TESIS ORANG BALI YANG LAIN Proses Saling Me- liyan -kan ...Di antara orang Bali se ndiri terjadi...
Transcript of TESIS ORANG BALI YANG LAIN Proses Saling Me- liyan -kan ...Di antara orang Bali se ndiri terjadi...
i
TESIS
ORANG BALI YANG LAIN
Proses Saling Me-“liyan”-kan Antara Orang Nusa Penida
dan Bali Daratan
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar
Magister Humaniora (M.Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Disusun Oleh :
I Dewa Nyoman Ketha Sudhiatmika
06 6322 007
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
ii
iii
iv
v
vi
KATA PENGANTAR
Seorang kawan pernah berkata kalau saya hanya numpang lahir di Nusa
Penida dan memang benar demikian adanya. Saya tidak pernah benar-benar bertanah
air di pulau kecil itu, saya besar, mendapat pendidikan dan menghabiskan sebagian
besar hidup saya di Bali daratan. Akan tetapi saya tetap memiliki hubungan yang tak
terkatakan dengan Nusa Penida, saya selalu merasa kalau saya tidak pernah benar-
benar menjadi orang Bali daratan, saya selalu dan tetap orang Nusa Penida. Ketika
akhirnya saya memutuskan untuk menulis tentang Nusa Penida, saya tidak pernah
menyangka akan sampai di titik ini, di titik dimana saya menemukan banyak hal
mencengangkan dalam hubungan antara Nusa Penida dan Bali daratan.
Penelitian ini mengantarkan saya sampai ke Gedong Kirtya, Singaraja. Teks
mengenai sejarah Bali tersebar acak di tempat tersebut, mulai dari yang belum
mengalamai proses transliterasi sampai yang telah di gandakan dalam bentuk buku
sederhana. Saya menemukan sampai tiga Babad Dalem yang ditulis dengan perspektif
yang berbeda. Kesulitan pertama adalah memilah Babad Dalem versi mana yang
mesti saya gunakan. Kesulitan awal ini mengantarkan saya bertemu dengan Gus Tut
Akah yang kemudian memberikan teks Babad Usana Bali Pulina. Teks inilah yang
saya pakai sebagai teks utama untuk menyusuri sejarah Bali. Melalui Gus Tut Akah
saya menemukan jalan untuk bertemu dengan Dewa Catra, seorang ahli lontar yang
vii
sering tergabung dalam proyek alih aksara lontar dan mendapatkan banyak kisah
mengenai Bali daratan dan Nusa Penida.
Ketika saya berhasil menyelesaikan draft bab II dari tesis ini, saya diminta
untuk mempresentasikan temuan saya di Taman 65, Denpasar. Sebuah diskusi kecil
dan hangat pun terjadi. Komentar-komentar baik yang langsung mengenai tesis ini
maupun tidak secara tidak langsung mempengaruhi cara saya menulis tesis ini.
Setelah diskusi itu, seorang teman, Roro memperkenalkan saya dengan Gusti Mangku
Kebyar, seorang pemangku (pemuka agama) yang berasal dari Bedulu. Dari beliaulah
saya mendapatkan kisah mengenai raja Bedahulu sampai perubahan nama Bedahulu
menjadi Bedulu.
Dalam perjalanan menyelesaikan penelitian ini saya sempat tersandung dan
mengira tidak akan bisa menyelesaikannya tepat waktu. Tapi saya cukup beruntung
karena Dr. Budiawan sebagai pembimbing satu selalu memberi semangat dengan
sms-sms beliau yang menusuk dan membangkitkan semangat. Dalam banyak
kesempatan ketika saya tersandung, Degung Santikarma hampir selalu hadir menjadi
teman diskusi yang menyenangkan. Dan Tumm Tumm untuk sebuah alasan yang
terlalu jelas untuk disebutkan. Tidak lupa, kedua orang tua saya yang selalu ada untuk
saya dari awal (dan saya yakin) akan selalu ada untuk saya. Demikian juga Wiss,
orang yang telah menjadi sahabat, saudara dan musuh saya selama ini. Kepada orang-
orang itulah karya ini saya persembahkan.
viii
Teman-teman selama saya di IRB: Udin, Hasan, Dona, Elida, Mba Budis, dan
Ridho, terimakasih untuk kisah pertemanan yang saya harap tak akan pernah
berakhir. Kepada mereka yang menemani saya belajar: Pak Nardi, Mba Katrin, Mba
Devi, Mas Tri, Romo Bas, Pak George, dan Romo Banar semoga masih mau
menemani saya belajar meski saya telah meninggalkan IRB serta Dr. Anton Haryono
yang telah bersedia menjadi pembimbing dua. Kawan-kawan yang menemani saya
melewati hari-hari selama di Jogja: Jicek, Tombro, Goen, Tjuan, Eat, Tatang, dan
Hendra. Saudara-saudara saya di Nusa Penida yang dengan sabar menjawab setiap
pertanyaan bodoh saya. Teman-teman sepermainan di Denpasar yang juga banyak
membantu dalam proses pengerjaan tesis ini. Kalian semua tahu betapa berartinya
kalian untuk saya.
Yogyakarta, 24 Mei 2010
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING i
LEMBAR PENGESAHAN ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA iii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI iv
LEMBAR PERNYATAAN v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI ix
ABSTRAK xi
BAB I: PENDAHULUAN
I. Latar Belakang 1
II. Rumusan Masalah 6
III. Tujuan Penelitian 8
IV. Kerangka Teori 10
V. Tinjauan Pustaka 14
VI. Metode Penelitian 18
VII. Sistematika Penulisan 21
BAB II: MEMBACA ULANG SEJARAH KLUNGKUNG: Kisah-kisah Usaha Penjinakan
I. Bali Sebelum Majapahit: Kuasa Berwajah Angkara 25 II. Dari Samprangan Sampai Puputan Klungkung 34 III. Nusa Penida Versus Bali Daratan 42
BAB III: RATU GEDE MECALING DAN PRIMITIVISASI NUSA PENIDA:
Anak Sakti, Masiat Kapetengan dan Ngeleak
I. Anak Sakti 53 II. Masiat Kepetengan 70 III. Ngeleak 74
BAB IV: INDUSTRI PARIWISATA, AJEG BALI DAN ABSURDITAS KE-
LOKAL-AN PASCA KOLONIAL
I. Latar Belakang 81 II. Absurditas Ke-lokal-an Pasca Kolonial 93 III. The Other, Self dan Misrecognition 98
x
BAB V: KESIMPULAN
I. Kumpulan Kepentingan Hasrat 111 II. Mitos, Primitivisasi dan Pe-liyan-an 115 III. Sebuah Perulangan Yang Disepakati 117
DAFTAR PUSTAKA 121
LAMPIRAN LAMPIRAN
ABSTRAK
Tesis ini mendiskusikan proses saling me-liyan-kan antara orang Nusa Penida dan orang
Bali daratan. Tesis ini mencoba melihat bagaimana orang Bali daratan dan orang Nusa Penida
pandang-memandang. Dengan latar belakang industri pariwisata di Bali modern, apa yang terjadi
dalam aktivitas pandang-memandang tersebut.
Untuk kepentingan tersebut, tesis ini pertama-tama mengeksplorasi sejarah Bali baik
dalam bentuk tertulis maupun oral. Rentang waktu yang diambil untuk mendiskusikan sejarah
Bali diambil dari jaman pra kolonial sampai masa kerajaan Klungkung. Sejarah oral Bali penuh
dengan mitos yang masih diamini sampai sekarang, karena itu tesis ini juga mengeksplorasi
mitos-mitos yang berkaitan dengan aktivitas pandang-memandang antara orang Bali daratan dan
orang Nusa Penida. Secara umum Bali (modern) tergantung pada industri pariwisata, karena
itulah tesis ini juga mendiskusikan pengalaman orang Nusa Penida dan Bali daratan yang
“hidup” dalam industri ini.
Diskusi akhir tesis ini menunjukkan bahwa proses saling me-liyan-kan telah terjadi
semenjak masa pra kolonial dan terus berlanjut sampai masa Bali modern. Proses ini terekam
dalam bentuknya yang paling modern, yaitu tulisan serta tertanam dalam mitos yang diceritakan
selama bergenerasi-generasi.
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Pada tahun 1920 Belanda menetapkan sebuah cetak biru “pembangunan” Bali.
Belanda merancang Bali sebagai benteng terakhir terhadap serbuan nasionalisme
dengan melancarkan program Baliseering, mem-Bali-kan Bali. Otak di belakang
program ini adalah Bali Instituut, yang secara umum bertugas mengkaji dan
mengusulkan kebijakan-kebijakan yang harus dilakukan pemerintah kolonial Belanda
di Bali. Pada masa ini pula pengajaran bahasa, kesusastraan dan seni tradisi Bali di
kalangan anak muda Bali dilaksanakan dengan tujuan agar mereka sadar akan
kekayaan budayanya.
Pada dekade 1960-an ketika Bank Dunia terlibat dalam pengembangan
industri turisme internasional, Bali kembali menjadi sorotan. Sebelumnya Bank
Dunia meminta Kurt Krapf, seorang ekonom Swiss, menganalisa keuntungan industri
turisme bagi perkembangan ekonomi negara dunia ketiga dan perdagangan
internasional secara umum. Pada periode ini pula Bank Dunia memberi pinjaman
kepada pemerintah Indonesia untuk proyek perluasan bandara Ngurah Rai, untuk
kemudian diresmikan pada tahun 1969 sebagai bandara internasional. Bersamaan
dengan Repelita I (1969-1974), Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF),
dan Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) menetapkan turisme
2
internasional sebagai penentu ekonomi nasional dan menjadikan Bali sebagai situs
utama. Tahun 2000-an Bank Dunia (bekerja sama dengan United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan United Nations
Conference on Trade And Development (UNCTAD)) kembali meluncurkan
rancangan pembangunan Bali di bawah judul ‘Kebijakan dan Strategi untuk
Konservasi Warisan Budaya Bali’ dengan menekankan pentingnya perawatan dan
pelestarian budaya bagi kelangsungan industri turisme. Master plan Bank Dunia
menargetkan wilayah Sanur-Kuta-Nusa Dua-sebagian kecil ujung selatan Pulau Bali
sebagai target utama pengembangan industri turisme1. Dari paparan singkat ini
tampak bahwa tema “keaslian” Bali pada dasarnya telah ditetapkan semenjak 1920-
an.
Pasca jatuhnya Soeharto, wacana otonomi daerah berkembang. Segala macam
keputusan yang bersifat lokal adalah kewenangan pemerintah daerah, demikian juga
halnya dengan masalah pendanaannya. Di Bali sendiri wacana otonomi daerah
“dimulai” dengan penguatan masyarakat adat dan nilai-nilai ke-Bali-an. Sebagai
penanda adalah lahirnya pecalangan2. Ketika bom meledak di Kuta pada tahun 2002
(dan kemudian di Jimbaran dua tahun setelahnya) pecalangan lalu menunjukkan
eksistensinya sebagai penjaga kebudayaan Bali dari serangan “pihak luar”.
1 Ambara, Alit, “Proyek Kolonial Bank Dunia Mem-Bali-kan Bali”, sisipan Media Kerja Budaya edisi 05/2001. 2 Bahasa Bali: secara kasar bisa diterjemahkan sebagai satuan pengamanan adat.
3
Penduduk Bali pun terpecah menjadi dua kubu: “penduduk pendatang” dan
“penduduk asli”. “Penduduk pendatang” adalah orang-orang yang berasal bukan dari
Bali, seperti misalnya yang selama ini menjadi stereotipe; orang Jawa, beragama
Islam, berjenggot dan seterusnya. Pasca ledakan inilah kekuatan “penduduk
pendatang” dieliminir dengan memunculkan anggapan bahwa mereka adalah
pengacau. Sementara “penduduk asli” adalah orang yang bernama khas Bali (seperti
misalnya Gede, Made dan seterusnya), berbahasa Bali, dan seterusnya. Berbanding
terbalik dengan apa yang terjadi dengan “penduduk pendatang”, “penduduk asli”
dianggap sebagai pemilik sah segala apapun yang terberi dan terkandung di tanah
Bali. Sampai di sini terlihat bahwa Yang lain dalam masyarakat Bali adalah mereka
yang “benar-benar bukan Bali”. Namun sebenarnya tidaklah demikian yang terjadi
pada tingkat “akar rumput”. Di antara orang Bali sendiri terjadi proses saling me-
liyan-kan.
Proses saling me-“liyan”-kan di antara orang-orang Bali ini bisa dikatakan
sebagai sebuah proses yang nyaris tak terlihat. Saya katakan demikian karena Bali
pasca wacana otonomi daerah, pasca bom, telah memiliki “musuh bersama” yang
jelas terpampang di depan mata. Letupan-letupan kecil di dalam dianggap sebagai
konsekwensi hidup bersama. Demikian tersebutkan dalam peribahasa lokal:
celebingkah batan biu, gumi linggah ajak liu3. Peribahasa ini seakan mengajak untuk
3 Bahasa Bali: secara kasar bisa diterjemahkan sebagai; potongan genteng di bawah pisang, dunia tidak kecil beragamlah tabiat orang.
4
memendam dalam-dalam sesuatu yang terjadi, mengapa ia terjadi, siapa pelaku
kejadian dan seterusnya selama pelakunya bisa diidentifikasikan sebagai “orang
dalam”. Namun ia tidak dilupakan begitu saja, ia mengendap dan menunggu waktu
untuk meledak. Dalam hal ini, Yang lain bukan hanya mereka yang berasal dari luar
pulau, melainkan juga mereka yang bukan berasal dari Denpasar.
Denpasar (dan Badung) sebagai sebuah ruang yang selama ini
merepresentasikan Bali merupakan sebuah “kota besar” dimana orang-orang Bali
“berkumpul” dan mencari peluang untuk memperbaiki taraf hidupnya. Kebanyakan
dari mereka yang bukan dari Denpasar (dan Badung) mencari peluang kerja di sektor
pariwisata, bersaing dengan orang-orang setempat dan orang-orang dari luar pulau.
Sementara bagi mereka yang tidak cukup memiliki modal untuk bertarung di wilayah
pariwisata, biasanya menjadi buruh dan atau pedagang keliling.
Salah satu kelompok orang Bali “Yang lain” adalah mereka yang berasal dari
Nusa Penida. Nusa Penida secara geografis adalah sebuah pulau kecil di kaki pulau
Bali, yang berada di wilayah administratif kabupaten Klungkung, salah satu
kabupaten terkecil di Bali. Pulau kecil ini kerapkali disebut sebagai pulau yang
tertinggal, kering, “primitif”, dan seterusnya. Kebanyakan penghuni pulau ini
merantau ke Denpasar untuk memperbaiki taraf hidupnya. Demikian pula dengan
anak-anak muda yang ingin melanjutkan sekolah. Mereka pertama-tama akan
memilih Denpasar sebagai kota tujuannya, kemudian Buleleng.
5
Pilihan Denpasar sebagai tujuan utama ini bukannya tanpa alasan. Pertama-
tama karena Denpasar adalah “kota besar” yang menunjukkan gengsi yang lebih
tinggi4. Kota ini memiliki apa yang tidak dimiliki kota lain di Bali, sebutlah mulai
dari pusat-pusat perbelanjaan sebagai penanda kemajuan sampai sekolah-sekolah
hingga perguruan tinggi ternama sebagai penanda keberkelasan. Kemudian di kota ini
pula kesempatan untuk mendapat penghidupan lebih layak terbuka jauh lebih luas
dibandingkan dengan kota lainnya (meski tidak selalu tepat demikian). Yang menarik
untuk dicatat adalah bagaimana orang-orang Nusa Penida menyebut kota tujuannya di
Bali daratan, entah itu Denpasar ataupun kota lainnya, dengan sebutan Bali atau
kaja5. Istilah kaja sendiri sudah merujuk pada suatu ambiguitas kuasa. Istilah kaja
biasanya disandingkan dengan istilah kelod6 (sebagaimana orang-orang Bali daratan
menyebut Nusa Penida).
Istilah kaja-kelod sendiri mungkin bisa disandingkan dengan istilah kiwa-
tengen7, atau dengan kata lain; baik-buruk. Suatu peristilahan yang ambigu dalam
konsep masyarakat Bali secara umum. Ia adalah semacam istilah lain untuk menyebut
dualitas yang selalu hadir dalam kehidupan masyarakat Bali. Dalam pemikiran
masyarakat Bali secara umum, yang baik tidaklah selalu baik demikian juga
sebaliknya. Namun tidak demikian setelah “pemapanan” Hindu oleh gerakan Hindu
4 Untuk perbandingan luas wilayah dan jumlah populasi di Denpasar dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di Bali, lihat lampiran I. 5 Bahasa Bali: utara. 6 Bahasa Bali: selatan. 7 Bahasa Bali: kiri-kanan.
6
Dharma melalui organisasi Parisada Hindu Darma sebagai “agama resmi” di Bali
tahun 1950-an8. Batasan baik-buruk, kiwa-tengen, kaja-kelod, dipertegas: hal yang
mengacu pada kelod, dan atau kiwa selalu merujuk pada hal yang salah dan atau
buruk.
Dengan kalimat yang lain bisa dikatakan kalau pada akhirnya kaja
dipresentasikan hanya sebagai simbol kebaikan dan kelod adalah kebalikannya.
Dengan demikian, jika ditarik kembali pada diskusi hubungan Nusa Penida-Bali
daratan, Bali daratan dengan demikian merepresentasikan suatu kebaikan dan
sebaliknya dengan Nusa Penida. Dari penyebutan antar dua tempat ini saja sudah
terlihat bagaimana mereka saling me-liyan-kan satu dengan yang lainnya.
II. Rumusan Masalah
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendiskusikan persoalan identitas ke-Bali-
an yang di permukaan terlihat tunggal dan solid. Persoalan besar ini dipecah menjadi
tiga permasalahan pokok, yaitu: permasalahan historis, perwujudannya dalam bentuk
folklore, dan peranan industri pariwisata.
Hal pertama yang akan didiskusikan adalah proses historis terbentuknya
praktek saling me-liyan-kan antara orang-orang Nusa Penida dan Bali daratan.
Sebagai pengantar diskusi akan dibahas perjalanan historis kerajaan Klungkung
sebagai kerajaan tertua di Bali. Seperti yang telah disebutkan di atas, Nusa Penida 8 Geertz, Hildred, Sakti Conjunction; New Views on Balinese “Religion”
7
berada dalam wilayah administrasi Klungkung. Dari pembahasan mengenai kerajaan
Gelgel kemudian akan dibahas perjalanan Gelgel menaklukkan Nusa Penida sampai
akhirnya Nusa Penida menjadi bagian dari kerajaan Gelgel. Setelah kedatangan
Belanda di Bali, sampai akhirnya cetak biru pembangunan Bali dibuat oleh
pemerintah Belanda.
Seperti yang telah disebutkan di atas, sejak tahun 1920-an pemerintah
kolonial Hindia Belanda telah memberikan cetak biru pembangunan Bali secara
umum. Yang kemudian akan didiskusikan dalam penelitian ini adalah apakah
kejadian-kejadian di Bali daratan secara historis mempengaruhi kehidupan di Nusa
Penida. Juga akan didiskusikan apakah kolonialisme bisa dijadikan penanda
pembentukan proses tersebut.
Hal kedua yang akan didiskusikan adalah bagaimana proses tersebut mewujud
ke dalam kehidupan sehari-hari. Yang dicermati dalam diskusi ini adalah folklore.
Folklore dipilih dengan asumsi ia telah menyebar secara massif dalam kehidupan
“relijius” dan keseharian orang-orang Bali secara umum. Pemilihan folklore dalam
diskusi ini berdasarkan kisah yang tertuang di dalamnya. Kisah yang saya maksudkan
adalah yang berhubungan dengan permasalahan pandang-memandang antara orang-
orang Nusa Penida dan Bali daratan.
Hal selanjutnya yang akan didiskusikan adalah peranan industri pariwisata
dalam proses saling me-liyan-kan ini. Dengan asumsi bahwa Industri pariwisata
8
digunakan sebagai sarana untuk memulihkan citra rezim orde baru setelah peristiwa
1965 (dan tentu saja merupakan salah satu proyek Bank Dunia), seberapa penting
industri ini bagi orang-orang Bali. Industri pariwisata telah masuk sampai ke ruang-
ruang privat orang-orang Bali: mulai dari rapat keluarga untuk menjual tanah warisan
sampai menentukan sekolah pariwisata yang paling bonafid untuk sang anak. Dengan
demikian apakah industri ini mampu mengeliminir proses saling me-liyan-kan antara
orang Nusa Penida dan orang Bali daratan. Lebih jauh lagi apakah dalam industri ini
mereka menemukan momen untuk menyatakan “kita”. Hal ini penting untuk dilihat
karena Bali pasca kolonial, pasca wacana otonomi daerah, pasca bom telah terlatih
untuk menyenangkan hati para wisatawan. Lebih jauh lagi, momen seperti apa serta
apa yang menyebabkan momen ini terjadi, juga penting untuk didiskusikan.
III. Tujuan Penelitian
Selama ini proses saling me-liyan-kan yang terjadi di Bali dipandang hanya
terjadi di antara “penduduk pendatang” dalam arti orang-orang dari luar pulau Bali
dengan “penduduk asli”. Seperti yang telah saya paparkan di atas, proses saling me-
liyan-kan itu juga terjadi dalam pergaulan antara orang-orang Bali sendiri. Dua proses
ini saya bedakan karena ketika orang-orang Bali memandang keluar, mereka
menemukan orang lain, dalam artian orang-orang dari luar pulau. Kemudian ketika
mereka “memandang dirinya” mereka juga menemukan “person lain” dalam dirinya.
9
Namun tidak bisa dipungkiri, persoalan pandang-memandang ini masih dalam
kerangka pencarian “luar-dalam”. Bisa dikatakan kalau proses ini merupakan dua hal
yang berbeda sekaligus sama. Ia tidak bisa disamakan dan pada waktu bersamaan ia
tidak bisa dibedakan.
Penelitian ini mencoba mendiskusikan bagaimana proses itu terjadi secara
kultural dan historis. Diskusi ini bertujuan memeriksa bagaimana proses itu bisa
terjadi secara historis, kemudian dilanggengkan secara kultural, lalu “disahkan” dan
dianggap sudah semestinya terjadi. Secara umum proses ini terjadi melalui industri
pariwisata yang telah dikenal di Bali selama bertahun-tahun. Hampir sebagian besar
orang-orang Bali secara umum menggantungkan hidupnya pada industri ini.
Tidak hanya orang-orang Bali yang bergantung pada industri ini, orang-orang
dari luar pulau Bali yang merantau ke Bali juga banyak yang tergantung pada industri
ini. Namun dalam penelitian ini yang akan dicermati adalah apakah industri
pariwisata berperan dalam proses saling me-liyan-kan antar orang-orang Bali sendiri,
ataukah ia mengeliminir proses saling me-liyan-kan tersebut. Dalam hubungannya
dengan industri pariwisata, penelitian ini bertujuan untuk memahami peran industri
ini dalam proses historis tersebut.
Signifikansi penelitian ini adalah untuk lebih memahami posisi orang-orang
Nusa Penida di Bali daratan. Dan juga sebaliknya, untuk bisa memahami posisi
orang-orang Bali daratan dalam hubungannya dengan Nusa Penida. Untuk wilayah
10
keilmuan, mengingat kajian politik identitas dalam ranah Bali studies merupakan
kajian minor, penelitan ini diharap bisa menjadi catatan kaki atas penelitian-penelitian
yang telah ada sebelumnya, dan bisa pula menjadi bahan pertimbangan untuk
penelitian-penelitian selanjutnya. Secara lebih spesifik dalam kaitannya dengan kajian
tentang Bali, penelitian ini mengetengahkan dua hal kecil yang terkadang luput dari
pandangan. Pertama, bahwa mitos memegang peranan penting dalam pembentukan
identitas dalam kerangka pandang-memandang. Kedua, ke-lokal-an adalah sesuatu
yang absurd, yang tidak cukup untuk digunakan sebagai dasar pembentukan identitas
solid sebagaimana dibayangkan oleh ajeg Bali. Dalam hal ini, ke-lokal-an yang
dipandang secara esensialistik adalah sesuatu yang absurd dan berbahaya karena ia
tidak akan mengindahkan perbedaan dan dalam satu sisi ia akan menuju kepada
purifikasi (kultural).
IV. Kerangka Teori
Seperti yang telah disebutkan di atas, penelitian ini akan berusaha
mendiskusikan jalinan masalah identitas ke-Bali-an yang terlihat solid di permukaan.
Identitas ke-Bali-an yang pasca bom jilid I dan II dipertegas oleh sekelompok elit
melalui program Ajeg Bali ternyata menyimpan permasalahan di dalamnya. Bali
pasca ledakan bom berusaha menguatkan diri ke dalam. “Musuh” utamanya adalah
“orang luar”. Penegasan identitas “orang luar” mendapat legitimasi dari media lokal
11
yang didukung oleh negara, Bali Tv, Denpost, dan Bali Post. “Orang luar” yang
pantas dicurigai merusak kebudayaan Bali memiliki stereotype berikut; beragama
Islam, berjenggot, dan bernama khas Jawa (baca: Islam). Media jugalah yang secara
implisit menegaskan kesamaan identitas ke-Bali-an orang-orang Bali. Ketiga media
tersebut berada dalam naungan Kelompok Media Bali Post. Kelompok media inilah
yang “melahirkan” istilah Ajeg Bali9.
Pada dasarnya identitas menjadi penting ketika seseorang berhadapan dengan
Yang lain. Ketika berhadapan dengan Yang lain, kemungkinan terjadi misrecognition
dalam mengenali siapa berhadapan dengan siapa. Pada fase cermin Lacan,
misrecognition terjadi ketika seorang anak melihat pantulan dirinya di cermin. Ia
tidak bisa membedakan siapa yang ia lihat atau ia dilihat oleh siapa. Pada tahapan
inilah fantasi narsistik berkembang dan memapankan tatanan imajiner, yang
kemudian berurusan dengan masalah identifikasi serta penyamaan-penyamaan10.
Pada kasus penelitian ini, misrecognition menegaskan keberadaan Yang lain melalui
penegasan diri. Dengan kata lain, orang-orang Denpasar melihat pada dirinya sendiri
untuk menegaskan perbedaan antara dirinya dengan orang-orang Nusa Penida.
Hubungan self-other diperantarai oleh bahasa dalam pengertiannya yang
paling luas. Pada level inilah mitologi Barthesian memberikan faedahnya. Karena
komunikasi pada suatu komunitas tidak selalu terbatas pada oral speech, hubungan-
9 Narada, ABG Satria [et al], Ajeg Bali: Sebuah Cita-cita, Bali Post, tanpa tahun terbit. 10 Fink, Bruce, Lacanian Subject: Between Language and Jouissance, Princeton University Press, New Jersey, 1995
12
hubungan pada suatu komunitas bisa dan dapat dimaknai melalui cara komunikasinya
yang lain, yakni mitos. Sebagaimana dikatakan oleh Roland Barthes dalam mitologi,
bahwa mitos merupakan sebuah sistem komunikasi, yakni sebuah pesan. Dan pada
dasarnya mitos adalah sebuah type of speech, sebuah cara pemaknaan11. Namun yang
paling penting adalah ia tidak hanya terbatas pada oral speech, ia bisa berbentuk
tulisan, fotografi, pertunjukan, publikasi, dan seterusnya. Ia bisa dimaknai oleh
penggunanya dalam suatu proses dialog. Ia dikenali dan dimengerti sebagai ungkapan
yang telah diterima dalam komunitas tersebut.
Gramsci dalam Prison Notebooks menyebutkan bahwa urbanisme di Itali
tidaklah murni, atau “khususnya”, sebuah fenomena perkembangan kapitalistik atau
industri besar. Namun dalam kota tipe medieval, ada dasar populasi yang kuat dari
tipe urban modern; tapi apa posisi relatifnya? Mereka berada di bawah, tertekan,
dihancurkan oleh sisi yang lain, yang tidak merupakan tipe modern dan mayoritas
terbesar. Paradoks dari “city of silence”.12 Belajar dari sejarah Itali yang disusun
Gramsci dalam Prison Notebooks, kita bisa membuat pembedaan yang kurang lebih
sama, dalam konteks Bali. Pembedaan yang bisa dibuat adalah antara daerah industri
(pariwisata) dengan daerah pedesaan yang “tidak tersentuh” efek-efek dari industri
11 Barthes, Roland (Nurhadi: penerjemah), Mitologi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004. 12 Gramsci, Antonio, (Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith: editor and translator), Selection From The Prison Notebooks of Antonio Gramsci, International Publisher, New York, 2005:91. Catatan: City of Silence merupakan judul kumpulan puisi dari D’Annuzio. Kota-kota yang dimaksud dulunya merupakan sebuah kota yang memiliki masa lalu yang gemerlap tapi sekarang hanya “kota kedua” beberapa diantaranya tak lebih dari sebuah desa dengan pusat monumental sebagai sebuah peninggalan dari kemuliaan yang telah sirna.
13
pariwisata. Hubungan antara daerah industri (pariwisata) dengan daerah pedesaan
terkesan saling mendukung. Dalam kenyataannya hubungan ini merupakan sebuah
hubungan yang sangat kompleks dan muncul dalam sebuah bentuk permukaan yang
kontradiktif13. Hubungan ini kemudian diperumit dengan munculnya ajeg Bali.
Marx berargumen bahwa basis ekonomi merupakan level kehidupan sosial
yang paling kuat dan krusial. Basis ekonomilah yang meng-ada-kan superstruktur dan
memberikannya karakter. Pada gilirannya superstruktur bekerja untuk menjaga
struktur ekonomi yang ada dan menyamarkan atau melegitimasi kondisi riil dari
eksploitasi ekonomi14. Sebagai contoh, industri pariwisata merupakan struktur
ekonomi di sebagian besar wilayah Bali semenjak 1920-an. Industri pariwisata
kemudian menguatkan hukum tak tertulis yang menyebutkan tentang penjagaan
kebudayaan Bali yang adi luhung. Ia menghasilkan banyak sekali sekolah pariwisata
(yang menghasilkan banyak tenaga kerja aktif) dan seterusnya. Sebagian besar
fenomena ini memperkuat praktek “perbudakan” (melalui berlimpahnya tenaga kerja
aktif yang disebabkan oleh menjamurnya sekolah pariwisata) pada satu sisi dan pada
sisi lain memperkuat praktek pe-liyan-an (salah satunya) melalui penjagaan
kebudayaan (a la Ajeg Bali), sementara ia menampilkan dirinya terpisah dari praktek-
praktek tersebut.
13 Gramsci, Antonio, (Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith: editor and translator), Selection From The Prison Notebooks of Antonio Gramsci, International Publisher, New York, 2005:91. 14 Jones, Steve, Routledge Critical Thinker: Antonio Gramsci, Routledge, New York, 2006: 29.
