TIGA HARI MELIHAT FASE EARLY LIVELIHOOD DI PASIGALA fileKAREBA PALU KORO K omunitas atau masyarakat...

8
KAREBA PALU KORO KABAR PENANGANAN BENCANA SULTENG Mei 2019 - I edisi #13 TIGA HARI MELIHAT FASE EARLY LIVELIHOOD DI PASIGALA S etelah kunjungan Tim Cordaid dari Belanda pada 11-12 Februari 2019 lalu oleh Annelies Claessens (Humanitarian Department Director), Inge Leuverink (Humanitarian Department Advisor dan Program Manager untuk Sulawesi Tengah) dan Martin Derks (Project Controller), Cordaid memperbantukan salah satu ahli pembangunan dan pemulihan ketangguhan yaitu Harma Rademaker untuk mendukung kerja Jaringan ERCB di Pasigala (Palu, Sigi, dan Donggala) terutama dalam membuat perencanaan pemulihan dan rehabilitasi dan rekonstruksi bencana di Pasigala. Tidak hanya ingin melihat sejauh mana kemajuan pelaksanaan program yang sedang berjalan, namun lebih jauh ia ingin mendapatkan gambaran bagaimana dampak bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi (28/9/18) terhadap kehidupan masyarakat, terutama dampaknya pada kehidupan mata pencaharian masyarakat. “Saya ingin tahu bagaimana kehidupan masyarakat sebelum dan setelah bencana, bagaimana bencana mengubah kehidupan mereka. Selain itu saya juga ingin mengetahui apa yang menjadi kebutuhan masyarakat untuk membangun kehidupan mereka dengan lebih baik lagi,” kata Harma. Empat desa di Kecamatan Kulawi menjadi tujuan pertama dalam kunjungan kali ini (8/4/19), yaitu Desa Boladangko, Desa Bolapapu, Desa Tangkulowi, dan Desa Matauwe. Bertemu dan berdiskusi secara langsung dengan para penerima manfaat dan juga perangkat desa masing-masing, Harma dapat menangkap tidak hanya pernyataan apresiasi atas bantuan yang sudah diberikan namun juga bagaimana bencana yang lalu mempengaruhi masyarakat. Kesempatan berdiskusi dan bertemu langsung dengan masyarakat di empat desa tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk menggali apa saja kebutuhan masyarakat yang masih belum mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Kebutuhan tersebut diutamakan yang kemudian dapat membangun kembali mata pencaharian masyarakat dan manfaatnya dapat dirasakan oleh orang banyak. Kesenjangan penerimaan bantuan juga Bersambung ke halaman 6... Masdianto Kartarajasa, Widya Setiabudi, dan Harma Rademaker berkunjung di salah satu rumah tumbuh yang dibangun oleh ERCB di Desa Limboro, Donggala. Foto: Martin Dody/ERCB

Transcript of TIGA HARI MELIHAT FASE EARLY LIVELIHOOD DI PASIGALA fileKAREBA PALU KORO K omunitas atau masyarakat...

Page 1: TIGA HARI MELIHAT FASE EARLY LIVELIHOOD DI PASIGALA fileKAREBA PALU KORO K omunitas atau masyarakat merupakan penerima dampak langsung dari bencana sekaligus sebagai pelaku pertama

KAREBA PALU KOROKABAR PENANGANAN BENCANA SULTENG

Mei 2019 - I edisi #13

TIGA HARI MELIHAT FASE EARLY LIVELIHOOD DI PASIGALASetelah kunjungan Tim Cordaid dari Belanda pada

11-12 Februari 2019 lalu oleh Annelies Claessens (Humanitarian Department Director), Inge Leuverink

(Humanitarian Department Advisor dan Program Manager untuk Sulawesi Tengah) dan Martin Derks (Project Controller), Cordaid memperbantukan salah satu ahli pembangunan dan pemulihan ketangguhan yaitu Harma Rademaker untuk mendukung kerja Jaringan ERCB di Pasigala (Palu, Sigi, dan Donggala) terutama dalam membuat perencanaan pemulihan dan rehabilitasi dan rekonstruksi bencana di Pasigala.

