Tesis lisan kantola di kabupaten muna

229
TESIS REVITALISASI TRADISI LISAN KANTOLA MASYARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA PADA ERA GLOBALISASI DARWAN SARI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 i

description

 

Transcript of Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Page 1: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

TESIS

REVITALISASI TRADISI LISAN KANTOLAMASYARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA

PADA ERA GLOBALISASI

DARWAN SARI

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR2011

i

Page 2: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

TESIS

REVITALISASI TRADISI LISAN KANTOLAMASYARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA

PADA ERA GLOBALISASI

DARWAN SARINIM 0990261032

PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR2011

ii

Page 3: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

REVITALISASI TRADISI LISAN KANTOLA MASYARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA

PADA ERA GLOBALISASI

Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Progam Studi Kajian Budaya

Program Pascasarjana Universitas Udayana

DARWAN SARINIM 0990261032

PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR2011

iii

Page 4: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

LEMBAR PENGESAHAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 26 AGUSTUS 2011

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. Dr. Sutamat Arybowo, M.A.NIP. 19570113 198003 1 001 NIP. 1955 0721 1983 03 1 003

Mengetahui:

Ketua Program Studi Magister (S2) DirekturKajian Budaya Program Pascasarjana Program PascasarjanaUniversitas Udayana, Universitas Udayana

Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S. Prof. Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,Sp.S(K)NIP. 19430521 198303 2 001 NIP. 19590215 1985 10 2 001

iv

Page 5: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Tesis ini Telah Diuji pada

Tanggal, 26 Agustus 2011

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana

Nomor: 1442/UN.14.4/HK/2011, Tanggal 19 Agustus 2011

Ketua : Prof. Dr. I Made Suastika, S.U.

Anggota :

1. Dr. Sutamat Arybowo, M.A.

2. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S.

3. Prof. Dr.I Gde Semadi Astra

4. Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum.

v

Page 6: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

UCAPAN TERIMA KASIH

Rasa syukur tanpa batas penulis panjatkan atas kekuasaan dan keridhaan

Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penelitian

dan penulisan tesis yang berjudul Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola Masyarakat

Muna Sulawesi Tenggara pada Era Globalisasi dapat diselesaikan.

Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, memiliki banyak kekurangan di

sana sini namun hal tersebut sangatlah wajar karena terkait dengan proses dalam

menuntut ilmu. Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan selesai, tanpa

bantuan dari berbagai pihak. Karena itu, seyogyanyalah penulis mengucapkan

terima kasih yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat:

Pertama, Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. selaku pembimbing I yang

penuh perhatian telah memberikan bimbingan serta dorongan dalam

menyelesaikan penulisan tesis ini. Kepada Dr. Sutamat Arybowo, M.A. selaku

pembimbing II yang juga telah memberikan bimbingan kepada penulis selama ini.

Kedua, kepada Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S, Prof. Dr. I Gde Semadi Astra,

Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum., sebagai tim penguji juga banyak

memberikan bantuan baik berupa komentar, kritik maupun saran atas bagian-

bagian tertentu atau keseluruhan naskah tesis ini.

Ketiga, Dekan Fakultas Sastra Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan

Ardika, M.A., juga pada Ketua dan Sekretaris Program Magister (S2) Kajian

Budaya Universitas Udayana Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S., dan Dr. I Wayan

Redig, serta seluruh staf pengajar Program Magister (S2) Kajian Budaya, yang

telah banyak mentransformasikan ilmu pengetahuan dan membantu penulis dalam

melaksanakan studi selama ini.

Keempat, kepada seluruh staf administrasi Program Magister (S2) Kajian

Budaya Universitas Udayana, yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu

yang selama ini telah banyak memberikan kemudahan kepada penulis dalam hal

administrasi perkuliahan. Serta Direktorat Jendral Perguruan Tinggi yang

vi

Page 7: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

bekerjasama dengan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) yang telah memberikan

bantuan beasiswa (BPPS KTL) Kelima, kepada rekan-rekan Program Magister

(S2) Kajian Budaya Universitas Udayana, khususnya angkatan 2009 sebagai

teman-teman diskusi dalam mengasah ketajaman analisis dan memperluas

wawasan keilmuan. Keenam, kepada kedua sahabatku Rahmat Sewa Suraya dan

Muh. Al Kausar telah bersama suka maupun duka. Juga ucapan terima kasih

banyak kepada para informan yang telah bersedia meluangkan waktunya dan

memberikan informasi.

Ketujuh, kepada pihak keluarga dan juga pihak lain yang sangat membantu

penulis dalam menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini, yang namanya saya

tidak bisa sebut satu demi satu. Jasa baik mereka akan selalu penulis kenang.

Paling teristimewa kepada ibuku tercinta, penulis mengucapkan terima kasih

banyak atas semua motivasi, dan do’anya untuk kesuksesan penulis dari sejak

kecil hingga saat ini. Semoga setiap derap langkah kaki, ayunan tangan beliau

selalu mendapat imbalan kebaikan dari Allah SWT, amin.

Kedelapan, kepada Rektor Universitas Haluoleo di Sulawesi Tenggara

Bapak Prof. Dr. Ir. Usman Rianse, M,S, dan Ketua ATL Pusat Dr. Pudentia

MPPS, M.Hum. serta Ketua ATL Sulawesi Tenggara Dr. La Niampe, M.Hum.

yang telah memberikan kesempatan dan membukakan jalan penulis untuk

mendapatkan beasiswa, serta tak lupa penulis mengucapkan salam perjuangan

kepada teman-teman dari Kajian Tradisi Lisan yang sekarang ini sementara

melanjutkan studi.

Kesembilan, Kepada keluarga besar Bapak Soedjiwo yang telah

memberikan nasehat, dukungan, bantuan, serta doanya kepada penulis, dan

kepada orang yang saya tuakan Dr. La Taena, M.Si., serta Kakanda saya

Hadirman, S.Pd., M.Hum., Briptu Ismail Story, Hamirudin Udu, S.Pd.,M.Hum.,

Hardin Arin, S.Pd., juga penulis ucapkan terima kasih banyak atas segala do’a dan

bantuannya demi tercapainya studi penulis. Kepada kakak saya Yani, S.Pd.

terimakasih atas bantuan dan dukungannya dan ketiga adik saya, Awal Maulid

vii

Page 8: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Sari, S.Pt., Siti Kadri Yanti Sari, S.Sos., Putri Suswani Sari, penulis ucapkan

terima kasih banyak atas dukungannya semoga mereka juga lebih termotivasi

untuk melanjutkan studi. Semoga semua amal kebaikan mereka mendapatkan

balasan kebaikan pula dari Allah SWT, amin.

Walaupun dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan

dari berbagai pihak berupa pemikiran melalui komentar, kritik maupun saran,

tanggung jawab terakhir tetap berada kepada penulis sendiri. Banyak atau

sedikitnya kekurangan dan kesalahan dalam tesis ini sepenuhnya menjadi

tanggungjawab penulis.

Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan mohon

ampunan atas segala kesalahan. Kepada-Nya jugalah penulis menyerahkan semua

amal kebaikan pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

tesis ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya pada

kita semua, amin.

Denpasar, Agustus 2011

Penulis,

viii

Page 9: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

ABSTRAKPenelitian ini membahas revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna

pada era globalisasi. Pada dasarnya, tradisi lisan kantola, sebagai bentuk warisan budaya masyarakat Muna, telah menuju ambang kepunahan. Selain dampak negatif dari globalisasi, kemunduran nilai-nilai budaya lokal tidak lepas dari masyarakat Muna yang sudah makin jauh meninggalkan tradisi ini. Tiadanya dukungan pemerintah terhadap tradisi ini juga membuka celah kehancuran warisan budaya ini. Penelitian ini bertujuan untuk memahami upaya-upaya revitalisai tradisi lisan kantola dalam masyarakat Muna. Pemahaman terhadap aktivitas kultural ini dapat memberikan arah bagi pembentukan kembali ikatan sosial dan identitas masyarakat lokal.

Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah (1) bentuk revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi, (2) fungsi revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi, (3) makna revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi. Dalam pembahasan ini digunakan teori hegemoni, teori resepsi, teori dekontruksi, dan teori semiotika. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan hermeneutika. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan studi dokumen dan pustaka.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertunjukan tradisi lisan kantola yang dilaksanakan secara periodik merupakan media pengenalan dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat sehingga membuka peluang bagi pertumbuhan, dan perkembangan tradisi lisan, termasuk tradisi lisan yang semakin terhimpit dengan produk-produk budaya global. Tradisi lisan yang sarat dengan nilai-nilai estetika berfungsi untuk menyebarkan aspek-aspek moral dan etika kepada masyarakat. Kantola merupakan pernyataan perasaan dan pendapat seseorang, disampaikan secara santun sehingga mudah dihayati dan dipahami. Segala aturan yang bersumber dari nilai-nilai tradisional mampu menjadi perekat dalam membangun ikatan sosial masyarakat.

Penghargaan terhadap warisan budaya lokal bermakna pada pengembangan identitas masyarakat lokal. Tradisi lisan kantola berkaitan dengan nilai-nilai dan sikap serta keyakinan-keyakinan yang tetap diyakini keberadaannya. Edukasi dalam tradisi lisan kantola sejalan dengan proses regenerasi dalam masyarakat Muna, yang mengarah pada peran-peran baru bagi generasi muda untuk tetap mempertahankan warisan budayanya. Kantola memiliki makna yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat Muna. Inovasi membuka pelung terhadap pemahaman warisan tradisi masa lalu yang mampu menjawab persoalan kekinian. Inovasi dapat pula memberikan wadah bagi penyaluran nilai-nilai moral dan etika. Pelestarian budaya dapat dirumuskan sebagai rasa memiliki jatidiri dan kekuatan budaya sendiri, kesadaran budaya harus ditumbuhkan untuk memberikan apresiasi terhadap budaya-budaya lokal, yang mengarah pada ketahanan budaya. Hal ini hanya dapat terwujud melalui revitalisasi budaya-budaya lokal yang berlandaskan pada konteks lokal.

