatannya,

    pelaku juga tega untuk menghilangkan nyawa orang lain. Perhatian yang cukup

    besar diberikan oleh media, baik media cetak maupum media elektronik nasional.

    Pemberitaan kasus kejahatan curanmor hampr tiap hari menghiasi malahan depan

    media cetak nasional maupun disiarkan dalam program khusus kriminal yang

    tampil di setiap stasiun televisi nasional.

    Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

    tidak akan dapat terelakan akibat meningkatnya laju pertumbuhan kendaraan

    bermotor yang cukup tinggi di Kabupaten Banyumas. Dinas Perhubungan

    Kabupaten Banyumas mengatakan bahwa laju pertumbuhan kendaraan bermotor

    sudah sangat tidak sebanding dengna panjang jalan yang ada di Kabupaten

    Banyumas khususnya di Kota Purwokerto, bahwa panjang jalan di Purwokerto

    sudah tidak begitu edial lagi menampung volume kendaraan bermotor. Keadaan

    seperti itu secara tidak langsung akan membawa dampak terhadap perkembangan

    Kabupaten Banyumas khususnya kota Purwokerto. Hal ini semakin dapat

    dibuktikan dengan terbatasnya lahan parkir kendaraan bermotor, sehingga orang

  • 3

    tidak lagi mengindahkan faktor keselamatan dalam memarkir kendaraan

    bermotornya. Kelalaian dalam memperhatikan faktor keselamatan akan

    memudahkan terjadinya kejahatan pencurian kendaraan bermotor. Tempat parkir

    pinggir jalan, kantor, sekolah, kampus dan pusat pertokoan merupakan tempat

    yang paling rawan dalam terjadinya kejahatan pencurian kendaraan bermotor.

    Indikasi meningkatnya kejahatan pencurian kendaraan bermotor tidak

    saja disebabkan oleh laju pertumbuhan kendaraan bermotor semata, namun juga

    diperhatikan dengan banyaknya laporan kehilangan kendaraan bermotor yang

    diterima pihak berwajib dalam hal ini pihak Kepolisian. Laporan yang diterima

    pihak Kepolisian Polres Banyumas selama tahun 2012 menyebutkan bahwa

    angka kejahatan pencurian kendaraan bermotor cukup tinggi. Angka kejahatan

    pencurian kendaraan bermotor di wilayah hokum Polres Banyumas selama tahun

    2012 untuk satu komplotan saja telah melukan pencurian sebanyak 26 kali.

    (Sumber Polres Banyumas tahun 2012).

    Suatu kenyataan hidup dalam perkembangan sejarah manusia tidak ada

    seorangpun yang mampu hidup menyendiri terpisah dari kelompok manusia

    lainnya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan itupun sifatnya hanya untuk

    sementara waktu. Hidup menyendiri terlepas dari pergaulan manusia dalam

    masyarakat, hanya mungkin terjadi dalam dongeng belaka. Namun dalam

    kenyataannya hal itu tidak mungkin terjadi (CST. Kansil, 1980: 27).

    Sudah menjadi kodrat manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat

    hidup secara sendiri-sendiri artinya dalam pergaulan hidup manusia sangat

  • 4

    tergantung pada manusia lain yaitu hasrat untuk hidup berkelompok, berkumpul,

    dan berdamping-dampingan serta saling mengadakan hubungan antar sesamanya

    dalam masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, manusia harus

    bekerjasama dan mengadakan hubungan antara yang satu dengan yang lainnya.

    Adakalanya dalam hubungan antar manusia tersebut terdapat perbedaan-

    perbedaan kepentingan dan tujuan, sehingga menimbulkan pertikaian-pertikaian

    antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dan bahkan antara

    kelompok manusia yang satu dengan kelompok manusia yang lainnya. Keadaan

    seperti ini tentu saja dapat mengganggu keserasian hidup bersama yaitu rasa

    aman, nyaman dan senantiasa harmonis dalam suatu masyarakat. Untuk itu

    dibutuhkan seperangkat aturan-aturan atau kaidah-kaidah yang berfungsi

    menciptakan dan menjaga hubungan dalam masyarakat agar selalu harmonis.

    Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan, yang berupa perintah atau

    larangan yang mengharuskan untuk ditaati oleh masyarakat itu. Berkaitan

    dengan tindak pidana Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

    perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana,

    barang siapa yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 1987: 1).

    Perbuatan dapat dikatakan menjadi suatu tindak pidana apabila

    mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

    a. melawan hukum; b. merugikan masyarakat; c. dilarang oleh aturan pidana; d. pelakunya diancam dengan pidana (M. Sudrajat Bassar, 1982: 2).

  • 5

    Berkenaan dengan masalah tindak pidana, maka perlulah disebut tentang

    hubungan antara perbuatan dengan orang yang melakukan perbuatan itu. Oleh

    karena hubungan antara keduanya ini sangat erat sekali, tidak mungkin ada suatu

    tindak pidana tanpa perbuatannya karena timbulnya suatu tindak pidana

    disebabkan oleh adanya orang yang berbuat. Kedua faktor ini penting untuk

    kepentingan penjatuhan pidana, oleh karena tidak setiap orang yang melakukan

    tindak pidana akan dijatuhi pidana, kecuali orang yang dapat

    dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu (M. Sudrajat Bassar, 1986: 4).

    Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan

    yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan

    tersebut, dinamakan perbuatan pidana. Perbuatan pidana menurut ujud atau

    sifatnya bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum,

    yaitu perbuatan yang melawan (melanggar) hukum (Moeljatno, 1982: 2).

    Suatu tindak pidana atau perbuatan pidana mengandung unsur-unsur.

    Menurut Moeljatno unsur-unsur dalam tindak pidana adalah :

    1. perbuatan (manusia);

    2. yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang (syarat formil) dan

    3. bersifat melawan hukum (syarat materiil).

    Syarat formil unsur-unsur perbuatan pidana adalah perbuatan itu

    memenuhi rumusan dalam undang-undang pidana. Sedangkan syarat materiil

    yaitu bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan yang tidak patut/tidak boleh

    dilakukan masyarakat (Moeljatno, 1982: 22).

  • 6

    Dalam hukum pidana dikenal suatu azas yang merupakan dasar dari

    hukum pidana yakni azas legalitas yaitu Nullum delictum nulla poena sine

    praevia lege poenali, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

    Pasal 1 ayat (1) dirumuskan sebagai berikut :

    Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana

    dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu

    dilakukan. (Moeljatno, 1990: 3).

    Dalam tindak pidana sifat yang selalu ada adalah sifat melanggar hukum

    (wederrecthtelijkeheid, onrechmatigheid). Artinya tidak ada suatu pidana tanpa

    adanya sifat melanggar hukum (Prodjodikoro, 1980: 1).

    Menurut Muljatno bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan

    hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan

    untuk :

    1. menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang, disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa

    melanggar larangan tersebut;

    2. menentukan kapan dan dalam hal apa kemudian mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

    sebagaimana yang diancamkan;

    3. menentukan dengan cara bagaimana mengenakan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang disangka telah melanggar larangan

    tersebut (Bambang Poernomo, 1982 : 22).

    Di sini berlaku apa yang disebut asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan

    (Keine Strafe ohne Schuld atau Geen Straf zender schuld atau Nulla Poena,

    Sine culpa (Culpa di sini dalam arti luas, meliputi kesengajaan). Asas ini tidak

    tercantum dalam KUHP Indonesia atau peraturan lain, namun berlakunya asas

    tersebut tidak diragukan lagi. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apabila

  • 7

    ada orang yang dijatuhi pidana sama sekali tidak bersalah (Sudarto, 1990 : 1).

    Unsur-unsur dari kesalahan itu sendiri terdiri dari :

    1. Kemampuan bertangung jawab si pembuat, artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal.

    2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan atau kealpaan;

    3. Tidak adanya alasan pemaaf. (Sudarto, 1990 : 3).

    Lebih lanjut Moeljatno mengatakan, bahwa untuk adanya kemampuan

    beratanggung jawab harus ada :

    a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk sesuai dengan hukum dan melawan hukum;

    b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya tadi. (Moeljatno, 1987 : 165).

    Berdasarkan definisi hukum pidana tersebut, dapat dikatakan bahwa

    Hukum Pidana menitikberatkan pada perbuatan-perbuatan mana yang dilarang,

    juga mengatur keadaan-keadaan yang memungkinkan adanya pemidanaan kepada

    orang yang telah melanggar larangan dan bentuk pidana serta cara pengenaan

    pidana.

    Untuk mengetahui suatu perbuatan merupakan tindak pidana, dapat

    dilihat pada ketentuan hukum pidana yang ada dan berlaku (hukum positif) yaitu :

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

    2. Peraturan-peraturan atau undang-undang yang merupakan ketentuan

    hukum pidana di luar KUHP.(M. Sudrajat Bassar, 1986: 3).

  • 8

    Pidana sebagai sarana pengenaan atau nestapa terhadap pelaku tindak

    pidana, Sudarto mengatakan bahwa :

    Hukum Pidana sebagai sarana pertama dalam menanggulangi kejahatan di

    samping sebagai kontrol sosial atau pengendalian masyarakat. Sebagai

    kontrol sosial, fungsi hukum pidana adalah subsider, artinya hukum

    pidana baru diadakan apabila usaha-usaha lain kurang memadai. Sanksi

    yang tajam dalam hukum pidana membedakan dari lapangan hukum

    lainnya, sehingga hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam

    mempertahankan norma yang diakui dalam hukum (Sudarto, 1990 : 10).