Tidak hanya ingin melihat sejauh mana kemajuan pelaksanaan program yang sedang berjalan, namun lebih jauh ia ingin mendapatkan gambaran bagaimana dampak bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi (28/9/18) terhadap kehidupan masyarakat, terutama dampaknya pada kehidupan mata pencaharian masyarakat.

“Saya ingin tahu bagaimana kehidupan masyarakat sebelum dan setelah bencana, bagaimana bencana mengubah kehidupan mereka. Selain itu saya juga ingin mengetahui apa yang menjadi

kebutuhan masyarakat untuk membangun kehidupan mereka dengan lebih baik lagi,” kata Harma.

Empat desa di Kecamatan Kulawi menjadi tujuan pertama dalam kunjungan kali ini (8/4/19), yaitu Desa Boladangko, Desa Bolapapu, Desa Tangkulowi, dan Desa Matauwe. Bertemu dan berdiskusi secara langsung dengan para penerima manfaat dan juga perangkat desa masing-masing, Harma dapat menangkap tidak hanya pernyataan apresiasi atas bantuan yang sudah diberikan namun juga bagaimana bencana yang lalu mempengaruhi masyarakat.

Kesempatan berdiskusi dan bertemu langsung dengan masyarakat di empat desa tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk menggali apa saja kebutuhan masyarakat yang masih belum mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Kebutuhan tersebut diutamakan yang kemudian dapat membangun kembali mata pencaharian masyarakat dan manfaatnya dapat dirasakan oleh orang banyak. Kesenjangan penerimaan bantuan juga

Bersambung ke halaman 6...

Masdianto Kartarajasa, Widya Setiabudi, dan Harma Rademaker berkunjung

di salah satu rumah tumbuh yang dibangun oleh ERCB di Desa Limboro,

Donggala. Foto: Martin Dody/ERCB

Page 2: TIGA HARI MELIHAT FASE EARLY LIVELIHOOD DI PASIGALA fileKAREBA PALU KORO K omunitas atau masyarakat merupakan penerima dampak langsung dari bencana sekaligus sebagai pelaku pertama

KAREBA PALU KORO

Komunitas atau masyarakat merupakan penerima dampak langsung dari bencana sekaligus sebagai pelaku pertama yang merespons peristiwa bencana

alam. Emergency Response Capacity Building (ERCB) sebagai

konsorsium dari berbagai lembaga yang berfokus pada kebencanaan, melihat momentum bencana yang terjadi di Sulawesi Tengah sebagai aksi sosial yang perlu mendayagunakan sumber daya yang ada sebagai penguatan kapasitas lokal dalam membangun desa tangguh bencana yang berbasis komunitas.

Pengurangan risiko bencana harus mengakomodir informasi atau pengetahuan lokal dari komunitas. Sedangkan kearifan lokal atau informasi sejarah kebencanaan tesebut, dikelola dan dipadukan dengan perkembangan teknologi. Sehingga menghasilkan sebuah informasi yang mendasari penyusunan dokumen pengurangan risiko bencana dan perencanaan mitigasinya.

Untuk mewujudkan hal itu, komunitas harus memiliki kapasitas dalam mengidentifikasi dan memahami risiko bencana

bagi aspek kehidupannya. Dengan memahami risiko, menghitung risiko, maka dapat menentukan perencanaan. Dan yang terpenting komunitas dapat memobilisasi sumber daya yang ada untuk mengurangi risiko bencana itu.

Dalam rangka penguatan kapasitas lokal, diadakan Pelatihan Disaster Risk Reduction (Pengurangan Risiko Bencana) berbasis komunitas pada 12-14 Maret 2019 di Citra Mulia Hotel, Palu, Sulawesi Tengah. Pelatihan ini diikuti, diantara, oleh staf Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Manado, staf Karsa Institute, staf Yayasan Merah Putih, Catholic Relief Services (CRS), dan perwakilan dari lima desa dampingan ERCB. Kelima desa tersebut tiga desa di wilayah Kabupaten Sigi: Tangkulawi, Boladangko, dan Bolapapu Kecamatan Kulawi. Dua lainnya adalah Kelurahan Panau, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu, dan Desa Limboro, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala.