Kata kunci: budaya global, budaya lokal, tradisi lisan kantola, revitalisasi.

ix

Page 10: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

ABSTRACT

This research concerns with traditional revitalization of kantola is Munaness society in globalization era. Principally oral tradition of kantola as a cultural heritage of Munaness society has been being threaten of extinction. Besides as the negative impact of globalisation, the decline of local cultural values is not separated from Munaness people who had neglected this tradition. Less attention of government on this tradition supports the decline of this cultural heritage. The research aims with to understand the real efforts of revitalisation the oral tradition of kantola in Munaness society. The knowledge of this cultural activity can contributes to reform of social emotion and local society identity.

The problems of the research are (1) the form of local tradition of kantola revitalization is Munaness society south east Sulawesi in globalisation era, (2) the function of local tradition of kantola revitalization is Munaness society south east Sulawesi in globalisasi era, (3) the meaning of local tradition of kantola revitalization is Munaness society south east Sulawesi in globalisasi era. In discussion, the writer uses the theories of hegemony, receptive, deconstruction, and semiotics. The research applies qualitative method with hermeneutic approach. Collecting was done through participative observation, indept interview, also library and document study.

Results of the research shows that the presentation of kantola local tradition which done periodically functions as a social medium in raising people awareness in society that inspire them to maintain and develop kantola as an oral tradition, includes the other ones which had been eliminated by global cultural products. The oral tradition that contains full esthetic values functions to strengthen moral and ethic aspects in the society. Kantola is an emotional statemen and individual expression of people that uttered politely so the meaning of kantola lyrics can be easily recognized and anderstood. All social norms taken from traditional values can be a solidarity instrument to create the unity is the society.

The appreciation to local culture heritage has certain meaning to the development on local people identity. The local tradition of kantola is close related to values and attitude also doctrines that people treat as a true. The education exists is local tradition of kantola is suitable with regeneration process is Munaness society, towards to new roles of young generation to maintain their cultural heritage. Kantola has a pragmatic meaning in daily life of Munaness society. Inovation gives upportunity to the understanding of past time tradition heritage that able to answer present problems. The inovation can also give the medium of moral and ethic socialization. The maintaining of culture can be viewed as self posessive of identity and the force of own culture, the awareness of culture must be raised to give appreciation on local culture, towards cultural sustainability. This phenomenon can happens through local culture revitalization based on local context.

Key Words: global culture, local culture, oral tradition of kantola, revitalization.

x

Page 11: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

RINGKASAN

Penelitian ini, membahas revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat

Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi. Pada dasarnya tradisi lisan

kantola, sebagai bentuk warisan budaya masyarakat Muna, telah menuju

kepunahan. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh negatif globalisasi yang

berdampak pada kemunduran nilai-nilai budaya lokal. Masyarakat Muna, sebagai

pendukung utama warisan budaya lokal ini, sudah makin jauh meninggalkan

tradisi ini. Selain itu, tiadanya dukungan pemerintah terhadap keberadaan dan

keberlanjutan tradisi lisan ini membuka celah kehancuran warisan budaya

masyarakat Muna. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman

terhadap upaya-upaya revitalisasi tradisi lisan kantola dalam masyarakat Muna.

Pemahaman terhadap aktivitas kultural ini dapat memberikan arah bagi

pembentukan kembali ikatan sosial dan identitas masyarakat lokal.

Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah (1) bentuk revitalisasi

tradisi lisan kantola dalam masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era

globalisasi, (2) fungsi revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi

Tenggara pada era globalisasi, (3) makna revitalisasi tradisi lisan kantola

masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi. Dalam pembahasan ini

digunakan teori hegemoni, teori resepsi, teori dekontruksi, dan teori semiotika.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan hermeneutika.

Pengumpulan data dilakukan melalui observasi partisipasi, wawancara mendalam,

dan studi dokumen dan pustaka.

Tradisi lisan selalu berkembang di dalam suatu proses seiring dengan

perkembangan masyarakat pendukungnya. Masyarakat pemilik budaya tersebut,

termasuk pemerintah, harus selalu menjaga dan mempertahankan keseimbangan

antara keberlanjutan dan perubahan yang terjadi sehingga tradisi lisan senantiasa

terus muncul di permukaan dan tidak ditenggelamkan oleh pengaruh-pengaruh

globalisasi yang mengancam eksistensinya. Untuk itu diperlukan berbagai upaya

mendorong pelestarian kesenian tradisional. Bab V dalam penelitian ini

memaparkan bentuk revitalisasi tradisi lisan kantola.

xi

Page 12: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Pertunjukan tradisi lisan kantola secara periodik merupakan media

pengenalan dalam menumbuhkan kesadaran dan apresiasi masyarakat sehingga

membuka peluang bagi pertumbuhan dan perkembangan tradisi lisan yang

semakin terhimpit dengan produk-produk budaya global. Pertunjukan tradisi lisan

kantola, bukan hanya menampilkan aspek keindahan, tetapi juga pemaknaan yang

arif pada semua disiplin. Di dalam pertunjukan ini terdapat nilai-nilai moral,

pendidikan, dan sosial.

Tradisi lisan kantola merupakan refleksi atau cerminan dari kondisi

masyarakat Muna. Menghidupkan nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi lisan

berarti memberikan pandangan kepada mereka dalam memandang dunia dengan

lebih manusiawi berlandaskan nilai-nilai budaya lokal. Pemberian pandangan ini

menyangkut tanggapan mereka tentang makna dan tujuan hidup selama ini

dibentuk oleh sistem kapitalisme. Untuk itu perlu ditumbuhkan kesadaran melalui

pembelajaran sosial. Salah satu proses pembelajaran sosial yang sangat penting

adalah memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang perlunya mengadakan

perubahan dari pandangan dunia kapitalisme global ke arah pandangan yang

sesuai dengan nilai-nilai lokal.

Revitalisasi berarti nilai-nilai budaya lokal harus terus diperbaharui,

disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Hal ini berarti bahwa

budaya lokal harus diberi nafas baru dalam menghadapi gelombang pengaruh

kapitalisme dan budaya global. Tradisi lisan telah menjadi korban perubahan dari

budaya global yang berdampak pada keterpurukan dan kepunahan berbagai

warisan budaya lokal. Globalisasi memberi ruang terhadap penciptaan produk-

produk budaya yang universal, sehingga produk-produk budaya lokal akan

terserap didalamnya. Globalisasi menjadikan universalitas sebagai tujuan

utamanya sehingga menciptakan hegemonisasi budaya. Kemorosatan budaya

lokal juga dipengaruhi oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat sekarang

hanya tampil sebagai penikmat budaya ketimbang menjadi pelaku aktif,

memandang tradisi lisan dari segi pragmatisme saja. Sikap pragmatis ini lebih

jauh lagi memandang bahwa tradisi lisan ini bukan menjadi bagian dari hidup

xii

Page 13: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

mereka. Tradisi lisan berfungsi sebagai alat komunikasi semata dengan

mengesampingkan fungsi-fungsi lainnya yang melekat pada tradisi lisan tersebut.

Sebagai aktivitas kultural yang mengandung aspek estetika dan moral,

tradisi lisan berfungsi berdasarkan atas kemampuan tradisi lisan tersebut dalam

menyebarkan aspek-aspek moral dan etika yang terdapat di dalamnya. Fungsi

revitalisasi tradisi lisan kantola yang dipaparkan dalam bab VI menggambarkan

keterkaitan totalitas fungsi tradisi lisan dengan kehidupan masyarakat. Tradisi

memiliki muatan normatif atau moral, yang merupakan pembentukan karakter

pengikat masyarakat lokal. Tradisi terkait erat dengan proses interpretatif, di mana

masa lalu dan masa sekarang saling terkait serta terhubungkan.

Tradisi lisan kantola berkaitan erat dengan pemahaman nilai-nilai moral

yang diselenggaran berdasarkan aturan-aturan yang bersumber dari ajaran-ajaran

adat masyarakat setempat, terkait dengan struktur dan dinamika sosial masyarakat

Muna. Tradisi ini berfungsi untuk tetap menjaga nilai-nilai yang terkandung

dalam adat istiadat ataupun tradisi yang melekat pada masyarakat.

Kantola merupakan pernyataan perasaan dan pendapat seseorang, yang

disampaikan secara santun, sesuai dengan budaya masyarakat setempat.

Komunikasi dengan menggunakan kantola lebih berkesan mudah dihayati,

dipahami maksud serta pendapat seseorang. Kantola berfungsi sebagai alat untuk

mempertahankan kecermatan berbahasa. Hal ini akan menumbuhkan sikap

penghargaan terhadap orang lain dan sikap malu untuk berbuat kesalahan. Dalam

masyarakat tradisional, yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang

berlandaskan pada tradisi, sikap malu merupakan dasar yang paling hakiki dalam

kehidupan masyarakat.

Komunikasi verbal dalam mengungkapkan masalah-masalah kebenaran

yang berlandaskan tradisi telah tergantikan dengan komunikasi yang sifatnya

trival, dengan tidak lagi mengindahkan kaidah kesantunan berbahasa. Komunikasi

kini berubah fungsi dari wacana penyampaian pesan dan makna menjadi semacam

wacana ekstase yang merupakan sebuah bentuk komunikasi yang berlangsung

begitu saja, tanpa memerlukan fondasi makna, kode, dan nilai moral. Padahal,

xiii

Page 14: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

untuk menyampaikan perasaan dan pendapat, kesantunan berbahasa sangat mutlak

diperlukan untuk menangkap informasi yang ingin disampaikan.

Tradisi lisan kantola, sebagai produk budaya lokal, fungsi sosial tradisi

lisan ditujukan untuk membangun suasana kebersamaan yang berdampak positif

pada penguatannya ikatan batin di antara sesama anggota masyarakat. Dengan

demikian, bila dikatakan bahwa memudarnya tradisi lisan di masyarakat,

merupakan salah satu indikasi telah memudarnya ikatan sosial diantara mereka,

dan sebaliknya.

Perwujudan dari sistem budaya yang melekat pada masyarakat tradisional

dapat menciptakan keseimbangan sosial (social equilibrium), melalui upaya

pengendalian sosial (social control). Pentingnya lembaga-lembaga atau pun

sarana pengendalian sosial, bergantung pada konteks sosiokultur di mana

pengendalian sosial tersebut beroperasi. Efektifitas pengendalian sosial juga

bergantung pada perubahan-perubahan sosial dan nilai-nilai dalam masyarakat.

