TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KOMISI PEMBERANTASAN … · Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme 10 g. UU No.31...

85
BUKU INFORMASI Modul 05 TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

Transcript of TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KOMISI PEMBERANTASAN … · Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme 10 g. UU No.31...

BUKU INFORMASI

Modul 05

TINDAK PIDANA KORUPSIDAN KOMISIPEMBERANTASAN KORUPSI

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN 1

A. TUJUAN UMUM 1

B. TUJUAN KHUSUS 1

BAB II. TINDAK PIDANA KORUPSI MATERIIL 7

A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam Menjelaskan

Tindak Pidana Korupsi Materiil 7

1. Latar Belakang dan Sejarah Tindak Pidana

Korupsi 7

2. Tindak Pidana Korupsi dalam Peraturan

Perundang-undangan di Indonesia 7

a. Delik Korupsi dalam KUHP 7

b. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa

Perang Pusat (Pepperpu) No. Prt/

Peperpu/013/1950 7

c. UU No.24 (PRP) Tahun 1960 tentang Tindak

Pidana Korupsi 8

d. UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

tindak Pidana Korupsi 8

e. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang

Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme 8

f. UU No.28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggara negara yang Bersih dan Bebas

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme 10

g. UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi 10

h. UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan

atas UU No.31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 10

i. UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 11

j. UU No.7 Tahun 2006 tentang Pengesahan

United Nation Convention Against

Corruption (UNCAC) 2003 12

k. UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi 12

l. PP No. 71 Tahun 2000 tentang Peran Serta

Masyarakat dan Pemberian Penghargaan

dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi 20

m. Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan

Pemberantasan Korupsi 21

3. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 13

a. Manusia (Natuurlijk Persoon) 13

b. Badan Hukum/Korporasi (Rechtspersoon) 14

c. Manusia dan Korporasi Sebagai Subjek Tindak

Pidana Korupsi 14

d. Kriteria Tindak Pidana Korupsi oleh

Korporasi 15

4. Delik Tindak Pidana Korupsi yang Berasal dari

KUHP 15

5. Delik-Delik Tindak Pidana Korupsi 15

6. Delik Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana

Korupsi 51

7. Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana

Korupsi 52

B. Keterampilan yang Diperlukan dalam Menjelaskan

Tindak Pidana Korupsi Materiil 53

C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menjelaskan

Tindak Pidana Korupsi Materiil 53

BAB III. TINDAK PIDANA KORUPSI FORMIL 54

A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam Menjelaskan

Tindak Pidana Korupsi Formil 54

1. Sistem Peradilan Pidana dalam Perkara

Tindak Pidana Korupsi 54

2. Proses Penuntutan dalam Tindak Pidana

Korupsi 59

3. Pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2006SebagaiRatifikasidariUnitedNation

Convention Against Corruption (UNCAC)

dan Implikasinya terhadap Hukum Positif 63

4. Perlindungan Saksi Pelapor dalam Sistem

Peradilan Pidana Tindak Pidana Korupsi 64

B. Keterampilan yang Diperlukan dalam Menjelaskan

Tindak Pidana Korupsi Formil 67

C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menjelaskan

Tindak Pidana Korupsi Formil 67

BAB IV. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI 68

A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam Menjelaskan

Komisi Pemberantasan Korupsi 68

1. Dasar dan Tujuan Pembentukan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) 68

2. Ruang Lingkup Tugas dan Wewenang KPK 69

3. Susunan Organisasi KPK 71

4. Hambatan dan Tantangan bagi KPK dalam

Pemberantasan Korupsi di Indonesia 75

D. Keterampilan yang Diperlukan dalam Menjelaskan

Komisi Pemberantasan Korupsi 76

E. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menjelaskan

Komisi Pemberantasan Korupsi 76

DAFTAR REFERENSI 77

TENTANG PENULIS 80

DAFTAR ALAT DAN BAHAN 81

BAB I. PENDAHULUAN

A. TUJUAN UMUM

Setelah mempelajari modul ini, peserta latih diharapkan mampu menjelaskan tentang tindak

pidana korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

B. TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, peserta mampu:

1. Menjelaskan tindak pidana korupsi materiil.

2. Menjelaskan tindak pidana korupsi formil.

3. Menjelaskan tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

1 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 2

A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam

Menjelaskan Tindak Pidana

Korupsi Materiil

Maraknya kejahatan korupsi terjadi di-

sebabkan oleh banyak hal. Salah satu penyebab

utama adalah ketidaktahuan masyarakat me-

ngenai lingkup kejahatan korupsi tersebut.

Meski dalam pertanggungjawaban pidana

ketidaktahuan bukan alasan untuk menghin-

dar dari tanggungjawab hukumnya, kebutuhan

untuk menyosialisasikan lingkup kejahatan ko-

rupsi adalah hal yang sangat penting. Oleh ka-

renanya perlu penjabaran secara menyeluruh

mengenai kejahatan korupsi yang diatur oleh

perundang-undangan Indonesia.

Pembahasan pada bab ini akan dibagi

dua. Bagian pertama membahas tindak pidana

korupsi secara materiil meliputi namun tidak

terbatas pada sejarah tindak pidana korupsi, ke-

tentuan hukum materiil mengenai tindak pidana

korupsi, perbuatan apa saja yang dapat dikata-

kan sebagai tindak pidana korupsi, hingga pem-

bahasan mendalam unsur-unsur yang terdapat

pada pasal undang-undang. Sedangkan bagian

kedua membahas tindak pidana korupsi secara

formil yang meliputi ketentuan hukum acara, sis-

tem peradilan pidana, proses penuntutan, hingga

pembahasan mengenai kelembagaan Komisi

Pemberantasan Korupsi.

1. Latar Belakang dan Sejarah Tindak

Pidana Korupsi

a. Pendahuluan

Sejarah pemberantasan korupsi yang

cukup panjang di Indonesia menunjukkan bahwa

pemberantasan tindak pidana korupsi memang

membutuhkan penanganan yang ekstra keras

dan membutuhkan kemauan politik yang sangat

besar dan serius dari pemerintah yang berkuasa.

Politik pemberantasan korupsi itu sendiri ter-

cermin dari peraturan perundang-undangan

yang dilahirkan pada periode pemerintahan ter-

tentu. Keberadaan undang-undang pemberan-

tasan korupsi hanyalah satu dari sekian banyak

upaya memberantas korupsi dengan sungguh-

sungguh. Di samping peraturan perundang-

undangan yang kuat, juga diperlukan kesadaran

masyarakat dalam memberantas korupsi. Ke-

sadaran masyarakat hanya dapat timbul apa-

bila masyarakat mempunyai pengetahuan dan

pemahaman akan hakikat tindak pidana korupsi

yang diatur dalam undang-undang. Pengetahuan

masyarakat secara umumnya dan pengetahuan

para penegak hukum, utamanya KPK pada khu-

susnya mengenai tindak pidana korupsi, mutlak

diperlukan.

b. Pengantar Singkat Mengenai Korupsi

Korupsi adalah suatu kejahatan luar bi-

asa (extra ordinary crime), secara umum memiliki

ciri-ciri sebagai berikut, yaitu (1) berpotensi di-

lakukan oleh siapa saja, (2) korbannya bisa siapa

BAB II. TINDAK PIDANA KORUPSI MATERIIL

saja karena tidak memilih target atau korban

(random target atau random victim), (3) kerugian-

nya besar dan meluas (snowball effect atau dom-

ino effect), dan (4) terorganisasi atau oleh or-

ganisasi. Dalam perkembangannya keempat ciri

itu berkembang dengan sifat lintas negara, yaitu

bahwa pelaku, korban, kerugian, dan organisa-

sinya bersifat lintas negara. Berdasarkan kriteria

extra ordinary crime tersebut, terlihat bahwa ko-

rupsi memenuhi keseluruhan ciri-ciri tersebut

tanpa terkecuali.

Syed Husein Alatas dalam bukunya

Sosiologi Korupsi mengatakan korupsi se-

perti wabah penyakit menular yang berbahaya.

Pendapatnya itu didasari pada anggapan bahwa

perilaku korupsi sangat berbahaya seperti

halnya wabah penyakit yang menular dengan

tidak mengenal korbannya. Penulis beranggapan

bahwa korupsi bahkan lebih berbahaya dari wa-

bah penyakit menular. Hal ini disebabkan pada

terjadinya wabah penyakit menular, masyarakat

cenderung berupaya untuk melakukan tindakan

pencegahan secara proaktif. Dalam hal wabah

korupsi, masyarakat cenderung tidak berbuat

apa-apa untuk menghindar. Tidak jarang sese-

orang justru secara aktif melibatkan diri mem-

bantu atau memudahkan terjadi korupsi selain

juga cenderung tidak mau tahu. Lebih dari itu,

perilaku korupsi bukanlah perbuatan yang kasat

mata sebagai mana halnya wabah penyakit yang

dapat diidentifikasi proses penularannya dan

dapat diidentifikasi pula pengidap wabahnya.

Dalam kejahatan korupsi, kita tidak dapat me-

ngidentifikasi perbuatan korupsi secara kasat

mata.Begitupulakitatidakdapatmengidentifi-

kasi koruptor atau menyebutkan ciri-ciri pelaku

tindak pidana korupsi. Sehingga bagaimana kita

akan mencegah atau memberantas suatu wabah

korupsi padahal wabahnya, penularannya, dan

orang yang tertular wabah korupsi tidak dapat

kitaidentifikasikanmeminjamtagline KPK yaitu

“memahami untuk membasmi”, maka poin

penting yang harus sangat ditekankan di sini ada-

lah bahwa seseorang tidak akan mengerti dan

paham mengenai korupsi apabila hanya sekedar

membaca undang-undang dan peraturan semata.

Memahami korupsi berarti harus tahu apa asas

hukumnya, tahu segi bahasannya, dan paham

bagaimana cara kerjanya. Untuk itulah diperlu-

kan pemahaman yang menyeluruh dan tekad un-

tuk tidak serta merta alergi belajar hukum, teru-

tama hukum pidana khususnya mengenai tindak

pidana korupsi dan tindak pidana lainnya yang

erat berkaitan. Karena pada hakikatnya belajar

hukum sebenarnya banyak menggunakan logika.

Tidak ada satupun profesi hukum yang bekerja

dengan close book.

Prof. Romli Atmasasmita berpendapat

bahwa korupsi sulit diberantas karena adanya

dua faktor utama. Pertama, adalah alasan dari segi

historis budaya. Kedua, adalah karena lemahnya

perundang-undangan. Menurut hemat penulis,

pendapat tersebut sangat tidak tepat. Ada kri-

tik yang menyatakan bahwa budaya memiiki tiga

unsur penting, yaitu estethic, artistic, dan beauty.

Oleh karenanya korupsi tidak dapat di-sebut

sebagai budaya, tidak ada etisnya, tidak artistik,

apalagi beauty. Untuk itulah penulis dengan tegas

menyatakan bahwa korupsi bukanlah suatu bu-

daya.

Prof. Andi Hamzah pernah menjabarkan

mengapa korupsi sangat sulit diberantas dalam

empat alasan, yaitu sebagai berikut:

1. Kurangnya pendapatan pegawai negeri.

2. Latar belakang budaya Indonesia.

3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol

yangkurangefektifdanefisien.

4. Adanya anggapan bahwa korupsi adalah hasil

dari modernisasi.

3 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

Pertama, mengenai pendapatan atau gaji

pegawai negeri. Bahwa gaji yang kecil yang men-

dorong penyelenggara negara untuk melakukan

korupsi hingga pernah ada wacana hendak me-

naikkan gaji pegawai negeri untuk mencegah

korupsi. Bagi sebagian kalangan mungkin obat

tersebut mujarab, tetapi bagi sebagian kalangan

tertentu belum tentu sehingga perlu dicari obat

lain. Apakah pelaku korupsi hanya mereka yang

gajinya kecil saja? Tidak. Dari pegawai yang gaji

kecil sampai besar semuanya dapat terkena ko-

rupsi. Ada yang korupsi karena butuh (corruption

by needs) dan ada yang korupsi karena rakus

(corruption by greed).

Kedua, mengenai latar belakang budaya

Indonesia. Sejalan dengan kritik penulis terha-

dap pendapat Prof. Romli Atmasasmita. Bahwa

“budaya” di sini bukanlah suatu hal yang buruk.

Karena “budaya” yang dimaksud di sini antara

lain budaya memberikan upeti kepada pembesar

atau penguasa, yang sekarang ini dapat dikatego-

rikan sebagai suap karena adanya kepentingan

tertentu yang hendak diperjuangkan. Contoh

lain saat membuat KTP. Terdapat mindset apabila

petugas kelurahan tidak diberi uang maka pro-

sesnya akan dipersulit. Kultur “setoran” inilah

yang seharusnya mulai dihilangkan. Terlebih hal-

hal demikian tidak sepantasnya dikatakan sebagai

budaya yang menjunjung tinggi estethic, artistic,

dan beauty. Jangan membenarkan apa yang telah

menjadi kebiasaan. Mulailah untuk membiasakan

yang benar, bukan membenarkan yang biasa.

Ketiga, mengenai manajemen yang

kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan

efisien. Hal ini tentunya banyak dijumpai bah-

kan di kehidupan sehari-hari. Contoh suap se-

bagai salah satu bentuk korupsi. Melanggar lalu

lintas dan terkena tilang, asal ada “uang aman”

masalah selesai. Ingin mempercepat pengurusan

dokumen tertentu di kelurahan, dikenal istilah

“uang pelicin”, dan masih banyak lagi. Hal-hal ke-

cil se-perti ini terjadi di kehidupan sehari-hari

karena adanya sistem manajemen dan kontrol

yang kurang baik, sehingga menimbulkan adanya

celah-celah yang dapat dimanfaatkan.

Keempat, mengenai anggapan bahwa

korupsi adalah hasil dari modernisasi. Akibat

modernisasi, penggunaan sumber daya manusia

berkurang dan mulai tergantikan oleh banyak

mesin. Manusia akhirnya berusaha sekuat tenaga

untuk mempertahankan posisinya agar tidak

runtuh, kalau perlu dengan segala macam cara

termasuk memperkaya diri sendiri melalui jalan

korupsi.

c. Sejarah Korupsi di Indonesia

Soedarso menyatakan bahwa kultur

korupsi di Indonesia sudah dimulai sejak zaman

Multatuli, yaitu pada saat penyalahgunaan jabatan

masih marak terjadi. Saat menjadi ambtenaar dan

kontrolir, Multatuli melaporkan banyak kejaha-

tan-kejahatan yang dilakukan oleh Bupati Lebak

dan Wedana Parangkujang (Banten Selatan) ke-

pada atasannya dan meminta supaya ter-hadap

mereka ini dilakukan pengusutan. Menurut

Multatuli, Bupati tersebut telah menggunakan

kekuasaannya melebihi apa yang diperboleh-

kan oleh peraturan, dengan tujuan untuk mem-

perkaya dirinya sendiri. Kejahatan yang timbul

adalah suatu bentuk onderdanigheid, yaitu sikap

tunduk dari penduduk yang semasa itu sedang

dilingkupi penindasan dan sikap semena-mena

oleh penjajah maupun penguasa setempat (So-

edarsono, 1969:10-11).

Hamzah menyatakan bahwa penyalah-

gunaan kekuasaan yang dimaksud Soedarsono

telah diatur dalam KUHP. Karena pada masa

itu penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat me-

mang telah diperhitungkan secara khusus oleh

Peme-rintah Hindia Belanda sewaktu penyusu-

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 4

nan Wetboek van Strafrecht (Hamzah, 2007:18),

misalnya saja pada Pasal 423 KUHP mengenai

kejahatan-kejahatan knevelarij (pemerasan), yang

rumusannya sebagai berikut:

Pegawai Negeri yang dengan maksud

menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan

menyalahgunakan kekuasaanya telah memaksa

orang lain untuk menyerahkan sesuatu, untuk me-

lakukan suatu pembayaran atau telah melakukan

pemotongan terhadap suatu pembayaran atau

untuk melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi

(Lamintang & Lamintang, 2009:142-143).

Meskipun terdapat pengaturannya, na-

mun dewasa ini masyarakat seolah-olah ber-

sikap pasrah terhadap kemungkinan menjadi

korban dari tindak pidana seperti yang dimak-

sudkan dalam Pasal 423 KUHP tersebut, atau

bahkan dalam pandangan Lamintang, bahwa

rakyat sudah menjadi bebal terhadap tindak pi-

dana seperti itu karena dianggap “sudah biasa”,

bahkan mereka menjadi terbiasa untuk men-

tolerir diri mereka menjadi korban kejahatan

yang dilakukan oleh pegawai negeri (Lamintang

& Lamintang, 2009:142-143).

Selain itu, meninjau perihal latar bela-

kang kultur korupsi berarti juga meninjau peri-

hal tradisi masyarakat dan korupsi itu sendiri.

Kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat

(tradisi masyarakat) pada masa lalu secara tidak

langsung telah memberikan pengaruh terhadap

eksistensi korupsi di masa kini. Pada masa kera-

jaan dahulu dikenal pemberlakuan aturan pem-

berian upeti terhadap tanah-tanah luas. Pada

masa itu, tanah-tanah yang luas dianggap milik

raja sehingga rakyat yang menggarap tanah terse-

but harus menyerahkan pajak, sewa, dan upeti.

Pada saat aturan tersebut diberlakukan, rakyat

tidak menganggap hal tersebut sebagai tindakan

korupsi, tetapi sebagai bentuk kewajiban kepada

rajanya. Dengan demikian, kebiasaan tersebut

terus berlaku. Implikasi dari tradisi tersebut ialah

praktik korupsi berupa pemberian sesuatu ke-

pada pejabat menjadi suatu kebiasaan yang lum-

rah. Karena ditanamkan sebagai bentuk dari ke-

wajiban, sehingga seakan terjadi pembiaran dari

masyarakat. Padahal apabila kita merujuk pada

peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang korupsi, tindakan semacam ini merupa-

kan salah satu bentuk korupsi yang mengarah

pada penyuapan (Triandayani, 2002:7).

Diperlukan pemahaman yang menyelu-

ruh yang dapat menjembatani antara nilai-nilai

kearifan lokal yang telah dilakukan secara turun

temurun (misalnya seperti kebiasaan memberi-

kan upeti, amplop saat pernikahan, dsb.) de-

ngan pemahaman yang benar mengenai apa-apa

saja tindakan yang dapat dikategorikan sebagai

tindak pidana korupsi (misalnya dalam contoh

di atas, memberikan amplop saat pernikahan

dengan nilai uang lebih dari Rp. 1.000.000; dan

dengan menyebutkan siapa pengirimnya, dapat

dikategorikan sebagai tindak pidana apabila tidak

dilaporkan dan diketahui oleh KPK).

2. Tindak Pidana Korupsi dalam Per-

aturan Perundang-undangan di

Indonesia

Tindak pidana korupsi bukan merupakan

barang baru di Indonesia. Sejak zaman kerajaan-

kerajaan terdahulu, korupsi telah terjadi meski

tidak secara khusus menggunakan istilah korup-

si. Pasca zaman kemerdekaan, ketika Indonesia

mulai membangun dan mengisi kemerdekaan

dengan pembangunan, korupsi terus mengganas

sehingga mengganggu jalannya pembangunan na-

sional. Berbagai upaya pemberantasan korupsi

5 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

dilakukan oleh pemerintah sejak kemerdekaan,

baik dengan menggunakan peraturan perundang-

undangan yang ada maupun dengan membentuk

peraturan perundang-undangan baru yang secara

khusus mengatur mengenai pemberantasan tin-

dak pidana korupsi.

Berikut ini adalah peraturan perundang-

undangan yang pernah digunakan untuk mem-

berantas tindak pidana korupsi di Indonesia

beserta dengan penjelasan dan komentar-ko-

mentar selama keberlakuannya:(Kemenristekdik

ti, 2011:119-140):

• Delik korupsi dalam KUHP (1946).

• Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa

Perang Pusat No. Prt/Peperpu/013/1950.

• UU No. 24 (PRP) Tahun 1960 tentang Tindak

Pidana Korupsi.

• UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberan-

tasan Tindak Pidana Korupsi.

• TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penye-

lenggara Negara yang Bersih dan Bebas Ko-

rupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

• UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyeleng-

gara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme.

• UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberan-

tasan Tindak Pidana Korupsi.

• UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pember-

antasan Tindak Pidana Korupsi.

• UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pem-

berantasan Tindak Pidana Korupsi.

• UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan

United Nation Convention Against Corrup-

tion (UNCAC) 2003.

• UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi.

• PP No. 71 Tahun 2000 tentang Peran Serta

Masyarakat dan Pemberian Penghargaan

dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tin-

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 6

dak Pidana Korupsi.

• Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan

Pemberantasan Korupsi.

• Perpres No.55 Tahun 2012 tentang Strategi

Nasional Pencegahan dan Pemberantasan

Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025

Dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014.

• Inpres No. 10 Tahun 2016 tentang Aksi

Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Ta-

hun 2016 dan Tahun 2017.

a. Delik Korupsi dalam KUHP

Meski tidak secara khusus mengatur

mengenai tindak pidana korupsi di dalamnya,

KUHP telah mengatur banyak perbuatan ko-

rupsi, yang mana pengaturan tersebut kemudian

diikuti dan ditiru oleh pembuat undang-undang

pemberantasan korupsi hingga saat ini. Namun

meskipun demikian tetap terbuka jalan lapang

untuk menerapkan hukum pidana yang sesuai

dan selaras dengan tata hidup masyarakat Indo-

nesia mengingat KUHP sekarang ini sudah tua

dan seringkali dilabeli sebagai merek kolonial.

Dalam perjalanannya KUHP telah di-

ubah, ditambah, dan diperbaiki oleh beberapa

undang-undang nasional seperti UU No. 1 Tahun

1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, UU No.

20 Tahun 1946 tentang Hukum Tutupan, dan UU

No. 73 Tahun 1958 tentang Keberlakuan UU No.

1 Tahun 1946 untuk Seluruh Wilayah Indonesia,

termasuk berbagai undang-undang mengenai

korupsi yang mengatur secara lebih khusus be-

berapa ketentuan yang ada di KUHP.

Delik korupsi yang ada di dalam KUHP

meliputi delik jabatan dan delik yang berkaitan

dengan delik jabatan. Sesuai dengan sifat dan

kedudukan KUHP, delik korupsi yang diatur di

dalamnya masih merupakan kejahatan biasa. Pada

bagian berikutnya dalam modul ini akan dibahas

secara khusus mengenai delik-delik korupsi yang

secara mutlak ditarik atau diambil dari KUHP.

b. Peraturan Pemberantasan Korupsi

Penguasa Perang Pusat (Pepperpu)

No. Prt/Peperpu/013/1950

Peraturan ini dapat dikatakan seba-

gai peraturan pertama yang memakai istilah

korupsi sebagai istilah hukum dan juga turut

memberikan pengertian korupsi sebagai per-

buatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan

perekonomian negara. Peraturan ini setidaknya

membagi korupsi menjadi dua perbuatan, yaitu

korupsi sebagai perbuatan pidana dan korupsi

sebagai perbuatan lainnya. Pembagian ini menuai

banyak kritik dari para sarjana hukum, meski-

pun sebenarnya apabila ditelisik secara objektif,

terdapat perkembangan yang cukup baik diban-

dingkan dengan peraturan sebelumnya. Adapun

pembagian korupsi ke dalam dua jenis perbuatan

tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Korupsi Sebagai Perbuatan Pidana

a) Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam

Pasal 41-50 dalam Pepperpu ini dan dalam

Pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP.

b) Kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri

sendiri atau orang lain yang secara langsung

atau tidak langsung merugikan keuangan atau

perekonomian negara atau daerah atau me-

rugikan suatu badan yang menerima bantuan

dari keuangan negara atau badan hukum lain

yang mempergunakan modal dan kelongga-

ran-kelonggaran masyarakat.

c) Kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri

sendiri atau orang lain yang dilakukan de-

ngan menyalahgunakan jabatan atau kedudu-

kan.

2) Korupsi Sebagai Perbuatan Bukan Pidana

atau Perbuatan Lainnya

a) Kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri

sendiri atau orang lain yang secara langsung

atau tidak langsung merugikan keuangan

atau perekonomian negara atau daerah atau

merugikan suatu badan yang menerima ban-

tuan dari keuangan negara atau badan hu-

kum lain yang mempergunakan modal dan

kelonggaran-kelonggaran masyarakat.

b) Kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri

sendiri atau orang lain yang dilakukan de-

ngan menyalahgunakan jabatan atau kedudu-

kan.

c. UU No. 24 (PRP) Tahun 1960 tentang

Tindak Pidana Korupsi

Perubahan yang signifikan dari Pera-

turan Penguasa Perang Pusat ke dalam bentuk

Undang-Undang ini hanyalah pengubahan istilah

dari “perbuatan” menjadi “tindak pidana”. Salah

satu hal menarik yang patut diperhatikan adalah

bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat ten-

tang Pemberantasan Korupsi bersifat darurat,

temporer, dan berdasarkan UU Keadaan Bahaya.

Sehingga dalam keadaan normal diperlukan pe-

nyesuaian-penyesuaian tertentu agar dapat lebih

diterima secara luas, baik dari segi legitimasi

maupun segi penerapan hukumnya.

d. UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pembe-

rantasan Tindak Pidana Korupsi

Tercatat sepanjang periode 1960-1970

terdapat banyak perkara tindak pidana korup-

si. Meskipun demikian masih terlalu dini untuk

mengambil hipotesis bahwa banyaknya perkara

tindak pidana korupsi sejalan dengan efektifnya

undang-undang yang telah diberlakukan. Be-

berapa masalah yang timbul saat pembentukan

undang-undang ini antara lain, usulan untuk

memberlakukan pembuktian terbalik dan keten-

tuan berlaku surut (retroaktif).