Tujuan pelatihan tersebut untuk meningkatan pemahaman peserta terkait dengan kebijakan kebencanaan, konsep dan prinsip dasar pengurangan risiko bencana, siklus manajemen bencana, dan tahapan-tahapan pengembangan desa tangguh

PELATIHAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA: PRAKTIK ANALISIS

Suasana diskusi kelompok para peserta Pelatihan Pengurangan

Risiko Bencana. Foto: Martin Dody/ERCB

2

Page 3: TIGA HARI MELIHAT FASE EARLY LIVELIHOOD DI PASIGALA fileKAREBA PALU KORO K omunitas atau masyarakat merupakan penerima dampak langsung dari bencana sekaligus sebagai pelaku pertama

KAREBA PALU KORO

bencana, serta mengenal perangkat-perangkat untuk membentuk sebuah desa tangguh bencana.

Pelatihan direncanakan akan dilakukan secara bertahap mulai dari kajian risiko bencana, penyusunan dokumen penanggulangan bencana, penyusunan rencana kontijensi, penyusunan SOP dan pembuatan jalur evakuasi. Pengembangan sistem peringatan dini, pembentukan forum pengurangan risiko bencana desa, dan integrasi Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) juga menjadi target.

Fokus Pada Kajian Risiko BencanaDalam pelatihan ini peserta difokuskan untuk memahami dan

mampu melakukan kajian risiko bencana. Kajian risiko bencana adalah mekanisme terpadu untuk memberikan gambaran menyeluruh terhadap risiko bencana suatu daerah dengan menganalisis tingkat ancaman, kerugian dan kapasitas.

Melalui praktik untuk menganalisis tingkat ancaman, kerugian, dan kapasitas, para peserta menjadi bisa mengidentifikasi, misalnya, keragaman mata pencaharian di masyarakat. Banyak pilihan di masyarakat. Hal lain yang kemudian disadari adalah untuk melakukan perbaikan mata pencaharian di masyarakat prosesnya tidak mudah dan butuh waktu yang panjang.

“Untuk proses kegiatan ini awalnya memang agak sedikit rumit untuk diikuti untuk ditangkap alurnya, namun setelah berproses hari pertama, kedua dan terlebih hari ini segala sesuatunya bisa dipahami,” kata Suster Regina, salah seorang peserta dari Komisi PSE Manado.

“Satu hal yang paling saya rasa berguna dari proses pelatihan ini adalah bagaimana kita dapat menanggapi, menganalisa dan kemudian mengolah setiap ancaman atau bencana yang akan terjadi,” tambahnya.

Pelatihan yang diadakan pada bulan Maret lalu merupakan tahapan awal untuk memulai kegiatan pengurangan risiko bencana. Pada kesempatan ini peserta selain memahami teori, juga mempraktikkan kajian risiko bencana bersama dengan para perwakilan desa yang juga menjadi peserta pelatihan.

“Kehadiran perwakilan dari 5 desa ini penting dan bermanfaat bagi para peserta pelatihan. Karena data yang dikumpulkan pada saat pelatihan tersebut bukanlah imaginatif tapi data riil,” kata Iwan Xaverius dari Komisi PSE Manado.

Diskusi yang berjalan dengan para perwakilan tersebut bisa memberikan gambaran untuk perencanaan ke lapangan nantinya. (sm/se/mdk)

Sumino dari LPTP memberikan materi kajian risiko bencana dalam

Pelatihan Pengurangan Risiko Bencana. Foto: Martin Dody/ERCB

3

Page 4: TIGA HARI MELIHAT FASE EARLY LIVELIHOOD DI PASIGALA fileKAREBA PALU KORO K omunitas atau masyarakat merupakan penerima dampak langsung dari bencana sekaligus sebagai pelaku pertama

KAREBA PALU KORO

Hujan yang terus-menerus mengguyur wilayah Kabupaten Sigi sesejak Kamis (25/4/19) ini berdampak cukup besar. Sedikitnya lima wilayah di Kabupaten

Sigi diterjang banjir bandang. Kelima wilayah tersebut yaitu Desa Bangga, Desa Balongga, Desa Walanata, Desa Omu, dan Desa Tuva. Kelimanya terbagi dalam dua kecamatan, yaitu Kecamatan Dolo Selatan dan Kecamatan Gumbasa.

Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sigi, Asrul Repadjori, setidaknya 640 kepala keluarga di lima desa tersebut terpaksa mengungsi akibat banjir tersebut.

Kareba Palu Koro meluncur ke lokasi banjir di Desa Omu dan Desa Tuva, Kecamatan Gumbasa pada Senin pagi (29/4/19). Sesampai di Desa Omu, tepatnya di Dusun 3, kendaraan roda empat tidak bisa lagi melewati akses jalan karena sebagian besar badan jalannya longsor akibat dihantam arus air yang kuat yang meluap dari Sungai Miu.

Menurut informasi dari Camat Gumbasa, Taswar, luapan air tidak hanya berasal dari Sungai Miu namun juga berasal dari tiga sungai lainnya.

“Selain Sungai Miu, ada Sungai Mapane, Sungai Balisu, dan Sungai Maope,” kata Taswar.

Berdasarkan pemantauan, panjang badan jalan yang longsor sekitar 10 hingga 15 meter. Hanya bisa dilalui dengan menggunakan kendaraan roda dua atau berjalan kaki. Harus berhati-hati melewati badan jalan yang tersisa, karena selain licin akibat hujan, lebar di bagian tersempitnya kurang dari 1,5 meter. Selain badan jalan yang ambles, tampak pula bekas luapan air dan lumpur di perkebunan warga yang bersanding langsung dengan Sungai Miu.

Kurang lebih 2 kilometer dari titik tersebut, tepatnya di Desa Tuva, banjir berdampak lebih besar lagi. Terjangan air yang cukup deras memutuskan akses utama yang menghubungkan Desa Omu dan Desa Tuva. Selain meluap dan memutuskan akses jalan, luapan air dari Sungai Miu juga membawa ribuan kubik kayu gelondongan yang belum diketahui dari mana asalnya. Kayu-kayu tersebut menumpuk dan menutup akses. Kendaraan roda dua pun jika ingin menuju ke Desa Tuva atau Salua, harus memutar melewati perkebunan coklat milik warga, di bagian lereng bukit.

Akses jalan yang menghubungkan Desa Omu dan Desa Tuva hanya bisa

dilalui kendaraan roda dua atau berjalan kaki. Foto: Martin Dody/ERCB

BANJIR BANDANG DI SIGI

4

Page 5: TIGA HARI MELIHAT FASE EARLY LIVELIHOOD DI PASIGALA fileKAREBA PALU KORO K omunitas atau masyarakat merupakan penerima dampak langsung dari bencana sekaligus sebagai pelaku pertama

KAREBA PALU KORO

“Dari jam lima sore sudah mulai banjirnya. Namun bertambah hebat sekitar jam sembilan malam, sambil bawa kayu-kayu ini terus sampai tengah malam,” kata Sudirman, warga Dusun 3 Desa Tuva yang rumahnya pun terdampak banjir tersebut.

Menurut kesaksiannya, air sempat setinggi pinggang orang dewasa ketika meluap hingga ke jalan. Nafry, seorang petugas Kepolisian dari Kepolisian Sektor Biromaru mengatakan, sedikitnya 5 bangunan hanyut di titik putusnya jalan.

“Sekitar 23 rumah terdampak banjir ini,” kata Nafry.

SigapPemerintah Daerah Kabupaten Sigi cukup sigap dalam

menangani dampak banjir. Bekerja sama dengan Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Sulawesi Tengah, siang itu juga (29/4/2019) alat berat didatangkan ke lokasi terdampak. Di lokasi Desa Omu, Kapolsek Biromaru, AKP Henry Burhanuddin, mengatakan bahwa lahan di sebelah kiri (dari arah Palu) jalan yang amblas akan dibuka untuk membuat akses jalan.

“Ini keadaan darurat dan untuk kepentingan masyarakat banyak. Jadi lahan ini akan kita keruk untuk membuat akses jalan,” kata Henry.

Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Dearah Kabupaten Sigi, Iskandar Nontji, membenarkan hal tersebut.