14
V. Tinjauan Pustaka
Ada banyak sekali penelitian mengenai Bali, tentang masyarakat serta
kebudayaannya yang dianggap unik. Akan tetapi tidak banyak studi mengenai
identitas ke-Bali-an dalam kancah Bali studies. Michel Picard meneliti Bali dengan
menggunakan industri pariwisata sebagai jalan masuknya. Bali telah lama dikenal
sebagai sebuah daerah tujuan wisata, dimulai dari masa pemerintahan kolonial
Belanda sampai sekarang, Bali hampir selalu sama dengan obyek wisata. Dalam
pandangan Michel Picard yang meneliti industri pariwisata Bali mengenai efek
pariwisata, ia mencatat bahwa industri ini telah membelah kelompok masyarakat
menjadi dua kubu: “kita” dan “mereka”. “Kita” dalam catatan Picard adalah orang-
orang Bali pada umumnya. Sedangkan “mereka” adalah orang luar yang mencari
penghidupan di Bali. Pada ruang lingkup lain, Picard mencatat bahwa “kita” adalah
orang-orang Bali (pelaku wisata) sedangkan “mereka” adalah pemodal dari Jakarta
atau siapapun yang memboncengnya. Penelitian yang dilakukan oleh Picard tidak
melihat bahwa ada pertarungan di wilayah yang di klaim sebagai “kita” itu. Siapakah
dan dalam kondisi seperti apa “kita” bisa terlontar dalam berbagai percakapan, lalu
siapakah yang bukan “kita” tidak terjelaskan oleh penelitian yang dilakukan Picard.
Efek pariwisata yang dijelaskan oleh penelitian Picard terbatas sampai masalah-
15
masalah besar saja. Ia melihat bagaimana Bali menjadi ajang pertarungan antar modal
lokal dan nasional, antara modal nasional, lokal, dan internasional. Serta bagaimana
Bali dipertaruhkan sebagai piala yang diperebutkan oleh pihak-pihak berseteru yang
tersebut diatas15. Penelitian Picard tidak menceritakan bagaimana perseteruan antar
orang-orang Bali sendiri dalam industri tersebut.
Sementara itu, Degung Santikarma dalam tulisannya, ‘Ajeg Bali: Dari Gadis
Cilik ke Made Schwarzeneger’, menegaskan bahwa Ajeg Bali sebagai sebuah
“institusi” resmi yang didukung oleh kekuatan negara (dan dalam sudut pandang lain
adalah suatu medan perlawanan terhadap kuasa negara) menjadi penegas identitas ke-
Bali-an orang-orang Bali. Melalui Ajeg Bali, semua hal yang berbau tradisional digali
lagi dari liang kubur, dihidupkan, dan dipakai sebagai semacam the original past.
Ketika orang-orang Bali berhadapan dengan orang bukan Bali (dalam tulisan ini
tersirat sebagai orang dari luar pulau), “identitas tradisional” inilah yang
dikedepankan. Demikian juga ketika orang-orang Bali berhadapan dengan angkuhnya
industri pariwisata, hal yang sama ditegas-tegaskan untuk menunjukkan suatu
identitas yang solid.
Titik awal yang menjadi “pemicu” adalah perbuatan Amrozi dan kawan-
kawannya di Bali. Apa yang dilakukan Amrozi tidak hanya memunculkan ledakan
yang membinasakan dan melukai ratusan orang, tetapi juga melahirkan ledakan
15 Michel Picard (Jean Couteau dan Warih Wisatsana; penerjemah), Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, KPG, Forum Jakarta-Paris, dan École Française d’Etréme-Orient, Jakarta, 2006
16
wacana yang mempertanyakan hubungan antara yang lokal dan yang global serta
interaksi nasionalisme dengan identitas etnis dan agama, demikian Degung
Santikarma16. Serpihan-serpihan ledakan wacana tersebut yang kemudian menetaskan
sebuah jawaban atas segala kebingungan: Ajeg Bali. "Ajeg Bali" menjadi tema
hangat di kalangan konsumen media di Bali, yang kebanyakan berasal dari kelas
menengah mapan yang dibentuk oleh kucuran dollar pariwisata. Kelompok ini jelas
yang paling terpukul oleh kehancuran ekonomi Bali akibat bom, tetapi mereka juga
yang paling siap ber-manuver untuk mencari posisi kuat yang baru di lapangan pasca-
kolonial, pasca-Soeharto, dan pasca-bom. Dengan memakai wacana "Ajeg Bali"
sebagai alat perlawanan terhadap "penjajahan" “orang luar”, mereka mengharap bisa
membersihkan medan bisnis dari kompetitor luar untuk mengelola modal pariwisata
mereka sendiri. Ini memang kedengaran agak sumir, mengingat hubungan yang
eksploitatif antara buruh dan majikan di dalam industri pariwisata lebih berbasis pada
kelas daripada etnisitas.
Demikian wacana Ajeg Bali yang berusaha menegaskan identitas ke-Bali-an
dengan menggalinya dari “original past” yang dianggap niscaya. Original past ini
yang oleh industri pariwisata, atau meminjam kalimat Degung, kapitalisme pariwisata
dijajakan untuk memperlancar kucuran dolar ke dalam pundi-pundi mereka. Tulisan-
tulisan tersebut di atas banyak menyinggung hubungan antara orang-orang Bali dan
16 Lihat: Degung Santikarma, “Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzeneger”, Kompas, Minggu 07 Desember 2003.
17
bukan Bali. Namun yang banyak disebut bukan Bali adalah mereka yang dari luar
pulau. Dengan kata lain tulisan tersebut di atas memeriksa hubungan orang dalam dan
orang luar di mana yang disebut sebagai orang luar adalah orang luar pulau. Akan
tetapi “kelemahan” tulisan-tulisan di atas adalah ia tidak memberi perhatian yang
cukup akan tegangan-tegangan yang terjadi di antara orang-orang Bali sendiri. Di
satu pihak tulisan ini menggugat identitas ke-Bali-an yang disolidkan oleh Ajeg Bali,
akan tetapi di pihak lain ia memberi kesan bahwa di antara orang Bali, persoalan
identitas yang rapuh tidaklah membawa persoalan yang signifikan atau paling tidak
tulisan tersebut hanya sekedar menyenggol sedikit permasalahan tersebut.
Antropolog Hildred Geertz dalam essainya yang berjudul Theater of Cruelty:
The Contexts of a Topéng Performance17 meneliti bagaimana sebuah pertunjukan
topéng yang memiliki sisi relijius bisa dipakai untuk kepentingan politik praktis.
Demikian Hildred Geertz; pertunjukan topéng yang merupakan bagian integral (salah
satu dari banyak sekali) kegiatan spiritual di Bali, digunakan tidak dalam konteksnya
namun memakai semua peristilahan dalam sebuah kegiatan spiritual. Hal ini
dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengesahkan kegiatan politik secara kultural.
Dalam penelitiannya Hildred Geertz menemukan bahwa seorang penari topéng yang
tubuhnya dirasuki oleh mahluk gaib (dewa-dewa), mampu menggerakkan orang-
orang untuk melakukan apa saja yang diminta. Demi kebaikan umat, orang-orang
17 Dalam State and Society in Bali: Historical, Textual, and Anthropological Approaches, KITLV Press, Leiden, 1991
18
mesti mematuhi dan memenuhi permintaan mahluk gaib yang menggunakan tubuh si
penari. Demikianlah kegiatan politik bisa mendapat legitimasinya melalui kegiatan
kultural semacam ini di Bali. Lebih jauh lagi kegiatan semacam ini bisa menjadi
senjata negara untuk menyembunyikan ketidakmampuannya dalam memberikan
fasilitas yang lebih baik untuk warganya.
VI. Metode Penelitian
Penelitian ini membutuhkan beberapa jenis data: data historis, teks budaya
yang berupa folklore, dan pengalaman orang-orang Nusa Penida di Denpasar.
Data historis mengenai Nusa Penida yang diperlukan dalam penelitian ini
dikumpulkan melalui penelusuran sejarah “besar” yang tercatat dalam buku-buku
sejarah dan sejarah “kecil” yang dikumpulkan melalui wawancara. Wawancara
dilakukan di Nusa Penida. Saya mewawancarai orang-orang yang memiliki akses
pada sejarah entah itu tertulis ataupun dalam bentuk oral. Wawancara tidak dilakukan
dalam kerangka ruang resmi dan formal akan tetapi dilakukan dengan santai. Dengan
demikian akan memberikan ruang pada mereka untuk berkata atau bercerita tentang
apa saja. Penetapan waktu wawancara dilakukan secara “acak”, tanpa “birokrasi”
yang rumit. Dalam artian, saya tidak dengan sengaja mendatangi mereka hanya untuk
melakukan wawancara dan menyodorkan recorder di depan hidung mereka lalu pergi
setelahnya. Saya melakukannya dengan santai, misalnya, ketika saya dengan “tidak
19
sengaja” bertemu lalu ngobrol. Strategi ini saya pilih karena dengan cara demikian
akan tercipta sebuah ruang yang lebih egalitarian. Dengan model wawancara
demikian mereka tidak akan merasa ditempatkan dalam posisi hanya sebagai “obyek
penderita”, melainkan sebagai subyek yang juga memiliki hak atas apa yang
dibicarakan. Selain itu mereka akan lebih leluasa mendebat pertanyaan-pertanyaan
atau pernyataan-pernyataan yang mungkin menurut mereka tidak tepat. Meski
demikian, etika penelitian tetap ada dalam prosesi ini. Sebelumnya mereka tetap saya
beritahu bahwa saya sedang melakukan penelitian dan akan mewawancarai mereka.
Orang-orang yang diwawancara ini dipilih secara sistematis mulai dari yang
paling muda sampai ke yang paling tua. Pemilihan informan ini dipengaruhi oleh
kisah-kisah oral dan atau mitos yang mereka ceritakan mengenai sejarah Bali secara
umum. Data-data yang terkumpul melalui proses wawancara ini diperlakukan sebagai
informasi “faktual” yang membangun sebuah teks historis. Teks “sejarah kecil” inilah
yang kemudian disandingkan dengan teks “sejarah besar”. Dalam asumsi saya,
perbedaan-perbedaan akan terlihat ketika dua hal yang sama namun berbeda
disandingkan. Sebagaimana anak kembar yang dipisahkan kemudian bertemu lagi,
tentu akan ada perbedaan-perbedaan kecil yang terlihat. Perbandingan kedua teks
sejarah inilah yang kemudian dipermasalahkan dalam diskusi pada poin ini.
Teks budaya yang berupa folklore adalah artefak yang dicermati dalam rangka
mendiskusikan bagaimana proses saling me-liyan-kan tersebut mewujud dalam
20
kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Dengan kata lain artefak ini membantu untuk
melihat pe-liyan-an orang-orang Nusa Penida secara kultural dalam pergaulannya
dengan orang-orang Bali daratan. Selain artefak tersebut di atas, ungkapan-ungkapan
yang bernada “merendahkan” (dari sudut pandang orang-orang Bali daratan) dan atau
“sinisme” (dari sudut pandang orang-orang Nusa Penida) juga dicermati dalam
rangka melengkapi diskusi wujud dari proses saling me-liyan-kan tersebut.
Ungkapan-ungkapan ini diperlakukan sebagai signifier dari artefak yang didiskusikan
di atas.
Pada poin ini saya berasumsi bahwa industri pariwisata melekatkan citra
bahwasannya Bali secara keseluruhan adalah sesuatu yang solid dan tunggal.
Pertanyaan yang muncul disini apakah kemudian pencitraan ini mampu mengeliminir
proses saling me-liyan-kan di antara orang-orang Nusa Penida dan orang-orang Bali
daratan dalam field yang sama. Untuk itu data berupa pengalaman orang-orang Nusa
Penida di Denpasar (dan Badung) diperlukan dalam diskusi ini. Pengalaman-
pengalaman ini dikumpulkan melalui wawancara dengan mereka yang beraktifitas
dalam wilayah kepariwisataan. Strategi pengumpulan data melalui wawancara pada
poin ini sedikit berbeda dengan poin sebelumnya. Pada poin ini saya mengikuti para
informan yang berprofesi sebagai guide liar, surfer, dan seterusnya ke tempat kerja
mereka. Tempat kerja yang saya maksudkan disini bukanlah kantor atau sejenisnya,
melainkan pinggiran pantai Sanur, Kuta, dan Uluwatu. Tempat-tempat ini dipilih
21
karena di sinilah terjadi banyak interaksi antara orang-orang Nusa Penida dan Bali
daratan. Sedapat mungkin saya mengikuti mereka mulai dari bekerja sampai mereka
memasuki kehidupan malam di wilayah-wilayah tersebut. Data berupa hasil
wawancara ini kemudian dipilah-pilah sesuai dengan kepentingan penelitian ini
melalui perspektif pandang-memandang.
VII. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembacaan alur pemikiran dalam penelitian “Orang Bali
Yang Lain: Proses Saling Me-liyan-kan Antara Orang-orang Nusa Penida dan Orang-
orang Bali Daratan” ini, saya membaginya ke dalam lima bab pembahasan. Bab I
merupakan pendahuluan, yang menguraikan latar belakang, perumusan masalah,
tujuan penelitian dan signifikansinya, kerangka teoritis, metode penelitian yang
digunakan, serta sistematika penulisan dari penelitian ini.
Selanjutnya saya menguraikan proses historis saling me-liyan-kan antara
orang-orang Nusa Penida dan orang-orang Bali daratan pada Bab II. Diskusi dalam
bab ini saya batasi periodenya mulai zaman pra kolonial sampai awal masa kolonial
untuk pembahasan mengenai sejarah Klungkung, dan untuk sejarah Nusa Penida saya
membatasinya sampai periode dikuasainya Nusa Penida oleh kerajaan Klungkung.
Bab III mendiskusikan analisis mitos atas folklore yang mencerminkan proses
pe-liyan-an orang-orang Nusa Penida secara kultural, yang akan menjadi pemandu
22
jalan untuk melihat proses saling me-liyan-kan tersebut mewujud dalam kehidupan
sehari-hari. Teori mitos juga dipakai sebagai teropong untuk mengamati bagaimana
relasi sosial orang-orang Nusa Penida di Denpasar, serta bagaimana orang-orang Bali
daratan memandang orang-orang Nusa Penida. Pengalaman saling pandang-
memandang ini akan dibahas lebih lanjut di bab selanjutnya.
Bali, tidak bisa dipungkiri, memiliki sejarah yang demikian panjang dalam
sektor pariwisata. Pulau ini telah menjadi arena pertarungan modal dan berbagai
kepentingan lokal-nasional-internasional dalam industri pariwisata selama kurang
lebih 30 tahun terakhir. Jika dirunut lebih jauh lagi, Bali sebenarnya telah menjadi
“arena perang” bahkan semenjak masa kolonial. Berdasarkan latar belakang ini, maka
pada bab IV ini diskusi mengenai pengalaman saling pandang-memandang ini akan
disempitkan pada sektor pariwisata serta diarahkan pada penyingkapan selubung
industri pariwisata dalam proses saling me-liyan-kan antara orang-orang Nusa Penida
dan orang-orang Bali daratan.
Bab terakhir dari penelitian ini tidak lain berisi kesimpulan-kesimpulan dari
diskusi-diskusi yang telah disajikan pada bab-bab sebelumnya. Demikianlah tujuan
dari bab ini: berusaha untuk menyimpulkan proses saling me-liyan-kan antara orang-
orang Nusa Penida dan orang-orang Bali daratan, sebuah kesimpulan atas
permasalahan pada jamannya.
23
BAB II
MEMBACA ULANG SEJARAH KLUNGKUNG:
Kisah-kisah Usaha Penjinakan
Bab ini mendiskusikan perjalanan sejarah Klungkung mulai dari zaman pra
kolonial sampai sekarang. Rentang waktu yang cukup panjang ini diambil dengan
alasan sederhana: bahwa proses saling me-liyan-kan telah dimulai jauh sebelum
kedatangan Belanda dengan proyek Baliseeringnya dan proses ini tertuang dalam
bentuknya yang paling modern: tulisan.
Bahan-bahan yang dipilah dan dipilih dalam bab ini cukup banyak tersebar di
beberapa tempat di Bali, satu hal yang memudahkan sekaligus menyulitkan.
Memudahkan karena terdapat cukup banyak catatan mengenai hal yang akan dibahas,
dan menyulitkan karena catatan-catatan yang tersebar ini menyatakan hal yang sama
dengan perspektif yang berbeda. Di tengah sebaran informasi yang “berlebihan”, saya
memilih beberapa bahan tertulis yang sekiranya berhubungan dengan tema tesis ini:
Babad Usana Bali Pulina (saya pilih karena di dalamnya mengisahkan proses
“terbentuknya” Bali dari sebuah pulau yang mengapung sampai akhirnya para Dewa
menurunkan seorang raja), Pamencangah Ida I Dewa Kulit ring Nusa Penida (saya
pilih karena membeberkan kisah ksatria dalem yang diutus ke Nusa Penida), Prasasti
I Dewa Anom (dipilih karena prasasti ini memberikan kisah bantuan yang diberikan
kerajaan Gelgel ketika menundukkan Nusa Penida), Babad Nusa Penida (sebuah
24
buku yang penuh dengan kisah-kisah mengenai Nusa Penida) dan Sejarah
Klungkung: Dari Smarapura sampai Puputan (buku sejarah resmi Pemerintah
Daerah Klungkung yang memberikan gambaran umum Klungkung dari terbentuknya
kerajaan Bali sampai Puputan Klungkung).
Selain menggunakan bahan-bahan tersebut di atas, saya juga menggunakan
potongan-potongan satwa, baik itu satwa1 yang saya dapatkan melalui wawancara
maupun yang telah menjadi semacam common sense di Bali. Kisah-kisah tersebut
kemudian saya satukan dengan kisah yang ditemukan dalam babad dan atau prasasti
tersebut di atas. Orang-orang yang saya wawancarai untuk kepentingan bab ini adalah
Ida I Dewa Catra (seorang ahli lontar yang seringkali terlibat dalam proyek alih
aksara lontar), I Gusti Mangku Kebyar (seorang pemangku dari desa Bedulu,
Gianyar), I Dewa Made Bagus (seorang mantan pegawai negeri yang sedang
menelusuri proses kedatangan leluhurnya di Nusa Penida).
Kisah-kisah yang tidak tertuang dalam bentuk tulisan, saya asumsikan
memiliki kekuatan yang kurang lebih sama dengan kisah dalam Babad. Selain itu
kisah-kisah yang diceritakan secara oral lebih “hidup” dibandingkan dengan kisah
dalam bentuk tulisan, karena kisah oral bisa diakses secara lebih luas bila
dibandingkan dengan tulisan. Seperti yang telah kita ketahui, akses pada suatu bentuk
1 Bahasa Bali: kisah oral.
25
tulisan adalah suatu akses eksklusif yang terbatas hanya pada orang-orang tertentu2.
Sebaliknya, satwa3 (yang hampir oleh seluruh sistem pengetahuan formal dianggap
bukan sebuah bentuk pengetahuan) tersebar lebih massif karena ia tidak memiliki
batasan seketat tulisan dan semua orang memiliki hak untuk mesatwa4 dan
mendengarkan satwa. Dalam satwa-mesatwa inilah suatu bentuk pengetahuan
ditransfer, disebarkan, diterima, dipahami dan karena sebuah satwa tidak memiliki
bentuk yang ketat sebagaimana tulisan, ia berubah sejalan dengan perubahan ruang,
waktu dan siapa yang mesatwa.
I. Bali Sebelum Majapahit: Kuasa Berwajah Angkara
Sebelum Bali berada di bawah kuasa Majapahit diceritakan bahwa pulau Bali
terombang-ambing di lautan. Kemudian Betara Pasupati mengambil puncak
Mahameru (yang kemudian menjadi gunung Agung) dan meletakkannya di Bali.
Bedawangnala (seekor kura-kura raksasa) diperintahkan untuk menyangga gunung
tersebut dari bawah, sementara Naga Taksaka, Naga Anantaboga, dan Naga Basuki
diperintahkan untuk mengikat gunung tersebut agar tak lepas dari pulau Bali. Betara
2 Sebagai contoh yang yang tepat dalam konteks tulisan ini adalah penyebaran pengetahuan yang terdapat pada kitab-kitab suci Hindu di Bali. Tidak semua orang Hindu di Bali boleh membaca kitab suci, karena dianggap tidak pantas semua orang membaca kitab suci. Sehingga pemahaman orang-orang yang tidak membaca secara langsung adalah pemahaman yang sama dengan yang dimiliki oleh orang-orang yang dianggap pantas membaca kitab suci. Dengan kata lain, pengetahuan dalam bentuk tertulis adalah sebuah pengetahuan untuk kalangan tertentu. 3 Bahasa Bali: dongeng, cerita, kisah. 4 Bahasa Bali: mendongeng, bercerita, berkisah.
26
Pasupati kemudian memerintahkan putranya, Mahadéwa, untuk menempati gunung
itu dan ia dipuja di Pura Besakih.
Babad Usana Bali Pulina menyebutkan bahwa pada jaman dahulu ada mahluk
sakti tanpa tanding, bersenjatakan taring tajam menakutkan, berperilaku raksasa,
rakus, bingung, pemarah. (…) Dia adalah anak raja Détya Balingkang. Sang
Mayadenawa bertahta di Bedahulu, rakyatnya banyak, sama rakus, angkara, dursila,
irsiya, poraka, mengacau dan menentang5. Dikisahkan bahwa Mayadenawa melarang
orang-orang untuk memuja Dewa-dewa yang bersemayam di Pura Besakih. Ia
meminta orang-orang untuk memuja dirinya dan semua persembahan ditujukan hanya
kepada dirinya. Gerah dengan kepongahan Mayadenawa, Betara Mahadéwa
melaporkan kejadian tersebut kepada Betara Pasupati yang kemudian meminta tolong
Betara Indra untuk menumpas Mayadenawa. Setelah melalui pertarungan yang
panjang dan melelahkan, para dewa berhasil memenangkan pertarungan dan
membunuh Mayadenawa.
Kisah di atas bisa dimaknai sebagai kisah penguasaan Bali dari perspektif
“pendatang” atau yang menginvasi. Disebutkan bahwa Mayadenawa memiliki rakyat
yang banyak dan sama-sama barbarnya, dari sini bisa dilihat kalau kisah tersebut
merupakan sebuah cara subyek memandang Yang lain. Mengikuti Lacan, kita hanya
5 Dalam bahasa aslinya: pūrwwa kāla hana maya sakti tan pahingan, asiyung adhangastra tiksna angamah-amah kadi trapning dhanawa, lobha, mohā, mūrkka. (…) Sira anak ing Ratu Détya Balingkang. Sang Mayādhanawa aňjeneng ring Bhédhahulu, akwéh wadwanya. Sama lobha angkara dursila, hirsya poraka, guragada hélik.
27
bisa memahami fase cermin sebagai sebuah cara identifikasi6. Pada fase cermin
seseorang untuk pertama kalinya menjadi subyek. Ia tidak mampu membayangkan
dirinya, maka pada fase inilah realitas imajiner bekerja di mana realitas subyek
dipengaruhi oleh citra dalam cermin. Citra dalam realitas imajiner adalah citra yang
berubah-ubah (changeable). Perubahan-perubahan ini ditentukan oleh tatanan
masyarakat. Pada fase ini realitas simbolik kemudian mengambil alih pencitraan
dalam cermin. Selanjutnya ditentukanlah apa yang benar dan apa yang salah melalui
hukum ayah (law of the father). Pada fase inilah seseorang membedakan dirinya
dengan Yang lain, dalam kasus ini menyalahkan Yang lain. Karena kesalahan
Mayadenawa memerintahlah maka rakyat mengikuti polah tingkah sang raja: rakus,
angkara, suka mengacau dan menantang. Kesalahan ini perlu dihentikan, karena
itulah Mayadenawa perlu dibinasakan. Di lain pihak, keberadaan Mayadenawa
merupakan halangan untuk menguasai Bali. Selama Mayadenawa masih dipandang
sebagai raja yang baik oleh rakyatnya (mengingat disebutkan bahwa Mayadenawa
dan rakyatnya sama-sama barbar), maka penguasaan atas pulau Bali tidak bisa
dibenarkan. Demikian maka subyek melihat pada hukum ayah dalam realitas
simbolik untuk memberikan pembenaran pada penyerangan atas pulau Bali.
Sebuah satwa di Bali menyebutkan bahwa setelah Mayadenawa berhasil
dikalahkan, ia kembali turun ke dunia melalui perantaraan buah kelapa. Di dalam
buah kelapa itulah ia bersemayam dengan meminjam bentuk tubuh dua orang anak 6 Lacan, Jacques, (Alan Sheridan: translator), Écrits: A Selection, 1977:2.
28
kembar laki-perempuan yang kemudian diberi nama Masula-Masuli7. Buah kelapa itu
ditemukan oleh seorang pendeta Brahmana di halaman Pura Besakih. Buah kelapa
yang digunakan sebagai medium kelahiran Mayadenawa adalah simbol dari
keperluan upacara yang signifikan dalam ritual di Bali. Buah kelapa adalah satu-
satunya buah dalam pejati8 yang mesti ada dalam ritual mecaru9. Sementara itu,
pendeta Brahmana adalah person yang mesti ada dalam suatu ritual di Bali. Pendeta
Brahmana yang memungut buah kelapa dengan isi Masula-Masuli itu saya kira
adalah pendeta Brahmana Siwa-Budha10. Jika kisah ini dihubungkan dengan ritual
mecaru11. Transfer pengetahuan dalam bentuk satwa, sebagaimana saya katakan di
atas, lebih mudah dibandingkan dengan tulisan. Menurut Roland Barthes, sebuah 7 Dalam Babad Usana Bali Pulina disebutkan bahwa Mur Śri Jaya Pangus, mangsilih diri wangsan ira bhiniséka Śri Eka Jaya Lancaňa matuh ing patni Kadhiri. (...) Arawas rawas těka pwa nalikaning samayan ira Mahārāja umungśi sunyatmaka. Wangśan ira mangalih i prabhu, Śri Maśula Maśuli sajňan ira. Sadampati pwa sira mětu, binuňcingakěn awan sang ari, sira ratu Cakrawartti, prabhū Bhuňcing naman ira wanéh. (...) Wěkasan wangśan ira mangsiliha nātha hanéng nusa Bali, bhiniséka Śri Gaja Wahana, Tapolung nāman ira wanéh. (Setelah Sri Jaya Pangus wafat, beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Sri Eka Jaya Lancana yang lahir dari seorang putri Kediri. (...) Beberapa lama beliau berpulang dan digantikan oleh putra baginda yang bergelar Sri Masula Masuli, beliau dilahirkan kembar pria-wanita. Beliau dinikahkan kakak-beradik, prabu Bhuncing nama beliau yang lain. (...) Kemudian putra beliau menggantikan tahta pulau Bali, bergelar Sri Gaja Wahana, Sri Tapolung nama beliau yang lain.) 8 Bahasa Bali: dari akar katanya Jati bisa bermakna memantapkan (hati). 9 Bahasa Bali: salah satu ritual Bhuta Yadnya, yaitu ritual yang ditujukan pada Bhuta Kala; yang bertujuan untuk menyeimbangkan alam. 10 Di Bali ada dua jenis Brahmana, yaitu Brahmana Siwa dan Brahmana Siwa-Buddha (yang biasanya disingkat hanya sebagai Brahmana Buddha), yang menurut Ida Bagus Mantra, dalam Pengertian Siwa Buddha dalam Sejarah Indonesia (dalam Çiwa-Buddha Puja di Indonesia, Yayasan Darma Sastra, Denpasar, 2002), bermula di Jawa Timur. Ajaran Siwa yang terlebih dulu ada kemudian dalam perkembangannya disatukan dengan ajaran Buddha Mahayana, karena disebutkan bahwa struktur dasar dari kedua agama ini dianggap “sama” dalam beberapa hal. Seperti misalnya pandangan bahwa dunia ini penuh dengan kesengsaraan dan tidak kekal, pandangan bahwa penderitaan adalah buah perbuatan terdahulu, dan seterusnya. Disebutkan juga bahwa Buddha merupakan saudara Siwa yang lebih muda. 11 Dalam wawancara saya dengan I Dewa Gede Catra tanggal 28 Februari 2009, ia menyebutkan bahwa “…asal caru, Buddha sampun.” (..kalau ritual mecaru mesti diselesaikan oleh pendeta Buddha.)
29
pemaknaan (melalui satwa) berarti harus kembali lagi mengacu pada semiologi. (Jika
satwa dianggap sebagai suatu fakta) Oleh karena itu definisi dan eksplorasi fakta-
fakta tersebut merupakan tanda bagi sesuatu yang lain12. Pada analisa semiologis
tingkat pertama rangkaian satwa di atas merupakan sebuah peristiwa “kelahiran
kembali” Bali setelah sekian lama dikuasai oleh angkara. Penjelasannya demikian:
kelahiran kembali Mayadenawa melalui buah kelapa merupakan sebuah penanda,
sedangkan petandanya adalah pendeta Brahmana yang memungut kelapa tersebut di
halaman Pura Besakih. Penanda dan petanda tersebut merupakan tanda bagi sebuah
peristiwa “kelahiran kembali” dalam konteks Hindu di mana keseimbangan alam
dikembalikan melalui ritual Bhuta Yadnya yang diselesaikan oleh pendeta Brahmana
dan simbol-simbol yang ada dalam satwa tersebut di atas menegaskan kalau peristiwa
ini adalah ritual Bhuta Yadnya. Pada analisa semiologis tingkat kedua “kelahiran
kembali” adalah penanda dan keseimbangan dunia setelah dipulihkan menjadi
petanda merupakan tanda bagi dimulainya pengaruh kuasa Yang lain serta
berakhirnya kuasa angkara di Bali. Mengingat mitos merupakan metabahasa, karena
ia adalah bahasa kedua, di mana orang berbicara mengenai yang pertama13, satwa
tersebut di atas pada dasarnya berkisah tentang tunduknya Bali pada kuasa Yang lain.
Selanjutnya dikisahkan kakak-beradik Masula-Masuli memerintah Bali
sebagai suami dan istri sampai keduanya moksah (suatu konsep dalam Hindu
12Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004: 155. Kalimat dalam tanda kurung merupakan tambahan dari penulis. 13 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004:162.
30
mengenai bersatunya atman (roh) dengan brahman (tuhan) untuk menuju
kesempurnaan). Dengan mencapai moksa maka seseorang akan terhindar dari siklus
reinkarnasi. Anak Masula-Masuli juga kembar, menikahi saudaranya, dan
memerintah Bali. Hal yang sama terus berulang sampai beberapa generasi, sampai
akhirnya terlahir seorang anak laki-laki yang tidak menikahi saudarinya. Anak itu
bernama Tapaulung, yang lebih dikenal sebagai penguasa Bedaulu. Dikisahkan
Tapaulung adalah seorang yang sakti, sebagaimana pendahulunya, Mayadenawa.