Pada tahun 1970-an juga, Presiden

membentuk Komisi 4 dengan tujuan agar usaha-

7 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

usaha pemberantasan korupsi dapat berjalan

lebihefektifdanefisien.AdapunanggotaKomisi

4 tersebut yaitu Wilopo, I.J. Kasimo, Prof. Jo-

hannes, dan Anwar Tjokroaminoto, dengan tugas

sebagai berikut:

1. Mengadakan penelitian dan penilaian

terhadap kebijakan dan hasil-hasil yang

telah dicapai dalam pemberantasan ko-

rupsi.

2. Memberikan pertimbangan kepada

pemerintah mengenai kebijaksanaan

yang masih diperlukan dalam pemberan-

tasan korupsi.

e. TAP MPR No. XI/MPR/1998 ten-

tang Penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi,

dan Nepotisme

Semangat reformasi turut mengiringi

terbitnya TAP MPR ini, yang di dalamnya mem-

buat banyak amanat untuk membuat peratu-

ran perudang-undangan yang mengawal pem-

bangunan selama era reformasi, termasuk

diantaranya amanat untuk menyelesaikan per-

masalahan hukum Presiden Soeharto dan kro-

ni-kroninya. TAP MPR ini turut memfasilitasi

keinginan penduduk Indonesia untuk menyusun

tatanan kehidupan baru menuju masyarakat

madani berkembang di Indonesia yang mengede-

pankan civil society yang dianggap lebih mengede-

pankan kepentingan rakyat.

f. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Pe-

nyelenggara Negara yang Bersih dan

Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Memuat judul yang sama dengan TAP

MPR No. XI/MPR/1998, undang-undang ini

memperkenalkan istilah tindak pidana baru yang

dikenal sebagai Kolusi dan Nepotisme. Kedepan-

nya, ketiga tindak pidana tersebut dikenal dengan

terminologi “KKN”, yaitu singkatan dari Korupsi,

Kolusi dan Nepotisme. Dalam perjalanannya, un-

dang-undang ini tidak banyak digunakan karena

terlalu luasnya ketentuan tindak pidana yang di-

atur didalamnya serta adanya kebutuhan untuk

menggunakan ketentuan undang-undang yang

lebihspesifikdantegasdalamrangkapemberan-

tasan korupsi.

g. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pem-

berantasan Tindak Pidana Korupsi

Terdapat dua alasan diundangkannya

UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Pertama, bahwa reforma-

si dianggap perlu meletakkan nilai-nilai baru atas

upaya pemberantasan korupsi. Kedua, bahwa

undang-undang sebelumnya yang diundangkan

pada tahun 1971 dianggap sudah terlalu lama

dan tidak lagi efektif. Meskipun demikian, nyatan-

ya masih banyak ketentuan dari undang-undang

sebelumnya yang dimuat kembali di undang-un-

dang yang baru ini.

Menurut hemat penulis, terdapat be-

berapa kelemahan dari undang-undang ini yang

dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Ditariknya pasal-pasal perbuatan terten-

tu dari KUHP sebagai tindak pidana ko-

rupsi dengan cara menarik nomor pasal.

Penarikan menimbulkan risiko bahwa

apabila suatu saat KUHP diubah maka

akan berakibat pada tidak sinkronnya ke-

tentuan KUHP baru dengan ketentuan

tindak pidana korupsi yang berasal dari

KUHP lama tersebut.

2. Adanya pengaturan mengenai alasan pen-

jatuhan pidana mati berdasarkan suatu

keadaan tertentu yang dianggap berle-

bihan dan tidak sesuai dengan semangat

penegakan hukum.

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 8

9 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

3. Tidak adanya aturan peralihan yang se-

cara tegas menjadi jembatan antara

undang-undang lama dengan undang-

undang baru. Hal ini dapat menyebabkan

kekosongan hukum untuk suatu periode

atau keadaan tertentu.

h. UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas UU No. 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Beranjak dari kelemahan-kelemahan

yang terdapat pada UU No. 31 Tahun 1999, mun-

culah inisiatif untuk memperbaiki kelemahan

tersebut melalui UU No. 20 Tahun 2001 yang

mengubah beberapa ketentuan undang-undang

lama. Adapun perubahan tersebut dapat diurai-

kan sebagai berikut:

1. Penarikan pasal-pasal perbuatan tertentu

dari KUHP sebagai tindak pidana korupsi

dilakukan dengan cara mengadopsi isi

pasal secara keseluruhan sehingga peru-

bahan KUHP tidak akan mengakibatkan

ketidaksinkronan.

2. Pengaturan alasan penjatuhan pidana

mati didasarkan atas perbuatan korupsi

yang dilakukan atas dana-dana yang digu-

nakan bagi penanggulangan keadaan ter-

tentu seperti keadaan bahaya, bencana

nasional, dan krisis moneter.

3. Dicantumkannya aturan peralihan yang

secara tegas menjadi jembatan antara

undang-undang lama yang sudah tidak

berlaku dengan adanya undang-undang

baru, sehingga tidak lagi menimbulkan

risiko kekosongan hukum yang dapat

merugikan pemberantasan tindak pidana

korupsi.

i. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

KPK sebagai suatu komisi yang memiliki

tugas dan kewenangan di bidang pemberantasan

tindak pidana korupsi, dilandasi pembentukan-

nya oleh undang-undang ini. Hal ini tidak lepas

dari amanat UU No. 31 Tahun 1999 yang meng-

hendaki dibuatnya suatu komisi khusus untuk

memberantas korupsi. Karena korupsi itu sendi-

ri telah menjadi tindak pidana yang bersifat luar

biasa (extra ordinary crime), sehingga diperlukan

cara-cara yang luar biasa juga untuk memberan-

tasnya (extra ordinary measure).

Berbicara mengenai cara-cara yang luar

biasa tersebut, sebenarnya UU No. 31 Tahun

1999 telah mengakomodasi landasan hukumnya.

Hal ini dapat dijumpai antara lain pada ketentuan

mengenai alat-alat bukit yang dapat dijadikan se-

bagai dasar pembuktian di pengadilan, termasuk

dengan diakuinya beban pembuktian terbalik

terbatas atau berimbang di mana pelaku tindak

pidana korupsi juga dibebani kewajiban untuk

membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan

hasil tindak pidana korupsi.

Sejarah mencatat, KPK dibentuk sebagai

penjelmaan dari ketidakpercayaan masyarakat

atas kinerja Kepolisian dan Kejaksaan dalam

memberantas korupsi. Kedua institusi terse-

but terlanjur dipandang dan dianggap oleh

masyarakat sebagai tempat terjadinya korupsi

baru, baik dalam penanganan perkara-perkara

korupsi maupun penanganan perkara-perkara

lainnya, sehingga tidaklah mengherankan bila

KPK diberikan kewenangan yang lebih besar

dibanding institusi pemberantasan korupsi yang

telah ada sebelumnya yaitu Kepolisian dan Ke-

jaksaan. Hal ini juga merupakan pengejawanta-

han dari cara-cara atau upaya-upaya yang luar

biasa untuk memberantas korupsi.

Fungsi KPK itu sendiri pada awalnya

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 10

adalah trigger mechanism atau pemicu, terutama

bagi Kepolisian dan Kejaksaan dalam melaku-

kan pemberantasan korupsi. KPK juga memiliki

kewenangan untuk menjadi supervisi bagi Ke-

polisian dan Kejaksaan, misalnya dengan dapat

mengambil alih perkara korupsi yang ditangani

Kepolisian dan Kejaksaan apabila penanganan

perkara oleh kedua isntitusi tersebut dianggap

tidakmemilikiperkembanganyangsignifikan.

Lantas bagaimana menentukan kapan

suatu perkara menjadi kewenangan KPK dan

kapan menjadi kewenangan Kejaksaan? KPK

sendiri dibatasi kewenangannya untuk menanga-

ni perkara-perkara sebagai berikut:

1. Perkara yang melibatkan aparat penegak

hukum dan/atau penyelenggara negara.

2. Perkara yang mendapat perhatian yang

meresahkan masyarakat.

3. Perkara yang menyangkut kerugian ne-

gara paling sedikit Rp.1 miliar. (Pasal 11

UU No.30 Tahun 2002)

j. UU No. 7 Tahun 2006 tentang Penge-

sahan United Nation Convention

Against Corruption (UNCAC) 2003

UNCAC merupakan hasil dari Me-

rida Conference di Meksiko tahun 2003 sebagai

wujud keprihatinan dunia atas korupsi. Melalui

UNCAC negara-negara yang hadir dalam kon-

ferensi menyepakati perlu adanya suatu pe-

rubahan tatanan dunia dan kerjasama antara

negara-negara dalam pemberantasan korupsi.

UNCAC mengatur antara lain mengenai ker-

jasama hukum timbal balik (mutual legal assis-

tance atau MLA), pertukaran narapidana (trans-

fer of sentence person), korupsi di lingkup swasta

(corruption in private sector), dan pemulihan aset

hasil kejahatan (asset recovery).

Melalui UU No. 7 Tahun 2006, Indone-

sia meratifikasi UNCAC dengan pengecualian,

yaitu pada ketentuan Pasal 66 ayat (2) tentang

Penyelesaian Sengketa. Pada prinsipnya Indone-

sia menolak untuk mengikuti kewajiban pen-

gajuan perselisihan kepada Mahkamah Interna-

sional, kecuali dengan adanya kesepakatan para

pihak.

k. UU No. 46 Tahun 2009 tentang

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 012-016-019/PUU-IV/2006 tang-

gal 19 Desember 2006, Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi yang dibentuk berdasarkan ketentuan

Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 dinyatakan ber-

tentangan dengan UUD 1945. Pertimbangan

utama dari putusan ini adalah ketentuan bahwa

pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam

salah satu lingkaran peradilan umum yang diben-

tuk dengan undang-undang tersendiri (Penje-

lasan Umum UU No. 46/2009). Oleh karenanya,

dibuatlah undang-undang baru yang menjadi pa-

yung hukum dari Pengadilan Tindak Pidana Ko-

rupsi, yaitu UU No. 46 Tahun 2009.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi me-

rupakan pengadilan khusus yang berada di ling-

kungan Peradilan Umum, berkedudukan di setiap

ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya

meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang

bersangkutan. Khusus untuk DKI Jakarta, Pe-

ngadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan

di setiap kota yang daerah hukumnya meliputi

daerah hukum pengadilan negeri yang bersang-

kutan. (Ali, 2014:41). Pengadilan ini berwenang

mengadili tiga jenis tindak pidana, yaitu (1) tin-

dak pidana korupsi, (2) tindak pidana pencucian

uang yang tindak pidana asalnya (predicate crime)

adalah tindak pidana korupsi, dan (3) tindak pi-

dana yang secara tegas dalam undang-undang

lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.

11 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

l. PP No. 71 Tahun 2000 tentang Peran

Serta Masyarakat dan Pemberian

Penghargaan dalam Pencegahan

dan Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

Pasal 41-42 UU No. 31 Tahun 1999

mengatur bahwa “Masyarakat dapat berperan

serta membantu upaya pencegahan dan pem-

berantasan korupsi.” Sehingga pemerintah ke-

mudian membuat peraturan turunan dari un-

dang-undang tersebut dalam bentuk PP No. 71

Tahun 2000 tentang Peran Serta Masyarakat dan

Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Latar belakang timbulnya ketentuan ini

adalah karena adanya krisis kepercayaan karena

korupsi yang terjadi di berbagai bidang pemerin-

tahan. Masyarakat pun menjadi skeptis terhadap

pemerintah. Padahal tanpa dukungan masyarakat

secara luas, program-program yang telah disusun

untuk memberantas tindak pidana korupsi ten-

tunya tidak akan berjalan secara maksimal. Pada

dasarnya PP No. 71 Tahun 2000 memberikan

hak kepada masyarakat untuk mencari, mem-

peroleh, dan memberikan informasi tentang

dugaan korupsi serta menyampaikan saran dan

pendapat maupun pengaduan kepada penegak

hukum, baik kepada polisi, jaksa, hakim, advokat,

dan juga KPK. Selain itu PP ini juga mengako-

modasi anggota masyarakat yang telah berperan

serta dalam memberantas tindak pidana korupsi

dengan memberikan penghargaan.

Beberapa bentuk dukungan masyarakat

yang diatur dalam PP ini adalah:

1. Mengasingkan dan menolak keberadaan ko-

ruptor.

2. Memboikot dan memasukkan nama korup-

tor dalam daftar hitam.

3. Melakukan pengawasan lingkungan.

4. Melaporkanadanyagratifikasi.

5. Melaporkan adanya penyelewengan penye-

lenggaraan negara.

6. Berani memberi kesaksian.

7. Tidakasallaporataufitnah.

m. Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Per-

cepatan Pemberantasan Korupsi

Adanya keinginan dari pemerintah un-

tuk mempercepat pemberantasan korupsi turut

melatarbelakangi terbitnya Inpres No. 5 Tahun

2004. Melalui Inpres ini, Presiden merasa perlu

memberi instruksi khusus (berjumlah 12 in-

struksi) untuk membantu KPK dalam penyeleng-

garaan laporan, pendaftaran, pengumuman, dan

pemeriksaan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan

Penyelenggara Negara). Instruksi ini pun ditu-

jukan secara khusus kepada beberapa menteri,

Jaksa Agung, Kapolri, serta seluruh Gubernur

dan Bupati/Walikota sesuai peran dan tanggung

jawab masing-masing. Selain itu juga terdapat

Perpres No. 55 Tahun 2012 tentang Strategi Na-

sional Pencegahan dan Pemberantasan korupsi

Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka

Menengah Tahun 2012-2014 dan Inpres No. 10

Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pem-

berantasan Korupsi Tahun 2016 dan Tahun 2017.

3. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi

Korupsi, sebagai salah satu tindak pi-

dana, pastilah dilakukan oleh subjek hukum, yaitu

suatu entitas atau segala sesuatu yang dapat me-

miliki hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam

ilmu hukum subjek hukum terbagi menjadi dua,

yaitu manusia (natuurlijk persoon) dan badan

hukum (rechtspersoon). Perlu kiranya diuraikan

secara singkat apa yang dimaksud dengan sub-

jek hukum manusia dan badan hukum tersebut

dalam bagian ini.

a. Manusia (Natuurlijk Persoon)

Manusia sebagai subjek hukum memiliki

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 12

arti bahwa manusia memiliki hak dan kewajiban,

baik yang sudah ada sejak lahir hingga mati atau-

pun yang timbul sewaktu-waktu ketika manusia

melakukan tindakan hukum tertentu (Mertoku-

sumo, 2010:92-93). Ilustrasi sederhananya adalah

bahwa seorang bayi manusia memiliki hak untuk

hidup bebas sejak dari kandungan hingga lahir

(hak asasi manusia). Kemudian saat melakukan

tindakan hukum seperti jual beli misalnya, antara

manusia yang membeli barang dengan manu-

sia yang menjual barang. Pembeli memiliki ke-

wajiban membayar uang sejumlah harga barang

dan sebaliknya memiliki hak untuk mendapatkan

barang yang telah dibelinya. Demikian halnya

dengan penjual yang memiliki hak menerima

uang sesuai harga yang telah disepakatinya dan

memiliki kewajiban menyerahkan barang yang

telah lunas dibeli tersebut kepada pembelinya.

Manusia sebagai subjek hukum setidaknya mem-

punyai tiga sifat, yaitu:

1. Mandiri, yaitu mempunyai kemampuan pe-

nuh untuk bersikap tindak, yang dalam ba-

hasa hukum seringkali disebut dengan cakap.

2. Terlindung, yaitu apabila dianggap tidak

mampu bersikap tindak, maka tidak dapat

dihukum. Contohnya adalah orang cacat

mental, orang yang menderita gangguan keji-

waan, dan anak di bawah umur.

3. Perantara, yaitu sikap tindaknya dibatasi

sebatas kepentingan pihak yang diantarain-

ya (kepentingan pengampu dibatasi oleh

kepentingan orang yang diampunya). Con-

tohnya adalah adanya wali bagi anak yang

belum dewasa dan adanya pengampu bagi

seseorang yang sudah dewasa tetapi akal

pikirannya tidak sehat.

Selain itu perlu juga disoroti subjek hu-

kum manusia yang berperan sebagai pegawai

negeri, di mana pegawai negeri yang dimak-

sud disini tidak hanya sebatas (1) pegawai

negeri yang diatur dalam UU No.43 Tahun 1999

tentang Kepegawaian (Pegawai Negeri adalah se-

tiap warga negara Republik Indonesia yang telah

memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh

pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam

suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara

lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perun-

dang-undangan yang berlaku) dan UU No.5 Tahun

2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Pasal 1 an-

gka 1, 2, 3, dan 4) tetapi juga (2) pegawai negeri

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)

KUHP (Yang disebut pejabat, termasuk juga orang-

orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan

berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga

orang-orang yang, bukan karena pemilihan, men-

jadi anggota badan pembentuk undang-undang

pemerintahan, atau badan perwakilah rakyat, yang

dibentuk oleh Pemerintah atau atas nama Pemer-

intah, begitu juga semua anggota dewan watersc-

hap, dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan

kepala golongan Timur Asing yang menjalankan ke-

kuasaan yang sah), (3) orang yang menerima gaji/

upah dari keuangan negara/daerah, (4) orang

yang menerima gaji/upah dari suatu korporasi

yang menerima bantuan dari keuangan negara/

daerah, dan (5) orang yang menerima gaji/upah

dari korporasi yang mempergunakan modal atau

fasilitas dari negara/masyarakat.

b. Badan Hukum/Korporasi (Rechtsper-

soon)

Badan hukum adalah organisasi atau

kelompok manusia yang mempunyai tujuan ter-

tentu yang dapat menyandang hak dan ke-

wajiban. Negara dan perseroan terbatas mis-

alnya, adalah organisasi atau kelompok manusia

yang merupakan badan hukum. Selain itu badan

hukum bertindak sebagai satu kesatuan dalam

lalu lintas hukum seperti orang. Hukum mencip-

takan badan hukum oleh karena itu pengakuan

13 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

organisasi atau kelompok manusia sebagai sub-

jek hukum itu sangat diperlukan (Mertokusumo,

2010:93-94).

Secara teoritis badan hukum dibagi

menjadi dua jenis, yaitu badan hukum privat dan

badan hukum publik. Selain itu terdapat empat

teori yang sering digunakan sebagai syarat badan

hukum untuk menjadi subjek hukum, yaitu:

1. Teori Fictie, bahwa badan hukum adalah

suatu rekayasa yang tidak nyata (von Savigny).

2. Teori Kekayaan Bertujuan, bahwa badan

hukum memiliki kekayaan yang terpisah

dengan kekayaan pemilik maupun anggo-

tanya (Alois von Brinz).

3. Teori Pemilikan, hak dan kewajiban badan

hukum terpisah dengan hak dan kewajiban

pemilik maupun anggotanya (Planiol dan Mo-

lengraaf).

4. Teori Organ, bahwa dalam suatu badan

hukum ada organ-organ di dalamnya yang

menjalankan hak dan kewajibannya (Otto von

Gierke).

c. Manusia dan Korporasi Sebagai Subjek

Tindak Pidana Korupsi

Menilik pada sejarahnya, suatu tindak

pidana biasanya hanya dapat dilakukan oleh

subjek hukum manusia saja. Fenomena ini se-

laras dengan ketentuan yang termuat dalam

KUHP bahwa hanya manusia saja (yang tercer-

min dalam kata-kata “barang siapa”) yang dapat

dijatuhi pidana, baik dalam bentuk penjara, ku-

rungan, maupun denda atau jenis-jenis pidana

lainnya. Namun seiring dengan perkembangan

zaman, ternyata mulai didapati pula tindak pi-

dana yang dilakukan oleh korporasi sebagai

badan hukum. Hal ini tentu saja menimbulkan

polemik mengenai apakah badan hukum dapat

dijatuhi pidana? Jawabannya adalah tentu saja da-

pat.

UU No. 31 Tahun 1999 mengamini

bahwa subjek hukum yang dapat dijatuhi pidana

karena melakukan tindak pidana korupsi adalah

subjek hukum manusia dan/atau badan hukum.

Pasal 1 angka 3 UU No. 31 Tahun 1999 secara

tegas mengatur “Setiap orang adalah orang per-

seorangan atau termasuk korporasi.” Sedangkan

definisikorporasiitusendiridapatditemuipada

Pasal 1 angka 1 UU No. 31 Tahun 1999 yaitu

“Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau ke-

kayaan yang terorganisasi baik merupakan badan

hukum maupun bukan badan hukum.” Meskipun

sekilas terlihat seperti penyimpangan dari ke-

tentuan KUHP, namun tentu saja ketentuan ini

sah dan legal karena sejalan dengan asas lex spe-

cialis derogat legi generalis.

d. Kriteria Tindak Pidana Korupsi oleh

Korporasi

Pasal 20 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999

menyatakan bahwa “Tindak pidana korupsi di-

lakukan oleh korporasi apabila tindak pidana terse-

but dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan

hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan

lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut

baik sendiri maupun bersama-sama.” Maksud dari

rumusan pasal tersebut adalah bahwa korporasi

dikatakan melakukan tindak pidana korupsi jika

(1) dilakukan oleh orang-orang berdasarkan

hubungan kerja maupun hubungan lain, dan (2)

bertindak dalam lingkungan korporasi terse-

but baik sendiri maupun bersama-sama. Kedua

kriteria tersebut menjadi penanda bahwa kor-

porasi-lah yang melakukan tindak pidana (Ali,

2014:52-53).

Terdapat setidaknya dua teori yang da-

pat digunakan untuk menjelaskan tindak pidana

korupsi oleh korporasi. Pertama, teori pelaku

fungsional (functioneel daaderschap) yang dije-

laskan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro. Teori

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 14

ini memandang bahwa dalam lingkungan sosial

ekonomi, pelaku tidak perlu selalu melakukan

perbuatanitusecarafisik,tetapidapatsajaper-

buatan tersebut dilakukan oleh pegawainya, asal-

kan perbuatan tersebut masih dalam ruang ling-

kup fungsi-fungsi dan kerwenangan korporasi

(Reksodiputro, 1994:107-108). Apabila pegawai

tersebut melakukan suatu pelanggaran yang

dilarang oleh hukum, sesungguhnya perbuatan

tersebut merupakan perbuatan yang dilakukan

oleh korporasi (Ali, 2014:53).

Kedua, teori identifikasi (identification

theory). Teori ini pada intinya menyatakan bahwa

korporasi dapat melakukan perbuatan pidana

secara langsung melalui orang-orang yang sangat

berhubungan erat dengan korporasi yang dalam

derajat tertentu dapat dipandang sebagai korpo-

rasi itu sendiri. Perbuatan yang dilakukan oleh

anggota-anggota tertentu dari korporasi, selama

perbuatan itu berkaitan dengan korporasi, diang-

gap sebagai perbuatan dari korporasi itu sendiri.

Sehingga apabila perbuatan tersebut mengaki-

batkan terjadinya kerugian, atau jika anggota

tertentu korporasi melakukan tindak pidana,

maka sesungguhnya perbuatan pidana tersebut

merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh

korporasi, yang pada akhirnya korporasi dapat

dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana

yang telah dilakukannya (Ali, 2014:53).

4. Delik Tindak Pidana Korupsi yang

Berasal dari KUHP

Dalam perkembangannya tidak dapat

dipungkiri bahwa terdapat banyak pasal dari UU

No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001

yang secara mutlak diambil dari KUHP. Penting

sekali bagi penegak hukum untuk memahami ri-

wayat dibuatnya suatu pasal pada undang-undang

dan asalnya dari pasal dalam KUHP. Misalnya bila

merujuk pada ketentuan Pasal 5 UU No. 31 Ta-

hun 1999 (sebelum diubah dengan UU No. 20

Tahun 2001) yang rumusannya sebagai berikut:

Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999

Setiap orang yang melakukan tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan

paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling

sedikit Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

dan paling banyak Rp250.000.000,- (dua ratus

lima puluh juta rupiah).

Penjelasan Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999

Cukup jelas.

Pasal 209 KUHP

(1) Dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) ta-

hun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyak-

banyaknya Rp4.500,-:

1. barang siapa memberi hadiah atau per-

janjian kepada seorang pegawai negeri

dengan maksud hendak membujuk dia, su-

paya dalam pekerjaannya ia berbuat atau

mengalpakan sesuatu apa, yang berten-

tangan dengan kewajibannya.

2. barang siapa memberi hadiah kepada se-

orang pegawai negeri oleh sebab atau ber-

hubungan dengan pegawai negeri itu sudah

membuat atau mengalpakan sesuatu apa

dalam menjalankan pekerjaannya yang ber-

tentangan dengan kewajibannya.

(2) Dapat dijatuhkan hukuman mencabut hak

yang tersebut dalam Pasal 35 No. 1-4 (KUHP

92, 149, 210, 418).

Apabila rumusan pasal tersebut di atas,

baik yang tertulis dalam undang-undang mau-

pun yang tertulis dalam KUHP sebagai pasal

asalnya, maka dapat juga dirujuk penjelasan pasal,

putusan-putusan pengadilan (yurisprudensi),

15 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

doktrin, dan juga MvT (memorie van toelichting)

atau risalah pembentukan KUHP untuk menda-

patkan gambaran dan pengetahuan yang lebih

mendalam mengenai maksud dan tujuan pasal

ini pada saat dibentuknya (mengetahui mak-

sud pembuat undang-undang). Misalkan dalam

contoh ini penulis akan merujuk pendapat R.