Muna, dengan karakteristik masyarakat dan budayanya yang berbeda dengan

wilayah lain di nusantara, memiliki sturuktur adat yang bertumpu pada adat

damowanu liwu. Konsep adat ini merupakan kebiasaan yang berlaku secara turun-

temurun yang membentuk atau nilai-nilai yang dilaksanakan oleh masyarakat.

Berdasarkan aturan kultural, norma, dan nilai-nilai tradisional, kehidupan

sosial yang selaras dan harmonis dapat terwujud. Segala aturan yang bersumber

dari nilai-nilai tradisional mampu menjadi perekat dalam membangun ikatan

sosial masyarakat yang tercerai berai dalam alam perubahan yang ditimbulkan

oleh globalisasi. Tata nilai kehidupan masyarakat tradisional sifatnya mengikat,

bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut masyarakat modern yang

menuntut kompromistis dan kebebasan. Tata nilai ini bertujuan untuk

melestarikan dan memelihara tatanan moral yang kuat pada masyarakat dan

keberadaan kearifan lokal sebagai identitas masyarakat.

Budaya global telah memunculkan sikap yang kompromistis,

individualistik, dan konsumtif. Nilai tradisional, yang mengacu pada tradisi, mulai

tergantikan oleh sistem yang dihasilkan oleh budaya global. Melalui media massa,

perubahan masyarakat yang tanpa arah akan mengancam integritas sosial, sistem

xiv

Page 15: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

normatif, dan keutuhan identitas lokal. Nilai-nilai tradisi lokal akan semakin jauh

dari masyarakat. Perubahan pola hidup masyarakat tradisional tampak nyata

dalam berbagai aspek kehidupan. Tata nilai yang bersumber dari adat istiadat

tidak lagi mampu membendung terciptanya pola-pola hidup yang dianggapnya

modern. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional akan berubah menjadi

museum hidup (the living museum).

Revitalisasi nilai-nilai budaya lokal merupakan langkah untuk

memberdayakan budaya lokal dalam mengantisipasi tantangan zaman ke arah

kehidupan masyarakat yang lebih baik, dalam arti tidak terikat dengan sifat

ketergantungan pada globalisasi. Makna revitalisasi dipaparkan pada Bab VII

menunjukan hubungan antara identitas, inovasi, dan edukasi terhadap

pembentukan ketahanan budaya. penghargaan terhadap lokalitas akan

memberikan ruang bagi pembentukan identitas lokal. Warisan budaya lokal harus

dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Saat ini arus

kapitalisme global semakin kuat, maka saat ini pula dirasakan mengecilnya

peranan tradisi lisan di tengah masyarakat. Di balik proses pengerdilan itu

tentunya bahasa dan sastra daerah ikut pula menyertainya. Tak berlebihan apabila

dikemukakan bahwa akan terjadi pemudaran dan penghilangan seperangkat sistem

kebudayaan lokal yang menjadi identitas masyarakat lokal.

Tradisi lisan sarat dengan norma-norma yang mengatur tata hidup

masyarakat. Proses inovasi harus tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi yang

terdapat didalamnya. Inovasi membuka peluang terhadap pemahaman warisan

tradisi masa lalu yang mampu menjawab persoalan kekinian yang terus berubah

tanpa dapat dihindari. Inovasi ini menuntut perubahan, baik dimanfaatkan yang

lama atau dalam bentuk yang lain, tanpa menghilangkan tipikal tradisi lisan

tersebut. Proses inovasi tradisi lisan harus lebih berkembang dalam rangka

menanamkan sikap positif masyarakat dalam berprilaku. Inovasi dapat pula

memberikan wadah bagi penyaluran nilai-nilai moral dan etika yang dapat

menuntun ke arah yang lebih bermakna. Warisan budaya lokal berupa tradisi lisan

mampu hadir di tengah-tengah masyarakat, sebagai solusi alternatif, dalam

mengatasi persoalan-persoalan pelik yang melanda tanah air. Tradisi lisan terbukti

xv

Page 16: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

mampu melintasi zaman dan terbukti mampu memberikan solusi berbagai

persoalan.

Sadar budaya harus ditumbuhkan kembali untuk menanamkan pemahaman

akan pentingnya kedudukan dan fungsi warisan budaya lokal. Kesadaran budaya

yang tinggi dapat menimbulkan pengaruh positif masyarakat dalam menilai

keberadaan warisan budaya yang dimilikinya. Penilaian itu berkaitan dengan

apresiasi, tanggapan ataupun penerimaan warisan budaya sehingga tidak mudah

tergiring oleh gelombang globalisasi. Masyarakat Muna mengalami perubahan

pola hidup dan gaya hidup, yang sudah meninggalkan nilai-nilai tradisional yang

dianut masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak akan lagi memiliki ketahanan

budaya jika tidak mencari solusi alternatif dalam membendung perubahan zaman

yang bergerak sangat dinamis. Ketahanan budaya dapat tercipta jika masyarakat

berperan aktif dalam segala aktivitas kultural.

Ketahanan budaya dapat dirumuskan sebagai rasa memiliki jatidiri dan

kekuatan budaya sendiri, sehingga dengan begitu tidak perlu merasa rendah diri

jika berhadapan dengan kebudayaan lain. Untuk mencapai ketahanan budaya,

diperlukan pengetahuan untuk memahami serta menghayatinya, dan pengetahuan

itu perlu disampaikan dengan sengaja melalui upaya terarah dan terencana.

Dengan membangun ketahanan budaya, masyarakat akan mampu

mempertahankan budayanya sendiri dan merespon berbagai gejolak globalisasi.

Tanpa upaya yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan, masyarakat akan

kehilangan produk budaya lokal yang tak ternilai harganya. Kesadaran budaya

harus ditumbuhkan untuk memberikan apresiasi terhadap budaya-budaya lokal,

yang selanjutnya mengarah pada ketahanan budaya. Hal ini hanya dapat terwujud

melalui revitalisasi budaya-budaya lokal yang berlandaskan pada konteks lokal.

xvi

Page 17: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

GLOSARIUM

adhati : Mahar perkawinan atau mas kawin pada masyarakat Muna, yang harus dibayar oleh pihak laki-laki.

damowanu liwu : Membangun daerah.

daseise damowanu liwu : Bersatu membangun daerah.

doangka tewise : Biasa disebut kawin minta merupakan suatu bentuk perkawinan pada masyarakat Muna yang proses berlangsungnya ada kesepakatan antara kedua belah pihak antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Perkawinan seperti ini biasanya ada pelamaran dari keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan.

equilibrium : Keseimbangan

facebook : Program dalam internet yang bisa menghubungkan manusia di seluruh belahan dunia untuk mencari teman atau sahabat.

gambusu : Sejenis kesenian rakyat yang melantunkan pantun, yang pesertanya melantunkannya dalam bentuk nyanyian dengan menggunakan iringan musik tradisional (gambus, sejenis kecapi). Jenis kesenian ini biasanya dilakukan oleh laki-laki ataupun perempuan secara bersamaan, baik tua maupun muda yang jumlah pesertanya 1 atau 2 orang.

handphone : Alat komunikasi jarak jauh yang menghubungkan orang yang satu dengan yang lainnya.

kakawasano ompu : Tuhan yang Maha Esa

kaomu : Merupakan strata sosial pada masyarakat Muna, yang paling tertinggi atau golongan bangsawan (Ode), biasanya pada zaman dahulu orang yang bergelar kaomu mereka yang berhak menjadi raja,

xvii

Page 18: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

kapitalau (semacam adipati di Jawa) atau jabatan lain yang menyangkut eksekutif.

lulo : Merupakan salah satu tarian yang ada di Sulawesi Tenggara, Tarian ini milik etnik Tolaki hanya saja sekarang sudah sering dilakukan oleh semua etnik di Sulawesi Tenggara pada saat acara hajatan seperti pesta pernikahan.

maradika : Merupakan strata sosial pada masyarakat Muna, yang paling terendah

marginalisasi : Penyingkiran. Marginalisasi dan ketidakberdayaan komunitas lokal dapat merupakan akibat dari masalah yang bersifat struktural.

modero : Sejenis kesenian rakyat yang saling berbalas pantun, namun pesertanya melantunkannya dalam bentuk nyanyian. Jenis kesenian ini dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, baik tua maupun muda, yang dilakukan dengan cara bergandengan tangan. Mereka membentuk dua barisan, barisan laki-laki dan barisan perempuan, yang membentuk sebuah lingkaran.

pofeleigho : Biasa disebut kawin lari merupakan suatu bentuk perkawinan pada masyarakat Muna yang dipandang kurang baik dan tidak diinginkan oleh keluarga perempuan.

sara : Pejabat Muna di Jaman Kerajaan

simulasi : Proses penciptaan bentuk nyata melalui model-model yang tidak mempunyai asal-usul atau referensi realitasnya, sehingga memampukan manusia membuat yang supranatural, ilusi, fantasi, khayali, menjadi tampak nyata

skizofrenia : Berasal dari dua kata, yaitu ‘skizo’ yang artinya retak atau pecah (split) dan ‘frenia’ yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian.

xviii

Page 19: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

video game : diuraikan per kata berdasarkan makna kamus bahasa inggris, video berasal dari kata vide yang berarti lihat. Game berarti permainan; binatang liar; perburuan; mengadakan permainan; memperolok-olokkan; bermain judi; berani; lumpuh. Video game adalah permainan anak-anak berupa benda elektronik yang disambungkan ke televisi untuk bisa dimainkan. Biasanya mengunakan tambahan kaset permainan yang diinginkan.

walaka : Merupakan strata sosial pada masyarakat Muna, yang golongan ke dua (biasanya dinamakan golongan Sara). Pada zaman dahulu, golongan ini adalah yang berhak menjadi perdana menteri, mengatur adat, menetapkan hukum bersama Raja, memilih dan mengangkat raja bahkan mencopot raja dari jabatannya jika dianggap melanggar hukum Negara dan adat serta agama.

xix

Page 20: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

DAFTAR ISI

JUDUL.............................................................................................................i

PRASYARATAN GELAR.............................................................................ii

LEMBAR PERSETUJUAN...........................................................................iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI...............................................................iv

