BAB II TINJAUAN UMUM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA … II.pdf · TINJAUAN UMUM PEMBERANTASAN TINDAK...

download BAB II TINJAUAN UMUM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA … II.pdf · TINJAUAN UMUM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI ... berlakunya KUHP di Indonesia, ... diperhitungkan secara khusus

If you can't read please download the document

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA … II.pdf · TINJAUAN UMUM PEMBERANTASAN TINDAK...

  • 44

    BAB II

    TINJAUAN UMUM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

    2.1. Tindak Pidana Korupsi sebagai Kejahatan Luar Biasa

    Korupsi selalu mendapatkan perhatian lebih dibandingkan dengan tindak

    pidana lainnya di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Fenomena ini

    dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana

    ini. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan.

    Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membayakan

    pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai

    demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah

    budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita bangsa menuju

    masyarakat adil dan makmur.

    Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

    Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    dengan tegas disebutkan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi

    secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah

    merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara

    luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang

    pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dengan ditetapkannya

    korupsi sebagai extra ordinary crimes oleh negara Indonesia, maka seyogiyanya

  • 45

    negara, rakyat dan budaya masyarakat Indonesia bersikap zero tolerance terhadap

    segala bentuk korupsi. Termasuk tidak mau menerima sumbangan dari koruptor.1

    Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum UU Nomor 30 Tahun

    2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memaparkan bahwa meningkatnya

    tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja

    terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa

    dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis

    juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi

    masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat

    digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar

    biasa.

    Korupsi sebagai kejahatan luar biasa harus dapat diberantas agar tidak

    menjadi budaya dalam masyarakat, karena bagaimanapun korupsi memberikan

    dampak negatif bagi kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.

    2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

    Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam

    kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan

    kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama

    menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan

    masyarakat. Salah satu tindak pidana yang paling sering menjadi

    perbincangan adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya

    1 Badan Pengawas Mahkamah Agung, 2013, Korupsi sebagai Extra Ordinary Crime dan

    Tugas Yuridis Para Hakim, http://bawas.mahkamahagung.go.id, Diakses tanggal 24 Juni 2014.

    http://bawas.mahkamahagung.go.id/

  • 46

    merugikan keuangan Negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap

    hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.

    Definisi tentang korupsi terdapat dalam laporan Amsterdam,

    definisi tentang korupsi dalam konteks umum disebutkan sebagai:

    menawarkan, memberikan, meminta, atau menerima keuntungan pribadi,

    karena posisi atau perannya dalam jabatan pelayanan publik. Dalam

    konteks hukum pidana, jabatan pelayanan publik adalah pegawai negeri

    sipil termasuk juga para politisi, para gubernur dan menteri.2

    Korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan

    dengan tindak pidana lainnya di belahan dunia ini, khususnya di Indonesia.

    Hal ini dapat dimaklumni mengingat dampak negatif yang ditimbulkan

    oleh tindak pidana korupsi tersebut. Dampak yang ditimbulkan dapat

    menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah

    serius, tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan

    keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi,

    politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena

    lambat laun perbuatan tersebut seakan menjadi sebuah budaya. Korupsi

    merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan

    makmur. Selain itu korupsi juga sangat bertentangan dengan cita hukum

    Pancasila bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan

    kepribadian bangsa Indonesia.

    2 Philipus M. Hadjon, dkk, 2012, Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi,

    Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 93-94.

  • 47

    Menurut Fockema Andrea kata korupsi berasal dari bahasa Latin

    corruptio atau corruptus (Webster Student Dictionary:1960). Selanjutnya

    disebutkan bahwa corruption itu berasal ula dari kata asal corrumpere,

    suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak

    bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu Corruption, corrupt, Prancis, yaitu

    corruption; dan Belanda, yaitu corruptive (korupties).3

    Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin corruption atau

    corruptus yang berarti: kerusakan atau kebobrokan. Pada mulanya

    pemahaman masyarakat tentang korupsi dengan menggunakan bahasa

    kamus, yang berasal dari bahasa Yunani Latin corruption yang berarti

    perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral,

    menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama, mental dan

    hukum. 4

    Pengertian tersebut merupakan pengertian yang sangat sederhana,

    yang tidak dijadikan tolak ukur atau standar perbuatan korupsi sebagai

    suatu tindak pidana, yang oleh Lubis dan Scott dalam pandangannya

    bahwa: dalam arti hukum korupsi adalah tingkah laku yang

    menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh pejabat

    pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku

    tersebut; sedangkan menurut norma-norma pemerintahan dapat dianggap

    3 Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan

    Internasional, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 4. 4 Focus Andrea dalam M. Prodjohamididjoyo, 2001, Memahami Dasar-Dasar Hukum

    Pidana Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 7.

  • 48

    korupsi apabila ada pelanggaran hukum atau tidak, namun dalam bisnis

    tindakan tersebut adalah tercela.5

    Korupsi menurut Leden Marpaung adalah perbuatan memiliki

    keuangan Negara secara tidak sah (haram). Dalam Kamus Besar bahasa

    Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana dikutip

    oleh Leden Marpaung, korupsi diartikan sebagai: penyelewengan atau

    penggelapan (uang Negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk

    kepentingan pribadi atau orang lain. Kata keuangan negara biasanya

    tidak terlepas dari aparat pemerintah, karena yang mengelola keuangan

    negara adalah aparat pemerintah. 6

    Setelah diterbitkannya Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dirubah menjadi

    Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, maka dalam Pasal 2 ayat (1)

    merumuskan tindak pidana korupsi adalah: setiap orang yang secara

    melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang

    lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

    perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau

    pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20

    (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus

    juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (atu milyar rupiah).

    Pasal 3-nya dirumuskan: setiap orang dengan tujuan

    menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau koorporasi,

    5 M. Lubis dan J.C. Scott, 1997, Korupsi Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 19.

    6 Leden Marpaung, 1992, Tindak Pidana Korupsi: Masalah dan Pemecahannya, Sinar

    Grafika, Jakarta, h. 149.

  • 49

    menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada

    padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan

    Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara

    seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling

    lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima

    puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar

    rupiah).

    Korupsi dalam kamus umum bahasa Indonesia adalah perbuatan

    yang buruk (seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan

    sebagainya).7 Dengan pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah

    ditarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu

    istilah yang sangat luas artinya. Seperti dapat disimpulkan bahwa korupsi

    itu adalah sesuatu yang buruk dengan berbagai macam artinya, bervariasi

    menurut waktu, tempat dan bangsa. Di Indonesia, jika orang berbicara

    mengenai korupsi, pasti yang dipikirkan hanya perbuatan jahat

    menyangkut keuangan negara dan suap. Pendekatan yang dapat dilakukan

    terhadap masalah korupsi bermacam ragamnya, dan artinya tetap sesuai

    walaupun kita mendekati masalah itu, dari berbagai aspek. Pendekatan

    sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein

    Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya

    kalau kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan politik

    maupun ekonomi. Misalnya Alatas memasukkan nepotisme dalam

    7 W.J.S. Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustak, Jakarta.

  • 50

    kelompok korupsi, dalam klasifikasinya (memasang keluarga atau teman

    pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu), yang

    tentunya hal seperti itu sukar dicari normanya dalam hukum pidana.8

    Dilihat dari beberapa pengertian tentang tindak pidana korupsi

    tersebut, dapat dipahami bahwa secara umum pengertian tindak pidana

    korupsi adalah suatu perbuatan curang yang merugikan keuangan negara.

    Atau dapat juga dikatakan bahwa korupsi merupakan penyelewengan atau

    penggelapan uang Negara yang dilakukan oleh seseorang atau lebih untuk

    kepentingan pribadi atau orang lain.

