BAB 8 MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/10/D... ·...

15
307 BAB 8 MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD ORANG WORKWANA Pembangunan Kabupaten Keerom pada umumnya, khususnya di Distrik Arso Kampung Workwana dan sekitarnya merupakan sebuah proses transformasi sosial yang menghasilkan berbagai perubahan. Perubahan-perubahan tersebut berdampak memajukan masyarakat dan daerah tetapi juga menimbulkan tekanan dan goncangan bahkan mengakibatkan terjadinya marjinalisasi atau ketersingkiran penduduk setempat. Uraian selanjutnya merupakan penegasan mengenai permasalahan pokok studi ini terkait dampak perubahan yang terjadi berhubungan dengan masuknya perkebunan sawit di Workwana dan sekitarnya. Jauh sebelum kelapa sawit masuk di daerah ini, sebagaimana diberitakan dalam sejumlah dokumen sejarah daerah setempat, diketahui bahwa perubahan-perubahan terus berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan penduduk dan lingkungannya. Rombouts OFM (1989) menjelaskan, sejak tahun 1909 berlangsung sejumlah ekspedisi militer Belanda di daerah perbatasan Papua dan PNG. Momen tersebut merupakan momen penting yang menandai terjadinya perubahan di daerah ini. Sesudah ekspedisi militer Belanda tersebut, dilanjutkan dengan penempatan pejabat-pejabat pemerintahan, yang secara politis menyatakan bahwa daerah Keerom merupakan bagian dari kekuasaan Belanda sama seperti wilayah lainnya di Papua ketika itu. Dari sumber tersebut diketahui pula bahwa yang masuk ke daerah ini bukan hanya pemeritah Belanda, tetapi juga tahun 1939 Gereja Katolik mulai berkarya di tempat ini. Selain kedua lembaga tersebut, para pedagang dan pemburu burung Cendrawasih sebelumnya telah ada di daerah ini. Dengan demikian lembaga-lembaga dan kelompok- kelompok yang disebutkan itu dapat dikatakan mempunyai andil

Transcript of BAB 8 MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/10/D... ·...

Page 1: BAB 8 MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/10/D... · PTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara merupakan ... tindakan-tindakan penipuan.

307

BAB 8

MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD ORANG WORKWANA

Pembangunan Kabupaten Keerom pada umumnya, khususnya

di Distrik Arso Kampung Workwana dan sekitarnya merupakan

sebuah proses transformasi sosial yang menghasilkan berbagai

perubahan. Perubahan-perubahan tersebut berdampak memajukan

masyarakat dan daerah tetapi juga menimbulkan tekanan dan

goncangan bahkan mengakibatkan terjadinya marjinalisasi atau

ketersingkiran penduduk setempat. Uraian selanjutnya merupakan

penegasan mengenai permasalahan pokok studi ini terkait dampak

perubahan yang terjadi berhubungan dengan masuknya perkebunan

sawit di Workwana dan sekitarnya.

Jauh sebelum kelapa sawit masuk di daerah ini, sebagaimana

diberitakan dalam sejumlah dokumen sejarah daerah setempat,

diketahui bahwa perubahan-perubahan terus berlangsung dalam

berbagai aspek kehidupan penduduk dan lingkungannya. Rombouts

OFM (1989) menjelaskan, sejak tahun 1909 berlangsung sejumlah

ekspedisi militer Belanda di daerah perbatasan Papua dan PNG.

Momen tersebut merupakan momen penting yang menandai terjadinya

perubahan di daerah ini. Sesudah ekspedisi militer Belanda tersebut,

dilanjutkan dengan penempatan pejabat-pejabat pemerintahan, yang

secara politis menyatakan bahwa daerah Keerom merupakan bagian

dari kekuasaan Belanda sama seperti wilayah lainnya di Papua ketika

itu. Dari sumber tersebut diketahui pula bahwa yang masuk ke daerah

ini bukan hanya pemeritah Belanda, tetapi juga tahun 1939 Gereja

Katolik mulai berkarya di tempat ini. Selain kedua lembaga tersebut,

para pedagang dan pemburu burung Cendrawasih sebelumnya telah

ada di daerah ini. Dengan demikian lembaga-lembaga dan kelompok-

kelompok yang disebutkan itu dapat dikatakan mempunyai andil

Page 2: BAB 8 MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/10/D... · PTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara merupakan ... tindakan-tindakan penipuan.

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

308

membawa perubahan-perubahan di daerah ini. Perubahan-perubahan

yang signyifikan terjadi berkaitan dengan keadaan lingkungan alam,

kehidupan ekonomi, tradisi dan kebiasaan hidup serta sistem

kelembagaan penduduk. Dari sejumlah studi dokumen diketahui juga

bahwa pemerintah Belanda melalui berbagai survei yang dilakukan di

daerah Keerom sebenarnya telah menetapkan wilayah ini sebagai salah

satu daerah pertanian dan perkebunan yang dapat menjadi penyangga

ekonomi bagi daerah sekitarnya. Dengan demikian apa yang kemudian

dikembangkan di Keerom khususnya wilayah Arso dan sekitarnya

sebagai daerah pertanian dan perkebunan sesungguhnya merujuk pada

program-program pemerintah Belanda khususnya setelah Konferensi

Meja Bundar (KMB) di Belanda (Meteray, 2012, 149-165). Ketika

wilayah Papua diintegrasikan ke dalam NKRI, posisi Keerom sebagai

wilayah pertanian dan perkebunan semakin dipertegas melalui

program Transmigrasi umum dan Transmigrasi PIR (Suparlan, dalam

Bulletin of West Irian Developmnet, 1972; Tim YPMD-Irja, 1987;

Budiardjo & Liong, 1988, 63-76; Aditjondro, 2003, 403-426).