Demikian sakti-nya sampai-sampai dia bisa memotong kepalanya sendiri dengan
keris kemudian meletakkannya lagi di tempatnya semula. Karena kesaktian dalam
konteks Bali didapatkan dari suatu proses mempelajari suatu pengetahuan, bisa
dikatakan kalau Tapaulung adalah seorang yang cerdas, sedemikian cerdasnya
sampai-sampai ia disamakan dengan para Dewa. Akan tetapi karena ia adalah
manusia yang mencoba menyamai kuasa para Dewa, ia dihukum, kepalanya diganti
dengan kepala babi14. Buat masyarakat Bali, kisah bertukarnya kepala Tapaulung
inilah yang membuat ia lebih dikenal sebagai penguasa Bedaulu15. Sebutan penguasa
Bedaulu sendiri bisa bermakna ganda. Bisa jadi ia adalah penguasa di Bedaulu
(daerah sekitar kabupaten Gianyar), atau mungkin penguasa dengan ulu16 yang
14 Sebuah satwa di Bali menyebutkan bahwa Tapaulung pernah mengirimkan kepalanya ke swargan (surga) ketika para Dewa sedang melaksanakan suatu pertemuan dan hal ini membuat Dewa Siwa marah besar. Kepala Tapaulung kemudian ditukar dengan kepala babi. Semenjak saat itu, semua orang dilarang menengadah apalagi memandang wajahnya. 15 Dalam sense Bahasa Bali, Bedaulu secara ketat bisa dimaknai sebagai kepala, hulu, bagian atas, pusat yang berbeda. 16 Bahasa Bali: kepala, bagian atas, pusat.
31
berbeda. Pada sisi lain penguasa dengan ulu yang berbeda ini bisa dimaknai secara
harfiah dan bisa jadi dimaknai sebagai penguasa yang berbeda dengan ulu-nya
(Majapahit). Seperti yang sudah diketahui Bali sebelum Majapahit berada di bawah
kekuasaan kerajaan Singasari. Ketika Singasari pecah, dan Majapahit berdiri atas
prakarsa Raden Wijaya, Majapahit mengklaim bahwa Bali berada di bawah
kekuasaannya. Tetapi sebaliknya, Tapaulung tidak mau mengakui kekuasaan
Majapahit atas Bali. Lebih jauh lagi, kuasa para Dewa yang menggantikan kepala
Tapaulung dengan kepala babi bisa saja dimaknai sebagai kuasa Majapahit yang
menggantikan kuasa Tapaulung sebagai raja di Bali.
Pada suatu waktu, seorang juru masak istana ketika sedang memasak
hidangan untuk Tapaulung tanpa sengaja melukai jarinya. Darah dari luka tersebut
menetes kena pada masakan yang sedang ia masak. Karena takut terlambat
menyajikan hidangan, ia menyajikan masakan yang bercampur tetesan darah tersebut.
Tanpa disangka-sangka oleh juru masak itu, Tapaulung ternyata menyukai hidangan
yang bercampur darah manusia itu dan meminta masakan yang sama lagi dan lagi.
Kebiasaan baru Tapaulung memakan masakan bercampur darah manusia itu
meresahkan masyarakat Bedaulu. Perwakilan dari masyarakat Bedaulu kemudian
meminta perlindungan dari Majapahit. Majapahit menjawab permintaan itu dengan
mengutus Gajah Mada. Pada awalnya Gajah Mada tidak percaya bahwa ada seorang
raja dengan kepala babi. Ia memutuskan untuk memeriksa kebenaran kisah itu dengan
32
mengunjungi kerajaan Bedaulu. Dalam kunjungannya ke kerajaan Bedaulu ia
ditawari makanan dan ia meminta paku, sejenis sayuran berserabut yang dimakan
dengan cara menengadahkan wajah, dengan demikian ia bisa melihat kepala sang
raja. Karena malunya, Tapaulung dikisahkan meninggalkan kerajaannya untuk
selamanya. Versi lain kisah ini menyebutkan kalau Tapaulung dibunuh oleh Gajah
Mada. Segera setelah kematian Tapaulung, Gajah Mada menyatakan perang pada
Bedaulu dan Bali berhasil ditaklukkan.
Dalam Babad Usana Bali Pulina, disebutkan bahwa tak terkirakan sedih hati
baginda Sri Maharaja Gaja Wahana, karena putra beliau mangkat, merasa terputus
keturunannya. Sedu sedan mengenang kepergian sang putra terdengar dari istana.
Jenazah putra baginda diupacarai, disucikan dan dibakar di pekuburan. Sang
Maharaja tak sanggup menahan duka lara menceburkan diri ke dalam api unggun,
beliau pun wafat17. Jadi Gajah Mada tidak pernah menyentuh Tapaulung, entah dalam
kiasan atau dalam arti sesungguhnya. Bahkan dikisahkan Majapahit mengalami
kekalahan ketika menghadapi pasukan Bedaulu. Dalam babad yang sama disebutkan
kalau Tapaulung adalah seorang raja yang ”cerdas dan bijaksana. Tampan
berkelakuan baik serta suka bersedekah18” Adapun dua tokoh lainnya, Sri Pasung
17 Dalam bahasa aslinya: tucapa sira Sri Mahārāja Gaja Wahana, atyanta sūkska hrdhayan ri kapatyan ing anak, rumasa-rasa ri kapěgatan ing wangsā. Muwah muwug ira tangis wang ing jro, umanghěn-anghěn sang rāja putra. Inupakara tang śawa, binrěsihan giněsěng ing śěma-śana. Pirāta sira Śri Mahārāja tan tahan twas ing alara, manglampwa hidhěpnira maranāpwi, mur pwa sira. 18 Dalam bahasa aslinya: guna widhya wicaksana. Rupawan, silawan, punyawan saksat manobhū anjadma.
33
Grigis sang patih agung dan Kebo Iwa sang patih digambarkan sebagai nak sakti19
yang bijaksana, pintar, dan seterusnya. Akan tetapi ketika (dalam Babad yang sama)
Pasung Grigis berhadapan dengan Gajah Mada, ia dipersonifikasikan sebagai
seseorang yang menunggangi kuda cundang, berkain hitam, berselimut kain poleng
merah, berdestar hitam dengan ikatan dara kepek, kulit dan giginya hitam, berkumis
dan berjenggot, menakutkan mereka yang melihat, bagaikan Sang Hyang Rudra
Murti pesiar ke dunia20. Sebaliknya, Gajah Mada dipersonifikasikan sebagai
penunggang kuda putih, penampakannya seperti Wisnu, tutur katanya halus mengalir
bagaikan madu21.
Kisah-kisah Babad bukanlah kisah yang cukup akrab dalam kehidupan sehari-
hari orang Bali. Pada titik ini kita bisa melihat bahwa kenyataan babad berbeda
dengan kenyataan satwa. Di tengah masyarakat oral, kisah-kisah yang disampaikan
secara lisan lah yang memiliki kekuatan cukup besar untuk membentuk common
sense. Sebagaimana kisah Bedaulu tersebut di atas, bahkan Tapaulung sendiri
bukanlah nama yang populer. Tapaulung dalam berbagai kisah dikenal sebagai raja
dengan kepala babi dan jahat. Karena kejahatannyalah maka Gajah Mada datang
sebagai penolong, membebaskan orang-orang Bali dari cengkraman angkara Bedaulu.
19 Bahasa Bali: orang yang memiliki kesaktian. 20 Dalam bahasa aslinya: anunggang kuda cundhang, awastra ulung, akampuh poléng bhang, papětět hirěng inikět dara képék, asěkar wari bang saléya, carmma mahirěng kalawan untu tuhu Rūdra mūrtti aměng-aměng éng mrěcca-pada krawis ajéjénggot, wěnang kagiri-girin rěsrěs wwang tuminghal. 21 Dalam bahasa aslinya: anunggang kuda pětak, sang kadi Wisnu, halěp harum amanis kadi madhū drawa wětunikang ujar.
34
Gajah Mada adalah sosok ksatria yang menunggang kuda putih yang mengangkat
Bali dari lumpur angkara. Bahkan penyebutan nama daerah Bedaulu kemudian
disamarkan menjadi Bedulu, karena orang-orang Bedaulu tidak mau disangkutkan
dengan raja Tapaulung yang dikisahkan sebagai pembelot, pemberontak dan
seterusnya22.
II. Dari Samprangan Sampai Puputan Klungkung
Setelah kerajaan Bedaulu berhasil ditaklukkan, Bali berada dalam keadaan
”stateless” selama beberapa saat. Pemberontakan-pemberontakan kecil digalang oleh
sisa-sisa pasukan Bedaulu. Pasukan yang ditinggalkan Gajah Mada di Bali setelah
peperangan besar, tidak mampu memadamkan pemberontakan-pemberontakan kecil
tersebut. Buku Sejarah Klungkung: Dari Smarapura Sampai Puputan (selanjutnya
hanya akan disebut Sejarah Klungkung) menyebutkan demikian: dengan alasan
mengamankan pulau Bali, Gajah Mada mengangkat dan menempatkan penguasa
sebagai bangsawan baru dengan seluruh daerah taklukannya. Gajah Mada mohon
bantuan Empu Kepakisan (Brahmana penasehatnya) untuk menyelesaikan
permasalahan di Bali. Empu Kepakisan memberikan empat orang cucunya untuk
diangkat oleh Gajah Mada menjadi cakradara, dan masing-masing memerintah
22 Wawancara dengan Gusti Mangku Kebyar, Bedulu, 7 Maret 2009
35
Blambangan, Pasuruan dan Bali. Satu cucu perempuan dikawinkan dengan Prabu
Sukania yang memerintah Sumbawa23.
Sri Kresna Kepakisan, cucu terkecil Empu Kepakisan ditunjuk sebagai
penguasa Bali dengan gelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan, yang di kemudian hari
menurunkan klan Ksatria Dalem di Bali. Bersama Kresna Kepakisan, turut juga
beberapa ksatria Jawa yang bergelar arya dan tiga orang weisya mengiringinya ke
Bali. Gajah Mada juga membekali Sri Kresna Kepakisan dengan sebilah keris yang
bernama Si Ganja Dungkul. Pada awal pemerintahannya, Kresna Kepakisan hampir
tidak bisa berkutik menghadapi pemberontakan-pemberontakan kecil tersebut dan
meminta Gajah Mada untuk memulangkannya ke Jawa. Permintaan Kepakisan
dijawab oleh Gajah Mada dengan memberikan sebilah keris yang bernama Ki Lobar
yang merupakan manifestasi dari Si Sangkapancajanya, salah satu senjata Dewa
Wisnu, serta seperangkat pakaian kebesaran seorang adipati Majapahit. Dikatakan
bahwa jika Ki Lobar dicabut, maka yang terlihat adalah Durga Dingkul (Durga yang
meringkuk). Dikisahkan juga bahwa Ki Lobar adalah penjelamaan Gajah Mada
sendiri. Menurut saya, Kresna Kepakisan tidak pernah bisa menjadikan dirinya
perwakilan Majapahit di Bali. Ketakutannya akan pemberontakan yang terus menerus
terjadi (meski kecil), membuatnya memerlukan simbol yang menegaskan bahwa
dirinya adalah perwakilan dari Majapahit. Kejadian lain yang menyurutkan
23 Kanta, I Made, Drs. Ida Bagus Sidemen [et.al], Sejarah Klungkung: Dari Smarapura Sampai Puputan, Klungkkung, 2001:23.
36
pemberontakan-pemberontakan kecil tersebut adalah diangkatnya anak Pasung Grigis
ke dalam jajaran pemerintahan Sri Kresna Kepakisan. Dikisahkan dalam Babad
Usana Bali Pulina demikian: sekarang kiranya tuan jangan menolak yang saya
katakan, tuan wajib menerima segala titah Dalem. Tuan dijadikan pejabat oleh Dalem
Kresna Kepakisan. Tuan seorang ksatria, sekarang menjadi arya, menurut ucapan
dalam pustaka Slokantara24.
Penunjukan Kresna Kepakisan sebagai penguasa Bali, pemberian keris dan
pakaian kebesaran adipati Majapahit oleh Gajah Mada dalam skema wacana tuan
(master discourse) Lacanian merupakan master signifier dan Kresna Kepakisan
adalah other signifier. Seorang tuan harus dipatuhi – bukan karena kita semua akan
menjadi lebih baik dengan cara tersebut atau karena alasan-alasan rasional – tapi
karena dia menyatakannya demikian. Tiada pembenaran yang bisa diberikan untuk
kuasanya, hanya karena demikianlah adanya25. Sang tuan tidak memiliki pengetahuan
apapun. Yang ia tahu hanyalah bagaimana kekuasaannya dipelihara dan terus
berkembang. Ia tidak tertarik untuk tahu bagaimana atau mengapa sesuatu bisa
berjalan. Di sisi lain other signifier mencari pengetahuan untuk mengembangkan
kuasa sang tuan, dan pengetahuan itu menubuh dalam dirinya. Kegiatan other
24 Dalam bahasa aslinya: mangké pwa kita kaki aryya, aywa wihang ri sawuwusku, wěnang sinaddhyan dén sawuwus tuwan ta. Kitanggěh tandha mantrin ira Śri Cili Kr ěsna Kepakisan. Kita ksatriya, mangké aryya pāwakan ta, ling ning Ślokantara’. 25 Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance, Princeton University Press, New Jersey 1995: 131.
37
signifier dalam skema wacana tuan memunculkan object (a) yang merepresentasikan
nilai lebih atau surplus jouissance, dalam konteks ini pemberian jabatan pada anak
Pasung Grigis adalah object (a). Kemampuan sang tuan untuk menyembunyikan
kelemahannya, bahwa ia sama seperti orang lainnya merupakan keberadaan dari
bahasa dan menyerah pada kastrasi simbolik, menghadirkan posisi kebenaran:
kebenaran yang disembunyikan26.
Kresna Kepakisan kemudian digantikan oleh anak tertuanya, Agra
Samprangan, yang bergelar Dalem Samprangan dan Dalem Ile. Disebutkan bahwa
Dalem Ile adalah seorang yang suka bersolek. Dia bahkan sering tidak menghadiri
pertemuan kerajaan karena saking lamanya ia berdandan. Kebiasaannya itu membuat
kesal aparat kerajaan, yang kemudian memutuskan untuk mengangkat adik Dalem
Ile, Dalem Ktut yang dikenal sebagai seorang penjudi, sebagai penggantinya, dan
memindahkan pusat kerajaan ke Gelgel. Pergantian ini diprakarsai oleh Tumenggung
Kubon Tubuh. Ia bahkan memberikan tempat tinggalnya sebagai istana. Jadi saat itu
ada dua kerajaan yang merupakan perpanjangan tangan Majapahit di Bali:
Samprangan dan Gelgel.
Setelah menduduki singgasana, Dalem Ktut mendapatkan gelar: Dalem Ktut
Ngulesir, Dalem Ktut Kresna Kepakisan, dan Sri Aji Semara Kepakisan. Setelah
”pusat kerajaan” dipindahkan ke Gelgel, Samprangan tidak pernah disebut-sebut lagi
26 Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance, Princeton University Press, New Jersey 1995: 131.
38
dalam kisah-kisah selanjutnya. Setelah Gelgel, ”pusat kerajaan” berpindah lagi pada
masa pemerintahan Dewa Agung Jambe setelah mengalami pemberontakan patihnya.
Karena pemberontakan itu, ”pusat kerajaan” dipindahkan ke Guliang, Gianyar (untuk
kemudian dipindahkan lagi ke Klungkung). Pada saat itu terdapat dua kerajaan di
Bali: Gelgel dan Guliang. Pecahnya kerajaan Gelgel seakan menjadi penyulut api
bagi beberapa wilayah untuk membentuk pusat kerajaannya sendiri. Tidak kurang
dari delapan wilayah yang menyatakan diri merdeka dan tidak terikat lagi pada dua
kerajaan besar tersebut: Gelgel dan Guliang27. Seakan terulang dua kali, perpindahan
dari Guliang ke Klungkung tersebut juga diprakarsai oleh seorang pejabat kerajaan,
Ki Gusti Sidemen. Raja yang memegang puncak kekuasaan kerajaan Klungkung
masih berasal dari keturunan Kresna Kepakisan: Sri Agung Jambe dengan gelar Ida I
Dewa Agung Putra.
Kontak Bali dengan Belanda pertama kali (secara politis) terjadi ketika VOC
mengirimkan utusannya ke Gelgel untuk meminta bantuan menghadapi kerajaan
Mataram, yang mana permintaan ini ditolak oleh raja Gelgel waktu itu, Dalem Di
Made. Hubungan selanjutnya adalah hubungan jual-beli budak untuk dijadikan
serdadu Belanda. Kepentingan Belanda di Bali selain urusan perbudakan adalah
27 Sebagaimana tercatat dalam buku ‘Sejarah Klungkung’, wilayah-wilayah tersebut adalah Buleleng, Mengwi, Karangasem, Bangli, Jembrana, Badung, Tabanan, dan Gianyar. Semenjak perpecahan ini pula perang memperebutkan wilayah kekuasaan terus menerus terjadi.
39
usaha penghapusan hak tawan karang28 demi kelancaran pelayaran dan perniagaan
Belanda. Berdasarkan atas kepentingan ini, Belanda menawarkan bantuan pada
Klungkung (Karangasem, dan Buleleng) dalam suatu perang melawan Lombok.
Dalam perjanjian bantuan inilah, Belanda menyisipkan suatu pasal tentang
penghapusan hak tawan karang.
Persinggungan Klungkung dengan Belanda terjadi setelah perjanjian tersebut,
ketika kapal Belanda yang berlayar dari Lombok terdampar di salah satu bandar
kerajaan Klungkung, Kusamba. Penduduk sekitar Kusamba memberlakukan tawan
karang (yang saya kira, mereka tahu bahwa itu masih merupakan hak mereka) pada
kapal Belanda tersebut. Belanda sangat marah dengan kejadian itu dan menuntut
Klungkung mempertanggung jawabkan perbuatannya. Raja Klungkung tidak
mengindahkan permintaaan Belanda. Ia bahkan bersiap menghadapi kedatangan
pasukan Belanda. Marah karena permintaannya tidak dipenuhi, Belanda
mengumumkan perang terhadap Klungkung. Belanda masuk ke Klungkung melalui
bandar kerajaan Karangasem, Padangbai, yang mereka jadikan basis gerakan militer.
Satu per satu benteng pertahanan Klungkung berhasil diruntuhkan, sampai akhirnya
Kusamba berhasil di duduki pasukan Belanda. Sebelum Belanda sempat bergerak ke
28 Tawan karang adalah suatu peraturan yang memberikan hak pada raja dan rakyatnya (yang berdiam di dekat pantai) untuk memiliki kapal beserta muatannya yang terdampar di pantai kerajaan tersebut. Penumpangnya boleh dijadikan budak dan jika itu adalah kapal musuh, penumpangnya boleh dibunuh. Kapal beserta muatannya bisa dikembalikan pada pemiliknya jika si pemilik kapal membayar sejumlah denda.
40
arah Klungkung, pasukan kerajaan Klungkung mendahului melakukan serangan
balasan dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda kembali ke Karangasem.
Dalam tujuannya untuk menaklukkan Klungkung, Belanda pertama-tama
berusaha merebut Kusamba dari Klungkung. Karena Kusamba sendiri adalah sebuah
Bandar penting bagi kerajaan Klungkung. Selain karena Kusamba adalah pusat
perdagangan Klungkung dan juga merupakan ibu kota kerajaan, ia juga merupakan
salah satu gerbang komunikasi Klungkung dengan dunia luar. Setelah berhasil
dipukul mundur oleh I Dewa Agung Istri Kania dalam masiat kapetengan29, Belanda
kembali mendatangkan pasukannya ke Klungkung. Kedatangan pasukan Belanda kali
ini disertai bala bantuan dari Lombok, dan dengan perlahan berhasil merebut
Kusamba setelah mengepungnya dari laut dan darat. Keberhasilan Belanda merebut
Kusamba disertai ancaman bahwa jika Klungkung tidak menyatakan menyerah
kepada pasukan kerajaan Belanda, maka pusat kerajaan akan diluluh-luntakkan oleh
pasukan Belanda. Akhirnya Dewa Agung Istri setuju untuk mengadakan gencatan
senjata dan (salah satunya) bersedia menghapuskan hak tawan karang serta
menyerahkan kembali tahta kepada kakaknya, I Dewa Agung Putra. Setelah
perjanjian ini nama I Dewa Agung Istri Kania tidak lagi disebut-sebut dalam
perjalanan Klungkung. Ia menghilang ditelan bumi.
29 Bahasa Bali: pertempuran pada malam hari, oleh peneliti asing diterjemahkan sebagai night war. Dalam sense bahasa Bali, pertempuran ini diandaikan sebagai pertempuran antara divine power dengan demonic power.
41
Setelah kekalahannya di Kusamba, Klungkung kembali bermasalah dengan
pihak Belanda. Kali ini yang menjadi permasalahan adalah mengenai perbatasan-
perbatasan wilayah kerajaan Klungkung dan hak monopoli perdagangan candu. Saya
kira titik awal perang puputan bisa diambil ketika pasukan Belanda mengadakan
patroli candu ke wilayah kerajaan Klungkung, Gelgel. Pasukan patroli yang
semestinya mengadakan patroli sampai Gelgel tidak pernah mencapai Gelgel karena
pasukan Klungkung terlebih dahulu menyerang dan mengusir pasukan tersebut keluar
dari Klungkung. Pihak Belanda meminta pertanggung jawaban Klungkung atas
kejadian tersebut, dan mempersiapkan serangan balasan. Selama beberapa hari
Klungkung dibombardir dengan tembakan meriam. Klungkung dikepung dari darat
dan laut. Pihak Belanda memberi ultimatum agar raja dan pengikutnya menyerah
tanpa syarat. Pihak Klungkung tidak menjawab ultimatum tersebut. Ketika istana
berhasil dikepung Belanda, seluruh pasukan yang mempertahankan istana memakai
pakaian serba putih. Perang puputan pun kembali meledak. Setelah puputan Badung
yang menggemparkan kerajaan Belanda, mereka mengisyaratkan pada pemerintah
Hindia Belanda agar puputan tidak terjadi lagi di Bali. Meski begitu, taktik untuk
mengepung istana dari dekat bertujuan untuk memperlemah semangat Klungkung,
dan merupakan sebuah taktik intimidasi agar Klungkung menyerah. Apa daya, taktik
itu dibaca lain. Seluruh isi istana bertekad untuk tidak menyerah. Bahkan putra
mahkota yang baru berumur 12 tahun turut menjadi korban dalam puputan, dan
42
mencapai puncaknya ketika raja Klungkung juga tewas dalam perang tersebut.
Dengan berakhirnya perang puputan, Klungkung jatuh ke tangan Belanda, sementara
keluarga kerajaan yang masih hidup dibuang ke Lombok. Setelah beberapa lama
memerintah Klungkung, sejalan dengan politik Baliseering; Belanda melantik
seorang kemenakan raja, Cokorda Geg, sebagai wakil Belanda di Klungkung.
III. Nusa Penida Versus Bali Daratan
Nusa Penida, menurut Claire Holt, awalnya hanya disebut sebagai Nusa. Kata
Penida yang dilekatkan setelahnya mengandung arti pamor30, karena pulau ini adalah
sebuah pulau kering dengan tanah berbatu kapur. Dalam peta Belanda pulau ini
muncul dengan nama Noesa Pandita, dan pelaut Inggris menyebutnya sebagai Bandit
Island karena reputasi pulau ini sebagai tempat pembuangan kriminal-kriminal dan
subyek-subyek yang tidak diinginkan dari kerajaan Klungkung31. Di lain pihak, Ida I
Dewa Catra menyebutkan bahwa prasasti Blanjong di Sanur, yang bertahun saka 835,
di sana dinyatakan bahwa pulau itu diberi nama Gurun32. Versi lain menyebutkan
bahwa Nusa Penida berasal dari kata manusa pandita yang secara kasar bisa diartikan
sebagai manusia suci33. Salah satu versi penundukan Nusa Penida menyebutkan
bahwa Dewa Siwa menjelma ke Nusa Penida dalam wujud seorang raja bernama
30 Bahasa Bali: batu kapur. 31 Holt, Claire, “Bandit Island”, A Short Exploration Trip to Nusa Penida; dalam Traditional Balinese Culture; Belo, Jane (ed.); Columbia University, New York, 1970: 67. 32 Wawancara dengan Ida I Dewa Catra, Karangasem, 28 Februari 2009. 33 Buda, Jero Mangku Made, Babad Nusa Penida, Penerbit Pāramita, Denpasar, 2007:1.
43
Dalem Sawang. Istananya dibangun di puncak Mundi, sebuah daerah berbukit di
Nusa Penida. Raja ini memiliki seorang patih, yaitu Ratu Gede Mecaling. Disebutkan
bahwa Dalem Sawang adalah raja yang jahat. Karena kejahatannya, Betara di
Besakih melemparkan padang kasna34 yang menjelma menjadi Dalem Bungkut.
Dalem Bungkut inilah yang kemudian memerangi Dalem Sawang dan kemudian
menggantikannya sebagai penguasa Nusa Penida. Dalam perjalanannya, Dalem
Bungkut juga memerintah dengan kejam yang membuat Bali menyerang Nusa
Penida. Dalam prasati Blanjong, disebutkan bahwa ketika Bali berada di bawah
kekuasaan Sri Wira Ksarilah, pasukan Bali menyerang Nusa Penida. Akan tetapi
tidak disebutkan ketika penyerangan itu terjadi Nusa Penida berada di bawah
kekuasaan siapa35.
Versi yang disusun oleh Jero Mangku Made Buda menyebutkan bahwa Nusa
Penida pernah diperintah oleh penjelmaan Dewa Siwa yang bernama Dukuh
Jumpungan. Disebutkan bahwa peradaban pertama kali di Nusa Penida adalah di
sebuah tempat yang bernama gunung Mundi, sebuah puncak tertinggi di Nusa Penida,
tempat Dewa Siwa turun dari kahyangan dan menjelma sebagai Dukuh Jumpungan.
Dukuh Jumpungan adalah seorang pandita, yang darinyalah Nusa Penida
mendapatkan namanya: manusa pandita yang lama kelamaan menjadi Nusa Penida.
Dikisahkan demikian, karena Nusa Penida dikellilingi oleh lautan yang luas, maka
34 Sejenis rumput. 35 Wawancara dengan Ida I Dewa Catra, Karangasem, 28 Februari 2009.
44
Dukuh Jumpungan berpikir untuk membuat sebuah perahu. Karena kesaktian yang
dimilikinya, dalam waktu yang singkat perahu itu telah siap untuk berlayar. Menurut
kisah, perahu ini pernah digunakan untuk menabrak pulau Nusa Penida hingga
terbelah tiga, dan menjadi Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan.
Perahu yang memendam kesaktian Dukuh Jumpungan ini dikisahkan pernah
direncanakan untuk menabrak Bali daratan, namun tidak berhasil karena dicegah oleh
betara yang bersemayam di Gunung Agung. Singkat cerita, setelah beberapa lama
memerintah Nusa Penida, Dukuh Jumpungan mulai menua dan memberikan
kekuasaan pada keturunannya. Salah satu keturunannya adalah Dalem Sawang. Ia
adalah seorang raja sakti yang mampu memerintah para wong samar36. Dengan
kemampuannya ini Dalem Sawang bukannya menjadi raja yang bijaksana. Ia malah
memeras rakyat Nusa Penida dengan perantaraan para wong samar tersebut dan
membuat rakyat Nusa Penida menderita. Penderitaan ini sampailah ke telinga
penguasa Bali (yang disebut sebagai penguasa Bali dalam kisah ini adalah Ida Hyang
Tohlangkir, sementara itu menurut kisah di Bali daratan Ida Hyang Tohlangkir tak
lain adalah Dewa Mahadéwa atau Betara di Gunung Agung), yang kemudian
mengutus Dalem Bungkut. Dalem Bungkut adalah seorang (sebagaimana disebutkan
dalam Babad Nusa Penida) lelaki rupawan dan bersifat ksatria, yang tercipta dari
padang kasna.
36 Bahasa Bali: Mahluk halus.
45
Dikisahkan Dalem Bungkut kemudian berangkat seorang diri menuju Nusa
Penida dan menantang Dalem Sawang untuk berduel. Setelah melalui duel yang
berlangsung selama berhari-hari, Dalem Sawang akhirnya menyerah kalah. Akan
tetapi ia tidak begitu saja menerima kekalahan itu. Ia kemudian mengutuk Nusa
Penida dan membuat Nusa Penida kehilangan sumber air. Mengetahui hal itu, Dalem
Bungkut kemudian mengusir Dalem Sawang ke Bali daratan. Semenjak saat itu, Nusa
Penida diperintah oleh Dalem Bungkut. Setelah Dalem Bungkut meninggal,
kekuasaan kemudian dipegang oleh I Gede Mecaling yang masih merupakan
keturunan Dukuh Jumpungan. I Gede Mecaling ini tak lain adalah saudara ipar Dalem
Sawang. Kisah dalam Babad Nusa Penida berakhir disini. Tidak disebutkan
bagaimana akhirnya sampai Nusa Penida berada di bawah kekuasaan Gelgel.
Prasasti I Dewa Kulit ring Nusa Penida menyebutkan demikian: demikianlah
Ida Dalem Saganing mengadakan pertemuan yang diikuti oleh pendeta kerajaan
beserta penasehat beliau. Pada akhir pertemuan tersebut, Ida Dalem mengutus I Dewa
Karangasem dengan diiringi oleh saudara beliau yang bernama I Dewa Tanggan dan I
Dewa Timbul yang merupakan anak dari I Dewa Kulit. Selain itu juga mengutus I
Dewa Pasawahan dan I Dewa Kaleran. Berangkatlah beliau dengan diiringi oleh Ki
Jero Dukuh Puaji beserta pengikutnya ke desa Batumadeg (Nusa Penida)37. Ki Dukuh
37 Bahasa Bali: irika raris Ida Dalem Saganing ngawentenang pabligbagan kasarengin Bhagawantan idane kairingang antuk Baudanda idane. Pamuput wawidangan punika, raris wenten pangenikan Ida Dalem pacang ngutus I Dewa Karangasem, sane kaabih antuk pasemetonan idane sane mapesengan I Dewa Tanggan, I Dewa Timbul, sangkane puniki kaputra antuk I Dewa Kulit. Siosan punika
46
Puaji ini adalah seorang pemimpin di daerah Batumadeg, Nusa Penida, yang meminta
bantuan kepada Gelgel untuk mengamankan wilayahnya dari gangguan Datu Korde,
seorang pemimpin Baliage dari Sukun. Disebutkan bahwa Datu Korde sering
mengganggu jalannya upacara keagamaan di Pura Puaji, Batumadeg dan membuat
resah masyarakat sekitarnya. Dikisahkan bahwa Datu Korde adalah seorang sakti
yang kebal senjata tajam. Demikian pula halnya dengan tiga orang ksatria yang
diutus disebutkan “tidak bisa dilukai dengan karya seorang pembuat senjata 38” dan
tidak mudah lelah.