UCAPAN TERIMAKASIH............................................................................v

ABSTRAK.....................................................................................................viii

ABSTRACT....................................................................................................ix

RINGKASAN..................................................................................................x

GLOSARIUM................................................................................................xvi

DAFTAR ISI..................................................................................................xix

DAFTAR GAMBAR....................................................................................xxiii

DAFTAR TABEL.........................................................................................xxiv

DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................xxv

BAB I PENDAHULUAN................................................................................1

1.1 Latar Belakang...........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................11

1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................11

1.3.1 Tujuan Umum .......................................................................................11

1.3.2 Tujuan Khusus ......................................................................................11

1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................12

1.4.1 Manfaat Secara Teoretis .......................................................................12

xx

Page 21: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

1.4.2 Manfaat Secara Praktis..........................................................................12

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI..........13

2.1 Kajian Pustaka .........................................................................................13

2.2 Konsep ....................................................................................................18

2.2.1 Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola ........................................................19

2.2.2 Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara...................................................26

2.2.3 Era Globalisasi.......................................................................................27

2.3 Landasan Teori.........................................................................................29

2.3.1 Teori Hegemoni ....................................................................................30

2.3.2 Teori Dekonstruksi................................................................................33

2.3.3 Teori Semiotika.....................................................................................35

2.3.4. Teori Resepsi........................................................................................38

2.4 Model Penelitian.......................................................................................43

BAB III METODE PENELITIAN.................................................................46

3.1 Rancangan Penelitian ...............................................................................46

3.2 Lokasi Penelitian .....................................................................................47

3.3 Jenis dan Sumber Data..............................................................................47

3.4 Penentuan Informan..................................................................................48

3.5 Instrumen Penelitian.................................................................................49

3.6 Teknik Pengumpulan Data.......................................................................49

3.6.1 Observasi Partisipasi .............................................................................49

3.6.2 Wawancara Mendalam .........................................................................50

3.6.3 Studi Dokumen dan Pustaka..................................................................51

xxi

Page 22: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

3.7 Teknik Analisis Data ...............................................................................51

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data .....................................................52

BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAN

KEBUDAYAAN DI KABUPATEN MUNA ...............................53

4.1 Sejarah Kabupaten Muna..........................................................................53

4.2 Letak Geografis........................................................................................61

4.3 Sistem Mata Pencaharian..........................................................................69

4.3.1 Pertanian dan Perkebunan......................................................................69

4.3.2 Pegawai Negeri Sipil.............................................................................73

4.3.3 Peternakan..............................................................................................74

4.3.4 Perikanan...............................................................................................74

4.4 Sistem Kekerabatan..................................................................................76

4.5 Sistem Religi dan Kepercayaan................................................................82

4.6 Bahasa dan Kesenian Tradisional.............................................................85

4.7 Keberadaan Tradisi Lisan.........................................................................87

BAB V BENTUK REVITALISASI TRADISI LISAN KANTOLA.............89

5.1 Pertunjukan Tradisi Lisan Kantola Secara Periodik.................................91

5.2 Aktualisasi Tradisi Lisan Kantola dalam Masyarakat Muna..................100

5.3 Pelestarian Tradisi Lisan Kantola dalam Masyarakat Muna...................113

BAB VI FUNGSI REVITALISASI TRADISI LISAN KANTOLA

PADA MASYARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA......122

6.1 Fungsi Tradisi..........................................................................................122

6.2 Fungsi Komunikasi..................................................................................129

xxii

Page 23: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

6.3 Fungsi Sosial............................................................................................132

6.3.1 Fungsi Pengendalian Sosial..................................................................134

6.3.2 Fungsi Kritik Sosial..............................................................................142

6.4 Fungsi Pelestarian....................................................................................150

BAB VII MAKNA REVITALISASI TRADISI LISAN KANTOLA..........160

7.1 Makna Identitas.......................................................................................160

7.2 Makna Edukasi........................................................................................172

7.3 Makna Inovasi.........................................................................................175

7.4 Makna Pelestarian Budaya......................................................................181

Refleksi..........................................................................................................186

BAB VIII PENUTUP....................................................................................189

8.1 Simpulan..................................................................................................189

8.2 Saran........................................................................................................191

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................193

xxiii

Page 24: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Model Penelitian.........................................................................43

Gambar 4.1 Masjid Pertama Di Kabupaten Muna..........................................60

Gambar 4.2 Gua Liangkabori.........................................................................64

Gambar 5.1 Pertunjukan Tradisi Lisan Kantola Kelompok Laki_Laki.........95

Gambar 5.2 Pertunjukan Tradisi Lisan Kantola Kelompok Perempuan........95

Gambar 5.3 Masyarakat yang Menyaksikan Pertunjukan Tradisi lisan

Kantola Didominasi Generasi Tua.............................................104

xxiv

Page 25: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jumlah Kelurahan/Desa pada Tiap Kecamatan..............................63

Tabel 4.2 Hari Hujan dan Curah Hujan Di Kabupaten Muna........................66

Tabel 4.3 Penduduk, Rumah Tangga, Penduduk per Rumah Tangga dan

kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan......................................68

xxv

Page 26: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Pedoman Wawancara

Lampiran 2 : Daftar Informan

Lampiran 3 : Peta Lokasi Penelitian

Lampiran 4 : Surat Pernyataan Pembimbing dan Penguji

Lampiran 5 : Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana

Lampiran 6 : Pernyataan Keaslian

xxvi

Page 27: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Dewasa ini pola kehidupan sosial budaya sehari-hari masyarakat Muna

telah menunjukkan berbagai pengaruh yang sangat kuat, yang disebut sebagai

pola kehidupan global. Warga masyarakat mengalami berbagai perubahan cara

hidup, gaya hidup, bahkan pandangan hidup mereka. Maka, perubahan tersebut

telah mengancam keberadaan tradisi lokal, antara lain warisan budaya, kebiasaan,

nilai, identitas, dan simbol-simbol kehidupan masyarakatnya (Giddens 2003:

9-15).

Globalisasi telah menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal

dan global yang semakin tinggi intesitasnya. Sistem nilai budaya lokal yang

selama ini digunakan sebagai acuan atau panutan oleh masyarakat pendukungnya

tidak jarang mengalami perubahan karena nilai-nilai budaya global dengan

kemajuan teknologi informasi yang semakin mempercepat proses perubahan

tersebut (Nashir 1999:176).

Menurut Giddens (2003:67); Arivia, 2004:25), globalisasi membawa

prinsip budaya modernitas sehingga memunculkan segudang permasalahan sosial

dan mengancam peradaban manusia. Melalui ideologi kultural konsumerisme,

globalisasi telah banyak menimbulkan konflik, kesenjangan dan bentuk-bentuk

stratifikasi baru. Globalisasi telah membersihkan hampir semua tatanan sosial

tradisional dan mengiring umat manusia pada pola homogenitas kultural yang

1

Page 28: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

menentang nilai-nilai dan identitas parochial. Hal ini mengancam keberadaan

budaya lokal yang mengantarkannnya menuju kepunahan.

Pengaruh globalisasi tidak hanya terkait dengan teknologi dan ekonomi,

tetapi juga mempengaruhi berbagai segi kehidupan. Pengaruh globalisasi ini,

disatu sisi membawa kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan, namun disisi

lain memberikan pengaruh negatif yang sangat signifikan pada aspek-aspek

kebudayaan. Bukan hanya berdampak pada kemunduran nilai-nilai budaya lokal

tetapi juga akan mengancam terjadinya kepunahan berbagai aspek kebudayaan,

seperti tradisi lisan yang berkembang secara turun-temurun sebagai bentuk

warisan budaya dari generasi sebelumnya.

Tradisi lisan sebagai bagian dari kearifan lokal yang dapat diperhitungkan

sebagai realitas nilai budaya alternatif dalam kehidupan global berada dalam dua

sistem budaya yang harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistem budaya

nasional dan sistem budaya lokal. Nilai budaya nasional berlaku secara umum

untuk seluruh bangsa, sekaligus berada diluar ikatan budaya lokal manapun. Nilai-

nilai kearifan lokal tertentu akan bercitra Indonesia karena dipadu dengan nilai-

nilai lain yang sesungguhnya diwariskan dari nilai-nilai budaya lokal.

Warisan budaya mempunyai cakupan pengertian yang luas, meliputi

budaya yang bersifat kebendaan yang dapat diraba (tangible) dan yang tidak dapat

diraba (intangible). Warisan budaya yang tak teraba (intangible) tercakup

didalamnya hal-hal yang tertangkap panca indera lain diluar perabaan, seperti

musik, pembacaan sastra maupun bahasa lisan (Sedyawati, 2008:207). Sastra

lisan, melalui kaidah-kaidah irama bunyinya, dapat berperan serta dalam

2

Page 29: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

mendokumentasikan unsur-unsur kebudayaan tertentu sehingga dapat diwariskan

pada generasi berikutnya.

Tradisi lisan merupakan cikal bakal munculnya seni dan sastra dalam

komunitas kehidupan Masyarakat Muna. Cerita-cerita yang acapkali dituturkan

oleh orang tua kepada anak cucunya pada masa lalu merupakan bentuk tradisi

lisan yang dikemudian hari berkembang menjadi sastra lisan. Namun, dalam

proses selanjutnya perkembangan tradisi lisan cukup memprihatinkan. Hanya

sebagian kecil saja yang dapat didokumentasikan dalam lembaran-lembaran

kertas. Karya sastra yang berbau tradisi lisan tidak lagi sesuai dengan minat

generasi muda yang cenderung menaruh minat pada hal-hal yang mengandung

unsur budaya pop media elektronik.

Perkembangan tradisi lisan hanya menjadi bagian terkecil dari

perkembangan budaya pada satu komunitas. Hal itu tentu tidak lepas dari minat

para pelaku budaya itu sendiri yang sudah semakin jauh meninggalkan tradisi

tersebut. Hal ini diperparah lagi dengan tidak didukungnya tradisi lisan menjadi

bagian integral dari proses perkembangan budaya dalam satu komunitas yang

cenderung bergerak dinamis saat ini. Pemerintah sendiri seolah-olah mengabaikan

pengenalan ataupun pembelajaran sastra lisan.