Bila dilihat dari perspektif Livelihood (Chambers & Conway,

1991; Krantz, 2001), daerah ini memang mempunyai natural capital, yakni keadaan alam dan tanah yang subur serta kekayaan alam lainnya

yang memungkinkan untuk dimanfaatkan bagi pengembangan bidang

pertanian dan perkebunan serta pembangunan bidang lainnya. Namun

perubahan dan perkembangan daerah ini sebagai daerah yang makin

terbuka dengan berbagai dampak yang menyertainya dalam berbagai

aspek kehidupan dijelaskan secara singkat sebagai berikut.

Proses kehadiran kelapa sawit sebagai komoditi perkebunan

penghasil devisa negara di Workwana dan sekitarnya berlangsung

sebagai berikut. PTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara merupakan

satu lembaga usaha berbadan hukum di bidang perkebunan yang

pertama kali mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Papua

tepatnya di Distrik Arso Kabupaten Jayapura dan Kabupaten

Manokwari ketika itu. Dari analisa dan refleksi terkait data temuan

lapangan terlihat ada beberapa pendekatan yang digunakan PTPN II,

melancarkan usaha bisnis perkebunan sawit di Daerah Arso meliputi

Page 3: BAB 8 MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/10/D... · PTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara merupakan ... tindakan-tindakan penipuan.

Masa Depan Sustainable Livelihood Orang Workwana

309

Kampung Arsokota, Workwana dan sekitarnya. Pendekatan yang

dimaksud ialah, satu pendekatan yang hegemonik. Pendekatan

hegemonik dibangun sebagai suatu kekuatan dominan perusahaan

bersama penguasa atau pemerintah daerah, yang memengaruhi

sedemikian rupa penduduk setempat sehingga tanah ulayat penduduk

diberikan kepada perusahaan untuk pengembangan perkebunan kelapa

sawit dan lokasi pemukiman warga transmigrasi PIR. Pendekatan

hegemonik tersebut kemudian berujung pada manipulasi luas tanah

yang menurut penduduk setempat seharusnya hanya 5.000 ha menjadi

50.000 ha. Pendekatan semacam ini disebut Saiful Arif (2000, xvii-xiii)

sebagai politik hegemoni; dua, pendekatan politik keamanan.

Pembukaan lahan sawit di Distrik Arso meliputi Workwana, Arsokota

dan beberapa kampung lain di sekitar dikisahkan penduduk setempat

sebagai pendekatan politik keamanan. Dikatakan demikian karena

penduduk mengalami langsung keterlibatan aparat keamanan yang

diperalat perusahaan sebagai kekuatan penekan penduduk.

Penggunaan aparat keamanan sebagai penekan masyarakat disebut

Budiardjo & Liong (1984, 70-71) menimbulkan terjadinya penetrasi,

tekanan, intimidasi, kekerasan, stigmatisasi bahkan penghilangan

nyawa penduduk. Artinya demi pembangunan ekonomi, kepentingan

perusahaan dan devisa negara terjadilah kekerasan atas nama negara

terhadap penduduknya. Pada hal sesungguhnya negara harus

melindungi setiap warganya dari ancaman apapun sehingga tercipta

keadaan yang disebut human security. Akan tetapi senyatanya studi

ini memperlihatkan bahwa kasus kelapa sawit hanya menjadikan

penduduk Arso sebagai korban pembangunan. Pendekatan seperti

disebut ini sebagai bentuk pelanggaran hak-hak azasi manusia dalam

bidang politik pembangunan ekonomi yang dilakukan negara terhadap

rakyatnya atau penduduknya. Secara sosiologis pengembangan

perkebunan kelapa sawit bisa dikatakan mempunyai fungsi manifest

dan fungsi laten. Fungsi manifest perkebunan sawit terlihat sebagai

usaha kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.

Sedangkan fungsi laten yang terdapat di dalam usaha perkebunan

sawit tersebut ialah sebagai kegiatan politik negara untuk pengamanan

daerah perbatasan RI dan PNG. Pendekatan pengamanan daerah

Page 4: BAB 8 MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/10/D... · PTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara merupakan ... tindakan-tindakan penipuan.

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

310

perbatasan menurut penduduk setempat dilakukan melalui

penggundulan hutan, agar hutan tidak menjadi tempat berkeliarannya

kelompok separatis. Penggundulan seperti ini menurut perspektif

lingkungan disebut sebagai proses deforestasi; tiga, pendekatan

menjadikan tokoh-tokoh adat dan masyarakat sebagai karyawan

perusahaan kelapa sawit. Pendekatan ini secara manifest juga

merupakan realisasi janji-janji perusahaan melibatkan penduduk

setempat sebagai karyawan perusahaan. Tetapi sesungguhnya secara

laten tokoh-tokoh ini merupakan tameng perusahaan manakala

muncul permasalahan terkait dengan penduduk setempat. Bila kita

mencermati beberapa pengalaman terkait dengan resistensi penduduk

terhadap perusahaan selama ini, nampaknya pendekatan ini tidak

begitu efektif.