    Dijelaskan lebih lanjut, Sudarto mengatakan bahwa hukum pidana

    mempunyai fungsi yang khusus ialah melindungi kepentingan hukum terhadap

    perbuatan yang hendak memperkosanya, dengan sanksi berupa pidana (Sudarto,

    1990 : 10)

    Pengenaan hukum pidana, adalah sebagai salah satu upaya untuk

    mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di

    samping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat

    pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang

    kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan

    masyarakat.

    Mengenai kejahatan pencurian diatur dalam KUHP, yang dibedakan atas

    lima macam pencurian, yaitu :

    1. Pencurian biasa (Pasal 362 KUHP); 2. Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP); 3. Pencurian ringan (Pasal 364 KUHP); 4. Pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP); 5. Pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP).

  • 9

    Mengenai hal ini dalam KUHP tindak pidana pencurian selengkapnya

    dirumuskan dalam KUHP yaitu sebagai berikut :

    Pasal 362 :

    Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian

    kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan

    hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama

    lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.

    Jenis-jenis tindak pidana pencurian tersebut di atas yang dinamakan

    tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok adalah tindak pidana pencurian

    biasa (Pasal 362 KUHP). Sedangkan tindak pidana pencurian yang lainnya

    merupakan pencurian biasa yang disertai dengan keadaan-keadaan khusus.

    Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya

    orang diatur dalam Pasal 365 ayat (1) dan ayat (3) KUHP.

    Pasal 365 ayat (1) dan (3) KUHP merumuskan :

    (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau

    ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk

    mempersiap atau mempermudah pencurian, atau dalam hal

    tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau

    peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya

    (2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana

    penjara paling lama lima belas tahun.

    Dalam tindak pidana yang penulis teliti terdapat unsur memberatkan

    sebagaimana diatur dalam Pasal 363 ayat (1) ke 5 KUHP, yaitu :

    Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujun tahun dihukum :

    Ke-5. Pencurian yang dilakukan oleh tersalah dengan masuk ketempat

    kejahatan itu atau dapat mencapai barang untuk diambilnya,

    dengan jalan membongkar, memecah atau memanjat atau dengan

  • 10

    jalan memakai kunci palu, perintah palsu atau pakaian jabatan

    palsu.

    Berkenaan dengan rumusan Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP, R. Soesilo

    mengatakan :

    Pencurian dalam pasal ini dinamakan pencurian dengan pemberatan atau

    pencurian dengan kwalifikasi dan diancam hokuman yang lebih berat.

    Apakah yang diartikan dengan pencurian denan pemberatan itu? Ialah

    pencurian biasa disertai dengan salah satu keadaan seperti berikut :

    Apabila pencurian itu dilakukan pada waktu malam, dalam rumah atau

    pekarangan tertutup yang ada rumahnya.

    Malam = waktu antara matahari terbenam dan terbit. Rumah (woning)= tempat yang dipergunakan untuk berdiam siang malam, artinya untuk

    makan, tidur dsb. Sebuah gudang atau toko yang tidak didiami siang

    malam, tidak masuk pengertian rumah sebaiknya gubug, kereta, perahu

    dsb yang siang malam dipergunakan sebagai kediaman, masuk sebutan

    rumah. Pekarangan tertutup = suatu pekarangan yang sekelilingnya ada

    tanda-tanda batas yang kelihatan nyata seperti selokan, pagar bambu,

    pagar hidup, pagar kawat dsb. Tidak perlu tertutup rapat-rapat, sehingga

    orang tidak dapat masuk sama sekali. Disini pencuri itu harus betul-betul

    masuk ke dalam rumah dsb, dan melakukan pencurian disitu. Apabila ia

    berdiri diluar dan mengait pakaian melalui jendela dengan tongkat atau

    mengulurkan tangannya saja ke dalam rumah untuk mengambil barang

    itu, tidak masuk disini. (R. Soesilo, 1988 : 251).

    Oleh karena itu dalam Putusan Perkara Pengadilan Negeri Nomor :

    69/Pid.B/2012/PN.Pwt terdakwa didakwa melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-5

    KUHP mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

    1. Barangsiapa; 2. Mengambil sesuatu barang; 3. yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain; 4. Dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak; 5. Untukdapat masuk ketempat kejahatan itu atau untuk dapat mencapai

    barang yang diambilnya dengan jalan membongkar.

    Pada Putusan Perkara Pengadilan Negeri Purwokerto No.

    69/Pid.B/2012/PN.Pwt, Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto telah menyatakan

  • 11

    bahwa perbuatan terdakwa Akhmad Rofik als Rofik bin M. Sobichin, telah

    memenuhi rumusan delik dalam Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP. Oleh karena itu

    terdakwa kemudian dijatuhi keputusan berupa pidana penjara selama 1(satu)

    tahun.

    Terhadap perkara tersebut, Jaksa Penuntut Umum memberikan dakwaan tunggal,

    yaitu perbuatan terdakwa melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP.

    Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk

    meneliti dan mengkaji putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.

    69/Pid.B/2012/PN.Pwt. tentang tindak pidana melakukan pencurian dengan

    Pemberatan.

    B. Perumusan Masalah

    Atas dasar latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan

    permasalahan sebagai berikut :

    1. Bagaimanakah penerapan unsurunsur Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP dalam

    tindak pidana melakukan pencurian dengan pemberatan dalam Putusan

    Pengadilan Negeri Purwokerto No.69/Pid.B/2012/PN.Pwt.

    2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hukum Hakim dalam memutus

    perkara tindak pidana melakukan pencurian dengan pemberatan dalam

    Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Pwt.

  • 12

    C. Tujuan Penelitian

    1. Untuk mengetahui penerapan unsurunsur Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP

    dalam tindak pidana melakukan pencurian dengan pemberatan dalam Putusan

    Pengadilan Negeri Purwokerto No.69/Pid.B/2012/PN.Pwt.

    2. Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar pertimbangan Hukum Hakim dalam

    memutus perkara tindak pidana melakukan pencurian dengan pemberatan

    dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor :

    69/Pid.B/2012/PN.Pwt.

    D. Kegunaan Penelitian

    1. Kegunaan secara teoritis

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

    hukum, khususnya untuk memperluas pengetahuan dan menambah referensi

    khususnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana pencurian

    dengan pemberatan.

    2. Kegunaan secara praktis

    Dalam penegakan hukum diharapkan dapat sebagai sumbangan pemikiran

    yang dapat dipakai para pengambilan kebijakan para penegak hukum

    khususnya dalam menangani masalah tindak pidana pencurian dengan

    pemberatan.

  • 13

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tindak Pidana

    1. Istilah Tindak Pidana

    Seperti diketahui bahwa atas dasar asas konkordansi Kitab Undang-

    Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, yang dulu bernama Wetbook van

    Stafrect voor Indonesie merupakan semacam kutipan dari WvS Nederland.

    Bahasanya tentu saja bahasa Belanda. Pasal 1 KUHP mengatakan bahwa

    perbuatan yang pelakunya dapat dipidana/dihukum adalah perbuatan yang sudah

    disebutkan di dalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu dilakukan.

    (Teguh Prasetyo, 2010 : 45).

    Istilah tindak pidana adalah suatu pengertian yang mendasar dalam

    hukum pidana yang ditujukan pada seseorang yang dianggap telah melakukan

    perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Pemakaian istilah demikian, oleh

    masing-masing sarjana didefinisikan berbeda-beda. Hal ini terjadi karena istilah-

    istilah tersebut merupakan suatu terjemahan atau alih bahasa dari kata strafbaar

    feit yang berasal dari bahasa Belanda. Strafbaar feit diartikan secara umum

    oleh masyarakat berupa delik atau kajahatan dan oleh para sarjana diartikan

    berbeda-beda yaitu sebagai perbuatan pidana, peristiwa pidana atau tindak

    pidana.

  • 14

    Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaar feit, di dalam

    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa

    sebenarnya yang dimaksud dengan starfbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak

    pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni keta

    delictum.

    Menurut Kartanegara istilah tindak pidana sebagai terjemahan dari

    Strafbaarfeit merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang

    diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang telah menggunakan

    perkataan strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak

    pidana. Di dalam KUHP apa yang dimaksud dengan strafbaar feit tidak

    dijelaskan secara jelas. (Satochid Kartanegara, 1990: 74).

    Penggunaan istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah

    Belanda, yaitu strafbaar feit yang berasal dari kata strafbaar, artinya dapat

    dihukum (PAF. Lamintang, 1984: 72). Sedangkan Sudarto mengatakan :

    Strafbaar feit dalam istilah tindak pidana di dalam perundang-undangan

    negara kita dapat dijumpai istilah-istilah lain yang dimaksud juga sebagai

    istilah tindak pidana, yaitu.

    a. Peristiwa pidana (UUDS 1950 Pasal 14 ayat (1)). b. Perbuatan pidana (UU Darurat No. 1 tahun 1951, UU mengenai :

    tindak sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan,

    kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil, Pasal 5 ayat 3b).

    c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (UU Darurat No. 2 Tahun 1951 tentang : Perubahan Ordonantie tijdelijke by zondere

    strafbepalingen S. 1948 17 dan UU RI (dahulu) No. 8 tahun 1948 Pasal 3.

  • 15

    d. Hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman (UU Darurat NO. 1951, tentang

    Penyelesaian perselisihan perburuhan, Pasal 19, 21, 22).

    e. Tindak pidana (UU Darurat No. 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Umum, Pasal 129).

    f. Tindak pidana (UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, penuntutan dan peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 1 dan

    sebagainya).

    g. Tindak pidana (Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1964 tnetang kewajiban kerja bakti dalam rangka permasyarakatan bagi terpidana

    karena melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan, Pasal

    1).(Sudarto, 1990: 23).

    Dari berbagai peraturan perundang-undangan di atas, dapat dilihat bahwa

    pembuat undang-undang pada saat itu masih memakai istilah tindak

    pidana yang berbeda-beda dalam setiap undang-undang.