Contoh yang paling kongkret dari ketiadaan dukungan tersebut adalah

pengenalan tentang sastra lisan di sekolah-sekolah. Kurikulum yang

dikembangkan hanyalah untuk mempelajari dan memberikan pemahaman umum

terhadap karya sastra tulis. Pembelajaran dan pemahaman terhadap sastra lisan

tidak memperoleh porsi yang seimbang. Inilah oposisi biner yang pertama

3

Page 30: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

diterapkan terhadap sastra yang sekaligus mensubordinasi sastra lisan sebagai

sastra kelas dua (Ratna, 2006:328).

Pemerintah selama ini tampaknya hanya berusaha untuk memajukan

kebudayaan nasional. Padahal pemerintah diharapkan juga menggali dan

memperkenalkan kekayaan khasanah kebudayaan lokal. Kenyataan di masyarakat

terjadi frakmentasi antara satu produk budaya dengan produk budaya lainnya.

Produk budaya yang dianggap sebagai antibudaya itulah yang dianggap sebagai

kebudayaan nasional, walaupun kebudayaan nasional bersumber dari kolektivitas

budaya-budaya lokal. Akibatnya timbul diskriminasi terhadap produk budaya

lokal yang tersebar di seluruh wilayah pelosok nusantara. Terjadinya pemutusan

tradisi selama rezim Orde Baru yang sangat hegemonik sentralistik dan

menekankan keseragaman sehingga mengakibatkan keragaman budaya lokal

sering terabaikan. Tidak mengherankan, banyak budaya lokal yang kemudian

sedikit demi sedikit hilang, bahkan ada yang punah.

Tradisi lisan memiliki peranan penting dan strategis dalam kehidupan

masyarakat Indonesia karena tradisi lisan sebagai salah satu bentuk budaya lokal

memiliki hubungan batin dengan para pewarisnya dan diyakini dapat

dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat pendukungnya.

Tradisi lisan memiliki peranan dan fungsi untuk menguatkan ketahanan budaya

bangsa. Hanya saja, seiring perkembangan zaman, kian banyak tradisi lisan yang

mulai raib dan untuk melestarikannya harus berkejaran dengan proses

perkembangan sastra tulisan.

4

Page 31: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Tradisi Lisan kantola merupakan salah satu sastra lisan yang berasal dari

daerah Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagai produk kultural yang

dihasilkan bertatanan tradisional, yang pada prinsipnya kantola memiliki

karakteristik umum yang sama dengan sastra lisan daerah lain di tanah air.

Sebagai sastra lisan, keberadaan kantola pada masyarakat Muna merupakan

kristalisasi kultural dalam kehidupan sosial yang tumbuh dan berkembang seiring

dengan kemapanan tradisi masyarakatnya. Pada saat tradisi berproses secara alami

mengalami stagnasi akibat perubahan sosial, maka keberadaan kantola sebagai

tradisi lisan turut melemah. Hal semacam ini berakibat fatal terhadap

perkembangan tradisi lisan kantola yang semakin teralienasi dari masyarakat

Muna, akibat dampak dari modrnisasi.

Tradisi lisan kantola merupakan tradisi lisan yang diapresiasi oleh

masyarakat Muna sebagai media ekpresi yang lirik-liriknya bermuatan perasaan,

pengalaman pribadi, dan dimensi kemasyarakatan. Lirik kantola terdiri atas

beberapa baris yang jumlahnya tidak menentu; ada lirik yang panjang (sepuluh

sampai lima belas baris) dan ada lirik yang pendek (empat sampai lima baris).

Penyampaian lirik kantola tidak secara lugas, tetapi dikiaskan melalui simbol-

simbol yang ada. Oleh Karena itu, untuk mengetahui kandungan makna yang

terdapat dalam lirik kantola, seseorang harus memiliki kemampuan interpretatif

terhadap simbol-simbol tersebut (Aderlaepe, 2006:51).

Pada mulanya, tradisi lisan kantola ini sangat diminati oleh masyarakat

Muna, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan. Meskipun tidak

didokumentasikan dalam bentuk tulisan, tradisi lisan ini tetap dilestarikan secara

5

Page 32: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

turun temurun, dari mulut kemulut. Akan tetapi, dengan semakin gencarnya arus

globalisasi di bidang teknologi dan informasi yang merasuki wilayah budaya

lokal, maka keberadaan tradisi kantola ini, sudah mulai terpinggirkan bahkan

sudah mulai menunjukan gejala-gejala terlupakan. Hal ini tercermin pada

pertunjukan tradisi kantola yang semakin jarang dijumpai pada masyarakat Muna,

karena semakin berkurangnya pelaku tradisi ini, dan juga tidak adanya regenerasi

dari gerasi tua kegenerasi muda untuk mempelajari dan memahami makna yang

terkandung dalam tradisi lisan kantola. Generasi muda sudah tidak menginginkan

lagi tradisi lisan kantola yang dianggap sebagai tradisi kuno. Maka bukan hal

mustahil tradisi lisan kantola berada di ambang kepunahan apabila tidak

dilakukan revitalisasi nilai-nilai budaya lokal.

Hegemoni di bidang teknologi dan informasi dan bergulirnya suatu proses

transformasi berbagai dimensi kehidupan sosial mengarah pada hegemoni budaya

kosmopolitan dengan mendesakkan uniformitas secara universal. Proses

universalisasi ini mengikis secara perlahan, namun pasti, identitas individu dan

budaya-budaya lokal melalui liberalisasi ekonomi ditingkat nasional dan lokal

sehingga berdampak pada kecenderungan menguatnya sikap konsumerisme dan

individualisme, serta mereduksi semangat kolektivitas masyarakat lokal. Dampak

yang lebih jauh akan terasa dengan semakin dilupakannya nilai-nilai budaya lokal,

maka perlu dilakukan revitalisasi kearifan lokal. Pudarnya sebuah tradisi atau

kebudayaan lisan ini disebabkan masyarakat menganggap tradisi lisan adalah

sesuatu yang kuno atau bagian dari masa lalu. Stigma semacam itu menyebabkan

6

Page 33: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

generasi sekarang enggan memelihara dan mempertahankan tradisi lisan tersebut.

(Gidden, 2005: 5; Steger, 2006: 54).

Harkat suatu masyarakat sangat ditentukan oleh budayanya sendiri.

Budaya akan tumbuh dan berkembang apabila didukung oleh masyarakatnya

yang mejadi ahli waris sekaligus pelaku menuju tercipta dan terwujudnya situasi

yang disebut sadar budaya. Sadar budaya adalah kesadaran atau pemahaman

dikalangan masyarakat bahwa sebagai individu yang berada ditengah tatanan

pergaulan, posisinya tidak pernah bersifat singular, melainkan plural. Disamping

itu, suatu masyarakat tidak akan mampu menjaga eksistensi dan menghayati

budayanya sendiri apabila tidak bergaul dengan masyarakat lain. Persoalan hakiki

inipun menjadi sesuatu yang penting dan tak terhindarkan bagi budaya-budaya

lokal. Oleh karena itu, masalah pemahaman tradisi lisan tidak cukup hanya

diwacanakan, tetapi harus diaktualisasikan dengan cara apapun yang dipandang

baik (Sayuti, 2008: 25-26). Dengan demikian, merevitalisasi kembali nilai-nilai

yang terkandung dalam tradisi lisan sangatlah mendesak untuk dilakukan, sebagai

bagian dari sadar budaya agar tetap dapat menjaga dan mempertahankan

keberadaan tradisi lisan dalam budaya lokal.

Kebudayaan nasional ataupun budaya-budaya lokal selalu berada didalam

suatu proses, di dalam kancah hubungan antarabudaya yang selalu terjadi tanpa

dapat dihindari. Masyarakat pemilik budaya tersebut maupun pemerintah harus

selalu menjaga dan mempertahankan keseimbangan antara keberlanjutan dan

perubahan yang terjadi sehingga jatidiri dan identitas bangsa atau suku bangsa

senantiasa terus muncul di permukaan dan tidak ditenggelamkan oleh pengaruh-

7

Page 34: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

pengaruh globalisasi yang terus merambah dan berkecambah. Menghidupkan

kembali budaya lokal sama artinya dengan menghidupkan kembali identitas lokal,

oleh karena identitas merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari

kebudayaan (Piliang, 2004: 279). Identitas itu sendiri menjadi sebuah persoalan

saat warisan masa lalu diambil alih oleh pengaruh-pengaruh globalisasi yang

menciptakan hegemoni budaya. Krisis identitas muncul ketika warisan budaya

yang telah melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lokal tidak dapat

dipertahankan lagi karena ia telah direnggut oleh nilai-nilai lain yang berasal dari

luar.

Revitalisasi merupakan suatu proses menjadikan kebudayaan sebagai

suatu yang menjadi bagian terpenting di dalam kehidupan manusia sebelum

kehilangan maknanya. Proses revitalisasi tentunya dilakukan secara terorganisir

oleh individu pelaku budaya, kelompok komunitas bersama-sama pemerintah

yang dimemiliki kesadaran dan merasa begitu pentingnya warisan budaya.

Kesadaran akan pentingnya kebudayaan beserta kearifan lokal yang terkandung

didalamnya timbul sebagai akibat penemuan akan jatidiri, berlatar belakang dari

warisan leluhur yang khas dan tidak dapat ditemukan pada daerah lain.

Revitalisasi dilakukan untuk mempertahankan eksistensi budaya lokal

sebelum rantai pewarisnya terputus dan sebelum terjadinya profanisasi budaya

lokal yang dianggap bermakna oleh suatu komunitas budaya tertentu. Revitalisasi

budaya lokal, terutama kantola harus terus digali, diperkuat, dan dikembangkan

dalam rangka menangkal arus globalisasi yang begitu gencar mempengaruhi

eksistensi, legitimasi, dan keberlanjutan budaya lokal tersebut. Sosialisasi konsep-

8

Page 35: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

konsep, kaidah-kaidah, pola-pola, dan nilai-nilai harus dilakukan terus menerus,

dari generasi ke generasi, agar keberadaan tradisi lisan dalam budaya lokal dapat

terus dipertahankan keberlanjutannya.