Dengan begitu bisa dikatakan seluruh proses pendekatan yang

digunakan perusahaan dan pemerintah untuk menguasai lahan-lahan

penduduk disebut sebagai proses peminggiran atau marginalisasi

penduduk oleh negara, penguasa dan pemodal. Proses ini tentu

membuat penduduk setempat tak berdaya dan mengikuti apa yang

diinginkan penguasa dalam suasana batin yang penuh tekanan dan

sakit hati. Bentuk-bentuk marginalisasi penduduk dapat dilihat dari

ungkapan dan pengalaman penduduk seperti, perusahaan

menggunakan aparat keamanan menekan penduduk untuk melepas

tanah-tanah ulayat, mengintimidasi dan menstigma penduduk sebagai

separatis atau OPM bila ada yang memprotes kegiatan perusahaan.

Penduduk Workawana mengungkapkan kembali memori kolektifnya

terkait dengan penyerahan lahan kelapa sawit, terjadi dalam situasi

penuh tekenan. Senada dengan pernyataan masyarakat itu oleh Celsius

Watae menyatakan ketika berlangsung sebuah seminar di Jayapura

tahun 2008 tentang masalah sawit di Arso, bahwa suasana saat itu tidak

memungkinkan penduduk menolak pelepasan tanah dan hutan untuk

perkebunan sawit. Selain berbagai tekanan dialami penduduk, muncul

pula janji-janji yang menurut warga setempat janji-janji tersebut tidak

pernah dipenuhi. Karena itu penduduk menyebutnya sebagai

tindakan-tindakan penipuan. Menurut penduduk, setelah usaha yang

dilakukan pemerintah dan perusahaan berhasil, terjadilah

Page 5: BAB 8 MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/10/D... · PTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara merupakan ... tindakan-tindakan penipuan.

Masa Depan Sustainable Livelihood Orang Workwana

311

penggunduluan hutan secara besar-besaran. Karena itu penduduk

setempat selalu menyatakan pengambilan tanah ini terjadi tanpa ada

ganti rugi, sehingga tidak ada dasar yang kuat untuk pemerintah

menyebut tanah ini tanah pemerintah. Cara lain peminggiran dan

perlakuan tidak manusiawi terhadap penduduk juga dirasakan ketika

mereka terlibat dalam pekerjaan proyek pembangunan rumah bantuan

Menteri Sosial di Workwana tahun 1984. Sejumlah orang mengisahkan

bahwa ketika bekerja mereka diperlakukan dengan kasar dan tidak

manusiawi oleh aparat keamaman yang mengawasi pekerjaan tersebut.

Peminggiran penduduk juga dialami melalui manipulasi luas lahan

yang dilakukan pemerintah setempat dan perusahaan. Pengalaman ini

semuanya menjadi memori kolekitf penduduk setempat yang selalu

dibicarakan hingga saat ini, khususnya pada momen-momen

pembicaraan tentang urusan kelapa sawit di daerah ini.

Berhadapan dengan berbagai fenomena keterpinggiran tersebut

muncul collective action gerakan sosial dan protes penduduk menolak

kehadiran kelapa sawit. Collective action seperti ini seringkali dinilai

sebagai pembangkangan penduduk terhadap pemerintah yang sah.

Lebih fatal lagi penduduk biasanya diberi stigma separatis dan

pemberontak, yang tidak jarang diperlakukan dengan kekerasan dan

ancaman senjata serta penghilangan nyawa manusia. Pada hal

sesungguhnya yang diperjuangkan penduduk adalah perlakuan yang

adil oleh penguasa terkait dengan hak-hak hidup, hak atas tanah dan

akses untuk hidup lebih baik saat ini dan di masa depan. Jadi collective action yang berujung pada resistensi sesungguhnya menunjukkan

bahwa dari sisi livelihood penduduk sedang berada dalam situasi

vulnerable context pemiskinan. Karena itu resistensi penduduk

sebenarnya merupakan gerakan moral-sosial warga negara Indonesia,

memperjuangkan hak-hak dasar hidupnya yang diabaikan negara.

Dengan kata lain pengalaman ini menunjukkan bahwa negara lalai,

tidak berpihak dan tidak hadir memberikan perlindungan ketika

penduduk mencari keadilan bagi hidupnya karena negara dianggap

merupakan bagian dari konspirasi dan tindakan permarjinalisasian

tersebut.

Page 6: BAB 8 MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/10/D... · PTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara merupakan ... tindakan-tindakan penipuan.