Soesilo (Soesilo, 1995:166) mengenai pasal

terkait, yaitu:

1. Kejahatan ini biasa disebut “menyuap” atau

“menyogok” pegawai negeri (actieve omkoo-

ping).

2. Unsur yang penting dalam pasal ini ialah,

orang itu harus mengetahui, bahwa ia ber-

hadapan dengan seorang “pegawai negeri”,

jika bukan pegawai negeri ia tidak dapat di-

hukum.

3. Maksud pemberian hadiah atau perjanjian

itu harus membujuk supaya pegawai negeri

itu dalam pekerjaannya berbuat atau men-

galpakan sesuatu yang “bertentangan den-

gan kewajibannya”, jadi kalau untuk berbuat

atau mengalpakan sesuatu yang sah menurut

kewajiban jabatannya, tidak dapat dihukum.

4. Seorang yang berbuat pelanggaran atau ke-

jahatan memberi hadiah (uang atau barang)

atau perjanjian (berupa apa saja) kepada

agen polisi dengan maksud supaya jangan

membuat proses-verbal (jadi bertentangan

dengan kewajiban agen polisi), dapat dihu-

kum menurut sub 1 pasal ini.

Seorang yang telah berbuat suatu pelang-

garan atau kejahatan, memberi hadiah atau

perjanjian pada agen polisi, setelah agen

polisi itu ternyata tidak membuat proses-

verbal terhadapnya, dapat dihukum menurut

sub 2 pasal ini. Berhubung dengan ini maka

dapatlah ditentukan, bahwa pada saat pem-

berian dilakukan, kejahatan ini telah selesai,

meskipun pegawai itu tidak mau menerima

pemberiannya, misalnya dalam hal menyuap

itu meletakkan sejumlah uang di atas meja

tulis dan pegawai negeri itu menolak untuk

menerimanya. Dapat dipandang sebagai

suatu janji ialah mengeluarkan dompet uang

dengan mengeluarkan kata-kata “tidak da-

patkah tuan menyimpan perkara ini?” atau

“tidak dapatkah tuan meniadakan proses-

verbal atas kejahatan ini?”.

Tidak usah penyuap itu melakukan sendiri

pemberian atau janji, hal ini dapat dilaku-

kan pula dengan mempergunakan seorang

perantara, yang mana mungkin dapat diper-

salahkan sengaja membantu kejahatan itu.

5. Pegawai negeri yang menerima pemberian,

hadiah, atau perjanjian semacam itu dapat

dipersalahkan “menerima suap” dalam Pasal

418 atau 419 KUHP (pasieve omkooping).

6. Apa yang disebut “pegawai negeri” lihat

catatan pada Pasal 92 KUHP.

7. Menurut UU No. 3 Tahun 1971, Pasal 209

ini dipandang sebagai “tindak pidana korup-

si” dan diancam hukuman penjara seumur

hidup atau penjara selama-lamanya 2 tahun

dan denda setinggi-tingginya Rp30.000.000,-

Contoh di atas barulah merujuk pada

salah satu referensi, yaitu penjelasan pasal-pasal

dalam KUHP menurut R. Soesilo. Apabila terda-

pat yurisprudensi, doktrin, ataupun risalah pem-

bentukan mengenai Pasal 209 tentunya dapat

ditambahkan untuk lebih memberikan gambaran

secara komprehensif mengenai Pasal 5 UU No.

31 Tahun 1999 jo. Pasal 20 Tahun 2001. Berikut

adalah tabel delik korupsi yang secara mutlak di-

ambil dan dikembangkan dari pasal-pasal KUHP.

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 16

Tabel Delik Korupsi yang Secara Mutlak Diambil dari KUHP

Sumber: Gandjar Laksmana Bonaprapta, “Tindak Pidana Korupsi dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia” dalam

Kemenristekdikti, Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Kemenristekdikti, 2011: 129).

Tabel Delik Korupsi yang Dirumuskan oleh Pembuat Undang-Undang

UU No. 31 Tahun 1999 jo.UU No. 20 Tahun 2001

Diadopsi dari KUHP

Pasal 5 ayat (1) huruf a Pasal 209 ayat (1) ke-1Pasal 5 ayat (1) huruf b Pasal 209 ayat (1) ke-2Pasal 6 ayat (1) huruf a Pasal 210 ayat (1) ke-1Pasal 6 ayat (1) huruf b Pasal 210 ayat (2) ke-2Pasal 7 ayat (1) huruf a Pasal 387 ayat (1)Pasal 7 ayat (1) huruf b Pasal 387 ayat (2)Pasal 7 ayat (1) huruf c Pasal 388 ayat (1)Pasal 7 ayat (1) huruf d Pasal 388 ayat (2)Pasal 8 Pasal 415Pasal 9 Pasal 416Pasal 10 Pasal 417Pasal 12 huruf a Pasal 419 ke-1Pasal 12 huruf b Pasal 419 ke-2Pasal 12 huruf c Pasal 420 ayat (1) ke-1Pasal 12 huruf d Pasal 420 ayat (1) ke-2Pasal 12 huruf e Pasal 423Pasal 12 huruf f Pasal 425 ke-1Pasal 12 huruf g Pasal 425 ke-2Pasal 12 huruf h Pasal 425 ke-3Pasal 12 huruf i Pasal 435

17 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

Pasal 12 huruf i Pasal 12 huruf i1. Pasal 1 ayat (1) huruf a, b,

dan d2. Pasal 1 ayat (2)

1. Pasal 22. Pasal 33. Pasal 134. Pasal 15

5. Delik-Delik Tindak Pidana Korupsi

Terdapat 13 pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang mengatur mengenai

tindak pidana korupsi, yang mana dapat dikerucutkan menjadi 7 macam perbuatan utama, yaitu:

1) Merugikan keuangan negara.

2) Suap.

3) Penggelapan dalam jabatan.

4) Paksaan mengeluarkan uang (pemerasan).

5) Perbuatan curang.

6) Benturan kepentingan dalam pengadaan (penipuan oleh pemborong).

7)Gratifikasi.

Ketujuh macam perbuatan utama tersebut apabila dijabarkan lebih mendetail akan menjadi 30 ben-

tukperbuatanspesifik.Selainitutindakpidanakorupsijugadapatditelisikeratkaitannyadengantindakpi-

dana lainnya, misalnya tindak pidana pencucian uang. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing perbuatan

utama tersebut.

1) Merugikan Keuangan Negara

Dalam kategori perbuatan yang merugikan keuangan negara, hanya terdapat dua pasal dari 13 pasal

yang mengatur seluruh tindak pidana korupsi dalam undang-undang, yaitu Pasal 2 dan Pasal 3. Secara se-

derhana Pasal 2 digunakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang bukan merupakan pejabat negara,

sedangkan Pasal 3 digunakan terhadap pelaku yang merupakan pejabat negara (PNS/ASN) yang memiliki

kewenangan, kesempatan, atau sarana tertentu yang berasal dari negara.

a. Pasal 2

Tindak pidana korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2000 diatur pada Bab II,

yang pasal pertamanya langsung mengatur korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan atau perekonomian

negara. Berikut adalah uraiannya.

Pasal 2

1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana

dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan ter-

tentu, pidana mati dapat dijatuhkan

Penjelasan Pasal 2

1. Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan

hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak dia-

tur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela ka-

rena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka

perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan

keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 18

formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang

sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

2. Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam Pasal ini adalah keadaan yang dapat dijadikan

alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut

dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana

alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi

dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Tabel Unsur Pasal 2

No. Unsur Keterangan1 Setiap orang Setiap orang yang dimaksud tidak hanya manusia

tetapi juga korporasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.

2 Secara melawan hukum Melawan hukum dalam arti materiil (berlawa-nan dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat) dan dalam arti formil (berlawanan dengan ketentuan dalam peraturan tertulis).

3 Melakukan perbuatan Menurut KBBI, melakukan perbuatan berarti melakukan sesuatu yang diperbuat, berupa tin- dakan apapun. Dalam hukum pidana dikenal adanya jenis delik formil dan delik yang dilakukan secara aktif.

4 Memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau korporasi

Secara harafiah memperkaya adalah kegiatanapapun yang menjadikan bertambahnya kekayaan, terlepas dari kuantitas penambahan yang terjadi. Misalkan dengan membeli, menjual, mengambil, memindah bukukan rekening, serta perbu-atan lainnya sehingga pelaku jadi bertambah kekayaan-nya (Mulyadi, 2007:81). Bertambahnya kekayaan pelaku juga harus memi-liki hubungan dengan berkurangnya kekayaan ne-gara. Selain itu tidak ada keharusan bahwa pelaku saja yang bertambah kekayaannya, tapi juga orang lain (seperti keluarganya) atau bahkan korporasi. (Ali, 2014:93-94).

19 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

5 Dapat merugikan keuangan atau perekono-mian negara

Kerugian yang dimaksud bukan hanya sekedar pengertian kerugian seperti dalam suatu peru-sahaan, tetapi kerugian yang terjadi karena sebab perbuatan (perbuatan melawan hukum atau pe-nyalahgunaan wewenang (Ali, 2014:105).

Selain itu terdapat penjelasan mengenai unsur

“yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara” yang terdapat dalam Pen-

jelasan Umum UU No. 31 Tahun 1999, yaitu:

Keuangan negara yang dimaksud adalah

seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun,

yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, ter-

masuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara

dan segala hak yang timbul karena:

(a) Berada dalam penguasaan, pengurusan,

dan pertanggungjawaban pejabat lemba-

ga negara, baik di tingkat pusat maupun di

daerah.

(b) Berada dalam penguasaan, pengurusan,

dan pertanggungjawaban Badan Usaha

Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah,

yayasan, badan hukum, dan perusahaan

yang menyertakan modal negara, atau pe-

rusahaan yang menyertakan modal pihak

ketiga berdasarkan perjanjian dengan ne-

gara.

Sedangkan yang dimaksud dengan Per-

ekonomian Negara adalah kehidupan pereko-

nomian yang disusun sebagai usaha bersama

berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha

masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada

kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat mau-

pun di daerah sesuai dengan ketentuan pera-

turan perundang-undangan yang berlaku yang

bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran,

dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan

rakyat.

Sebagai catatan, unsur kerugian

keuangan negara atau perekonomian negara

tidak bersifat mutlak, yaitu bahwa kerugian itu

tidak harus telah terjadi. Sekedar suatu perbua-

tan memperkaya dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara. Dengan de-

mikian perbuatan memperkaya secara melawan

hukum telah memenuhi rumusan pasal ini.

b. Pasal 3

Pada intinya pasal ini melarang setiap

perbuatan mengambil atau mencari untung

yang dilakukan dengan cara menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan, atau sarana. Memang

tidak dapat dipungkiri bahwa mencari untung

adalah naluri setiap orang sebagai makhluk

sosial dan makhluk ekonomi. Tetapi yang dila-

rang oleh undang-undang adalah perbuatan

mencari untung yang dilakukan dengan men-

yalahgunakan wewenang, kesempatan, atau sara-

na. Sebagai catatan, keuntungan dalam arti nama

baik tidak termasuk dalam pengertian ini.

Pasal 3

Setiap orang yang dengan tujuan me-

nguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi, menyalahgunakan kewenangan, ke-

sempatan, atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara, dipi-

dana dengan pidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda

paling sedikit Rp50.000.000,- (lima puluh juta ru-

piah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu

miliar rupiah).

Penjelasan Pasal 3

Kata “dapat” dalam ketentuan ini diartikan sama

dengan Penjelasan Pasal 2.

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 20

Tabel Unsur Pasal 3

No. Unsur Keterangan1 Setiap orang Setiap orang yang dimaksud tidak hanya manusia tetapi juga

korporasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak ber-badan hukum.

2 Dengan tujuan Merupakan penjabaran dari ajaran kesalahan dan pertang-gungjawaban pidana, yaitu opzet atau kesengajaan atau de-ngan sengaja. Unsur dengan tujuan merupakan bentuk ke-sengajaan sebagai tujuan.

3 Menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi

Menurut KBBI menguntungkan berarti mendapatkan laba atau manfaat. Keuntungan yang diperoleh harus merupakan keuntungan materiil, dan keuntungan materiil tidak harus berupa uang. Memperoleh suatu keuntungan atau men-guntungkan pada dasarnya memiliki arti memperoleh atau menambah kekayaan dari yang sudah ada sebelumnya (La-mintang, 1991:276).

4 Menyalahgunakan ke-wenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan

Syarat utama diterapkannya unsur ini adalah bahwa pelaku merupakan orang yang sungguh-sungguh mempunyai ke-wenangan, kesempatan, atau sarana. Karena orang yang tidak memilikinya tentunya tidak dapat menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana, dan oleh karenanya dalam hal demikian terdapat unsur melawan hukum.

5 Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan

Unsur ini harus dikaitkan dengan unsur sebelumnya, karena terdapat alternatif di dalam penerapannya berupa:

a. penyalahgunaan kewenangan karena jabatan atau kedudukan

b. penyalahgunaan kesempatan karena jabatan atau kedudukan, dan

c. penyalahgunaan sarana karena jabatan atau kedudukan

21 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

Catatan penting dalam konteks pene-

rapan Pasal 2 dan Pasal 3 ini adalah, bahwa

unsur kerugian keuangan negara atau perekono-

mian negara tidak bersifat mutlak, yaitu bahwa

kerugian itu tidak harus selalu terjadi. Sekedar

suatu perbuatan memperkaya dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara ka-

rena perbuatan memperkaya secara melawan

hukum telah memenuhi rumusan pasal ini.

2) Suap-Menyuap

Secara konseptual suap diartikan seba-

gai pemberian hadiah atau janji kepada seorang

penyelenggara negara atau pegawai negeri yang

berhubungan dengan jabatannya. Secara nor-

matif, suap diatur dalam berbagai rumusan pasal,

yang apabila dilihat dari jenisnya, dapat dibagi

menjadi dua, yaitu (1) suap aktif (active bribery)

dan (2) suap pasif (passive bribery). Kategori

pelaku yang menerima suap pun dibagi menjadi

dua jenis, yakni penegak hukum (hakim, advokat,

jaksa, dan polisi) dan non-penegak hokum yaitu

penyelenggara negara dan pegawai negeri sipil

(Ali, 2014:125). Berikut adalah pasal-pasal terkait

suap dalam undang-undang korupsi.

a. Pasal 5

Pasal yang mengatur suap yang pertama

kali dapat dijumpai pada undang-undang korupsi

adalah Pasal 5 ini, yang mengatur dua jenis per-

buatan, yaitu “memberi suap” dan “menerima

suap”. Berikut adalah uraiannya.

Pasal 5

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling sing-

kat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)

tahun dan/atau pidana denda paling sedikit

Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp250.000.000,- (dua ratus

lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada

pegawai negeri atau penyelenggara negara

dengan maksud supaya pegawai negeri

atau penyelenggara negara tersebut ber-

buat atau tidak berbuat sesuatu dalam

jabatannya, yang bertentangan dengan ke-

wajibannya, atau

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri

atau penyelenggara negara karena atau

berhubungan dengan sesuatu yang berten-

tangan dengan kewajiban, dilakukan atau

tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara ne-

gara yang menerima pemberian atau janji

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf

a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang

sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Penjelasan Pasal 5

1. Cukup jelas.

2. Yang dimaksud dengan “penyelenggara ne-

gara” dalam Pasal ini adalah penyelenggara

negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 ten-

tang Penyelenggara Negara yang Bersih dan

Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Pengertian “penyelenggara negara” tersebut

berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya

dalam Undang-Undang ini.

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 22

Tabel Unsur Pasal 5 ayat (1) huruf a

No. Unsur Keterangan1 Setiap orang Setiap orang yang dimaksud tidak hanya manusia tetapi juga

korporasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak ber-badan hukum.

2 Memberi atau menjanji-kan sesuatu

Memberi berarti beralihnya benda yang dijadikan objek pemberian dari tangan pemberi ke tangan penerima, dan hal ini tidakmensyaratkanbendatersebutberalihsecarafisik,tetapi cukup dengan beralihnya penguasaan benda tersebut kepada penerima.Sedangkan arti menjanjikan sesuatu berarti apa yang dijan-jikan tersebut belum diwujudkan sebelum pengawai negeri atau penyelenggara negara yang disuap melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Ali, 2014:126-127).

3 Pegawai negeri atau pe-nyelenggara negara

Pegawai negeri telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan pe-nyelenggara negara menurut UU No. 28 Tahun 1999 meli-puti:• Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara• Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara• Menteri• Gubernur• Hakim• Pejabat Negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, dan• Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitan-

nya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ke-tentuan perundang-undangan yang berlaku.

4 Dengan maksud Merupakan penjabaran dari ajaran kesalahan dan pertang-gungjawaban pidana, yaitu opzet atau kesengajaan atau dengan sengaja. Unsur dengan tujuan merupakan bentuk ke-sengajaan sebagai tujuan.

5 Supaya pegawai negeri atau penyelenggara nega-ra tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya

Pada waktu memberikan hadiah atau janji, pelaku meng-hendaki agar pegawai negeri atau penyelenggara negara me-lakukan atau tidak melakukan sesuatu menurut kehendak-nya. Cukup membuktikan bahwa pada waktu memberikan hadiah atau janji, pelaku mempunyai maksud tertentu.

6 Yang bertentangan de-ngan kewajibannya

Pelaku harus mengetahui bahwa dengan melaksanakan ke-hendaknya itu si pegawai negeri atau penyelenggara negara telah tidak memenuhi kewajibannya.

23 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

Karena Pasal 5 ayat (1) huruf a ditarik dari Pasal 209 KUHP, maka perlulah kita cermati yurisprudensi yang

berkaitan dengan Pasal 209 KUHP, karena dapat diterapkan juga dalam Pasal 5, beberapa yurisprudensi itu

antara lain:

1) Arrest Hoge Raad 24 November 1980, W. 5969

“Pasal ini dapat juga diperlakukan seandainya hadiah itu tidak diterima.”

2) Arrest Hoge Raad 25 April 1916, N.J. 1916, 300 W. 9896

“Memberi hadiah di sini mempunyai arti yang lain daripada menghadiahkan sesuatu semata-mata karena ke-

murahan hati. Ia meliputi setiap penyerahan dari sesuai yang bagi orang lain mempunyai nilai.”

3) Putusan Mahkamah Agung No. 145 K/Jr/1955, 22 Juni 1955

“Pasal 209 KUHP tidak mensyaratkan bahwa pemberian itu diterima dan maksud daripada Pasal 209 KUHP

ialah untuk menetapkan sebagai suatu kejahatan tersendiri, suatu percobaan yang dapat dihukum menyuap.”

Tabel Unsur Pasal 5 ayat (1) huruf b

No. Unsur Keterangan1 Setiap orang Setiap orang yang dimaksud tidak hanya manusia tetapi juga kor-

porasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hu-kum.

2 Memberi sesuatu Memberi sesuatu adalah perbuatan mengalihkan atau memin-dahkan penguasaan atas objek pemberian. Sesuatu yang diberikan bisa berupa dan berwujud apa saja.

3 Pegawai negeri atau penye-lenggara negara

(Lihat penjelasan unsur pegawai negeri dan penyelenggara negara pada bagian sebelumnya)

4 Karena atau ber- hubungan dengan sesuatu

Pemberian dilakukan terkait suatu hal yang melekat pada penerima

5 Yang bertentangan dengan kewajiban

Pemberian yang dilakukan bersifat melanggar atau tidak boleh di-lakukan karena bertentangan dengan kewajiban

6 Dilakukan atau tidak dilaku-kan dalam jabatannya

Unsur ini tidak mensyaratkan bahwa penerima harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban itu dilakukan dalam jabatannya.

No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau penye-

lenggara negaraPegawai negeri atau penyelenggara ne-gara meliputi (1) pegawai negeri yang diatur dalam UU Kepegawaian dan UU Aparatur Sipil Negara, (2) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP, (3) orang yang menerima gaji/upah dari keuangan negara/daerah, (4) orang yang menerima gaji/upah dari suatu korporasi yang menerima ban-tuan dari keuangan negara/daerah, dan (5) orang yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara/masyarakat.

Tabel Unsur Pasal 5 ayat (2)

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 24

No. Unsur Keterangan2 Menerima pemberian atau

janjiSelesainya perbuatan menerima ada-lah apabila suatu pemberian (mi-salnya sejumlah uang) telah berpindah kekuasaanya secara mutlak dan nyata ke tangan pegawai negeri atau penye-lenggara yang menerima. Sedangkan perbuatan menerima janji dianggap telah selesai dan sempurna jika ada keadaan-keadaan yang dapat digunakan sebagai indikator bahwa apa isi yang dijanjikan telah diterima oleh pegawai negeri atau penyelengga-ra negara (misalnya dengan anggukan kepala, atau kata-kata yang sifatnya dapat dinilai atau dianggap menerima) (Ali, 2014:133).

2 Berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, atau berhu-bungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan ke-wajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Bahwa terdapat tindakan berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang terkait dengan penerimaan barang atau janji tersebut, misalnya demikian (1) A menyuap X agar memenangkan dirin-ya dalam tender pengadaan barang di instansi Z, (berbuat sesuatu), atau (2) A menyuap X agar tidak memproses pelanggaran yang dilakukan oleh A di instansi Z, (tidak berbuat sesuatu), yang mana hal-hal tersebut berten-tangan dengan kewajiban X sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Rumusan unsur pada Pasal 5 tersebut mungkin akan sedikit membingungkan karena mirip. Pada

dasarnya Pasal 5 ayat (1) adalah delik korupsi yang disebut “memberi suap”, sedangkan Pasal 5 ayat (2) adalah

delik korupsi yang disebut “menerima suap”. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1) pula dijumpai dua bentuk per-

buatan memberi suap sebagaimana diatur dalam huruf a dan huruf b, di mana huruf a adalah suap sebelum

berbuat atau tidak berbuat, sedangkan huruf b adalah suap setelah berbuat atau tidak berbuat. Perbedaan

utama keduanya dapat dilihat dalam tabel berikut.

25 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

Tabel Perbedaan Suap Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b

Pasal 5 ayat (1), baik untuk huruf a maupun huruf b, dapat dikategorikan sebagai perbuatan suap

aktif (perbuatan memberi suap) karena pelaku deliknya adalah seseorang selain pegawai negeri atau pe-

nyelenggara negara. Berikutnya dapat dijumpai ketentuan pada Pasal 5 ayat (2) yang merupakan suap pasif

karena pelaku deliknya adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara.

b. Pasal 6

Sekilas terdapat kemiripan antara struktur Pasal 6 dengan Pasal 5 yang telah dibahas sebelumnya.

Pasal 6 ayat (1) huruf a adalah suap kepada hakim, Pasal 6 ayat (1) huruf b adalah suap kepada advokat, dan

Pasal 6 ayat (2) adalah penerima suap yang merupakan seorang hakim atau advokat.

Pasal 6

1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun

dan pidana denda paling sedikit Rp150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi pu-

tusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, atau

b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan pe-

rundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan

maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan

perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

2. Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a

atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,

dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 5 ayat (1) huruf a Pasal 5 ayat (1) huruf bPemberian atau janji dilakukan dengan tujuan agar pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan de-ngan kewajibannya.(suap sebelum berbuat atau tidak berbuat sesuatu)

Pemberian atau janji dilakukan karena pegawai negeri atau penyelenggara negara telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban yang dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.(suap setelah berbuat atau tidak ber-buat sesuatu)

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 26

c. Pasal 11

Pasal 11

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau

pidana denda paling sedikir Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,-

(dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau

janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau

kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah

atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

No. Unsur Keterangan1 Setiap orang (lihat penjelasan unsur pada bagian se-

belumnya)2 Yang memberi atau menjan-

jikan sesuatu kepada hakim(lihat penjelasan unsur ini pada bagian terdahulu)Tujuan pemberian atau janji adalah hakim.

3 Dengan maksud Dengan maksud merupakan wu-jud dari adanya kesengajaan berbuat, bahwa pemberi menyadari dalam arti mengetahui dan menghendaki perbu-atannya tersebut

4 Untuk mempengaruhi pu-tusan perkara yang diserah-kan kepadanya untuk diadili; atau

Unsur ini terkait dengan unsur mak-sud, yaitu bahwa pemberian atau janji untuk memberikan itu terkait adanya keinginan tertentu agar dilakukan oleh penerima.

5 Yang memberi atau menjan-jikan sesuatu kepada sese-orang yang menurut undang-undang ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang

(lihat penjelasan unsur memberi atau menjanjikan)Tujuan pemberian atau janji adalah kedudukan advokat.

6 Dengan maksud Dengan maksud merupakan wu-jud dari adanya kesengajaan berbuat, bahwa pemberi menyadari dalam arti mengetahui dan menghendaki perbua-tannya tersebut

7 Untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan

Unsur ini terkait dengan unsur mak-sud, yaitu bahwa pemberian atau janji dihubungkan dengan itikad pemberi yang menginginkan agar penerima mengikuti kehendaknya.