    2.1.2. Pendapat Beberapa Ahli Tentang Tindak Pidana Korupsi

    Mubyarto mengutip pendapat Smith sebagai berikut:

    On the whole corruption in Indonesia appears to present more of

    a recurring political problem than an economic one. It undermines

    the legitimacy of the government in the eye of the young, educated

    elite and most civil servant Corruptiaon reduces support for the

    government among elites at the province and regency level. (secara

    keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai

    masalah politik daripada ekonomi. Ia menyentuh keabsahan

    (legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik

    dan pegawai pada umumnya Korupsi mengurangi dukungan

    pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan

    kabupaten).9

    Lebih tegas lagi apa yang dikemukakan oleh Gunnar Myrdal

    sebagai berikut:

    The problem is of vital concern to the government of South Asia,

    because the habitual practice of briberyand dishonesty pavers the

    way for an authoritarian regime which justifies itself by the

    disclosures of corruption has regularly been advance as a main

    justification for military take overs. Masalah korupsi merupakan

    suatu yang penting bagi pemerintah di Asia Selatan karena

    kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidak jujuran membuka

    jalan membingkar korupsi dan tindakan-tindakan penghukuman

    8 Ibid, h. 6.

    9 Ibid, h. 7.

  • 51

    terhadap pelanggar. Pemberantasan korupsi biasanya dijadikan

    pembenar utama terhadap kup militer.10

    Menurut Andi Hamzah, tindak pidana korupsi yang terjadi di

    Indonesia disebabkan karena faktor-faktor, yaitu: 11

    1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan

    dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat. Faktor

    ini adalah faktor yang paling menonjol, dalam arti merata dan

    meluasnya korupsi di Indonesia;

    2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia. Dari sejarah

    berlakunya KUHP di Indonesia, penyalahgunaan kekuasaan

    oleh pejabat atau menguntungkan diri sendiri memang telah

    diperhitungkan secara khusus oleh Pemerintah Belanda

    sewaktu disusun WvS (Wetboek van Strafreacht) untuk

    Indonesia. Hal ini dengan nyata disisipkan pada Pasal 423 dan

    Pasal 425 KUHP Indonesia;

    3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif

    dan kurang efisien sering dipandnag pula sebagai penyebab

    korupsi, khususnya dalam arti bahwa hal yang demikian itu

    akan member peluang untuk melakukan korupsi. Sering

    dikatakan, makin besar anggaran pembangunan semakin besar

    pula kemungkinan terjadinya kebocoran-kebocoran;

    4. Modernisasi mengembangkan korupsi karena membawa

    perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat,

    10

    Ibid, h. 7-8. 11

    Andi Hamzah, Op.Cit, h. 13-20.

  • 52

    membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru,

    membawa perubahan-perubahan yang diakibatkan dalam

    bidang kegiatan politik, memperbesar kekuasaan pemerintah

    dan melipatgandakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh

    Peraturan Pemerintah.

    Selain faktor penyebab, faktor-faktor pendorong sehingga

    dilakukannya korupsi menurut Suradi, ada tiga macam, yaitu: (1) adanya

    tekanan (perceived pressure); (2) adanya kesempatan (perceived

    opportunity); dan (3) berbagai cara untuk merasionalisasi agar kecurangan

    dapat diterima (some way to rationalize the fraud as acceptable).12

    Selain itu, sudarto menjelaskan unsur-unsur tindak pidana korupsi,

    yaitu sebagai berikut: 13

    a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang laian

    atau suatu badan. Perbuatan memperkaya artinya berbuat apa

    saja misalnya mengambil, memindahbukukan, menandatangani

    kontrak dan sebagainya, sehingga si pembuat bertambah kaya.

    b. Perbuatan itu bersifat melawan hukum.

    Melawan hukum disini diartikan secara formil dan materiil.

    Unsur itu perlu dibuktikan karena tercantum secara tegas dalam

    rumusan delik

    c. Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan

    keuangan Negara dan/atau perekonomian Negara, atau

    12

    Suradi, 2006, Korupsi dalam Sektor Pemerintah dan Swasta, Gava Media, Yogyakarta,

    h. 1-2. 13

    Evi Hartanti, 2012, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 18

  • 53

    perbuatan itu diketahui atau patut disangka oleh si pembuat

    bahwa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

    Pendapat lain dikemukakan oleh Solo Soemardjan, beliau

    mengungkapkan bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme adalah

    dalam satu napas karena ketiganya melanggar kaidah kejujuran dan

    norma hukum. 14

    Selain itu dipandang dari GONE Theory yang dikemukakan

    oleh Jack Bologne yang dikutip oleh R. Diyatmiko

    Soemodihardjo, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

    korupsi adalah: 15

    a. Greeds (keserakahan) yang berkaitan dengan adanya

    perilaku serakah yang secara potensial ada didalam diri

    setiap orang;

    b. Opportunities (kesempatan) yang berkaitan dengan

    keadaan organisasi, instansi atau masyarakat, sehingga

    terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan

    korupsi;

    c. Needs (kebutuhan) yang berkaitan dengan faktor

    kebutuhan individu guna menunjang hidupnya yang

    layak; dan

    d. Exposures (pengungkapan) yaitu faktor yang berkaitan

    dengan tindakan, konsekuensi atau resiko yang akan

    14

    Ibid, h. 19-20. 15

    Tumbur Ompu Sunggu, 2012, Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam

    Penegakan Hukum di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, h. 4.

  • 54

    dihadapi oleh pelaku apabila yang bersangkutan

    terungkap melakukan korupsi.

    2.1.3. Konsepsi Kejahatan Luar Biasa dalam Hubungannya dengan

    Tindak Pidana Korupsi

    Korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan

    ekonomi masyarakat sehingga dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa.

    Bahkan korupsi telah bagai penyakit kanker yang telah menjalar dan

    merusak semua sendi kehidupan masyarakat sampai dalam kondisi

    sekarat. Dengan demikian penanganan korupsi tidak boleh dilakukan

    dengan cara-cara biasa tetapi juga dengan cara-cara yang luar

    biasa.Melihat hal tersebut di atas, penanganan korupsi saat ini tidak cukup

    dengan hanya sosialisasi, ceramah-ceramah dan kegiatan-kegiatan lainnya

    yang sejenis, melainkan harus ditangani degan cepat agar tidak menjadi

    kebiasaan.

    Undang-Undang KPK khususnya Penjelasan Umum UU 30 Tahun

    2002 yang menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa.

    Perhatikan kutipan penjelasan umum UU KPK dibawah ini:16

    Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan

    membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional

    tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.

    Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan

    pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat,

    16

    Lihat Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002

    Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bagian Umum.

  • 55

    dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat

    digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu

    kejahatan luar biasa.

    Bandingkan misalnya dengan penjelasan Umum UU 20 Tahun

    2001 dibawah ini:

    Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi

    secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan

    keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan

    ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi

    perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian,

    pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara

    yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik

    yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.

    Tindak pidana korupsi sebagai salah satu jenis tindak pidana yang

    diatur dalam tindak pidana khusus atau ketentuan-ketantuan di luar KUPH.

    Menurut Pompe hukum pidana khusus dapat dipahami dalam dua kriteria

    yaitu orang-orang yang khusus, maksudnya subjek atau pelakunya yang

    khusus dan perbuatannya yang khusus. Disamping itu Pompe menegaskan

    kekhususan hukum pidana tersebut tidak hanya secara materiilnya yang

    menyimpang dari buku I KUHP tetapi juga hukum acaranya yang

    menyimpang dari hukum pidana umum (KUHAP).17

    17

    Andi Hamzah, 1991, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Rineka Cipta, Jakarta, h.

    1-2. Selanjutnya disebut Andi Hamzah I.

  • 56

    Korupsi harus dipersepsikan sebagai kejahatan, bahkan termasuk di

    dalam kejahatan luar biasa. Korupsi juga harus dilihat sebagai kejahatan

    terhadap Negara. Aparatur pemerintah yang korup adalah aparat yang

    seharusnya bertindak demi kepentingan Negara, namun menggunakan

    kekuasaan yang diberikan oleh Negara untuk kepentingan diri sendiri.

    Korupsi juga dapat dipandang sebagai kejahatan melawan masyarakat,

    karena tidak memberikan kepada masyarakat apa yang berhak didapatkan

    oleh masyarakat yang secara wajar telah menjalankan kewajiban-

    kewajibanya. Dalam konteks ini, korupsi terlihat sebagai sebuah kejahatan

    karena mengabaikan hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat, dan juga

    mempropagandakan masyarakat umum untuk melakukan perbuatan yang

    secara etis bermasalah. Korupsi juga merupakan kejahatan yang terjadi

    dalam realitas ekonomi, karena praktek-praktek suap yang diminta oleh

    aparat pemerintah akan berpengaruh besar terhadap perekonomian.

    Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sangat luar

    biasa (extra ordinary crimes) sehingga tuntutan ketersediaan perangkat

    hukum yang sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang

    menangani korupsi tersebut tidak dapat dielakkan lagi. Kiranya rakyat

    Indonesia sepakat bahwa korupsi harus dicegah dan diberantas karena

    korupsi sudah terbukti sangat menyangsarakan rakyat bahkan sudah

    merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial rakyat Indonesia serta

    hak-hak konstitusional warga Negara. Persoalan pemberantasan korupsi di

    Indonesia bukanlah hanya persoalan hukum dan penegakan hukum

  • 57

    semata, melainkan persoalan sosial dan psikologi sosial yang sungguh

    sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan hukum sehingga wajib

    segera dibenahi.

    2.2. Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara

    Tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial

    dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga korupsi dapat dikatakan sebagai

    kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes), sehingga dalam upaya

    pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-

    cara yang luar biasa (extra-ordinary enforcement).18

    Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya persoalan

    hukum dan penegakan hukum semata-mata melainkan persoalan sosial dan

    psikologi sosial yang sungguh sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan

    hukum sehingga wajib segera dibenahi secara simultan. Korupsi juga merupakan

    persoalan sosial karena korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerataan

    kesejahteraan dan merupakan persoalan psikologi sosial karena korupsi

    merupakan penyakit sosial yang sulit disembuhkan.19

    Upaya untuk dapat melaksanakan pemberantasan korupsi secara efektif

    dan efisien salah satunya adalah melalui penerapan sistem Pembalikan Beban

    Pembuktian dan pembentukan suatu badan atau lembaga khusus yang independen

    dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi.20

    Di Indonesia lembaga

    pemberantasan tindak pidana korupsi telah dibentuk berdasarkan Undang-Undang

    18

    Ermansyah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 28.

    19 Ibid, h. 31.

    20 Tumbur Ompu Sunggu, Op.Cit. h. 56.

  • 58

    No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

    disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak hanya di Indonesia korupsi

    juga terjadi di beberapa negara di belahan dunia ini. Oleh sebab itu maka

    pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan segera dan secepat mungkin agar

    tidak semakin meluas dan meresahkan masyarakat. Dalam penelitian ini penulis

    akan memaparkan secara singkat tentang komisi pemberantasan korupsi di

    berbagai Negara dianataranya yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi Australia,

    Komisi Pemberantasan Korupsi Malaysia dan Komisi Pemberantasan Korupsi

    Thailand.

    2.2.1. Komisi Pemberantasan Korupsi Australia

    Organisasi ICAC (Independent Commission Against Coruption)

    New South Wales terdiri dari satu Ketua disebut Commisioner dan dua

    Assistan Commisioner yang disebut juga Ketua Mejelis Operasi , dibantu 4

    (empat) direktur. Commisioner diangkat oleh diangkat oleh Gubernur

    Negara bagian New South Weles atas usul Menteri Kehakiman kepada

    Parliamentary Joint Committee (Komite Parlemen) New South Weles

    untuk dipilih, ICAC New South Weles bertanggung jawab kepada

    Parliamentary Joint Committee bukan kepada Pemerintah (Gubernur New

    South Weles). ICAC New South Weles adalah lembaga independen yang

    bertugas memberantas korupsi di Australia khususnya Negara bagian New

    South Weles. Negara bagian New South Weles dengan ibu kota Sydney

    inilah yang mempunyai komisi anti korupsi yang lengkap, independen,

    dan telah berjalan dengan lancar. ICAC didirikan berdasarkan Independent

  • 59

    Commission Against Coruption Act Nomor 35 Tahun 1988. Undang-

    Undang ini sudah beberapa kali di amandemen, sehingga hampir seriap

    tahun diamandemen sejak tahun 1989 terkecuali terkecuali pada tahun

    1993. ICAC beroperasi di lingkungan sektor publik New South Weles.

    ICAC adalah suatu komisi untuk pemeriksaan yang terfokus secara pada

    tindak pidana korupsi. Selain melakukan penyidikan, ICAC juga bertugas

    untuk membantu mencegah korupsi di sektor publik dan mendidik

    masyarakat di sektor publik tentang pencegahan tindak pidana korupsi.21

    ICAC New South Wales

    tidak mempunyai wewenang untuk

    menyidik orang swasta atau perusahaan swasta kecuali jika hal itu

    berkaitan dengan sector public. Jadi ICAC New South Wales relatif sama

    dengan KPK Indonesia dalam hal objek penyidikannya. ICAC New South

    Wales memiliki perbedaan dengan KPK Indonesia dalam hal wewenang

    penuntutan, karena ICAC New South Wales tidak memiliki wewenang di

    bidang penuntutan sedangkan KPK Indonesia memiliki wewenang

    penuntutan dalam memberantas korupsi di Indonesia. Selain itu, ICAC

    New South Wales mempunyai wewenang menyidik hakim, magistrate,

    atau pejabat peradilan. Hal tersebut berbeda dengan KPK Indonesia yang

    dibatasi wewenangnya oleh UU tentang Mahkamah Agung dan UU

    tentang Peradilan Umum yang menghendaki pemeriksaan seorang hakim

    harus dengan izin Ketua Mahkamah Agung.22

    21

    Andi Hamzah, 2005, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Nagara,

    Sinar Grafika, Jakarta, h. 9. Selanjutnya disebut Andi Hamzah II 22

    Aziz Syamsuddin, 2013, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, h. 210.

  • 60

    Komisi pemberantasan korupsi di Australia yang lengkap hanya di

    satu Negara bagian New South Wales, sedangkan di negara-negara bagian

    yang lain lembaga pemberantasan korupsinya masih melekat pada institusi

    yang ada yaitu kepolisian. Persamaan tugas dan kewenangan yang sangat

    menonjol diantara kewenangan ICAC New South Wales dengan KPK

    Indonesia adalah di bidang penindakan/penyidikan di sector publik/

    penyelanggara negara yaitu menyidik setiap pengaduan yang diduga ada

    perbuatan korupsi dan di bidang pencegahannya yaitu memberikan

    pendidikan dan nasehat tentang dampak perbuatan korupsi.

    2.2.1. Komisi Pemberantasan Korupsi Malaysia

    Dalam rangka membangun Negara modern yang bebas korupsi,

    sejak tahun 1961 Malaya yang kemudian berkembang menjadi Malaysia,

    telah mempunyai undang-undang anti korupsi, yang pertama Undang-

    Undang Tahun 1961 yang bernama Prevention of Corruption Act atau

    Akta Pencegah Rasuah Nomor 57, kemudian diterbitkan lagi Emergency

    Essential Power Ordinance Nomor 22 tahun 1970, lalu dibentuk Badan

    Pencegah Rasuah (BPR) berdasarkan Anti Corruption Agency Act tahun

    1982. Sekarang berlaku Anti Corruption Act tahun tahun 1997 yang

    selanjutnya disingkat ACA yang merupakan penggabungan ketiga undang-

    undang dan ordonansi tersebut. Organisasi Badan Pencegah Rasuah (BPR)

    Malaysia berada pada kantor Perdana Menteri langsung dibawahnya

    adalah Direktur Jenderal atau Ketua Pengarah BPR Malaysia, ketua BPR

    Malaysia dibantu 2 deputy (timbalan) yaitu Ketua Pengarah Operasi dan

  • 61

    Ketua Pengarah Pencegahan yang diangkat oleh Yang Dipertuan Agung

    (Raja) atas nasehat Perdana Menteri dan bertanggung jawab kepada Raja

    Yang dipertuan Agung Malaysia.23

    Pemberantasan korupsi di Malaysia dilakukan dengan segala daya

    dan cara, represif yang keras, tegas, dibarengi sistem preventif dan

    hubungan masyarakat yang sangat intensif, didukung dengan political will

    yang prima dari Pemerintah disertai dengan sumber daya manusia yang

    professional dan berintegritas. Tidak kurang pentingnya adalah tersedianya

    anggaran yang sangat memadai untuk menunjang semua kegiatan

    operasional dari BPR Malaysia. Peraturan (Anti Curruption Act) pun

    lengkap, walaupun hanya dengan satu undang-undang telah mampu

    mencakup semua hal dengan rumusan delik yang jelas, sangat keras, dan

    dijalankan oleh BPR Malaysia dengan konsisten. Permasalahannya, BPR

    Malaysia dalam pemberantasan korupsi di Malaysia masih belum

    independen (independensinya masih belum tegas), karena BPR Malaysia

    masih berada di bawah administrasi kantor Perdana Menteri Malaysia.