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

312

Dari sisi pembangunan ekonomi, pendekatan perkebunan

kelapa sawit berbeda dengan pendekatan ekonomi perspektif

sustainable livelihood. Pendekatan perkebunan kelapa sawit

merupakan usaha skala besar yang mengutamakan hasil produksi yang

besar pula. Relasi-relasi yang terbangun dalam industri perkebunan

sawit ialah relasi antara buruh, pekerja, orang upahan dan majikan

atau pemilik modal. Konsekuensinya penduduk setempat hanya

menjadi buruh, pekerja dan orang upahan, bergantung pada majikan

dan pemodal perusahaan dan pemerintah. Dalam kasus di Workwana,

penduduk setempat yang awal mulanya merupakan tuan tanah

kemudian menjadi tuna lahan diposisikan sebagai alat produksi industri

kelapa sawit dan perusahaan sebagai produsen, penguasa dan majikan

yang mempunyai modal. Relasi-relasi ini ternyata berdampak

menimbulkan eksploitasi majikan terhadap buruh atau pekerja.

Pendekatan ini kemudian menimbulkan ketersingkiran, keterasingan

penduduk dari lingkungan alam, hasil kerja dan sesamanya sehingga

terjadi dislokasi dan disorientasi penduduk setempat (Magnis Suseno,

2001, 87-104). Dari jenis usaha pendekatan perkebunan sawit

merupakan sistem usaha yang monokultur. Industri perkebunan sawit

merupakan usaha berskala besar, mengutamakan hasil produksi,

berpusat pada kepentingan pemodal dunia industri, menimbulkan

ketergantungan penduduk hanya pada usaha sawit, menguntungkan

perusahaan sebagai majikan. Pendekatan ini tentu berbeda dengan

pendekatan sustainable livelihood yang berpusat pada kepentingan

masyarakat atau penduduk, mengutamakan kemandirian, kerja

berjejaring dengan memperhatikan aspek makro-mikro, usaha skala

kecil, dan berpusat pada masyarakat, memanfaatkan modal-modal

yang ada dan mendorong terjadinya diversifikasi livelihood

berkelanjutan.

Pendekatan sustainable livelihood bertumpu pada aset-aset

baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan atau modal-modal

yang ada yaitu, modal manusia, modal sosial, modal alam, modal fisik,

modal finansial atau bisnis yang ada. Selain itu dapat dikatakan

kekhususan pendekatan sustainable livelihood ialah adanya

kemungkinan melakukan strategi coping bila seseorang atau

Page 7: BAB 8 MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/10/D... · PTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara merupakan ... tindakan-tindakan penipuan.

Masa Depan Sustainable Livelihood Orang Workwana

313

rumahtangga-rumahtangga berada dalam keadaan tekanan dan

goncangan hidup. Ada berbagai bentuk strategi yang ditawarkan dalam

pendekatan sustainable livelihood agar seseorang atau rumahtangga-

rumahtangga bisa keluar dari tekanan dan goncangan atau vulnerable context. Dalam studi yang dilakukan ini ditemukan beberapa bentuk

strategi coping penduduk di Workwana. Pertama, strategi resistensi

sebagai bentuk collective action. Resistensi merupakan suatu gerakan

moral-sosial penduduk memperjuangkan hak-hak dasar, aset-aset dan

akses hidupnya. Oleh karena itu resistensi ini bukan sutau gerakan

politik. Kedua, strategi coping yang dilakukan oleh penduduk. Ada

beberapa kategori kelompok penduduk di Workwana yang melakukan

coping. Kelompok-kelompok dimaksud ialah kelompok berpendidikan

(berbagai profesi pegawai negeri, politisi, pengusaha, pegawai swasta)

dan kelompok perempuan (berjualan di pasar, beternak, usaha kios)

serta kaum muda tunakarya (tukang ojek dan kerja borongan,

pengawas pos adat).

Memang tak dapat disangkal bahwa telah terjadi perubahan

dan perkembangan yang signyifikan di bidang infrastruktur dasar,

politik, ekonomi dan pembangunan sosial di bidang pendidikan,

kesehatan dan lain-lain di wilayah ini. Namun pembangunan di

berbagai aspek tersebut juga telah menghasilkan berbagai masalah

dalam kehidupan penduduk setempat sebagaimana ditunjukkan

Ansaka dkk., (2009) serta Dale dan Djonga (2011) melalui studi yang

dilakukan keduanya di Kabupaten Keerom. Salah satu dampak

pembangunan ekonomi di tempat ini sebagaimana yang penulis

temukan ternyata berdampak menimbulkan krisis serius dalam

kehidupan penduduk di Workwana. Krisis dimaksud adalah krisis yang

terkait dengan aspek ekologi, ekonomi, kelembagaan dan nilai-nilai

sosial-budaya penduduk setempat sebagai dampak dari penetrasi sistem

ekonomi politik monokultur perkebunan kelapa sawit di daerah Arso.

Krisis tersebut senyatanya telah menimbulkan fenomena keterping-

giran atau marjinalisasi penduduk terkait dengan livelihood setempat.

Dikatakan demikian karena krisis tersebut menunjukkan bahwa

pendekatan pembangunan melalui perkebunan kelapa sawit

berseberangan dengan pendekatan pembangunan yang berwawasan

Page 8: BAB 8 MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/10/D... · PTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara merupakan ... tindakan-tindakan penipuan.