Menghidupkan kembali budaya lokal tidak dengan sendirinya disebut

revitalisasi. Revitalisasi sejatinya berfungsi untuk menjadikan budaya lokal

sebagai sesuatu yang sangat berguna, bermanfaat, dan berfungsi dalam kehidupan

masyarakat (Sibarani, 2004: 31). Menurut Sibarani, ada beberapa hal yang harus

diperhatikan dalam melakukan revitalisasi, antara lain: 1) mendorong setiap

kebudayan etnik hidup berkembang tanpa diskriminasi dengan menghindari

dominasi kebudayaan mayoritas, hegemoni kebudayaan mayoritas, dan

penyeragaman kebudayaan; 2) membangun perkampungan budaya (cultural

village) sebagai wadah transfer budaya, sosialisasi kebudayaan, dan sebagai

tujuan wisata budaya; 3) segala bentuk pembangunan harus dilandasi oleh

kebudayaan masyarakat setempat; 4) melibatkan masyarakat setempat sebagai

pemain, penentu prioritas, perencana, pelaksana, dan penerima untung dari

kegiatan kebudayaan termasuk kegiatan pembangunan; 5) melibatkan “orang-

orang budaya” dalam penelitian, perencanaan, dan pelaksanaan setiap

pembangunan.

Untuk melakukan revitalisasi tradisi lisan dibutuhkan kepedulian berbagai

kalangan, baik dari masyarakat maupun pemerintah. Namun, yang menjadi

persoalan utama dan kunci utama revitalisasi tradisi lisan kantola adalah

menyangkut sikap masyarakat pendukungnya. Apakah mereka mau melestarikan

budayanya atau tidak menganggap perlu lagi karena menjadi bagian dari masa

9

Page 36: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

lalu. Dan tentu saja revitalisasi akan bisa dilaksanakan jika tradisi lisan itu masih

ada dan belum mati atau masih memiliki ahli waris.

Penelitian ini berusaha mengkaji keberadaan tradisi lisan kantola dalam

kaitannya dengan revitalisasi tradisi lisan. Kantola sangat berkaitan erat dengan

nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi dasar pijakan kehidupan bermasyarakat

dalam ruang lingkup masyarakat Muna. Penelitian ini merupakan penelitian

kualitatif berparadigma budaya dengan permasalahan menyangkut bentuk, fungsi

dan makna revitalisasi tradisi lisan kantola, di mana kantola yang dalam syair-

syairnya, bermuatan multidimensional yang sarat makna.

10

Page 37: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

1.2 Rumusan Masalah

Dalam penelitian akan dikemukakan tiga masalah yang berkaitan dengan

revitalisasi tradisi lisan kantola dan hubungannya dengan pelestarian dan

pengembangan tradisi lisan pada masyarakat Muna, yaitu:

1. Bagaimana bentuk revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi

Tenggara pada era globalisasi?

2. Apa fungsi revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi

Tenggara pada era globalisasi?

3. Bagaimana makna revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi

Tenggara pada era globalisasi?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami

serta mendeskripsikan tradisi lisan kantola dan menggali informasi tentang

revitalisasi terhadap tradisi lisan tersebut pada masyarakat Muna Sulawesi

Tenggara.

1.3.1 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bentuk revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna

Sulawesi Tenggara pada era globalisasi;

2. Untuk mengetahui fungsi revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna

Sulawesi Tenggara pada era globalisasi;

11

Page 38: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

3. Untuk memahami dan menginterpretasikan makna revitalisasi tradisi lisan

kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat: 1) menambah

khazanah pengetahuan tentang tradisi lisan kantola dalam masyarakat Muna dan

2) hasil penelitian ini dapat menambah referensi tentang tradisi lisan kantola

dalam masyarakat Muna ditinjau dari segi bentuk, fungsi, dan maknanya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, temuan penelitian ini dapat: 1) memberikan masukan dan

pertimbangan bagi penentu kebijakan terutama yang berkaitan dengan

kebudayaan daerah, 2) membuka wawasan masyarakat terhadap perkembangan

tradisi lisan kantola pada masyarakat Muna Sulawesi Tenggara sehingga dapat

memberikan sumbangsih dalam memperkaya khazanah kebudayaan nasional, dan

3) temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam

pengembangan tradisi lisan sehingga nantinya tidak lagi menjadi tradisi minoritas

yang tersubordinasi.

12

Page 39: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka yang dimaksud adalah membicarakan mengenai uraian

tentang konsep ataupun teori yang digunakan untuk menjelaskan masalah-masalah

dalam penelitian. Dengan demikian, kajian pustaka secara tidak langsung dapat

memberikan inspirasi, membuka wawasan kerangka berpikir. Kajian pustaka

sekaligus dapat menjadi acuan dalam pemahaman yang sifatnya teoritis dan

konseptual yang berhubungan dengan penelitian.

Kajian pustaka juga memungkinkan peneliti untuk menentukan jangkauan

atau ruang lingkup penelitiaannya, mencermati teori dan menempatkan masalah

penelitiannya, memiliki gambaran mengenai pustaka yang relevan, menghindari

pengulangan terhadap penelitian terdahulu, menempatkan hasil penelitiannya pada

ranah yang berbeda dengan penelitian yang lainnya (Aziz, 2003: 193- dalam Ola,

2003: 53).

Maka perlu ditegaskan lebih dahulu bahwa kepustakaan utama yamg

menjadi pembanding sekaligus menjadi sumber inspirasi untuk melakukan kajian

terhadap revitalisasi tradisi lisan kantola pada masyarakat Muna Sulawesi

Tenggara adalah hasil kajian Aderlaepe dkk (2006) tentang Analisis Semiotik Atas

Lirik Kantola: Sastra Lisan Daerah Muna, yang merupakan Proyek Pusat bahasa

Sulawesi Tenggara, dan diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 2006 oleh

Kantor Bahasa Propinsi Sulawesi Tenggara Departemen Pendidikan Nasional.

13

Page 40: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Penelitian Aderlaepe tersebut merupakan gambaran pola prilaku budaya secara

kolektif oleh suku Muna di Sulawesi Tenggara dengan mengambil objek kantola,

yaitu sastra lisan yang diapresiasi oleh masyarakat Muna dengan cara

didendangkan.

Dalam penelitian tersebut menguraikan tentang lirik syair kantola

berbentuk soneta, tidak terikat oleh bentuk sajak maupun baris. Lirik syair-syair

kantola yang bermuatan multidimensional, sarat makna. Fokus kajian Aderlape

ini terletak pada kandungan maknanya, sedangkan peneliti difokuskan pada

bentuk tradisi lisan kantola, fungsi ttadisi lisan kantola makna tradisi lisan

kantola, Kajian Aderlaepe ini memiliki kesamaan objek dengan rencana

penelitian ini yakni tradisi lisan kantola, tetapi apabila dilihat dari: (a) lokasi

penelitian memiliki perbedaan yaitu penelitian Aderlaepe terdiri dari enam

kecamatan (Kecamatan Tongkuno, Tiworo kepulauan, Kabawo, Napabalano, dan

kecamatan Kusambi) sedangkan peneliti mengambil objek dua kecamatan, yaitu

kecamatan lawa dan Kontunaga dikabupaten Muna. (b)kajian Aderlaepe hanya

menggunakan Teori Semiotika, sedangkan peneliti menggunakan empat teori

diantaranya, teori Hegemoni, teori resepsi, teori semiotika dan teori dekontruksi.

Selain pustaka utama tersebut, penulis juga menyajikan beberapa kajian

ilmiah lainnya untuk menunjang pustaka utama dalam mempertajam dan

memperkaya khasanah penelitian ini. Bardia (2006) melakukan penelitian yang

berjudul “Wacana Kantola Di Kabupaten Muna Dalam Perspektif Linguistik

Kebudayaan”. Penelitian tersebut berfokus pada deskripsi mengenai struktur

14

Page 41: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

linguistik, struktur tematik, struktur skematik, makna lingual-kultur, dan nilai

budaya. sedangkan peneliti mengkaji dari perspektif kajian budaya.

Metode yang digunakan dalam penelitian Bardia adalah metode deskriptif

kualitatif. Untuk mengumpulkan data digunakan metode observasi dan

wawancara. Metode distribusional digunakan untuk menganalisis data. metode

formal dan informal digunakan dalam penyajian hasil analisis. Penetapan metode

ini berdasarkan paradigma naturalistik dan interpretatif dengan prinsip

kealamiahan data dan interpretasi data. Dari hasil analisis mengenai struktur

linguistik ditemukan bahwa dalam kantola ada kecenderungan penggunaan bunyi-

bunyi nyaring. Hasil penelitian Aderlaepe (2006) dan Bardia (2006) di atas,

semakin memperjelas keaslian atau pentingnya penelitian ini bahwa masyarakat

Muna memiliki tradisi lisan kantola yang belum dikembangkan secara optimal

dan masih jarang dikaji secara mendalam melalui kajian-kajian ilmiah. Oleh

karena itu, hasil penelitian tersebut oleh penelitian ini dijadikan pula sebagai

petunjuk awal atau rujukan untuk mengkaji lebih dalam tradisi-tradisi lisan

masyarakat Muna yang diwarisi secara turun-temurun baik dari ajaran nenek

moyang maupun dari hasil pengalaman hidup mereka berinteraksi dengan alam.

Penelitian Hadirman (2009) yang berjudul “Fungsi Sosial Budaya Bahasa

Muna dalam Konteks Katoba”. Merupakan penelitian sebagai tesis S2 di Program

Magister Linguistik Universitas Udayana Denpasar. Penelitian tersebut

menganalisis tentang tuturan ritual katoba sebagai penuntun etika moral dan

fungsi sosial bagi budaya masyarakat Muna, ungkapan-ungkapan dalam ritual

katoba, berupa ungkapan keagamaan, nasihat, dan permohonan ampun kepada

15

Page 42: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

yang kuasa. Sedangkan ungkapan-ungkapan pada tradisi lisan kantola berupa

cinta kasih, nasihat, kekecewaan, kebencian, pelipur lara, kritikan moral, dan

kritikan sosial. Maka letak persamaan penelitian Hadirman dengan peneliti adalah

pada ungkapan nasehat, dimana ungkapan tersebut ada juga tradisi lisan kantola.

Hanya saja pada ritual katoba diungkapan secara langsung, sedangkan pada tradisi

kantola mengunakan bahasa metaforis. Penelitian ini juga dapat membantu

peneliti dalam mengkaji fenomena pada kebudayaan masyarakat Muna.