“Kita sudah bertemu dengan pemilik lahan untuk meminta ijin. Ini untuk kepentingan bersama, jadi pemilik lahan harus merelakan lahannya dibuka untuk sementara sambil menunggu keadaan aman kembali,” kata Iskandar.

“Targetnya adalah kita membuka kembali akses hingga ke Desa Sadaunta di Kecamatan Kulawi karena ini jalan poros provinsi. Salah satunya dengan melakukan pemotongan lereng untuk membuat jalan ini,” tambahnya.

Saat ditanya tentang target, Iskandar mengatakan bahwa akan berusaha secepatnya untuk membuka kembali akses hingga ke Kulawi.

Junaidi dari Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Sulawesi Tengah mengatakan bahwa setelah melakukan kajian

lapangan, untuk membuka jalan atau pun menyambung kembali jalan yang terputus antara Desa Omu dan Desa Tuva tidak terlalu sulit.

“Kendala utama justru pada bagaimana menyingkirkan batang-batang kayu yang terbawa oleh air. Tumpukannya dan posisi batang kayu yang saling mengait akan membutuhkan waktu untuk diurai,” katanya.

Kondisi alam yang tidak bisa ditebak pun bisa menjadi kendala karena bisa saja tiba-tiba turun hujan yang menyebabkan kembali banjir. Alat berat akan terus dikerahkan hingga ke Desa Sadaunta, Kulawi, karena akses jalan dari Desa Salua hingga Desa Sadaunta pun tertutup longsor dan material akibat hujan.

Bupati Sigi, Mohammad Irwan Lapata, juga langsung datang ke lokasi setelah berkunjung ke Desa Bangga. Irwan segera

berkoordinasi dengan jajarannya yang berada di lokasi terkait penanganan dampak banjir di Desa Omu dan Desa Tuva juga akses jalan menuju Desa Sadaunta, Kulawi.

“Warga terdampak tentu menjadi perhatian utama untuk ditangani oleh

pemerintah Kabupaten Sigi,”

kata Irwan. “Namun demikian, untuk saat ini, prioritas kami adalah

membuka akses jalan karena infrastruktur jalan pun terdampak. Akses jalan diprioritaskan agar kemudian bantuan-bantuan dapat segera disalurkan untuk para warga terdampak,” tambahnya.

Hingga berita ini ditulis, akses antara Desa Omu dan Desa Tuva belum bisa dilewati oleh kendaraan roda empat. Bantuan untuk sementara diangkut menggunakan roda dua, memutar melalui kebun coklat dan sebagian dipikul oleh para relawan. Menurut data dari Kepala Desa Tuva, Bahtiar, sedikitnya 10 rumah hanyut dan 53 rumah lainnya rusak berat. Selain rumah, beberapa fasilitas umum seperti Balai Desa, Puskesmas Pembantu, masjid, dan jembatan gantung pun ikut terdampak. Lahan persawahan yang terdampak kurang lebih seluas 3 hektar dan sebanyak 95 KK (342 jiwa) terpaksa mengungsi akibat banjir tersebut. (mdk)

Warga harus melewati tumpukan kayu untuk dapat menyeberang antara Desa Omu

dan Desa Tuva. Foto: Martin Dody/ERCB......

5

Page 6: TIGA HARI MELIHAT FASE EARLY LIVELIHOOD DI PASIGALA fileKAREBA PALU KORO K omunitas atau masyarakat merupakan penerima dampak langsung dari bencana sekaligus sebagai pelaku pertama

KAREBA PALU KORO

disampaikan oleh warga masyarakat termasuk juga harapan akan ditambahnya jumlah rumah tumbuh yang dibangun oleh ERCB di wilayah mereka karena masih banyak yang membutuhkan.

Banyaknya organisasi yang masuk namun memberikan bentuk bantuan yang hampir sama menjadi salah satu penyebab kesenjangan tersebut. Hal tersebut memunculkan gagasan Kepala Desa Tangkulowi, Kristison Towimba untuk mengorganisir dengan lebih baik organisasi-organisasi yang masuk ke wilayahnya.