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

314

lingkungan (ecodevelopment) dan world view setempat yang dinilai

merugikan penduduk setempat. Selain itu pendekatan pembangunan

monokultur tersebut tidak dapat memelihara keseimbangan dialektika

ekologis antara alam dan manusia (Hettne, 2001, 322-323) bahkan

justru menghancurkan hutan-hutan primer setempat, pusat livelihood

subsisten penduduk. Karena itu krisis-krisis tersebut telah

menimbulkan pula krisis kepercayaan penduduk terhadap pemerintah

sebagai penguasa serta korporasi pemodal besar di bidang

pembangunan masyarakat. Sikap penduduk setempat sebagai

tanggapan terhadap perubahan yang terjadi dapat dilihat sebagai

berikut. Pertama, muncul sikap resistensi masyarakat terhadap

pendekatan pembangunan ekonomi melalui perkebunan kelapa sawit

sebagai livelihood baru. Resistensi penduduk ini bukan bersifat

resistensi politik tetapi merupakan gerakan sosial, tepatnya sebuah

gerakan moral-sosial penduduk yang menyebut diri sebagai masyarakat

adat Arso. Gerakan moral sosial masyarakat ini merupakan colletive action yang mempersoalkan hak-hak dasarnya berkaitan dengan aset-

aset dan akses sumberdaya penghidupan yang dirusakkan, hancur dan

hilang. Putusnya relasi penduduk dengan berbagai aset dan akses

tersebut telah menimbulkan disorientasi dan dislokasi penduduk. Pada

hal berbagai aset yang hilang baik yang kelihatan maupun yang tidak

kelihatan merupakan modal-modal livelihood penduduk untuk

membangun hidupya saat ini dan di masa depan. Resistensi penduduk

di daerah ini muncul sebagai colletive action melalui berbagai aktivitas.

Resistensi penduduk muncul dalam berbagai bentuk seperti,

melakukan protes dengan menyurat kepada pihak perusahaan dan

pemerintah, kemuidan secara berjejaring melakukan advokasi

(melibatkan lembaga bantuan hukum Universitas Cendrawasih

Jayapura, Komnas HAM Papua dan SKP KJ dan institusi-institusi yang

peduli dengan masalah masyarakat adat Arso), selain itu juga penduduk

melakukan pemalangan pabrik dan kebun inti perusahaan, juga

berunjukrasa ke DPRP Provinsi Papua dan DPRD Kabupaten Keerom,

dan menyampaikan masalah sengketa hak ulayat kepada DPR RI dan

Presiden RI, termasuk penduduk berhenti panen dan melakukan

diskusi publik. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa resistensi ini bukan

Page 9: BAB 8 MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/10/D... · PTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara merupakan ... tindakan-tindakan penipuan.

Masa Depan Sustainable Livelihood Orang Workwana

315

sebuah gerakan politik melainkan sebuah gerakan moral-sosial

penduduk sehingga tidak pada tempatnya dilihat sebagai gerakan anti

pemerintah. Gerakan ini muncul karena adanya kesadaran bahwa

sebuah usaha ekonomi atas nama negara seperti yang dilakukan oleh

perusahaan kelapa sawit di Distrik Arso merupakan suatu bentuk

hegemoni sistem ekonomi politik yang berdampak memarginalkan

penduduk. Dikatakan demikian karena Menurut Galtung, dalam M.

Windhu (1992), kekuasaan selalu bersifat struktural yang ditandai oleh

ciri-ciri, adanya eksploitasi, penetrasi, fragmentasi dan marginalisasi.

Apa yang dialami oleh orang Workwana (bersama masyarakat adat

Arso lainnya), dalam studi kasus ini menunjukkan adanya eksploitasi

masif sumber daya alam (lingkungan), terjadi fragmentasi, yang mana

secara kelembagaan peran tokoh adat diabaikan, penduduk setempat

dikotak-kotakan, tanah-tanah ulayat dikapling-kapling dan dijual

sehingga terjadi alihkepemilikan. Menurut seorang tokoh muda

masyarakat adat Arso, keadaan ini rentan konflik antar warga

masyarakat karena seseorang yang bukan pemilik lahan berusaha pada

lahan adat milik orang lain yang pembagian lahannya diatur oleh

perusahaan. Dengan demikian dapat dikatakan proses marjinalisasi ini

sesungguhnya telah menimbulkan sebuah fenomena dislokasi dan

disorientasi penduduk. Dislokasi ditandai oleh perasaan seolah-olah

penduduk setempat tidak berada di tanahnya sendiri atau tidak berada

di kampung halamannya sendiri dan sedang berada di tempat baru

yang asing baginya. Sedangkan keadaan disorientasi ditandai oleh rasa

kebingungan, hilang arah karena seharusnya penduduk dapat

menikmati kesejahteraan hidup dalam lingkungan kampungnya sendiri

tetapi senyatanya mereka sedang berada dalam keadaan tak berdaya,

putus harapan. Keadaan yang dialami penduduk tersebut dilihat juga

sebagai fenomena perampasan dan pemanipulasian hak penduduk atas

nama negara dan kekuasaan demi pembangunan nasional. Dengan

penuh kekesalan penduduk setempat selalu menyatakan, hutan tempat

cari makan dibabat dan kami ditipu dengan imbalan yang tidak

memadai, kami tak berdaya, bingung dan tertekan, tidak tahu apa yang

bisa kami lalukan.

Page 10: BAB 8 MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/10/D... · PTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara merupakan ... tindakan-tindakan penipuan.