    Mengenai istilah tindak pidana itu sendiri Sudarto berpendapat :

    Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam Hukum

    Pidana. Tindakan Pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya

    dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan (crime atau verbrechen atau misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum)

    atau secara kriminologis. (Sudarto, 1990: 25).

  • 16

    Lebih lanjut Sudarto mengatakan bahwa, pembentuk undang-undang sekarang sudah agak tepat dalam pemakaian istilah tindak pidana. Akan tetapi para sarjana hukum pidana mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri, misalnya Moeljatno, Guru Besar pada Universitas Gadjah Mada menganggap lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana (dalam pidatonya yang berjudul Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, 1955 (Sudarto, 1990: 33). Sedangkan Satochid Kartanegara dalam kuliah-kuliahnya telah menggunakan perkataan tindak pidana sebagai terjemahan dari Strafbaar feit (Satochid Kartanegara, tanpa tahun: 74).

    Menurut Moeljatno dalam sari Kuliah Hukum Pidana I, Utrecht memakai istilah peritiwa pidana, beliau berpendapat bahwa perbuatan itulah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan, sedangkan Tirtahamidjaja (Pokok-pokok Hukum Pidana 1955) memakai istilah pelanggaran pidana untuk mengartikan strafbaar feit. (Moeljatno, 1983: 9).

    Selanjutnya Moeljatno lebih setuju menggunakan istilah perbuatan pidana, hal ini dikatakan dalam pidato yang berjudul : Pertanggungjawaban Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana. Beliau mengatakan sebagai berikut.:

    Perbuatan itulah keadaan yang dilakukan oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukannya, yang selanjutnya dikatakan Perbuatan ini menunjuk kepada baik akibatnya maupun yang menimbulkan akibat. (Sudarto, 1990: 24).

    Terhadap rumusan Moeljatno tersebut kiranya belum terdapat pengertian yang jelas (masih abstrak) mengenai tindak pidana dan masih belum tampak batasan terhadap pengertiannya. Namun menurut Bambang Poernomo istilah Perbuatan Pidana dari Moeljatno mengandung dua pengertian, yaitu :

    1) Adalah kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan;

    2) Perbuatan pidana tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban pidana pada orang yang

    melakukan perbuatan pidananya. (Bambang Poernomo, 1985:

    129).

    Prodjodikoro menggunakan istilah tindak pidana, yang diartikan sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidanan atau sanksi pidana. (Wirjono Prodjodikoro, 1980: 50).

  • 17

    Sekalipun pendapat para sarjana mengenai istilah tindak pidana ini masih belum ada keseragaman, namun Moeljatno masih tetap mempertahankan pendapatnya dengan mengatakan :

    Bahwa istilah perbuatan pidana adalah lebih utama untuk mengartikan strafbaar feit daripada tindak pidana. Bahwa tindak pidana sebagai perbuatan pidana diartikan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan tersebut. (Moeljatno, 1993: 11).

    Dari berbagai perbedaan pendapat para sarjana mengenai istilah tindak pidana tersebut, bukan merupakan hal yang prinsip karena yang terpenting menurut Sudarto adalah pengertian atau maksud dari tindak pidana itu sendiri, bukan dari istilahnya. (Sudarto, 1990: 12).

    2. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana

    a. Pengertian Tindak Pidana

    Pengertian tindak pidana yang merupakan pendapat para sarjana

    terdapat perbedaan dalam mendefinisikannya, ini dikarenakan masing-masing

    sarjana memberikan definisi atau pengertian tentang tindak pidana itu

    berdasarkan penggunaan sudut pandang yang berbeda-beda.

    Pompe dalam bukunya Sudarto mengatakan, tindak pidana sebagai

    suatu tingkah laku yang dalam ketentuan undang-undang dirumuskan sebagai

    sesuatu yang dapat dipidana. (Sudarto, 1990: 3).

    Beliau juga membedakan mengenai pengertian tindak pidana

    (strafbaar feit) menjadi dua, yaitu :

    1. Definisi teori memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si

  • 18

    pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata

    hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum;

    2. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum

    (Bambang Poernomo, 1985: 91).

    Pembahasan pidana dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana

    sebagai sanksi atas delik, seangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar

    pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan.

    Perlu dikemukakan di sini bahwa pidana adalah merupakan suatu istilah

    yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari bahasa Belanda

    "straf" yang dapat diartikan juga sebagai "hukuman". Seperti dikemukakan

    oleh Moeljatno bahwa istilah hukuman yang berasal dari kata "straf" ini dan

    istilah "dihukum" yang berasal dari perkataan "wordt gestraft", adalah

    merupakan istilah-istilah konvensional. (Moeljatno, 1987)..

    Moeljatno tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan

    istilah-istilah yang inkonvensional, yaitu "pidana" untuk menggantikan kata

    "straf" dan diancam dengan pidana" untuk menggantikan kata "wordt

    gestraft". Jika "straf" diartikan "hukuman", maka strafrecht seharusnya

    diartikan dengan hukuman-hukuman. (Sudarto, 1990: 24).

    Lebih lanjut dikatakan oleh Moeljatno bahwa "dihukum" berarti

    "diterapi hukum" baik hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman

    adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas

  • 19

    dari pada pidana, sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan

    hukum perdata. (Muladi & Barda Nawawi Arief, 1992: 1).

    Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Sudarto mengatakan bahwa

    "penghukuman" berasal dari kata dasar "hukum", sehingga dapat diartikan

    sebagai "menetapkan hukum" atau "memutuskan tentang hukuman"

    (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya

    menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata.

    (Sudarto, 1990: 68).

    Di dalam membicarakan masalah pidana, khususnya dalam perkara

    pidana, oleh hakim disinonimkan perkataan "penghukuman" dengan

    "pemidanaan" atau "pemberian/penjatuhan pidana". Menurut Sudarto dalam

    hal ini "penghukuman" mempunyai makna yang sama dengan "sentence" atau

    "veroordeling" misalnya dalam pengertian "sentenced conditionally atau

    voorwardelyk veroordeeled" yang sama artinya dengan "dihukum pidana

    bersyarat". (Sudarto, 1990: 72).

    Dari pendapat dua sarjana di atas, dapatlah disimpulkan bahwa

    perkataan "pidana" merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada

    pembagian pengertian yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya

    yang khas. Untuk memberi gambaran yang lebih luas, maka perlu

    dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana tentang pidana.

    Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang

  • 20

    sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi

    syarat-syarat tertentu. (Sudarto, 1990: 7).

    Saleh mengatakan bahwa, pidana adalah reaksi atas delik, dan ini

    berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada

    pembuat delik itu. (Muladi, 1984: 2). Sir Rupert Cross, mengatakan bahwa

    pidana berarti pengenaan penderitaan oleh negara kepada seseorang yang

    telah dipidana karena suatu kejahatan. (Muladi, 1984: 22).

    Dengan cara lain Hart mengatakan bahwa pidana harus :

    a) mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lailn yang tidak menyenangkan;

    b) dikenakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana;

    c) dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum;

    d) dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana; e) dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan

    suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut.

    (Muladi, 1984: 22).

    Sejalan dengan perumusan seperti dikemukakan tersebut di atas Ross

    mengatakan, bahwa pidana adalah reaksi sosial yang :

    a. Terjadi berhubung dengan adanya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum;

    b. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar;

    c. Mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan, dan menyatakan

    pencelaan terhadap si pelanggar (Muladi, 1984: 17).

    Definisi-definisi pidana tersebut di atas dapatlah diambil kesimpulan

    bahwa pidana selalu mengandung unsur-unsur berikut :

  • 21

    1. pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat yang lain yang tak

    menyenangkan;

    2. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

    3. pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. (Barda Nawawi Arief,

    1992: 4).

    Sedangkan PAF. Lamintang, mengatakan bahwa pidana itu

    sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaaan atau suatu alat

    belaka. Hal itu berarti pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan

    tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Pernyataan yang

    dikemukakan oleh Lamintang tersebut di atas adalah untuk

    mengingatkan adanya kekacauan pengertian antara pidana dan

    pemidanaan yang sering diartikan sama dengan menyebut tujuan

    pemidanaan dengan perkataan "tujuan pidana". (PAF. Lamintang,

    1984: 36-37).

    b. Unsur-unsur Tindak Pidana

    Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam

    hukum pidana. Tindak pidana . Tindak pidana adalah merupakan

    suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan

    jahat atau kejahatan (crime atau vebrechen atau misdaad) yang

    bisa diartikan secara yuridis (hukum atau secara kriminologis)

    (Sudarto, 1990: 24). Pengertian unsur tidak pidana hendakya

    dibedakan dari pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana

  • 22

    tersebut dalam rumusan undang-undang. Pengertian yang perama

    (unsur), ialah lebih luas dari yang kedua (unsur-unsur). Misalnya

    unsur-unsur (dalam arti sempit) dari tindak pidana pencurian biasa,

    ialah yang tercantum dalam Pasal 362 KUHP. (Sudarto, 1990: 43).

    Sedangkan PAF. Lamintang mengatakan bahwa setiap tindak

    pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya

    menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur subjektif dan objektif. (PAF.

    Lamintang, 1984: 123). Yang dimaksud unsur-unsur subjektif adalah

    unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan

    dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu

    yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud unsur

    objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan

    keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan mana tindakan dari si

    pelaku itu harus dilakukan.

    Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih

    mendalam dari tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana

    tersebut terdapat unsur-unsur tindak pidana, yaitu :

    Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah : 1. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus/culpa) 2. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti

    yang dimaksud dalam Pasal 53 (1) KUHP.