Arnailis (2004) yang berjudul “Kesenian Ilau Di Nagari Salayo Sumatera

Barat Suatu Kajian Bentuk, Fungsi, Dan Makna” merupakan penelitian sebagai

tesis S2 di Program Magister Kajian Budaya Universitas Udayana Denpasar.

Penelitian tersebut merupakan pertunjukan kesenian ilau adalah untuk

mengupacarai saudara yang mati dirantau yang jasadnya tidak dibawa pulang

kekampung halaman. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pada kajian

ini ditelaah bentuk estetika pertunjukan kesenian ilau, fungsi pertunjukan kesenian

ilau, dan makna estetika pertunjukan kesenian ilau, dan makna estetika

pertunjukan kesenian ilau dalam masyarakat salayo dewasa ini. Data dikumpulkan

dengan menggunakan metode wawancara, observasi, dan kepustakaan, dan

dokumentasi. Penelitian ini telah memberikan gambaran mengenai aspek-aspek

kebudayaan, dan juga dapat menambah wawasan dalam mengkaji bentuk, fungsi,

dan maknanya.

Marafad, (2008) yang berjudul Seni Kantola dalam Konteks Bahasa

Muna. Merupakan makalah yang disampaikan pada seminar internasional tanggal

2 Desember 2008 di Wanci, Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara

16

Page 43: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Dalam makalahnya menguraikan kajiannya tentang Bentuk Kantola, Isi Kantola,

Pelaksanaan Kantola, Tujuan Pelaksanaan Kantola, Peserta Kantola, Waktu

Pelaksanaan Kantola, Tempat Pelaksanaan Kantola, Durasi Waktu Kantola,

Sasaran Kantola diadakan, sedangkan peneliti memfokuskan kajiannya pada

bentuk revitalisasi tradisi lisan kantola, fungsi revitalisasi tradisi lisan kantola,

dan makna revitalisasi tradisi lisan kantola. Makalah tersebut memiliki kesamaan

objek dengan rencana penelitian ini yakni tradisi lisan kantola.

Selain penelitian tersebut di atas, pada penelitian ini juga mengambil

rujukan buku tentang Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya oleh Alo

Liliweri (2002). Pada buku itu dijelaskan pertumbuhan kesenian multikultural

yang sedang bergejolak dewasa ini. Menurut buku itu, “penyembuhannya” dapat

dilakukan dengan humanisme yang digali dari kearifan lokal sarat dengan nilai-

nilai humanistik. Buku tersebut dapat membantu penelitian ini, terutama untuk

menjelaskan bentuk tradisi lisan kantola dari perspektif ilmu sosial masyarakat

dan ilmu komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2002: 259).

Dari berbagai pendapat tersebut diatas, peneliti dapat memperoleh

gambaran yang berguna dan bermanfaat dalam pengembangan penelitian

selanjutnya. Hal ini akan memberikan kontribusi yang besar dalam menelusuri

keberadaan kantola beserta nilai-nilai yang terkandung dalam setiap syairnya serta

bentuk dan fungsinya. Dengan demikian, revitalisasi dapat dilakukan setelah

mengetahui keberadaan bentuk tradisi lisan ini sehingga dapat menjalankan

fungsinya dan menghasilkan makna.

17

Page 44: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Hal-hal yang dikemukakan pada penelitian terdahulu umumnya berfokus

pada pembahasan stuktur dan aspek-aspek yang melingkupi tradisi lisan kantola.

Penelitian ini berusaha memanfaatkan ruang kosong hasil penelitian sebelumnya

dengan melakukan pembahasan dari segi bentuk, fungsi dan makna, revitalisasi

tradisi lisan kantola. Kelebihan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian

sebelumnya terletak pada pembahasan yang dihasilkan lebih kongkrit dan lebih

komprehensif. Penelitian ini tidak sekedar mengumpulkan data sebanyak-

banyaknya tetapi yang lebih utama menarik akar permasalahan berdasarkan

pernyataan teoritis.

2.2 Konsep

Konsep ialah penyederhanaan pemikiran dengan menggunakan satu istilah

untuk beberapa kajian. Konsep juga diartikan sebagai hasil abstraksi dan sintesis

teori yang dikaitkan dengan masalah penelitian yang dihadapi, disamping untuk

menjawab dan memecahkan masalah penelitian. Konsep dapat berfungsi untuk

menyederhanakan arti atau pemikiran, ide serta hal-hal atau gejala sosial yang

digunakan agar pembaca dapat memahami maksudnya sesuai dengan keinginan

peneliti dalam penggunaan konsep tersebut.

Konsep juga merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena yang

serupa kenyataanya konsep dapat mempunyai tingkat generalisasi yang berbeda,

semakin dekat suatu konsep kepada realita maka semakin mudah konsep tersebut

diukur dan diartikan (Koentjaraningrat, 1994: 4). Konsep merupakan deskripsi

secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala. Maka dari itu, dalam penelitian

diuraikan konsep secara langsung berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

18

Page 45: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

2.2.1 Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola

Pada bagian ini terdapat tiga satuan konsep yang harus dijelaskan terlebih

dahulu, yaitu pertama revitalisasi. Menurut Keesing (1999:257) revitalisasi

adalah perubahan komunitas karena kesadaran baru untuk mencapai suatu cita-

cita atau menempuh suatu cara hidup dengan sesuatu yang baru ataupun cara

hidup dan nilai-nilai dari zaman yang sudah lampau. Keesing lebih menekankan

pada kesadaran baru terhadap upaya-upaya perubahan kehidupan masyarakat yang

sudah menyimpang dari tradisi-tradisi lama. Revitalisasi dapat berupa cara hidup

yang sesuai dengan perkembangan zaman dengan tetap mengikuti aturan-aturan

yang diwariskan oleh para leluhur ataupun tetap mengikuti pola kehidupan lama

yang telah diturun-temurunkan dari suatu generasi kegenerasi berikutnya.

Konsep revitalisasi juga diungkapkan oleh Sibarani (2004:30) yang

menyatakan bahwa revitalisasi kebudayaan adalah sebuah proses dan usaha

memvitalkan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat atau usaha untuk

membuat kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan

masyarakat. Kebudayaan harus menjadi bagian dari masyarakat pendukungnya.

Budaya lokal harus diusahakan dapat bermanfaat dalam kehidupan manusia untuk

lebih menyejahterakan masyarakat.

Budaya lokal yang berkembang secara turun temurun dari zaman lampau

sudah semakin tergerus dan tertatih-tatih menghadapi pengaruh globalisasi yang

semakin luas daya jelajahnya. Untuk menangkal arus globalisasi yang begitu

gencar mempengaruhi keberadaan, legitimasi, dan keberlanjutan budaya lokal,

19

Page 46: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

maka munculnya kekuatan yang disebut kearifan lokal, atau lebih tegasnya

revitalisasi kearifan lokal.

Astra (dalam Majid 2009:19) lebih lanjut menegaskan bahwa revitalisasi

itu difungsikan untuk memperkokoh jati diri bangsa, yang didalamnya meliputi

kesadaran sejarah memegang peranan penting dalam menumbuhkembangkan jati

diri dan identitas bangsa sehingga penghayatan kebersamaan dimasa lampau dapat

membangkitkan rasa kepemilikan terhadap kearifan lokal. Selain itu, kesatuan dan

persatuan akan terus terpelihara dalam mempersiapkan masa yang akan datang

tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh generasi pendahulu.

Gagasan revitalisasi mengandung pikiran jernih yang menyisaratkan adanya

pandangan positif tentang beberapa strateginya kekuatan kearifan lokal dalam

menghadapi derasnya arus globalisasi.

Ardana (2004:91-92) menilai kebijakan pelestarian nilai-nilai budaya lokal

terjebak pada persoalan idiom politik, tanpa aplikasi yang nyata, hal ini terlihat

ketika nilai-nilai budaya lokal yang sebenarnya masih relevan dalam menjawab

persoalan global akhirnya punah. Sentralisasi kekuasaan yang begitu besar

membuat pemerintah dimasa lalu mengidap “paranoia” terhadap segala sesuatu

yang dianggap tidak sesuai dengan kebijakan nasional. Pelestarian adat dan nilai-

nilai budaya lokal lebih bersifat top down berkaitan dengan upaya pelestarian

kekuasaan.

Untuk itu perlu kiranya ditinjau kembali tentang apa yang dikerjakan

dalam menghadapi perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat

yang seringkali tanpa arah ketika berhadapan dengan berbagai persoalan global.

20

Page 47: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Berdasarkan pengalaman historis, seringkali pengalaman masa lalu menjadi

berharga dalam mempertahankan eksistensi kehidupan masyarakat. Maka dari itu,

di berbagai kesempatan telah seringkali dimunculkan wacana tentang upaya untuk

revitalisasi nilai-nilai budaya lokal yaitu sebagai langkah pemberdayaan budaya

lokal itu dalam mengantisipasi tantangan zaman ke arah kehidupan masyarakat

yang lebih baik. Dengan kata lain, perlunya untuk memulihkan dan

membangkitkan kembali ingatan dan kesatuan kolektif masyarakat lokal sehingga

tidak tercabut dari akarnya.

Berbagai tantangan yang muncul di masyarakat mulai dari ethnosentrisme

di tingkat lokal, munculnya berbagai konflik sosial, politik dan ekonomi yang

berkepanjangan sampai berkembangnya paham-paham separatisme. Tantangan-

tantangan ini harus dihadapi dengan membangkitkan kembali atau revitalisasi

nilai-nilai budaya lokal di era globalisasi ini. Kemunculan nilai-nilai budaya lokal

itu dapat diharapkan, apabila masih ada tradisi kebudayaan sendiri yang dapat

dihidupkan kembali.

Dalam era globalisasi, menurut Ardana, telah muncul upaya-upaya untuk

membangkitkan kembali atau pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat

istiadat dan peran dari lembaga adat. Menggunakan nilai-nilai budaya lokal untuk

menjawab berbagai tantangan inilah sebagai wujud nyata dari revitalisasi budaya

lokal. Dalam hal ini perlunya lebih ditingkatkan peran lembaga adat dalam

menangani persoalan-persoalan konflik politik, krisis ekonomi, degradasi budaya

sebagai akibat pengaruh globalisme.