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

316

Dengan pengalaman yang demikian sikap resistensi hendaknya

dilihat sebagai suatu bentuk tindakan kolektif penduduk memper-

tanyakan masa depannya dan masa depan generasi yang akan datang

sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama

seperti warga negara lainnya. Jadi menurut penulis sikap resistensi

sebagai collective action penduduk ingin mempertegas posisinya

sebagai komunitas masyarakat adat yang sedang mengalami proses

marjinalisasi oleh negara. Berdasarkan temuan-temuan studi lapangan

khususnya terkait dengan sikap resistensi penduduk dan kaitannya

dengan perspektif sustainable livelihood, orang Workwana dapat

dikategorikan ke dalam beberapa kelompok. Satu, kategori kelompok

petani plasma. Kelompok ini merupakan generasi pertama orang

Workwana yang tidak bergiat lagi dalam aktivitas ekonomi kelapa

sawit karena telah menjual atau mengontrak lahan perkebunan

sawitnya kepada pihak lain. Kelompok ini juga berperan

mempertahankan dan menuntut kembali hak ulayatnya. Kelompok

ini berada di antara situasi bukan lagi petani plasma dan sebagai orang-

orang yang kehilangan ruang subsisten, kelompok yang merindukan

masa lalu kehidupan subsisten. Namun kelompok ini juga mencoba

beradaptasi dengan perubahan yang terjadi bahkan ada sejumlah orang

dari kalangan kelompok ini direkrut sebagai karyawan perusahaan dan

sejumlah orang masih bergiat secara subsisten walaupun tidak efektif

seperti sebelumnya. Dua, kategori kelompok profesi atau formal employment. Kelompok ini pada umumnya merupakan generasi kedua,

terdiri dari orang-orang muda Workwana baik laki-laki maupun

perempuan yang berpendidikan. Kelompok ini melihat akses atau

peluang kerja yang ada dalam situasi yang sedang berubah sebagai

pilihan profesi hidup yang berbeda dengan generasi pertama. Profesi

baru yang dipilih sebagai status sosial baru dalam komunitasnya

merupakan bentuk coping penduduk setempat agar kehidupannya bisa

berkelanjutan. Menurut perspektif sustainable livelihood, profesi baru

dimaksud dikategorikan sebagai suatu status yang disebut formal-employment. Kelompok ini memilih keluar dari aktivitas generasi

pertama sebagai petani plasma dalam perkebunan sawit karena dua hal

yaitu, (1) adanya peluang baru untuk berprofesi di luar sistem

Page 11: BAB 8 MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/10/D... · PTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara merupakan ... tindakan-tindakan penipuan.

Masa Depan Sustainable Livelihood Orang Workwana

317

perkebunan sawit sesuai kapabilitasnya; (2) ruang kehidupan subsisten

tidak menjanjikan lagi bagi masa depan hidup generasi baru. Sekalipun

kelompok ini memilih profesi baru, mereka selalu mendukung generasi

pertama mempertahankan hak ulayatnya. Tiga, kaum perempuan.

Kelompok ini melihat bahwa ada peluang mengembangkan sustainable livelihood dengan menjadi penjual atau pedagang di pasar, mengurus

ternak dan kios di rumah atau menjadi buruhtani sawit di Arso Timur.

Kelompok ini dikategorikan sebagai kelompok yang mampu

melakukan coping sesuai dengan peluang yang tersedia dan akses-

akses yang ada. Peluang dan akses yang ditangkap kelompok ini di

Workwana didukung oleh motivasi yang kuat seperti diungkapkan

oleh sejumlah ibu, kalau mau bekerja atau mau berusaha pasti bisa.

Kelompok ini ada yang merupakan bagian dari petani plasma dan ada

pula generasi kedua yang secara mandiri melakukan coping dengan

melihat peluang-peluang yang ada untuk melakukan diversifikasi

livelihood. Empat, kelompok tunakarya. Kelompok ini pada umumnya

merupakan generasi ketiga penduduk Workwana yang putus sekolah

dan tunakarya. Dengan ketrampilan yang terbatas kelompok ini

berusaha melakukan coping melalui pekerjaan informal seperti

menjadi tukang ojek dan pekerja borongan di kampung.

Proses marjinalisasi yang dialami terkait empat hal berikut.

Pertama, telah terjadi pengalifungsian tanah adat atau tanah ulayat

penduduk untuk kepentingan perkebunan sawit melalui transaksi

yang manipulatif dan tindakan kekerasan. Kedua, kompensasi atas

pelepasan tanah adat tidak setara dengan ongkos sosial dan ekonomi

yang selama ini menjadi beban penduduk yang kehilangan lahan

pencaharian nafkah dan nyawa serta hak-hak dasar yang ditandai

oleh krisis ekologi, ekonomi, kelembagaan dan sosial-budaya. Ketiga,

telah terjadi perubahan fenomenal status ontologis penduduk

setempat dari posisi tuan tanah, pemilik hak ulayat menjadi penduduk

yang tuna lahan yang kehilangan aset-aset dan kepercayaan diri.

Keempat, pemerintah atau penguasa tidak berpihak pada kepentingan

penduduk atau rakyat kecil di kampung. Ketidakberpihakan penguasa

secara riil dalam kasus ini telah menimbulkan pula ketidakpercayaan

penduduk terhadap penguasa dan korporasi yang bergiat di bidang

Page 12: BAB 8 MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/10/D... · PTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara merupakan ... tindakan-tindakan penipuan.