27 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

Tabel Unsur Pasal 6

No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau penye-

lenggara negara(lihat penjeasan unsur ini pada bagian sebelumnya)

2 Menerima hadiah atau me-nerima janji

Menerima hadiah adalah per- buatan beralihnya objek pemberian dari kekuasaan pemberi ke dalam kekuasaan penerima.Menerima janji adalah sikap, perbua-tan, atau pernyataan yang menunduk-kan diri adanya suatu ikatan

3 Diketahui atau patut diduga Diketahui adalah bentuk kesalahan berupa kesengajaan bahwa pelaku menyadari perbuatannya sebagai per-buatan yang diketahui dan dikehen-daki.Patut diduga adalah bentuk kesalahan berupa kekurang hati-hatian pene-rima bahwa apa yang diterima terkait dengan kekuasaan atau kewenangan terkait kedudukan/jabatannya.

4 Hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang ber-hubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya

Objek yang diterimanya adalah terkait dengan kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki penerima, atau penerima mampu menduga bahwa pemberian dilakukan karena pemberinya me-mandang bahwa penerima memiliki kekuasaan tertentu.

Pasal ini ditarik langsung dari Pasal 418 KUHP. Sedangkan terdapat beberapa yurisprudensi terkait Pasal 418

KUHP, yaitu sebagai berikut:

1) Arrest Hoge Raad 10 April 1893, W. 6333

“Adalah tidak perlu bahwa pemberian itu diterima oleh si pegawai negeri di dalam sifatnya sebagai pegawai

negeri.”

2) Putusan Mahkamah Agung No. 50 K/Kr/1960, 13 Desember 1960

“Undang-undang atau hukum tidak mengenal ketentuan, bahwa apabila seorang pegawai negeri dituduh me-

lakukan kejahatan yang dimaksud oleh Pasal 418 KUHP, maka orang yang memberi kepada pegawai negeri

itu harus dituntut lebih dahulu atas kejahatan tersebut di Pasal 209 KUHP.”

3) Putusan Mahkamah Agung No. 77 K/Kr/1973, 19 November 1974

“Terdakwa dipersalahkan melakukan korupsi c.q. menerima hadiah, walaupun menurut anggapannya uang

yang diterima itu dalam hubungannya dengan kematian keluarganya, lagipula penerima barang-barang itu

bukan terdakwa melainkan istri atau anak-anak terdakwa.”

Tabel Unsur Pasal 11

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 28

d. Pasal 12 huruf a

Pasal 12 huruf a

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah):

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau

patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau

tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

Tabel Unsur Pasal 12 huruf a

4) Putusan Mahkamah Agung No. 1/1955/M.A.Pid., 23 Desember 1955

“Seorang menteri adalah “pegawai negeri” dalam arti yang dimaksudkan di dalam pasal-pasal 418 dan 419

KUHP. Dalam hal dua orang atau lebih dituduh bersama-sama dan bersekutu melakukan kejahatan menurut

pasal-pasal 418 dan 419 KUHP, tidaklah perlu masing-masing dari mereka, memenuhi segala unsur yang oleh

pasal itu dirumuskan untuk tidak pidana tersebut. In casu tidak perlu mereka semua melakukan tindakan

menerima uang.”

No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau penye-

lenggara negara(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

2 Yang menerima hadiah atau menerima janji

Menerima hadiah diartikan bahwa objek yang diberikan telah berpindah tangan atau penguasaan dari pemberi kepada penerima.Menerima janji diartikan bahwa telah tercapai kesepakatan mengenai objek yang akan diberi/diterima.

3 Padahal diketahui atau patut diduga

(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

4 Hadiah atau janji tersebut di-berikan untuk menggerakkan

Objek yang diterima atau disepakati akan diterima adalah sarana agar mun-cul niat penerima untuk mengikuti ke-hendak pemberi.

5 Agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya

Perbuatan yang dilakukan Penerima, baik berupa melakukan atau tidak melakukan sesuatu adalah atas ke-hendak pemberi.

6 Yang bertentangan dengan kewajibannya

Penerima melanggar kewajiban jabatannya diakibatkan adanya pembe-rian atau janji dari pemberi.

29 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

e. Pasal 12 huruf b

Pasal 12 huruf b

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah):

b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga

bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak me-

lakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Tabel Unsur Pasal 12 huruf a

f. Pasal 12 huruf c

Pasal 12 huruf c

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)

c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji

tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau penye-

lenggara negara(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

2 Yang menerima hadiah atau menerima janji

(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

3 Padahal diketahui atau patut diduga

(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

4 Diberikan sebagai akibat atau disebabkan telah melakukan atau tidak melakukan sesua-tu dalam jabatannya

Perbuatan melakukan atau tidak me-lakukan sesuatu merupakan kausa dari pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

5 Yang bertentangan dengan kewajibannya

Perbuatan melakukan atau tidak me-lakukan sesuatu oleh pegawai negeri atau penyelenggaran negara itu me-langgar kewajibannya

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 30

g. Pasal 12 huruf d

Pasal 12 huruf d

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)

d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk

menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa

hadiah atau janji tersebut unutk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung

dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Penjelasan Pasal 12 huruf d

Yang dimaksud dengan “advokat” adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar

pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

No. Unsur Keterangan1 Advokat Advokat sebagaimana dimaksud oleh

UU No. 18 tahun 20032 Yang menerima hadiah atau

menerima janji(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

3 Padahal diketahui atau patut diduga

(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

4 Diberikan sebagai akibat atau disebabkan telah melakukan atau tidak melakukan sesua-tu dalam jabatannya

Advokat yang menerima hadiah atau janji mengetahui atau setidaknya da-pat menduga bahwa diberikan untuk mempengaruhi nasehat atau pen- dapatnya.Pasal ini dapat diterapkan meski Advokat tidak terpengaruh adanya hadiah atau janji itu dalam nasihat atau pendapatnya

31 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

No. Unsur Keterangan1 Hakim Yang dimaksud Hakim dalam UU ini

meliputi juga pengertian hakim yang dimaksud dalam Ps. 92 ayat (2) KUHP sebagaimana telah diadopsi ke dalam UU PTP Korupsi

2 Yang menerima hadiah atau menerima janji

(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

3 Padahal diketahui atau patut diduga

(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

4 Diberikan sebagai akibat atau disebabkan telah melakukan atau tidak melakukan sesua-tu dalam jabatannya

Perbuatan melakukan atau tidak me-lakukan sesuatu merupakan kausa dari pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

Tabel Unsur Pasal 12 huruf c

Tabel Unsur Pasal 12 huruf d

h. Pasal 13

Pasal 13

Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau we-

wenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat

pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau

denda paling banyak Rp150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah)

Tabel Unsur Pasal 13

No. Unsur Keterangan1 Setiap orang Setiap orang yang dimaksud tidak

hanya manusia tetapi juga korporasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.

2 Memberikan hadiah atau janji Unsur ini bersifat alternatif, memberi hadiah atau memberi janji. Memberi hadiah adalah menyerahkan sesuatu di mana hadiah menurut KBBI adalah pemberian kenang-kenangan, peng-hargaan, penghormatan. Sedangkan memberi janji memenuhi juga makna berjanji, mengikat janji, atau “janjian”.

3 Kepada pegawai negeri Pegawai negeri atau penyelenggara ne-gara meliputi (1) pegawai negeri yang diatur dalam UU Kepegawaian dan UU Aparatur Sipil Negara, (2) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP, (3) orang yang menerima gaji/upah dari keuangan negara/daerah, (4) orang yang menerima gaji/upah dari suatu korporasi yang menerima ban-tuan dari keuangan negara/daerah, dan (5) orang yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara/masyarakat.

4 Dengan mengingat kekua-saan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya; atau

Unsur ini terkait dengan unsur pegawai negeri sebagai tujuan pem-berian hadiah atau janji. Pegawai ne-geri yang dituju memiliki kekuasaan atau kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukannya.

5 Oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut

Unsur ini terbukti apabila si pemberi mengetahui, menduga, atau mengira, bahwa kekuasaan atau kewenangan tertentu melekat pada si pejabat sehubungan dengan jabatan atau kedudukannya.

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 32

Perbuatan utama yang dilarang di dalam Pasal 13 sebagai perbuatan korupsi adalah memberi hadiah

atau janji kepada pegawai negeri. Memang memberi adalah perbuatan yang baik, akan tetapi memberikan

hadiah kepada seseorang dengan mengingat kekuasaan atau wewenangnya, yang melekat pada jabatan atau

kedudukan orang itu, adalah perbuatan yang masuk ke dalam pengertian delik korupsi. Pemahaman men-

dasar yang perlu dipahami adalah bahwa perbuatan memberi yang dilarang oleh delik ini adalah memberi

hadiah atau memberi janji.

Pada umumnya hadiah diberikan karena penerima telah melakukan suatu prestasi tertentu, dan

atas prestasi itulah hadiah diberikan. Pemberian yang tidak mensyaratkan adanya prestasi tidak meme-

nuhi pengertian hadiah. Kemudian mengenai janji, undang-undang sebenarnya tidak menjelaskan pengertian

memberi janji yang dimaksud, oleh karena itu perbuatn memberi janji yang dimaksud di sini dapat diartikan

sebagai setiap, semua, dan segala perbuatan memberi janji (termasuk yang dalam aktivitas sehari-hari kita

kenal menawarkan, mengajak, atau bahkan “janjian”!).

Memang pada praktiknya dalam kehidupan sehari-hari kita sering memberikan sesuatu kepada

pegawai negeri, terutama pejabat, dengan memandang jabatan dan/atau kewenangan yang melekat pada

jabatan atau kedudukannya. Doktrin anti korupsi tidak menghendaki perbuatan seperti ini karena hubungan

dengan pegawai negeri, pejabat, orang yang memiliki kekuasaan dan/atau kewenangan tidak perlu mendapat

tempat yang istimewa. Catatan penting di sini adalah bahwa delik dalam pasal ini hanya dapat diancamkan

kepada seorang pemberi. Adapun penerima akan diancam dengan pasal lain.

i. Pasal 15

Pasal 15

Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana

korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, sampai

dengan Pasal 14.

Tabel Unsur Pasal 15

No. Unsur Keterangan1 Setiap orang Setiap orang yang dimaksud tidak

hanya manusia tetapi juga korporasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.

2 Yang melakuan percobaan, atau pembantuan, atau per-mufakatan jahat

Percobaan, pembantuan, atau permu-fakatan jahat, ketiganya ini mengacu pada ketentuan yang sama yang ada di KUHP.

3 Untuk melakukan tindak pidana korupsi

Bahwa tujuan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat itu adalah un-tuk melakukan tindak pidana korupsi.

4 Dipidana sama dengan pelaku tindak pidana korupsinya

Berbeda dengan KUHP, percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat memiliki ancaman hukuman yang sama dengan ancaman hukuman pelaku uta-ma.

33 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

Konsep perumusan delik yang diatur dalam Pasal 15 sebenarnya mengadopsi konsep yang ada di

dalam KUHP, yang setidaknya mencakup tiga hal, yaitu percobaan (poging), perbantuan (medeplichtigheid),

dan permufakatan jahat. Berikut adalah penjelasan singkat dari masing-masing konsep tersebut.

Percobaan tindak pidana (Pasal 53 KUHP) pada hakikatnya adalah tindak pidana yang tidak selesai.

Namun demikian tindak pidana yang tidak selesai tersebut dapat diancam dengan sanksi pidana, sepanjang

memenuhi syarat-syarat berikut, yaitu (1) adanya niat, (2) adanya permulaan pelaksanaan, dan (3) tidak se-

lesainya delik bukan karena kehendak pelaku. Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka pelaku tetap

dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dengan hukuman dikurangi 1/3. Namun dalam hal percobaan

tindak pidana korupsi, apabila pelaku memenuhi seluruh syarat di atas, maka pertanggungjawaban pidananya

tetap berlaku penuh dan hukumannya tidak dikurangi 1/3, melainkan sama dengan apabila delik korupsi itu

selesai dilakukan.

Perbantuan (medeplichtigheid) adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk membantu

seseorang yang akan atau sedang melakukan tindak pidana. Perbantuan tersebut diberikan dengan cara

memberikesempatan,sarana,atauketerangan.Karenatidakditentukansecaradefinitif,makasetiapper-

buatan apapun dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk bantuan bagi pelaku utama apabila seseorang tidak

menghalangi orang lain melakukan delik. Sama halnya seperti percobaan, seorang yang melakukan perban-

tuan hukumannya dikurangi 1/3 dalam KUHP, sedangkan dalam tindak pidana korupsi, ancaman pidana

seorang pembantu sama dengan pelaku utama.

Mengenai permufakatan jahat, KUHP mengatur permufakatan jahat atas delik tertentu saja yang

dapat dipidana, seperti delik makar, delik pembunuhan kepala negara dan/atau tamu negara. Dalam undang-

undang korupsi, meski perbuatan seseorang atau beberapa orang sekedar memenuhi adanya permufakatan

jahat, tetapi sanksi pidana yang dapat diancamkan kepadanya sama dengan bila mereka telah melakukan

delik korupsi yang baru disepakati tersebut.

3) Penggelapan dalam Jabatan

a. Pasal 8

Tabel Unsur Pasal 8

No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau orang

lain selain pegawai negeriPengertian pegawai negeri diatur di Pasal 1 angka 3 UU PTP KorupsiAdapun selain pegawai negeri adalah siapa saja, setiap orang

2 Yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum

Ditugaskan menjalankan suatu jabatan adalah adanya penugasan secara resmi untuk memegang jabatan tertentu

3 Secara terus menerus atau untuk sementara waktu

Jabatan yang ditugaskan kepada pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri itu bisa bersifat per-manen ataupun untuk jangka waktu tertentu saja

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 34

4 Dengan sengaja:• menggelapkan uang atau

surat berharga yang di-simpan karena jabatan-nya, atau

• membiarkan uang atau surat berharga itu diam-bil atau digelapkan oleh orang lain, atau

• membantu dalam mela- kukan perbuatan (me- ngambil atau mengge-lapkan uang atau surat berharga) tersebut

Penggelapan merupakan tindak pidana berupa memperlakukan barang yang bukan milik sendiri sebagai seakan mi-liknya sendiri.Perbuatan menggelapkan uang atau surat berharga dilakukan sehubungan keberadaan uang atau surat berharga itu di tangannya sebagai konsekuensi jabatan yang diembannya, diperlaku-kan seakan milik sendiri dan karenan-ya ia (bertujuan) mendapatkan keun-tungan.Membiarkan diambil atau digelap-kan berarti pegawai negeri atau se-lain pegawai negeri itu tidak melaku-kan perbuatan apapun yang bersifat menghalangi.Membantu mengambil atau mengge-lapkan terjadi secara sadar untuk me-mudahkan pelakunya

5 Yang bertentangan dengan kewajibannya

Perbuatan melakukan atau tidak me-lakukan sesuatu oleh pegawai negeri atau penyelenggaran negara itu mel-anggar kewajibannya

6 Yang bertentangan dengan kewajibannya

Penerima melanggar kewajiban jabatannya diakibatkan adanya pembe-rian atau janji dari pemberi.

7 Untuk mempengauhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan

Unsur ini terkait dengan unsur mak-sud, yaitu bahwa pemberian atau janji dihubungkan dengan itikad pemberi yang menginginkan agar penerima mengikuti kehendaknya.

Yurisprudensi

1) Arrest Hoge Raad 27 Juli 1938, 1939 No. 123

“Bagi seorang pegawai kantor pos, benda-benda post seperti perangko, meterai, kartu pos, dan sebagainya

itu merupakan surat-surat berharga. Berdasarkan undang-undang pos, benda-benda tersebut diperuntukkan

guna membayar beberapa hak dan kewajiban tertentu, sehingga di dalam peredarannya benda-benda terse-

but mempunyai suatu fungsi, yang disebut sebagai kertas berharga.”

2) Putusan Mahkamah Agung No. 73 K/Kr/1956, 23 Maret 1957

“Dipergunakannya sejumlah uang oleh pegawai negeri untuk pos lain daripada yang telah ditentukan, meru-

pakan kejahatan penggelapan termaksud Pasal 415 KUHP.”

35 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

b. Pasal 9

Tabel Unsur Pasal 9

c. Pasal 10 huruf a

Tabel Unsur Pasal 10 huruf a

No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau orang

lain selain pegawai negeri(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

2 Yang diberi tugas menjalan-kan suatu jabatan umum:• secara terus menerus,

atau• untuk sementara waktu

(Telah dijelaskan pada tabel unsur Pasal 8 di atas)

3 Dengan sengaja Doktrin menjelaskan dengan sengaja sebagai “mengetahui dan menghenda-ki”, dan dalam pasal ini kesengajaan berbuat harus diartikan kesengajaan dalam arti sebagai tujuan (opzet als oogmerk)

4 Memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi

Perbuatan memalsukan dijelaskan se-bagai:• membuat keadaan palsu dari ke-

adaan yang tidak ada;• membuat keadaan palsu dari ke-

adaan yang sebenarnya ada.Perbuatan memalsu dalam unsur ini dilakukan secara khusus terhadap daftar-daftar khusus pemeriksaan administrasi.

No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau orang

lain selain pegawai negeri(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

2 Yang diberi tugas menjalan-kan suatu jabatan umum se-cara terus menerus atau se-mentara waktu

(telah dijelaskan pada tabel unsur Pasal 8 di atas)

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 36

3 Menggelapkan, menghancur-kan, merusakkan, atau mem-buat tidak dapat dipakai

Menggelapkan adalah perbuatan memperlakukan barang yang bukan milik sendiri sebagai seakan miliknya sendiri.Perbuatan menghancurkan adalah perbuatan apapun yang mengakibat-kan hancurnya barangPerbuatan merusakkan adalah per-buatan apapun yang mengakibatkan rusaknya barangPerbuatan mengakibatkan tidak ada-pat dipakai adalah perbuatan apapun yang menimbulkan tidak dapat dipakai

4 Barang, akta, surat, atau daf-tar

Objek kejahatan ini adalah terbatas pada barang, akta, surat, atau daftar saja

5 Yang digunakan untuk me-yakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang ber-wenang

Objek yang dihancurkan, dirusak, atau menjadi tidak dapat dipakai itu adalah objek yang digunakan untuk meyakin-kan atau pembuktian penting di hada-pan pejabat

6 Yang dikuasai karena jabatannya

Objek barang, akta, surat, atau daf-tar ada di tangan pelaku kejahatan ini karena jabatannya dan bukan karena sebab lain

7 Untuk mempengauhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan

Unsur ini terkait dengan unsur mak-sud, yaitu bahwa pemberian atau janji dihubungkan dengan itikad pemberi yang menginginkan agar penerima mengikuti kehendaknya.

37 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

d. Pasal 10 huruf b

Tabel Unsur Pasal 10 huruf b

e. Pasal 10 huruf c

Tabel Unsur Pasal 10 huruf c

No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau orang

lain selain pegawai negeri(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

2 Yang diberi tugas menjalan-kan suatu jabatan umum se-cara terus menerus atau se-mentara waktu

(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

3 Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancur-kan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai

Unsur ini pada dasarnya sama dengan unsur Pasal 10 huruf a kecuali penam-bahan unsur membiarkan dan meng-hilangkan, yaitu perbuatan pasif/omis-sion delict dengan tidak berbuat yang seharusnya, dan perbuatan apapun yang mengakibatkan hilangnya barang

4 Barang, akta, surat, atau daftar

telah dijelaskan pada tabel unsur Pasal 10 huruf a di atas)

No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau orang

lain selain pegawai negeri(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

2 Yang diberi tugas menjalan-kan suatu jabatan secara te-rus menerus atau sementara waktu

(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

3 Membantu orang lain meng-hancurkan, menghilangkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai

Unsur ini pada dasarnya sama dengan unsur Ps. 10 huruf b kecuali penam-bahan unsur membantu, yaitu dengan sengaja memberikan kesempatan, sa-rana, atau keterangan sebelum keja-hatan dilakukan maupun perbuatan apapun yang bersifat tidak mengha-langi terjadinya suatu kejahatan pada saat sedang terjadi

4 Barang, akta, surat, atau daftar

(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 38

4) Paksaan Mengeluarkan Uang (Pemerasan)

Perbedaan antara suap dengan pemerasan terletak pada inisiatifnya. Apabila inisiatif ada di pemberi,

maka dikategorikan sebagai suap. Apabila inisiatif ada di penerima, maka dikategorikan sebagai pemerasan.

a. Pasal 12 huruf e

Pasal 12 huruf e

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang

lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaanya memaksa seseorang memberi-

kan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu

bagi dirinya sendiri.

Tabel Unsur Pasal 12 huruf e

No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau penye-

lenggara negara(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

2 Dengan maksud Merupakan betuk kesalahan pelaku yang harus diartikan berupa kesenga-jaan sebagai tujuan (opzet als oogmerk)

3 Menguntungkan diri sendiri atau orang lain

Mendapatkan manfaat pada diri pelaku maupun orang lain selain

4 Secara melawan hukum Meliputi pengertian melawan hukum dalam arti formil dan materiil

5 Dengan menyalahgunakan kekuasaannya

Pelaku memiliki kekuasaan sehubu-ngan dengan kedudukannya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara

6 Memaksa seseorang Perbuatan yang mengakibatkan orang lain merasa tidak berdaya baik dalam arti mutlak maupun relatif

7 Memberikan sesuatu yang dibayar, atau menerima pembayaran dengan poto-ngan, atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri

Terdapat keterpaksaan pada orang yang membayar, menerima pemba-yaran dengan potongan padahal se-harusnya tidak ada pemotongan, atau mengerjakan sesuatu bagi pelaku, per-buatan mana merupakan keuntungan bagi pelaku

39 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

b. Pasal 12 huruf f

Pasal 12 huruf f

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)

f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau

memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas

umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempu-

nyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

Tabel Unsur Pasal 12 huruf f

Yurisprudensi atas Pasal 425 ke-1, Putusan Mahkamah Agung No. 25 K/Kr/1955

“Salah satu unsur dari Pasal 425 ke-1 KUHP adalah menjalankan perbuatan itu di dalam jabatannya. Karena

pembuatan daftar penerimaan uang dan pembayaran gaji orang-orang yang dimintai uang oleh terdakwa itu

bukanlah tugas terdakwa sebagai klerek pada Jawatan Pengajaran Daerah, akan tetapi menjadi tugas dari

Kepala Sekolah Rakyat yang bersangkutan, sedang terdakwa hanya dimintai bantuan, maka permintaan uang

tersebut tidak dilakukan terdakwa dalam jatabannya.”

c. Pasal 12 huruf g

Pasal 12 huruf g

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)

No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau penye-

lenggara negara(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

2 Pada waktu menjalankan tu-gas

Perbuatan dilakukan pada saat menja-lan tugas dan bukan pada saat lain

3 Meminta, menerima, atau memotong pembayaran ke-pada pegawai negeri atau penyelenggara negara lain atau kepada kas umum

Cukup jelas

4 Seolah mereka itu mempuyai utang kepadanya

Pelaku beralasan bahwa apa yang di-minta, diterima, atau potongan yang dilakukannya adalah karena adanya utang kepada dirinya

5 Padahal diketahui bukan utang

Unsur ini merupakan bentuk kesenga-jaan pelaku bahwa ia mengetahui ke-tiadaan utang itu kecuali sebagai cara untuk mendapatkan sejumlah uang

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 40

g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, memeinta atau mene-

rima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui

bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

Tabel Unsur Pasal 12 huruf g

5) Perbuatan Curang

a. Pasal 7 ayat (1) huruf a

Tabel Unsur Pasal 7 ayat (1) huruf b

No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau penye-

lenggara negara(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

2 Pada waktu menjalankan tugas

(telah dijelaskan pada tabel penjelasan unsur Pasal 12 huruf f)

3 Meminta, menerima, atau memotong pembayaran ke-pada pegawai negeri atau penyelenggara negara lain atau kepada kas umum

Pada dasarnya unsur ini sama de-ngan unsur pada Pasal 12 huruf f, perbedaannya hanya pada bentuknya yaitu pekerjaan atau barang sedang-kan pada Pasal 12 huruf f adalah uang/pembayaranMeminta atau menerima pekerjaan maupun penyerahan barang merupa-kan perbuatan curang oleh pelaku

No. Unsur Keterangan1 Pemborong atau ahli ba-

ngunan yang pada waktu membuat bangungan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan ba-han bangunan

Kejahatan korupsi ini merupakan delik khusus yang hanya bisa dilakukan oleh subjek dengan kualifikasi tertentuyaitu pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangunan

2 Melakukan perbuatan curang Perbuatan curang adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya, utamanya menyangkut kualitas dan atau kuantitas barang

3 Yang dapat membahayakan• keamanan orang atau

barang, atau• keselamatan negara da-

lam keadaan perang

Perbuatan curang pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangu-nan itu berpotensi menimbulkan ba-haya keamanan orang atau barangPerbuatan curang pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangu-nan itu berpotensi menimbulkan ba-haya bagi keselamatan negara dalam keadaan perang

41 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

b. Pasal 7 ayat (1) huruf b

Tabel Unsur Pasal 7 ayat (1) huruf b

c. Pasal 7 ayat (1) huruf c

Tabel Unsur Pasal 7 ayat (1) huruf c

d. Pasal 7 ayat (1) huruf d

Tabel Unsur Pasal 7 ayat (1) huruf d

No. Unsur Keterangan1 Setiap orang (telah dijelaskan pada bagian terda-

hulu)

2 Yang bertugas mengawasi pembangunan atau penye-rahan bahan bangunan

Perbuatan mengawasi pembangunan atau mengawasi penyerahan bahan bangunan

3 Dengan sengaja (telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

4 Membiarkan perbuatan cu-rang sebagaimana dimaksud huruf a

Pembiaran adalah kualifikasi per-buatan berupa perbuatan pasif/omis-sion delict dengan tidak berbuat yang seharusnya

No. Unsur Keterangan1 Setiap orang (telah dijelaskan pada bagian terda-

hulu)

2 Yang pada waktu menyerah-kan barang keperluan TNI dan/atau Polri

Pasal ini sama dengan apa yang dia-tur pada Pasal 7 ayat (1) huruf a, yang membedakannya adalah objek perbuatan curangnya adalah barang keperluan TNI/Polri

3 Melakukan perbuatan curang (telah dijelaskan pada table penjelasan unsur Pasal 7 ayat (1) huruf a)

4 Yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang

Perbuatan curang pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangu-nan itu berpotensi menimbulkan ba-haya bagi keselamatan negara dalam keadaan perang

No. Unsur Keterangan1 Setiap orang (telah dijelaskan pada bagian terda-

hulu)

2 Yang bertugas mengawasi pe-nyerahan barang keperluan TNI dan/atau Polri

(telah dijelaskan pada table penjelasan unsur Pasal 7 ayat (1) huruf b)

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 42

e. Pasal 7 ayat (2)

Tabel Unsur Pasal 7 ayat (2)

f. Pasal 12 huruf h

Pasal 12 huruf h

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah

negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,

telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan.