    3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,

    pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

  • 23

    4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut

    Pasal 340 KUHP.

    5. Perasaan takut atau vrees seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

    Sedangkan unsur-unsur dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

    a. sifat melanggar hukum b. kualitas dari si pelaku c. kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai

    penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. (PAF.

    Lamintang, 1984: 184).

    Selanjutnya di dalam kuliah-kuliah, Kartanegara menggunakan

    perkataan unsur sebagaimana kumpulan bagi apa yang disebut bestandel

    dan element. (PAF. Lamintang, 1984: 186).Berkaitan dengan pengertian

    unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) ada beberapa pendapat para sarjana

    yaitu pengertian unsur-unsur tindak pidana menurut aliran monistis dan

    menurut aliran dualistis.

    Para sarjana yang berpandangan aliran monistis, yaitu : a. Simons

    Unsur-unsur Strafbaar feit adalah :

    1) perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan.

    2) diancam dengan pidana (strafbaar gesteld). 3) melawan hukum (onrechtmatig). 4) dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand) 5) oleh orang yang mempu bertanggung jawab

    (teorekeningsvatbaar persoon).

    Simons mengatakan adanya unsur objektif dan unsur subjektif

    dari stafbaar feit adalah :

    1) Yang dimaksud dengan unsur objektif ialah : perbuatan orang 2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu

  • 24

    3) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat

    openbaaratau di muka umum.

    Sedangkan unsur subjektif dari strafbaar feit adalah :

    1. orangnya mampu bertanggung jawab; 2. adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus

    dilakukan dengan kesalahan.

    Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan

    atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

    b. Van Hamel :

    Strafbaar feit adalah Een wettelijk omschre ven menschelijke

    gedraging, onrechmatig, strafwardig en aan schuld te wijten.

    Jadi unsur-unsurnya :

    1. perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang 2. bersifat melawan hukum 3. dilakukan dengan kesalahan dan, 4. patut dipidana.

    c. Mezger

    Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana,

    dengan demikian unsur-unsurnya adalah :

    1. perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan);

    2. sifat melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun bersifat subjektif)

    3. dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang 4. diancam dengan pidana.

    d. Wirjono Prodjodikoro

  • 25

    Beliau mengemukakan definisi pendek yakni : tindak pidana

    berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.

    (Sudarto, 1990: 25)..

    Dari pendapat beberapa sarjana yang beraliran monistis tersebut

    dapat disimpulkan bahwa tidak adanya pemisahan antara criminal

    act dan criminal reponsibility.

    Sedangkan pandangan para sarjana yang beraliran dualistis tentang

    adanya unsur-unsur tindak pidana, yaitu :

    a. Vos Strafbaar feit hanya berunsurkan :

    1. Kelakuan manusia dan 2. Diancam pidana dalam undang-undang

    b. Pompe Menurut hukum positif strafbaar feit adalah tidak lain dari feit,

    yang diancam pidan adalam ketenteuan undang-undang, jadi

    perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum,

    dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.

    c. Moeljatno Dalam pidato Dies Natalis tersebut beliau mememberikan arti

    tentang strafbaar feit, yaitu sebagai perbuatan yang diancam

    dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Untuk

    adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur :

    1) perbuatan (manusia); 2) yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini

    merupakan syarat formal dan

    3) bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil). Jadi dari pandangan sarjana yang beraliran dualistis ini ada

    pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility.

    (Sudarto, 1990: 26).

    Menurut Mezger yang dikutip oleh Sudarto mengatakan Hukum

    Pidana dapat didefinisikan sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada

  • 26

    suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang

    berupa pidana (Sudarto, 1990: 5). Jadi pada dasarnya Hukum Pidana

    berpokok kepada 2 (dua) hal, ialah :

    a. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu

    dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang

    memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam

    itu dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat

    perbuatan jahat (Verbrechen atau Crime). Oleh karena dalam

    perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya, maka

    persoalan tentang perbuatan tertentu itu diperinci menjadi dua,

    ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar

    larangan itu.

    b. Pidana Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang

    yang melakukan perbuatan memenuhi syarat-syarat tertentu itu.

    Di dalam hukum pidana modern, pidana ini juga meliputi apa

    yang disebut tindakan tata tertib (tuchtmaatregel, Masznahme).

    Di dalam ilmu pengetahuan hukum adat Ter Haar memakai istilah

    (adat) reaksi. Di dalam KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis pidana yang

    dapat diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP yaitu :

    a. Pidana Pokok, 1) Pidana mati, 2) Pidana penjara, 3) Kurungan, 4) Denda

    b. Pidana tambahan: 1) pencabutan hak-hak tertentu, 2) perampasan barang-barang tertentu, 3) pengumuman putusan hakim. (Sudarto, 1990: 5).

    Berkaitan dengan pengertian hukum pidana, Simons memberikan

    definisi bahwa :

  • 27

    1) Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati.

    2) Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan;

    3) Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana. (Sudarto, 1990: 5).

    Di samping itu Van Hamel mengatakan bahwa hukum pidana

    adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam

    kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa yang

    bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa

    (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut. Pengertian hukum

    pidana tersebut disebut juga ius poenale. (Sudarto, 1990: 5).

    Dari pengertian mengenai hukum pidana tersebut di atas, maka

    dapat didefinisikan bahwa Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai

    pidana. Kata Pidana berarti hal yang dipidanakan, yaitu yang oleh instansi

    yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak

    enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.

    Adanya berbagai istilah tersebut menurut Poernomo sebagai akibat

    dari adanya pengaruh bahasa dari strafbaar feit ke dalam bahasa

    Indonesia. Namun di sini belum jelas apakah alih bahasa tersebut

    dimaksudkan juga untuk mengalihkan makna dari pengertiannya (Bambang

    Poernomo, 1982: 125).

    Berkaitan dengan fungsi Hukum Pidana, Sudarto mengatakan :

    Fungsi hukum pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) fungsi, yaitu

    :

  • 28

    a. Fungsi hukum pidana yang bersifat umum Oleh karena hukum pidana merupakan sebagian dari keseluruhan

    lapangan hukum, maka fungsi hukum pidana juga sama dengan

    fungsi hukum pada umumnya, ialah mengatur hidup

    kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat.

    Hukum hanya memperhatikan perbuatan-perbuatan yang

    sozialrelevent artinya ada sangkut pautnya dengan masyarakat ia pada dasarnya tidak mengatur sikap batin seseorang yang

    bersangkutan dengan tata susila. Demikian juga hukum pidana.

    Sangat mungkin ada perbuatan seseorang yang sangat tercela

    dan berentangan dengan kesusilaan, akan tetapi hukum

    pidana/negara tidak turun tangan/campur tangan, karena tidak

    dinyatakan secara tegas di dalam aturan hukum atau hukum yang

    benar-benar hidup dalam masyarakat. Di samping itu, seperti

    pada lapangan hukum lainnya, hukum pidanapun tidak hanya

    mengatur masyarakat begitu saja, akan tetapi juga mengaturnya

    secara patut dan bermanfaat (zweckmassing). Ini sejalan dengan

    anggapan bahwa hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk

    menuju ke policy dalam bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan.

    Dengan demikian hukum pidana harus dapat menyelenggarakan

    masyarakat yang tata tenteram kerta raharja.

    b. Hukum Pidana yang Bersifat Khusus. Fungsi yang khusus bagi hukum pidana ialah melindungi

    kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak

    memperkosanya (Rechtsguterchutz) dengan sanksi yang berupa

    pidana yang sifatnya ialah tajam, jika dibandingkan dengan

    sanksi yang terdapat pada cabang-cabang hukum lainnya.

    Kepentingan-kepentingan hukum (benda-beda hukum) ini boleh

    dari orang seorang dari badan atau dari kolektiva, misalnya

    masyarakat, negara, dan sebagainya. Sanksi yang tajam itu dapat

    mengenai harta benda, kehormatan, badan dan kadang-kadang

    nyawa seseorang yang memperkosa benda-benda hukum itu.

    Dengan demikian hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk

    menanggulangi perbuatan jahat. (Sudarto, 1990: 7).

    3. Rumusan Tindak Pidana

    Di dalam KUHP, juga di dalam perundang-undangan pidana yang

    lain, tindak pidana dirumuskan di dalam pasal-pasal. Perlu diperhatikan

    bahwa di bidang hukum pidana kepastian hukum atau lec certa merupakan hal

  • 29

    yang esensial, dan ini telah ditandai oleh asas legalitas pada Pasal 1 ayat (1)

    KUHP. Perumusan tindak pidana juga diharapkan sejauh mungkin memenuhi

    ketentuan kepastian hukum itu, walaupun sebenarnya hal itu tidak mungkin

    sepenuhnya. Untuk benar-benar tahu apa yang dimaksud di dalam pasal-pasal

    itu masih diperlukan penafsiran-penafsiran. (Teguh Prasetyo, 2010 : 53-54).

    Sebagaimana kita diketahui bahwa sumber hukum pidana ada yang

    tertulis dan ada yang tidak tertulis (hukum pidana adat). Agar supaya orang

    dapat mengetahui bagaimana hukumannya tentnag sesuatu persoalan, maka

    aturan hukum itu harus dirumuskan. Demikian pula keadaannya dalam hukum

    pidana. Permusan aturan hukum pidana yang tertulis terdapat dalam KUHP

    dan dalam peraturan undang-undang lainnya.

    Menurut Sudarto :

    Syarat utama untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana ialah

    adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam

    undang-undang. Ini adalah konsekuensi dari asas legalitas.

    Rumusan delik ini penting artinya sebagai prinsip kepastian,

    undang-undang pidana sifatnya harus pasti. Di dalamnya harus

    dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang atau apa yang

    diperintahkan. (Sudarto, 1990: 30).

