tgs isbd2

12
Tri Hita Karana dalam Agama Hindu 1. Latar belakang historis. Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat. 2. Pengertian. Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara: 1. Manusia dengan Tuhannya. 2. Manusia dengan alam lingkungannya. 3. Manusia dengan sesamanya. 3. Unsur- unsur Tri Hita Karana. 1. Unsur- unsur Tri Hita Karana ini meliputi: 1. Sanghyang Jagatkarana. 2. Bhuana. 3. Manusia 2. Unsur- unsur Tri Hita Karana itu terdapat dalam kitab suci Bagawad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut: Bagawad Gita (III.10) Artinya : Sahayajnah prajah sristwa pura waca prajapatih anena prasawisya dhiwan esa wo'stiwistah Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari

description

sipppp

Transcript of tgs isbd2

Tri Hita Karana dalam Agama Hindu 1. Latar belakang historis.Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat.2. Pengertian.Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara: 1. Manusia dengan Tuhannya.2. Manusia dengan alam lingkungannya.3. Manusia dengan sesamanya.3. Unsur- unsur Tri Hita Karana. 1. Unsur- unsur Tri Hita Karana ini meliputi: 1. Sanghyang Jagatkarana.2. Bhuana.3. Manusia 2. Unsur- unsur Tri Hita Karana itu terdapat dalam kitab suci Bagawad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut: Bagawad Gita (III.10)Artinya :

Sahayajnah prajah sristwa pura waca prajapatih anena prasawisya dhiwan esa wo'stiwistah kamadhukPada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.

3. Dalam sloka Bhagavad-Gita tersebut ada nampak tiga unsur yang saling beryadnya untuk mendapatkan yaitu terdiri dari:Prajapati = Tuhan Yang Maha EsaPraja = Manusia4. Penerapan Tri Hita Karana. 1. Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai berikut 1. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya.2. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya.3. Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusia Yadnya.2. Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu di Bali dapat dijumpai dalam perwujudan:1ParhyanganParahyangan untuk di tingkat daerah berupa Kahyangan Jagat

Di tingkat desa adat berupa Kahyangan desa atau Kahyangan Tiga

Di tingkat keluarga berupa pemerajanatau sanggah

2PelemahanPelemahan di tingkat daerah meliputi wilayah Propinsi Bali

Di tingkat desa adat meliputi "asengken" bale agung

Di tingkat keluarga meliputi pekarangan perumahan

3PawonganPawongan untuk di tingkat daerah meliputi umat Hindu di Bali

Untuk di desa adat meliputi krama desa adat

Tingkat keluarga meliputi seluruh anggota keluarga

3. 5. Nilai Budaya.Dengan menerapkan Tri Hita Karana secara mantap, kreatif dan dinamis akan terwujudlah kehidupan harmonis yang meliputi pembangunan manusia seutuhnya yang astiti bakti terhadap Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada kelestarian lingkungan serta rukun dan damai dengan sesamanya