No. Unsur Keterangan3 Dengan sengaja (telah dijelaskan pada bagian terda-

hulu)

4 Membiarkan perbuatan cu-rang sebagaimana dimaksud huruf c

Pembiaran adalah kualifikasi perbua-tan berupa perbuatan pasif/omission delict dengan tidak berbuat yang se-harusnya

No. Unsur Keterangan1 (Setiap) orang (telah dijelaskan pada bagian terda-

hulu)

2 Yang menerima• penyerahan barang ba-

ngunan, atau• penyerahan barang ke-

perluan TNI dan/atau Polri

Perbuatan curang berupa menerima penyerahan barang bangunan atau ba-rang keperluan

3 Dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimak-sud ayat (1) huruf a atau c

Pembiaran adalah kualifikasi per-buatan berupa perbuatan pasif/omis-sion delict dengan tidak berbuat yang seharusnya

43 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

Tabel Unsur Pasal 12 huruf h

6) Benturan Kepentingan dalam Pengadaan

a. Pasal 12 huruf i

Pasal 12 huruf i

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)

i. pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugas-

kan untuk mengurus atau mengawasinya pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung mau-

pun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,.

Tabel Unsur Pasal 12 huruf i

No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau penye-

lenggara negara(telah dijelaskan pada bagian terda-hulu)

2 Pada waktu menjalankan tugas

(telah dijelaskan pada table penjelasan unsur Pasal 12 huruf f)

3 Menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai seolah-olah sesuai per-aturan perundang-undangan

Menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai seolah-olah sesuai peraturan perundang-undangan

4 Telah merugikan orang yang berhak

Untuk menerapkan kejahatan ini harus dibuktikan adanya kerugian yang nyata pada orang yang berhak

5 Padahal diketahuinya Merupakan bentuk kesalahan sebagai syarat pertanggungajwaban pidana berupa kesengajaan

6 Perbuatan tersebut berten-tangan dengan peraturan perundang-undangan

Perbuatan menggunakan tanah negara merupakan perbuatan melanggar per-aturan perundang-undangan

No. Unsur Keterangan1 Pegawai negeri atau penye-

lenggara negara(telah dijelaskan pada bagian terdahulu)

2 Langsung maupun tidak lang-sung

Cukup jelas

3 Turut serta dalam pembo-rongan, pengadaan, atau persewaan

Perbuatan turut serta dapat diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan secara bersama-sama dan tidak harus dalam pengertian medeplegen sebagaimana dalam konsep penyertaan tindak pidana

4 Yang pada saat perbuatan dilakukan Seluruh atau seba-gian ditugaskan untuk men-gurus atau mengawasinya

Perbuatan curang yang dimaksud dalam pasal ini adalah berupa (potensi) ben-turan kepentingan mengingat pelaku adalah orang yang seharusnya me-ngurus atau mengawasi pemborongan, pengadaan, atau persewaan

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 44

7) Gratifikasi

Pada prinsipnya gratifikasi adalah pemberian biasa dari seseorang. Pemberian gratifikasi pada

dasarnyabukanmerupakantindakpidana.Gratifikasimenjaditindakpidanaapabilapemberiandilakukan

sehubungan dengan jabatan yang diemban oleh penerima, baik sebagai pegawai negeri atau pun penyeleng-

gara negara. Tanpa kedudukan pegawai negeri atau penyelenggara negara, pemberian tidak akan terjadi atau

dilakukan. Pada praktiknya pemberian seperti ini kerapkali dijadikan modus untuk “membina” hubungan

baik dengan pejabat sehingga dalam seseorang tersangkut suatu masalah yang menjadi kewenangan pejabat

tersebut, kepentingan orang itu sudah terlindungi karena ia sudah berhubungan baik dengan pejabat terse-

but.GratifikasidiaturpadaPasal12Byangrumusannyasebagaiberikut:

Pasal 12B

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila

berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan

sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut

bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut

suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pi-

dana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua

puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Penjelasan Pasal 12B

1. Yang dimaksud dengan “gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberi-

an uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan

wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri

maupun di luar negeri dan yang dilakukan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

2. Cukup jelas.

Tabel Unsur Pasal 12B

No. Unsur Keterangan1 Setiapgratifikasi Gratifikasi sebagaimana dijelaskan

pada bagian penjelasan memiliki mak-na yang sangat luas meliputi merupa-kan dalam arti luas dan fasilitas lainnya

2 Kepada pegawai negeri atau penyelenggara

Penerimagratifikasiadalahsubjekhu-kumpidanatertentudengankualifikasipegawai negeri atau penyelenggara negara

45 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

Catatanpentingdalamjenistindakpidanakorupsiiniadalahbahwagratifikasihanyaditujukanke-

pada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai penerima suatu pemberian. Selain itu sifat pidana

gratifikasi akanhapusdengandilaporkannyapenerimaan gratifikasi ituolehpegawai negeri ataupenye-

lenggaranegarakepadaKPKdalamjangkawaktu30harisejaktindakanyangdidugagratifikasitersebut

diterima. Setelah laporan diterima, maka dalam 7 hari KPK akan menentukan apakah pemberian tersebut

gratifikasiataubukan.

Lantas yang menjadi pertanyaan terpenting adalah, bagaimana menentukan suatu pemberian adalah

gratifikasiataubukan?Kuncinyaadalahkeikhlasan.Misalnyakitamemberikepadapengemisapakahikhlas?

Bisa jadi ikhlas dan jumlah pemberian pun bervariasi dengan jumlah Rp500,- sampai Rp10.000,- misalnya.

Tapi sangat jarang dan bahkan hampir tidak ada yang memberi pengemis Rp100.000,- dengan ikhlas. Ber-

beda halnya ketika datang ke perkawinan teman, mungkin pemberian Rp100.000,- lazim dijumpai, karena

diberikan kepada teman sendiri. Berbeda juga ketika datang ke perkawinan atasan atau boss, bisa jadi jum-

lahnya meningkat hingga Rp500.000,- dan tidak lupa menyelipkan kartu nama supaya tahu siapa pemberinya.

Ini erat kaitannya dengan kepentingan.

Kuncimemahamigratifikasisebenarnyabukanpadabesarannilainyamelainkanpadakontekspem-

beriandanhubunganantarapemberidanpenerima.Begituadaindikasiconflictofinterestdapatmenjadi

suap dan gratifikasi.Meskipun demikian dalam beberapamomentum tertentuKPKmasihmemberikan

kelonggaran untuk menghargai kearifan lokal turun temurun, terutama tradisi memberikan sesuatu saat ada

teman atau kerabat menggelar hajatan (pesta pernikahan, masa berkabung, dsb.) di mana pemberian masih

diperbolehkan asalkan nilainya di bawah Rp1.000.000,-. Sebagai catatan, ketentuan ini tercantum dalam

PedomanPengendalianGratifikasiKPKyangditerbitkanpadabulanJuni2015.(KPK,2015)

Catatan penulis terhadap kebijakan dari KPK tersebut adalah apabila ditemui adanya pemberian di

atas Rp1.000.000,- (katakanlah Rp5.000.000,-) maka KPK akan menyita Rp4.000.000,- dan mengembalikan

sisanya kepada penerima. Menurut hemat penulis, praktik yang demikian tidaklah tepat. Dengan demikian

apabila memang ingin ikhlas memberi tanpa adanya kepentingan tertentu, maka hanya ada dua cara. Perta-

ma, memberi dengan jumlah di bawah Rp1.000.000,- atau Kedua, memberi dengan jumlah berapapun tanpa

No. Unsur Keterangan3 Setiapgratifikasi Pemberian gratifikasi dikategorikan

sebagai suap yaitu pemberian dengan maksud tertentu

4 Kepada pegawai negeri atau penyelenggara

Pemberian dilakukan dengan meng- ingat jabatan penerimanya. Tanpa jabatan tersebut, pemberian tidak akan dilakukan.

5 Dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya

Pegawai negeri atau penyelenggara negara tertentu karena kewajiban atau tugasnya diberi kewenangan un-tuk menerima pemberian. Pemberian dan penerimaan gratifikasi dilakukanberlawanan dengan itu.

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 46

memberikan identitas atau tanda atau petunjuk apapun mengenai siapa yang memberi (meskipun pada

akhirnya harus tetap dilaporkan kepada KPK).

Tabel Penggolongan Tindak Pidana Korupsi (Maheka, 2006:16-19)

Pelaku Jenis Perbuatan AncamanPidana

Dasar Hukum

Keterangan

Perse-orangan atau Korporasi

Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Ne-gara

Penjara se-umur hidup; penjara min. 4 tahun max. 20 tahun; denda min. Rp200 juta max. Rp1 miliar.

Pasal 2

Dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan, yaitu apabila tindak pidana korupsi tersebut di-lakukan pada dana-dana penanggu-langan bahaya/bencana, penanggu-langan kerusuhan, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, serta penanggulangan korupsi.

Perse-orangan atau Korporasi

Menyalahgunakan kewenangan/kesempatan/sarana yang ada padanya karena jabatan/kedudukan, untuk menguntungkan diri sendiri/orang lain, yang da-pat merugikan keuangan atau perekonomianNegara

Penjara seu-mur hidup; penjara min. 1 tahun max. 20 tahun; denda min. Rp50 juta max. Rp1 miliar

Pasal 3

Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri/penyelenggara ne-gara supaya mau berbuat atau tidak berbuat sesua-tu, dalam jabatannya atau tidak dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya

Penjara min. 1 tahun max. 5 tahun; denda min. Rp50 juta max Rp250 juta

Pasal 5 ayat (1)

Pegawai negeri/penyelenggara negara yang mene-rima pemberian/janji juga dipidana, dianggap menerima suap

Memberi atau menjanji-kan sesuatu kepada hakim untuk mempengaruhi pu-tusan perkara

Penjara min. 3 tahun max. 15 tahun; denda min. Rp150 juta max. Rp750 juta

Pasal 6 ayat (1)

Hakim atau advokat yang mene-rima pemberian/janji juga dipidana, dianggap menerima suap

Supplier/Pembo-rong/ahlibangunan; penjual bahanbangunan

Melakukan pembangunan atau menyerahkan bahan bangunan, secara curang, yang dapat membahayakan keamanan orang/barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang

Penjara min. 2 tahun max. 7 tahun; denda min. Rp100 juta max. Rp350 juta

Pasal 7

Pengawas dan penerima bahan/ba-rang yang membiarkan terjadinya perbuatan curang tersebut juga dipidana

47 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

Pelaku Jenis Perbuatan AncamanPidana

Dasar Hukum

Keterangan

Perse-orangan atauKorporasi

Menyerahkan barang ke-perluan TNI atau POLRI, secara curang, yang dapat membahayakan keselama-tan negara dalam keadaan perang

Penjara min. 2 tahun max. 7 tahun; denda min. Rp100 juta max. Rp350 juta

Pasal 7

Pengawas dan penerima bahan/ba-rang yang membiarkan terjadinya perbuatan curang tersebut juga dipidana

Pegawai negeri

Menggelapkan uang atau surat berharga, atau mem-biarkan barang tersebut diambil/digelapkan, atau membantu mengambil/mengggelapkan

Penjara min. 3 tahun max. 15 tahun; denda min. Rp150 juta max. Rp750 juta

Pasal 8

Memalsukan buku-buku atau daftar-daftar khusus untuk pemeriksaan admi-nistrasi

Penjara min. 1 tahun max. 5 tahun; denda min. Rp50 juta max. Rp250 juta

Pasal 9

Menggelapkan, menghan-curkan membuat tidak da-pat dipakai/merusakan alat bukti

Penjara min. 2 tahun max. 7 tahun; denda min. Rp100 juta max. Rp350 juta

Pasal 10

Membiarkan atau mem-bantu orang lain meng-hilangkan, menghancurkan, merusakkan alat bukti

Pegawai negeri atau penyeleng-gara negara

Menerima hadiah atau janji karena kewenangan/kekuasaan jabatannya

Penjara min. 1 tahun max. 5 ta-hun; denda min. Rp50 juta max. Rp250 juta

Pasal 11

Dianggap menerima suap

Menerima hadiah atau janji, supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya

Penjara seumur hidup; penjara min. 4 tahun max 20 tahun; denda min. Rp200 juta max. Rp1 miliar

Pasal 12 huruf a

Dianggap menerima suap

Menerima hadiah karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang berten-tangan dengan kewajiban-nya

Pasal 12 huruf b

Dianggap menerima suap

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 48

Pelaku Jenis Perbuatan AncamanPidana

Dasar Hukum

Keterangan

Hakim

Menerima hadiah atau janji yang diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara

Penjara seumur hidup; penjara min. 4 tahun max 20 tahun; denda min. Rp200 juta max. Rp1 miliar

Pasal 12 huruf c

Dianggap menerima suap

Advokat

Menerima hadiah atau janji yang diberikan untuk mempengaruhi nasehat yang akan diberikan

Pasal 12 huruf d

Dianggap menerima suap

Pegawai negeri atau pe-nyelengga-ra negara

Menyalahgunakan kekua-saannya untuk mengun-tungkan diri sendiri/orang lain (secara melawan hu-kum), memaksa seseorang untuk memberikan sesua-tu, membayar, menerima pembayaran dengan po-tongan, atau mengerjakan sesuatu

Penjara se-umur hidup; penjara min. 4 tahun max. 20 tahun; denda min. Rp200 juta max. Rp1 miliar

Pasal 12huruf e

Dianggap menerima suap

Meminta, menerima, memotong pembayaran seolah-olah merupakan utang

Penjara min. 2 tahun max. 7 tahun; denda min. Rp100 juta

Pasal 12 huruf f

Meminta, menerima peker-jaan atau barang seorang-olah merupakan utang

Pasal 12 huruf g

Menggunakan tanah ne-gara (di atasnya ada hak pakai) seolah-olah sesuai peraturan perundang-undangan padahal ber-tentangan dan merugikan orang yang berhak

Pasal 12 huruf h

Turut serta dalam pem-borongan, pengadaan, atau persewaan padahal tugas-nya mengawasi

Pasal 12 huruf i

Menerima gratifikasi ka-rena jabatannya, yang ber-lawanan dengan kewajiban atau tugasnya

Pasal 12B

Perse-orangan atau Kor-porasi

Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri karena jabatan/Kedudukannya

Penjara max. 3 tahun; denda max. Rp150 juta

Pasal 13

Dianggap menerima suap

49 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

DenganpengaturangratifikasiolehPasal

12B, perbuatan materil berupa memberi sesuatu

mempunyai beberapa gradasi:

• Pemberian yang boleh atau wajib dilaku-

kan, seperti halnya pemberian sedekah atau

pemberian hadiah kepada orangtua atau di

antara kakak dan adik.

• Pemberian yang mempunyai maksud terten-

tu tetapi bukan kejahatan atau tindak pidana

karena tidak dilarang oleh peraturan perun-

dang-undangan, seperti halnya pemberian

dengan maksud agar penerima berbaik hati

kepada pemberi.

• Pemberian yang dilatarbelakangi maksud

tertentu agar penerima mengikuti mak-

sud atau kehendak pemberi dan karenanya

merupakan tindak pidana suap tetapi tidak

masuk kategori kejahatan korupsi, me-

lainkan diatur oleh UU No. 11 tahun 1980

tentang suap, yaitu pemberian kepada orang

biasa non pegawai negeri atau penyeleng-

gara negara.

• Pemberian karena penerima telah melaku-

kan sesuatu yang sesuai dengan maksud atau

kehendak pemberi dan karenanya pemberi-

an itu merupakan suatu hadiah, merupakan

tindak pidana suap sebagaimana dimaksud

oleh Pasal 13 bagi pemberi dan Pasal 11 bagi

penerima, seperti halnya pemberian oleh

murid kepada gurunya karena pemberi telah

naik kelas atau lulus ujian.

• Pemberian yang dilakukan oleh maksud agar

penerima mengikuti kehendak pemberi dan

melanggar kewajibannya, merupakan tindak

pidana suap sebagaimana diatur Pasal 5 ayat

(1) bagi pemberi/penyuap dan diatur Pasal

12 a atau b bagi penerima suap.

• Pemberian yang dilakukan karena penerima

merupakan pegawai negeri atau penyeleng-

gara negara, bukan merupakan suap tetapi

diangggap pemberian suap. Pemberian ini

adalah gratifikasi yang dilarang. Contoh

pemberianyangmerupakangratifikasiyang

dilarang adalah pemberian oleh-oleh kepada

atasan.

Catatan penting yang perlu digaris-

bawahi adalah bahwa gratifikasi berbeda de-

ngan suap. Berikut adalah beberapa argumentasi

hukumyangmenegaskanbahwadelikgratifikasi

bukanlah suap, yaitu: (KPK, 2015:9-10)

1. Gratifikasi merupakan jenis tindak pidana

baru. Hal ini ditegaskan pada sambutan

pemerintah atas persetujuan RUU No. 20

Tahun 2001 yang mengubah ketentuan UU

No. 31 Tahun 1999, sebagai berikut: “Dalam

rancangan undang-undang ini diatur ketentuan

mengenai gratifikasi sebagai tindak pidana

baru. Gratifikasi tersebut dianggap suap apa-

bila berhubungan dengan jabatan dan berlawa-

nan dengan kewajiban atau tugasnya sebagai

pegawai negeri atau penyelenggara negara. Na-

mun gratifikasi tersebut tidak dianggap suap

apabila penerima gratiifkasi melaporkan pada

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu

yang ditentukan dan apabila tidak melaporkan

dianggap suap…”

2. Putusan No. 34/Pid.B/TPK/2011/PN.Jkt.Pst

(Pengadilan Tindak Pidana Korupsi) dengan

terdakwa Dhana Widyatmika yang mene-

gaskan bahwa kalimat “gratifikasi yang diang-

gap suap”berartigratifikasiberbedadengan

suapataugratifikasibukanlahsuap.

3. Pandangan ahli hukum dan praktisi hukum,

yaitu:

a. Prof. Dr. Eddy Omar Syarif Hiariej, per-

bedaangratifikasidansuapterletakpada

ada atau tidaknya “meeting of mind” pada

saat penerimaan. Pada tindak pidana

suap, terdapat meeting of mind antara

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 50

pemberi dan penerima suap, sedangkan

padatindakpidanagratiifikasitidakter-

dapat meeting of mind antara pemberi

dan penerima. Meeting of mind meru-

pakan nama lain dari konsesus atau hal

yang bersifat transaksional.

b. Dr. Adami Chazawi, S.H., pada keten-

tuan tentang gratifikasi belum ada niat

jahat (mens rea) pihak penerima pada

saat uang atau barang diterima. Niat ja-

hatdinilaiadaketikagratifikasitersebut

tidak dilaporkan dalam jangka waktu 30

hari kerja, sehingga setelah melewati

waktu tersebut dianggap suap sampai

dibuktikan sebaliknya. Sedangkan pada

ketentuan tentang suap, pihak penerima

telah mempunyai niat jahat pada saat

uang atau barang di terima.

c. Djoko Sarwoko, S.H., M.H., dalam suap

penerimaan sesuatu dikaitkan dengan

untuk berbuat atau tidak berbuat yang

terkait dengan jabatannya, sedangkan

gratifikasidapatdisamakandengankon-

sep self assessment seperti kasus perpa-

jakan yang berbasis pada kejujuran sese-

orang.

6. Delik Lain yang Berkaitan dengan Tin-

dak Pidana Korupsi

Selain delik korupsi utama yang diatur

dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 15, undang-

undang juga mengatur tindak pidana lain yang

berkaitan dengan tindak pidana korupsi seba-

gaimana diatur dalam Bab III Undang-undang

Nomor 31 tahun 1999. Adapun tindak pidana

lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi

itu adalah:

a. Tindak pidana sebagaimana diaur

dalam Pasal 21.

Pasal 21 UU No. 31 tahun 1999 menyata-

kan:

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah,

merintangi atau menggagalkan secara langsung

atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidangg Terdakwa maupun para

saksi dalam perkara tindak pidana korupsi dipi-

dana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)

tahun dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan

atau denda paling sedikit Rp. 150,000,000,00

(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp. 600,000,000,00 (enam ratus juta rupiah).

Tindak pidana menurut Pasal 21 di atas

adalah tindak pidana yang dikenal sebagai Ob-

struction of Justice atau menghalangi peradilan.

Penerapan kejahatan menghalangi peradilan te-

lah umum diterapkan terhadap kejahatan serius

atau kejahatan luar biasa. Pentingnya mengung-

kap kejahatan serius atau kejahatan luar biasa

dianggap perlu untuk dilindungi dari segala per-

buatan yang menghalanginya.

b. Tindak pidana sebagaimana diatur

dalam Pasal 22.

Pasal 22 UU No. 31 tahun 1999 menyata-

kan:

Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal

28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan

sengaja tidak memberi keterangan atau member

keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pi-

dana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama

12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit

Rp. 150,000,000,00 (seratus lima puluh juta) dan

paling banyak Rp. 600,000,000,00 (enam ratus

juta rupiah).

Pasal ini mengatur konsekuensi pidana

dari kewajiban pihak-pihak tertentu untuk mem-

berikan keterangan yang benar guna mengung-

51 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

kap kejahatan korupsi. Adapun pihak-pihak ter-

tentu itu adalah Tersangka, bank, saksi, ahli, dan

setiap orang selain yang dikecualikan. Khusus

mengenai permintaan keterangan kepada bank

sebagaimana dimaksud Pasal 29, meski UU me-

wajibkan Gubernur BI untuk memenuhi per-

mintaan KPK selambat-lambatnya 3 (tiga) hari

kerja, MA-RI telah menerbitkan Surat Ketua

Mahkamah Agung RI tertanggal 3 Desember

2004 yang menyatakan bahwa untuk keperluan

pemeriksaan dugaan tindak pidana korupsi, KPK

tidak harus meminta ijin Gubernur Bank Indo-

nesia.

c. Tindak pidana sebagaimana diatur

dalam Pasal 23

Pasal 23 UU Nomor 31 tahun 1999 men-

yatakan:

Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ke-

tentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220,

Pasal 231, Pasal 421, Pasal 442, Pasal 429, atau

Pasal 430 KUHP, dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6

(enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.

50,000,000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling

banyak Rp. 300,000,000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal ini menarik beberapa ketentuan

pidana yang ada dalam KUHP menjadi tindak

tindak pidana korupsi dalam hal terdapat hubu-

ngan atau kaitan dengan kejahatan korupsi. Apa-

bila tidak terdapat hubungan atau kaitan dengan

kejahatan korupsi, pasal-pasal tersebut tetap

berlaku sebagai kejahatan sebagaimana penga-

turannya dalam KUHP. Sebagai contoh misalnya

sebagaimana Pasal 220 KUHP yang menyatakan:

Barangsiapa memberitahukan atau mengadu-

kan bahwa dilakukan suatu perbuatan pidana,

padahal mengetahui bahwa tidak dilakukan itu,

diancam dengan pidana penjara paling lama satu

tahun empat bulan.

Tindak pidana sesuai Pasal 220 KUHP

adalah apa yang kita kenal sebagai laporan palsu,

yaitu mengadukan telah terjadinya tindak pidana

padahal orang yang melaporkan mengetahui

bahwa hal itu tidak benar. Seandainya pelapor

membuat laporan palsu atas tindak pidana pem-

bunuhan, ia diancam dengan pidana penjara

sesuai Pasal 220 KUHP. Akan tetapi apabila pe-

lapor membuat laporan palsu atas tindak pidana

korupsi, ia diancam dengan pidana penjara sesuai

Pasal 23 UU No. 31 tahun 1999.

d. Tindak pidana sebagaimana diatur

dalam Pasal 24.

Pasal 24 UU No. 31 ttahun 1999 menya-

takan:

Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaima-

na dimaksud dalam Pasal 31 dipidana penjara pa-

ling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling ban-

yak Rp. 150,000,000,00 (seratus lima puluh juta

rupiah).

Ketentuan Pasal 24 mengatur sebagai tindak

pidana perbuatan menyebut atau mengungkap

nama pelapor suatu perkara kejahatan korupsi

baik di tingkat penyidikan maupun di sidang pe-

ngadilan. Ketentuan ini penting sebagai bentuk

perlindungan terhadap pelapor mengingat sifat

kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa.