Tersebutkan bahwa Datu Korde menemui ajalnya di tangan utusan kerajaan
Gelgel dan para pengikutnya memohon untuk dibiarkan tetap hidup. Sesuai dengan
apa yang dijanjikan oleh Ki Dukuh Puaji, maka para ksatria tersebut dihadiahi sebuah
rumah berukir dan seorang putri dari Ki Dukuh Puaji. Hadiah ini kemudian diterima
oleh I Dewa Kaleran. Dikisahkan kemudian di suatu tempat lain, di desa Maos,
berdiamlah seorang Brahmana dari Pejeng39. Desa Maos ini seringkali diresahkan
oleh seorang (katakanlah) preman dari Sabyah yang bernama Pan Dranyam.
Disebutkan bahwa Pan Dranyam adalah seorang yang “tidak tanggung-tanggung
mapesengan I Dewa Pasawahan sareng I Dewa Kaleran. Raris gelisang Ida Memargi, kairing antuk Ki Jero Dukuh Puaji sapunika taler para panjak ngungsi jagat batumadeg 38 Dalam bahasa aslinya: nenten je pisan metatu antuk pekaryan pande. 39 Kisah mengenai bagaimana sampai seorang Brahmana dari Pejeng bisa sampai di daerah pegunungan Nusa Penida ini juga tidak jelas. Dikisahkan bahwa dulu di daerah Pejeng (Gianyar) terjadi bencana beruntun: gempa, grubug, dikisahkan juga bahkan tanah disana sampai terbelah. Ditengarai penyebabnya adalah kelahiran sepasang bayi kembar buncing dari kasta Brahmana. Entah bagaimana ceritanya, salah satu dari kembar itu kemudian dibuang ke Nusa Penida.
47
kesaktiannya 40” dan “tak henti-hentinya membuat kekacauan di desa Maos, seperti
Mayadenawa41”. Penduduk desa Maos kemudian meminta bantuan Brahmana Pejeng.
Brahmana Pejeng yang mendengar tentang para ksatria yang berhasil mengamankan
Batumadeg, kemudian berangkat ke Batumadeg untuk meminta bantuan kepada para
ksatria tersebut dengan janji bahwa ia akan memberikan sebuah Pura di Batununggul
sebagai bukti bahwa mereka mampu mengamankan gumi nusa42. Para ksatria yang
dimintai bantuan ini pun menuju Maos, dan berhadapan dengan Pan Dranyam.
Dengan kesaktiannya, Pan Dranyam menghadapi para kssatria itu dan berhasil
memukul mundur mereka. Para ksatria kemudian meminta bantuan ke Gelgel.
Bantuan datang berupa seorang ksatria yang bernama I Dewa Anom. I Dewa Anom
sendiri adalah seorang ksatria yang telah madwija43.
Demi melihat musuhnya yang kali ini datang seorang diri, Pan Dranyam
mulai mengejek I Dewa Anom, dengan mengatakan kalau ia ingin meminta genta
sang pendeta untuk digunakan sebagai kalung sapi dan ketu44 yang ingin ia gunakan
sebagai penutup mulut sapi. Kemudian bertempurlah mereka. Pan Dranyam berhasil
dikalahkan. Dengan usus yang terburai ia melarikan diri. Sampai di kediamannya,
perut Pan Dranyam dicuci sampai bersih untuk kemudian dijahit oleh istrinya. Setelah
40 Dalam bahasa aslinya: tan lintang-lintang kesaktian nyane. 41 Dalam bahasa aslinya: tan surud ngrabeda ring Desa Maos, sekadi Mayadenawa 42 Bahasa Bali: jika diterjemahkan secara kasar bisa berarti bumi, namun yang dimaksud disini adalah daerah. 43 Bahasa Bali: telah resmi menjadi seorang Bujangga yang posisinya kurang lebih sama dengan Pedanda (pendeta dari kasta Brahmana). 44 Bahasa bali: topi yang biasanya digunakan oleh pendeta.
48
melalui “operasi” itu, Pan Dranyam kemudian kembali menantang I Dewa Anom.
Kembali Pan Dranyam dikalahkan oleh I Dewa Anom, namun kali ini ia tak sempat
melarikan diri. Ia menemui ajalnya di tangan I Dewa Anom. Maka gumi nusa aman
tentram tak mendapat gangguan apapun.
Kisah tersebut menjadi menarik ketika tokoh-tokoh yang disebutkan mengacu
pada keberadaan Pura-Pura di Bali daratan dan Nusa Penida: Ratu45 Gede Mecaling
(yang mengacu pada keberadaan Pura Penataran Ped, atau seringkali disebut sebagai
Dalem Ped oleh orang-orang Bali daratan) dan Betara di Besakih (yang saya kira
mengacu pada Dewa Mahadéwa: Dewa yang dipuja di Pura Besakih). Keberadaan
dua Pura besar di Bali daratan dan Nusa Penida yang dimasukkan ke dalam kisah
seakan menjadikan kisah ini sebagai kisah perseteruan antara Dewa. Disebutkan
demikian oleh informan saya dengan sambil lalu, bahwa Dalem Bungkut adalah sisa-
sisa kerajaan Bedahulu yang melarikan diri ke Nusa Penida ketika Bedahulu berhasil
ditundukkan oleh Majapahit. Mengingat Pura kerajaan Bedahulu adalah Pura Besakih
yang kemudian dikuasai oleh kerajaan Klungkung, tidaklah mengherankan jika
kemudian pelarian dari Bedahulu membangun Pura lain di tempat pelariannya: Pura
Penataran Ped dan menjadikannya kanon untuk melawan kuasa Pura Besakih yang
dikuasai Klungkung.
45 Kata ‘Ratu’ disini tidak mengacu pada jenis kelamin, melainkan sebutan untuk seseorang yang dimuliakan. Kata ini kemudian menghasilkan kata atu yang bermakna sama.
49
Pola kisah ini serupa dengan kisah penundukan Bali daratan yang saya
paparkan sebelumnya. Pola penundukan dengan terlebih dahulu menyudutkan
simbol-simbol lokal semacam ini terbukti ampuh dalam konteks Bali. Selain karena
simbol adalah sesuatu yang penting dalam konteks Bali, kekalahan simbol-simbol
lokal merepresentasikan kekalahan pengguna simbol-simbol tersebut. Simbol-simbol
ini menjadi penting karena ia mengkomunikasikan sesuatu yang “tidak bisa”
dikomunikasikan secara oral. Agar simbol-simbol ini mampu mengkomunikasikan
sesuatu, pertama-tama ia mesti disepakati oleh para penggunanya terlebih dahulu.
Setelah simbol-simbol ini disepakati sebagai salah satu cara untuk berkomunikasi, ia
kemudian mewakili keberadaan masyarakat pengguna simbol tersebut. Sebagaimana
disebutkan oleh Lacan bahwa pertama-tama seorang anak terasing melalui bahasa
lalu kemudian melalui hasrat yang lain (other’s desire)46. Bahasa yang saya
maksudkan disini tidak melulu dilihat sebagai citra akustik, melainkan apa saja yang
membentuk suatu sistem komunikasi; entah itu gambar, tulisan, sistem kepercayaan
dan seterusnya, selama ia dipahami sebagai sebuah sistem komunikasi. Sebagaimana
diyakini Roland Barthes dalam mitologi bahwa suatu sistem komunikasi: sebuah
pesan, pada dasarnya adalah sebuah type of speech, ia adalah sebuah cara pemaknaan
yang tidak hanya terbatas pada oral speech.
46 “…the child can be understood to in some sense choose to submit to language, to agree to express his or her needs through the distorting medium or straightjacket of language, and to allow him or herself to be represented by words.” Lihat: Bruce Fink; The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance, Princeton University Press, Princeton, New Jersey, 1956:
50
Kekalahan pada tataran simbol sebagaimana yang saya sebutkan di atas,
dengan kata lain merupakan ketidakmampuan untuk berkomunikasi;
ketidakmampuan untuk bernegosiasi dengan kekuasaan. Ketika seseorang sudah tidak
lagi mampu berkomunikasi, akses-akses pada mean of power tertutup sudah, ia tak
lagi mampu memenangkan pertempuran. Dengan kalimat lain mungkin bisa saya
katakan demikian; Dewa-dewa yang kamu sembah sudah tidak lagi mampu
melindungimu, akan lebih baik jika kamu menyembah Dewa-dewa yang aku sembah
karena Ia lebih sakti dibandingkan dengan Dewa-dewa-mu. Demikian, mengikuti
Barthes, pada analisa tingkat pertama kekalahan menimpa mereka dengan terlebih
dahulu meruntuhkan simbol-simbol yang mewakili keberadaan mereka. Hal ini
membuat mereka tidak bisa lagi mengkomunikasikan/ mewacanakan pesan-pesan
mereka kepada seseorang di luar diri mereka. Akan tetapi pada analisa tingkat kedua,
pesan-pesan mereka tetap tersampaikan dalam lingkar komunitas mereka melalui
mitos-mitos yang tersebar di bawah permukaan kekalahan mereka. Bisa jadi ini
adalah weapon of the weak, dimana pesan-pesan disampaikan melalui kisah-kisah
kekalahan bahwa mereka tidaklah benar-benar tunduk, mereka masih melawan.
Dengan kata lain, mereka memang kalah namun mereka belum berhenti melawan.
Sebagaimana yang terjadi dengan mitos Ratu Gede Mecaling (sampai) saat ini, mitos
ini sangat dipercaya bahkan oleh orang-orang Bali daratan.
51
Di lain pihak, ketidakjelasan sejarah Nusa Penida saya kira berhubungan
dengan pengasosiasian sejarah (orang-orang) Nusa Penida dengan sejarah Bali
daratan. Maksud saya demikian, ketika orang-orang Nusa Penida membiarkan sejarah
keberadaan mereka tenggelam oleh narasi kerajaan Klungkung, mereka masuk ke
dalam narasi besar itu melalui personifikasi Dewa-Dewa yang hidup dalam mitos.
Hal tersebut justru membuat sejarah Nusa Penida menjadi dinamis dan bergerak
dengan liar. Sejarah keberadaan mereka hidup dalam folklore-folklore yang
diceritakan secara oral.
52
BAB III
RATU GEDE MECALING DAN PRIMITIVISASI NUSA PENIDA
Anak Sakti, Masiat kapetengan dan Ngeleak
Bab ini merupakan diskusi atas satwa-satwa yang mencerminkan proses pe-
“liyan”-an dan primitivisasi orang-orang Nusa Penida secara kultural. Satwa-satwa
pada bab ini saya dapatkan dengan mewawancarai orang-orang di Nusa Penida.
Selain itu beberapa satwa merupakan kisah yang jamak diketahui sehingga tidak lagi
diketahui dari mana muasal satwa tersebut. Satwa yang dipilah dan dipilih pada bab
ini berdasarkan pada keterkaitannya dengan permasalahan utama tesis ini: persoalan
pandang-memandang yang mengarah pada proses pe-“liyan”-an orang-orang Nusa
Penida secara kultural.
Bab ini saya bagi menjadi tiga sub bab yang masing-masing berkisah tentang:
anak sakti, ngeleak dan masiat kapetengan. Sebelum masuk secara lebih spesifik ke
dalam masing-masing sub bab, kiranya ada baiknya saya akan memberikan
pemaparan singkat mengenai istilah anak sakti, masiat kapetengan dan ngeleak
terlebih dahulu. Anak sakti adalah manusia dengan kemampuan mistis yang bisa
digunakan untuk menyakiti dan atau menyembuhkan. Kemenduaan selalu menjadi
sifat anak sakti dalam kebanyakan satwa; anak sakti hampir selalu merubah
bentuknya serta dipersonifikasikan garang dan seringkali bertaring. Keahlian yang
53
dimiliki anak sakti seringkali disebut adalah anugerah yang diberikan oleh suatu
mahluk yang lebih berkuasa. Anugerah ini biasanya mengambil bentuk material
sebuah lontar yang mesti dipelajari jika seseorang ingin menjadi anak sakti1. Perilaku
anak sakti hampir selalu membawa resiko yang tidak ringan dan berbahaya, akan
selalu ada anak sakti lain yang ingin mengetahui seberapa kuatnya dia. Seberapa kuat
anak sakti selalu bisa dibuktikan melalui suatu demonstrasi. Demonstrasi yang saling
menunjukkan kekuatan masing-masing anak sakti inilah yang disebut masiat
kapetengan. Perubahan yang mengambil bentuk garang dan sering kali bertaring yang
dilakukan oleh anak sakti ketika menunjukkan kesaktiannya biasanya disebut
ngeleak.
I. Anak Sakti
Sebuah satwa mengisahkan pada sasih kanem2, kebanyakan orang di Bali
daratan memasang daun pandan berduri yang diikat dengan benang tridatu3 di pintu
masuk rumahnya. Daun pandan berduri itu adalah simbol penolak mara bahaya. Pada
masa inilah di Bali daratan sering terjadi grubug. Dikisahkan orang-orang satu per
satu jatuh sakit kemudian meninggal tanpa sempat diobati. Jika pada pagi hari
1 Lebih jauh mengenai sakti, lihat: Geertz, Hildred, Sakti Conjunction; New Views on Balinese “Religion” , tahun:halaman. 2 Bahasa Bali: bulan ke enam atau kira-kira pada bulan November -Desember pada penanggalan nasional. 3 Benang dengan tiga warna: merah, hitam dan putih yang masing-masing menyimbolkan (secara berurutan) Brahma, Wisnu dan Siwa.
54
seseorang sakit, menjelang sore ia telah diarak menuju kuburan. Semua orang
waspada, semua kesaktian dikerahkan namun tidak mampu mengatasi grubug. Semua
orang pasrah, karena tak satupun hal yang mereka lakukan bisa mengatasi wabah
yang menjalar secepat itu. Dikisahkan wabah ini terjadi karena Ratu Gede Mecaling
sedang melancaran ke gumi Bali4 diikuti oleh para pengikutnya berupa wong samar5.
Kemanapun Ratu Gede Mecaling bergerak, wabahpun bergerak kearah yang sama
mendahului kedatangannya.
Dikisahkan grubug ini terjadi karena kemarahan Ratu Gede Mecaling pada
orang-orang Bali daratan. Asal muasal kemarahan ini disebutkan demikian, Ratu
Gede Mecaling adalah penjelmaan Dalem Bungkut yang tidak mau meninggalkan
dunia ini. Karena dendam pada orang-orang Bali daratan yang memporak-porandakan
kerajaannyalah ia menyebarkan grubug. Kisah lain menyebutkan demikian, (Ratu)
Gede Mecaling adalah cucu dari Dukuh Jumpungan yang setelah kematian Dalem
Bungkut menguasai Nusa Penida. Gede Mecaling sangatlah gemar bertapa mencari
kesaktian. Pada suatu ketika ia bertapa memuja Dewa Siwa. Ketekunannya bertapa
membuat ia dianugerahi kesaktian berupa caling6 yang panjang. Tidak hanya itu,
bentuk fisiknya pun ikut berubah. Badannya menjadi hitam dan tinggi besar.
4 Bahasa Bali: berjalan-jalan ke Bali. Kata melancaran disini tidak tepat terjemahannya karena kata ini melekat pada subyek berupa mahluk suci dan atau Dewa-dewa maka ia bisa berarti perjalanan dalam rangka melihat-lihat wilayah kekuasannya dengan diiringi para bawahannya. Sedangkan kata gumi pada kalimat ini tidak saya terjemahkan karena secara ketat ia bisa berarti bumi, sedangkan dalam konteks ini ia lebih mengacu pada suatu wilayah; entah itu kecil atau besar. 5 Bahasa Bali : mahluk yang tak terlihat, sejenis mahluk gaib. 6 Bahasa Bali: taring.
55
Suaranya menggelegar menyebabkan kegaduhan dan kegemparan di dunia. Tidak
hanya menggemparkan dunia ini, dunia yang dihuni para Dewa juga dibuatnya
gempar. Tak ada satupun Dewa yang bisa menghentikannya, apalagi manusia.
Para Dewa yang kebingungan akhirnya mengirimkan Betara Indra untuk
menghentikan Gede Mecaling. Setelah bertahun-tahun dengan mengeluarkan sejuta
tipu daya, akhirnya taring yang menjadi pusat kekuatan Gede Mecaling bisa dipotong
oleh Betara Indra. Setelah taringnya berhasil dipotong, Gede Mecaling kembali
bertapa. Kali ini ia memuja Dewa Rudra dan ia dianugerahi kesaktian yang tak kalah
dahsyatnya dengan apa yang pernah ia terima dari Dewa Siwa. Ia menerima lima
macam kesaktian berupa panca taksu: taksu kesaktian, taksu balian, taksu penggeger,
taksu penulak grubug dan taksu ngadaang kemeranan7. Semua kesaktian ini
ditambah lagi dengan seluruh wong samar dan bebutan8 di seluruh Nusa Penida yang
menjadi pengabihnya9.
Dengan kesaktian dan armada wong samar dan bebutan yang dimilikinya
inilah ia menebarkan ketakutan di gumi Bali. Dikisahkan demikian, gumi Bali
mengalami ketakutan yang tak kunjung surut, sampai akhirnya pada suatu ketika ada
seseorang menemukan penangkal grubug dengan tidak sengaja. Dikisahkan orang ini
adalah orang yang kemalaman di jalan dan tidak berani melanjutkan perjalanan
7 Bahasa Bali: lima taksu (saya belum menemukan padanan kata yang tepat untuk kata taksu dalam bahasa Indonesia): taksu kesaktian, taksu dukun, taksu untuk membuat kekacauan, taksu penolak wabah, taksu untuk membuat wabah. 8 Bahasa Bali: berjenis-jenis mahluk halus. 9 Bahasa Bali: abdi.
56
karena takut diserang leak10 dan wong samar yang berkeliaran di malam hari. Karena
ketakutan yang tak terkira, tanpa sengaja ia berlindung di balik rerimbunan pandan
berduri. Tetap saja ia merasa takut, takut dengan binatang buas disatu sisi, disisi lain
takut pada leak dan wong samar yang berkeliaran. Ketakutan yang terus mendera
membuatnya tak mampu memejamkan mata barang sedetik pun. Menjelang tengah
malam ia menyaksikan dengan mata kepalanya ribuan wong samar dan bebutan
berkumpul tak begitu jauh dari tempatnya bersembunyi, seakan sedang menunggu
sesuatu. Tak lama kemudian ia melihat sosok hitam dan tinggi besar bertaring datang
dengan diiringi sepasukan wong samar dengan penampakan yang juga mengerikan.
Anehnya, tak satupun dari mahluk-mahluk itu yang menyadari kehadirannya.
Tak lama setelah kehadiran sosok hitam dan tinggi besar itu, para wong samar
dan bebutan itu satu per satu meninggalkan tempat mereka, menyebar ke semua arah.
Ketika pagi menjelang ia secepat kilat pulang dengan membawa beberapa potong
pandan berduri. Ia berpikir, jika kehadirannya tak disadari ketika bersembunyi di
balik rerimbunan pandan berduri, mungkin saja pandan berduri itu adalah
penyebabnya. Ia kemudian mengikat beberapa potong pandan berduri yang ia bawa
itu di tiang rumahnya dengan menggunakan benang tri datu dan menceritakan
kejadian yang dia alami kepada tetangga-tetangganya. Entah siapa yang
mengusulkan, penduduk desa kemudian membuat tiruan sosok hitam tinggi besar itu
dan mengaraknya keliling desa. Demikian, desa itu terhindar dari grubug yang tak 10 Bahasa Bali: mahluk jadi-jadian.
57
putus melanda Bali daratan. Sosok tiruan itu kemudian yang disebut sebagai barong
landung11. Barong landung kemudian menjadi benda sakral yang dikeramatkan di
beberapa desa di Bali daratan. Barong landung juga yang dimintai penulak bala12 di
kala desa mengalami kejadian-kejadian seperti misalnya grubug. Barong landung,
yang biasanya juga disebut sebagai papak selem, dipercaya sebagai perwujudan Ratu
Gede Mecaling.
Jika masyarakat kita secara obyektif adalah ladang istimewa bagi pemaknaan
mitis, maka hal itu dikarenakan mitos secara formal merupakan instrumen yang
paling sesuai bagi pembalikan ideologi yang mendefinisikan masyarakat ini: pada
semua level komunikasi manusia, mitos mengoperasikan pembalikan anti-fisis
menjadi pseudo-fisis. Apa yang disuguhkan dunia pada mitos adalah realitas historis,
yang didefinisikan, kendati kembali hanya sesaat, oleh cara di mana manusia telah
menggunakan atau memproduksinya; apa yang diberikan mitos pada saat ia kembali
adalah gambaran alamiah realitas ini13. Dalam mitos semua hal historis lenyap,
seperti halnya wabah yang menjalar cepat dalam kisah diatas. Suatu wabah dimaknai
sebagai sebuah ketidak-seimbangan alam dan memerlukan suatu proses yang
melibatkan mahluk-mahluk mistis seperti Ratu Gede Mecaling. Keberadaan institusi
11 Bahasa Bali: barong yang memiliki sosok tinggi besar. Di beberapa tempat lain di Bali daratan barong landung ada sepasang; personifikasi laki-laki dan perempuan. Barong landung laki-laki berwarna hitam, sedangkan yang perempuan berwarna putih. Di beberapa tempat yang memiliki sepasang barong landung, sepasang barong landung itu adalah personifikasi seorang raja di Buleleng dan istrinya yang adalah seorang putri dari Cina. 12 Bahasa Bali: penolak marabahaya. 13 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004:206.
58
negara dalam mengelola bencana dikesampingkan, meskipun di sana terlihat jelas
bahwa institusi tersebut bertanggung jawab atas penanggulangan suatu bencana, tapi
ia dinafikan oleh mitos.
Kita bisa melihat ketika wabah flu burung dan rabies melanda Bali, hal yang
terlebih dahulu dilakukan adalah memberikan persembahan kepada Bhuta Kala14. Hal
ini terlihat wajar karena apa yang dilakukan Bhuta Kala dalam beragam folklore
adalah mengacau tatanan dunia. Sementara keberadaan negara dinafikan, padahal
semestinya negara memiliki peran dan tanggung jawab dalam mencegah dan atau
memperbaiki keadaan tersebut. Mitos mengembalikan realitas yang terbalik. Ia
mengosongkan sejarah dan memenuhinya dengan sifat alam. Ia telah menggeser
berbagai persoalan dari maknanya sedemikian rupa sehingga memaksanya menandai
satu ketidakberartian manusia15. Keberadaan Ratu Gede Mecaling yang terus dijaga
keberadaannya dalam mitos, bisa dilihat sebagai benteng pertahanan Bali daratan
yang memegang kuasa formal dalam institusi negara. Sehingga keterlambatan,
ketidakmampuan negara dalam membangun sarana dan prasarana untuk orang banyak
di Nusa Penida terlindungi dengan menyebutkan bahwa Nusa Penida memiliki kuasa
yang tak mampu disentuh oleh orang-orang biasa: Ratu Gede Mecaling. Dengan kata
lain primitivisasi Nusa Penida bisa dimaklumi: karena Nusa Penida adalah pulau
yang dilindungi oleh kuasa mistis yang tak mampu dijinakkan atau karena tingkat
14 Lihat misalnya: “Klungkung Rancang Penangkalan Rabies Secara Niskala, Bali Post, 30 Oktober 2009”, “Pemkot Gelar ‘Pamahayu Jagat’ di Serangan, Bali Post, 25 Februari 2009”. 15 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004:206-207.
59
kesucian dan kesakralan yang tinggi dimiliki oleh Nusa Penida melindunginya dari
pengaruh buruk hal-hal profan16. Dengan kata lain bisa dikatakan kalau hal ini
merupakan pengalihan arena pertarungan. Ketika kalah dalam arena historis,
pertarungan dialihkan ke arena mistis. Namun abiguitas mistis(isme) Bali berhasil
dimanfaatkan oleh negara untuk kembali memantapkan kuasanya atas Nusa Penida.
Kisah lain menyebutkan betapa pemurahnya Ratu Gede Mecaling kepada
penduduk Bali daratan. Kisah ini bermula di suatu tempat di Ubung, Denpasar Timur.
Adalah seorang penjual nasi yang berjualan di terminal bis Ubung. Penjual nasi ini,
Made Badak17, hidupnya sekeluarga bisa dikatakan di bawah rata-rata. Ia berjualan
hanya cukup untuk makan sehari saja. Terkadang ia harus berhutang untuk bisa
melanjutkan usaha yang dijalaninya. Rumah yang ia tempati bersama seorang istri
dan tiga orang anak penuh sesak. Hampir tidak ada ruang kosong di seluruh bagian
rumah itu. Pada suatu siang hari yang panas, dia kedatangan seorang tamu di
warungnya. Tamu itu adalah seorang tua yang lusuh dan membawa sebuah tas putih
yang warnanya sudah mulai kecoklatan. Si orang tua meminta makanan tapi tak
mampu membayar. Ia berkata kalau ia berasal dari Nusa Penida dan sedang mencari
rumah anaknya namun tak kunjung ia temukan juga alamat si anak. Selain meminta
makanan orang tua itu juga minta supaya diijinkan untuk menginap di rumah Made
16 Lihat misalnya: “Dr. Arya Vedakarna: Nusa Penida Benteng Terakhir Hindu di Bali, Bali Post, 8 April 2009”. 17 Pseudonym yang saya berikan pada informan saya, karena ia tidak mau namanya disebut-sebut dalam tulisan ini. Wawancara tanggal 10 April 2009.
60
Badak. Entah dengan pertimbangan apa dan dia sendiri sampai sekarang juga tak
habis pikir kenapa dia mengiyakan permintaan si orang tua. Orang tua itu kemudian
menungguinya sampai ia menutup warung makannya. Keanehan yang tidak ia sadari
waktu itu adalah makanan yang ia jual habis sebelum tengah malam. Padahal
biasanya makanan yang ia jual jarang habis, kalaupun habis itupun sudah menjelang
subuh.
Orang tua itu juga membantunya menutup warung dan ikut membawakan
segala macam perlengkapan warung yang sekiranya ia butuhkan di rumah. Di
rumahnya yang sempit, Made Badak memberikan orang tua itu kamar yang biasanya
digunakan oleh anak-anaknya, sedangkan anak-anaknya “diungsikan” ke kamarnya.
Ia dan istrinya sebagaimana biasa jarang tidur karena harus mempersiapkan dagangan
untuk esok hari. Sebelum berpamitan untuk tidur, orang tua itu “berpesan” demikian,
“Benjangan jero sampunang lali maturan ring Ped18”. Awalnya Made Badak tidak
memahami apa maksud perkataan itu. Ia pikir dirinya disarankan untuk
bersembahyang di Pura Penataran Ped hanya karena si orang tua yang ia tolong
berasal dari Nusa Penida (ia baru memahami maksud pesan itu beberapa waktu
kemudian, setelah ia (sebagaimana yang ia kira) tidak mungkin lagi bertemu dengan
orang tua itu). Hari selanjutnya, ia menunggu si orang tua keluar kamar. Tak lama ia
menunggu, si orang tua keluar kamar dan langsung meninggalkan rumah Made
Badak setelah sebelumnya berterima kasih atas bantuannya. Sebelum pergi, orang tua 18 Bahasa Bali: nanti saudara jangan lupa bersembahyang di Pura Penataran Ped.
61
itu sekali lagi berpesan agar Made Badak tak lupa bersembahyang di Pura Ped. Made
Badak hanya mengangguk tanpa memahami apa maksud perkataan tamunya itu.
Setelah kepergian tamu “tak diundang” itu, dagangannya laku keras. Ia
sampai bisa membuka warung makan di dua tempat dan menyewa orang untuk
mengurusnya. Saat itu, ia melupakan pesan tamunya. Sampai akhirnya pada suatu
malam ia bermimpi didatangi oleh orang tua yang sama. Dalam mimpinya, orang tua
itu secara perlahan berubah menjadi sosok tinggi besar hitam bertaring panjang.
Sosok mengerikan itu mengerang dan mengatakan kalau Made Badak lupa untuk
bersembahyang di Pura Ped. Seketika ia terbangun dan membangunkan istrinya yang
terlelap di sampingnya, kemudian menceritakan mimpinya. Akhirnya mereka
memutuskan untuk bersembahyang ke Pura Ped keesokan harinya. Sampai
sekarangpun ia masih bersembahyang kesana dan mengatakan kalau kesuksesannya
adalah karena paican Ida sane meneng ring Dalem Ped19.
Kisah lain lagi mengenai kemurahan hati Ratu Gede Mecaling terjadi ketika
kerajaan Klungkung membangun pemedal20. Kisah ini saya dapatkan dari mbok Tut21,
seorang pembantu rumah tangga yang tinggal di sebelah pemedal agung. Hampir
mirip dengan kisah Made Badak yang saya ceritakan di atas, personifikasi seorang tua
19 Bahasa Bali: kemurahan hati beliau yang berdiam di Pura Dalem Ped. 20 Bahasa Bali: pintu keluar. Biasanya ukuran pemedal sangat besar. Pemedal yang besar ini diapit oleh tembok berukir yang megah dan menjulang tinggi. Oleh penduduk sekitar pemedal ini disebut pemedal agung. Pemedal ini sangat tinggi, kurinya(pintu) saja sekitar 4 atau lima meter, ditambah gelung kuri (ukiran yang menjadi bagian integral dari pintu-pintu sejenis) tingginya kurang lebih 10 meter. 21 Bahasa Bali: mbok (kakak perempuan) Tut (didapat dari kata Ketut yang menunjukkan dia adalah anak ke empat).
62
juga hadir dalam kisah pembangunan pemedal kerajaan Klungkung sebagai tokoh
utama. Dikisahkan demikian, ketika ukir-ukiran gelung kuri sudah hampir selesai,
bahan untuk kuri pemedal belum juga ditemukan. Seluruh penghuni kerajaan tidak
bisa menemukan bahan yang pantas digunakan untuk kuri pemedal yang tinggi besar
itu. Pada suatu siang ada seorang tua yang berpakaian lusuh dan hanya membawa tas
dekil kecil nangkil22 ke Puri. Orang tua ini bermaksud maturan lakar kuri23 dan
mengatakan bahwa dirinya berasal dari Nusa Penida, tapi sekali lagi sebagaimana
kisah sebelumnya, orang tua ini tidak menyebutkan namanya. Sampai sekarang pun,
dari kisah-kisah yang beredar, hanya disebutkan demikian; anak lingsir saking
Nusa24.