    Selanjutnya Sudarto mengatakan bahwa perbuatan yang

    memenuhi atau mencocoki rumusan delik dalam undang-undang adalah

    perbuatan konkrit dari si pembuat itu harus mempunyai sifat atau ciri-ciri dari

    delik itu sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam undang-undang.

    Perbuatan itu harus masuk dalam rumusan delik itu. (Sudarto, 1990: 31)

  • 30

    Perumusan dari perbuatan yang dapat dipidana itu berupa suatu

    larangan atau perintah untuk berbuat atau untuk tidak berbuat sesuatu.

    Perintah atau larangan itu bisa disebut norma. Atas pelanggaran norma itu si

    pembuat dikenakan sanksi yang disebut pidana. Di dalam KUHP perumusan

    delik itu biasanya dimulai dengan Barang siapa dan selanjutnya dimuat

    lukisan perbuatan yang dilarang atau yang tidak dikehendaki atau yang

    diperintahkan oleh undang-undang. Lukisan ini merupakan suatu abstraksi

    dan tidak dihubungkan dengan tempat dan waktu, seperti telah dikemukakan

    di atas.(Sudarto, 1990: 31).

    4. Jenis-jenis Tindak Pidana

    Membagi suatu kelompok benda atau manusia dalam jenis-jenis

    tertentu atau mengklasifikasikan dapat sangat bermacam-macam sesuai dengan

    kehendak yang mengklasifikasikan atau mengelompokkan, yaitu menurut dasar

    apa yang diinginkan, demikian pula halnya dengan tindak pidana, (Taguh

    Prasetyo, 2010 : 55).

    Menurut sistem KUHP kita tindak pidana dibagi atas kejahatan

    (misdrijven) dan pelanggaran(overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini,

    tidak ditentukan dengan nyata-nyata dalam suatu pasal KUHP, tetapi sudah

    dianggap demikian adanya. Dalam Buku II KUHP diatur tentang Kejahatan

  • 31

    sedangkan dalam Buku III diatur tentang Pelanggaran. Dengan kata lain KUHP

    tidak memberikan kriteria mengenai pembedaan jenis tindak pidana tersebut,

    tetapi KHUP hanya memasukan dalam kelompok pertama kejahatan dan

    kelompok kedua pelanggaran. (Sudarto, 1990: 50).

    Di dalam ilmu pengetahuan untuk mencari secara intensif ukuran

    kedua jenis tindak pidana tersebut, didapati ukuran dua jenis delik, ialah :

    1. Perbedaan jenis tindak pidana yang bersifat kualitatif

    a. Rechtsdelicten ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas

    apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-

    undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh

    masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan, misal :

    pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut

    kejahatan. b. wetsdelicten

    ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak

    pidana, karena undang-undang menyebutnya sebagai delik,

    jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan

    pidana. Misal memparkir mobil di sebelah kanan jalan (mala

    quita prohibita). Delik-delik semacam ini disebut

    pelanggaran. Perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat diterima sebab ada

    kejahatan, yang baru disadari sebagai delik, karena tercantum

    dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera

    dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan

    sebaliknya ada pelanggaran, yang memang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena

    perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan, maka dicari

    ukuran lain (Sudarto, 1990: 33).

    Antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kualitatif.

    Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang

  • 32

    dilihat dari segi kriminologi, ialah pelanggaran itu lebih ringan

    daripada kajahatan. (Sudarto, 1990: 51).

    2. Delik formil dan delik materiil

    Delik formal adalah delik yang dianggap selesai dengan

    dilakukannya perbuatan itu, atau dengan perkataan lain titik

    beratnya berada pada perbuatan itu sendiri. Tidak

    dipemasalahsalahkan apakah perbuatannya, sedangkan akibatnya

    hanya merupakan aksedentalia (hal yang kebetulan). Sebaliknya di

    dalam delik materiil titik beratnya pada akibat yang dilarang, delik

    itu dianggap selesai jika akibatnya sudah terjadi, bagaimana cara

    melakukan perbuatan itu tidak menjadi masalah. (Teguh

    Prasetyo, 2010 : 57).

    Selanjutnya Sudarto mengatakan :

    Delik formil, ialah delik yang perumusannya dititikberatkan pada

    perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan

    dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik,

    misalnya, Pasal 160, 362 KUHP dll..

    Sedangkan delik materiil, adalah delik yang permusannya

    dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang).

    Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu

    telah terjadi. Kalau belum, maka paling banyak hanya ada

    percobaan, misal Pasal 338 KUHP. (Sudarto, 1990: 34).

    3. Delik Dolus dan Delik Culpa

    Dolus dan culpa merupakan bentuk kesalahan (sculd) .

    a. Delik Dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, rumusan kesengajaan itu mungkin dengan kata-kata yang tegas.

    Misalnya kata dengan sengaja,tetapi mungkin juga dengan

    kata-kata lain yang senada, seperti .diketahuinya dan sebagainya. Contoh : Pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338

    KUHP.

    b. Delik Culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur, misalnya : Pasal 195, 197, 201, 231 ayat (4) dan Pasal

    359, 360 KUHP. (Sudarto, 1990: 51).

    4. Delik Commissionis, delik Ommissionis dan delik

    Commissionis perommisionis commissa.

  • 33

    Pelanggaran hukum dapat berbentuk berbuatau sesuatu yang

    dilarang atau tidak berbuat sesuatu yang seharusnya (to commit =

    melakukan; to omit = meniadakan).

    a. Delik Commissionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian,

    penggelapan, penipuan.

    b. Delik Ommisionis: delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka

    pengadilan (Pasal 552 KUHP), tidak menolong orang yang

    memerlukan pertolongan (Pasal 531).

    c. Delik Commissionis per ommissionis commissa: delik yang berupa pelangaran larangan (dua delik commisionis), akan

    tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal :

    seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi

    air susu (Pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang

    menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak

    memindahkan wissel (Pasal 194 KUHP).(Sudarto, 1990: 52).

    5. Delik tungal dan delik berganda

    a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali

    b. Delik berganda : delik baru yang merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misal Pasal 481 KUHAP

    (penahanan sebagai kebiasaan) (Sudarto, 1990: 52).

    6. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak

    berlangsung terus (voortdurende en niet voortdurende

    (aflopende delicten).

    Delik yang berlangsung terus adalah delik yang mempunyai ciri

    bahwa keadaan terlarang berlangsung terus, misalnya merampas

    kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP).

    7. Delik aduan dan bukan delik aduan

  • 34

    Delik aduan (klachtdelic) adalah tindak pidana yang penututnya

    hanya dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang

    berkepentingan atau terkena.

    a. Delik aduan: delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena, misal :

    penghinaan (Pasal 310 dan seterusnya jo Pasal 319 KUHP),

    perzinahan (Pasal 284 KUHP), chantage (perampasan dengan

    ancaman pencemaran, Pasal 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo ayat 2)

    (Sudarto, 1990: 63). b. Bukan delik aduan : delik yang penuntutannya tidak

    memerlukan adanya pengaduan. (Sudarto, 1990: 53).

    8. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan

    bukan delik ekonomi.

    Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam Pasal

    1 Undang-Undang Darurat No. 7 tahun 1955, UU Darurat tentang

    Tindak Pidana Ekonomi (Sudarto, 1990: 53).

    9. Kejahatan Ringan

    Dalam KUHP, kejahatan-kejahatan ringan antara lain : Pasal

    364, 373, 375, 482, 384, 352, 302 (1), 315, 407 KUHP.

    (Sudarto, 1990: 53).

    B. Tindak Pidana Pencurian

    1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian

    Tindak pidana pencurian pertama yang diatur dalam KUHP di

    dalam Buku II KUHP adalah tindak pidana dalam bentuk pokok-pokok yang

    memuat semua unsur dari tindak pidana pencurian (Pasal 362 s.d. Pasal 367,

    meliputi beberapa jenis tindak pidana pencurian) sebagai berikut :

  • 35

    a. Pencurian biasa (Pasal 362); b. Pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi

    (Pasal 363);

    c. Pencurian ringan (Pasal 364); d. Pencurian dengan pemberatan (Pasal 365); e. Pencurian dalam keluarga (Pasal 367). (R. Soesilo, 1989: 249-

    255).

    Rumusan tersebut adalah jenis-jenis tindak pidana pencurian

    tersebut di atas yang dinamakan tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok

    adalah tindak pidana pencurian biasa (Pasal 362 KUHP). Sedangkan tindak

    pidana pencurian yang lainnya merupakan pencurian biasa yang disertai

    dengan keadaan-keadaan khusus.

    Sedangkan mengenai tindak pidana pencurian dengan pemberatan

    dalam diatur dalam Pasal 363 KUHP yang dirumuskan sebagai berikut :

    (1) Dincam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun : Ke-1 pencurian ternak;

    Ke-2 pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan banjir,

    gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal

    karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara,

    pemberontakan atau banyak perang.

    Ke-3 pencurian di waktu malah hari dalam sebuah rumah atau

    pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan

    oleh orang yang ada di situ diketahui atau tidak diketahui

    oleh yang berhak;

    Ke-4 pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih

    dengan bersekutu;

    Ke-5 pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan

    kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang

    diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau

    memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu,

    perintah palsu atau pakaian jabatan palsu;

    (2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu tersebut ke-4 dan ke-5, maka dikenakan pidana

    penjara paling lama sembilan tahun.