Tat Twam AsiBahasa ini (konon) berasal dari bahasa sansekerta yang artinya Aku adalah Kamu dan Kamu adalah Aku.Dalam Tat Twam Asi,kita diajarkan untuk lebih menghargai antar sesama manusia, Konsep menghargai antar sesama manusia ini yaitu menerapkan dalam setiap pikiran,ucapan dan tindakan kita nantinya..yaitu selalu berpikir positif dan membayangkan setiap langkah yang kita lakukan jika Aku adalah Kamu dan Kamu adalah Aku maka apa yang akan kita perbuat nanti apakah akan menimbulkan dampak/akibat bagi orang lain.Sebagai contoh,jika kita berbicara kasar sehingga membuat orang lain tersinggung atau marah,maka jika keadaan terbalik dan orang lain yang berbicara kasar pada kita sehingga kitapun akan tersinggung dan akan marah.Dengan membayangkan hubungan sebab dan akibat ini,akhirnya kita akan lebih berhati-hati jika akan berkata.Contoh lainnya,jika saya mencubit anda dan anda merasakan sakit,begitu pula jika anda mencubit saya..maka saya juga akan merasakan sakit karena dicubit.Dalam hal ini,kita menjadi lebih hati-hati dalam berbuat sesuatu,karena apa yang mereka rasakan juga kita rasakan. Sebuah pikiran dasar yang sederhana,tetapi jika kita terapkan dalam kehidupan kita,kita akan merasakan hal sama seperti yang orang lain rasakan sehingga kehidupan yang kita jalani akan berjalan damai dan tenang.Dimasa sekarang..,orang-orang lebih mementingkan urusan pribadinya daripada kepentingan umum dan demi kemaslahatan bersama.Semakin sulitnya beban hidup membuat kita lupa bahwa kita hidup sosial,membutuhkan dan dibutuhkan orang lain,sehingga terjadi interaksi yang saling membutuhkan.Tat Twam Asi,sebuah kata yang singkat tetapi mempunyai arti yang mendalam.Ajaran yang masih saya ingat sampai sekarang yang membuat saya merasakan apa yang anda rasakan.Jika kita mempunyai kelebihan,maka bagilah kelebihan itu kepada yang kekurangan sehingga mereka merasakan juga kebahagiaan kita.:-)Jika kita dianugerahi kelebihan..,maka bagilah kepada mereka yang kekurangan (membutuhkan),sehingga mereka merasakan juga apa yang kita rasakan.:-)Ingatlahjika kita dengan ikhlas dan niat yang tulus,maka apa yang kita lakukan akan berbuah manis,karena berbagi tidak akan rugi.Apa yang kita lakukan akan dibalas Tuhan dengan pahala

Tri Kaya Parisuda artinya tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu berpikir yang bersih dan suci (Manacika), berkata yang benar (Wacika) dan berbuat yang jujur (Kayika). Dari tiap arti kata di dalamnya, Tri berarti tiga; Kaya bararti Karya atau perbuatan atau kerja atau prilaku; sedangkan Parisudha berarti "upaya penyucian".Jadi "Trikaya-Parisudha berarti "upaya pembersihan/penyucian atas tiga perbuatan atau prilaku kita".

PENYUCIAN PIKIRAN (MANACIKA)

Inilah tindakan yang harus diprioritaskan, karena pada dasarnya semua hal bermula disini. Ia menjadi dasar dari prilaku kita yang lainnya (perkataan dan perbuatan); dari pikiran yang murni akan terpantul serta terpancarkan sinar yang menyejukan orang-orang disekitar kita, sebaliknya pikiran keruh akan meruwetkan segala urusan kita, walaupun sebenarnya tak perlu seruwet itu. Tentu ruwet tidaknya suatu permasalahan, amat tergantung padacara kita memandang serta cara kita menyikapinya.

Bila pandangan kita sempit dan gelap, semuanya akan menjadi sumpek dan pengap. Sebaliknya bila pandangan kita terang, segala hal akan tampak jelas sejelas-jelasnya. Ibarat mengenakan kacamata, penampakan yang diterima oleh mata amat tergantung pada kebersihan, warna bahan lensanya, serta kecangihan dari bahan lensanya. Jadi, apapun adanya suatu keberadaan, memberikan pancaran objektif bagi kita, namun kita umumnya tidak dapat menangkapnya dengan objektif.

Pandangan kotor akan menampakkan objek kotor dan tidak murni dimata kita. Apabila cara pandang serupa itu kita gunakan memandang berbagai fenomena hidup dan kehidupan, tentu hidup kita menjadi ruwet, menimbulkan duka-nestapa, serta berbagai kondisi-kondisi pikiran negatif. Hal inilah yang terjadi dalam pikiran kita. Pikiran kita menjadi kotor dan suram pandangan kita sendiri. Untuk itu hanya kita sendiri yang dapat membersihkannya. Hal ini dalam Hindu disebutkan :"tak ada makhluk dari alam manapun yang dapat menyucikan batin kita, apabila kita sendiri tidak bergerak dan berupaya kearah itu, terlebih benda-benda materi, tentu tak mungkin menyucikan siapa-siapa".

Untuk menyucikan pikiran, perlu memperbaiki pandangan terlebih dahulu. Untuk memperbaiki pandangan, diperlukan pemahaman yang baik dan mencukupi tentang falsafah ajaran agana yang dapat dipelajari dari kitab suci dan bimbingan guru. Melalui hal tersebut, banyak kegelapan dan kegalauan batin kita menjadi sirna, terbitnya cahaya terang dalam batin melalui bimbingan beliau, membantu mempercepat proses menuju tujuan akhir.