    Dengan demikian, pertanggungjawaban BPR Malaysia juga menjadi

    pertanyaan atau permasalahan, yaitu begaimana mekanismenya.24

    BPR Malaysia dengan KPK Indonesia mempunyai maksud dan

    tujuan yang sama untuk memberantas korupsi di Negara masing-masing.

    Perbedaan kewenangan BPR Malaysia dengan KPK Indonesia yang paling

    menonjol adalah dalam melakukan penyelidikannya, BPR Malaysia dalam

    23

    Andi Hamzah, Op. Cit, h. 38. 24

    Ermansyah Djaja, Op. Cit, h. 447.

  • 62

    penyelidikan perkara korupsi dilakukan oleh Divisi Intelejen dibawah

    Ketua Pengarah Operasi, sedangkan KPK Indonesia tidak ada Divisi

    Intelejen yang langsung mengadakan penyelidikan kelapangan. KPK

    Indonesia dalam penyelidikan perkara korupsi dilakukan oleh Direktorat

    Penyelidikan dibawah Deputi Bidang Penindakan yang sifatnya untuk

    menyelidiki kasus-kasus adanya laporan pengaduan korupsi, jadi tidak

    memiliki inisiatif menyelidiki kelapangan dalam hal-hal yang

    mencurigakan.25

    2.2.3. Komisi Pemberantasan Korupsi Thailand

    Komisi Pemberantasan Korupsi di Thailand adalah NCCC (Nation

    Counter Corruption Commission) yang bertanggung jawab kepada

    Perdana Menteri. Selanjutnya pada tanggal 8 November 1999 diterbitkan

    undang-undang baru tentang pemberantasan korupsi bernama Organic Act

    on Counter Corruption. Berdasarkan Pasal 6 Organic Act on Counter

    Corruption, komisi pemberantasan korupsi di Thailand diberi nama NCCC

    (The National Counter Corruption Commission) yang terdiri atas seorang

    ketua yang disebut President dan 8 (delapan) anggota yang terdiri dari satu

    sekretaris jenderal, dua asisten sekretaris jenderal, empat deputi sekretaris

    jenderal yang diangkat oleh Raja dengan nasehat dari Senat, dan

    pertanggungjawabannya langsung kepada Raja.26

    Persamaan tugas dan wewenang NCCC Thailand dengan KPK

    Indonesia yang paling menonjol yaitu mengambil tindakan untuk

    25

    Tumbur Ompu Sunggu, Op.Cit. h. 90 26

    Andi Hamzah, Op. Cit, h. 373.

  • 63

    mencegah korupsi dan membangun sikap berkaitan dengan integritas dan

    kejujuran. Sedangkan perbedaannya yaitu NCCC Thailand tidak dapat

    melakukan penuntutan tindak pidana korupsi, hal tersebut hanya dapat

    dilakukan melalui Kejaksaan agung selaku penuntut umum untuk

    mengadili tindak pidana korupsi, sedangkan KPK Indonesia dapat

    melakukan sendiri penuntutannya ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.27

    2.3. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Instrumen Hukum

    Internasional

    Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against

    Corruption (UNCAC), dengan Undang-Undang No. 7 tahun 2006 hal ini

    menunjukkan bahwa negara kita telah mengikatkan diri dalam komunitas

    internasional untuk memberantas korupsi. Konsekuensi logisnya, Indonesia

    memiliki instrumen hukum untuk bersikap proaktif dalam upaya mengembalikan

    uang rakyat yang dikorupsi dan melakukan kerjasama internasional

    mengekstradisi koruptor yang melarikan diri ke luar negeri. Tugas seluruh

    komponen bangsa saat ini adalah merevitalisasi fungsi protektif hukum terhadap

    korban kejahatan korupsi yaitu rakyat miskin yang tidak sanggup merasa mampu

    menuntut hak-hak konstitusionalnya untuk hidup layak bagi kemanusiaan. Untuk

    masa kedepan dengan meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003 dan

    implementasinya kedalam hukum nasional serta hak-hak yang dimiliki oleh

    Indonesia sebagai negara peratifikasi maka tidak ada lagi tempat berlindung

    27

    Tumbur Ompu Sunggu, Op.Cit. h. 105.

  • 64

    para koruptor dimanapun para koruptor tersebut melarikan diri dan

    menyembunyikan ases-aset hasil korupsinya.

    Konvensi PBB 2003 telah memberikan pilihan sarana hukum internasional

    yang bersifat komprehensif dalam pemberantasan korupsi. Hal tersebut menuntut

    Konvensi PBB memasukkan ketentuan mengenai pembentukan suatu lembaga

    independen untuk memberantas korupsi di setiap Negara. Di Indonesia

    pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Undang-Undang

    Nomor 30 Tahun 2002 sangat relevan sebagai wujud komitmen nasional

    Indonesia dapat setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia dalam mencegah

    terjadinya pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial yang mengakibatkan

    kemiskinan yang semakin meluas. 28

    Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia sebagai

    lembaga khusus untuk pemberantasan korupsi masih tetap harus dipertahankan.

    Apalagi Indonesia sebagai salah satu negara peserta dalam Konvensi PBB Anti

    Korupsi, 2003, wajib memastikan keberadaan KPK sebagai lembaga khusus

    pemberantas korupsi di Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 36

    Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003 sebagaimana telah diratifikasi atau disahkan

    oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan

    United Nations Convention Againns Coruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-

    Bangsa Tahun Anti Korupsi 2003), sehingga keberadaan KPK semakin

    mempunyai dasar hukum yang kuat sebagai lembaga pemberantasan korupsi di

    Indonesia. Oleh sebab itu menjadi sangat penting diketahui mengenai intrumen

    28

    Tumbur Ompu Sunggu, Op.Cit. h.110.

  • 65

    hukum internasional dan instrumen hukum ditingkat regional yang nantinya dapat

    menjadi acuan dalam memberantas korupsi di Indonesia.

    2.3.1. Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Tingkat

    Internasional

    Tindak Pidana Korupsi tidak hanya merupakan persoalan di tingkat

    nasional (Indonesia) namun juga mendapat perhatian di tingkat

    Internasional, sehingga perlu diatur dalam bentuk Instrumen Hukum

    Internasional.

    Konvensi mengenai pemberantasan korupsi di bawah pengawasan

    PBB telah diadopsi dalam sidang ketujuh Panitia ad hoc negosiasi atas

    draft konvensi tersebut pada tanggal 1 Oktober 2003 yang lampau. Adopsi

    atas konvensi tersebut merupakan babak baru dalam pemberantasan

    korupsi secara internasional, dan juga merupakan perkembangan yang

    sangat signifikan dalam pengembangan studi hukum mengenai korupsi;

    dan saat ini korupsi sudah merupakan kejahatan transnasional, bukan lagi

    semata asalah nasional masing-masing Negara. Hal ini ditegaskan di

    dalam mukamahdimah Konvensi Wina 2003 yang berbunyi sebagai

    berikut: Convinced also that the globalization of the worlds economic

    has led to a situation where corruption is no longer a local matter but a

    transnational phenomenon that affects all societies and economies,

    making international cooperation to prevent and control it essential.29

    29

    Aziz Syamsuddin, Op.Cit, h. 215

  • 66

    Hukum internasional yang menjadi payung hukum yang berkaitan

    dengan kurupsi adalah United Nations Conventions Againtsn Corruption.

    Instrumen hukum internasional ini wajib ditaati oleh semua negara-negara

    seluruh Negara anggota PBB yang telah menandatangani dan meratifikasi

    aturan Konvensi PBB tentang Korupsi tahun 2003, termasuk di dalamnya

    Indonesia yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun

    2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againns Coruption

    (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun Anti Korupsi 2003).

    United Nations Conventions Againtsn Corruption 2003 dibentuk

    pada awalnya di tahun 2000 dalam sidang ke-55 melalui Resolusi Nomor

    55/61 pada tanggal 6 Desember 2000. Instrumen hukum internasional

    tersebut amat diperlukan untuk menjembatani sistem hukum yang berbeda

    dan sekaligus memajukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi

    secara efektif.30

    Konfensi internasional tentang anti korupsi mengatur 8 (delapan)

    Bab yaitu: tentang general povisioan, preventive measure,

    criminalizations and law enforcement, international coopration, asset

    recovery, techicalo assistance and informations exchange, mechanisms for

    implementation, dan Final provision. 31

    30

    Lihat Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006

    tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan

    Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), Bagian Pokok-Pokok Pikiran yang mendorong Lahirnya

    Konvensi 31

    United Nations, 2004, United Nations Conventions Againtsn Corruption, United

    Nations office on drugs and crime Viena, New York, p. 7.