  • 36

    Tindak pidana pencurian ringan dalam Pasal 364 KUHP

    dirumuskan sebagai berikut :

    Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362, dan Pasal 363 ke-4,

    begitupun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 ke-5,

    apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarnagna

    tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak

    lebih dari dua puluh lima rupiah, dikenai karena pencurian ringan,

    pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak

    enam puluh rupiah.

    Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan

    matinya orang diatur dalam Pasal 365 ayat (1) dan ayat (3) KUHP.

    Pasal 365 ayat (1) dan (3) KUHP merumuskan :

    (2) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan

    kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan

    maksud untuk mempersiap atau mempermudah pencurian, atau

    dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan

    diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai

    barang yang dicurinya

    (3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

    Unsur istimewa yang kini ditambahkan pada pencurian biasa ialah

    mempergunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan dua macam

    maksud, yaitu ke 1 maksud untuk mempersiapkan pencurian, dan ke-2

    maksud untuk mempermudah pencurian.

    Maksud yang ke 1 perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan

    mendahului pengambilan barang, misalnya memukul atau menembak atau

    mengikat penjaga rumah. Sedangkan dalam maksud yang ke 2 pengambilan

    barang dipermudah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, misalnya

  • 37

    memukul si penghuni rumah atau mengikatnya atau menodong mereka agar

    mereka diam saja dan tidak bergerak, sementara pencuri lain mengambil

    barang-barang dalam rumah. (Wirjono Prodjodikoro, 1986 : 24).

    Tindak pidana pencurian biasa dalam Pasal 365 KUHP dirumuskan

    sebagai berikut :

    (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan

    kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan

    maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian,

    atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan

    melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap

    menguasai barang yang dicurinya.

    (2) Dinacam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun: Ke-1 jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam

    sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada

    rumahnya, di jalan umum atau dalam kereta api atau

    trem yang sedang berjalan;

    Ke-2 jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih

    dengan bersekutu;

    Ke-3 jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan,

    dengan merusak, atau memanjat atau dengan memakai

    anak kunci palsu, atau pakaian jabatan palsu;

    Ke-4 jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

    (3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama lilma belas tahun;

    (4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun,

    jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati yang

    dilakukan dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai

    oleh salah hal yang diterangkan dalam no. 1 dan No. 3.

    (Prodjodikoro, 1986 : 24 25)..

    Tindak pidana pencurian ringan diatur dalam Pasal 367 KUHP yang

    rumusannya sebagai berikut :

    (1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami (isteri) dari orang yang terkena kejahatan,

  • 38

    dan tidak terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta

    kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu tidak

    mungkin diadakan tuntutan pidana;

    (2) Jika dia adalah suami (isteri) yang terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia keluarga

    sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus, maupun garis

    menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya

    mungkin diadakan penuntutan, jika ada pengaduan yang

    terkena kejahatan;

    (3) Jika menurut lembaga matriarlkhal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain daripada bapak kandungnya, maka aturan

    tersebut ayat di atas, berlaku juga bagi orang itu.

    2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan

    Tindak pidana pencurian dengan unsur-unsur yang memberatkan atau

    di dalam doktrin juga sering disebut gewualificeerde distal atau pencurian

    berkualifikasi, yaitu pencurian dalam bentuk pokok atau pencurian biasa

    ditambah dengan unsur-unsur yang memberatkan. Pencurian dengan

    pemberatan diatur dalam pasal 363 KUHP.

    Pasal 363 KUHP merumuskan :

    (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun; Ke-1. pencurian ternak;

    Ke-2. pencurian pada ada kebakaran letusan banjir, gempa

    bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam,

    kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara,

    pemberontakan atau bahaya perang;

    Ke-3. pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah

    atau pekarangan tertutup yang rumahnya, yang dilakukan

    oleh orang yang adanya disitu tidak diketahui atau tidak

    dikehendaki oleh yang berhak;

    Ke-4. pencurian yang dilakukan oleh dua orang ataulebih

    dengan bersekutu;

    Ke-5. pencurian yang untuk masuk ketempat

    melaukankejahatan, atau untuk sampai pada barang yang

    diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau

  • 39

    memanjatkan atau dengan memakai anak kunci palsu,

    perintah palsu atau pekaian jabatan palsu;

    (2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu tersebut ke-4 dan 5, maka dikenakan pidana penjara

    paling lama sembilan tahun (Moeljatno, 1996 : 129).

    Unsur-unsur Pasal 363 KUHP adalah sebagai berikut :

    1. Barangsiapa;

    2. Mengambil suatu barang yang sebagian ataupun seluruhnya

    milik orang lain dengan maksud untuk dimiliki dengan melawan

    hukum;

    3. diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup

    yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya

    disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;

    4. yang dilakukan oleh dua oang atau lebih dengan bersekutu;

    Dari unsur-unsur tesebut di atas dapat disimpulkan bahwa, yang

    dimaksud dengan pencurian dengan pemberatan adalah pencurian biasa, yang

    disertai dengan salah satu keadaan seperti berikut :

    a. Bila yang dicuri itu adalah ternak; Menurut Pasal 101 KUHP, ternak berarti hewan yang berkuku

    satu, hewan yang memakan biak dan babi.

    b. Apabila pencurian dilakukan pada waktu sedang terjadi bermacam-macam bencana, seperti kebakaran, letusan, banjir,

    gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam,

    kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara,

    pemberontakan atau bahaya perang.

    Menurut Soesilo, antara terjadinya mapapetaka dengan pencurian

    itu harus ada hubungannya, artinya pencuri harus betul-betul

    mempergunakan kesempatan itu guna melakukan pencurian (R.

    Soesilo, 1984 : 1290).

  • 40

    c. Pencurian dilakukan pada waktu malam hari di dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang mudah ada rumahnya

    dilakukan oleh orang yang ada disitu tanpa sepengetahuan atau

    tanpa dikehendaki oleh yang berhak.

    Menurut Pasal 98 KUHP, pengertian malam hari adalah waktu

    diantara matahari terbenam dan matahari terbit.

    Pengertian kediaman menurut Lamintang, mendasarkan pada

    yurisprudensi dari perkataan worning adalah setiap tempat yang dipergunakan oleh manusia sebagai tempat kediaman,

    sehingga termasuk di dalamnya juga gerbong-gerbong kereta api

    atau gubug-gubug terbuat dari kaleng-kaleng atau karton-karton

    yang didiami oleh para tunawisma, kapal-kapal atau mobil-mobil

    yang dipakai sebagai tempat kediaman dan lain-lainnya

    (Lamintang, 1979 : 151).

    Sedangkan pengertian pekarangan tertutup, ialah dataran tanah

    yang ada pada sekelilingnya ada pagarnya (tembok, bambu,

    pagar tumbuh-tumbuhan yang hidup) dan tanda-tanda lain yang

    dianggap sebagai batas (Sughandi, 1980 : 379).

    d. Jika pencurian itu dilakukan dua orang atau lebih secara bersama-sama

    Unsur bersama-sama ini dapat dihubungkan dengan perbuatan

    turut serta menurut Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (Anwar, 1994 :

    22).

    e. Apabila untuk dapat masuk ke tempat kejahatan atau untuk dapat mengambil barang yang akan dicuri itu, pencurian itu dilakukan

    dengan jalan membongkar, memecah, memanjat atau memakai

    anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian palsu.

    Pengertian membongkar ialah mengadakan perusakan yang agak

    besar, misalnya membongkar tembok, pintu, jendela dan

    sebagainya. Dalam hal ini harus ada sesuatu yang rusak, pecah

    dan sebagainya. Apabila pencurian hanya mengangkat daun

    pintu dari engsel tidak terdapat kerusakan apa-apa, tidak dapat

    diartikan memongkar (Sughandi, 1980 : 380).

    Menurut Anwar, pengertian pembongkaran ditujukan terhadap

    benda-benda yang besar, perusakan terhadap barang-barang yang

    kecil (Anwar, 1994 : 22).

    Sedangkan mengenai pengertian kunci palsu, menurut Pasal 100

    KUHP adalah dengan anak kunci palsu termasuk alat-alat yang tidak diperuntukkan untuk membuka kunci.

    C. Pidana dan Pemidanaan

  • 41

    1. Istilah Pidana dan Pemidanaan

    Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut orang

    dewasa ini, sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran yang baru, melainkan

    sedikit atau banyak telah mendapat pengaruh dari para penulis abad yang lalu,

    yang telah mengeluarkan pendapat mereka tentang dasar pembenaran atau

    rechtvaardigings ground dari suatu pemidanaan, baik yang melihat pemidanaan

    semata-mata sebagai pemidanaan saja, maupun yang mengkaitkan dengan

    pemidanaan dengan tujuan atau dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dengan

    pemidanaannya itu sendiri. (Hamzah dan Rahayu, 1983: 21).

    Di dalam menjatuhkan hukuman atau pidana pemerintah selalu

    dihadapkan pada suatu paradoxialitas. Mengenai paradoxialitet itu, Utrecht

    sebagaimana dikutip oleh Bawengan yang menyatakan :

    Pemerintah Negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga

    supaya pribadi manusia (menselijke warrdigheid, persoonlijkheid) tidak

    disinggung dan tetap dihormati. Tetapi kadang-kadang sebaliknya,

    Pemerintah Negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan

    hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh Pemerintah Negara

    sendiri diserang, misalnya, yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada

    satu pihak Pemerintah Negara membela dan melindungi pribadi manusia

    terhadap siapapun juga, sedangkan pada pihak lain Pemerintah Negara

    menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.

    Paradoxialitet ini hendak dilindungi dan dibela itu. Paradoxialitet ini oleh

    Franz von Liszt dilukiskan sebagai "Rechtsguterschutz durch

    Rechtsguterverletzung" (melindungi hak, kepentingan dan sebagainya

    dengan menyerang, memperkosa hak, kepentingan, dan sebagainya).