7. Sifat Melawan Hukum dalam Tindak

Pidana Korupsi

Pada dasarnya KPK menganut bahwa

sifat melawan hukum dalam tindak pidana ko-

rupsi ada dua, materiil dan formil. Tidak bisa han-

ya salah satu saja misalnya sifat melawan hukum

secara materiil yang sekedar melanggar norma-

norma dalam masyarakat. Perlu ditegaskan juga

aturan hukum formil yang dilanggar, sehingga ala-

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 52

san yuridis untuk memidanakan seseorang men-

jadi kuat dan tidak sewenang-wenang.

LeIP menyatakan dalam penelitiannya

bahwa sifat melawan hukum dalam pandangan

formil memiliki arti bahwa apabila suatu per-

buatan telah memenuhi larangan dalam undang-

undang maka di situ ada kekeliruan. Letak mela-

wan hukumnya perbuatan sudah terlihat nyata,

yaitu dari sifat melanggar ketentuan undang-un-

dang. Sedangkan sifat melawam hukum dalam

pandangan materiil memiliki arti bahwa belum

tentu suatu tindakan, meskipun telah memenuhi

semua perbuatan yang dilarang undang-undang,

adalah melawan hukum. Karena hukum bukan-

lah undang-undang semata, melainkan ada pula

hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma

atau kenyataan-kenyatana yang berlaku dalam

masyarakat (LeIP, 2016).

Selain itu sifat melawan hukum materiil

biasanya digunakan untuk dasar penghapus pi-

dana, bukan untuk memintakan pertanggung-

jawaban pidana. Misalnya dalam doktrin ilmu hu-

kum dikenal adanya NMW (Negatief Materieele

Wederrechtelijkheid) atau ajaran sifat melawan

hukum dalam arti materiil yang berfungsi negatif,

yaitu perbuatna yang menurut undang-undang

dilarang, tetapi masyarakat menganggapnya tidak

melanggar hukum pidana (bukan tindak pidana)

sehingga dalma hal ini perbuatan tersebut tidak

dapat dipidana.

Faktor yang harus dipenuhi untuk dapat

menghapuskan sifat melawan hukumnya ada tiga,

yaitu (1) adanya kepentingan umum yang dikerja-

kan atau dilayani oleh terdakwa, (2) tidak adanya

keuntungan pribadi yang diperoleh oleh Terdak-

wa, dan (c) kerugian yang tidak diderita oleh ne-

gara atau masyarakat. Mahkamah Agung pernah

memutus perkara yang memenuhi unsur-unsur

tersebut, yaitu pada Putusan Mahkamah Agung

No. 42 K/Kr/1965 atnggal 8 Januari 1966 atas

nama Terdakwa Machroes Effendi dan Putusan

Mahkamah Agung No. 81 K/Kr/1973 tanggal 30

Maret 1977 atas nama Terdakwa Ir. Moch. Otjo

Danaatmadja. (Lamintang, 1997:364-366).

B. Keterampilan yang Diperlukan dalam

Menjelaskan Tindak Pidana Korupsi

Materiil

1. Menjelaskan Latar belakang dan sejarah tin-

dak pidana korupsi dengan rinci dan runtut.

2. Menjelaskan Tindak Pidana Korupsi dalam

Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

sesuai ketentuan yang berlaku.

3. Menjelaskan Subjek hukum tindak pidana

korupsi sesuai ketentuan yang berlaku.

4. Menjelaskan Delik tindak pidana korupsi

yang berasal dari KUHP sesuai ketentuan

yang berlaku.

5. Menjelaskan Delik-delik tindak pidana ko-

rupsi sesuai ketentuan yang berlaku

6. Menjelaskan delik lain yang berkaitan de-

ngan tindak pidana korupsi sesuai ketentuan

yang berlaku.

7. Menjelaskan sifat melawan hukum dalam

tindak pidana korupsi dengan rinci.

C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam

Menjelaskan Tindak Pidana Korupsi

Materiil

1. Harus cermat dan teliti dalam menjelaskan

tindak pidana korupsi materiil.

2. Harus berpikir analitis serta evaluatif waktu

menjelaskan tindak pidana korupsi materiil.

53 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam

Menjelaskan Tindak Pidana Korupsi

Formil

Dalam upaya penegakan hukum terha-

dap perkara tindak pidana korupsi maka perlu

dipahami mengenai konsepsi hukum acara dalam

Sistem Peradilan Pidana baik yang diatur dalam

KUHAP maupun peraturan perundang-undan-

gan lain yang berkaitan dengan Sistem Peradi-

lan Pidana tindak pidana korupsi. Dengan me-

mahami konsepsi hukum acara dengan baik

diharapkan mampu memiliki gambaran besar

mengenai penegakan hukum tindak pidana

korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana.

1. Sistem Peradilan Pidana dalam Perka-

ra Tindak Pidana Korupsi

Istilah Sistem Peradilan Pidana, atau

Criminal Justice Sistem pertama kali digagas

oleh Frank Remington pada tahun 1958 sebagai

suatu “rekayasa” administrasi peradilan dengan

menggunakan pendekatan sistem (Atmasasmita,

1996:8). Sistem Peradilan Pidana secara mudah

dapat dipahami sebagai suatu sistem yang me-

nunjukkan mekanisme kerja dalam upaya

penindakan terhadap perkara pidana. Tujuan dari

sistem peradilan pidana menurut Mardjono Rek-

sodiputro adalah mencegah masyarakat menjadi

objek/korban; menyelesaikan kasus kejahatan

yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah

dipidana; dan mengusahakan agar mereka yang

pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi

lagi kejahatannya (Reksodiputro, 1993: 1).

Dalam penegakan hukum pidana yang

dilaksanakan melalui Sistem Peradilan Pidana

(SPP), beberapa komponen yang terdapat di

dalamnya antara lain Kepolisian, Kejaksaan,

Pengadilan, Pemasyarakatan, dan Advokat.

Kelima komponen tersebut telah diatur dalam

beberapa peraturan perundang-undangan na-

sional. Guna menciptakan efektivitas semua

komponen sistem harus bekerja secara integral

dalam arti suatu subsistem bekerja harus mem-

perhatikan pula subsistem yang lainnya secara

keseluruhan. Atau dapat dikemukakan bahwa

sistem tidak akan bekerja secara sistematik apa-

bila hubungan antara polisi dengan kejaksaan,

antara polisi dengan pengadilan, kejaksaan den-

gan lembaga pemasyarakatan dengan hukum itu

sendiri. Ketiadaan hubungan fungsional antara

subsistem ini akan menjadikan kerawanan dalam

sistem sehingga terjadinya fragmentasi dan in-

efektivitas (Atmasasmita, 1996: 116).

Dalam upaya penanggulangan tin-

dak pidana korupsi maka Negara membentuk

Undang-Undang yang memberikan kewenangan

kepada lembaga-lembaga seperti Kepolisian,

Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi

untuk melaksanakan tugasnya dalam sistem

peradilan pidana untuk menganggulangi tindak

pidana korupsi, dimana masing-masing lembaga

tersebut terdapat kekhususan tersendiri dalam

menangani perkara tindak pidana korupsi.

BAB III. TINDAK PIDANA KORUPSI FORMIL

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 54

1) Kewenangan Kepolisian dalam Sistem

Peradilan Pidana

Kepolisian merupakan lembaga sub sis-

tem dalam SPP yang mempunyai kedudukan per-

tama dan utama. Kedudukan yang demikian oleh

Hakristuti Harkrisnowo dikatakan sebagai the

gate keeper of the criminal justice sistem (Harkris-

nowo, 2003: 2). Hukum memberikan wewenang

kepada polisi untuk menegakkan hukum dengan

berbagai cara, dari cara yang bersifat preventif

sampai represif berupa pemaksaan dan penin-

dakan. Tugas polisi dalam ruang lingkup yang ke-

bijakan kriminal yang penal berada pada ranah

kebijakan aplikatif, yaitu ranah hukum pidana

yang cenderung represif (Raharjo dan Angkasa,

2011: 395).

Mengacu pada Undang-Undang No. 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KU-

HAP), pejabat polisi negara RI dapat bertindak

sebagai penyelidik dan penyidik perkara pidana.

Sehingga, polisi berwenang untuk menjadi pe-

nyelidik dan penyidik untuk setiap tindak pidana.

Dalam hal terdapat dugaan terjadinya sebuah

tindak pidana maka proses awal dalam SPP ada-

lah dilakukannya penyelidikan, dimana penye-

lidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik

untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa

yang diduga sebagai tindak pidana guna menen-

tukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan

menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Pe-

nyelidikan dilakukan oleh penyelidik yakni adalah

pejabat polisi negara Republik Indonesia yang di-

beri wewenang oleh KUHAP untuk melakukan

penyelidikan.

2) Kewenangan Kejaksaan dalam Sistem

Peradilan Pidana

Dalam sistem peradilan pidana pihak

kejaksaan akan bekerja setelah terdapat pe-

limpahan perkara dari pihak kepolisian. Di dalam

KUHAP ditegaskan bahwa Jaksa merupakan

penuntut umum yang diberi wewenang oleh

Undang-Undang untuk melakukan penuntutan

dan pelaksanaan putusan Hakim. Tugas dan Ke-

wenangan Kejaksaan Republik Indonesia secara

normatif ditegaskan dalam Undang-Undang No-

mor 16 Tahun 2004 (UU No. 16 Tahun 2004)

tentang Kejaksaan Republik Indonesia bahwa

Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang di

bidang pidana, perdata dan tata usaha negara,

serta turut menyelenggarakan kegiatan di bi-

dang ketertiban dan ketentraman umum. Meli-

hat ketentuan Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004

tersebut, pada dasarnya Kejaksaan berwenang

menjalankan tugasnya dalam 3 (tiga) lingkup per-

adilan berbeda.

Terhadap perkara hukum pidana, Kejak-

saan dapat melakukan penyidikan tidak hanya

dalam perkara tindak pidana umum akan tetapi

dapat melakukan penyidikan dalam tindak pidana

tertentu. Kewenangan Kejaksaan dalam dalam

melakukan penyidikan perkara tindak pidana

tertentu diatur dalam beberapa peraturan pe-

rundang-undangan antara lain: Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seba-

gaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara

atau Domunis Litis mempunyai kedudukan sentral

dalam penegakan hukum, karena hanya institusi

kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu

kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak,

berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana

menurut hukum acara pidana. Di samping seba-

gai penyadang dominus litis (Procureur die de pro-

cesvoering vaststelt), Kejaksaan juga merupakan

55 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana

(executive ambtenaar) (Effendy, 2005: 105). Dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) ditegaskan bahwa kewenangan dalam

menerima hasil penyidikan dan menentukan

apakah berkas perkara tersebut telah memen-

uhi persyaratan untuk dapat atau tidaknya di-

limpahkan ke pengadilan merupakan kewenangan

kejaksaan.

Apabila penuntut umum berpendapat

bahwa hasil dari penyidikan dapat dilakukan pe-

nuntutan, maka penuntut umum dapat membuat

surat dakwaannya. Selanjutnya apabila penun-

tut umum memutuskan untuk menghentikan

penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti

atau bukan tindak pidana atau bahkan karena

ditutup demi hokum, maka penuntut umum

menuangkannya dalam bentuk ketetapan. Ber-

dasarkan kewenangan yang dimiliki Kejaksaan

tersebut, dapat disimpulkan bahwa penentuan

dapat tidaknya suatu berkas perkara dilimpah-

kan ke pengadilan berada di tangan penuntut

umum, bukan berada di lembaga lain (Adji, 2011:

92).

3) Kewenangan Pengadilan dalam Sistem

Peradilan Pidana

Berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan mer-

upakan tempat berlangsungnya proses peradi-

lan, kewenangan untuk mengadakan pengadilan

terdapat pada lembaga kehakiman. Pengadilan

berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus suatu perkara yang diajukan ke muka

pengadilan.

Dalam perkara tindak pidana korupsi

maka yang berwenang memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara tindak pidana korupsi adalah

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaima-

na ketentuan UU No. 46 Tahun 2009 Tentang

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam me-

meriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak

pidana korupsi, proses ini dilakukan dengan ma-

jelis hakim berjumlah ganjil sekurang-kurangnya

3 (tiga) orang hakim dan sebanyak-banyaknya 5

(lima) orang hakim, terdiri dari Hakim Karir dan

Hakim ad hoc.

Berdasarkan ketentuan UU No. 46 Ta-

hun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Ko-

rupsi, dalam hal pemeriksaan di sidang pengadilan

perkara tindak pidana korupsi diperiksa, diadili,

dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Ko-

rupsi tingkat pertama dalam waktu paling lama

120 (seratus dua puluh) hari kerja terhitung se-

jak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal pemeriksaan

tingkat banding Tindak Pidana Korupsi, diperiksa

dan diputus dalam waktu paling lama 60 (enam

puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas

perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi. Selan-

jutnya dalam hal pemeriksaan tingkat kasasi Tin-

dak Pidana Korupsi, diperiksa dan diputus dalam

waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari

kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara di-

terima oleh Mahkamah Agung.

Dalam Penjelasan Umum UU No. 46

Tahun 2009 jelaskan tentang Hakim Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi yang terdiri dari Hakim

Karier dan Hakim ad hoc yang persyaratan pe-

milihan dan pengangkatannya berbeda dengan

Hakim pada umumnya. Keberadaan Hakim ad

hoc diperlukan karena keahliannya sejalan de-

ngan kompleksitas perkara tindak pidana ko-

rupsi, baik yang menyangkut modus operandi,

pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pi-

dana korupsi antara lain di bidang keuangan dan

perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan

barang dan jasa pemerintah.

Selanjutnya dalam Penjelasan Umum

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 56

UU No. 46 Tahun 2009 juga jelaskan tentang hu-

kum acara yang digunakan dalam pemeriksaan

di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang

pada dasarnya dilakukan sesuai dengan hukum

acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan

lain dalam Undang-Undang ini. Kekhususan hu-

kum acara tersebut antara lain mengatur:

a. penegasan pembagian tugas dan we-

wenang antara ketua dan wakil ketua Pe-

ngadilan Tindak Pidana Korupsi;

b. mengenai komposisi majelis Hakim dalam

pemeriksaan di sidang pengadilan baik

pada tingkat pertama, banding maupun

kasasi;

c. jangka waktu penyelesaian pemeriksaan

perkara tindak pidana korupsi pada setiap

tingkatan pemeriksaan;

d. alat bukti yang diajukan di dalam per-

sidangan, termasuk alat bukti yang diper-

oleh dari hasil penyadapan harus diper-

oleh secara sah berdasarkan ketentuan

pera-turan perundang-undangan; dan

e. adanya kepaniteraan khusus untuk

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

4) Kewenangan Lembaga Pemasyara-

katan dalam Sistem Peradilan Pidana

Berdasarkan Undang-Undang Nomor

12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, lem-

baga pemasyarakatan merupakan lembaga yang

berperan paling akhir dari sebuah suatu sistem

peradilan pidana. Pemasyarakatan merupakan

kegiatan untuk melakukan pembinaan warga

binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem,

kelembagaan, dan cara pembinaan yang meru-

pakan bagian akhir dari sistem pemidanaan

dalam tata peradilan pidana. Sistem pemasyara-

katan diselenggarakan dalam rangka memben-

tuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi

manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, mem-

perbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana

sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan

masyarakat, dapat aktif berperan dalam pem-

bangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai

warga yang baik dan bertanggung jawab. Suatu

sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan

berdasarkan asas:

a. pengayoman.

b. persamaan perlakuan dan pelayanan.

c. pendidikan.

d. pembimbingan.

e. penghormatan harkat dan martabat

manusia.

f. kehilangan kemerdekaan merupakan

satu-satunya penderitaan.

g. terjaminnya hak untuk tetap berhubu-

ngan dengan keluarga dan orang-orang

tertentu.

Dalam lembaga pemasyarakatan, Nara-

pidana bukan saja obyek melainkan juga subyek

yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang

sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan

atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana,

sehingga tidak harus diberantas, hal yang harus

diberantas adalah faktor-faktor yang dapat me-

nyebabkan Narapidana berbuat hal-hal yang

bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama,

atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat

dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya un-

tuk menyadarkan Narapidana atau Anak Pidana

agar menyesali perbuatannya, dan mengemba-

likannya menjadi warga masyarakat yang baik,

taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai

moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai

kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan

damai.

Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung

tombak pelaksanaan asas pengayoman meru-

pakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut

57 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

di atas melalui pendidikan, rehabilitasi, dan re-

integrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Pe-

masyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila

Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan tu-

gas pembinaan dan pengamanan Warga Binaan

Pemasyarakatan dalam UU 12/1995 ini ditetap-

kan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum.

5) Kewenangan Advokat dalam Sistem

Peradilan Pidana

Advokat berperan sebagai pendamping

seseorang yang disangka melakukan suatu tindak

pidana. Tiap orang dijamin oleh hukum meng-

gunakan haknya untuk mendapatkan pendam-

pingan oleh advokat. Dengan adanya advokat

maka proses peradilan diharapkan menjadi

seimbang antara orang perseorangan melawan

negara yang diwakili oleh jaksa penuntut umum

sehingga diharapkan dapat mendapatkan kebe-

naran materiil yang berujung pada dicapainya

keadilan.

Ketentuan terkait advokat diatur dalam

UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Bahwa

Advokat adalah orang yang berprofesi mem-

beri jasa hukum, baik di dalam maupun di luar

pengadilan yang memenuhi persyaratan ber-

dasarkan UU No. 18 Tahun 2003. Jasa hukum

yang diberikan advokat antara lain dalam sistem

peradilan pidana adalah memberikan konsultasi

hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, me-

wakili, mendampingi, membela, dan melakukan

tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum

klien.

UU No. 18 Tahun 2003 mengatur andil

advokat dalam Sistem Peradilan Pidana. Advokat

dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara

hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara, maka peran dan fungsi Advokat seba-

gai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung

jawab merupakan hal yang penting, di samping

lembaga peradilan dan instansi penegak hukum

seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hu-

kum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas

profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan

hukum untuk kepentingan masyarakat pen-

cari keadilan, termasuk usaha memberdayakan

masyarakat dalam menyadari hak-hak funda-

mental mereka di depan hukum. Advokat seba-

gai salah satu unsur sistem peradilan merupakan

salah satu pilar dalam menegakkan supremasi

hukum dan hak asasi manusia.

Selain dalam proses peradilan, peran

Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pe-

ngadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar

proses peradilan pada saat sekarang semakin

meningkat, sejalan dengan semakin berkem-

bangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama

dalam memasuki kehidupan yang semakin ter-

buka dalam pergaulan antarbangsa. Melalui pem-

berian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam

pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi

Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi

pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan

hukum nasional khususnya di bidang ekonomi

dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian

sengketa di luar pengadilan.

2. Proses Penuntutan dalam Tindak Pi-

dana Korupsi

1) Kewenangan Kejaksaan dalam Peradi-

lan Tindak Pidana Korupsi

Kewenangan Kejaksaan diatur dalam

UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Kejak-

saan adalah lembaga pemerintahan yang melak-

sanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan

serta kewenangan lain berdasarkan undang-un-

dang. Dalam perkara dugaan terjadinya tindak

pidana korupsi, penuntut umum berwenang

untuk melakukan penuntutan. Dimana penuntu-

tan merupakan tindakan penuntut umum untuk

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 58

melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang

berwenang dalam hal dan cara yang diatur dalam

Hukum Acara Pidana, dengan permintaan untuk

diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pe-

ngadilan.

Kejaksaan memiliki tugas dan wewenang

sebagaimana diatur dalam UU No. 16 Tahun

2004 sebagai berikut:

a. melakukan penuntutan.

b. melaksanakan penetapan hakim dan

putusan pengadilan yang telah mem-

peroleh kekuatan hukum tetap.

c. melakukan pengawasan terhadap

pelaksanaan putusan pidana bersyarat,

putusan pidana pengawasan, dan kepu-

tusan lepas bersyarat.

d. melakukan penyidikan terhadap tindak

pidana tertentu berdasarkan undang-

undang.

e. melengkapi berkas perkara ter-

tentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum di-

limpahkan ke pengadilan yang dalam

pelaksanaannya dikoordinasikan de-

ngan penyidik.

Perihal kewenangan Kejaksaan dalam

perkara tindak pidana korupsi, di dalam Pasal

30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan telah diatur secara eksplisit

bahwa Kejaksaan memiliki kewenangan untuk

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana

tertentu, dalam hal ini perkara tindak pidana ko-

rupsi. Dalam penjelasan UU No. 16 Tahun 2004

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak

pidana tertentu adalah tindak pidana korupsi

dan pelanggaran HAM. Sebagaimana pengaturan

yang diatur tegas dalam Undang-Undang terse-

but maka secara formal yuridis, kejaksaan telah

memiliki kewenangan dalam hal melakukan pe-

nyelidikan tindak pidana korupsi.

Dalam sistem peradilan pidana Indone-

sia, kedudukan Kejaksaan memiliki peran sentral.

Hal ini tidak lepas dari kewenangan yang dimiliki

kejaksaan dalam hal menentukan apakah suatu

perkara dapat atau tidak diajukan ke muka per-

sidangan. Kekuasaan untuk menentukan apa-

kah suatu perkara dapat diteruskan atau tidak

kepersidangan berdasarkan alat bukti yang sah

merupakan Dominus litis yang dimiliki kejaksaan

di negara Indonesia (Effendy, 2005: 105).

Kewenangan Kejaksaan dalam KUHAP

disebutkan bahwa dapat mengadakan pra-pe-

nuntutan apabila ada kekurangan pada penyi-

dikan dengan memperhatikan ketentuan pasal

110 ayat (3) dan (4) KUHAP dalam rangka pe-

nyempurnaan penyidikan dari penyidik. Dalam

pasal 14 KUHAP butir b tersebut tidak diguna-

kan penyidikan lanjutan yang biasa dikenal dalam

HIR, namun dalam KUHAP menyebutkannya

dengan istilah pra-penuntutan. Berdasarkan Per-

aturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:

PER-036/A1JAl09/2011 Tentang Standar Ope-

rasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara

Tindak Pidana Umum, Pra-penuntutan merupa-

kan tindakan Penuntut Umum untuk mengikuti

perkembangan penyidikan setelah menerima

pemberitahuan dimulainya penyidikan dari pe-

nyidik, termasuk mempelajari atau meneliti ke-

lengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang

diterima dari penyidik, serta memberikan petun-

juk guna dilengkapi oleh penyidik untuk menen-

tukan apakah berkas perkara tersebut lengkap

atau tidak.

2) Kewenangan KPK dalam Peradilan

Tindak Pidana Korupsi

Setelah membahas kewenangan Kejak-

saan, maka perlu pula untuk membandingkan

kewenangan Kejaksaan dengan kewenangan

59 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam

sistem peradilan pidana tindak pidana korupsi.

Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diatur

bahwa KPK mempunyai tugas:

a. Koordinasi dengan instansi yang ber-

wenang melakukan pemberantasan tindak

pidana korupsi

b. Supervisi terhadap instansi yang ber-

wenang melakukan pemberantasan tindak

pidana korupsi

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan terhadap tindak pidana ko-

rupsi

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan

tindak pidana korupsi

e. Melakukan monitor terhadap penyeleng-

garaan pemerintahan negara.

Dalam melaksanakan tugas koordinasi

sebagaimana di atas, maka KPK berwenang:

a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyi-

dikan, dan penuntutan tindak pidana ko-

rupsi

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam ke-

giatan pemberantasan tindak pidana ko-

rupsi

c. Meminta informasi tentang kegiatan pem-

berantasan tindak pidana korupsi kepada

instansi yang terkait

d. Melaksanakan dengar pendapat atau per-

temuan dengan instansi yang berwenang

melakukan pemberantasan tindak pidana

korupsi

e. Meminta laporan instansi terkait menge-

nai pencegahan tindak pidana korupsi.

Terkait dengan pelaksanaan tugas su-

pervisi, UU No. 30 Tahun 2002 mengatur bahwa

KPK berwenang melakukan pengawasan, pe-

nelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang

menjalankan tugas dan wewenangnya yang

berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana

korupsi dan dengan instansi yang melaksanakan

pelayanan publik. KPK oleh Undang-Undang juga

berwenang untuk mengambil alih penyidikan

atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana

korupsi yang penanganannya sedang dilakukan

oleh kepolisian atau kejaksaan. Dalam hal KPK

mengambil alih penyidikan atau penuntutan, ke-

polisian atau kejaksaan wajib menyerahkan ter-

sangka dan seluruh berkas perkara beserta alat

bukti, serta dokumen lain yang diperlukan dalam

waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja,

terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan

KPK.

Apabila dibandingkan dengan ke-

wenangan kejaksaan dalam melakukan penyidi-

kan tindak pidana korupsi, terdapat prosedur

yang berbeda dengan KPK sebagaimana yang

ditentukan dalam Undang-Undang. Dalam hal

suatu tindak pidana korupsi terjadi dan KPK be-

lum melakukan penyidikan, sedangkan perkara

tersebut telah dilakukan penyidikan oleh ke-

polisian atau kejaksaan. Maka instansi kepolisian

atau kejaksaan wajib memberitahukan kepada

KPK paling lambat 14 (empat belas) hari kerja

terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.

Akan tetapi dalam hal KPK sudah mulai melaku-

kan penyidikan tindak pidana korupsi, kepolisian

atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan

penyidikan.