Tiga macam implementasi pengendalian pikiran dalam usaha untuk menyucikannya, disebutkan di dalam Saracamuscaya, adalah:

1. Tidak menginginkan sesuatu yang tidak layak atau halal. 2. Tidak berpikiran negatif terhadap makhluk lain. 3. Tidak mengingkari HUKUM KARMA PHALA.

Demikianlah disebutkan didalam salah satu Kitab Suci umat Hindu, bila kita cermati inti dari tiga hal di atas adalah bahwa dengan faham karma phala sebagai hukum pengatur yang bersifat universal, dapat membimbing mereka, yang meyakininya untuk berpola pikir yang benar dan suci.

PENYUCIAN PERKATAAN (WACIKA).

Terdapat empat macam perbuatan melalui perkataan yang patut di kendalikan, yaitu:

1. Tidak suka mencaci maki. 2. Tidak berkata-kata kasar pada siapapun. 3. Tidak menjelek-jelekan, apalagi memfitnah makhluk lain. 4. Tidak ingkar janji atau berkata bohong.

Demikianlah disebutkan dalam Sarasamuscaya; kiranya jelas bagi kita bahwa betapa sebetulnya semua tuntunan praktis bagi pensucian batin telah tersedia. Kita harus dapat menerapkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing.

PENYUCIAN PERBUATAN FISIK dan PRILAKU (KAYIKA).

Terdapat tiga hal utama yang harus dikendalikan, yaitu:

1. Tidak menyakiti, menyiksa, apalagi membunuh-bunuh makhluk lain. 2. Tidak berbuat curang, sehingga berakibat merugikan siapa saja. 3. Tidak berjinah atau yang serupa itu.

Demikianlah sepuluh hal penting dalam pelaksanaan Tri Kaya Parisudha sesuai dengan apa yang dijabarkan dalam kitab Saracamuscaya. Pengamalan Tri Kaya Parisudha dalam kehidupan sehari-hari sangat diperlukan untuk membentuk karma serta hubungan yang baik antar sesama umat.