    (Bawengan, 1973: 59 - 60).

    Karena adanya paradoxialitet inilah orang berusaha untuk menunjukkan,

    alasan apakah yang dapat dipakai untuk membenarkan pemidanaan. Dari alasan-

  • 42

    alasan tentang dasar pembenar dari suatu pemidanaan itulah lalu timbul teori-

    teori tentang tujuan pemidanaan. Kedua teori ini --dasar pembenar tujuan

    pemidanaan-- sangat berkaitan, yang sering hanya disebut dengan teori-teori

    pemidanaan (straftheorieen).

    Teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam tiga kelompok

    teori, yaitu :

    1. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive / vergelding

    theorieen)

    2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian / doeltheorieen)

    3. Teori gabungan (verenigingstheorieen).

    ad. 1. Teori Absolut

    Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah

    melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatumest). Pidana

    merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang

    yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada

    adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.

    Menurut Andenaes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori

    absolut ialah "untuk memuaskan tuntutan keadilan" (to satisfy the claims of

    justice); sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah

    sekunder. (Barda Nawawi Arief, 1992: 10).

  • 43

    Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam

    pendapat Kant di dalam bukunya "Philosophy of Law" sebagaimana dikutip

    Muladi mengatakan :

    " Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu

    sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus

    dikenakan hanya kaena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu

    kejahatan.

    Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk

    menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya)

    pembunuh terakhir yang masih berada di dalam penjara harus dipidana

    mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu

    dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya

    menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak

    boleh tetap ada pada anggota masayrakat, karena apabila tidak demikian

    mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian

    dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan

    umum" (Arief, 1992: 11).

    Jadi menurut Kant, pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan. Kant

    memandang pidana sebagai "Kategorische imperatief" yakni : seseorang harus

    dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan, Pidana bukan

    merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan, melainkan mencerminkan

    keadilan (uitdrukking van de gerechtigheid).(Muladi, 1984: 10)

    Salah seorang tokoh lain dari penganut teori absolut yang terkenal ialah

    Hegel yang berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai

    konsekuensi dari adanya kejahatan. Karena kejahatan adalah pengingkaran

    terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujuan dari cita-susila,

    maka pidana merupakan "Negation der Nagetion" (peniadaan atau pengingkaran

    terhadap pengingkaran). (Muladi, 1984: 10)

  • 44

    Kedua pendapat sarjana tersebut di atas yaitu Kant dan Hegel,

    mendasarkan pada "the philosophy of vengeance" atau filsafat pembalasan di

    dalam mencari dasar pembenar dari pemidanaan (Lamintang, 1986: 14).

    Pengaruh filsafat pembalasan seperti diuraikan di atas pada hakikatnya

    tidak saja nampak pada abad-abad yang lampau, melainkan juga sampai pada

    abad sekarang ini, walaupun dengan menggunakan cara dan keterangan yang

    berbeda-beda.

    Seorang sarjana "pembaharu" ajaran absolut, yang menurut Utrecht

    disebut sebagai pemberi baju baru kepada suatu teori hukuman yang sudah tua

    sekali, ialah Leo Polak. Oleh Polak dikatakan bahwa kesamaan antara sesama

    manusia membawa akibat bahwa kebahagiaan dan penderitaan harus dibagi

    antara mereka secara nyata (Muladi, 1984: 11).

    Tiap-tiap kejahatan mengganggu usaha pembagian ini. Penderitaan

    hipotetis (hypothetisch leed) yang dialami oleh tiap-tiap penduduk yang

    menghormati hukum dituangkan menjadi pidana maksimum yang diancamkan

    terhadap suatu kejahatan. Menurut Polak, keuntungan yang semula diperoleh

    seseorang penjahat harus diobjektifkan, karena itulah teorinya disebut "teori yang

    mengobjektifkan" (obyechtiverings theorie). (Barda Nawawi Arief, 1992: 14).

    Dari pendapat beberapa tokoh aliran absolut --kaum retributivest-- yang

    pada intinya mengatakan pidana mengandung nilai moral, yang bebas dari akibat

    lain yang diharapkan lebih lanjut. Cateris paribus, dunia akan menjadi baik,

    bilamana nilai-nilai moral dilindungi dengan memberikan penderitaan atas

  • 45

    penjahat. Hal ini kadang-kadang menyebabkan pandangan retributif ini

    dikategorikan sebagai teori pembalasan denda (the vindictive theory of

    punishment). (Muladi, 1984: 50).

    Menurut Walker, penganut teori retributif ini dapat dibagi dalam

    beberapa golongan, yaitu :

    1. Penganut teori retributif yang murni (the pure retributivest) yang berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan

    kesalahan si pembuat.

    2. Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat pula dibagi dalam :

    a. Penganut teori retributif yang terbatas (the limiting retributivist) yang berpendapat "pidana tidak harus cocok/sepadan dengan

    kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang

    cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa.

    b. Penganut teori retributif yang distributif (retribution in distribution), disingkat dengan sebutan teori "distributive" yang

    berpendapat bahwa, pidana janganlah dikenakan pada orang yang

    tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan

    dibatasi oleh kesalahan. Prinsip "tiada pidana tanpa kesalahan"

    dihormati, tetapi dimungkinkan adanya pengecualian misalnya

    dalam hal "strict liability". (Arief, 1992: 12 - 13).

    Dijelaskan selanjutnya oleh Walker (dalam Arief) bahwa hnaya

    golongan pertama sajalah (the pure retributivist) yang mengemukakan alasan-

    alasan atau dasar pembenaran untuk pengenaan pidana. Oleh karena itu golongan

    ini dapat disebut golongan "Punishers" (penganut aliran/teori pemidahaan)

    (Arief, 1992: 14).

    Sedangkan penganut golongan 2a dan 2b di atas, menurut Walker

    (dalam Arief, 1992: 17) tidak mengajukan alasan-alasan untuk pengenaan

  • 46

    pidana, tetapi mengajukan prinsip-prinsip untuk pembatasan pidana. Oleh karena

    itu kedua golongan ini lebih dekat dengan paham yang non-retributive.

    Teori retribution ini menurut Kaplan (dalam Muladi) dibedakan lagi

    menjadi dua teori, yaitu :

    1. Teori pembalasan (the revengetheory), dan

    2. Teori penebusan dosa (the expiation theory). (Muladi, 1984: 35).

    Menurut Kaplan, kedua teori ini sebenarnya tidak berbeda tergantung

    dari cara orang berpikir pada waktu menjatuhkan pidana; yaitu apakah pidana itu

    dijatuhkan karena kita menghutangkan sesuatu kepadanya atau karena ia

    berhutang sesuatu kepada kita. Pembalasan mengandung arti bahwa hutang si

    penjahat "telah dibayarkan kembali" (the criminal is paid back); sedangkan

    penebusan mengandung arti bahwa si penjahat "membayar kembali hutangnya

    (the criminal pays back) (Muladi, 1984: 12).

    Menurut Sudarto, sebenarnya sekarang sudah tidak ada lagi penganut

    ajaran pembalasan yang klasik, dalam arti bahwa pidana merupakan

    suatu keharusan demi keadilan belaka. Kalau masih ada penganut teori

    pembalasan, mereka itu dikatakan sebagai penganut teori pembalasan

    yang modern, misalnya van Bemmelen, Pompe dan Enschede.

    Pembalasan di sini bukanlah sebagai tujuan sendiri, melainkan sebagai

    pembatasan dalam arti harus ada keseimbangan antara perbuatan dan

    pidana; maka dapat dikatakan ada azas pembalasan yang negatif. Hakim

    hanya menetapkan batas-batas dari pidana; pidana tidak boleh

    melampaui batas dari kesalahan si pembuat. Van Bemmelen

    menyatakan bahwa untuk hukum pidana pada dewasa ini, maka

    pencegahan main hakim sendiri (vermijding van eigenrichting) tetap

    merupakan fungsi yang penting sekali dalam penerapan hukum pidana

    yakni memenuhi keinginan akan pembalasan (tegemoetkoming aan de

    vergeldings behoefte). Hanya saja penderitaan yang diakibatkan oleh

    pidana harus dibatasi dalam batas-batas yang paling sempit dan pidana

    harus menyumbang pada proses penyesuaian kembali terhukum pada

  • 47

    kehidupan masyarakat sehari-hari (prevensi special) dan di samping itu

    beratnya pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa, bahkan tidak

    dengan alasan-alasan prevensi general apapun. Pompe yang seumur

    hidupnya berpegang pada teori pembalasan menganggap pembalasan ini

    dalam arti positif dan konstruktif dan bukan dalam arti tak ada

    manfaatnya seperti dalam pandangan mereka yang anti pembalasan,

    CHR. J. Enschede menganggap pembalasan sebagai batas atas pidana

    dan pemidanaan (bovengrens) dari beratnya pidana. Hanya saja dia

    berpendapat bahwa tidak perlu pembalasan itu merupakan suatu

    tuntutan dan beratnya tindakan penguasa dalam lingkungan kebebasan

    individu ditentukan oleh tuntutan kemanfaatan di dalam batas-batas

    pembalasan. (Muladi, 1984: 12 - 14).

    Berkaitan dengan teori absolut (retribution), Cristiansen memberikan

    karakteristik teori ini sebagai berikut :

    a. tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan; b. pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung

    sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan

    masyarakat;

    c. kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; d. pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; e. pidana melihat kebelakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan

    tujuannya tidak untuk memperbaiki mendidik atau memasyarakatkan

    kembali si pelanggar (Arief, 1992: 12-13).

    ad. 2. Teori Relatif atau Teori Tujuan

    Teori relatif berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana,

    semata-mata pada suatu tujuan tertentu. Para penganjur teori relatif ini tidak

    melihat pidana itu sebagai pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa

    pemidanaan itu sendirilah yang menjadi tujuan pemidanaan, melainkan

    pemidanaan itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang lain dari pada

    pemidanaan itu sendiri. Pemidanaan dengan demikian mempunyai tujuan, oleh

  • 48

    karena itu teori inipun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).