Ketika ditanya kayu seperti apa yang akan dia persembahkan untuk bahan
kuri, orang tua itu mengatakan akan memberikan los mako25. Demi mendengar apa
yang akan ia persembahkan orang-orang menertawainya. Entah bagaimana ceritanya,
akhirnya bisa berhadapan dengan raja dan mempersembahkan los mako yang ia
bawa-bawa dalam tas kecil lusuhnya itu. Ketika dikeluarkan, los mako itu terlihat
22Bahasa Bali: menghadap. Kata ini biasanya digunakan ketika berhadapan dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya. 23Bahasa Bali: menghaturkan bahan untuk membuat kuri. Kata maturan ini biasanya juga digunakan ketika mempersembahkan sesajen kepada para Dewa. 24 Bahasa Bali: seorang tua dari Nusa (Penida). Pada kisah ini banyak yang mengasumsikan kalau orang tua ini adalah penjelmaan Ratu Gede Mecaling dengan alasan banyak ada anak sakti pada masa itu, namun tidak ada satu pun yang memiliki keberanian untuk masuk ke wilayah “musuh”. Dalam hal ini yang berani dan memiliki kemampuan untuk melakukannya hanya Ratu Gede Mecaling. 25 Bahasa Bali: saya tidak mendapatkan padanan katanya dalam bahasa Indonesia, penjelasannya demikian; sepotong kayu jika dibiarkan terpanggang panas matahari kulit kayunya akan mengering dan mengelupas. Yang berada dibalik kelupasan kulit kayu inilah yang disebut los. Sedangkan mako berarti tembakau.
63
sebagaimana layaknya los mako: kecil, coklat, kering dan tak mungkin dijadikan
bahan kuri. Akan tetapi beberapa saat setelah dikeluarkan, los mako itu semakin lama
semakin membesar dan terus membesar. Demikianlah, los mako itu akhirnya
digunakan sebagai kuri pemedal agung. Orang tua itu sendiri kemudian yang
mengawasi pembuatan kuri. Setelah kuri selesai dibangun, orang tua itu pun
menghilang dan tidak diketahui jejaknya. Sampai sekarang pun tak ada orang yang
tahu siapa sebenarnya orang tua itu. Sebagaimana yang telah saya tuliskan di awal
kisah, yang diketahui dari orang tua itu hanyalah: anak lingsir saking Nusa.
Dikisahkan kemudian perang puputan meletus dan Klungkng dikalahkan. Ketika
Klungkung dikalahkan, ada seorang prajurit Belanda yang memanjat pemedal agung
dan mengencinginya dari atas. Menurut kisah, prajurit itu tiba-tiba ketakutan dan
berteriak-teriak dari atas pemedal agung. Katanya ia melihat seluruh tempat
digenangi air. Ia ketakutan sampai tak berani turun26. Demikianlah prajurit Belanda
itu duduk termangu di atas gelung kuri pemedal agung. Menurut kisah, prajurit
Belanda itu berubah menjadi patung dan di gelung kuri memang ada sepasang patung
yang duduk termangu.
Dalam perjalanan dari sejarah menuju alam, mitos melakukan tindakan secara
ekonomis: ia meniadakan kompleksitas semua tindakan manusia, ia memberikan
26 Kisah ini sudah saya dengar sejak kecil, ketika itu salah seorang teman nekat hendak memanjat pemedal agung. Sebelum ia sempat memanjat, seorang tetangga meneriakinya. Tetangga itu memarahi kami dan menceritakan kisah tentang prajurit Belanda ini. Saya pikir itu hanya untuk menakut-nakuti anak kecil yang bandel saja, kisah itu dia ulangi lagi beberapa tahun kemudian ketika saya berkunjung ke Klungkung, dan ia ulangi lagi ketika saya bertanya-tanya untuk kepentingan penulisan tesis ini.
64
esensi yang sederhana, ia menghilangkan semua dialektika. Dengan kembali pada apa
yang kelihatan hanya sesaat, mitos mengatur sebuah dunia tanpa ada kontradiksi
sebab ia ada tanpa kedalaman, dunia terbuka lebar dan bergelimangan dengan fakta,
ia membuat kejelasan yang sangat menggembirakan: berbagai hal tampak bermakna
sesuatu karena diri mereka sendiri27. Pada kisah-kisah di atas ada pengungkapan
ketidakmampuan kuasa (kerajaan) Klungkung dan atau Bali daratan dalam
melindungi serta memberi kesejahteraan pada penduduknya. Kenyataan itu
diproduksi terus menerus, dan kehadirannya diaktualisasikan dengan patung yang
duduk termangu di gelung kuri. Di sini kita lihat, sebagaimana dikatakan oleh Roland
Barthes, bahwa mitos adalah wicara yang didepolitisasi dan mitos merupakan bahasa
penindas untuk menjelaskan dirinya, untuk memproduksi dan memelihara
kekuasaannya. Dengan kata lain bisa dikatakan kalau mitos merupakan sebuah post-
tactum, sebuah kejadian bersejarah yang meninggalkan jejak dibuatkan sebuah narasi
yang koheren. Sehingga narasi ini (dari satu sudut pandang) dianggap sebagai sebuah
kebenaran.
Mitos tidaklah menyangkal berbagai hal. Sebaliknya, ia berfungsi untuk
berbicara tentang persoalan-persoalan tersebut. Ia memurnikannya, membuatnya
menjadi naïf. Ia memberi justifikasi alamiah dan justifikasi abadi. Ia memberikan
sebuah kejelasan yang tidak dalam bentuk penjelasan namun berbentuk pernyataan
27 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004:206-208.
65
tentang fakta28. Kisah Made Badak di atas misalnya, berbicara mengenai persoalan
Bali daratan yang tak terselesaikan oleh penguasa Bali daratan yang kemudian
ditangani oleh penguasa Nusa Penida dan terselesaikan. Kuasa alam niskala29 dalam
menyelesaikan persoalan di Bali ini membuat orang-orang Bali memandang bahwa
kuasa alam niskala merupakan bagian integral dari hidupnya. Pada akhirnya hal
inilah yang membentuk cara pandang Bali daratan pada Nusa Penida. Kemudian
bagaimana cara pandang ini dijaga dengan cara memelihara mitos Ratu Gede
Mecaling merupakan pernyataan tentang fakta bahwa kuasa Bali daratan tidak
mampu menyentuh Nusa Penida. Bahkan sebaliknya, kuasa Nusa Penida lah yang
mengulurkan bantuan pada Bali daratan. Fakta inilah yang kemudian disodorkan
untuk memelihara pandangan bahwa Nusa Penida merupakan pulau yang primitif dan
mesti tetap dijaga, karena jika tidak kuasa niskala tidak akan lagi berpihak pada kita.
Kesucian pulau harus dijaga jangan sampai tercemar hal-hal yang berbau profan.
Demikianlah, pulau ini adalah pulau yang primitif dan orang-orangnya pun adalah
orang-orang primitif yang tidak memahami serta mengalami modernisasi.
Dengan cara demikian, orang-orang Nusa Penida dipandang sebagai
penyelamat disatu sisi dan pembangkang disisi lain. Penyelamat karena ia
memberikan kesejahteraan pada orang-orang Bali daratan, pembangkang karena ia
adalah orang buangan sebagaimana akan saya ceritakan di bawah. Sebagai
28 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004:207. 29 Bahasa Bali: alam tak nyata (invisible realm).
66
penyelamat ia harus dihargai, dihormati dan dilayani berbagai kebutuhannya. Sebagai
pembangkang ia harus dijaga agar tidak sampai naik kepermukaan dan
menyingkirkan kuasa yang sudah kokoh ini. Kesimpulan dari dua hal yang saling
bertentangan dengan ekstrem ini adalah menjaga mitos Ratu Gede Mecaling tetap
hidup. Disatu sisi hal ini bisa saja dilihat sebagai negosiasi antar kedua belah pihak
yang terus berlangsung
Kisah lainnya diceritakan dan dialami langsung oleh kakek saya. Kakek
adalah pensiunan guru. Dia tidak pernah mengenal sepeda gayung karena katanya
sepeda itu mahal dan dia tidak pernah mampu membeli sepeda. Ketika ia masih
mengajar, ia harus berjalan kaki untuk mengajar dan itu artinya dia harus berangkat
jauh lebih awal. Untuk mengajar di daerah atas pun ia berjalan kaki. Ia menempuh
jarak puluhan kilometer setiap harinya dan seringkali ia kemalaman di jalan. Pada
suatu waktu sepulang dari mengajar, ia kemalaman dan memutuskan untuk bermalam
di Pura Ped. Ia merebahkan diri di sebuah bale kecil yang terbuat dari bambu. Belum
lama terlelap, ia merasa bale yang ia tiduri berguncang. Sejenak ia berpikir sedang
terjadi gempa dan berusaha untuk tetap tidur. Tapi getaran yang ia rasakan makin
lama semakin keras. Ketika ia membuka mata, tiba-tiba ia menyaksikan
pemandangan yang mengerikan. Ia melihat sosok hitam tinggi besar dengan taring
yang panjang sedang mengguncang-guncang bale yang ia tiduri. Tanpa pikir panjang,
dia langsung mengambil langkah seribu lari menuju rumah.
67
Satwa semacam ini seringkali terdengar di antara orang-orang Nusa Penida:
melihat penampakan Ratu Gede Mecaling yang digambarkan tinggi, hitam, besar dan
dengan taring yang panjang. Di kalangan orang-orang Nusa Penida sangat jarang
terdengar kisah-kisah seperti yang dialami Made Badak, berbanding terbalik dengan
kisah orang-orang Bali daratan yang sering mendapat paica30 dari Ratu Gede
Mecaling. Sebagaimana yang dituturkan oleh Dewa Apol31: Ida anak suba ngemaang
raga keselametan, angkananga kapah nak jumah kena sengkala. Buktineh yen di Bali
ada grubug, soroh awak jae taen engken-engken? Yen anak uli Bali sai maan paican
Ida, anak apang soroh to ne percaya ajak Ida32.
Salah satu ciri retoris mitos adalah neither-norism. Maksudnya, adalah ciri
mitologis yang terdapat dalam pernyataan atas dua lawan dan penyeimbangan yang
satu dengan yang lain dengan maksud menyangkal keduanya33. Keberuntungan
orang-orang Bali daratan yang sering memperoleh paica Ratu Gede Mecaling
dianalogikan bahwa orang-orang Bali daratan tidak mempercayai kuasa Nusa Penida
30 Bahasa Bali: berkah. 31 Wawancara tgl 4 Desember 2009. 32 Bahasa Nusa Penida: Beliau (Ratu Gede Mecaling) sudah memberkahi kita keselamatan, makanya jarang ada orang rumah (Nusa Penida) kena celaka (niskala). Buktinya kalau di Bali (daratan) ada wabah, mana pernah kita (orang-orang Nusa Penida) kenapa-kenapa? Kalau orang Bali (daratan) sering mendapat berkah, itu supaya mereka percaya pada beliau (Ratu Gede Mecaling). Catatan: konon tanda bahwa seseorang adalah orang Nusa Penida ditunjukkan dengan memakai gelang poleng (kain bermotif kotak-kotak hitam-putih-abu) yang didapat dengan cara merobek kain yang melilit salah satu pelinggih (shrine) di kompleks Pura Penataran Ped. Gelang ini biasanya dipakai oleh orang-orang Nusa Penida ketika Bali daratan terjangkit wabah, khususnya pada sasih kanem. Menariknya, ketika Desember 2009 lalu saya ke Pura Penataran Ped, disana telah disediakan robekan kain poleng untuk dipakai gelang oleh siapapun yang bersembahyang kesana. Tanda itu sekarang beralih menjadi tanda bahwa seseorang pernah bersembahyang di Pura Penataran Ped. 33 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004:224.
68
(Ratu Gede Mecaling), karena itu mereka dibuat percaya dengan pemberian-
pemberian tersebut; ketika hal ini dipertimbangkan, diperoleh kesamaan bahwa
orang-orang Nusa Penida juga mendapat berkah berupa keselamatan. Pada ciri ini
ketidak beruntungan selalu diikuti oleh keberuntungan, sehingga ada suatu
keseimbangan dimana seseorang tidak perlu lagi memilih. Mereka hanya perlu
mendukung.
Pernyataan bahwa orang-orang Nusa Penida secara khusus dilindungi dan
orang-orang Bali daratan tidak dilindungi oleh Ratu Gede Mecaling pada satu sisi
merupakan cara pandang orang Nusa Penida terhadap orang Bali daratan. Orang-
orang Bali daratan dimunculkan sebagai orang-orang yang tidak terlindungi dari
kemarahan Ratu Gede Mecaling, hidupnya selalu dalam keadaan siaga, was-was,
merasa tidak aman dan seterusnya. Karena hal tersebut, orang-orang Bali daratan
mencari perlindungan kepada Ratu Gede Mecaling di Nusa Penida. Dari sudut
pandang ini, posisi orang-orang Nusa Penida berada lebih tinggi dari orang-orang
Bali daratan. Secara kisah saya tidak menemukan satwa-satwa sejenis, dimana
mahluk-mahluk seperti Ratu Gede Mecaling menebarkan kekacauan, kalau pun ada
itu bukanlah sebuah satwa populer (misalnya: satwa Ki Balian Batur) yang
mempunyai implikasi sebesar satwa Ratu Gede Mecaling.
Tersebutlah pada suatu waktu, seorang anak sakti dari Nusa Penida. Menurut
kisah ia senang membaca lontar-lontar kesaktian yang membuat dia menjadi orang
69
yang disegani di desanya. Pada suatu hari, tanpa sengaja beberapa lontar yang ia
pelajari terbakar. Marahlah ia pada istri dan anak-anaknya yang lalai. Dengan
kemarahan yang meluap-luap ia memungut semua sisa lontarnya dan ia masukkan ke
dalam sok34. Kemudian sok itu ia jinjing di atas kepala dan ia berjalan menuju pantai.
Ketika sampai di pantai ia tak juga berhenti berjalan. Ia terus berjalan ke arah air
menuju utara. Ia terus berjalan menerobos air, meski orang-orang yang melihatnya
berteriak-teriak mencegah. Ia berjalan semakin cepat sampai tubuhnya menghilang.
Orang-orang yang panik, mulai mencari-carinya dengan menggunakan jukung.
Namun tubuhnya tak juga ditemukan, sampai sekarang. Keluarganya yang merasa
bersalah menemui anak sakti, mencari tahu ke mana gerangan tubuhnya menghilang.
Disebutkan bahwa ia ngayah35 di Pura Goa Lawah. Ketika desa mengadakan acara
ngaben36 massal, keluarganya meminta37 pada anak sakti yang ngayah di Pura Goa
Lawah tersebut agar ia sudi pulang ke Nusa Penida dan diupacarai. Namun ia
menolak dan memilih untuk tetap ngayah di Pura Goa Lawah.
Kaum tertindas mencipta dunia. Dia hanya memiliki bahasa (politik) yang
bersifat aktif dan transitif; kaum penindas menjaga dunia, bahasanya bersifat mutlak,
intransitif, gestural, teatrikal: ia adalah mitos. Bahasa kaum tertindas bertujuan untuk
34 Bahasa Bali: wadah yang terbuat dari anyaman bambu. 35 Bahasa Bali: mengabdi. 36 Bahasa Bali: suatu prosesi upacara mengkremasi tubuh seseorang yang telah meninggal. 37 Meminta yang saya maksudkan disini adalah: pihak keluarga dengan perantaran anak sakti berbicara dengan orang yang akan diupacarai. Hal semacam ini biasanya dilakukan oleh keluarga yang tidak menemukan tubuh orang yang telah meninggal untuk diupacarai.
70
melakukan transformasi, sedangkan bahasa kaum penindas bertujuan untuk
mengabadikan38. Kisah di atas mengabadikan kuasa Bali daratan atas Nusa Penida:
seperti apapun kesaktian seseorang pada akhirnya mesti ngayah pada kuasa Bali
daratan. Hal ini juga lebih menegaskan lagi anggapan bahwa orang-orang Nusa
Penida adalah, meminjam istilah Claire Holt, criminals and undesirable subjects in
the kingdom of Klungkung39, atau singkatnya, orang-orang buangan.
Memang satwa di atas dikisahkan oleh orang Nusa Penida, akan tetapi
menggunakan bahasa orang-orang Bali daratan. Bisa jadi secara tidak langsung ini
dilakukan untuk mengingatkan lagi orang-orang Bali daratan bahwa sebagian yang
disebut orang-orang Nusa Penida adalah orang Bali daratan yang “dibuang” ke Nusa
Penida, namun tetap setia pada kuasa Bali daratan, tetap mengabdikan hidupnya pada
kuasa Bali daratan. Meskipun Nusa Penida memiliki Ratu Gede Mecaling, mereka
harus tetap tunduk pada kuasa superior orang Bali daratan. Mengapa? Karena
pertama-tama, seperti yang telah saya sebutkan di atas, sebagian orang-orang Nusa
Penida merupakan orang buangan dari kerajaan Klungkung. Kenyataan itu
ditampilkan dengan menyebutkan (dalam satwa) ngayah di Pura Goa Lawah dan
ngayah merupakan sebuah pengakuan pada suatu otoritas tertentu.
38 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004:217. 39 Holt, Claire, “Bandit Island”, A Short Exploration Trip to Nusa Penida; dalam Traditional Balinese Culture; Belo, Jane (ed.); Columbia University, New York, 1970: 67.
71
II. Masiat Kapetengan
Dengan adanya kisah Ratu Gede Mecaling banyak orang yang
mengasumsikan bahwa orang-orang Nusa Penida memiliki kesaktian yang tidak
dimiliki oleh orang-orang Bali daratan. Di Nusa Penida sendiri kisah semacam ini
bukanlah kisah yang jarang didengar. Setiap tempat mempunyai anak saktinya
sendiri, leaknya sendiri dan setiap tempat memiliki situs untuk mencari kesaktian.
Seringkali orang-orang melihat kejadian-kejadian yang tidak masuk akal, endihan40
yang terbang rendah menuju ke satu arah, bojog41 yang menjerit-jerit di tengah
malam, celuluk42 atau rangda43 yang ngereh44 di tanah pekuburan dan seterusnya.
Seperti yang telah saya tuliskan pada awal bab ini, meskipun tidak sesering burung
berkicau, kisah tentang masiat kapetengan cukup sering terdengar.
Kisah berikut saya dapatkan dari seorang nelayan di Nusa Penida45. Pada
suatu pagi buta, ketika cuaca sedang tidak mendukung untuk melaut, nelayan ini tetap
pergi ke pantai untuk membersihkan jukungnya, sebagaimana biasa ia lakukan jika
40 Bahasa Bali: nyala (api), biasanya berbentuk bola api. 41 Bahasa Bali: monyet. Biasanya yang dimaksudkan disini adalah monyet jadi-jadian. 42 Ungkapan dalam bahasa Bali yang menggambarkan mahluk botak pada bagian tengah kepalanya dan gondrong pada bagian belakang. Mahluk ini memiliki taring dan gigi yang besar-besar, payudaranya besar dan menjuntai panjang, kuku-kuku jarinya, baik kaki maupun tangan, panjang-panjang dan hitam, serta mata yang mendelik. 43 Mahluk yang mirip dengan celuluk namun dengan rambut yang panjang sepenuhnya dan pada ubun-ubunnya ada api yang menyala, dengan gigi dan taring yang lebih kecil tapi lebih panjang. Tangannya biasanya menggenggam kain putih dengan aksara ong kara sungsang (hurup suci agama hindu yang merupakan simbol dari tiga perwujudanNya: ang (Brahma) ung (Wisnu) mang (Siwa) yang dituliskan terbalik). 44 Bahasa Bali: suatu penggambaran proses seseorang menjadi leak (di daerah lain ada yang menyebut mereh, tapi maknanya sama saja). Ditempat lain ngereh/mereh diasosiassikan dengan suara-suara (seperti suara tawa dan atau teriakan tertahan) yang dikeluarkan ketika seseorang hendak ngeleak. 45 Wawancara dengan Dewa Made Purna tgl 6 Desember 2009.
72
tak melaut. Ketika ia sedang asyik menggosok-gosok badan jukung, tiba-tiba entah
dari mana datangnya sesosok tubuh jatuh di atas pasir. Kaget dengan kejadian itu,
secara reflek ia berteriak, “nyen to46?” Hening, tiada jawaban. Dengan penasaran ia
mencari tahu siapa gerangan yang terjatuh di atas pasir itu. Tak lama ia menemukan
sesosok tubuh yang sedang menepuk-nepuk badan, menyingkirkan pasir yang
melekat. Sekali lagi nelayan itu bertanya, “nyen to?” Sosok yang sedang
membersihkan tubuh dari pasir itu diam sejenak, kemudian menoleh ke arah suara
yang bertanya kepadanya. Tapi orang itu menyahut demikian, “hmm.” Karena
penasaran, si nelayan mendekati orang itu. “Leeeh kaden nyen, tekuli jae ne47?”
Pertanyaan itu dijawab dengan singkat, “Mesiat48.” “ Jae dange mesiat ye ne49.”
“Gunung Agung.” Orang yang terjatuh itu kemudian pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Si nelayan yang mengenali orang itu sebagai orang yang kurang waras
membiarkannya begitu saja. Dan tetap terheran-heran dengan jawaban yang ia
dapatkan. Meskipun demikian ia percaya pada apa yang ia dengar, karena orang itu
dikenal hampir tidak pernah berbohong. Selain itu dalam kepercayaan lokal, orang
dengan kewarasan yang dipertanyakan seperti itu, memang ada kemungkinan mesiat
kapetengan. Akan tetapi ia tidak mesiat dengan kemampuannya sendiri, melainkan
hanya sebagai tunggangan nak sakti lain yang menggunakan tubuhnya.
46 Bahasa Bali: siapa itu? 47 Bahasa Nusa Penida: aku kira siapa, dari mana kamu? 48 Bahasa Bali: bertempur. 49 Bahasa Nusa Penida: secara kasar bisa diterjemahkan demikian, dimana kamu bertempur? Pada kalimat ini tersirat rasa tidak percaya akan apa yang diucapkan lawan bicara.
73
Kisah ini dipercayai oleh banyak orang, bahkan sampai sekarang pun masih
ada yang mempercayainya. Sebagai catatan, kisah ini belum lama terjadi.
Kejadiannya sendiri berlangsung sekitar tahun 1970an atau 1980an50. Seperti yang
telah disebutkan di atas, mitos melakukan tindakan ekonomis: ia meniadakan
kompleksitas tindakan manusia, ia memberikan esensi yang sederhana dan
menghilangkan semua dialektika. Demikian kisah yang baru saja terjadi bisa
direduksi dengan mencari persamaan-persamaannya dengan satwa yang sebelumnya,
kompleksitas waktu dan ruang disederhanakan: ia menjadi “tawar”, dan ia menjadi
sebuah tindakan alamiah, sebuah wicara yang didepolitisasi: sebuah mitos. Dengan
demikian setiap mitos bisa memiliki sejarah dan geografinya sendiri; kenyataannya
masing-masing menjadi tanda bagi yang lain: mitos mengalami pematangan karena
tersebar51.
Penyebaran mitos inilah yang membawa pesan bahwa orang-orang Nusa
Penida itu sakti dan Nusa Penida adalah tempat untuk mendapatkan kesaktian atau
paling tidak sesabukan. Di kalangan orang Nusa Penida sendiri satwa semacam ini
merupakan satwa yang tidak biasa, dalam artian tidak semua orang memiliki
pengalaman masiat kapetengan dan tidak semua orang bisa memiliki kesaktian
tertentu. Hal ini bisa dilihat sebagai “metode pertahanan diri” orang-orang Nusa
50 Dalam wawancara saya dengan Dewa Made Purna, dia sendiri tidak menyebutkan waktu yang pasti, ia mengatakan demikian: “dugas to ne, Bli Mendra suba SMA ye, pidan to orang adaneh?” (Waktu itu, Bli Mendra (anaknya) sudah SMA, kapan itu berarti?). Dari pernyataan tersebutlah saya mendapatkan perkiraan waktu antara 1970an atau 1980an. 51 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004:216.
74
Penida, di mana mereka memandang diri mereka lebih mungkin menjadi sakti
dibandingkan dengan orang-orang Bali daratan, karena mereka mendiami pulau yang
masih suci, sebagaimana telah saya sebutkan di atas. Dalam hal ini orang-orang Nusa
Penida adalah pembuat mitos: di mana tanda dikembalikan ke makna literal dan, oleh
karena itu, ia mengembalikan kekuatan simbolis dari tanda tingkat pertama. Di sisi
lain, orang-orang Nusa Penida juga adalah konsumen mitos, dengan menikmatinya
sampai ia merasakan kehadiran dan membiarkan mitos melaksanakan fungsinya52.
III. Ngeleak
Nusa Penida, sebuah pulau kecil di sebelah selatan pulau Bali yang dikenal
angker oleh orang-orang Bali daratan. Banyak sekali kisah-kisah yang menyebutkan
penampakan demonic creature dari Pulau ini. Kemunculan mahluk halus ini bahkan
terlihat sampai ke Bali daratan. Dari kisah-kisah yang beredar, mahluk halus yang
muncul itu berupa bola api besar yang melesat dari arah Nusa Penida menuju suatu
tempat di Bali daratan. Bola api besar itu bukanlah mahluk dari alam lain, tetapi
mahluk jadi-jadian yang pada dirinya adalah jelmaan nak sakti atau anak sakti yang
mampu merubah diri. Menurut cerita, penampakan itu adalah pertarungan antara anak
sakti dari Nusa Penida melawan anak sakti dari Bali daratan. Pertarungan ini dalam
bahasa lokal disebut masiat kapetengan. Dalam pertarungan ini yang dipertaruhkan
adalah nyawa yang bersangkutan. Kalah berarti mati. Menang berarti bisa mengatur 52 Sunardi, St, Semiotika Negativa, Penerbit Buku Baik, Yogyakarta, 2004:111.
75
hidup orang yang dipecundangi53. Tidak pernah jelas dalam kisah yang diceritakan
mengenai siapa pemenang dan siapa pecundangnya, yang jelas tersirat hanyalah
bahwa Nusa Penida dan Bali daratan bermusuhan. Selama masih ada anak sakti
selama itu pula dua daerah ini bermusuhan, karena mereka akan terus saling
menantang untuk membuktikan kesaktian masing-masing pihak. Nusa Penida juga
sering disebut-sebut sebagai tempat mencari kesaktian. Banyak orang dari Bali
daratan yang datang ke Pulau ini mencari sesabukan54, memohon kelancaran usaha
dan seterusnya. Salah satu dari banyak tempat yang sering dikunjungi adalah Pura
Penataran Ped. Ratu Gede Mecaling adalah salah satunya yang dipuja di kompleks
Pura ini.
Kisah lain yang saya dapatkan dari seorang anak muda Nusa Penida55 ini
dimulai pada suatu malam yang sunyi56. Tersebutlah seorang anak yang berumur
kurang lebih lima belas tahun mengantarkan ibunya menyambangi seorang saudara
yang punya hajatan. Anak ini, sebutlah Made Sangut, dikenal sebagai seorang anak
yang berani dan memiliki kesaktian. Kesaktian yang ia miliki ini tidak ia ketahui
darimana datangnya. Biasanya kesaktian semacam ini diturunkan dari kerabat
53 Menurut cerita, orang yang kalah dalam pertarungan ini bisa metanggeh (menunda) kematiannya dengan mengatakan, misalnya, ia akan mati jika anaknya telah memberikan cucu laki-laki pada dia. Selama anaknya belum memberikan cucu laki-laki padanya, dia akan tetap hidup sampai ia meninggal ”secara wajar”. 54 Bahasa Bali: kalau diterjemahkan secara ketat kata ini berarti sesuatu yang digunakan untuk ikat pinggang. Dalam konteks ini bermakna suatu pengetahuan yang dipelajari untuk ngeleak (menjadi leak). 55 Wawancara dengan Dewa Apol tanggal 6 Desember 2009. 56 Jalan umum di Nusa Penida cukup sepi ditambah lampu penerangan jalan tidak cukup banyak dan masih cukup banyak lahan kosong yang penuh tumbuhan besar, pohon kelapa dan semak semak.
76
terdekatnya yang sakti. Untuk bisa “mengkontrol” kesaktian yang diturunkan seperti
ini, seseorang biasanya hanya perlu sedikit belajar untuk itu57. Malam itu, ketika
Made Sangut dan ibunya berjalan dalam kegelapan, tiba-tiba dari kejauhan ada suara
berdebam, seperti suara buah kelapa jatuh. Sebagaimana kebiasaan orang Nusa
Penida, ibunya menyuruh Made Sangut mencari arah suara itu dan memungut
(sebagaimana yang ia kira) buah kelapa itu untuk dibawa pulang. Buah kelapa adalah
buah yang cukup penting di pulau ini. Ia bisa digunakan sebagai sarana upacara.
Selain itu juga dijadikan bahan dasar memasak. Kebanyakan masakan Nusa Penida
memang berbahan dasar kelapa. Made Sangut menuruti perintah ibunya dan mencari
asal suara itu. Beberapa saat kemudian ia kembali tanpa membawa apapun. Ia hanya
berkata kalau itu bukan buah kelapa yang jatuh. Mereka pun melanjutkan perjalanan
pulang.
Keesokan harinya, tiba-tiba ada seorang wanita tua yang tidak dikenal
mendatangi rumah Made Sangut. Wanita tua itu mencari Made Sangut untuk
meminta obat. Ibu Made Sangut kebingungan, karena ia tahu anaknya bukanlah
balian. Ia berkata kalau mungkin orang tua itu salah rumah, karena di Banjar tempat
mereka tinggal ada satu orang lagi yang bernama sama. Ia kemudian menunjukkan
arah rumah orang yang memiliki nama sama dengan anaknya, tapi wanita tua itu
57 Kesaktian yang diwariskan biasanya tidak begitu saja membuat seseorang menjadi anak sakti. Orang yang diwarisi kesaktian tetap mesti melewati proses melajahin papelajahan (mempelajari pelajaran), kasarnya ia hanya diwarisi kemampuan untuk lebih cepat melajahin papelajahan tersebut. Lihat juga: Geertz, Hildred, Sakti Conjuncture; New Views on Balinese “Religion”.
77
bersikeras bahwa ia mendatangi rumah yang tepat. Karena bingung, ibu Made Sangut
kemudian menyuruh wanita tua itu menunggu sejenak sementara ia mencari Made
Sangut yang kebetulan sedang tidak ada di rumah. Beberapa saat kemudian Made
Sangut datang, dan langsung berkata, “Dadong ane ibi lemeng to58?” Yang kemudian
dijawab dengan anggukan, wanita tua kemudian melanjutkan, “Nggih, tiang nunas
ubad mangkin nika, teras tiang linyun, babar melenyong gumi nika59.” Made Sangut
kemudian menyahut, “Sangkanange, awak suba tua babar nu dang melali peteng-
peteng, merem jumah suba tua te60.” “ Nggih, benjangan ten malih tiang nika,
mangkin cen tiang nunas ubad te nika61.” “ Nah, nden malu. Antiang malu kesop nak.
Gaenange ubad jani62.” “ Nggih63.”