  • 67

    Melalui peraturan secara hukum internasional hal penting yang

    dapat dipetik adalah adanya kerja sama Internasional dalam rangka

    memerangi dan memberantas korupsi sebagaimana diatur dalam bab VI

    UNCAC tentang techical techicalo assistance and informations exchange

    (bantuan teknis dan pertukaran informasi) mengenai langkah-langkah yang

    dapat ditembuh untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi. 32

    Salah satu pertimbangan Indonesia meratifikasi UNCAC 2003

    adalah bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi

    merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh

    masyarakat dan perekonomian, sehingga penting adanya kerjasama

    Internasional untuk pencegahan dan pemberantasannya termasuk

    pemulihan atau pengembalian asset-aset hasil korupsi.33

    Ratifikasi

    UNCAC 2003 menampilkan Indonesia sebagai salah satu Negara di Asia

    yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama

    Internasional. Selain itu, Indonesia juga wajib menyesuaikan berbagai

    peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi dengan isi

    dari UNCAC 2003 tersebut.

    2.3.2. Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Tingkat

    Regional

    Pemberantasan Korupsi tidak hanya diatur di tingkat

    internasional tetapi juga diatur di tingkat regional, diantaranya

    32

    United Nations, Op.Cit, p 33

    Aziz Syamsuddin, Op.Cit, h. 196.

  • 68

    diatur di tingkat regional yaitu dalam Inter American Convention

    Agains Corruption 1996.

    Pasal 1 Inter American Convention Agains Corruption

    1996 menjelaskan tentang definisi dari fungsi publik, pejabat

    publik dan properti.

    Article 2 menjelaskan tentang tujuan dari konvensi ini

    yaitu: 34

    1. To promote and strengthen the development by each of the

    States Parties of the mechanisms needed to prevent, detect,

    punish and eradicate corruption; and

    2. To promote, facilitate and regulate cooperation among the

    States Parties to ensure the effectiveness of measures and

    actions to prevent, detect, punish and eradicate corruption

    in the performance of public functions and acts of

    corruption specifically related to such performance.

    Pasal 2 tersebut menjelaskan bahwa tujuan dari konvensi ini secara

    garis besarnya yaitu Untuk mempromosikan dan memperkuat

    pengembangan oleh masing-masing Negara Pihak mekanisme yang

    diperlukan untuk mencegah, mendeteksi, dan menghukum memberantas

    korupsi; dan untuk mempromosikan, memfasilitasi dan mengatur

    kerjasama antar Negara Pihak untuk memastikan efektifitas kebijakan dan

    tindakan untuk mencegah, mendeteksi, dan menghukum memberantas

    34

    Adopted at the third plenary session, 1996, Inter-American Convention Agains

    Corruption, p. 2.

  • 69

    korupsi dalam pelaksanaan fungsi publik dan tindakan korupsi secara

    khusus terkait dengan kinerja tersebut.

    Pasal 3 tentang tindakan pencegahan (Preventive Measures).

    Tindakan pencegahan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 3 konvensi

    ini dilakukan antara lain dengan Standar perilaku bagi pemenuhan yang

    benar, terhormat, dan tepat fungsi publik dan Studi tentang langkah-

    langkah pencegahan lebih lanjut yang memperhitungkan hubungan antara

    kompensasi yang adil dan kejujuran dalam pelayanan publik.

    Pasal 5 tentang Jurisdiction, hal tersebut berkaitan erat dengan

    eksistensi Negara untuk memberantas korupsi melalui tindakan-tindakan

    pemerintah.

    Pasal VII menjelaskan tentang Domestic Lawyaitu:35

    The States Parties that have not yet done so shall adopt the

    necessary legislative or other measures to establish as criminal offenses

    under their domestic law the acts of corruption described in Article VI(1)

    and to facilitate cooperation among themselves pursuant to this

    Convention. Yang artinya yaitu Negara-Negara Pihak yang belum

    melakukannya harus mengadopsi diperlukan langkah-langkah legislatif

    atau lainnya untuk menetapkan sebagai kejahatan pidana berdasarkan

    hukum nasional mereka tindakan korupsi yang dijelaskan dalam Pasal VI

    (1) dan untuk memfasilitasi kerja sama di antara mereka sendiri sesuai

    dengan Konvensi ini.

    35

    Ibid, p. 3

  • 70

    Selanjutnya Pasal penting dalam konvensi ini terkait dengan

    korupsi yaitu dalam Pasal XIV tentang Assistance and Cooperatoin, yang

    menjelaskan tentang bantuan dan kerjasama yang dilakukan dengan

    hukum domestik dan perjanjian yang berlaku.36

    2.4. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

    Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ketahun.

    Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus

    yang terjadi dan jumlah kerugian Negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana

    yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh

    aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak

    terkendali akan membawa bencana, tidak saja bagi kehidupan perekonomian

    nasional, juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Menyadari kompleksnya

    permasalahan korupsi ditengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman

    nyata yang pasti akan terjadi akibat dari dampak korupsi tersebut, maka tindak

    pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus

    dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang

    tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat

    khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum. Untuk dapat memberantas

    korupsi diperlukan lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan

    negara.

    36

    Ibid, p. 6.

  • 71

    Aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi semakin meningkat,

    karena korupsi telah menimbulkan kerugian yang sangat besar. Untuk itu upaya

    pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan

    diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan

    masyarakat. Untuk dapat memberantas korupsi diperlukan lembaga independen

    yang bebas dari pengaruh kekuasaan negara. Sehingga dibentuklah KPK sebagai

    lembaga khusus pemberantasan korupsi di Indonesia.

    Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan Pasal 3

    Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

    adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya

    bersifat independen dan bebas dari penagruh kekuasaan manpun. Pemberantasan

    tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30

    Tahun 2002 yaitu serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas

    tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan,

    penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta

    masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    2.4.1. Sebelum Terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi

    Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dalam

    masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik

    dari jumlah kasus yang terjadi ataupun jumlah kerugian keuangan negara

    terkait dengan tindak pidana korupsi.

  • 72

    Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan

    semakin membawa bencana yang besar dalam kehidupan perekonomian

    nasional yang dapat pula berdampak besar pada kehidupan bermasyarakat,

    berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang

    meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak

    social dan hak-hak ekonomi masyarakat, dank arena itu semua tindak

    pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa

    melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Oleh sebab itu, diperlukan

    adanya penegakkan hukum yang pelaksanaannya dilakukan secara

    optimal, intensif, efektif, professional dan berkesinambungan guna

    memberantas tindak pidana korupsi tersebut. Dalam rangka mewujudkan

    supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai

    kebijakan dan peraturan perundang-undangan sebagai landasan yang kuat

    untuk berusaha memerangi dan memberantas tindak pidana korupsi.

    Kebijakan-kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai bentuk

    peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis

    Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998

    tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi

    dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

    Penyelenggaraan Negara yang yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan

    Nepotisme; serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

  • 73

    Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi. Dalam rangka mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan

    sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

    Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi

    yang terjadi di Indonesia sampai sekarang belum dapat dilaksanakan

    secara optimal. Oleh karena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi

    perlu ditingkatkan secara professional, intensif, dan berkesinambungan

    karena korupsi telah merugikan keuangan negara, merugikan

    perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Lembaga

    Negara yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi

    secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Oleh

    sebab itu, berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31

    Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

    telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

    Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk sebuah lembaga

    negara untuk memberantas tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia

    yaitu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen

    dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana

    korupsi.