    (Bawengan, 1973: 44).

    Dasar pembenar adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada

    tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan "quia peccatum est" (karena orang berbuat

    kejahatan) melainkan "ne peccetur" (supaya orang jangan melakukan kejahatan).

    Mengenai teori relatif ini Andenaes dapat disebut sebagai teori perlindungan

    masyarakat (the theory of social defence) karena salah satu tujuannya adalah

    melindungi kepentingan masyarakat. (Muladi, 1984: 14)

    Menurut Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reductive

    (the reductive poin of review) karena dasar pembenaran pidan adalah untuk

    mengurangi frekuensi kejahatan. Oleh karena itu penganut teori ini disebut

    "Reducers" (Muladi, 1984, 14).

    Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dari pemidanaannya, maka

    teori relatif atau teori tujuan ini masih dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu :

    a. Teori pencegahan umum (algemene preventie theorieen)

    b. Teori pencegahan khusus (bijzondere preventie theorieen)

    ad. a. Teori-teori Pencegahan Umum

    Tujuan pemidanaan dari teori ini adalah ingin membuat jera setiap

    orang agar mereka itu tidak melakukan kejahatan. Dengan perkataan lain

    pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi

    tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak

    pidana.

  • 49

    Sehubungan dengan apa yang dikemukakan Andenaes maka, Veen

    berpendapat bahwa ada tiga fungsi pengaruh dalam pengertian "general

    prevention", yaitu :

    a. menegakan kewibawaan (gezagshandhaving);

    b. menegakan norma (normhandhaving);

    c. membentuk norma (normvorming). (Barda Nawawi Arief, 1992:

    18).

    Termasuk dalam pengertian teori-teori pencegahan umum, yaitu apa

    yang disebut :

    1. afschrikkingstheorieen atau teori-teori membuat orang jera, yang bertujuan untuk membuat jera warga masyarakat agar mereka itu

    tidak melakukan kejahatan-kejahatan.

    2. De leer van de psychologische dwang atau ajaran mengenai pemaksaan secara psikologis yang telah diperkenalkan oleh Anselm

    von Feurbach. (Bawengan, 1973: 45).

    Berkaitan dengan teori relatif (utilitarian theory) Christiansen

    mengemukakan secara terperinci ciri-ciri pokok atau karakteristik dari aliran itu

    sebagai berikut :

    a. tujuan pidana adalah pencegahan (prevention); b. pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk

    mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

    c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang

    memenuhi syarat untuk adanya pidana;

    d. pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;

    e. pidana melihat ke muka (bersifat prospektif); pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik untuk pencelaan maupun

    unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu

    pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat

    (Barda Nawawi Arief, 1992: 17).

  • 50

    ad. 2. Teori Pencegahan Khusus (bijzondere preventie theorieen)

    Prevensi special dimaksudkan ada pengaruh pidana terhadap terpidana.

    Dengan demikian pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana

    dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan

    tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana itu

    berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.

    Teori tujuan pidana serupa ini dikenal dengan sebutan formation atau

    rehabilitation theory. (Muladi, 1984 : 51).

    ad. 3. Teori Gabungan

    Di samping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan

    seperti dikemukakan di atas, yakni teori absolut dan teori relatif, ada teori

    ketiga yang disebut teori gabungan (verenigingstheorieen). Pelopor teori ini

    adalah Rossi (1787 - 1884). Teori Rossi disebut teori gabungan karena

    sekalipun ia tetap menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa

    beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun dia

    berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan

    sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general. (Muladi, 1984:

    47).

    Teori seperti ini nampaknya mempunyai kecenderungan yang sama

    dengan apa yang dikatakan oleh Muladi sebagai "retributivisme teleologis"

    atau aliran integratif. Menurut pandangan ini maka tujuan pemidanaan bersifat

  • 51

    plural, karena menghubungkan prinsip-prinsip teleologis, misalnya

    "ulititarianism" dan prinsip-prinsip "retributivist" di dalam satu kesatuan,

    sehingga seringkali pandangan ini disebut sebagai aliran integratif. (Muladi,

    1984: 51).

    Aliran ini menganjurkan kemungkinan untuk menandaskan artikulasi

    terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus:

    "retribution" dan bersifat "utilitarian" misalnya pencegahan dan rehabilitas

    yang kesemuanya dilihat sebagai sarana-sarana yang harus dicapai oleh suatu

    rencana pemidanaan. Pidana dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan

    terhadap pelaku tindak pidana yang dengan satu cara tertentu diharapkan untuk

    dapat mengasimilasikan kembali narapidana dalam masyarakat. (Muladi, 1984:

    52).

    Teori integratif ini nampaknya telah memperluas tujuan pemidanaan

    yang menfokuskan pada perbaikan narapidana sebagai pelaku kejahatan / tindak

    pidana di samping sebagai tujuan awalnya adalah prevensi general.

    Menanggapi perkembangan teori tentang tujuan pemidanaan tersebut di

    atas Grupp menyatakan, bahwa kelayakan suatu teori pemidanaan tergantung

    pada :

    1. anggapan-anggapan seseorang terhadap hekikat manusia; 2. informasi yang diterima seseorang sebagasi ilmu pengetahuan yang

    bermanfaat;

    3. macam dan luas pengetahuan yang dirasakan seseorang mungkin dicapai;

    4. penilaian terhadap persyaratan-persyaratan untuk menetapkan teori tertentu, dan kemungkinan-kemungkinan yang benar-benar dapat

  • 52

    dilakukan untuk menemukan persyaratan-persyaratan tersebut.

    (Muladi 1984: 52).

    2. Tujuan Pemidanaan

    Di muka sudah disebutkan tentang pengertian pidana serta teori

    pemidanaan yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan. Sehubungan dengan hal

    tersebut, maka perlu dikemukakan tentang tujuan pemidanaan di Indonesia --

    sebagai tahap formulatif dalam penegakkan hukum-- yang erat kaitannya dengan

    pelaksanaan pemidanaan --khususnya pidana penjara dan pembinaan narapidana--

    sebagai tahap eksekusi dalam penegakkan hukum. (Muladi, 1984: 34).

    Salah satu upaya untuk mengetahui tujuan pemidanaan kita adalah

    dengan melihat pada peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini adalah

    KUHP. Untuk mengetahui tujuan pemidanaan dalam KUHP yang sekarang masih

    berlaku tampaknya tidak mudah, mengingat dalam KUHP tersebut tidak secara

    jelas mencantumkan tujuan pemidanaan.

    Upaya yang dapat ditempuh guna mengetahui tujuan pemidanaan tersebut

    adalah dengan menganalisis terhadap ketentuan-ketentuan lain maupun dari

    doktrin yang berkaitan. Apabila kita telusuri KUHP lebih jauh dengan melilhat

    historisnya, maka dapat diketahui bahwa KUHP kita ini adalah warisan dari

    W.v.S negeri Belanda yang berdasarkan asas konkordansi. W.v.S negeri Belanda

    mempunyai memori penjelasan yang disebut Memorie van Toelichting (M.v.T)

    yang secara yuridis masih dapat diberlakukan di Indonesia. Dari M.v.T ini

    tampaknya ada yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan yang menyebutkan

    (terjemahan) sebagai berikut :

  • 53

    Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap kejahatan

    harus memperhatikan keadaan obyektif dan subjektif dari tindak pidana

    yang dilakukan, harus memperhatikan perbuatan dan pembuatnya. Hak-

    hak apa saja yang dilanggar dengan adanya tindak pidana itu ? Kerugian

    apakah yang ditimbulkannya ? Apakah kejahatan yang dipersalahkan si

    penjahat dulu ? Apakah kejahatan yang dipersalahkan kepadanya itu

    langkah yang pertama ke arah jalan sesat ataukah suatu perbuatan yang

    merupakan suatu pengulangan dari watak jahat yang sebelumnya sudah

    tampak ? Batas antara minimum dan maksimum harus dtetapkan seluas-

    luasnya, sehingga meskipun semua pernyataan di atas itu dijawab, dengan

    merugikan terdakwa, maksimum pidana yang benar itu sudah memadai.

    (Sudarto, 1990: 56).

    Dilihat dari M.v.T tersebut terlihat bahwa hakim dalam memutus

    (memidana) cenderung melihat ke belakang, tentang apa yang telah terjadi ?

    perbuatan apakah yang telah dilakukan ? siapakah orang yang telah melakukan

    ? Hakim tidak melihat ke arah muka (prospektif). Selain dari M.v.T tampaknya

    ada suatu peraturan perundang-undangan yang mencerminkan bahwa

    pemidanaan kita ini menganut teori retributif yakni dari Surat Edaran Mahkamah

    Agung tanggal 3 September no. 5 Tahun 1973 yang isinya meminta hakim-hakim

    Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan pidana hendaknya

    benar-benar setimpal dengan perbuatan dan sifat setiap kejahatan.

    Dari definisi tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa KUHP

    sekarang mempunyai tujuan pemidanaan yang cenderung ke arah pembalasan

    atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, karena

    dalam pemidanaan tersebut cenderung melihat ke belakang dan dalam

    pemidanaan tersebut tidak terkandung adanya tujuan lain misalnya kesejahteraan

    masyarakat atau perbaikan narapidana. Karakteristik inilah yang dapat

  • 54

    dimasukan dala