Mendengar percakapan itu, ibu Made Sangut sangat kebingungan dan
meminta penjelasan anaknya. Tapi ia tak berkata apapun. Ia malah menyeret ibunya
menjauhi wanita tua itu. Di tempat yang sekiranya wanita tua itu tak bisa mendengar
apa yang akan ia katakan pada ibunya, Made Sangut berhenti dan menceritakan
ikhwal kejadian itu. Malam sebelumnya ketika ibunya mendengar suara berdebam
yang ia kira suara kelapa jatuh, dan ia mencari arah suara itu, yang ia temukan adalah
58 Bahasa Bali: nenek yang semalam itu ya? 59 Bahasa Bali (dalam sense bahasa Nusa Penida): iya, sekarang saya minta obat, kepala saya pusing, dunia semakin terasa berputar. 60 Bahasa Nusa Penida: makanya, sudah tua masih saja suka bepergian malam-malam, sudah tua lebih baik tidur saja. 61 Bahasa Nusa Penida: baik, besok-besok saya tidak akan melakukannya lagi, sekarang tolong saya diberi obatnya. 62 Bahasa Nusa Penida: baiklah. Tunggu sebentar. Aku buatkan obat sekarang. 63 Bahasa bali: iya.
78
kepala tanpa badan yang menyeringai menyeramkan. Kepala tanpa badan itu ia
lemparkan begitu saja ke arah sebuah batu besar. Ketika ditanya kenapa ia tidak
bercerita saat itu juga, ia menjawab kalau sebenarnya waktu itu selain masih kaget ia
juga merasa takut. Sekarang ia meminta pendapat ibunya apakah wanita tua itu diberi
obat atau tidak64. Karena merasa kasihan, ibunya kemudian menyarankan agar wanita
tua itu diberi obat saja. Sekarang Made Sangut adalah seorang balian yang cukup
dikenal dan sering memberikan sesabukan65.
Dalam mitos tidak mungkin ada perbedaan mendasar, bagi publik manapun
yang mengkonsumsinya. Mitos selalu mendalilkan kemandegan alam. Tetapi bisa
jadi ada tingkat pemenuhan atau ekspansi: beberapa mitos menjadi matang secara
lebih baik pada beberapa strata sosial: bagi mitos juga berlaku iklim mikro66. Pada
satwa Made Sangut misalnya, hal ini hampir tidak keluar dari budaya kelas pekerja
Nusa Penida. Borjuasi Nusa Penida hampir tidak tersentuh, dengan perkecualian
kasus-kasus tertentu dan khusus. Lain halnya jika kita menganalogikan Made Sangut
sebagai kelas borjuasi dan di mana mitos seputar dirinya bekerja adalah kelas pekerja.
Akan tetapi pada kenyataannya Made Sangut adalah seorang dari kelas pekerja yang
dalam tradisi Marxian adalah seseorang yang tidak memiliki kuasa atas alat produksi.
64 Menurut kisah, pada kasus seperti ini, jika seseorang yang dikalahkan meminta obat pada yang mengalahkan, apapun yang diberikan oleh pemenangnya pasti akan menyembuhkan yang dikalahkan. Sebaliknya, jika yang dikalahkan tidak diberi obat (apapun itu bentuknya), ia akan mati dalam hitungan hari. Hal lainnya adalah setelah yang dikalahkan tersebut berhasil disembuhkan, selamanya ia akan menjadi budak si pemenang dalam masiat kapetengan. 65 Bahasa Bali: jimat. 66 Barthes, Roland, ( Nurhadi: penerjemah), Mitologi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004:217.
79
Selain itu, pembatasan kelas dikaburkan oleh mitos kasta, bahwa kasta lebih
berpengaruh dalam masyarakat Bali secara umum dibandingkan dengan pembatasan
kelas. Made Sangut yang akhirnya menjadi balian hanya mampu memanfaatkan
mitos di sekitar dirinya di kalangan kelas pekerja Nusa Penida. Sebab, ketimpangan
pendapatan kelas pekerja yang membuatnya tidak mampu membayar biaya dokter
atau rumah sakit, di samping itu untuk mendapatkan pengobatan yang baik orang-
orang Nusa Penida mesti ke Bali daratan untuk bisa mendapatkannya. Pada satwa
Made Sangut kita telah menemukan garis batas mitos: garis yang membatasi wilayah
sosial di mana ia dituturkan, akan tetapi garis batas ini bisa bergeser. Pergeseran ini
bisa terjadi ketika (katakanlah) seorang pemilik perahu yang tidak mampu
disembuhkan secara medis oleh dokter di Bali daratan ketika datang kepada Made
Sangut berhasil disembuhkan. Wilayah sosial di mana mitos seputar Made Sangut
dituturkan pun akan meluas. Jika arah pembicaraan Barthes tentang gelombang
penanaman mitos menuju ke arah sosiologi analitik pers, maka gelombang
penanaman mitos-mitos sejenis satwa Made Sangut lebih mengarah pada antropologi
(medis) karena ia ditanamkan melalui bahasa tutur dan menyebar melalui berbagai
percakapan.
80
BAB IV
INDUSTRI PARIWISATA, AJEG BALI DAN ABSURDITAS KE-LOKAL-AN
PASCA KOLONIAL
Diskusi bab ini menitikberatkan pada aspek pengalaman saling pandang-
memandang dalam industri pariwisata antara orang Bali daratan dengan orang Nusa
Penida. Industri pariwisata yang sangat berpengaruh dalam kehidupan (ekonomi)
orang-orang Bali secara umum, menjadi alasan utama mengapa fokus penelitian ini
pada pengalaman manusia-manusia Bali dalam industri tersebut. Pasca bom Bali I,
industri pariwisata Bali mengalami kelesuan dengan berkurangnya tingkat kunjungan
wisatawan ke Bali. Beberapa saat setelah pengeboman, suasana begitu mencekam dan
sempat terdengar isu sweeping orang-orang bukan Bali yang sedang ada di Bali.
Namun isu itu berlalu seiring berjalannya waktu dan tidak pernah ada tindakan
“nyata” untuk men-sweeping orang-orang bukan Bali pasca pengeboman tersebut,
baik itu pasca bom I maupun II.
Sweeping memang tidak terjadi, akan tetapi kejadian selanjutnya membawa
pengaruh sangat besar pada orang-orang Bali secara umum: kesepakatan umum
tentang ideologi ajeg Bali. Istilah ajeg Bali sendiri mulai terdengar pasca bom Bali I,
ketika perayaan-perayaan yang mengusung slogan recovery Bali mulai menyurut.
Dari bahasa yang digunakan, sudah jelas kepada siapa slogan recovery Bali ini
ditujukan: kepada dunia luar untuk menegaskan pada dunia luar bahwa Bali tetap
81
tegar meski diguncang bom. Ajeg Bali terdengar pertama kali dari pemberitaan di
harian Bali Post. Kemudian untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-55 pada
tahun 2001, Bali Post menggalang sebuah pertemuan dengan akademisi dan
intelektual Bali; membicarakan permasalahan-permasalahan Bali. Hasil pertemuan ini
dikumpulkan dalam sebuah buku: Ajeg Bali: Sebuah Cita-cita. Secara garis besar
buku ini berisikan ide-ide “penyelamatan” Bali yang berada di ambang kehancuran
(kultural). Ide-ide penyelamatan tersebut bermuara pada penjagaan identitas serta
kebudayaan Bali1.
Secara khusus bab ini menuturkan pengalaman dua orang manusia Bali yang
menceburkan diri dalam sesaknya ruang industri pariwisata. Dua orang narasumber
utama ini adalah Gung Kubil dan Dewa Katung2. Keduanya adalah seorang surfer
dan guide liar. Saya sengaja hanya mengambil pengalaman dua orang ini dengan
alasan demikian: saya bisa lebih intens berhubungan dengan mereka. Intensitas yang
cukup tinggi ini saya perlukan dalam memahami bagaimana orang Bali daratan dan
orang Nusa Penida saling pandang satu dengan yang lainnya.
1 Naradha, Satria ABG [et al], Ajeg Bali: Sebuah Cita-cita, Bali Post, tanpa tahun terbit: ii. 2 Catatan: kedua-duanya adalah pseudonym yang saya berikan karena keduanya tidak mau namanya disebut-sebut dalam tulisan ini. Gung Kubil adalah seseorang dari Bali daratan dan Dewa Katung berasal dari Nusa Penida, keduanya tidak saling kenal satu sama lain.
82
I. Latar Belakang
Sebelum saya mengisahkan pengalaman dua orang manusia Bali dalam
industri pariwisata sebagaimana saya janjikan di atas, terlebih dahulu saya akan mulai
dengan gambaran singkat kemunculan dan perkembangan industri pariwisata Bali
secara umum. Gambaran ini diperlukan untuk memberikan konteks pada kisah
selanjutnya dan membumikannya. Saya menggunakan dekade 1920-an sebagai titik
awal pembangunan Bali sebagai situs industri pariwisata. Tahun ini saya gunakan
sebagai awalan dengan alasan demikian: pemerintah kolonial Hindia Belanda
menetapkan Baliseering sebagai sebuah program memulihkan tradisi Bali yang
dianggap sudah melenceng. Pemulihan tradisi ini secara erat berhubungan dengan,
selain mulai goyahnya kekuasaan pemerintah kolonial dan menyebarnya ideologi
nasionalisme, menemukan kembali Bali3. Konsep menemukan kembali Bali
merupakan konsep yang penting untuk kelangsungan hidup industri pariwisata Bali
yang bergantung pada ide bahwa Bali merupakan sebuah surga yang hilang. Pada saat
yang sama menemukan kembali Bali merupakan sebuah konsep yang sama (dengan
nama yang berbeda) yang dikemukakan ketika Bali diguncang bom, yaitu: recovery
Bali. Jika menemukan kembali Bali mengarah pada Baliseering, maka recovery Bali
mengarah pada Ajeg Bali.
3 Robinson, Geoffrey, (Arif B. Prasetyo; Penerjemah), Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik, LKiS, 2006:50-55.
83
Industri pariwisata secara umum mulai menggeliat pada tahun 1908, ketika
kerajaan terakhir Bali jatuh ke tangan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada saat
itu di Batavia didirikan asosiasi yang mengatur lalu lintas pariwisata Hindia Belanda:
Vereeniging Toeristenverkeer in Nederlandsch Indïe. Asosiasi ini kemudian
membentuk sebuah biro pariwisata dan membuka perwakilan di hampir seluruh
negeri. Pada tahun 1914 biro tersebut mengembangkan sayapnya sampai ke Bali4.
Pemrakarsa perjalanan ke Bali adalah KPM (Koninklijke Paketwaart Maatschappij),
maskapai pelayaran kerajaan. Maskapai ini jugalah yang mempopulerkan nama Pulau
Dewata dalam brosur perjalanannya5.
Pada tahun yang sama ketika pendudukan Bali dirasa sudah mulai stabil,
peran tentara pendudukan mulai digantikan penduduk sipil dan fasilitas perhubungan
mulai dibangun. Para pelancong bahkan diijinkan menggunakan pesanggrahan-
pesanggrahan untuk pejabat-pejabat kolonial yang melakukan inspeksi, ketika
pesanggrahan tersebut kosong. Pada tahun 1928 KPM membuka Bali Hotel sebagai
pengganti pesanggrahan itu. Setelah pembukaan Bali Hotel, giliran tempat-tempat
pariwisata dibenahi untuk menyambut kedatangan para turis. Mulai dari dataran
tinggi Kintamani sampai teluk Padang Bai ditata untuk tujuan tersebut. Berturut-turut,
4 Picard, Michel, (Jean Couteau dan Warih Wisatsana: penerjemah), Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, KPG bekerja sama dengan Forum Jakarta-Prancis, 2006:30-31. 5 Putri, Agung, “Pulau Dewata”: Surga Bagi Para Investor, sisipan Media Kerja Budaya, edisi 05/2001.
84
pada tahun 1933 jalur penerbangan Surabaya-Bali dibuka dan tahun 1934 giliran jalur
laut Gilimanuk-Banyuwangi dibuka.6
Pada awalnya, brosur perjalanan mengenai Bali yang diterbitkan berisikan
ketidak- nyamanan dan kesulitan-kesulitan yang akan ditemui para pelancong. Baru
kemudian pada dekade 1920-an brosur perjalanan menceritakan tentang masyarakat
Bali, sejarahnya, tradisi agamanya serta keseniannya7. Pada dekade 1920-an, Bali
terus menerus digambarkan sebagai sebuah surga tempat hidupnya kebudayaan
tradisional yang terlindung dari pengaruh modernitas serta beragam masalah yang
datang bersamanya. Kisah mengenai Bali telah menyebar dari mulut ke mulut, buku
ke buku dan telah berakumulasi dengan perspektif ratusan orang. Dalam sejarah
pencitraan Bali ada beberapa figur penting: Margaret Mead, salah satu antropolog
terkenal abad 20, yang meletakkan Bali pada peta akademisi internasional; Presiden
Soekarno, patron kesenian yang mendudukkan Bali sebagai kebudayaan induk
Indonesia; Walter Spies, seniman berbakat dekade 1930-an yang memasukkan
kedalaman romantik pada citra Bali; serta Sir Thomas Stamford Raffles, seorang
administrator Inggris, salah satu orang pertama yang mencermati kebudayaan Bali
dengan serius8. Pencitraan Bali terus berkembang menuju pada sebuah keniscayaan,
yang bahkan diamini oleh orang-orang Bali sendiri, bahwa Bali merupakan sebuah
6 Picard, Michel, (Jean Couteau dan Warih Wisatsana: penerjemah), Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, KPG bekerja sama dengan Forum Jakarta-Prancis, 2006: 31-32. 7 Picard, Michel, (Jean Couteau dan Warih Wisatsana: penerjemah), Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, KPG bekerja sama dengan Forum Jakarta-Prancis, 2006: 32. 8 Vickers, Adrian, Bali: Paradise Created, Periplus Edition, Singapore, 1996: 5.
85
museum hidup kejayaan Hindu(isme), surga keindahan alami terakhir serta
penduduknya yang ramah dan tradisi serta kebudayaan kuno yang terjaga dengan baik
dan rapi. Orang-orangnya dibayangkan menjalani kehidupan dengan harmonis,
murni, tulus ikhlas dan penuh senyum. Pencitraan inilah yang kemudian diadopsi
oleh industri pariwisata, pencitraan Bali yang harmonis, lemah lembut dan
seterusnya.
Industri pariwisata Bali benar-benar terpuruk pasca ledakan bom I. Secara
kasat mata terlihat tidak banyak turis yang lalu-lalang di jalanan Kuta maupun Sanur,
dimana biasanya lebih banyak turis yang terlihat berlalu-lalang dibandingkan
penduduk lokal. Untuk pertama kalinya setelah berjalan selama berpuluh-puluh
tahun, industri pariwisata Bali mengalami goncangan yang begitu hebat. Efek ledakan
tidak hanya mengguncang industri pariwisata Bali, tapi mencapai hampir seluruh
sendi kehidupan manusia Bali. Ungkapan “ulian bom ne, bedik maan megae9”
terdengar di hampir setiap obrolan, tingkat pengeluaran yang semakin tinggi dan
pendapatan yang semakin berkurang ditimpakan pada ledakan bom I. Ketika ajeg
Bali datang dan menawarkan jalan keluar yang tegas dan pasti, berpalinglah perhatian
seluruh pulau pada ajeg Bali. Salah satu rekomendasi praksis yang ditawarkan ajeg
Bali adalah pemberlakuan otonomi khusus tingkat propinsi untuk mencegah
fragmentasi atas ruang budaya Bali dan terpicunya konflik antar daerah tingkat II,
penguatan institusi yang selama ini menjaga ruang budaya manusia Bali seperti 9 Bahasa Bali: semua ini karena bom, pendapatan semakin berkurang.
86
banjar, desa adat serta Pura dan legislasi migrasi selektif; arus deras migrasi
pendatang yang tidak terseleksi adalah sebuah ancaman10.
Dengan demikian apa yang diharapkan oleh ajeg Bali adalah satu kesatuan
Bali nan utuh, tidak terfragmentasi, terpusat dan dalam jangka panjang mengeliminasi
“masyarakat pendatang” sehingga yang menghuni pulau adalah hanya “penduduk
asli”. Pengalaman masyarakat Betawi yang semakin lama semakin tersingkir, terus
menerus direproduksi, seolah-olah ancaman telah tampak di depan mata dan siap
menerkam11. Ancaman itu dibayangkan berasal dari luar dan siap meluluh-luntakkan
Bali dari dalam. Identitas kita sebagian dibentuk oleh suatu pengenalan (recognition)
atau oleh ketiadaannya, seringkali terbentuk dari kekeliruan mengenali
(misrecognition) oleh Yang lain, dan demikian seseorang atau suatu kelompok bisa
menderita kerusakan serta distorsi riil jika orang-orang atau masyarakat di sekitar
mereka memantulkan kembali pada mereka sebuah gambaran yang terbatas atau
merendahkan atau keji tentang diri mereka12. Sedikit berbeda dengan Taylor, orang-
orang Bali telah menginternalisasi pandangan yang diproyeksikan pada mereka oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dari sudut pandang tertentu pencitraan yang
diproyeksikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda bukanlah sebuah pencitraan
yang merendahkan, tapi sebaliknya. Bila dilihat secara lebih seksama, peninggian
10 Naradha, Satria ABG [et al], Ajeg Bali: Sebuah Cita-cita, Bali Post, tanpa tahun terbit: 46-47. 11 Lihat misalnya: “Kapolda Terima Panitia SAB, Bali Jangan Jadi Betawi atau Abudabi, Bali Post, 27 September 2005”. 12 Taylor, Charles [et al], Multiculturalism: Examining The Politics of Recogition, Princeton University Press, 1994: 25.
87
pencitraan ini adalah untuk kepentingan pemerintah kolonial Hindia Belanda sendiri,
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Bali merupakan benteng terakhir
pemerintah kolonial Hindia Belanda dari serbuan nasionalisme. Maka pencitraan Bali
yang indah dan eksotis serta “pengembalian” kekuasaan ke tangan kuasa tradisional
adalah salah satu cara mempertahankan kuasa pemerintah kolonial Hindia Belanda di
Bali.
Demikianlah, figur Bali yang dikenal sampai sekarang adalah semacam
warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pencitraan semacam ini, yang telah
berlangsung selama berpuluh-puluh tahun tidak bisa ditolak untuk diinternalisasi oleh
masing-masing orang, demikian dicapai kesepakatan umum mengenai apa dan
bagaimana Bali itu seharusnya. Pasca bom Bali I, kesepakatan umum ini diwakili
ajeg Bali dan mengetengahkan sebuah isu besar bahwasannya ancaman terhadap Bali
berasal dari luar. Akan tetapi sebagaimana kita semua ketahui bahwasannya
permasalahan luar-dalam merupakan sebuah persoalan yang tidak bisa digampangkan
begitu saja. Ajeg Bali sendiri mulai dikenal pasca bom Bali I melalui pemberitaan-
pemberitaan dalam harian yang berada di bawah payung Kelompok Media Bali Post.
Dengan latar belakang seperti ini, ajeg Bali, (disengaja ataupun tidak) telah
melancarkan war of position: sebuah “perang kultural” untuk mencapai suara
dominan di media massa. Dalam pemahamam Gramscian, war of position merupakan
sebuah proses yang diperjuangkan melalui sebuah fase panjang dalam superstruktur,
88
di mana makna dan nilai menjadi obyek perjuangan13. Hasil war of position ini sudah
jelas terlihat, ketika hampir sebagian besar orang-orang Bali (secara umum)
mengamini ajeg Bali sebagai sebuah konsensus. Peranan media dalam penyebaran ide
ajeg Bali sangatlah signifikan. Dalam dunia modern, media merupakan salah satu alat
produksi (kapitalisme) yang menentukan corak kehidupan manusia modern, jika tidak
menentukan segalanya. Misalnya, sebuah korporasi yang melakukan pekerjaannya
dengan baik untuk meyakinkan kita bahwa kita memerlukan produknya, terlepas dari
apakah kita memang benar memerlukannya atau tidak, adalah yang paling sukses14.
Bagaimana korporasi ini meyakinkan konsumennya dibantu oleh media massa dalam
promosinya, sehingga kenyataan media mempengaruhi dengan jelas kenyataan sosial.
Demikian juga halnya dengan ajeg Bali yang mencapai kesuksesan sampai pada level
di mana seseorang yang mengkritisi atau mempertanyakan ajeg Bali dianggap
sebagai orang yang tidak tahu apa-apa tentang Bali. Sehingga seseorang mau tidak
mau mesti menyetujui ajeg Bali jika masih ingin dianggap sebagai orang Bali. Pada
tahap itulah (dalam pemahaman Gramscian) ajeg Bali telah melancarkan war of
manoeuvre, serangan frontal habis-habisan.
Suara dominan ajeg Bali dalam media massa juga mempengaruhi orang-orang
Nusa Penida. Karena meskipun dalam praktek hidup sehari-hari mereka di-liyan-kan,
keinginan untuk “diakui” sebagai bagian integral dari Bali (daratan) tetap ada, apalagi
13 Jones, Steve, Routledge Critical Thinker: Antonio Gramsci, Routledge, New York, 2006: 31. 14 The Crimeth Inc. Workers Collective, Days of War, Night of Love: Crimethink For Beginners, CrimethInc. Free Press, 2001:67.
89
orang-orang Nusa Penida yang merantau ke Bali daratan. Sebagaimana disebutkan
oleh Amin Maalouf, refleks pertama orang itu adalah bukan menonjolkan perbedaan
tapi berupaya berlalu tanpa ketahuan. Impian diam-diam kebanyakan imigran adalah
dianggap sebagai “penduduk asli”. Godaan pertama mereka adalah menjiplak tuan
rumahnya15.
Berikut ini saya akan mengisahkan kehidupan dua orang manusia Bali yang
hidup dari industri pariwisata dalam lingkup permasalahan tesis ini: persoalan
pandang-memandang antara orang-orang Nusa Penida dan orang-orang Bali daratan.
Kedua orang itu adalah Dewa Katung dan Gung Kubil. Dewa Katung memulai
kisahnya dengan menceritakan bagaimana ia sampai bisa bergelut dalam industri
pariwisata. Menurut kisahnya, semenjak awal ia sudah ingin terjun dalam sektor ini
dengan alasan ingin memperbaiki taraf hidup keluarganya. Seperti kebanyakan anak
muda Bali, ia pernah mencoba melamar pekerjaan di kapal pesiar dengan harapan
mendapatkan kesejahteraan hidup lebih cepat dibandingkan dengan bekerja di Bali.
Menurutnya, kesempatan memperbaiki taraf hidup lebih cepat diperoleh jika bekerja
di kapal pesiar karena ia dibayar dengan dolar, bukan rupiah. Dalam ungkapannya
sendiri: “jani brangkat, mani teka suba ngabe pipis a karung16”. Karena sesuatu dan
lain hal, agen penyalur tenaga kerja tempat dia melamar tidak bisa menyalurkannya,
15 Maalouf, Amin (Ronny Agustinus: penerjemah), In The Name of Identity, Resist Book, Yogyakarta, 2004:39-40. 16 Bahasa Bali: sekarang berangkat, nanti pulang membawa uang satu karung. Wawancara tgl 18 Juli 2009.
90
padahal saat itu ia sudah membayar cukup banyak. Sambil menunggu uang yang
dikembalikan oeh penyalur tenaga kerja tersebut, dia belajar surfing, tanpa menyadari
kalau kedepannya dia akan hidup dari surf board tersebut. Singkatnya, ia
mendapatkan kembali uang tersebut, meski tidak seluruhnya. Beberapa saat kemudian
ia merantau ke Lombok dan bekerja di sebuah hotel di sana. Di Lomboklah ia
kemudian lebih mengenal dunia surfing dan kemudian lebih mengenal celah-celah
untuk bertahan hidup dalam dunia ini. Dia bekerja di Lombok hanya enam bulan,
kemudian pindah ke Kuta dan menjalani hari-harinya sebagai seorang surfer dan
guide liar yang mengantarkan turis-turis penikmat ombak. Sebagaimana yang pernah
ia katakan, “jelek-jelekan umah pedidi, nu adenan masih ken umah anak17”
Lain kisah Dewa Katung, lain pula kisah Gung Kubil. Gung Kubil memulai
kisahnya dari sebuah pojok pantai Sanur, di mana orang tuanya menggelar dagangan.
Ketika ibunya meninggal beberapa waktu lalu, bapaknya memutuskan untuk
meninggalkan rumah dan tinggal di tempat ia berjualan. Sementara rumahnya hanya
ditinggali Gung Kubil, tanah tempat rumah Gung Kubil berdiri adalah tanah yang
dipinjamkan oleh salah satu keturunan raja Kesiman. Di atas lahan yang sama, mulai
dari para pemulung sampai tukang bakso berjejalan membangun tempat tinggal
sederhana. Kisah Gung Kubil terjun dalam industri pariwisata, dimulai dari
17 Bahasa Bali: sejelek-jeleknya rumah sendiri masih lebih baik daripada rumah orang lain. Wawancara tgl 5 Desember 2009.
91
ketertarikannya melihat anak uli Nusa18 di Sanur bermain surfing, ketika itu ia masih
di bangku SMP. Setiap hari, selepas pulang sekolah ia menonton orang-orang
bermain surfing dan ia sangat ingin bisa bermain. Demi menuntaskan hasratnya
bermain surfing, ia menggunakan stereo foam bekas kotak ikan sebagai surf board.
Sembari belajar dengan stereo foam ia melakukan pendekatan dengan orang-orang
yang memiliki surf board, sampai kemudian “ahirne maan cang ngidih ski lung
masih, muncuk-muncukne to19.” Setelah beberapa lama bermain dengan
menggunakan patahan surf board, ia memberanikan diri untuk meminta sebuah surf
board pada seorang pemain dari Sanur, “ahirne ada nak Ida Bagus, Ida Bagus
Belong Adane, takon cang iseng-iseng, sing ngelah papan surfing tu aji? Dot sajan
maen surfing tu aji. Akhirne kan cang ngorang ngidih kemu, baange ngidih papan
sik20.” Dimulai dari surf board pemberian inilah, Gung Kubil memulai
petualangannya dalam industri pariwisata Bali sebagai seorang surfer dan guide liar
yang mengantarkan turis-turis yang ingin menikmati ombak.
18 Bahasa Bali: orang dari Nusa. Orang Nusa yang dimaksud oleh Gung Kubil adalah orang-orang yang berasal dari Nusa Lembongan dan atau Nusa Ceningan. Orang-orang yang berasal dari dua pulau ini “berbeda” dengan orang-orang dari Nusa Penida karena dua pulau ini memiliki ombak yang bisa digunakan untuk surfing sehingga kunjungan wisatawan terkonsentrasi pada dua pulau ini dan membuat mereka lebih mampu secara ekonomi. Namun penyebutan di Bali daratan tetap sama, anak uli Nusa. 19 Bahasa Bali: akhirnya aku diberi patahan surf board, ujung-ujugnya itu lo. Wawancara tanggal 9 Januari 2010. 20 Bahasa Bali: akhirnya ada seorang Ida Bagus, Ida Bagus Belong namanya, iseng-iseng aku bertanya padanya, apa tu aji punya papan surfing? Aku ingin sekali main surfing, tu aji. Akhirnya aku minta padanya, diberikannya aku sebuah papan. Wawancara tanggal 9 Januari 2010.
92
Dengan latar belakang berbeda, Gung Kubil dan Dewa Katung menempati
posisi yang kurang lebih sama dalam industri pariwisata Bali. Secara umum mereka
adalah orang yang ikut berdesakan dalam riuhnya industri pariwisata, berebut
sebagian kecil kepingan-kepingan dolar yang dibawa oleh turis asing. Secara lebih
khusus, mereka adalah “orang lokal” yang tidak akan terkena dampak dari salah satu
rekomendasi praksis yang ditawarkan oleh ajeg Bali: migrasi selektif. Pada satu
tingkat tertentu mereka aman menjaring turis di mana pun di seantero pulau, karena
mereka dikategorikan sebagai “orang lokal”. Pengkategorian pada tingkat ini,
mengikuti logika ajeg Bali, didasarkan pada aspek identitas ke-lokal-an yang telah
dikenal, akrab serta telah dipahami oleh sebagian besar orang: bernama khas Bali
(Wayan, Made, Nyoman, Ketut), beragama Hindu dan seterusnya. Pada tingkatan
lain, Dewa Katung menerima imbas rekomendasi praksis ajeg Bali: penguatan
institusi penjaga ruang budaya orang Bali seperti: banjar, desa adat, Pura dan
seterusnya. Pada tingkat ini, masih dalam logika ajeg Bali, Dewa Katung adalah
bukan orang lokal karena aktivitas (adatnya) tidak dikenali dalam ruang budaya orang
Bali (daratan): dia tidak termasuk dalam banjar, desa adat serta Pura di Bali
(daratan). Bagi orang Nusa Penida di Bali (daratan) bersembahyang di Pura tertentu
di Bali daratan adalah opsional, karena untuk tidak datang ke perayaan sebuah Pura,
mereka tidak akan terkena sanksi adat dan atau sanksi sosial. Dengan demikian,
Dewa Katung mempunyai dua identitas yang dikenali secara bersamaan: orang lokal
93
sekaligus orang luar. Secara lebih khusus dalam industri pariwisata, ruang pengenalan
seseorang lebih absurd. (Mengenai hal ini akan dibicarakan lebih lanjut pada sub bab
selanjutnya.)
II. Absurditas Ke-lokal-an Pasca Kolonial
Ke-lokal-an dalam industri pariwisata merupakan salah satu hal terpenting,
karena hampir seluruh tempat dikuasai oleh orang-orang lokal. Di sini saya
membicarakan tentang industri pariwisata “pinggiran” yang dihuni oleh orang-orang
seperti Dewa Katung dan atau Gung Kubil. Saya sebut industri pariwisata
“pinggiran” karena orang-orang seperti Dewa Katung dan atau Gung Kubil tidak
dikenali secara “legal formal”. Mereka tidak memiliki ijin legal sebagai guide
(misalnya) yang berarti mereka tidak terikat pada institusi legal apapun dan “tidak
mengikuti” aturan-aturan yang ditetapkan secara legal. Mereka mengikuti aturan tak
tertulis dan tak terucapkan yang dilandasi atas kesepakatan yang tak terucapkan.
Misalnya untuk gaji, tidak ada ketentuan jelas yang mesti diikuti, hanya berdasarkan
kepercayaan. Contohnya, Si A memiliki mobil dan turis yang minta jasanya tapi pada
saat itu, Si A tidak bisa memenuhi permintaan itu, ia “melemparkannya” pada Si B.
Si B pada dasarnya tidak memiliki kewajiban apapun pada Si A, tapi ada aturan
tertentu yang meminta Si B untuk memberikan sejumlah uang pada si A. Jumlah uang
94
yang diberikan itu tidak ada standarnya, hanya berdasarkan (katakanlah) keiklasan si
B.
Dalam dunia surfing yang mereka geluti pun ada aturan tak tertulis serta
kesepakatan tak terucapkan yang mesti dipatuhi dan sanksi untuk aturan ini adalah
sanksi fisik: di mana seseorang yang melanggar aturan ini akan dipukuli (entah itu di
darat atau di tengah pantai) sampai berdarah-darah. Misalnya ketika mengajak
seorang turis bermain surfing, jika ia begitu saja “merampas” ombak, niscayalah dia
akan dipukuli tanpa memperdulikan apakah ia turis atau orang lokal. Dalam dunia ini,
ada aturan yang mengharuskan seseorang menunggu giliran untuk mendapatkan
ombak dan jika ia tidak kunjung mendapatkan ombak yang bagus, dia mesti meminta
pada surfer lain, jika masih ingin melanjutkan bermain surfing.