    Pemberantasan Korupsi kini sudah menjadi agenda masyarakat

    internasional sekaligus juga telah disepakati ketentuan-ketentuan yang

    mengatur tentang pembentukan suatu lembaga anti korupsi yang

  • 74

    independen, mekanismepengembalian asset hasil korupsi di Negara lain

    melalui mutual legal assistance; ekstradisi, joint investigation;

    transfer of sentenced person; transfer of proceedings; dan kewajiban

    pelaporan tahunan kepada lembaga internasional yang disebut

    Conference of the Parties.37

    Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia dimulai dengan

    dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 24

    tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak

    pidana korupsi yang pada intinya mengatur tata cara pencegahan dan

    pemberantasan korupsi namun tetap masih mengacu kepada pembedaan

    antara kejahatan dan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Kitab

    Undang-Undang Hukum Pidana. Namun pengaturan pemberantasan

    korupsi melalui PERPU tersebut terbukti masih lemah dan tidak efektif,

    oleh sebab itu produk legislatif tersebut ditindaklanjuti dengan

    pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) di bawah koordinasi

    Menteri Pertahanan. Sasaran TPK pada waktu itu diarahkan kepada

    kejahatan penyelundupan tetapi tim yang dibentuk itu tidak berhasil secara

    efektif memberantas korupsi terutama penyelundupan. Untuk

    meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi pemerintah telah

    mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sebagai pengganti

    Perpu tahun 1960. Undang-Undnag tersebut menetapkan korupsi sebagai

    tindak pidana yang berdiri sendiri dan tidak lagi merupakan salah satu

    37

    Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek

    Internasional, Mandar Maju, Bandung, h. 26.

  • 75

    jenis kejahatan sebagaimana diatur dalam KUHP dan pembaharuan yang

    terdapat dalam undang-undang tersebut adalah ditetapkannya kerugian

    keuangan Negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi. Namun

    hal tersebutlah pula yang menjadikan undang-undang tersebut tidak

    berhasil berjalan efektif sehingga dibentuklah Undang-Undang Nomor 31

    tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai

    pengganti Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971. Penegakan hukum

    terhadap KKN harus dijalankan secara konsisten dan tidak ada yang kebal

    hukum, sekalipun terhadap seorang presiden.

    Komisi Pemberantasan Korupsi bukanlah lembaga negara pertama

    yang menjalankan tugas untuk memberantas korupsi di Indonesia. Dalam

    sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia terdapat cukup banyak

    lembaga atau institusi yang menangani pemberantasan korupsi sebelum

    dibentuknya KPK berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

    tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    Lembaga atau institusi pemberantasan korupsi di Indoneisa selain

    KPK, antara lain: Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Komite Anti

    Korupsi (KAK), Komisi Empat, Operasi tertib (OPSTIB), Komisi

    Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Tim Gabungan

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Tim Koordinasi

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.38

    38

    Ermansjah Djaja, 2010, Memberantas Korupsi bersama KPK: Kajian Yuridis UURI

    Nomor 30 Tahun 1999 juncto UURI Nomor 20 Tahun 2001 Versi UURI Nomor 30 Tahun 2002

    juncto UURI Nomor 46 Tahun 2009, Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 326-329.

  • 76

    Berbagai peraturan perundang-undangan maupun pembentukan

    institusi pemberantasan korupsi tersebut hanyalah merupakan persiapan

    dari segi legal dan formal saja. Pembenahan aspek legal dan formal saja

    tidak akan dapat berhasil memberantas tindak pidana korupsi tanpa

    pembenahan aspek ekonomi, sosial dan politik. Antara lain, telah

    terciptanya kesejahteraan, kemauan politik (political will) dari pemerintah

    dan DPR serta terdapatnya dukungan dari masyarakat berupa pengawasan

    terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.

    2.4.2. Setelah Terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi

    A. Latar Belakang Pembentukan Komisi Pemeberantasan

    Tindak Pidana Korupsi

    Landasan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak

    Pidana Korupsi ialah UU Nomor 30 Tahun 2002 yang mengatur

    banyak hal tentang komisi ini. Dengan diundangkannya undang-

    undang tersebut, telah ditambahkan banyak ketentuan dalam hal

    penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan persidangan di

    pengadilan yang menangani perkara korupsi. Undang-undang

    tersebut sebenarnya bersifat menambah atau melengkapi norma-

    norma hukum yang telah ada dalam UU No. 31 Tahun 1999

    sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001. Selain

    sebagai landasan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, UU

    tersebut juga menjadi landasan dibentuknya pengadilan tindak

  • 77

    pidana korupsi yang berada di lingkungan pengadilan umum dan

    berwenang mengadili dan memutus perkara korupsi yang

    penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

    (Pasal 53). Dengan adanya UU No. 30/2002, maka ketentuan

    hukum korupsi dalam hal penanganan tindak pidana korupsi telah

    mengalami kemajuan yang luar biasa dan jauh meninggalkan

    hukum pidana khusus lainnya.

    Berbeda dengan tim gabungan yang dibentuk oleh dan

    bertanggung jawab kepada Jaksa Agung (sebagaimana diatur

    dalam UU No. 31 Tahun 1999), Komisi Pemberantasan Korupsi

    adalah lembaga Negara yang melaksanakan tugas dan wewenang

    yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana

    pun dan bertanggung jawab kepada publik dengan menyampaikan

    laporan secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan

    BPK (pasal 20). Komisi pemberantasan korupsi berkedudukan di

    ibu kota (Jakarta) dan dapat membentuk perwakilan di daerah

    provinsi.

    Keberadaan KPK sangat dibutuhkan mengingat sifat dan

    akibat korupsi yang begitu besar, menggerogoti kekayaan Negara

    dan sumber ekonomi rakyat, sehingga dapat dipandang sebagai

    pelanggaran HAM, yakni hak-hak sosial ekonomi rakyat. Oleh

    karenanya masyarakat mendambakan KPK sebagai lembaga yang

    menjadi harapan bangsa Indonesia yang muncul di tengah-tengah

  • 78

    lembaga penegakan hukum yang ada seiring dengan krisis

    kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.

    Sebagaimana tercantum dalam Pasal 5, dan 6 UU KPK,

    bahwa KPK harus menjadi landasan yang kuat secara substantif

    maupun implementatif sehingga merupakan salah satu lembaga

    Negara yang mampu mengemban misi penegakan hukum. Dalam

    mengemban misi tersebut, KPK mendapat tugas dan wewenang

    yang cukup luas.

    Kewenangan lain yang lebih luas dari KPK adalah

    mengambil alih wewenang penyidikan dan penuntutan dari pihak

    kepolisian dan kejaksaan dengan prinsip trigger mechanism dan

    take over mechanism. Pengambilalihan wewenang ini dapat

    dilakukan jika terdapat indikasi unwiliingness dari institusi

    terkait dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.39

    Indikasi

    adanya unwiliingness tersebut berdasarkan Pasal 9 UU KPK,

    yaitu (i) adanya laporan masyarakat menganai tindak pidana

    korupsi yang tidak ditindak lanjuti, (ii) proses penanganan tindak

    pidana korupsi yang berlarut-larut, (iii) adanya unsur nepotisme

    yang melindungi pelaku korupsi, (iv) adanya campur tangan pihak

    eksekutif, legislatif dan yudisial, (v) alasan-alasan lain yang

    menyebabkan penanganan tindak pidana korupsi sulit

    dilaksanakan.

    39

    Chaerudin, dkk, 2008, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana

    Korupsi, Refika Aditama, Bandung, h. 23.

  • 79

    Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi

    KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003.

    KPK adalah lembaga yang secara khusus dibentuk untuk

    mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia.

    Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang

    Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan KPK

    dikarenakan penegakan hukum dalam memberantas korupsi tidak

    berjalan dengan baik.

    Pada era Megawati sebagai Presiden, berdasarkan Undang-

    Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

    Korupsi, dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang

    menjalankan tugasnya secara independen untuk memberantas

    tindak pidana korupsi di Indoensia.

    Menurut Suwoto Mulyosudarmo, perolehan kekuasaan

    secara atributif menyebabkan terjadinya pembentukan kekuasaan,

    karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi ada.

    Kekuasaan yang timbul karena pembentukan secara atributif

    bersifat asli dan menyebabkan adanya kekuasaan yang baru.40

    KPK

    merupakan lembaga negara yang memiliki kewenangan atributif

    yang diperoleh berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002

    tentang KPK. Kewenangan KPK disebut sebagai kewenangan

    40

    Suwoto Mulyosudarmo, Op.Cit. h. 16

    http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesiahttp://id.wikipedia.org/wiki/2003http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsihttp://id.wikipedia.org/wiki/Indonesiahttp://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasarhttp://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar

  • 80

    atributif karena kewenangan KPK bersifat asli, artinya kewenangan

    KPK merupakan kewenangan yang tidak berasal dari wewenang

    lembaga negara lain yang telah ada sebelumnya melainkan

    merupakan wewenang baru yang diberikan melalui undang-

    undang.

    Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara

    yang bersifat independen, melaksanakan tugas dan wewenangnya

    bebas dari kekuasaan manapun. Dalam ketentuan ini yang

    dimaksud dengan kekuasaan manapun adalah kekuasaan yang

    dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan

    Korupsi atau anggota Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota

    Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif,

    pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana

    korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun alasan apapun. Selain itu

    KPK juga harus bertanggung jawab kepada publik dengan

    menyampaikan laporan secara terbuka dan berkala kepada

    presiden, DPR, dan BPK.41

    Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

    berdasarkan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

    tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya

    disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah: lembaga negara

    41

    Adami Chazawi, 2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil Kurupsi di Indonesia,

    Bayumedia Publishing, Malang, h. 424.

  • 81

    yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat

    independen dan bebas dari pengeruh kekuasaan manapun.

    Pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 1

    angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah: serangkaian

    tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi

    melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan,

    penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran

    serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

    berlaku.

    Alinea 14 penjelasan umum Undang-Undnag Nomor 30

    Tahun 2002 jo Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor

    30 Tahun 2002 menjelaskan bahwa Komisi Pemberantasan

    Korupsi dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, dan jika

    dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, KPK dapat

    membentuk perwakilan di daerah provinsi. Pimpinan KPK terdiri

    dari atas 5 (lima orang yang merangkap senagai Anggota yang

    semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas

    unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga system

    pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja KPK

    dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan

    terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi

    Pemberantasan Korupsi. Disamping itu untuk menjamin

  • 82

    pelaksanaan tugas dan wewenangnya, KPK dapat mengangkat Tim

    Penasihat yang berasal dari berbagai bidang kepakaran yang

    bertugas memberikan nasihat atau pertimbangan kepada KPK.42

    Munculnya KPK yang berfungsi melakukan penyelidikan,

    penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi merupakan

    respon atas kurang efektifnya penanganan tindak pidana korupsi

    oleh aparat Kepolisian dan Kejaksaan. Pembentukan KPK sebagai

    lembaga independen yang memang mempunyai kewenangan

    khusus dalam upaya pemberantasan korupsi didasari akan

    kebutuhan adanya lembaga pemberantas korupsi yang bebas dari

    pengaruh kekuasaan manapun.

    Undang-undang KPK secara jelas memberikan kewenangan

    kepada KPK yang sangat laus dan besar untuk melakukan

    pencegahan dan pemberantasan korupsi secara sistematik dan

    menjadikan KPK sebagai tonggak utama dalam pemberantasan

    korupsi. Namun keberadaan KPK dengan segala tugas dan

    wewenangnya, memberikan celah kelemahan dengan tetap

    memberikan peran besar bagi Kepolisian dan Kejaksaan dalam

    melakukan tugas dan kewenangannya dalam pemberantasan tindak

    pidana korupsi.

    KPK sebagai lembaga negara yang notabene aparaturnya

    pun mengambil dari instansi penegak hukum yang telah ada tentu

    42

    Ermansjah Djaja, Ibid, h. 258

  • 83

    akan mengalami ketidak sempurnaan dalam pelaksanaan tugasnya,

    dikarenakan kesempurnaan sebuah lembaga dapat tercipta ketika

    lemabaga negara tersebut melakukan pembenahan didasari dari

    pengalamannya, dengan kata lain, segala kelemahan lembaga

    negara tersebut dapat diketahui setelah mengalami perjalanan di

    dalam pelaksanaan tugasnya.

    B. Kewenangan Komisi Pemeberantasan Tindak Pidana

    Korupsi

    Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

    memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi,

    termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

    Pada saat sekarang ini pemberantasan tindak pidana korupsi sudah

    dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kepolisian dan

    kejaksaan serta badan-badan lain yang berkaitan dengan

    pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, pengaturan

    kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-

    Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan

    Tindak Pidana Korupsi dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi

    tumpang tindih kewenangan dengan berbagai institusi yang

    memiliki kewenangan yang serupa dalam memberantas tindak

    pidana korupsi di Indonesia.

    Pada dasarnya pembentukan KPK ditujukan untuk

    meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya

  • 84

    pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dapat dikategorikan

    sebagai badan khusus (ad hoc) yang dibentuk dengan tujuan utama

    melakukan penanganan terhadap kasus-kasus korupsi tertentu.

    Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

    Komisi Pemberantasan korupsi, KPK mempunyai tugas sebagai

    berikut:

    a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan

    pemberantasan tindak pidana korupsi;

    b. Supervisi terhadap instansi yang berwennag melakukan

    pemberantasan tindak pidana korupsi;

    c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan

    terhadap tindak pidana korupsi;

    d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana

    korupsi; dan

    e. Melakukan monitor terhadap penyelenggara negara.

    Kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan

    penyidikan kasus-kasus korupsi di Indonesia bukan hanya terletak

    pada KPK saja. Saat ini di Indonesia, terdapat lembaga Kepolisian

    dan Kejaksaan yang juga memiliki kewenangan yang sama dalam

    hal penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi. Kejaksaaan bahkan

    memiliki kewenangan melakukan penuntutan di pengadilan.

    Tersebarnya kewenangan di sejumlah lembaga peradilan di

    Indonesia ini memiliki konsekuensi tertentu yang dapat

  • 85

    berimplikasi positif maupun negatif. Implikasi positifnya antara

    lain adalah kasus-kasus korupsi dapat cepat ditangani tanpa harus

    menunggu tindakan dari suatu lembaga tertentu.

    Implikasi negatif dari tumpang tindihnya kewenangan

    penindakan korupsi di Indonesia yaitu sering terjadinya perbedaan

    interpretasi terhadap suatu kasus korupsi. Masing-masing lembaga,

    baik KPK, Kejaksaan dan kepolisian sering memiliki persepsi yang

    berbeda dalam menindak pelaku korupsi, contohnya penuntutan

    yang diajukan oleh masing-masing lembaga di peradilan tidak

    seragam. Masing-masing memiliki argumentasinya sendiri-sendiri

    sehingga terkadang putusan hukuman di lembaga peradilan atas

    kasus-kasus korupsi relatif kurang objektif dan tidak memuaskan

    rasa keadilan di masyarakat.

    KPK yang merupakan badan khusus yang mempunyai

    kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun

    untuk upaya pemberantasan korupsi. KPK dibentuk karena

    Kepolisian, Kejaksaan, atau lembaga-lembaga lain yang

    seharusnya mencegah korupsi tidak dapat berjalan dengan baik

    untuk memberantas korupsi di Indonesia. Cara penanganan korupsi

    harus dengan cara yang luar biasa. Untuk itulah dibentuk KPK

    yang mempunyai kewenangan luar biasa, sehingga tidak heran

    kalau KPK disebut sebagai lembaga super (superbody).

  • 86

    Selanjutnya wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi

    sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 7,8,9,10,11,12,13,dan 14

    Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai pendukung

    pelaksanaan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

    Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan

    Korupsi berwenang:

    1) Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

    menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas koordinasi

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi

    Pemberantasan Korupsi berwenang:

    a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan

    penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

    b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan

    pemberantasan tindak pidana korupsi pada instansi terkait;

    c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak

    pidana korupsi kepada instansi terkait;

    d. Melaksanakan dengar perndapat atau pertemuan dengan

    instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak

    pidana korupsi;

    e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan

    tindak pidana korupsi;

    f. Wewenang lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 12, 13,

    dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

  • 87

    2) Ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun

    2002 menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas supervisi

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi

    Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan,

    penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan

    tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan

    tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan

    pelayanan publik.

    3) Ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun

    2002 menyatakan bahwa, dalam melaksanakan wewenang

    sebagaimana dimaksud ayat (1), Komisi Pemberantasan

    Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau

    penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang

    dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.

    4) Ketentuan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun

    2002 menyatakan bahwa, dalam hal Komisi Pemberantasan

    Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan,

    kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan

    seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain

    yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari

    kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi

    Pemberantasan Korupsi.