Apabila dalam hal penyidikan dilaku-

kan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau

kejaksaan dan KPK, maka penyidikan yang di-

lakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut

segera dihentikan. Selanjutnya berkaitan dengan

kewenangan untuk mengeluarkan surat perintah

penghentian penyidikan sebagaimana yang diatur

dalam KUHAP, maka KPK tidak berwenang se-

bagaimana institusi lain seperti Kepolisian. Hal

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 60

ini diatur dalam Pasal 40 UU KPK, dimana dinya-

takan secara tegas bahwa KPK tidak berwenang

mengeluarkan surat perintah penghentian pe-

nyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak

pidana korupsi.

Selanjutnya dalam Penjelasan Umum

UU No. 30 Tahun 2002, bahwa pada dasarnya

segala kewenangan Komisi Pemberantasan Ko-

rupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan,

dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi

tindak pidana korupsi yang terkait:

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penye-

lenggara negara, dan orang lain yang ada

kaitannya dengan tindak pidana korupsi

yang dilakukan oleh aparat penegak hu-

kum atau penyelenggara negara

b. Mendapat perhatian yang meresahkan

masyarakat

c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit

rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dengan pengaturan dalam UU No. 30

Tahun 2002 tersebut dan Penjelasan Umum,

maka Komisi Pemberantasan Korupsi dapat

menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat

dan memperlakukan institusi yang telah ada se-

bagai “counterpartner” yang kondusif sehingga

pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan se-

cara efisien dan efektif; tidakmemonopoli tu-

gas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan; berfungsi sebagai pemicu dan pem-

berdayaan institusi yang telah ada dalam pem-

berantasan korupsi (trigger mechanism); ber-

fungsi untuk melakukan supervisi dan memantau

institusi yang telah ada, dan dalam keadaan ter-

tentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (super-

body) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian

dan/atau kejaksaan.

Dalam hal KPK melakukan pengusutan

tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh ok-

num militer atau anggota Tentara Nasional In-

donesia (TNI) bersama-sama dengan sipil, maka

secara yuridis formal harus diadili dalam satu

lingkup peradilan umum (Pengadilan Negeri)

atau dalam lingkup peradilan militer (Mahkamah

Militer). Hal inilah yang disebut peradilan konek-

sitas. Jika tidak ingin melakukan, mengkoordi-

nasikan atau mengendalikan penyidikan konek-

sitas yang dimaksud, Komisi Pemberantasan

Korupsi dapat menyerahkan perkara tersebut

kepada kejaksaan dalam hal ini Jaksa Agung un-

tuk mengkoordinasikan dan mengendalikannya.

Akan tetapi menurut Pasal 44 ayat (5), pelak-

sanaan penyidikan koneksitas tersebut tetap

dikoordinasikan dan dilaporkan perkembangan-

nya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (Ef-

fendy, 2010: 45).

3) Pelaksanaan Penuntutan Perkara Tin-

dak Pidana Korupsi

Dalam praktik dikenal bahwa dimu-

lainya suatu proses penuntutan dimulainya dari

kirimnya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan

(SPDP) dari pihak kepolisian atau penyidik ke

pihak Kejaksaan. SPDP ini akan ditindaklanjuti

oleh pihak kejaksaan dengan menunjuk penun-

tut umum untuk mengikuti perkembangan pe-

nyelidikan. SPDP memiliki fungsi penting dalam

proses peradilan pidana. Tanpa SPDP, penuntut

umum tidak dapat mengetahui penyidikan yang

dilakukan oleh penyidik, dan tentunya mengaki-

batkan penuntut umum tidak dapat mengikuti

perkembangan penyidikan dan membuat koor-

dinasi antara penyidik dan penuntut umum

menjadi tidak maksimal (Pangaribuan, 2017: 114-

115). Setelah pihak kejaksaan menerima SPDP

tersebut, maka kejaksaan segera menerbitkan

P-16 mengenai penunjukan jaksa peneliti. Dari

61 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

hasil penyidikan oleh penyidik, hasil penyidikan

tersebut dikirimkan kepada jaksa peneliti untuk

diteliti kelengkapan berkasnya.

Kemudian dalam proses pemeriksaan

suatu berkas perkara hasil penyidikan, terdapat

dua hal yang bisa diputuskan oleh jaksa peneliti.

Dalam hal suatu berkas perkara dinyatakan leng-

kap maka setelah itu terdapat proses pelimpa-

han perkara, tersangka maupun barang bukti

dari penyidik ke kejaksaaan. Kemudian apabila

dalam hal suatu berkas perkara dinyatakan be-

lum lengkap, maka tindakan yang harus dilakukan

penuntut umum adalah mengembalikan berkas

kepada penyidik yang disertai dengan petunjuk-

petunjuk apa saja yang harus dilengkapi kepada

penyidik. Apabila petunjuk sebagaimana telah

dikirim oleh jaksa peneliti telah dipenuhi dan

berkas perkara dinyatakan lengkap, maka ke-

wajiban jaksa selanjutnya adalah menerbitkan

P-21 yang menyatakan bahwa berkas perkara

tindak pidana korupsi tersebut sudah lengkap.

Dengan diterimanya berkas perkara oleh pe-

nuntut umum, maka tanggung jawab yuridis atas

penanganan perkara tersebut beralih dari pen-

yidik kepada penuntut umum. Setelah penyera-

han berkas perkara (disebut juga penyerahan ta-

hap I), penuntut umum segera membuat rencana

surat dakwaan sebagai tahap awal dari penyusu-

nan surat dakwaan dan segera memberitahukan

penyidikan untuk menyerahkan barang bukti dan

juga tersangka kepada penuntut umum, dan den-

gan penyerahan ini beralih pula tanggungjawab

yuridis terhadap tersangka dan barang bukti dari

penyidik kepada penuntut umum (disebut juga

penyerahan tahap II) (Pangaribuan, 2017: 116).

Dalam merumuskan surat dakwaan,

maka kejaksaan harus memenuhi syarat-syarat

formil dan materiil. Syarat formil pembuatan

surat dakwaan berdasarkan Pasal 143 ayat (2)

huruf a KUHAP meliputi:

1. Tanggal dan tanda tangan penuntut umum

yang membuat surat dakwaan

2. Identitas terdakwa yang meliputi nama leng-

kap, tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis

kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama

dan pekerjaan.

Kemudian mengenai syarat materiil su-

rat dakwaan diatur dalam Pasal 143 ayat (2) KU-

HAP yang meliputi kewajiban penuntut umum

untuk membuat uraian secara cermat, jelas dan

lengkap mengenai tindak pidana yang didakwa-

kan dengan menyebutkan tempat dan waktu

suatu tindak pidana dilakukan. KUHAP sendi-

ri tidak membahas mengenai yang dimaksud

uraian cermat, jelas dan lengkap. Akan tetapi hal

ini diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung No-

mor SE-004/J.A.11/1993 sebagai berikut:

Uraian secara cermat, berarti menuntut

ketelitian Jaksa Penuntut Umum dalam mem-

persiapkan Surat Dakwaan yang akan diterap-

kan bagi terdakwa. Dengan menempatkan kata

“cermat” paling depan dari rumusan pasal 143

(2) huruf b KUHAP, pembuat Undang-Undang

menghendaki agar Jaksa Penuntut Umum dalam

membuat Surat Dakwaan selalu bersikap korek

dan teliti.

1. Uraian secara jelas, berarti uraian kejadian

atau fakta kejadian yang jelas dalam Surat

Dakwaan, sehingga terdakwa dengan mu-

dah memahami apa yang didakwakan ter-

hadap dirinya dan dapat mempersiapkan

pembelaan dengan sebaik-baiknya.

2. Uraian secara lengkap, berarti Surat Dak-

waan itu memuat semua unsur (elemen)

Tindak Pidana yang didakwakan. Unsur-

unsur tersebut harus terlukis didalam

uraian fakta kejadian yang dituangkan

dalam Surat Dakwaan.

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 62

Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Repub-

lik Indonesia Nomor : SE-004/J.A/11/1993 Ten-

tang Pembuatan Surat Dakwaan, secara materiil

suatu Surat Dakwaan dipandang telah meme-

nuhi syarat apabila Surat Dakwaan tersebut

telah memberi gambaran secara bulat dan utuh

mengenai:

1) Tindak Pidana yang dilakukan

2) Siapa yang melakukan Tindak Pidana

tersebut

3) Dimana Tindak Pidana dilakukan

4) Bilamana/kapan Tindak Pidana dilaku-

kan

5) Bagaimana Tindak Pidana tersebut di-

lakukan

6) Akibat apa yang ditimbulkan Tindak Pi-

dana tersebut (delik materiil)

7) Apakah yang mendorong terdakwa

melakukan Tindak Pidana tersebut (de-

lik-delik tertentu)

8) Ketentuan-ketentuan Pidana yang di-

terapkan.

Komponen-komponen tersebut se-

cara kasuistik harus disesuaikan dengan jenis

Tindak Pidana yang didakwakan (apakah Tindak

Pidana tersebut termasuk delik formil atau de-

lik materiii). Dengan demikian dapat diformu-

lasikan bahwa syarat formil adalah syarat yang

berkenaan dengan formalitas pembuatan Surat

Dakwaan, sedang syarat materiil adalah syarat

yang berkenaan dengan materi/substansi Surat

Dakwaan. Untuk keabsahan Surat Dakwaan,

kedua syarat tersebut harus dipenuhi. Tidak

terpenuhinya syarat formil, menyebabkan Surat

Dakwaan dapat dibatalkan (vernietigbaar), sedang

tidak terpenuhinya syarat materiil. menyebabkan

dakwaan batal demi hukum (absolut nietig).

3. Pengesahan Undang-Undang Nomor

7 Tahun 2006 Sebagai Ratifikasi dari

United Nation Convention Against Cor-

ruption (UNCAC) dan Implikasinya

terhadap Hukum Positif

Pada tahun 2003 terbentuk United Na-

tions Convention Against Corruption (UNCAC). UN-

CAC ini memaparkan hubungan erat antara ko-

rupsi dan pencucian uang (Chaikin & Sharman,

2009: 40). UNCAC menjadi tonggak di dalam

kerjasama internasional dalam pemberantasan

korupsi dan pencucian yang berasal dari korupsi.

UNCAC menjadi instrumen pertama pertama

yang diakui secara internasional dan mengikat

secara hukum dalam hal pemberantasan tindak

pidana korupsi (Husein, 2007: 222).

Pada tanggal 18 April 2006 Pemerintah

Indonesia telah meratifikasi UNCAC tersebut

dengan UU No. 7 Tahun 2006 tentang Penge-

sahan United Nations Convention Against Corrup-

tion (Konvensi PBB Anti Korupsi). Konvensi PBB

2003 tahun memuat 8 (delapan) bagian dan ke-

tentuanyangsangatsignifikanterhadapperkem-

bangan pembaharuan perundang-undangan na-

sional dalam pemberantasan korupsi: Chapter II,

Preventive Measures; Chapter IV, International Co-

operative; Chapter V, Asset Recovery; dan Chapter VII,

Mechanism for Implementation.

Beberapa implikasi terhadap Undang-

UndangkorupsidengandiratifikasinyaKonvensi

UNCAC 2003 antara lain: (Situmorang, 2014:

342-343)

a. Berkaitan dengan konsep dan sistem hukum

material yang telah lama dianut dalam sis-

tem hukum nasional, yaitu konsep standar

mengenai unsur-unsur tidak pidana korupsi

yang menitikberatkan sifat melawan hukum

dari suatu perbuatan, dan konsep “daad-dader

strafrecht” karena konvensi PBB 2003 hanya

menitikberatkan kepada 3 (tiga) unsur, yaitu:

mengetahui (knowledge), kesengajaan (intent),

dan adanya tujuan (purpose). Selain itu kon-

63 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

vensi PBB 2003 bertujuan untuk melindungi

kepentingan pihak ketiga yang beritikad baik

disamping kepentingan negara.

Sebagai konsekuensi maka rumusan un-

sur tindak pidana korupsi di dalam UU No.

31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001

yang menekankan adanya kerugian negara

perlu dikaji kembali, mungkin juga perlu

dipertimbangkan unsur kerugian “pihak

ketiga yang beritikad baik”. Selain itu dalam

konvensi PBB 2003 masih digunakan penger-

tian istilah “bribery” yang diartikan sebagai

“corruption” dalam kaitan hubungan swasta

dan pejabat publik. Sedangkan dalam Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 pengertian

istilah “bribery atau “suap” dimasukkan seba-

gai salah satu jenis tindak pidana korupsi dan

tidak ditujukan khusus kepada subyek yang

terlibat di dalamnya.

b. Konvensi PBB 2003 menganut pendekatan

komprehensif dalam menghadapi korupsi

yang melibatkan dua atau lebih Negara yang

sudah tentu melibatkan juga Warga Negara

Asing sehingga titik berat, dimana penga-

turannya terletak pada prosedur bagaimana

melacak dan menyita serta mengembalikan

aset hasil korupsi dari suatu negara yang

“menikmatinya” ke negara korban (state’s

victim). Sedangkan UU No. 31 Tahun 1999 jo.

UU No. 20 Tahun 2001 hanya mengandalkan

pengaturan mengenai bagaimana kualifikasi

tindak pidana korupsi dapat diperluas seh-

ingga kerugian negara sekecil apapun dapat

dicegah.

c. Pengaturan mengenai kerjasama yang lebih

mengemuka dalam Konvensi PBB 2003

dibandingkan dengan ketentuan di dalam UU

No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001,

sehingga implementasi konvensi tersebut

ke dalam hukum nasional menuntut ruang

pengaturan yang lebih luas mengenai bidang

tersebut.

d. Implikasi keempat, diperlukan proses krimi-

nalisasi terhadap perbuatan pelanggaran

hukum baru sebagaimana yang telah diatur

dalam Bab III tentang “Criminalization and

Law Enforcement” dalam United Nations Con-

vention Against Corruption 2003, termasuk di-

antaranya:

“Bribery of national public officials, Bribery

of foreign public officials and officials of pub-

lic international organization, embezzlement,

missapropriation or other diversion of property

by a public officials and trading in influence.”

4. Perlindungan Saksi Pelapor dalam Sis-

tem Peradilan Pidana Tindak Pidana

Korupsi

Dalam rangka menumbuhkan partisipasi

masyarakat dalam mengungkap suatu tindak pi-

dana, maka diperlukan suatu mekanisme yang

mampu membuat suasana aman dan kondusif

bagi para pelapor yang hendak menyampaikan

suatu fakta. Untuk mewujudkan hal tersebut

diperlukan sebuah perlindungan hukum dan

keamanan kepada setiap orang yang mengetahui

atau menemukan suatu hal yang dapat memban-

tu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi

agar melaporkannya kepada penegak hukum.

Perlindungan Saksi Pelapor yang de-

mikian itu harus diberi perlindungan hukum dan

ke-amanan yang memadai atas laporannya, se-

hingga saksi pelapor tidak merasa terancam atau

terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan

jaminan perlin-dungan hukum dan keamanan

tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan

yang memungkinkan masyarakat tidak lagi mera-

sa takut untuk me-laporkan suatu tindak pidana

yang diketahuinya kepada penegak hukum, ka-

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 64

rena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh

pihak tertentu.

Pengaturan mengenai perlindungan

terhadap pengungkap fakta atau saksi pelapor

(Whistleblower) secara eksplisit diatur dalam UU

No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban. Pengaturan mengenai perlindungan

tersebut dimandatkan kepada Lembaga Perlin-

dungan Saksi dan Korban (LPSK), yakni lembaga

yang bertugas dan berwenang untuk memberi-

kan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi

dan/atau Korban. LPSK bertanggung jawab un-

tuk menangani pemberian perlindungan dan

bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan

tugas dan kewenangan.

Berdasarkan Pasal 10 UU No. 13 Tahun

2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

konsepsi perlindungan terhadap whistleblower

antara lain adalah:

1. Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat di-

tuntut secara hukum baik pidana maupun

perdata atas laporan, kesaksian yang akan,

sedang, atau telah diberikannya.

2. Seorang Saksi yang juga tersangka dalam

kasus yang sama tidak dapat dibebaskan

dari tuntutan pidana apabila ia ternyata

terbukti secara sah dan meyakinkan ber-

salah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan

pertimbangan hakim dalam meringankan

pidana yang akan dijatuhkan.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Kor-

ban, dan pelapor yang memberikan kete-

rangan tidak dengan itikad baik.

Meskipun Pasal 10 UU No. 13 Tahun

2006 tidak secara khusus menyebutkan pelapor

dengan istilah Whistleblower, tapi yang dimaksud

dengan pelapor dalam penjelasan UU ini ada-

lah orang yang memberikan informasi kepada

penegak hukum mengenai suatu tindak pidana

(Nixson, et.all., 2013: 48). Berdasarkan rumusan

Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 dapat dipahami

bahwa seorang pelapor tidak dapat dituntut se-

cara hukum terhadap laporan maupun kesak-

siannya mengenai suatu tindak pidana. Dengan

catatan bahwa perlindungan diperoleh oleh saksi

pelapor sepanjang pihak tersebut melakukannya

dengan itikad baik.

Mengenai macam-macam perlindungan

serta hak-hak dari pelapor maka berdasarkan

Pasal 5 UU No. 13 Tahun 2006 diatur sebagai

berikut:

a. memperoleh perlindungan atas keamanan

pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta

bebas dari ancaman yang berkenaan dengan

kesaksian yang akan, sedang, atau telah di-

berikannya.

b. ikut serta dalam proses memilih dan me-

nentukan bentuk perlindungan dan duku-

ngan keamanan.

c. memberikan keterangan tanpa tekanan.

d. mendapat penerjemah.

e. bebas dari pertanyaan yang menjerat.

f. mendapatkan informasi mengenai perkem-

bangan kasus.

g. mendapatkan informasi mengenai putusan

pengadilan.

h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.

i. mendapat identitas baru.

j. mendapatkan tempat kediaman baru.

k. memperoleh penggantian biaya transportasi

sesuai dengan kebutuhan.

l. mendapat nasihat hukum; dan/atau

m. memperoleh bantuan biaya hidup sementa-

ra sampai batas waktu perlindungan ber-

akhir.

Berkaitan dengan pelapor dalam perka-

65 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

ra tindak pidana korupsi maka hal ini juga diatur

dalam UU No. 13 Tahun 2006. Dalam pasal 5 ayat

(2) UU No. 13 Tahun 2006 dipaparkan bahwa

hak-hak dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 13 Tahun

2006 tersebut diberikan kepada saksi dan/atau

korban tindak pidana dalam kasus-kasus terten-

tu sesuai dengan keputusan LPSK. Pada dasarnya

perlindungan yang diberikan tersebut diberikan

dengan mempertimbangkan syarat-syarat seba-

gaimana berikut:

a. sifat pentingnya keterangan saksi dan/

atau korban.

b. tingkat ancaman yang membahayakan

saksi dan/atau korban.

c. hasil analisis tim medis atau psikolog

terhadap saksi dan/atau korban.

d. rekam jejak kejahatan yang pernah di-

lakukan oleh saksi dan/atau korban.

Mahkamah Agung telah menunjukkan

bentuk komitmennya dalam mendukung per-

lindungan saksi dan korban dengan menerbit-

kan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4

tahun 2011. Perlakuan Bagi Whistleblower dan

Justice Collaborator dalam tindak pidana ter-tentu

yang menjadi landasan hukum dan acuan bagi

pengadilan untuk memberikan perlindungan.

Substansi utama yang terdapat dalam SEMA ini

adalah adanya perlakuan khusus terhadap pihak-

pihak yang dikategorikan sebagai pelapor tindak

pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama. Per-

lakukan khusus tersebut antara lain diberikan

dengan keringanan pidana dan/atau bentuk per-

lindungan lainnya.

Bentuk perlindungan dan reward yang di-

berikan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung ini

kepada whistleblower jika pihak yang dilaporkan

melaporkan balik si whistleblower, maka penanga-

nan kasus yang dilaporkan whistleblower harus di-

dahulukan daripada kasus yang dilaporkan oleh

terlapor (Semendawai, 2011: 53).

Ironinya di Indonesia hingga saat ini belum ter-

dapat undang-undang yang secara khusus meng-

atur tentang whistleblower. Meskipun secara

eksplisit aturan tentang perlindungan hukum

whistleblower telah dimuat dalam Pasal 10 UU

No. 13 Tahun 2006 Tentang Lembaga Perlind-

ungan Saksi dan Korban dan SEMA No.4 Tahun

2011 Tentang Perlakuan Terhadap Pelapor Tin-

dak Pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang

bekerjasama (justice collaborator). Kedua aturan

tersebut belum dapat melindungi keberadaan

sosok whistleblower, oleh karenanya saat ini

diperlukan adanya sebuah UU yang secara khu-

sus mengatur mengenai whistleblower. Undang-

Undang ini diproyeksikan untuk memastikan

mekanisme pengungkapan dan perlindungan

terhadap whistleblower untuk mengungkap suatu

‘kesalahan’ atau penyalahgunaan wewenang yang

membahayakan kepentingan publik (Nixson,

et.al., 2013: 51). Dengan adanya sebuah Undang-

Undang yang mengatur secara khusus whistle-

blower, diharapkan mampu mengedepankan

perlindungan hukum bagi saksi pelapor terkait

tindak pidana korupsi.

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 66

B. Keterampilan yang Diperlukan dalam Menjelaskan Tindak Pidana Korupsi Formil

1. Menjelaskan sistem peradilan pidana dalam perkara tindak pidana korupsi sesuai ketentuan yang ber-

laku.

2. Menjelaskan proses penuntutan dalam tindak pidana korupsi sesuai ketentuan yang berlaku.

3. Menjelaskan Pengesahan UNCAC dan im-plikasinya terhadap hukum positif dengan rinci.

4. Menjelaskan Perlindungan saksi pelapor dalam sistem peradilan pidana tindak pidana korupsi dengan

rinci.

C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menjelaskan Tindak Pidana Korupsi Formil

1. Harus cermat dan teliti dalam menjelaskan tindak pidana korupsi formil.

2. Harus berpikir analitis serta evaluatif

67 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam

Menjelaskan Komisi Pemberantasan

Korupsi

1. Dasar dan Tujuan Pembentukan

Komisi Pemberantasan Korupsi

Masa reformasi pada tahun 1988 me-

rupakan tahun yang bersejarah bagi bangsa In-

donesia karena pada tahun tersebut Presiden

Soeharto yang telah memerintah selama lebih

kurang 32 tahun berhenti dari jabatan Pre-

siden Republik Indonesia. Dengan berhentinya

Soeharto dari jabatan presiden pada tanggal 21

Mei 1998, Wakil Presiden B.J. Habibie diangkat

menjadi Presiden Republik Indonesia. Era refor-

masi ini hadir sebagai akibat terjadinya berba-

gai permasalahan di era Orde baru, antara lain

tingkat korupsi yang tinggi, krisis ekonomi, krisis

kepercayaan serta kondisi stabilitas politik yang

buruk. Korupsi pun pada era Orde Baru menjadi

endemik di kalangan birokrat (sipil dan militer).

Oleh karena itu, pada era ini pemberantasan ko-

rupsi menjadi satu program prioritas penegakan

hukum. Hal ini dapat dilihat dengan dikeluarkan-

nya TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. TAP MPR terse-

but merupakan salah satu pedoman dalam rang-

ka menyelamatkan dan menciptakan normalisasi

kehidupan nasional sesuai dengan ketentuan

reformasi.

Sebagai tindak lanjut atas TAP MPR

tersebut, maka diterbitkanlah Undang-Undang

No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi

dan Nepotisme pada tanggal 19 Mei 1999. Selain

itu, Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinilai

memiliki kelemahan-kelemahan dan mengham-

bat reformasi. Kelemahan-kelemahan tersebut

antara lain sebagai berikut:

1. Kelemahan dalam hukum material terle-

tak pada ketentuan mengenai rumusan

delik yang bersifat materiel tidak diru-

muskan secara formil.

2. Unsur kerugian keuangan negara atau

perekonomian negara merupakan salah

satu unsur mutlak yang harus dapat

dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum.

3. Peraturan Mahkamah Agung yang me-

negaskan antara lain berkas tindak pi-

dana korupsi tidak terbukti jika kepen-

tingan umum terlayani, terdakwa tidak

memperoleh keuntungan dan negara

tidak dirugikan.

4. Dalam rumusan delik dalm perihal sanksi

pidana yang telah menetapkan maksimal

umum dan tidak ada batasan minimal

khusus, sehingga Jaksa Penuntut Umum

maupun Hakim dapat bergerak leluasa

dalam batasan minimal umum (satu hari)

dan maksimal umum yang ditetapkan

dalam UU Tindak Pidana Korupsi No.3

Tahun 1971.

BAB IV. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 68

Atas dasar hal tersebut, maka diterbit-

kanlah UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pember-

antasan Tindak Pidana Korupsi dan menyatakan

UU No. 3 Tahun 1971 tidak berlaku lagi. Seiring

dengan berjalannya waktu, maka diadakan pe-

nyempurnaan kembali pada UU No. 31 Tahun

1999 melalui diterbitkannya UU No. 20 Tahun

2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Ta-

hun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Sejalan dengan semangat pemberan-

tasan korupsi, dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 31

Tahun 1999 menyatakan bahwa, “Dalam waktu

paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang-undang

ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi”, maka sebagai bentuk

tindak lanjut amanat undang-undang terse-

but, pada tanggal 27 Desember 2002 diterbit-

kanlah UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dengan

misi utama melakukan penegakan hukum yakni

dalam hal pemberantasan korupsi. Pemben-

tukan lembaga ini dikarenakan adanya pemikiran

bahwa lembaga penegak hukum konvensional

seperti Kejaksaan dan Kepolisian dianggap be-

lum mampu memberantas korupsi. Sebagaimana

tertuang dalam Pasal 4 UU No. 30 Tahun 2002,

KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya

guna dan hasil guna terhadap upaya pemberan-

tasan tindak pidana korupsi. Selain itu, KPK juga

berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan in-

stitusi yang telah ada dalam pemberantasan ko-

rupsi (trigger mechanism). Niscaya, pembentukan

KPK menandai babak baru dimulainya perang

terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.