Meski demikian ada tempat dalam industri ini di mana orang-orang berlaku
liar dan seakan tak memiliki aturan, sebagaimana yang saya kisahkan di atas. Di
Kuta, kebanyakan orang tidak mengindahkan aturan tak tertulis tersebut. Hampir
setiap hari ada perkelahian memperebutkan ombak, entah itu antar turis surfer
ataupun antar guide. Sebagaimana dituturkan oleh Dewa Katung yang memilih Kuta
sebagai tempatnya “bertugas”, di Kuta rame jelema makejang merebut ngalih gae,
lamun tare bareng merebut, ape lakar tare maan21. Rebut-merebut ini tidak hanya
terjadi dalam urusan ombak, tapi terjadi juga dalam urusan yang lain: berebut turis.
21 Bahasa Nusa Penida: di Kuta banyak orang berebut mencari nafkah, kalau tidak ikut-ikutan berebut, kita tidak akan mendapatkan apapun. Wawancara tanggal 8 Agustus 2009.
95
Para guide liar ini mencari turis di pub-pub yang banyak berserakan di Kuta,
mengatur waktu pertemuan di tempat tersebut untuk kemudian keesokan harinya
mengantarkan turis-turis itu ke tempat yang mereka suka; entah itu bermain surfing
atau ke mana saja. Guide-guide surfing seperti Dewa Katung dan Gung Kubil ini
biasanya mengantarkan sekaligus mendampingi turis yang menyewa jasa mereka,
agar turis-turis itu mendapatkan ombak dan tidak dihalangi oleh orang-orang lokal.
Gung Kubil menuturkan demikian; “Yen ada tamu sing ngajak guide, jeg sikat
saja, ombak sing maan, usir pesu sing baange maen22.” Beda tempat, beda pula
perlakuan orang-orang lokal pada “pendatang”. Di Negara misalnya, orang yang akan
bermain surfing diharuskan membeli baju produksi orang-orang lokal, setelah itu
baru diijinkan bermain di sana23. Deskripsi Dewa Katung mengenai orang lokal
tidaklah seperti deskripsi ajeg Bali mengenai hal ini. Jika ajeg Bali memandang
penduduk pendatang adalah mereka yang hidup di Bali yang melalui proses migrasi
dan orang lokal adalah mereka yang beragama Hindu24. Sementara itu, deskripsi
Dewa Katung tentang orang lokal adalah seseorang dan atau sekelompok orang yang
memanfaatkan suatu point surfing, tanpa mempedulikan siapa dan dari mana asal
22 Bahasa Bali: kalau ada turis yang tidak bersama guide, mereka pasti langsung disikat, mereka tidak mendapatkan ombak dan mereka pasti diusir, tidak diijinkan surfing ditempat itu. Wawancara tanggal 3 Januari 2010. 23 Wawancara tanggal 3 Januari 2010. “ Di Negara, ci harus meli baju ditu, mare ci maan ombak, mare ci bebas maen ditu.” 24 Naradha, Satria ABG [et al], Ajeg Bali: Sebuah Cita-cita, Bali Post, tanpa tahun terbit: 222. Kalimat ini sebenarnya tidak secara eksplisit menyebutkan kalau orang lokal adalah orang yang beragama Hindu dan sebaliknya, akan tetapi demikian makna yang tersirat didalamnya. Demikian kalimat aslinya: “Apalagi penguasaan lahan itu bukan orang Bali (Hindu-red)…”
96
mereka25. Berbanding terbalik dengan deskripsi Dewa Katung, Gung Kubil tidak
menunjuk dengan jelas siapa yang disebut orang lokal. Ia hanya menyebutkan
demikian: care di Kuta, Jawa Bali nak mepunduh ye. Dini bedik nak Jawa, paling
ada jak lima, sisane nak Nusa. Yen di Sanur, nak Jawa dadi guide, mecakcak masih.
Soalne jelema jawa to menghancurkan harga, bani nyemak mudah modelne26.
Sentimen ke-lokal-an terasa dalam pernyataan Gung Kubil, terkesan seperti
pelaksanaan migrasi selektif (secara kasar) sebagaimana yang disarankan ajeg Bali.
Akan tetapi ambiguitas ke-lokal-an menyeruak ketika ia mengatakan demikian: nak
Nusa to nak lokal di Sanur. Nak Sanur jarang ade maen surfing, liunan nak Nusa.
Nak Nusa ngisiang ditu. Yen alih perbandingane ada kira-kira dasa banding telu27.
Definisi lokal Gung Kubil tidak berhenti sampai di sana. Pada kesempatan
lain ia menambahkan demikian: lokal to ya ngoyong ditu, di point to umah ya, dipaek
paek ombak to umahne, ditu ye nengil28. Demikian definisi lokal sendiri tidak selalu
sama dan terkadang ambigu. Ketika berhadapan dengan permasalahan ekonomi, garis
demarkasi lokal-non lokal pun diperjelas dan diperketat. Namun ketika berhadapan 25 Ane adaneh lokal tone, anak ane sai main di point, jae misalneh di Kuta. Dini Cuma ada dua dange: anak lokal ajak bule (Yang namanya lokal itu (adalah) orang yang sering main di point tertentu, misalnya di Kuta. Disini Cuma ada dua (kategori) lokal dan Bule. Wawancara Dewa Katung tanggal 4 Desember 2009). 26 Bahasa Bali: seperti di Kuta, (orang) Jawa (dan orang) Bali, mereka berkumpul. Disini sedikit ada orang Jawa, paling-paling hanya ada lima orang, sisanya orang Nusa. Kalau di Sanur, orang Jawa menjadi guide dipukuli juga. Karena orang Jawa itu menghancurkan harga, mereka berani dibayar murah. Wawancara Gung Kubil tanggal 3 Januari 2010. 27 Bahasa Bali: orang Nusa itu adalah orang lokal di Sanur. Orang Sanur jarang yang main surfing, kebanyakan orang Nusa. Orang Nusa yang menguasai di sana (di Sanur). Kalau dicari perbandingannya, kira-kira sepuluh banding tiga. Wawancara tanggal 3 Januari 2010. 28 Bahasa Bali: (orang) lokal itu (adalah) ia yang tinggal disana, di point itulah rumahnya, di dekat ombak rumahnya, disana ia tinggal. Wawancara tanggal 5 Januari 2010.
97
dengan persoalan keseharian di luar persoalan ekonomi, ia bisa menjadi sangat
longgar dan bahkan sangat permisif. Misalnya saja, dari pengalaman pribadi saya,
ketika saya dikenalkan dengan seseorang oleh seorang kawan lama. Kami berbincang
dalam suasana yang cukup akrab sampai kemudian ia bertanya tentang asal-usul saya.
Tak ada respon yang “berlebihan” ketika ia tahu bahwa saya berasal dari Nusa
Penida. Ia hanya berkata, “Ooo, nyama uli Nusa29.” Selain itu ia hanya berkomentar
tentang betapa keringnya Nusa Penida dan betapa saktinya Ratu Gede Mecaling.
Berbanding terbalik dengan pengalaman saya lainnya. Beberapa tahun lalu kakak
saya membeli sebidang tanah di Denpasar Timur. Ketika sedang membangun rumah
di atas tanah itu, saya didatangi oleh seorang penduduk setempat. Awalnya ia hanya
berbasa-basi dengan calon tetangga baru, sampai kemudian percakapan kami sampai
pada asal-usul saya. Komentarnya mengejutkan saya, “Bapak niki pendatang saking
Nusa, nggih?30” Saya tidak sanggup berkata-kata selain hanya mengangguk.
Di tengah ketidakmenentuan hidup pasca peledakan bom, persoalan ekonomi
menjadi persoalan krusial dalam kehidupan orang-orang Bali yang secara umum
tergantung pada industri pariwisata. Masih jelas dalam ingatan ketika ajeg Bali
memproklamirkan berdirinya koperasi krama Bali dan membidani lahirnya segala
sesuatu dengan akhiran krama Bali dan atau ajeg Bali, misalnya: bakso krama Bali,
tukang cukur ajeg Bali dan seterusnya. Secara ekonomi, tidak jelas orang Bali mana
29 Bahasa Bali: Ooo saudara dari Nusa (Penida). 30 Bahasa Bali: Jadi bapak (orang itu memanggil saya bapak) sekeluarga ini pendatang dari Nusa (Penida)?
98
yang disasar ajeg Bali. Sehingga secara faktual segala hal yang berakhiran ajeg Bali
atau krama Bali tidak bertahan lama. Selain karena sasaran yang tidak jelas,
tujuannya seakan-akan hanya untuk menunjukkan kekuatan orang Bali; jika orang
bukan Bali bisa melakukan suatu hal, orang Bali juga pasti bisa melakukan hal
tersebut. Sebagai contoh misalnya, di Bali, penjual bakso biasanya adalah bukan
orang Bali. Ketika koperasi krama Bali melahirkan segala sesuatu berakhiran ajeg
Bali dan atau krama Bali, orang Bali “dipaksa” untuk berjualan bakso. Karena tidak
menguasai bidang tersebut, dagangan bakso krama Bali tidak banyak diminati dan
akhirnya bangkrut.
Seperti yang telah saya paparkan di atas, deskripsi luar-dalam tidak begitu
jelas tergambarkan dalam industri pariwisata. Pada sisi lain dalam industri yang sama
garis demarkasi luar-dalam begitu jelas terpampang. Secara sederhana hal ini
menjelaskan kenapa orang seperti Dewa Katung memilih Kuta dan orang seperti
Gung Kubil memilih Sanur sebagai tempat mereka bekerja.
III. The Other, Self dan Misrecognition
Pada bagian ini kita akan melihat self dan hubungannya dengan other serta
dinamika keduanya dalam hal pandang-memandang, mengenali dan keliru mengenali
(misrecognize). Dinamika ini saya mulai dari fase cermin Lacanian karena pada fase
ini seorang anak sudah mulai mengenali citra dirinya dalam sebuah cermin,
99
sebagaimana ajeg Bali mengenali citra dirinya melalui sejarah panjang industri
pariwisata. Pengenalan diri melalui pencitraan yang dicitrakan oleh Yang lain
mengalienasi self. Pada pemahaman yang paling mendasar ia teralienasi oleh bahasa
Yang lain. Ketika seorang anak belum menguasai suatu bahasa, ia terpengaruh oleh
gerak-gerak dan lingkungan di sekelilingnya yang ia reduplikasi melalui pantulan
dalam cermin. Begitu sebuah citra telah dikuasai dan ditemukan sebagai kekosongan,
segera ia memantul dalam kasus anak-anak serangkaian gestur di mana saat bermain
ia mengalami hubungannya antara gerak-gerak yang diasumsikan dalam citraan itu
dan lingkungan yang terefleksikan, serta antara kompleks virtual ini dan realitas yang
ia reduplikasi – tubuh si anak itu sendiri, orang-orang dan hal-hal lain di
sekelilingnya31.
Melihat ke belakang pada sejarah Gung Kubil yang mendapat akses untuk
masuk ke dalam industri pariwisata melalui nak uli Nusa, kita amati bagaimana orang
Bali daratan memandang orang Nusa Penida serta dinamika self dan Other dalam
kerangka pandang-memandang. Pada suatu kesempatan Gung Kubil mengatakan
demikian; jelema Nusa ane tawang cang, semakin raga di bawah semakin jejek e
raga. Nak Nusa mula sing ada apa pidan, akhirne mai ye ke Sanur, dadi guide
pertama ngajak tamu, buta tumben kedat to, sugih sing misi apa, akhirne benyah.
Monto gen kehidupan ye, judi kafe minum to gen be. Dan ye bergaul sekumpulan ye
31 Lacan, Jacques, (Alan Sheridan: translator), Écrits, Tavistock Publication Limited, Great Britain, 1977:1.
100
gen jarang ajak nak luar32. Pernyataan ini kaya akan petunjuk bagaimana orang Bali
daratan memandang orang Nusa. Petunjuk pertama saya ambil dari kalimat terakhir
yang menyebutkan kalau orang Nusa jarang bergaul keluar. Pernyataan ini memang
benar adanya. Saya sebagai orang Nusa mengetahui benar hal ini: kebanyakan orang
Nusa di perantauan bergaul dengan sesama orang Nusa.
Sebagai orang Nusa, saya menemukan bahwa satu hal yang paling
fundamental dalam pergaulan dengan orang Bali daratan adalah bahasa. Memahami
dan menggunakan bahasa orang Bali daratan tanpa canggung adalah hal yang sulit
untuk orang Nusa Penida. Pertama-tama kosakata yang secara umum tidak sama
dengan kosakata bahasa bali daratan. Kedua, letak geografis pulau yang
menyebabkan orang Nusa cenderung berbicara keras, kasar dan cepat khas penduduk
pesisir. Pada level yang paling mendasar, Other adalah bahasa asing yang mesti kita
pelajari, secara halus mengacu pada “native tongue”, tapi jauh lebih baik kita sebut
sebagai “mOther tongue” : ia merupakan wacana serta hasrat Yang lain di sekitar
kita, sejauh telah terinternalisasi terlebih dulu. “Terinternalisasi” tidak dimaksudkan
untuk menyarankan bahwa ia menjadi milik kita; sekalipun terinternalisasi, ia tetap
tubuh yang asing. Yang dimaksud dengan tubuh di sini bukan yang merupakan
kesatuan struktur tulang dan saraf melainkan bahwa tubuh yang berada di bawah
32 Bahasa Bali: orang Nusa yang aku tahu, semakin kita di bawah semakin kita diinjak-injak. Orang Nusa dulu tidak punya apa-apa, akhirnya mereka datang ke sini, ke Sanur menjadi guide mengantar bule-bule, mereka seperti orang buta yang baru melihat, kaya tapi tidak berisi, akhirnya hancur. Kehidupannya hanya seputar itu saja: judi, kafe, minum. Dan mereka bergaul hanya dengan kumpulannya saja, jarang (bergaul) dengan orang luar. Wawancara tanggal 5 Januari 2010.
101
kekuasaan bahasa dan tatanan simbolik33. Sebagaimana kita ketahui, salah satu syarat
untuk bisa diterima secara sosial adalah mampu menggunakan bahasa yang telah
disepakati pada suatu lingkungan tertentu, dan pada titik tertentu berbahasa tertentu
merupakan salah satu syarat untuk bertahan (survive) di lingkungan sosial. Ketika
seseorang tidak mampu menggunakan suatu bahasa yang telah disepakati tersebut, ia
teralienasi secara sosial. Pada sisi lain, dalam pemahaman Lacanian, setiap manusia
yang belajar untuk berbicara, dengan cara demikian teralienasi dari dirinya sendiri.
Yang lain terlihat tergelincir ke belakang pintu pada saat anak-anak belajar sebuah
bahasa yang diperlukan untuk survival mereka di dunia. Secara luas dipertimbangkan
pada dasarnya tidak berbahaya dan murni utilitarian, bahasa membawa bentuk
fundamental alienasi yang merupakan bagian dan bingkisan dari mempelajari mother
tongue seseorang. Ungkapan yang kita gunakan untuk membicarakan mother tongue
sudah menunjukkan fakta bahwa itu adalah pertama-tama merupakan Other’s tongue,
mOther tongue yaitu bahasa mOther34.
Pada kasus ini, orang Nusa yang tidak mampu mengikuti bahasa orang Bali
daratan teralienasi secara sosial dan dengan cara itulah mereka kemudian berkumpul
“sesama jenis”. Internalisasi wacana Yang lain – omongan orang lain – biasanya
ditemukan dalam apa yang disebut sebagai kata hati atau perasaan bersalah dan dalam
33 Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance, Princeton University Press, New Jersey, 1995:11. 34 Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance, Princeton University Press, New Jersey, 1995:7. Lacan seringkali bermain dengan menyamakan Other dengan mOther.
102
apa yang disebut oleh Freud sebagai superego35. Ketidaksadaran menghitung,
merekam, mengambil semua “informasi”, menyimpannya dan memanggil
“informasi” tersebut kapan saja diperlukan36. Yang perlu ditekankan disini adalah
bahwa orang Nusa memahami bahasa orang Bali daratan, namun “tidak mampu”
mengucapkan bahasa tersebut. Kemampuan memahami namun tidak untuk
mengucapkan ini membawa mereka berkumpul dengan “sama jenis”, memperkuat
perasaan terasing yang sebelumnya terbangun dari ketidakmampuan berbahasa serta
melahirkan gerombolan yang ketakutan. Saya katakan melahirkan gerombolan yang
ketakutan karena seperti yang dituturkan Gung Kubil: “semakin raga di bawah
semakin jejek e raga”, dalam situasi di mana seseorang merasa terasing dan tertekan
dengan keterasingannya, jalan singkat yang dipilih adalah kekerasan. Dengan jalan
inilah mereka mendapat pengakuan dari sekelilingnya.
Jalan ini dipilih karena seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa
ketidaksadaran sebelumnya telah menghitung, merekam, mengambil semua
“informasi”, menyimpannya dan memanggil “informasi” tersebut kapan saja
diperlukan. Saya ilustrasikan demikian: seorang Nusa berkumpul dengan orang Bali
daratan. Ketika itu terjadi percakapan yang melibatkan orang Nusa tersebut, dan saat
35 Superego dibentuk melalui internalisasi, artinya larangan-larangan atau perintah-perintah yang berasal dari luar (para pengasuh, khususnya orang tua) diolah sedemikian rupa hingga terpancar dari dalam. Dengan kata lain, superego adalah buah hasil proses internalisasi, sejauh larangan-larangan dan perintah-perintah yang tadinya merupakan sesuatu yang “asing” bagi subyek, akhirnya dianggap berasal dari subyek itu sendiri (Bertens, K (editor dan penerjemah), Psikoanalisis Sigmund Freud, Pt Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006:33-34). 36 Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance, Princeton University Press, New Jersey, 1995:10.
103
itu terjadi, ia ditertawai karena bahasanya yang berbeda. Ketidak sadarannya
menyimpan informasi ini, dan di lain kesempatan ketika ia berkumpul dengan orang
Bali daratan, ia sedikit sekali berkata-kata dan tiada tawa yang terdengar,
ketidaksadarannya juga menyimpan informasi itu. Ketika terjadi suatu kesempatan di
mana ia berkumpul dengan sesamanya dan di sana ada orang Bali daratan, informasi
ini dipanggil ke permukaan, meledak dan terjadilah kekerasan. Kekerasan yang saya
maksud di sini tidak harus berupa kekerasan fisik, meskipun tidak menutup
kemungkinan kekerasan fisik bisa terjadi. Bisa jadi yang terjadi adalah kekerasan
linguistik, di mana ia berkata-kata yang tidak dipahami oleh orang Bali daratan dan
kemudian mentertawakannya.
Selanjutnya yang ditangkap oleh Gung Kubil adalah citra primitif orang-orang
Nusa, seperti yang ia katakan sendiri di atas: “Nak Nusa mula sing ada apa pidan,
akhirne mai ye ke Sanur, dadi guide pertama ngajak tamu, buta tumben kedat to,
sugih sing misi apa, akhirne benyah. Monto gen kehidupan ye, judi, kafe, minum to
gen be37.” Dengan pengalamannya berinteraksi dengan orang Nusa dan pengalaman
itu adalah pengalaman yang tidak cukup baik, Gung Kubil sampai pada “kesimpulan”
demikian: buta tumben kedat. Ungkapan buta tumben kedat merupakan sebuah
ungkapan bernada negatif yang biasanya digunakan sebagai sebutan untuk orang
yang seakan-akan baru sekali dalam hidupnya menemukan sesuatu yang
menyenangkan dan melakukannya terus menerus secara berlebihan. Misalnya, 37 Lihat catatan kaki nomor 32 Bab IV halaman 100.
104
seorang dari desa yang seumur hidupnya tidak pernah ke kota dan menemukan kalau
di kota (ternyata) ada sesuatu (misalnya) hamburger. Sesuatu hamburger ini
harganya mahal dan memiliki banyak varian, tapi ia terus menerus membelinya.
Setiap kenalannya ia kenalkan pada hamburger ini (tanpa menyadari, kalau
kenalannya sudah mengenal hamburger). Singkatnya, mungkin bisa dikatakan
demikian: orang kampung yang baru mengecap kehidupan kota, untuk menandai
orang semacam inilah ungkapan tersebut dilontarkan. Citra primitif yang didapatkan
Gung Kubil tidak berhenti sampai nak buta tumben kedat, sebutan lain yang ia
nyatakan adalah sugih sing misi apa, kaya namun tidak berisi (dalam arti kata bodoh).
Gung Kubil tahu kalau saya orang Nusa. Sebelum menyatakan pendapatnya
mengenai orang Nusa, ia memulainya dengan kata kata “Sori malu nah?38” Tidak
bisa dipungkiri, saya cukup kesal dengan pendapat tersebut, akan tetapi saya juga
tidak bisa menyangkal pendapat itu, karena memang demikianlah ia memandang dan
memahami orang Nusa dari pengalamannya. Ketidakmampuan orang Nusa untuk
berkomunikasi dengan orang Bali daratan dalam sense yang dipahami oleh orang Bali
daratan inilah yang menjadi jalan kekerasan linguistik dan pada gilirannya me-liyan-
kan orang-orang Nusa. Yang lain, sebagai bahasa, bisa dilihat sebagai penyelundup
yang dengan lemah lembut dan dengan tidak baik mentransformasikan keinginan
38 Bahasa Bali: maaf ya? Wawancara tanggal 5 Januari 2010.
105
kita; dan pada saat yang sama membiarkan kita untuk saling memberi petunjuk pada
hasrat kita dan “berkomunikasi”39.
Latar belakang Dewa Katung sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Gung
Kubil. Hanya saja orang tua Dewa Katung masih cukup mampu mencarikan pinjaman
ketika ia diharuskan membayar pada agen kapal pesiar, sebagaimana yang ia
kisahkan di atas. Tingkat pendidikan dua orang ini pun sama, hanya sampai tingkat
SMA. Yang membedakan mereka dalam industri pariwisata ini adalah bahwa Dewa
Katung lebih mengenal seluk beluk pantai secara “alami” karena ia lahir dan besar di
daerah pesisir. Dia merantau ke Bali daratan ketika ia menuntaskan sekolah
menengah tingkat pertama dan memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya di Bali
daratan. “Biasa to, mara awak uli Nusa kadena sakti awak, pragat oranga ngaba
sabuk dang awak, padahal apa tare ada40.” katanya ketika saya bertanya bagaimana
pertama kali tanggapan orang-orang ketika mereka tahu kalau dia adalah orang Nusa.
Kita hanya bisa memahami fase cermin sebagai sebuah identifikasi, transformasi
yang mengambil tempat dalam subyek ketika ia mengasumsikan sebuah citra – yang
takdirnya pada efek fase ini diindikasikan dengan penggunaan istilah kuno imago
(sebuah pengidealan citraan mental dari orang lain atau diri sendiri). Acuan simbolik
dimana I (kata ganti orang pertama yang merupakan subyek ketidaksadaran (di
39 Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance, Princeton University Press, New Jersey, 1995:6. 40 Bahasa Nusa Penida: biasa itu, begitu mereka tahu aku dari Nusa, (mereka) kira aku sakti, selalu dikira membawa jimat, padahal tidak tahu apa-apa. Wawancara tanggal 8 Agustus 2009.
106
Prancis kata dalam tanda kutip biasanya dibuat miring dan Lacan biasanya
memiringkan elemen-elemen imajiner, misalnya: a untuk Yang lain atau i(a) untuk
citra Yang lain) dan bahwa I adalah penanda yang hilang: ia merupakan penanda
subyek tapi tetap tak dapat diucapkan) mengendap dalam bentuk primordialnya,
sebelum diobjektifikasi dalam dialektika identifikasi dengan Yang lain dan sebelum
bahasa memperbaikinya, secara universal, fungsinya sebagai subyek41.
Telah saya kisahkan pada bab sebelumnya bagaimana orang Bali daratan
memandang orang Nusa Penida dan dalam pengalaman Dewa Katunglah hal ini
“termaterialkan”. Nusa Penida dianggap sebagai sebuah pulau angker karena
keberadaan Ratu Gede Mecaling; sesabukan (jimat) yang dahsyat selalu dianggap
datang dari pulau kecil ini dan orang Bali daratan yang terpesona dengan hal magis
selalu memandang Nusa Penida dengan cara demikian: semua orang Nusa Penida
pasti membawa sesabukan (jimat) jika mereka merantau. Dengan cara demikianlah
citra orang Nusa Penida terpancar dari Dewa Katung, sebelum dialektika identifikasi
dengan Yang lain dan sebelum bahasa memperbaikinya, transformasi citra ideallah
yang teridentifikasikan dari Dewa Katung. Ia dipandang sebagai orang yang
membawa sesabukan karena ia adalah orang Nusa Penida yang merantau jauh dari
kampung halamannya. Fase cermin merupakan sebuah drama yang dorongan
internalnya mengendap pada ketidakmampuan untuk mengantisipasi – dan yang
41 Lacan, Jacques, (Alan Sheridan: translator), Écrits, Tavistock Publication Limited, Great Britain, 1977:2 (tambahan dalam tanda kurung merupakan tambahan dari saya).
107
menghasilkan bagi subyek, ditangkap dalam daya tarik identifikasi spasial, rangkaian
fantasi-fantasi yang memanjang dari fragmentasi body-image kepada sebuah bentuk
totalitasnya yang disebut sebagai orthopaedic – dan, akhirnya, pada asumsi identitas
berlapis yang mengalienasi, yang akan menandai struktur rigid keseluruhan
perkembangan mental subyek. Fase cermin berakhir dengan identifikasi dengan
imago pendamping dan drama kecemburuan primordial, dialektika yang selanjutnya
menghubungkan I dengan situasi yang dielaborasi secara sosial42.
Pada level ini Dewa Katung memandang orang Bali daratan sebagai orang
asing yang tidak mengenal dirinya karena citra yang ditangkap belum dimediasi oleh
bahasa, ketika bahasa menyeruak masuk, Dewa Katung “tidak bisa”
menggunakannya. Tare jeha bli tare bisa ngenyeng, anak antik asanange bungut te.
Tapi di kuda kengkene nyak tare nyak, harus bisa ngenyeng, kedekine awak len
tare43. Pada satu kesempatan ngenyeng adalah sebuah pilihan, di kesempatan lain
ngenyeng menjadi suatu keharusan jika ingin diterima, demikian Dewa Katung
mempermainkan ke-liyan-nan pada tataran bahasa: dia adalah orang Bali Yang lain.
Sebagaimana pernyataaannya diatas, Dewa Katung memandang orang Bali daratan
sebagai orang lain, terlihat dari pilihan kata yang digunakan: kedekine awak. Kata
awak dalam bahasa Nusa Penida adalah kata yang ambigu. Ia bisa berarti aku dan di
42 Lacan, Jacques, (Alan Sheridan: translator), Écrits, Tavistock Publication Limited, Great Britain, 1977:4-5. 43 Bahasa Nusa: bukannya aku tidak bisa ngenyeng (ungkapan orang Nusa untuk berbicara dengan logat dan kosakata Bali daratan), mulut terasa aneh (kalau ngenyeng). Tapi pada waktu-waktu tertentu harus bisa ngenyeng, kalau tidak, kita bisa ditertawai. Wawancara tanggal 8 Agustus 2009.
108
saat lain bisa berarti kita atau juga bisa berarti tubuh. Dalam konteks pernyataan
Dewa Katung kata awak berarti kita atau aku, dengan demikian secara tidak sadar ia
telah membedakan dirinya atau orang Nusa Penida dengan orang Bali daratan pada
level bahasa. Lebih jauh lagi, mengikuti Lacan, pada level yang paling mendasar,
ketidaksadaran merupakan wacana Yang lain44. Bagaimanapun juga, ketika seseorang
memandang “ke luar” ia menemukan Yang lain dan ketika ia memandang “ke dalam”
ia juga menemukan Yang lain.
Ketidaksadaran terstruktur seperti bahasa, dengan mengatakan demikian
Lacan tidak bermaksud mengatakan bahwa ketidaksadaran terstruktur tepat seperti
bahasa Inggris atau bahasa modern lainnya atau bahasa kuno, tapi bahasa
sebagaimana ia beroperasi pada level ketidaksadaran, mematuhi suatu jenis tata
bahasa, yaitu suatu kumpulan aturan yang menentukan transformasi dan licinnya
bahasa. Ketidaksadaran, contohnya, memiliki tendensi untuk memecah-mecah kata
sampai pada unit terkecil – huruf dan fonem45. Pada suatu kesempatan, Dewa Katung
berkata demikian, “Jlema uli Bali nak kete ya, soroh awak babar orange tuara dange,
babar mesebeng nulingin. Inget nene dugas ada anak ngedum-ngedumang kopi
jumah to ne?46” Pada akhirnya, bagaimana seseorang memandang dirinya dan
44 Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance, Princeton University Press, New Jersey, 1995:4. 45 Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance, Princeton University Press, New Jersey, 1995:8-9. 46 Bahasa Nusa Penida: begitulah orang dari Bali (daratan), kita selalu dianggap tidak berpunya, sok menolong saja. (Kamu) ingatkan sewaktu ada orang yang membagi-bagikan kopi di rumah (orang Nusa di perantauan selalu menyebut rumah untuk menunjuk pulau Nusa Penida)? Wawancara tanggal
109
kemudian memandang orang lain mengalir melalui wacana, omongan. Wacana-
wacana yang sampai pada orang Bali daratan mengenai Nusa Penida telah menjadi
semacam common sense sehingga makna yang ditempelkan pada wacana-wacana
tersebut menghasilkan sebuah perlakuan seperti yang tersebut di atas. Sebagaimana
disebutkan oleh Bruce Fink, seseorang tidak bisa mengatakan bahwa makna
sebenarnya di balik tangisan seorang bayi adalah kedinginan, lapar dan seterusnya,
karena makna adalah sebuah produk yang tersembunyi: secara terus menerus
merespon tangisan bayi dengan makanan mungkin saja mentransformasi semua
ketidaknyamanannya menjadi lapar. Makna dalam hal ini tidak ditentukan oleh si
bayi, tetapi oleh orang lain dan pada basis bahasa yang mereka ucapkan47.
Demikian bahasa sangat berpengaruh dalam proses saling me-liyan-kan.