“Rencana akan kami data semua organisasi yang masuk ke Desa Tangkulowi ini dan mengidentifikasi bentuk bantuan apa yang akan diberikan. Jangan sampai banyak organisasi tapi sama bentuk bantuannya,” katanya. Sinergitas antar organisasi sangatlah diharapkan.

Beberapa temuan menarik didapatkan dari diskusi-diskusi yang dilakukan. Tidak hanya sumber mata pencaharian melalui sektor

pertanian ataupun perikanan yang diajukan oleh warga, namun juga yang lain seperti kebutuhan akan mesin jahit.

“Keterampilan kami masih ada, tapi tidak bisa melanjutkan usaha karena mesin-mesin rusak akibat tertimpa rumah,” kata Herda Kawewo dari Desa Boladangko.

“Usaha tata boga pun bisa dikembangkan di wilayah desa ini,” tambahnya.

Desa Matauwe menawarkan gagasan yang tidak kalah menarik. Di desa yang sudah terlihat tertata rapi kembali tersebut ada gagasan untuk membuat semacam kolam renang dengan memanfaatkan aliran sungai yang mengalir di atas desa mereka.

“Pembuatan konsep sekaligus dengan semacam tempat makan atau tempat pertemuan di depan (bangunan)nya, kemudian ada kolam itu,” kata Hasna, Sekretaris Desa Matauwe.

“Kolam ini, selain sebagai sumber pendapatan tambahan untuk

Berita Foto

Tiga Hari...Sambungan halaman 1...

6

Page 7: TIGA HARI MELIHAT FASE EARLY LIVELIHOOD DI PASIGALA fileKAREBA PALU KORO K omunitas atau masyarakat merupakan penerima dampak langsung dari bencana sekaligus sebagai pelaku pertama

KAREBA PALU KORO

Berita FotoBanjir bandang yang terjadi di Kabupaten Sigi

pada Minggu (29/4/2019), telah memutus akses ke Kulawi di tiga titik. Desa Omu sebagian besar badan jalan hanyut terbawa banjir. Di Desa Tuva tidak hanya air meluap hingga memutuskan akses jalan namun juga banyak tumpukan potongan kayu menutupi wilayah yang terdampak tersebut. Di perbatasan antara Desa Tuva dengan Desa Salua sebagian badan jalan hanyut terbawa banjir. Selain ketiga titik tersebut, hujan yang terus menerus turun juga menyebabkan longsor di wilayah perbukitan antara Desa Salua dan Desa Sadaunta, Kulawi, sehingga akses menuju ke Desa Sadaunta pun sulit dilalui. Pada Jumat (3/5/2019), dari Desa Omu hingga Desa Salua sudah bisa dilalui roda empat, namun titik tersulit untuk dilalui adalah yang di perbatasan Desa Tuva dan Desa Salua yang kondisi jalannya selalu basah akibat rembesan air dari lereng bukit. Foto: Martin Dody/ERCB

desa, bisa dimanfaatkan juga untuk berolah raga dan mempersiapkan anak-anak kami. Jadi selain sehat, kalau anak-anak kemudian akan masuk menjadi polisi atau tentara, mereka sudah siap,” katanya.

Nelayan Sudah MelautPada hari berikutnya (9/4/19), sepulang dari wilayah Kecamatan Kulawi,

tim ERCB bersama Harma langsung menuju ke Kelurahan Panau, Kecamatan Tawaeli, Palu untuk bertemu penerima manfaat perahu nelayan. Kesepuluh bantuan perahu nelayan untuk menangkap rono sudah diterima oleh kelompok nelayan di kelurahan tersebut.

“Walau masih membutuhkan sedikit pengerjaan akhir, namun kami bersyukur karena setelah lima bulan kami bisa melaut lagi,” kata Hardi Umar, salah satu nelayan.

Hal yang menarik dari kelompok nelayan ini adalah walaupun mereka sendiri terdampak oleh bencana gempa dan tsunami, namun kepedulian mereka terhadap sesama warga nelayan yang belum mendapatkan bantuan di kelurahan tersebut patut diapresiasi.

“Sedih juga kalau saya dapat ikan sedangkan warga lain tidak. Kita tetapBersambung ke halaman 8...