Asas-Asas KPK

Dalam menjalankan tugas dan we-

wenangnya, berdasarkan Pasal 5 UU No. 30

Tahun 2002, KPK berasaskan pada:

a) Kepastian hukum adalah asas dalam

negara hukum yang mengutamakan lan-

dasan peraturan perundang-undangan, ke-

patutan dan keadilan dalam setiap kebi-

jakan menjalankan tugas dan wewenang

KPK.

b) Keterbukaan adalah asas yang mem-

buka diri terhadap hak masyarakat un-

tuk memperoleh informasi yang benar,

jujur dan tidak diskriminatif tentang ki-

nerja KPK dalam menjalankan tugas dan

fungsinya.

c) Akuntabilitas adalah asas yang menen-

tukan bahwa setiap kegiatan dan hasil

akhir kegiatan KPK harus dapat diper-

tanggungjawabkan kepada masyarakat

atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan

tertinggi negara sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

d) Kepentingan umum adalah asas yang

mendahulukan kesejahteraan umum

dengan cara yang aspiratif, akomodatif

dan selektif.

e) Proporsionalitas adalah asas yang me-

ngutamakan keseimbangan antara tugas,

wewenang, tanggungjawab dan kewajiban

KPK.

2. Ruang Lingkup Tugas dan Wewenang

KPK

KPK adalah lembaga negara yang dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat

independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan

manapun. KPK memiliki beberapa tugas dan

wewenang yang diatur dalam Pasal 6-14 UU No.

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Merujuk pada Pasal 6

UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pembe-

rantasan Korupsi, tugas KPK yakni sebagai beri-

69 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

kut:

a) Melaksanakan koordinasi dengan instansi

yang berwenang melakukan pemberan-

taan tindak pidana korupsi.

b) Melakukan supervisi terhadap instansi

yang berwenang melakukan pemberan-

tasan tindak pidana korupsi.

c) Melakukan penyelidikan, penyidikan

dan penuntutan terhadap tindak pidana

korupsi.

d) Melakukan tindakan-tindakan pence-

gahan tindak pidana korupsi; dan

e) Melakukan monitor terhadap penyeleng-

garaan pemerintahan negara.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya

tersebut, KPK memiliki wewenang yang diatur

dalam Pasal 7-14 UU No. 30 Tahun 2002. Ada-

pun wewenang KPK ialah sebagai berikut:

a) Dalam menjalankan tugas koordinasi,

KPK berwenang mengkoordinasikan pe-

nyelidikan, penyidikan dan penuntutan

korupsi; menetapkan sistem pelaporan

dalam ke-giatan pemberantasan korupsi;

meminta informasi tentang kegiatan pem-

berantasan korupsi kepada instansi terkait;

melaksanakan dengar pendapat atau per-

temuan dengan instansi yang berwenang;

dan meminta laporan instansi terkait me-

ngenai pencegahan korupsi. (Pasal 7 jo.

Pasal 6 huruf a UU No. 30 Tahun 2002)

b) Dalam melaksanakan tugas supervisi,

KPK berwenang mengawasi, meneliti dan

menelaah instansi dalam menjalankan tu-

gas dan wewenang memberantas korupsi

serta dalam melaksanakan pelayanan pu-

blik; mengambil alih penyidikan atau pe-

nuntutan terhadap pelaku korupsi yang

sedang ditangani kepolisian atau kejaksaan

(Pasal 8 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 6 huruf

b UU No. 30 Tahun 2002). Pengambil-

alihan penyidikan atau penuntutan terse-

but dapat dilakukan oleh KPK dengan

alasan sebagai berikut: (Pasal 9 Undang-

Undang No. 30 Tahun 2002)

1. Laporan dari warga masyarakat me-

ngenai tindak pidana korupsi yang

tidak ditindaklanjuti.

2. Proses penanganan tindak pidana ko-

rupsi berlarut-larut atau tanpa alasan

yang dapat dipertanggungjawabkan.

3. Penanganan tindak pidana korupsi

ditujukan untuk melindungi pelaku tin-

dak pidana korupsi yang sesungguhnya.

4. Penanganan tindak pidana korupsi me-

ngandung unsur korupsi.

5. Hambatan penanganan tindak pidana

korupsi karena campur tangan dari ek-

sekutif, yudikatif atau legislatif; atau

6. Keadaan lain yang menurut pertim-

bangan kepolisian atau kejaksaan, pe-

nanganan tindak pidana korupsi sulit

dilaksanakan secara baik dan dapat

dipertanggungjawabkan.

c) Dalam melakukan penyelidikan, pe-

nyidikan dan penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi, KPK berwenang melaku-

kan penyadapan dan merekam pembi-

caraan; memerintah instansi yang terkait

untuk melarang seseorang bepergian ke

luar negeri; meminta keterangan bank/

lembaga keuangan lainnya tenatang ke-

adaan keuangan tersangka/terdakwa yang

sedang diperiksa; memerintahkan kepada

bank/lembaga keuangan lainnya untuk

memblokir rekening yang diduga hasil

dari korupsi milik tersangka, terdakwa

atau pihak lain yang terkait; memerintah-

kan kepada pimpinan atau atasan tersang-

ka untuk memberhentikan sementara

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 70

tersangka dari jabatannya; meminta data

kekayaan dan data perpajakan tersangka/

terdakwa kepada instansi yang terkait;

menghentikan sementara suatu transaksi

keuangan, transaksi perdagangan, dan per-

janjian lainnya atau pencabutan sementa-

ra perizinan, lisensi serta konsesi yang di-

lakukan atau dimiliki oleh tersangka atau

terdakwa yang diduga berdasarkan bukti

awal yang cukup ada hubungannya dengan

tindak pidana korupsi yang sedang dipe-

riksa; meminta bantuan Interpol Indone-

sia atau instansi penegak hukum negara

lain untuk melakukan pencarian, penang-

kapan, dan penyitaan barang bukti di luar

negeri; meminta bantuan kepolisian atau

instansi lain yang terkait untuk melaku-

kan penangkapan, penahanan, penggele-

dahan dan penyitaan dalam perkara tin-

dak pidana korupsi yang sedang ditangani

(Pasal 12 jo. Pasal 6 huruf c UU No. 30

Tahun 2002). Kewenangan KPK dalam hal

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan

ini dapat dilaksanakan dengan kriteria tin-

dak korupsi sebagai berikut: (Pasal 11 UU

No. 30 Tahun 2002)

1. Melibatkan aparat penegak hukum,

penyelenggara negara dan orang lain

yang ada kaitannya dengan tindak

pidana korupsi yang dilakukan oeh

aparat penegak hukum atau penye-

lenggara negara.

2. Mendapatkan perhatian yang mere-

sahkan masyarakat.

3. Menyangkut kerugian negara paling

sedikit satu miliar rupiah.

d) Dalam melaksanakan tugas pence-

gahan, KPK berwenang melakukan

pendaftaran dan pemeriksaan terhadap

laporan harta kekayaan penyelenggara

negara; menerima laporan dan menetap-

kan status gratifikasi;menyelenggarakan

program pendidikan antikorupsi pada se-

tiap jenjang pendidikan; merancang dan

mendorong terlaksananya program so-

sialisasi pemberantasan tindak pidana ko-

rupsi; me-lakukan kampanye antikorupsi

kepada masyarakat umum; dan melaku-

kan kerjasama bilateral atau multilateral

dalam pemberantasan tindak pidana ko-

rupsi. (Pasal 13 jo. Pasal 6 huruf d UU No.

30 Tahun 2002).

e) Dalam melaksanakan tugas monitor

terhadap penyelenggaraan pemerin-

tahan negara KPK berwenang melakukan

pengkajian terhadap sistem pengelolaan

administrasi di semua lembaga negara

dan pemerintah; memberi saran kepada

pimpinan lembaga negara dan peme-

rintah untuk melakukan perubahan jika

berdasarkan hasil pengkajian, sistem pe-

ngelolaan administrasi tersebit berpo-

tensi korupsi; dan melaporkan kepada

Presiden RI, DPR dan BPK, jika saran

KPK mengenai usulan perubahan terse-

but tidak diindahkan. (Pasal 14 jo. Pasal 6

huruf e UU NO. 30 Tahun 2002).

3. Susunan Organisasi KPK

Struktur organisasi Komisi Pemberan-

tasan Korupsi diatur sedemikian rupa sehingga

memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut

berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-lang-

kah yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi, serta pelaksanaan program kampanye

publik dapat dilakukan secara sistematis dan

konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberan-

tasan Korupsi dapat diawasi oleh masyarakat

luas. Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 21 UU

No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberan-

71 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

tasan Tindak Pidana Korupsi, KPK terdiri atas

Pimpinan KPK yang terdiri atas 5 anggota KPK,

Tim Penasihat yang terdiri dari 4 anggota dan

Pegawai KPK sebagai pelaksana tugas.

a. Pimpinan KPK

Pimpinan KPK terdiri atas 5 orang yang

terdiri atas seorang ketua merangkap anggota

dan 4 orang wakil ketua merangkap anggota.

Kelima pimpinan KPK tersebut merupakan

pejabat negara yang berasal dari unsur peme-

rintahan dan unsur masyarakat.

Pimpinan KPK memegang jabatan

selama empat tahun dan dapat dipilih kembali

hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam pengam-

bilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif

kolegial. Selain itu, dalam melaksanakan tugas

dan wewenangnya, KPK dibantu oleh seorang

Sekretaris Jenderal yang bertanggungjawab pada

Pimpinan KPK.

Pimpinan KPK membawahi 4 bidang

yang terdiri atas:

(1) Bidang Pencegahan, yang membawahkan

Sub-bidang Pendaftaran dan Pemeriksaan

Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara

Negara; Sub-bidang Pendidikan dan Pela-

yanan Masyarakat; dan Sub-bidang Peneli-

tian dan Pengembangan.

(2) Bidang Penindakan, yang membawahkan

Sub-bidang Penyelidikan; Sub-bidang Pe-

nyidikan; dan Sub-bidang Penuntutan.

(3) Bidang Informasi dan Data, yang mem-

bawahkan Sub-bidang Pengelolaan Infor-

masi dan Data dan Sub-bidang Pembinaan

Jaringan Kerja Antar komisi dan Instansi.

(4) Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan

Masyarakat, yang membawahkan Sub-bi-

dang Pengawasan Internal dan Sub-bidang

Pengaduan Masyarakat.

b. Tim Penasihat

KPK berwenang mengangkat Tim Pe-

nasihat yang diajukan oleh panitia seleksi pe-

milihan yang dibentuk oleh KPK. Selanjutnya,

Panitia seleksi pemilihan mengumumkan pen-

erimaan calon dan melakukan kegiatan men-

gumpulkan calon anggota berdasarkan keinginan

dan masukan dari masyarakat. Calon Tim Penasi-

hat yang diusulkan oleh panitia seleksi pemilihan

kemudian diumumkan kepada masyarakat untuk

mendapat tanggapan sebelum ditunjuk dan di-

angkat oleh KPK. Nantinya, KPK akan memilih

4 dari 8 calon yang diajukan oleh panitia seleksi

pemilihan yang telah mendapat tanggapan dari

masyarakat. Tim Penasihat ini nantinya berfungsi

memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai

dengan kepakarannya kepada KPK dalam pelak-

sanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberan-

tasan Korupsi.

c. Pegawai KPK sebagai Pelaksana Tugas

Berdasarkan Pasal 2 PP No. 63 Tahun

2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya

Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi seba-

gaimana telah diubah dengan PP No. 103 Tahun

2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemer-

intah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem

Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pem-

berantasan Korupsi, Pegawai KPK adalah Warga

Negara Indonesia yang karena kompetensinya

diangkat sebagai pegawai pada KPK. Dalam Pasal

3 PP tersebut disebutkan Pegawai KPK terdiri

atas:

(1) Pegawai Tetap.

(2) Pegawai Negeri yang dipekerjakan; dan

(3) Pegawai Tidak Tetap.

Untuk mempermudah pemahaman

perihal Struktur Organisasi KPK, berikut di-saji-

kan bagan Struktur Organisasi KPK berdasarkan

Lampiran Peraturan Pimpinan Komisi Pember-

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 72

antasan Korupsi No. PER-08/XII/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK tanggal 30 Desember

2008.

Bagan Struktur Organisasi KPK

Sumber: https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi

73 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

Tabel Komposisi SDM KPK Berdasarkan Jabatan (KPK, 2016)

No. Jabatan Jumlah %1 Ketua 1 0,09

2 Wakil Ketua 4 0,363 Sekjen 1 0,09

6 Deputi 4 0,36

5 Direktur 8 0,71 6 Kepala Biro 4 0,36 7 Kepala Bagian 14 1,25 8 Kepala Sekretariat 2 0,18 9 Spesialis 618 54,98 10 Administrasi 468 41,64 TOTAL 1.124 100

4. Hambatan dan Tantangan bagi KPK

dalam Pemberantasan Korupsi di

Indonesia

Pemberantasan korupsi adalah upaya

yang mengusik zona nyaman. Maka dari itu

dalam kurun waktu 15 tahun sejak KPK didi-

rikan, sering kali upaya pemberantasan korupsi

oleh KPK menemui berbagai hambatan dan tan-

tangan. Berikut adalah beberapa hambatan dan

tantangan pemberantasan korupsi oleh KPK.

a. Bidang dan Subbidang Organisasi KPK

yang Diatur Rigid dalam UU KPK

Di dalam tubuh KPK, terdapat 4 bidang

yang dibawahi oleh Pimpinan KPK, yaitu Bidang

Pencegahan, Bidang Penindakan, Bidang Informa-

si dan Data, serta Bidang Pengawasan Internal

dan Pengaduan Masyarakat. Bidang-bidang terse-

but juga membawahkan masing-masing bebera-

pa sub-bidang yang diatur secara eksplisit oleh

UU No. 30 Tahun 2002. Di satu sisi, dengan dia-

turnya bidang-bidang dan sub-bidang tersebut

secara eksplisit dapat menjadi payung hukum

bagi struktur organisasi KPK. Namun, di sisi lain

pengaturan secara rigid dalam UU No. 30 Tahun

2002 justru menghambat pembentukan bidang-

bidang baru yang dibutuhkan untuk menjawab

tantangan pemberantasan korupsi dan perkem-

bangan modus operandi korupsi. Sebab, peru-

bahan dan/atau penambahan harus melalui revisi

undang-undang yang notabene membutuhkan

waktu lama. Hal inilah yang berpotensi menjadi

hambatan bagi KPK dalam upaya pemberantasan

korupsi.

b. Pergeseran Peran dan Fungsi Tim Pe-

nasihat KPK

KPK memiliki kewenangan untuk men-

gangkat Tim Penasihat. Tim Penasihat ini ber-

fungsi memberikan nasihat dan pertimbangan

sesuai dengan kepakarannya kepada KPK dalam

pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pem-

berantasan Korupsi. Latar belakang Tim Penasi-

hat bersifat terbuka dan ditentukan sesuai kebu-

tuhan KPK. Pada asal mula pembentukannya, Tim

Penasihat dirancang tidak menjadi bagian dari

struktur tetap organisasi KPK dengan fungsi se-

bagai suatu forum yang bersifat situasional. Jus-

tru pada kenyataannya, UU mengatur kedudukan

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 74

tim penasihat menjadi bagian yang permanen

dalam organisasi KPK. Oleh karena itu, Tim Pe-

nasihat harus didudukkan kembali sebagaimana

fungsi dan kebutuhan sesuai tugasnya.

c. Pertimbangan Khusus Terhadap Latar

Belakang Pendidikan Calon Pimpinan

KPK

Untuk menjadi Pimpinan KPK disyarat-

kan berpendidikan sarjana hukum atau sarjana

lain yang memiliki keahlian dan pengalaman

sekurang-kurangnya 15 tahun. Dalam praktik,

justru pada level Pimpinan KPK minim yang

memiliki keahlian mumpuni dalam hukum pi-

dana. Meskipun yang bekerja di lapangan adalah

penyelidik maupun penyidik, namun juga pada

level Pimpinan KPK dibutuhkan decision maker

yang mumpuni di bidang hukum pidana. Konklus-

inya, meskipun tidak diwajibkan Pimpinan KPK

harus sarjana hukum, namun alangkah baiknya

jika ada pertimbangan khusus atau proporsi

khusus bagi sarjana hukum.

d. Wacana Pembukaan Kantor KPK di

Daerah

Kini santer berhembus kabar bahwa

KPK memiliki wacana untuk membuka kantor

di kota-kota besar di beberapa daerah. Pada

dasarnya UU No. 30 Tahun 2002 memberikan

peluang untuk mewujudkan wacana ini, yakni

pada Pasal 19 ayat (2) yang menyatakan bahwa

KPK dapat membentuk perwakilan di daerah ibu-

kota provinsi. Namun, di sisi lain harus dipahami

bahwa UU No. 30 Tahun 2002 mengamanat-

kan KPK untuk menjadi trigger mechanism bagi

lembaga penegak hukum lainnya dalam pem-

berantasan korupsi. Sementara, di kota-kota di

daerah pada dasarnya sudah ada kepolisian dan

kejaksaan, sehingga apabila KPK didirikan di dae-

rah-daerah justru akan berpotensi menihilkan

perannya sebagai trigger mechanism. Faktanya

hingga kini KPK masih menjadi ujung tombak

dalam pemberantasan korupsi. Hal yang harus

dilakukan justru memberdayakan lembaga pene-

gak hukum yang ada di daerah-daerah. Selain itu,

jika KPK didirikan di daerah-daerah, justru akan

mengingkari ciri khas “superbody” dari KPK itu

sendiri. Pun dari sisi pengawasan juga akan sulit

jika KPK membuka cabang ke daerah-daerah.

e. Minimnya Sumber Daya Manusia di

KPK

Dengan jumlah 34 provinsi dan pen-

duduk 237.641.326 jiwa (BPS, 2010), jumlah

SDM KPK tergolong minim, yakni 1.124 orang

(Laporan KPK, 2016). Bandingkan saja dengan

Malaysia yang memiliki lembaga pemberantasan

korupsi yang disebut Suruhanjaya Pencegahan

Rasuah Malaysia (SPRM) atau Malaysia Anti-

Corruption Commission (MACC).dengan jum-

lah pegawai sebanyak 2.900 orang, sementara

penduduk Malaysia berjumlah sekitar 31 juta

jiwa (Departement Statistics of Malaysia,

2015). Selain itu, Independent Commis-

sion Against Corruption (ICAC) Hongkong

juga merupakan salah satu lembaga pemberan-

tasan korupsi yang cukup memadai. Pada tahun

2005 jumlah pegawai ICAC mencapai 1.194

orang dengan jumlah penduduk Hongkong saat

itu sekitar 7 juta jiwa. Dari angka-angka terse-

but, dapat diketahui rasio antara jumlah pegawai

lembaga pemberantasan korupsi dan jumlah

penduduk negara yang bersangkutan. Rasio di

Indonesia sebesar 1:211.425, Malaysia sebesar

1:10.690, dan Hongkong sebesar 1:5.863. Dari

data tersebut, dapat dilihat bagaimana kesen-

jangan rasio antara jumlah pegawai KPK dengan

jumlah penduduk di Indonesia dengan negara

Malaysia dan Hongkong.

Rasio antara jumlah pegawai dan pen-

duduk menjadi hal yang cukup penting untuk

75 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

dipertimbangkan.Mengingat,KPKsenantiasamenerimabanyak laporangratifikasidandugaankorupsiyang

harus segera disusun prioritas penindakan. Maka dari itu, harus dipertimbangkan kembali jumlah kebutuhan

SDM dalam KPK agar dapat sebanding dengan tingginya jumlah pekerjaan rumah KPK untuk memberantas

korupsi.

B. Keterampilan yang Diperlukan dalam Menjelaskan Komisi Pemberantasan Korupsi

1. Menjelaskan dasar dan tujuan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai ketentuan yang

berlaku.

2. Menjelaskan ruang lingkup tugas dan wewenang KPK.

3. Menjelaskan susunan organisasi KPK

4. Menjelaskan hambatan dan tantangan bagi KPK dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia

C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menjelaskan Komisi Pemberantasan Korupsi

1. Harus cermat dan teliti dalam menjelaskan Tindak Pidana Korupsi dan Komisi Pemberantasan Ko-

rupsi.

2. Harus berpikir analitis serta evaluatif waktu menjelaskan Tindak Pidana Korupsi dan Komisi Pember-

antasan Korupsi.

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 76

DAFTAR REFERENSI

Buku, Makalah, Disertasi dan Dokumen Lain

Adji, Indriyanto Seno.(2011). KUHAP Dalam Prospektif. Diadit Media, Jakarta.

Atmasasmita, Romli.(1996). Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Ekstensialisme dan Abolisionisme. Bi-

nacipta. Bandung.

Atmasasmita, Romli. (1999).“Landasan Filosofi Pemberantasan Korupsi di Indonesia.” Makalah disampai-

kan dalam seminar korupsi yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Trisakti,

Jakarta, 5 Agustus 1999

Chaikin, David dan J.C Sharman. (2009). Corruption and Money Laundering, A Symbolic Relationship. Pal-

grave Macmillan. Amerika Serikat.

Pangaribuan, Aristo M.A. et.al.. (2017). Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia.PT.RajaGrafindo

Persada bekerja sama dengan Djokosoetono Research Center (DRC) Fakultas Hukum

Universitas Indonesia. Jakarta.

Harlina, Indah. (2008). “Kedudukan dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Penegakan

Hukum”, Disertasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Harkrisnowo, Hakristuti. (2003). Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Leg-

islasi dan Pemidanaan di Indonesia, Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam

Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok.

Husein, Yunus.(2007). Bunga Rampai Anti Pencucian Uang. Books Terrace & Library. Bandung.

KPK. (2015). Pedoman Pengendalian Gratifikasi. KPK. Jakarta.

KPK. (2016). Laporan Tahunan KPK Tahun 2016. Jakarta.

Reksodiputro, Mardjono.(1993). Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan dan Pe-

negakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi). Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.

Efendi, Marwan.(2005). Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Gramedia. Jakarta.

Effendy, Marwan.(2010). Peradilan in Absentia dan Koneksitas. Timpani Publishing. Jakarta.

Maheka, Arya. (2006). Mengenali dan Memberantas Korupsi. Jakarta: KPK

Masduki, Teten dan Danang Widyoko.(2005). “Menunggu Gebrakan KPK”. Jantera. Edisi 8 Tahun III,

Maret 2005

Situmorang, Mosgan.(2014). Harmonisasi Hukum Nasional di Bidang Korupsi dengan United Nations

Convention Against Corruption “Jurnal Rechtsvinding” Vol. 3. No. 3. Jakarta.

Nixson, et.all. (2013). Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam

Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “USU Law Journal”.Vol.II. No. 2.

77 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

Semendawai, Abdul Haris.(2011). Memahami Whistleblower Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

(LPSK). Jakarta.

Raharjo, Agus dan Angkasa. (2011). Profesionalisme Polisi dalam Penegakan Hukum “Jurnal Dinamika

Hukum” Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

Reksodiputro, Mardjono. (1999). “Suatu Saran tentang Kerangka Aktivitas Reformasi Hukum”. Makalah

disampaikan pada Seminar Hukum Nasional Ke VII dengan tema “Reformasi Hukum Menuju

Masyarakat Madani” diselenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional, Jakarta, 12-15

Oktober 1999.

Department of Statistic Malaysia. (2015). “Data Perangkaan Penduduk Tahun 2015”.

Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan “United Nations

Convention Against Corruption, 2003” (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi,

2003).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 78

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang.

Republik Indonesia, Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-004/J.A/11/1993 Tentang Pembuatan Surat

Dakwaan.

Republik Indonesia, Keputusan Jaksa Agung Nomor 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001

tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi

Perkara Tindak Pidana.

Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER - 036/A1JAl09/2011 Tentang Standar Opera

sional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum.

79 Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi

TENTANG PENULIS

Gandjar Laksmana Bonaprapta Bondan, lahir di Pekalongan, 9 Februari 1971. Memperoleh gelar Sar-

jana dan Magister di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Gandjar pun mengabdikan dirinya pada

almamater dengan menjadi pengajar hukum pidana selama kurang lebih 21 tahun, di mana dalam

kurun waktu tersebut tidak kurang dari 19 tahun digunakan untuk mengajar hukum tindak pidana ko-

rupsi. Selain itu Gandjar juga mengasuh mata kuliah asas-asas hukum pidana, penerapan asas hukum

pidana, dan kapita selekta hukum pidana yang juga membahas materi tindak pidana pencucian uang.

Selain aktif mengajar di kampus dan juga di diklat KPK, Gandjar juga mendirikan CLEAR (Center for

Legislacy, Empowerment, Advocacy, and Research) pada tahun 2009, yaitu sebuah organisasi nirlaba yang

bergerak di bidang kajian dan penelitian hukum dengan berfokus pada peningkatan kapasitas sumber

daya manusia melalui pengetahuan di bidang hukum yang disampaikan secara sederhana dan mudah

dipahami awam. Saat ini Gandjar menjabat sebagai Chairman CLEAR.

Buku Informasi - Tindak Pidana Korupsi & Komisi Pemberantasan Korupsi 80