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

318

pembangunan ekonomi melalui kelapa sawit. Mereka pun menilai

bahwa pendekatan pengalihfungsian hutan untuk perkebunan sawit

merupakan bentuk penipuan dengan alasan untuk kepentingan negara

sehingga masyarakat tidak mendapat imbalan yang memadai.

Ungkapan tersebut secara fenomenologis menunjukkan ungkapan

kekesalan sekaligus megandung protes penduduk yang amat dalam,

karena terjadi relasi-relasi yang bersifat eksploitatif dan relasi yang

memarjinalkan penduduk, bukan relasi-relasi pertukaran antarsubyek

atau diri yang setara antara penguasa, korporasi dan penduduk.

Keadaan penduduk termarjinalisasi tersebut kemudian

memunculkan kesadaran baru penduduk setempat untuk mensiasati

livelihood yang berkelanjutan atau sustainable livelihood. Kesadaran

baru tersebut muncul setelah berbagai aset atau modal-modal yang

seharusnya ada hilang. Sementara itu modal yang dipunyai penduduk

sebagai kekuatan utama ialah modal manusia atau human capital (Krantz, 2001). Modal manusia yang ada dapat dimanfaatkan untuk

mengembangkan strategi coping (Chambers dan Conway, 1991; Ian

Scoones, 1998; Butler dan Mazur, 2007) menghadapi situasi krisis

ekologi, ekonomi, kelembagaan dan sosial-budaya yang memarjinalkan

dirinya. Strategi coping dilakukan dalam berbagai bentuk dan oleh

kelompok yang berbeda. Selain menggunakan modal manusia yang

dimiliki, berbagai akses yang ada juga dimanfaatkan penduduk. Akses-

akses tersebut seperti, akes pasar, bisnis, pendidikan, pekerjaan

(birokrat), politik dan berbagai askes lain yang diperoleh penduduk.

Strategi coping tersebut dilakukan, pertama, oleh kelompok

perempuan yang melihat pasar sebagai akses untuk mengembangkan

sustainable livelihoods, walaupun kegiatan ekonomi pasar yang

dilakukan berskala kecil namun mampu menangkal kerentenan hidup

ekonomi rumahtangga; kedua, kaum berpendidikan melihat profesi

sebagai birokrat di pemerintahan, politisi, pebisnis dan berbagai profesi

lain sebagai akses yang tersedia untuk mengembangkan sustainable livelihood yang baru; ketiga, demikian juga kelompok muda tunakarya,

dengan ketrampilan yang terbatas mereka pun memanfaatkan berbagai

akses kerja informal secara kreatif sebagai aktivitas livelihoodnya.

Artinya human capital penduduk setempat telah dimanfaatkan

Page 13: BAB 8 MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/10/D... · PTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara merupakan ... tindakan-tindakan penipuan.

Masa Depan Sustainable Livelihood Orang Workwana

319

sedemikian rupa sehingga nampak kapabilitasnya (Chambers &

Conway, 1991) untuk mengembangkan livelihood rumahtangga secara

berkelanjutan. Dengan begitu dapat dikatakan strategi coping yang

dilakukan orang-orang Workwana tersebut sejalan dengan sejumlah

unsur livelihood rumahtangga yang disebut Chambers dan Conway

sebagai hal-hal pokok livelihood rumahtangga. Unsur-unsur pokok

rumahtangga dimaksud ialah, (1) adanya kapabilitas yang didukung

oleh human capital, (2) adanya aktivitas (berjualan, bisnis, birokrat,

politisi), (3) adanya aset-aset atau modal (yang kelihatan, seperti uang,

barang-barang yang dijual dan yang tak kelihatan seperti, kesadaran

moral keluarga untuk tanggungjawab, hak-hak penduduk dan lain-

lain) serta (4) adanya hasil karya yang dapat dinikmati dari aktivitas-

aktivitas atau pekerjaan yang dilakukan tersebut.

Selanjutnya bagian ini akan diakhiri dengan sebuah penjelasan

yang merangkum seluruh proses berpikir, yang di dalamnya termuat

kerangka teori yang digunakan, kondisi empiris penduduk, yang di

dalamnya terdapat sikap resistensi dan coping yang dilakukan

penduduk dan suatu usulan pemberdayaan penduduk. Penjelasan

tersebut dibuat dalam tabel berikut ini.

Tabel 8.1

Proses marjinalisasi, resistensi dan coping: suatu rangkuman

Kerangka Konseptual Kondisi Empiris Kebijakan

Paradigma pertumbuhan, pembangunanisme, production thingking (economic growth); sawit komoditi ekspor

Penduduk kehilangan ruang subsisten

Lingkungan tergradasi, sumber nafkah subsisten hilang, struktur kelembagaan penduduk, kepemiminan lokal terabaikan & tidak berfungsi, nilai-nilai

1. Masuknya ekonomi

kelapa sawit di Workawana: cara2 manipulatif, kekerasan, ancaman nyawa penduduk, janji2 tak dipenuhi penguasa dan perusahaan

2. Sawit sebagai bagian dari livelihood penduduk

3. Terjadi krisis-krisis (ekologi, ekonomi, kelembagaan, sosial-budaya), yang

1. Kebijakan & program

afirmatif: PERDASI & PERDASUS, PerBup, terkait dengan hak-hak atas hutan dan tanah serta akses penduduk di bidang pendidikan, ekonomi, politik, pengelolaan lingkungan

2. Adanya kebijakan & program penguatan kelembagaan penduduk tingkat kampung

3. Adanya kebijakan &

Page 14: BAB 8 MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/10/D... · PTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara merupakan ... tindakan-tindakan penipuan.