Misrecognition (bisa) terjadi dalam tataran ini melalui kekeliruan dalam
menerjemahkan sesuatu yang diucapkan orang lain. Memahami Yang lain, kurang
25 Oktober 2009. Catatan: wawancara ini terjadi di pagi hari ketika kami sedang minum kopi bersama. “Orang-orang yang membagikan kopi” yang ia maksudkan adalah ketika pada tahun 2000an (orang-orang yang kemudian saya tanyai bahkan tidak bisa mengingat dengan jelas kapan hal ini terjadi) orang-orang Bali daratan geger dengan sebuah cerita yang sampai di telinga mereka. Cerita itu adalah tentang Nusa Penida yang kekeringan dan orang-orang disana tidak mampu membeli beras, untuk makan sehari-harinya mereka memanfaatkan bonggol pisang untuk dimakan. Orang-orang Bali daratan kemudian bergegas menyalurkan bantuan berupa sembako, mie instan, kopi dan seterusnya, tetapi reaksi orang Nusa Penida yang diberi bantuan ternyata tidak seperti yang dipikirkan. Disaat bantuan tersebut datang, mereka berbondong-bondong menuju pelabuhan untuk mengambil bantuan dan kemudian nongkrong di pos kamling-pos kamling, bersantai, tertawa-tawa. Untuk beberapa lama (selama bantuan itu mengalir) mereka melakukan pekerjaan di ladang mereka dengan santai, tanpa beban karena persedian makanan sangat mencukupi. Jadi sebenarnya apa yang disebut “kekeringan” dan “kelaparan” di Nusa Penida “tidak pernah terjadi”, orang-orang Nusa Penida biasa memanfaatkan bonggol pisang untuk makanan sehari-hari ketika musim panas berkepanjangan. 47 Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance, Princeton University Press, New Jersey, 1995:6.
110
lebih itu dibutuhkan dalam suatu komunitas. Sebagaimana disebutkan Amin Maalouf:
“Toleransi semata tidaklah cukup. Saya tidak ingin ditolelir: saya bersikeras untuk
diperlakukan sebagai warga (negara) penuh apapun kepercayaan saya. Hal ini
menyertakan sebuah status inferior, dan itu tidak pernah jauh dari pelecehan.48”
48 Maalouf, Amin (Ronny Agustinus: penerjemah), In The Name of Identity, Resist Book, Yogyakarta, 2004:58-59. Tanda dalam kurung merupakan tambahan dari saya.
111
BAB V
KESIMPULAN
Membicarakan masalah identitas mungkin tidak akan habis-habisnya dan
memakan waktu serta tenaga yang tidak sedikit. Apa yang saya sampaikan pada tesis
ini mungkin hanya bisa dianggap sebagai sebuah pembukaan pada permasalahan
yang lebih luas. Bisa jadi apa yang saya sampaikan di sini tidak menjawab
permasalahan apapun.
I. Kumpulan Kepentingan Hasrat
Dari kisah penundukan kerajaan Bedaulu yang dipimpin oleh Mayadenawa
sampai penundukan Nusa Penida oleh Bali daratan memiliki pola narasi yang sama:
suatu kuasa dihantam dan dirobohkan dengan terlebih dahulu membinasakan simbol
yang bekerja untuk kuasa tersebut. Dengan terbunuhnya simbol kuasa lama, kuasa
baru dengan mudah memasukkan unsur-unsur kuasanya, mempengaruhinya dengan
simbol-simbol baru yang lebih kuat kemudian menguasai masyarakat tersebut. Pada
kisah penundukan Bali daratan, hal tersebut berjalan dengan baik, simbol-simbol
yang dikalahkan seperti Mayadenawa, Masula-Masuli serta Tapaulung berhasil
digeser menjadi simbol pemberontak yang jahat dan tidak dikenali lagi sebagai
simbol kuasa yang pernah memerintah dengan baik. Sri Kresna Kepakisan
112
menggantikan simbol-simbol itu sebagai simbol kuasa Yang lain dan bekerja
melayani Majapahit. Meskipun dalam tulisan simbol kuasa lama: Tapaulung, tidak
bisa dikalahkan, ia dikalahkan dalam satwa. Seperti yang telah saya sebutkan
sebelumnya1, satwa memiliki kekuatan yang jauh melebihi tulisan, karena ia terus
menerus menghindar dari kuasa tulisan. Satwa tidak tunduk pada aturan-aturan ketat
sebagaimana tulisan tunduk pada suatu aturan tertentu: tata bahasa. Satwa mengalir
begitu saja mengikuti si pencerita dan audiens dan terpatri lebih kuat dalam ingatan
karena (salah satunya) ia dikisahkan dalam ruang-ruang informal. Sementara itu,
tulisan “tidak memedulikan” audiens, dalam arti setiap pembacanya diharuskan
mengikuti aturan tertentu yang mengikat tulisan tersebut dan ia berada dalam ruang-
ruang formal dengan audiens terbatas.
Dalam pertempuran antara tulisan dan satwa, yang memiliki pengaruh besar
dan signifikan adalah politik audiens. Politik audiens yang saya maksudkan disini
adalah kemurah hatian obyek (tulisan dan atau satwa) untuk mau dan atau bisa
dipahami oleh subyek (audiens). Sebagaimana telah luas dipahami (dan telah saya
sebutkan berkali-kali) tulisan mengharuskan audiensnya untuk patuh pada aturan
tertentu yang mengikatnya dan tentu saja audiens diharuskan untuk melek huruf.
Dengan demikian tulisan (meminjam istilah Pierre Bourdieu) adalah sebuah
restricted field of production yang mendapat dukungan dari restricted people and
language. Bourdieu menyarankan bahwa produksi ini ditujukan bukan untuk pasar 1 Lihat kembali bab II halaman 24.
113
dalam skala besar. Dalam medan ekonomi, misalnya, agen-agen bersaing demi modal
ekonomi dengan beragam strategi investasi menggunakan akumulasi modal ekonomi.
Akan tetapi kepentingan-kepentingan serta sumber-sumber taruhan dalam suatu
medan tidak selalu mengambil bentuk material dan kompetisi di antara agen-agen
tidak selalu bersandar pada kalkulasi kesadaran. Dalam medan kultural (misalnya,
sastra), kompetisi yang seringkali menyangkut kekuasaan tidak bisa dipisahkan dalam
pengenalan, pengabdian dan gengsi. Kekuasaan yang bersandar pada pengabdian atau
gengsi sepenuhnya simbolik dan mungkin saja atau mungkin juga tidak termasuk
bertambahnya hak milik modal ekonomi2. Dalam Imagined Communities3, Benedict
Anderson mengambil kapitalisme cetak sebagai sebuah titik di mana rasa kebangsaan
mulai ditemukan meski orang-orang dalam komunitas tersebut mungkin tidak saling
mengenali sesamanya. Hal itu hampir tidak bisa dibayangkan. Pertama karena ada
kelas dalam perjalanan ini, dan ini tidak dieksplorasi lebih jauh oleh Anderson. Satwa
lebih mungkin untuk menyebar secara massif, meski mungkin saja tidak menjangkau
suatu wilayah yang luas. Distribusi pengetahuan, (meminjam istilah Anderson) pada
ranah dinastik maupun pada ranah kolonial ketika kapitalisme cetak mulai dikenal,
penyebaran pengetahuan tetap sama: tidak merata.
2 Johnson, Randal, Editor’s Introduction: Pierre Bourdieu on Art, Literature and Culture; dalam The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature, Pierre Bourdieu, Columbia University Press, 1993:7. 3 Anderson, Benedict (Omi Intan Naomi: penerjemah), Imagined Communities, 2008, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
114
Dengan demikian hal ini juga berhubungan dengan kelas sosial. Dalam kasus
ini, siapa yang berhak menuliskan sesuatu dan siapa yang berhak membacanya.
Seseorang mesti berada pada posisi sosial yang mapan dalam arti dia berada dalam
suatu tingkatan tertentu di mana ia memiliki hak menulis dan atau membaca.
Seseorang bisa berada dalam posisi sosial demikian karena kasta yang melekat pada
dirinya dan ini merupakan (salah satu) modal simbolik yang berlaku dalam lingkup
sosial di Bali. Dalam satwa yang saya kisahkan pada bab II, anak Pasung Grigis
diberi gelar Arya ketika bersekutu dengan Kresna Kepakisan. Gelar Arya,
sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, adalah sebutan untuk ksatria Jawa
yang ada dalam rombongan Kresna Kepakisan ketika ia ke Bali. Dengan demikian,
kasta merupakan sebuah pemberian dari atas, dalam hal ini raja, kepada bawahannya.
Pemberian itu, dalam perkembangannya, terus menempel pada keturunannya. Tidak
ada hal khusus yang menyebutkan bagaimana seseorang bisa mendapatkan gelar
semacam itu. Dalam pengertian Lacanian, hal ini adalah wacana tuan; di mana sang
tuan mesti dituruti karena dia adalah tuannya. Berbanding terbalik dengan satwa,
setiap orang berhak mesatwa dan atau mendengarkan satwa. Karena setiap orang
memiliki hak inilah, maka satwa sangat memperdulikan politik audiens. Satwa hanya
mengharuskan audiens-nya untuk memahami tanda-tanda yang ada di dalamnya dan
hal ini sudah terjadi secara natural. Tentu saja penggunaan serta pemahaman atas
115
tanda-tanda dalam satwa mengikuti konteks ruang di mana sebuah satwa dituturkan.
Dengan cara demikian satwa menyebar jauh lebih massif dan lebih luas dipahami.
Hal ini juga menjelaskan kenapa Nusa Penida menjadi sebuah kasus khusus
dalam hal pola-pola penundukan yang telah saya sebutkan di atas. Pertama-tama
ketidakjelasan dan atau ketiadaan bahan-bahan tertulis mengenai sejarah Nusa Penida
membuat sejarah Nusa Penida bergerak dinamis dalam ruang-ruang informal seperti
satwa dan atau mitos. Hal inilah yang membuat simbol kuasa Nusa Penida (Ratu
Gede Mecaling) tetap hidup sampai sekarang. Pada sisi lain, satwa ini juga
dimanfaatkan oleh Yang lain untuk menguasai Nusa Penida (hal ini akan saya
ceritakan pada sub bab selanjutnya). Sementara itu, reputasi Nusa Penida sebagai
pulau pembuangan juga masih bertahan sampai sekarang. Hal ini juga membuat Nusa
Penida mendapat status inferior, justru karena ketiadaan sejarah dalam bentuk tulisan.
Dalam kasus ini, satwa bagaikan pedang bermata dua yang dengan ekstrem
melekatkan status inferior (karena kejelasan statusnya tidak terjelaskan dalam sebuah
bentuk yang legitimate: tulisan) sekaligus superior (karena simbol kuasa lama bisa
bertahan dari serangan Bali daratan).
II. Mitos, Primitivisasi dan Pe-liyan-nan
Mitos-mitos mengenai raja Nusa Penida yang dikalahkan dan tidak mau
meninggalkan daerah kekuasaannya setelah mangkat (Ratu Gede Mecaling), tersebar
116
sedemikian massif bahkan tak terbendung. Ratu Gede Mecaling bahkan dikisahkan
“mempermainkan” kuasa yang mengalahkannya: mulai dari membantu rakyat Bali
daratan, pembangunan kuri kerajaan Klungkung sampai menyebarkan grubug. Akan
tetapi mitos-mitos yang membanggakan tentang Ratu Gede Mecaling pada dasarnya
berkisah atau digunakan oleh kuasa (kerajaan) Klungkung dan atau Bali daratan
untuk menundukkan Nusa Penida dan membangun citra primitif. Tentunya kita masih
ingat ketika Bali (daratan) disebut sebagai museum hidup kejayaan Hindu(isme),
sementara tanah Jawa “tercemari” oleh kedatangan Islam dan Nasionalisme. Ketika
Bali (daratan) mulai “mendatangkan keuntungan” dari industri pariwisata yang
membawa “efek samping” berupa kedatangan para imigran, kesakralan museum
hidup ini perlahan-lahan namun pasti meluruh karena efek profan industri pariwisata.
Mitos Ratu Gede Mecaling yang menawan memberi celah untuk “mengembalikan”
kejayaan Hindu(isme), sehingga muncullah pernyataan ini dalam harian Bali Post:
“Nusa Penida, Benteng Terakhir Hindu di Bali”4.
Karena Nusa Penida adalah benteng terakhir Hindu(isme), maka sudah
sepantasnya ia dijaga agar tidak ternoda oleh efek-efek profan dunia modern. Sebagai
akibatnya, ketidakmampuan negara dalam menyediakan fasilitas-fasilitas umum yang
memadai untuk rakyat Nusa Penida tersamarkan melalui mitos Ratu Gede Mecaling.
Kekuatan mitos Ratu Gede Mecaling dalam membangun citra primitif (orang) Nusa
Penida justru terletak pada kelebihannya ketika ia dibandingkan dengan tulisan. 4 Lihat kembali catatan kaki nomor 16 Bab III halaman 59.
117
Mitos tersebar melalui omongan yang dikisahkan dari generasi ke generasi, dengan
demikian kelangsungan hidup mitos tetap terjaga dan primitivisasi (orang) Nusa
Penida berjalan lancar. Buah primitivasasi ini adalah pe-liyan-nan (orang) Nusa
Penida.
III. Sebuah Perulangan yang Disepakati
Secara umum, industri pariwisata Bali sudah dimulai semenjak pemerintah
kolonial Hindia Belanda menetapkan Baliseering sebagai program pemulihan tradisi
Bali. Pemulihan tradisi ini berkaitan erat dengan goyahnya kuasa pemerintah kolonial
dan menemukan kembali Bali. Pemulihan tradisi Bali antara lain bertujuan menarik
simpati rakyat Bali untuk tetap mengakui pemerintah kolonial Hindia Belanda
sebagai penguasa di Bali. Dengan pengakuan ini pemerintah kolonial Hindia Belanda
membuat Bali sebagai benteng terakhir kuasa koloninya di Hindia Belanda. Selain
itu, menemukan kembali Bali merupakan sebuah konsep yang mendasari
kelangsungan hidup industri pariwisata Bali yang mengandalkan tradisi sebagai daya
tarik utamanya.
Seperti disebutkan oleh Karl Marx dalam Brumaire Louis Bonaparte XVIII5:
sebuah kejadian yang penting dalam sejarah terjadi seakan-akan dua kali, pertama
sebagai tragedi dan kedua sebagai lelucon. Demikian juga halnya dengan kejadian di
5 Marx, Karl, (Oe Hay Djoen: penerjemah), Brumaire XVIII Louis Bonaparte, Hasta Mitra, Jakarta, 2006:15.
118
Bali, ketika kuasa pemerintah kolonial melemah, program ‘menemukan Bali’
diluncurkan dan mengarah pada mem-Bali-kan Bali (Baliseering); ketika ledakan
bom mengguncang Bali, program recovery Bali diluncurkan dan mengarah pada Ajeg
Bali. Dua hal ini, ‘menemukan Bali’ serta recovery Bali, entah itu memang diniatkan
ataupun tidak, bersinggungan secara langsung dengan industri pariwisata.
Pemanfaatan Bali sebagai industri pariwisata sendiri sudah terjadi ketika asosiasi
pengatur lalu lintas pariwisata Hindia Belanda mendirikan sebuah biro pariwisata dan
mengembangkan sayapnya sampai ke Bali yang baru saja ditaklukkan. Hotel-hotel
mulai dibangun, obyek-obyek pariwisata dibenahi, brosur-brosur perjalanan mulai
diterbitkan, di atas semuanya, citra Bali yang ramah, eksotis dan seterusnya mulai
dibangun demi keberlangsungan kehidupan industri ini.
Ketika Ajeg Bali mulai memasuki kehidupan industri ini, pertanyaan-
pernyataan mengenai kebudayaan Bali mulai mengalun dan pertanyaan siapa orang
Bali menyertai alunan tersebut, sementara di sela-selanya terdengar alunan tentang
otentisitas ke-Bali-an. Mempertahankan serta menjaga budaya Bali yang asli menjadi
semacam tujuan yang harus dicapai. Meski wacana ke-asli-an adalah wacana yang
sulit untuk dipahami, apalagi dengan industri pariwisata sebagai latar belakangnya.
Ajeg Bali melalui media pendukungnya (salah satunya Bali Post) terus menerus
mereproduksi pengalaman masyarakat Betawi yang semakin lama semakin
119
tersingkir6, sehingga menghasilkan ketakutan (yang berlebihan) akan sebuah ancaman
yang tampak di depan mata dan siap menerkam. Ancaman ini dipandang datang dari
luar serta siap meluluh-lantakkan Bali dari dalam. Sehingga tidak heran wacana
“luar-dalam” menjadi wacana mendesak yang perlu diselesaikan. Ajeg Bali
memberikan rekomendasi praksis: pemberlakuan otonomi khusus tingkat propinsi
untuk mencegah fragmentasi atas ruang budaya Bali dan terpicunya konflik antar
daerah tingkat II, penguatan institusi yang selama ini menjaga ruang budaya manusia
Bali seperti banjar, desa adat serta Pura dan legislasi migrasi selektif; arus deras
migrasi penduduk pendatang yang tidak terseleksi adalah sebuah ancaman.
Dalam buku Ajeg Bali: Sebuah Cita-cita, disebutkan demikian: “Ada datang
membawa modal, ada juga yang mengadu nasib alias modal dengkul. Kehadiran
pendatang yang terus meluber itu, mengundang kekhawatiran. Bila dibiarkan, Bali
pun bisa “tenggelam”, sesak dan mengarah pada rusaknya tatanan kehidupan
masyarakat yang mengedepankan konsep “Tri Hita Karana”” 7. Migrasi selektif yang
disebutkan sebagai sebuah bendungan untuk mengatasi migrasi dalam prakteknya
memberikan keleluasaan pada kuasa modal untuk memasuki Bali. Secara kasat mata
bisa kita lihat, pemeriksaan KTP ketika akan memasuki Bali dilakukan hanya di
pelabuhan Gilimanuk dan tidak pernah dilakukan di bandara Ngurah Rai.
6 Lihat kembali catatan kaki nomor 11 Bab IV halaman 86. 7 Jangan Biarkan Bali “Tenggelam” oleh Pendatang, dalam Ajeg Bali: Sebuah Cita-cita, Naradha, Satria ABG, Bali Post, Denpasar, tanpa tahun terbit: 227. Tri Hita Karana sebuah konsep yang meliputi hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan tuhan.
120
Pemeriksaan KTP bisa kita gunakan sebagai penanda seleksi para migran, maka
migrasi yang terjadi melalui pelabuhan Gilimanuk jelas terjaring. Tapi yang menjadi
pertanyaan kemudian adalah kelas manakah yang relatif paling banyak memanfaatkan
jasa penyeberangan di Gilimanuk? Kelas yang relatif lebih banyak memanfaatkan
pelabuhan Gilimanuk adalah kelas pekerja, lumpen proletariat yang mengadu nasib
ke Bali. Dengan demikian pada prakteknya, migrasi selektif hanya berlaku pada kelas
pekerja, dan tidak menyentuh kuasa modal.
Salah satu kekuatan ajeg Bali adalah media massa. Akan tetapi yang lebih
krusial adalah mereka ingin mengontrol pikiran anggota masyarakat yang lebih
pintar, yang kemudian mendistribusikan propaganda yang mereka buat. Pengontrolan
itu bekerja. Ia bekerja dengan sangat baik. Dan memberikan sebuah pelajaran:
propaganda negara, ketika didukung oleh kelas terpelajar dan ketika tiada ijin untuk
sebuah perbedaan, bisa menghasilkan efek yang besar8. Dalam kasus ajeg Bali, efek
yang dihasilkan adalah sebuah konsensus “anti-kritik”, konsekwensi mengkritik
adalah kasepekang9.
Hal terakhir yang belum atau tidak banyak terjelaskan dalam penelitian ini
adalah peranan media dalam pembentukan identitas seseorang serta bagaimana
seseorang di-liyan-kan dalam perspektif pandang-memandang.
8 Chomsky, Noam, Media Control: The Spectacular Achievement of Propaganda, 2nd Edition, Seven Stories Press, New York, 2002:13. 9 Bahasa Bali: dihukum secara sosial. Seseorang yang kasepekang biasanya dianggap tidak ada dalam suatu lingkungan sosial.
121
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, Jiwa (Penyunting), Leak Dalam Folklore Bali, 2005, CV. Bali Media Adhikarsa, Denpasar.
Barthes, Roland, (Nurhadi dan A. Sihabul Millah; penerjemah), Mitologi, 2004, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Belo, Jane (Editor), Traditional Balinese Culture, 1970, Columbia University Press, New York.
Bertens, K (Editor dan Penerjemah), Psikoanalisis Sigmund Freud, 2006, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Buda, Jero Mangku Made, Babad Nusa Penida, 2007, Penerbit Pāramita, Surabaya. Chomsky, Noam, Media Control: The Spectacular Achievement of Propaganda, 2nd
Edition, 2002, Seven Stories Press, New York. Foucault, Michel, (Alan Sheridan and others; translator), Politics, Philosophy,
Culture; Interview and Other Writings 1977-1984, 1988, Routledge, New York and London.
Fink, Bruce, The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance, 1995,
Princeton University Press, New Jersey. Geertz, Hildred, Sakti Conjunction; New Views on Balinese “Religion”, tanpa tahun
dan penerbit. ____________, How Can We Speak About Balinese Religion?, tanpa tahun dan
penerbit. ____________, Theatre of Cruelty: The Context of Topéng Performance, dalam State
and Society in Bali, 1991, KITLV Press, Leiden. Gramsci, Antonio (Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith: Editor and translator),
Selection From The Prison Notebooks of Antonio Gramsci, 2005, International Publishers, New York.
122
Jones, Steve, Routledge Critical Thinker: Antonio Gramsci, 2006, Routledge, New York.
Kanta, I Made, Drs. Ida Bagus Sidemen [et.al], Sejarah Klungkung: Dari Smarapura
Sampai Puputan, 2001, Klungkung. Lacan, Jacques, (Alan Sheridan; translator), Ecrits: A Selection, 1977, Tavistock
Publications Limited, Great Britain. Maalouf, Amin, (Ronny Agustinus; penerjemah), In The Name of Identity, 2004,
Resist Book, Yogyakarta. Mantra, Ida Bagus, J.H.C. Kern [et.al], Ciwa-Buddha Puja di Indonesia, 2002,
Yayasan Dharma Sastra, Denpasar. Naradha, Satria ABG [et al], Ajeg Bali: Sebuah Cita-cita, tanpa tahun terbit, Bali
Post, Denpasar. Picard, Michel, (Jean Couteau dan Warih Wisatsana; penerjemah), Bali: Pariwisata
Budaya dan Budaya Pariwisata, 2006; KPG, Forum Jakarta-Paris, dan École Française d’Etréme-Orient, Jakarta.
Rikardo, Rikki, Mengapa Kapitalisme Menyebalkan, 2010, Katalis. Robinson, Geoffrey, (Arif B. Prasetyo; penerjemah), Sisi Gelap Pulau Dewata:
Sejarah Kekerasan Politik, 2006, LKiS, Yogyakarta. Said, Edward W., (L.P. Hok; penerjemah), Bukan – Eropa: Freud dan Politik
Identitas timur Tengah, 2005, Marjin Kiri, Jakarta. , (Asep Hikmat; penerjemah), Orientalisme, 2001, Penerbit Pustaka,
Bandung. , (Sabrina Jasmine; penerjemah), Out of Place, 2002, Penerbit
Jendela, Yogyakarta. Saukko, Paula, Doing Research in Cultural Studies, 2003, Sage Publication, London. Subaga, I Made, Riwajat Pulau Bali dari Djaman ke Djaman, koleksi pribadi, tidak
diterbitkan.
123
Subaga, I Made, Bali Age, koleksi pribadi, tidak diterbitkan. Sunardi, St, Semiotika Negativa, 2004, Penerbit Buku Baik, Yogyakarta. Smith, Linda Tuhiwai, (Nur Cholis; penerjemah), Dekolonisasi Metodologi, 2005,
Insist Press, Yogyakarta. Taylor, Charles [et al], Multiculturalism: Examining The Politics of Recognition,
1994, Princeton University Press, Princeton, New Jersey. The Crimeth Inc. Workers Collective, Days of War, Night of Love: Crimethink For
Beginners, 2001, CrimethInc., Free Press. Vickers, Adrian, Bali: Paradise Created, 1996, Periplus Editions, Singapore. Wiener, Margaret J., Visible and Invisible Realms: Power, Magic, and Colonial
Conquest in Bali, 1995, The University of Chicago Press, Chicago. Wijaya, Putu [et al], Bali: Menuju Jagadhita: Aneka Perspektif, 2004, Pustaka Bali
Post, Denpasar.
Babad dan Sumber Lainnya
Babad Usana Bali Pulina Gaguritan Calonarang Pamencangah Ida I Dewa Kulit Ring Nusa Penida Presasti Ida I Dewa Kulit Presasti I Dewa Anom Ambara, Alit, “Proyek Kolonial Bank Dunia Mem-Bali-kan Bali”, sisipan Media
Kerja Budaya edisi 05/2001. Putri, Agung, “Pulau Dewata”: Surga Bagi Para Investor, sisipan Media Kerja
Budaya, edisi 05/2001.
124
Santikarma, Degung, ‘Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzeneger’, Kompas, Minggu 07 Desember 2003.
Suryawan, I Ngurah, ‘“Ajeg Bali” dan Lahirnya “Jago-jago” Kebudayaan’, Kompas
07 Januari 2004. ‘Klungkung Rancang Penangkalan Rabies Secara Niskala’, Bali Post, 30 Oktober
2009”. ‘Pemkot Gelar ‘Pamahayu Jagat’ di Serangan’, Bali Post, 25 Februari 2009”. ‘Dr. Arya Vedakarna: Nusa Penida Benteng Terakhir Hindu di Bali’, Bali Post, 8
April 2009. ‘Kapolda Terima Panitia SAB, Bali Jangan Jadi Betawi atau Abudabi’, Bali Post, 27
September 2005.
LAMPIRAN I
Bali Dalam Angka 2009
� Penerbit : Badan Pusat Statistik Provinsi Bali � Tahun : 2009
http://bali.bps.go.id/tabeldetail.php?ed=51000201&od=2&rd=&id=2 Population
Area, Number of Households and Population by Regency/Municipality in Bali, 2008
Regency/ Municipality
Area (km²)
Number of Households
Number of Population Sex Ratio
Density per km² Male Female T o t a l
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (2) (3) 1. Jembrana 841.80 74 559 133 622 134 647 268 269 99 319 2. Tabanan 839.33 112 293 206 712 210 031 416 743 98 497 3. Badung 418.52 93 877 192 914 190 966 383 880 101 917 4. Gianyar 368.00 89 718 197 049 197 706 394 755 100 1 073 5. Klungkung 315.00 45 312 86 849 89 973 176 822 97 561 6. Bangli 520.81 50 714 106 637 107 171 213 808 100 411 7. Karangasem 839.54 106 710 215 283 214 968 430 251 100 512 8. Buleleng 1 365.88 170 367 325 678 324 559 650 237 100 476 9. Denpasar 127.78 114 907 245 150 229 930 475 080 107 3 718
Total: 2008 5 636.66 858 457 1 709 894 1 699 951 3 409 845 101 605 2007 5 636.66 833 789 1 692 289 1 680 591 3 372 880 101 598 2006 5 636.66 815 074 1 658 695 1 651 612 3 310 307 100 587 2005 5 636.66 796 186 1 623 426 1 624 346 3 247 772 100 576 2004 5 636.66 761 290 1 588 854 1 591 064 3 179 918 100 564
Source: BPS - Statistics of Bali Province (Compilation Result of Population Registration)
http://bali.bps.go.id/tabeldetail.php?ed=51000202&od=2&rd=&id=2
Number of Population in Bali by Citizenships, Sex, and Regency/Municipality at The End of Year of 2008
Regency/Municipality Indonesia Citizen
Foreign Citizen
T o t a l Chinese O t h e r
Male Female Male Female Male Female (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1. Jembrana 133 619 134 646 1 0 2 1 268 269 2. Tabanan 206 690 210 013 2 4 20 14 416 743 3. Badung 192 676 190 881 38 42 200 43 383 880 4. Gianyar 197 012 197 663 15 11 22 32 394 755 5. Klungkung 86 849 89 973 0 0 0 0 176 822 6. Bangli 106 637 107 171 0 0 0 0 213 808 7. Karangasem 215 283 214 967 0 1 0 0 430 251 8. Buleleng 325 634 324 524 12 14 32 21 650 237 9. Denpasar 244 878 229 743 271 186 1 1 475 080
Total : 2008 1 709 278 1 699 581 339 258 277 112 3 409 845 2007 1 691 768 1 680 216 102 97 419 278 3 372 880 2006 1 658 219 1 651 275 98 98 378 239 3 310 307 2005 1 623 001 1 624 010 106 108 319 228 3 247 772 2004 1 588 333 1 590 634 110 103 411 327 3 179 918
Source : BPS - Statistics of Bali Province (Result of Population Registration)
•
http://bali.bps.go.id/tabeldetail.php?ed=51000203&od=2&rd=&id=2 Population
Population Projection of Bali Province by Age Group and Sex, 2009 - 2013
Age Group
Y e a r
2009 2010 2011 2012 2013
Male Female Male Female Male Female Male Female Male Female
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) 0 - 4 136.3 129.0 133.0 126.8 133.2 125.7 132.9 125.1 129.6 123.0 5 - 9 144.6 138.2 146.5 138.5 143.6 135.7 140.7 132.8 138.3 130.8
10 - 14 142.9 135.8 145.6 138.0 144.3 137.1 142.1 136.0 143.6 137.4 15 - 19 132.5 126.4 130.3 124.9 133.9 129.0 138.0 131.9 141.2 134.1 20 - 24 142.6 133.4 140.9 131.8 140.3 130.9 139.1 130.8 137.5 129.5 25 - 29 153.2 146.0 152.4 143.7 151.1 141.4 148.4 138.8 146.6 136.5 30 - 34 168.1 164.5 165.9 162.1 162.2 157.6 159.0 154.0 157.4 150.7 35 - 39 166.9 166.0 167.9 168.2 168.9 169.4 168.3 169.2 168.5 167.1 40 - 44 147.1 145.5 151.2 150.2 155.1 155.1 160.3 158.6 163.1 162.4 45 - 49 120.5 118.7 125.3 123.6 130.2 128.6 135.0 133.7 139.5 138.9 50 - 54 96.7 95.7 100.7 99.5 104.6 103.7 109.7 107.6 112.8 112.5 55 - 59 76.1 75.4 79.1 78.4 82.9 81.0 85.5 84.7 89.3 88.4 60 - 64 56.6 57.7 60.0 60.0 61.5 63.5 64.6 65.7 67.5 67.9 65 - 69 42.6 46.0 42.9 46.9 44.2 48.2 46.7 51.0 48.9 52.9 70 - 74 31.2 36.1 32.0 36.8 32.4 37.8 33.1 38.8 34.0 39.9
75+ 34.5 44.3 36.1 45.6 37.2 47.1 37.3 49.2 38.4 50.4 Total: 1 792.4 1 758.7 1 809.8 1775.0 1 825.6 1 791.8 1 840.7 1 807.9 1 856.2 1 822.4
Source: BPS - Statistics Indonesia (Based on Result of The Intercensal Population Survey 2005)