7

Page 8: TIGA HARI MELIHAT FASE EARLY LIVELIHOOD DI PASIGALA fileKAREBA PALU KORO K omunitas atau masyarakat merupakan penerima dampak langsung dari bencana sekaligus sebagai pelaku pertama

KAREBA PALU KORO

Kareba Palu Koro adalah media penyebaran informasi terkait penanganan bencana di Sulawesi Tengah yang dikelola oleh Jaringan Emergency Response Capacity Building (ERCB) pada masa tanggap darurat hingga masa rehabilitasi pasca bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi 28 September 2018 di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah. Media ini didukung oleh pendanaan dari SHO dan Cordaid dan terbit dua mingguan.

Pemimpin Redaksi: Arfiana Khairunnisa (ERCB Indonesia)

Redaksi: Martin Dody Kumoro, Widya Setiabudi, Sumino, Sir Leyf Evan Cryf

Saran dan masukan dapat dikirimkan melalui [email protected] atau dialamatkan ke Jl. Karanja Lembah, Lorong BTN Polda, Samping Perum Kelapa GadingDesa Kalukubula, Kec. Sigi Biromaru, Kab. Sigi, Sulteng

REDAKSIONAL

Dengan dukungan:

Tiga Hari...Sambungan halaman 7...

Harma Rademaker dari Cordaid dan Tim ERCB berfoto bersama kelompok nelayan

di Kelurahan Panau, Kecamatan Tawaeli, Palu.. Foto: Martin Dody/ERCB

akan berbagi dengan mereka,” kata Rendra, salah seorang nelayan anggota kelompok tersebut.

Kebutuhan akan perahu yang lebih kecil yang digunakan untuk memancing dikemukakan oleh kelompok tersebut ketika Harma mengajak mereka untuk berdiskusi tentang kebutuhan kedepannya.

“Perahu ini nantinya dapat digunakan secara bergantian oleh warga nelayan disini,” kata Hardi. Kebutuhan lain adalah pengadaan rompong. Rompong adalah semacam rumah-rumahan yang diletakkan agak ke tengah laut dan kemudian diberi penerangan sehingga ikan-ikan tertarik untuk berkumpul di sekitarnya.

“Rono ini musimnya tidak sepanjang tahun. Dengan adanya rompong ini, para nelayan tetap bisa mendapatkan ikan dengan memancing di sekitar rompong tersebut,” kata Rendra.

Kebutuhan akan rompong dan perahu kecil juga mengemuka ketika tim ERCB dan Harma berkunjung ke Desa Limboro, Donggala pada keesokan harinya. Sambil menikmati indahnya pantai Kaluku, tim dan para penerima manfaat berdiskusi tentang kebutuhan-kebutuhan kedepannya yang dapat menjamin keberlangsungan mata pencaharian mereka. Disamping perahu dan rompong, dikemukakan juga tentang perbaikan dam bendungan yang rusak agar kurang lebih 400 hektar sawah yang ada

dapat ditanami kembali.Temuan-temuan terkait kebutuhan tersebut

didata untuk kemudian menjadi bahan kajian. Kajian yang dilakukan, selain untuk melihat bagaimana kebutuhan tersebut muncul sebagai dampak dari bencana, namun juga untuk melihat kapasitas yang ada di masyarakat serta seberapa besar kesenjangan kapasitas yang ada untuk mengatasi dampak bencana tadi.

“Dari kajian tadi kemudian dapat ditentukan tindakan penguatan apa yang perlu dilakukan agar masyarakat menjadi lebih tangguh,” kata Harma.

Selain itu, dengan mendata semua kebutuhan bukan berarti Cordaid akan memberikan semuanya. Karena keterbatasan sumber daya dan banyaknya proyek yang harus ditangani, tidak hanya di Indonesia, maka prioritas harus dibuat untuk menentukan kebutuhan mana yang akan dipenuhi.

“Pemenuhan kebutuhan tersebut tentu harus melalui kajian yang mendalam sebagai verifikasi bahwa itulah yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu, berdasarkan kajian tersebut bisa diketahui pula seberapa banyak warga masyarakat yang menerima manfaatnya,” kata Harma. (mdk)

8