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

320

Kerangka Konseptual Kondisi Empiris Kebijakan

sosial-budaya, relasi & tradisi diabaikan

Sustainable development: Sustainable livelihood & collective action (resistensi & coping)

memarjinalisasi penduduk: secara psikis dan fisik. Terjadi dislokasi dan disorientasi penduduk

4. Muncul sikap resistensi dan coping: sustainable livelihood

program pemberdayaan, penguatan human capital: rumahtangga-

rumahtangga, kaum perempuan dan kelompok generasi muda kampung tunakarya & coping, diversifikasi

Gambaran proses penduduk termarginalisasi sebagai fokus studi

ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, sebelum kelapa sawit

masuk, penduduk setempat mempunyai livelihood subsisten, dengan

aset-aset, akses dan hak-hak kelompok dalam sistem yang terintegrasi

secara ekologis, ekonomi, kelembagaan dan sosial budaya. Kedua,

tahun 1982/1983 Kelapa sawit masuk Workwana yang mana

sebelumnya tahun 1981/1982 terlebih dahulu masuk di kampung

Arsokota. Kehadiran kelapa sawit ternyata menimbulkan sejumlah

masalah karena menciptakan krisis, ekologi, ekonomi, kelembagaan

dan sosial-budaya. Selain itu terjadi pula manipulasi alihfungsi lahan

dengan tindakan-tindakan yang bersifat kekerasan, intimidasi,

stigmatisasi dan lain-lain. Ketiga, muncul krisis-krisis. Krisis tersebut

terjadi karena tekanan, tindakan manipulatif, hilangnya aset-aset dan

akses subsisten. Keadaan ini mengakibatkan penduduk setempat

terpinggirkan secara ekologis, ekonomi, kelembagaan dan sosial-

budaya karena kehilangan sejumlah kapital yang dibutuhkan untuk

mengembangkan sustainbale livelihood subsisten, sehingga terjadi

keadaan yang disebut disoreintasi dan dislokasi. Keempat, krisis-krisis

tersebut menjadikan Orang Workwana termarjinalkan atau

terpinggirkan. Keadaan termarjinal atau terpinggirkan sebenarnya

sudah berlangsung sejak awal kelapa sawit masuk di daerah ini. Kondisi

penduduk termarjinal ditandai oleh hilangnya aset dan akses serta hal-

hak subsisten yang selama ini menghidupakannya. Penduduk juga

mengalami berbagai tekanan, kekerasan, stigma dan berbagai tindakan

manipulatif yang menyebabkan mereka tak berdaya memperjuangkan

hak-hak hidupnya. Kelima, berhadapan dengan krisis dan kondisi

penduduk termarginalisasi tersebut muncul kesadaran penduduk untuk

Page 15: BAB 8 MASA DEPAN SUSTAINABLE LIVELIHOOD …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/10/D... · PTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara merupakan ... tindakan-tindakan penipuan.

Masa Depan Sustainable Livelihood Orang Workwana

321

menggunakan human capital-nya menanggapi krisis dan vulnerable context tersebut dengan membangun strategi-strategi setempat.

Strategi pertama yang dibangun ialah bersikap resistensi sebagai upaya

colletive action gerakan moral sosial mencari keadilan atas hak

ulayatnya sebagai warga negara RI terhadap perusahaan kepala sawit

dan pemerintah. Resistensi tersebut dilakukan dengan berbagai cara

seperti yang telah disebutkan lebih dahulu. Kemudian strategi yang

kedua, kelompok berpendidikan, kelompok perempuan dan kaum

muda tunakarya melakukan coping agar bisa tetap eksis sehingga

sustainable livelihood tetap berlangsung dalam situasi yang terus

berubah.

Jadi menurut hemat penulis ada berbagai kasus kegagalan

pembangunan di Papua, khususnya di kampung-kampung, terjadi

antara lain karena tidak dibangunnya relasi saling percaya antara

penduduk dan agen pembangunan baik pemerintah maupun pihak

terkait lainnya. Karena penduduk setempat masih dijadikan obyek

program dan sasaran kegiatan politik pembangunan bukan sebagai

subyek dan pelaku pembangunan itu sendiri. Pendekatan-pendekatan

pembangunan yang menimbulkan kesenjangan seperti ini dari sisi etika

pembangunan disebut Goulet (1995) sebagai pendekatan rasionalitas

politis dan rasionalitas teknis, bukan rasionalitas etis. Dengan demikian

diharapkan akan terjadi model-model pembangunan yang lebih

bersifat inklusif di mana penduduk dapat terlibat secara langsung

sebagai subyek yang setara dalam proses pembangunan mulai dari

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang berlangsung secara

berkelanjutan sehingga terwujud sustainable livelihood yang

mensejahterakan penduduk dalam berbagai aspek kehidupan.