Meluruskan Pengertian Desa Kala PatraDaatavyam iti yad daanamdiyate nupakaarine.desa kala ca paatre ca.tad daanam saatvikam smrtam.(Bhagavad Gita XVII.20)Maksudnya: Dana punia yang diberikan dengan tulus ikhlas dengan tidak mengharapkan hasilnya, diyakini sebagai kewajiban suci dan diberikan sesuai dengan aturan setempat (desa), pada waktu yang tepat (kala) dan diberikan kepada orang yang tepat (patra). Pemberian yang demikian itu disebut Satvika Daana.Penggunaan istilah desa kala patra di kalangan umat Hindu umumnya dan masyarakat Bali khususnya sudah sangat populer. Bahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun ini menggunakan tema Desa Kala Patra: Adaptasi diri dalam multi kultur. Pemilihan tema ini mungkin sebelumnya kurang didasari dengan pengertian yang benar tentang pengertian desa kala patra menurut pustaka suci. Pengertian desa kala patra yang dipahami pada umumnya tidak seperti pengertiannya dalam pustaka suci seperti Bhagavad Gita dan Sarasamuscaya. Umumnya Desa Kala Patra itu dipahami sebagai pedoman menerapkan Agama Hindu dan budaya Bali yang dijiwai Agama Hindu. Desa diartikan tempat, kala waktu dan patra keadaan. Pengertian Desa Kala Patra menurut Sloka Bhagavad Gita XVII.20 di atas sangat berbeda dengan pengertian umum. Dalam Bhagavad Gita XVII.20 dinyatakan bahwa Desa Kala Paatra sebagai pedoman untuk berdaana punia. Daana Punia yang benar dan baik itu disebut Satvikadaana. Dana Punia yang benar dan baik itu adalah harus sesuai dengan petunjuk rohani yang berlaku di tempat tersebut. Petunjuk rohani yang berlaku setempat itulah disebut desa. Sedangkan kala artinya daana punia yang benar itu dilakukan pada waktu Satvika Kala. Waktu Satvika itu saat masih pagi. Sedangkan Paatra artinya daana punia itu harus diberikan pada orang yang tepat dan baik. Kalau diberikan pada orang yang tidak baik dan tidak tepat disebut Tamasika Dana. Dalam Bhagavad Gita XVII.22 orang yang tidak tepat diberikan daana punia itu disebut Apaatra.Orang yang tepat diberikan daana punia disebut Paatra. Dalam Sarasamuscaya 271 dinyatakan Paatra ngarania sang yogia wehana daana yang artinya Paatra namanya orang yang sepatutnya diberikan daana punia. Dalam Sarasamuscya sloka 181 juga sudah dinyatakan dengan istilah supaatra yang juga artinya orang yang baik dan seyogianya diberikan daana punia. Dalam kamus Sansekerta kata Paatra itu banyak artinya. Tetapi dalam kaitannya dengan Desa Kala Paatra dalam Bhagavad Gita dan Sarasamuscaya sudah sangat jelas artinya yaitu orang yang seyogianya diberikan daana punia. Sedangkan untuk mensukseskan pengamalan agama atau dharma sudah sangat jelas juga dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII.10. Ada lima dasar pertimbangan agar pengamalan agama atau dharma sukses. Dalam sloka Manawa Dharmasastra VII.10 disebut Dharmasidhiartha artinya suksesnya tujuan dharma atau agama. Ada lima dasar pertimbangan yang dinyatakan dalam sloka tersebut yaitu Iksha, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa. Iksha artinya pandangan masyarakat, Sakti kemampuan masyarakat, Desa aturan rohani yang berlaku setempat, Kala artinya waktu. Tattwa artinya kebenaran Weda. Maksudnya Tattwa itulah diterapkan sesuai dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Inilah yang lebih tepat dimaknai sebagai dasar adaptasi diri dalam multi kultur. Hal ini menyebabkan bentuk luar tradisi beragama Hindu berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lainya. Tattwa itu yang mutlak, penerapannya yang dapat disesuikan dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Bagaikan makan nasi boleh pakai piring, pakai daun, kertas minyak maupun pakai rantang. Yang penting isinya sama yaitu nasi. Demikianlah Tattwa intisari Weda boleh dikemas dengan tradisi India, tradisi Kalimantan, tradisi Jawa, tradisi Bali dan sebagainya. Yang penting isi Tattwa inti Weda. Karena itu istilah Desa Kala Paatra itu dikembalikan hanya sebagai dasar melakukan Satvika Daana. Kalau adaptasi diri dalam multi kultur itu tanpa dasar Tattwa tentunya berbahaya. Tattwa itu adalah sumber jati diri. Kalau Patra diartikan keadaan, Desa tempat dan Kala waktu dijadikan dasar melakukan adaptasi diri dalam multikultur bisa kebudayaan kita terombang-ambing terus mengikuti keadaan zaman tempat dan waktu yang terus berubah. Idealnya kitalah seyogianya merencanakan perubahan itu agar jati diri (Tattwa) tetap berlanjut sepanjang zaman. Dalam mengamalkan kebenaran atau Tattwa bentuknyalah yang disesuaikan dengan Iksa, Sakti, Desa dan Kala. Tattwa itu adalah kebenaran yang paling hakiki yang harus tetap ajeg tidak boleh berubah sepanjang zaman dan dimana pun. Seperti makanan unsur intinya harus tetap ada seperti karbohidrat, lemak, vitamin, protein, asam amino dll. Bentuk dan cara penyajianya boleh berubah-ubah, tetapi substansi makanan itu tetap kekal. Bentuk itu tidak boleh merubah fungsi. Seperti zat pewarna dalam makanan, jangan mengubah makanan itu menjadi racun. Manusia dari suku dan bangsa mana pun dia membutuhkan unsur-unsur itu seperti karbohidrat, protein, vitamin, asam amino. Demikian juga dalam hal kebudayaan Bali jangan menggunakan dasar Desa Kala Patra dalam arti tempat, waktu dan keadaan sebagai dasar membangun adaptasi diri dalam multikultur. Sebaiknya kembali pada pengertian yang benar menurut ketentuan kitab suci.Kalau dipakai dasar pertimbangan Iksa, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa sebagai mana dinyatakan dalam Manawa Dharma Sastra VII.10 adaptasi budaya dalam multikultur itu kita dapat mengikuti perubahan dengan tetap menguatkan jati diri kita tidak kehilangan Tattwa. Pada kenyataannya aspek Tattwa inilah yang sering ditinggalkan secara tidak sengaja oleh sementara pihak karena kurang cerdasnya kita menghadapi perubahan yang sudah pasti itu. Berbagai bentuk budaya spiritual Hindu di Bali dalam penampilannya ada sementara yang dieksistensikan jauh meninggalkan Tattwanya. Padahal dalam teks Lontar petunjuknya sudah amat jelas tersurat jelas apa yang semestinya dilakukan. Karena itu perlu ditumbuhkembangkan budaya baca di kalangan umat pendukung kebudayaan Hindu di Bali.

