The Theory of the Public Sphere

3

Click here to load reader

description

jnj

Transcript of The Theory of the Public Sphere

The Theory of the Publik Sphere

The Theory of the Public Sphere (John B Thompson)

Susanto/0706222340/S3Buku Habermas, The Structural Transformation of The Public Sphere, menawarkan suatu narasi historis tentang perubahan bentuk kehidupan publik yang cukup tajam. Apa yang dilakukan Habermas memberikan kombinasi perspektif historis atas budaya politik Eropa modern awal dengan perspektf kritis yang tajam terhadap degradasi kehidupan publik dalam masyarakat kita saat ini. Dalam tulisan ini, Thompson hendak menguji kekuatan argumen Habermas, baik dari aspek historis maupun teoretisnya. Dalam pandangan Thompson, setidaknya ada empat topik yang patut diperhatikan ketika mengkritisi gagasan Habermas. Kekuatan dan kecukupan argumen Habermas tentang munculnya ruang publik borjuis Eropa modern awal.Dengan memfokuskan pada ruang publik borjuis, Habermas cenderung mengabaikan adanya signifikansi bentuk lain dari diskursus publik dan aktivitas yang ada di Eropa pada abad ke-17, 18 dan 19; suatu bentuk yang berbeda dan bukan bagian dari bentuk sosioabilitas borjuis.Beberapa ilmuwan menunjukkan arti penting berbagai bentuk gerakan politik dan sosial populer (populer digunakan untuk membedakan dari borjuis) pada saat itu yang tidak bisa begitu saja dianggap sebagi turunan dari aktivitas yang yang terjadi pada ruang publik borjuis. Sebaliknya, relasi antara ruang publik borjuis dengan gerakan sosial populer justru lebih sering suatu relasi yang penuh konflik.Ini semua, menurut Thompson, menunjukkan bahwa gagasan Habermas harus direvisi. Bukan saja karena pergerakan sosial populer saat itu memiliki peran yang jauh lebih penting ketimbang yang digambarkan Habermas, namun gerakan sosial yang terjadi juga tidak cukup hanya difahami sebatas sebagai varian dari model liberal ruang publik borjuis. Model ruang publik borjuis.Model ruang publik borjuis yang ditawarkan oleh Habermas menjadi paradoksal. Di satu sisi, konsep ini dibangun atas dasar gagasan prinsip akses universal. Namun di sisi lain, pada prakteknya, model ruang publik borjuis ini hanya tersedia bagi mereka yang berpendidikan dan punya uang; bahkan juga memiliki sifat patriarikis yang secara bersamaan meminggirkan eran perempuan dalam ruang publik.Mengutip Joan Landes, Thompson menunjukkan bahwa peminggiran perempuan pada masa itu bukanlah sekadar persoalan lingkungan historis, melainkan disebabkan akarena sifat dasar ruang publik borjuis yang memang demikian adanya. Bagian paling lemah dari buku The Structural Transformation of The Public Sphere bukanlah tentang kemunculan, melainkan penurunan dari ruang publik. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, sangat diragukan bahwa konsumen media bisa dianggap sebagai konsumen yang bisa begitu saja dimanipulasi. Kedua, persoalan tesis tentang refeudalisasi ruang publik. Buku The Structural Transformation of The Public Sphere nampaknya bisa dianggap sebagai upaya awal untuk membingkai teori demokrasi yang relevan dengan masyarakat Barat abad ke-20. setidaknya buku itu memberi gagasan bagaimana prinsip tentang publik bisa diimplementasikan dalam organisasi dan kelompok kepentingan yang berperan dalam persoalan politik. Dalam upaya membuat proyeksi konsep ruang publik terhadap kondisi masyarakat kontemporer, setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan.Pertama, Habermas telah berupaya menunjukkan bahwa gagasan formasi diskursif dari keinginan melalui proses perdebatan bisa menghasilkan landasan yang lebih jelas. Kedua, gagasan Habermas melibatkan revisi substansial dari teorinya tentang masyarakat, menumbuhkan perbedaan antara system dan lifeworld (ini dibahas dalam theories of communication action). Teori yang dikembangkan ini memiliki implikasi luas terhadap konsep demokrasi.Di luar persoalan di atas, Thompson juga mengetengahkan hal berikut: konsepsi Habermas tentang ruang publik adalah suatu konsepsi dialogis. Ini berangkat dari pemikiran bahwa orang bisa datang bersama dalam satu tempat untuk melakukan dialog dalam shared-locale. Masalahnya adalah, konsepsi yang demikian tampaknya memliki persoalan tersendiri ketika dimediasikan melalui media. Habermas tampaknya terlalu merekatkan antara press dengan salon dan coffee house, dan tidak bisa dipisahkan. Ini berkaitan dengan pandangan Habermas yang melihat secara berbeda tentang pers: pers merupakan bagia dari konversasi yang dilakukan oleh kaum borjuis.Dengan demikian, tidak sulit untuk melihat bagaimana Habermas akhirnya gagap ketika harus menjelaskan bagaimana media yang lebih baru harus dikaitkan dengan pembentukan ruang publik juga.