  • 88

    5) Ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun

    2002 menyatakan bahwa, penyerahan sebagaimana dimaksud

    pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani

    berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan

    kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih

    kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

    6) Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

    menyatakan bahwa, Pengambilalihan penyidikan dan

    penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan

    oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:

    a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak

    ditindaklanjuti;

    b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-

    larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat

    dipertanggungjawabkan;

    c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk

    melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang

    sesungguhnya;

    d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur

    korupsi;

    e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena

    campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legistatif; atau

  • 89

    f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau

    kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit

    dilaksanakan secara baik dan dapat

    dipertanggungjawabkan.

    7) Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

    menyatakan bahwa, dalam hal terdapat alasan sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi

    memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk

    mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

    8) Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

    menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Kewenangan Komisi

    Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan,

    penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi

    tindak pidana korupsi yang:

    a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelanggara negara,

    dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana

    korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau

    penyelenggara negara;

    b. Mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat;

    c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp

    1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

  • 90

    9) Ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun

    2002 menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas

    penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan

    Korupsi berwenang:

    a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

    b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk

    melarang seseorang bepergian ke luar negeri;

    c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan

    lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa

    yang sedang diperiksa;

    d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan

    lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari

    korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang

    terkait;

    e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka

    untuk memberhentikan sementara tersangka dari

    jabatannya;

    f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau

    terdakwa kepada instansi yang terkait;

    g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan,

    transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau

    pencabutan sementara perizinan,lisensi serta konsesi yang

  • 91

    dilakukan atau dimiliki oleh tersangka taua terdakwa yang

    diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada

    hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang

    diperiksa;

    h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak

    hukum Negara lain untuk melakukan pencarian,

    penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;

    i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait

    untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan,

    dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang

    sedang ditangani.

    10) Ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

    menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas pencegahan

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi

    Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau

    upaya pencegahan sebagai berikut:

    a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan

    harta kekayaan penyelenggara Negara;

    b. menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;

    c. menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada

    setiap jenjang pendidikan;

    d. merancang dan mendorong terlaksananya program

    sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;

  • 92

    e. melakukan kempanye antikorupsi kepada masyarakat

    umum;

    f. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam

    pemberantasan tindak pidana korupsi.

    11) Ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

    menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas monitor

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi

    Pemberantasan Korupsi berwenang:

    a. melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan

    administrasi di semua lembaga Negara dan pemerintah;

    b. memberikan saran kepada pemimpin lembaga Negara dan

    pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan

    hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut

    berpotensi korupsi;

    c. melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan

    Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan

    Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan

    Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak

    diindahkan.

    Selanjutnya kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi

    sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30

    Tahun 2002, yaitu:

  • 93

    a. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor

    yang menyampaikan laporan ataupun memberikan

    keterangan mengenai terjadinya tindakan pidana korupsi;

    b. memberikan informasi kepada masyarakat yang

    memerlukan atau memberikan bantuan untuk

    memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil

    penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya;

    c. menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya

    kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan

    Rakyat Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;

    d. menegakkan sumpah jabatan;

    e. menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya

    berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 5.

    C. Hubungan Komisi Pemeberantasan Korupsi dengan

    Kepolisian dan Kejaksaan

    Sesuai amanat Pasal 6 huruf a UU Nomor 30 Tahun 2002

    tentang integritas moral dalam pemberantasan dan penanggulangan

    korupsi, ditegaskan adanya koordinasi dengan instansi yang

    berwenang, penyelidikan dan penuntutan, tindakan penegakan serta

    monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara tentang

    korupsi. KPK dalam tugasnya berkoordinasi dengan Badan

    Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan

  • 94

    Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara

    Negara, inspektorat pada departemen atau lembaga pemerintahan

    nondepartemen, sudah tentu pula dengan Kepolisian, Kejaksaan

    dan badan peradilan. Dalam Pasal 33 UU Nomor 16 Tahun 2004

    Tentang Kejakasaan Republik Indonesia ditegaskan bahwa: dalam

    pelaksanaan tugas dan wewenang, kejaksaan membina hubungan

    kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan

    Negara atau instansi lainnya. Demikian juga dalam Pasal 42 ayat

    (2) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

    Indonesia ditegaskan bahwa:

    Hubungan dan kerjasama didalam negeri dilakukan

    terutama dengan unsur-unsur pemerintahan daerah, penegak

    hukum, badan, lembaga, instansi lain, serta masyarakat dengan

    mengembangkan asas partisipasi dan subsidiaritas.

    Hubungan kerjasama luar negeri dilakukan terutama

    dengan badan-badan kepolisian dan penegak hukum lain melalui

    kerjasama bilateral atau multilateral dan badan pencegahan

    kejahatan baik dalam rangka tugas operasional maupun kerjasama

    tehnik dan pendidikan serta pelatihan.

    Pasal 12 ayat (1) huruf I menyatakan bahwa: Dalam

    melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi

    Pemberantasan Korupsi berwenang, meminta bantuan kepolisian

  • 95

    atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan,

    penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak

    pidana korupsi yang sedang ditangani.

    Berdasarkan beberapa ketentuan tersebut dapat dipahami

    bahwa pada dasarnya sudah diatur tentang mekanisme koordinasi

    dan kerjasama antarinstitusi penegak hukum, khususnya dalam hal

    ini Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian dan Kejaksaan

    dalam memberantas korupsi di Indonesia. Peluang ini harus

    dimanfaatkan sebaik mungkin oleh penegak hukum untuk

    melaksanakan penanggulakan korupsi. Semua institusi penegak

    hukum harus bersatu untuk memberantas korupsi di Indonesia.

    KPK tidak akan menjadi efektif jika hanya bekerja sendiri tanpa

    bantuan atau kerjasama dengan institusi atau lembaga terkait,

    seperti kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi di

    Indonesia.

    Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

    Komisi Pemberantasan Korupsi, menyatakan bahwa:

    Dengan peraturan dalam undang-undang ini, Komisi

    Pemberantasan Korupsi:

    1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan

    memperlakukan institusi yang telah ada sebagai

    counterpartner yang kondusif sehingga pemberantasan

    korupsi dalat dilaksanakan secara efisien dan efektif;

  • 96

    2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan,

    penyidikan dan penuntutan;

    3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang

    telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism);

    4) berfungsi untuk melakukan supervise dan memantau institusi

    yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil

    alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan

    penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh

    kepolisian dan/atau kejaksaan.

    Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai hubungan

    khusus dengan kejaksaan dalam Penegakan Hukum Pemberantasan

    Korupsi selain semagaimana tercantum dalam Undang-Undang

    Nomor 30 Tahun 2002. Hubungan khusus tersebut tercantum

    dalam Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi

    dan Jaksa Agung Republik Indonesia No,Kep_11121 2005 tentang

    Kerjasama Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan

    Agung Republik Indonesia Dalam Rangka Pemberantasan Tindak

    Pidana Korupsi. Dalam keputusan bersama Komisi Pemberantasan

    Korupsi dan Jaksa Agung RI tersebut ditentukan mengenai

    kerjasama untuk saling membantu dalam pemberantasan korupsi

    secara optimal dan meningkatkan kapasitas serta kemampuan KPK

    dan Kejaksaan (Pasal 2), kerjasama saling membantu bersifat

  • 97

    fungsional (Pasal 3), kerjasama mengenai bantuan personal dan

    operasional (Pasal 4).

    Kerjasama KPK dengan kepolisian dan kejaksaan

    sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan yang diuaraikan

    tersebut, menunjukan bahwa KPK dalam melaksanakan

    kewenangan kekhususannya berbeda dengan kewenangan

    kepolisian dan kejaksaan. KPK tidak melaksanakan kewenangan

    kekhususan yang luar biasa tersebut secara otoriter dalam

    pemberantasan korupsi, tetapi masih memerlukan kerjasama

    dengan kepolisian dan kejaksaan walaupun kewenangan yang

    dimiliki masing-masing instansi tersebut berbeda. Dengan

    demikian, dengan adanya kerjasama antara KPK dengan kepolisian

    dan kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak

    ada lagi benturan-benturan atau saling tumpang tindih kewenangan

    KPK yang memiliki kewenangan kekhususan tersebut dengan

    kewenangan kepolisian dan kewenangan kejaksaan dalam

    penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia, sehingga

    pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efektif dan

    efisien.