Karmaphala terdiri dari dua kata yaitu karma dan phala, berasal dari bahasa Sanskerta. "Karma" artinya perbuatan dan "Phala" artinya buah, hasil, atau pahala. Jadi Karmaphala artinya hasil dari perbuatan seseorang. Kita percaya bahwa perbuatan yang baik (subha karma) membawa hasil yang baik dan perbuatan yang buruk (asubha karma) membawa hasil yang buruk. Jadi seseorang yang berbuat baik pasti baik pula yang akan diterimanya, demikian pula sebaliknya yang berbuat buruk, buruk pula yang akan diterimanya. Karmaphala memberi keyakinan kepada kita untuk mengarahkan segala tingkah laku kita agar selalu berdasarkan etika dan cara yang baik guna mencapai cita- cita yang luhur dan selalu menghindari jalan dan tujuan yang buruk.Phala dari karma itu ada tiga macam yaitu: 1Sancita KarmaphalaPhala dari perbuatan dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita sekarang.

2Prarabda KarmaphalaPhala dari perbuatan kita pada kehidupan ini tanpa ada sisanya lagi.

3Kriyamana KarmaphalaPhala perbuatan yang tidak dapat dinikmati pada saat berbuat sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang.

Dengan pengertian tiga macam Karmaphala itu maka jelaslah, cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum. Karmaphala mengantarkan roh (atma) masuk Surga atau masuk neraka. Bila dalam hidupnya selalu berkarma baik maka pahala yang didapat adalah Surga, sebaliknya bila hidupnya itu selalu berkarma buruk maka hukuman nerakalah yang diterimanya. Dalam pustaka- pustaka dan ceritera- ceritera keagamaan dijelaskan bahwa Surga artinya alam atas, alam suksma, alam kebahagiaan, alam yang serba indah dan serba mengenakkan. Neraka adalah alam hukuman, tempat roh atau atma mendapat siksaan sebagai hasil dan perbuatan buruk selama masa hidupnya. Selesai menikmati Surga atau neraka, roh atau atma akan mendapatkan kesempatan mengalami penjelmaan kembali sebagai karya penebusan dalam usaha menuju Moksa.

Cikal bakal Unud adalah Fakultas Sastra Udayana cabang Universitas Airlangga yang diresmikan oleh P. J. M. Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno, dibuka oleh J. M. Menteri P.P dan K. Prof. DR. Priyono pada tanggal 29 September 1958 sebagaimana tertulis pada Prasasti di Fakultas Sastra Jalan Nias Denpasar. Universitas Udayana secara sah berdiri pada tanggal 17 Agustus 1962 dan merupakan perguruan tinggi negeri tertua di daerah Provinsi Bali. Sebelumnya, sejak tanggal 29 September 1958 di Bali sudah berdiri sebuah Fakultas yang bernama Fakultas Sastra Udayana sebagai cabang dari Universitas Airlangga Surabaya. Fakultas Sastra Udayana inilah yang merupakan embrio dari pada berdirinya Universitas Udayana. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri PTIPNo.104/1962, tanggal 9 Agustus 1962, Universitas Udayana secara syah berdiri sejak tanggal 17 Agustus 1962. Tetapi oleh karena hari lahir Universitas Udayana jatuh bersamaan dengan hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia maka perayaan Hari Ulang Tahun Universitas Udayana dialihkan menjadi tanggal 29 September dengan mengambil tanggal peresmian Fakultas Sastra yang telah berdiri sejak tahun 1958,