21

Page 48: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Kebudayaan nasional merupakan proses dari bawah, dengan bertumpu

pada dualistik antara kebudayaan lama dan kebudayaan baru. Namun pada

kenyataannya, kebudayaan baru terus menekan kebudayaan lama yang sarat

dengan nilai-nilai dan norma-norma yang dapat menangkal gelombang pasang

globalisasi dan bergulirnya proses transformasi berbagai dimensi kehidupan sosial

yang mengarah pada satu pusat budaya kosmopolitan. Strategi kebudayaan

melalui revitalisasi, harus membuka akses partisipatif dan membangkitkan respon

mutualistik dari eksponen budaya yang beragam.

Revitalisasi, dengan demikian menjadi hal yang sangat urgen untuk

dilakukan dalam menangkal berbagai pengaruh globalisasi. Globalisasi yang

menimbulkan berbagai dampak. Salah satu dampak globalisasi adalah keengganan

untuk melanjutkan tradisi lama yang dianggap sebagai bagian dari masa lalu yang

telah usang dan tidak sesuai lagi dengan masa kekinian, harus sesegera mungkin

disikapi dan ditindak lanjuti. Revitalisasi meniscahayakan nilai-nilai budaya lokal

untuk menjawab berbagai tantangan globalisasi.

Kedua konsep tradisi lisan. Tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(1995:1069) diartikan sebagai adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang)

yang masih dijalankan di masyarakat. Tradisi juga berarti penilaian atau anggapan

bahwa yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar. Ini

menyiratkan bahwa warisan dari masa lalu mengandung nilai-nilai kebenaran

yang masih telah berlaku di dalam masyarakat dan harus terus dilestarikan.

Piliang (2005) mendefinisikan tradisi lisan sebagai setiap bentuk karya,

gaya yang dipresentasikan sebagai kelanjutan dari masa lalu kemasa kini,

22

Page 49: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

sehingga tradisi lisan adalah sesuatu yang tidak pernah berubah, dan dijalankan

sebagai sebuah pengulangan-pengulangan. Tradisi menurut Piliang adalah proses

repetisi dan reproduksi. Tradisi adalah reproduksi atau kelanjutan masa lalu, dan

ia akan kehilangan sifat tradisi bila ia berubah. Perubahan dianggap sebagai

musuh tradisi yang mengancam keaslian dan keberlanjutannya.

Konsep lain yang dikemukakan Piliang menyangkut tradisi lisan adalah

bentuk, prinsip, konsep, pranata tingkah laku, ekspresi, norma dan nilai yang telah

didefinisikan dimasa lalu secara kolektif, dan diwariskan secara turun temurun.

Karena didefinisikan secara kolektif, maka tradisi mampu mengendalikan dan

memberikan arah pada perkembangan budaya lokal yang dapat bertahan dalam

menumbuhkan kemampuannya, dalam arti tidak terikat dengan sifat

ketergantungan pada globalisasi. Dengan kata lain, tradisi harus mampu bergerak

secara aktif dalam menumbuhkan kemampuannya.

Ketiga, konsep kantola adalah dari sisi etimologinya berasal dari dua

morfem, yakni morfem ka- dan morfem tola 'panggil'. Morfem ka- pada verba

dalam bahasa Muna memiliki fungsi gramatikal derivasional atau penominal.

Adapun morfem ka- mengalami perubahan bentuk menjadi kan-, hal itu

sebenamya sebagai pengaruh nasalisasi bahasa seni dalam bahasa Muna. Dengan

demikian, kantola lebih bermakna 'panggilan', 'ajakan' atau 'seruan'. Kantola

merupakan nama prosa lirik dari daerah Muna yang didendangkan pada saat acara

berbalas pantun antara dua kelompok, yaitu kelompok pria dan kelompok wanita.

Secara ontologis, syair-syair kantola bermuatan multidimensional yang sarat

makna. Lirik kantola disusun dan digubah pada saat pementasan berlangsung. Hal

23

Page 50: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

ini mempunyai tujuan agar tradisi kelisanannya tetap terjaga. Pengekspresian

makna dalam lirik kantola tidak secara lugas, tetapi melalui simbol-simbol yang

disertai dengan gaya estetis. Ini berarti bahwa kandungan makna syair-syair

kantola ada dibalik simbol-simbol yang ada. Oleh karena itu untuk mengetahui

kandungan makna syair-syair kantola, seseorang harus memiliki kemampuan

interpretatif terhadap simbol-simbol yang digunakan (Aderlaepe, 2006: 3-4).

Memperlihatkan keanekaragaman karya sastra sebagai perwujudan genre,

maka perlu adanya penekanan bentuk dan cara-cara pemahaman yang berbeda

pula. Untuk mewujudkan keseimbangan antara sastra tulisan dan sastra lisan.

Perlu diadakan pemetaan terhadap keberadaan sastra lisan dan dilakukan

penelitian secara mendalam. Di satu pihak perlu diperhatikan dengan

pertimbangan bahwa khazanan sastra lisan kaya dengan nilai-nilai kultur yang

pada dasarnya sangat diperlukan dalam rangka membina semangat persatuan dan

kesatuan bangsa. Namun, dipihak lain sastra lisan dianggap tidak memiliki

peranan dalam meningkatkan kualitas bermasyarakat.

Sudah pada saatnya kajian tentang karya sastra terutama karya sastra lisan

yang dikelompokkan ke dalam sastra lama dikaji oleh para peneliti lokal, yang

pada umumnya lebih tertarik mengkaji sastra modern. Hal ini akan berdampak

positif sehingga keberadaan sastra lama dapat diidentifikasi. Selain itu, dengan

hasil kajian ini dapat diperoleh gambaran mengenai kekayaan kehidupan bangsa.

Prioritas penelitian terhadap khazanah sastra lama. Selain dalam rangka

mengantisipasi proses kepunahannya, juga berfungsi untuk mengungkapkan nilai-

nilai kultur yang terkandung didalamnya (Ratna, 2008).

24

Page 51: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Kantola yang merupakan bagian dari khazanah sastra lisan Nusantara

tidak dapat dipisahkan dari keberadaan masyarakat Muna. Apabila dilihat dari

kacamata historis, Muna adalah sebuah etnis besar yang berbentuk kerajaan dan

sekarang menjadi satu kabupaten. Sejak saat itu sastra lisan kantola muncul, yang

disebabkan masyarakat membutuhkan media untuk mengemukakan dan

mengapresiasikan ide-ide mereka.

Tradisi lisan kantola mencakup hasil ekspresi warga suatu kebudayaan

masyarakat Muna yang diwariskan secara turun temurun dan disebarluaskan

secara lisan, yang merupakan produk kreativitas yang mendalam terhadap segala

aspirasi, cita-cita, keinginan, dan ide bagi masyarakat lama yang bercorak

tradisional. Segala ekspresi masyarakat untuk menyampaikan pandangan mereka

terhadap fenomena sosial sangat intim dengan tradisi lisan (kantola).

Konsep-konsep tersebut di atas dapat memberikan gambaran bagaimana

suatu tradisi lisan yang berkembang dalam suatu masyarakat dapat terus bertahan

dengan memvitalkan kembali cara hidup dan nilai-nilai dari zaman yang sudah

lampau yang merupakan sumber kearifan lokal. Hal ini terutama disebabkan oleh

kuatnya pengaruh perilaku kolektif yang terdapat di dalamnya. Namun, pengaruh

tersebut dapat saja berkurang daya tariknya jika revitalisasi tradisi lisan tersebut

dibenturkan pada berbagai perubahan pola hidup yang terus berkembang seiring

dengan perubahan zaman yang bergerak dinamis.

Revitalisasi tradisi lisan melingkupi perubahan komunitas karena adanya

kesadaran baru untuk memperkokoh jati diri bangsa dengan memvalitkan kembali

norma dan nilai yang telah didefenisikan di masa lalu secara kolektif, dan

25

Page 52: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

diwariskan secara turun-temurun yang merupakan sumber kearifan lokal dalam

kehidupan masyarakat.

2.2.2 Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara

Kata Masyarakat dan Muna terdiri tiga unsur: pertama, konsep masyarakat

mengacu pada suku bangsa atau kelompok etnik yang dicirikan berdasarkan

wujud kebudayaan dan corak tradisi yang digunakan dalam kapasitasnya sebagai

unsur budaya, indeks budaya, dan simbol budaya. Sejalan dengan itu,

Koentjaraningrat (Hadirman, 2009: 9) mengartikan suku bangsa sebagai suatu

golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas kesatuan kebudayaan,

yang seringkali dikuatkan oleh kesatuan tradisi. Kesatuan kebudayaan dan tradisi

dalam satu kelompok masyarakat tidak ditentukan oleh orang luar, tetapi

berdasarkan konvensi para anggotanya. Sosok kebudayaan suatu kelompok

masyarakat tercermin, antara lain dengan bentuk tradisi yang mereka gunakan

dalam konteks sosial dan konteks budaya. Adapun masyarakat Muna yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat Muna yang bermukin

dikecamatan Lawa dan Kontunaga. Kedua, Muna merupakan nama salah satu

wilayah yang mana wilayahnya tersebut menjadi ibukota atau pusat pemerintahan

Daerah Tingkat II Muna. Ketiga, Sulawesi Tenggara adalah merupakan salah satu

wilayah di Pulau Sulawesi yang memiliki hak otonom dalam hal pemerintahan

sehingga memiliki status sebagai Provinsi Sulawesi Tenggara. Jadi masyarakat

Muna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat Muna yang

mengacu pada suatu suku bangsa atau kelompok etnik yang berada di kabupaten

muna, akan tetapi lokasi penelitian ini di pusatkan pada dua kecamatan yaitu

26

Page 53: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

kecamatan Lawa dan kecamatan Kontunaga, bukan pada wilayah kabupaten Muna

secara keseluruhan.

2.2.3 Era Globalisasi

Kata era berarti ‘jaman, masa, tarikh’. Adapun kata globalisasi merupakan

kata yang diserap dari kata bahasa Inggris dari kata globe yang artinya ‘bola

dunia’ (Poerwarminta, 1988: 61). Dari kata globe muncul kata global yang

diartikan “sedunia, sejagat’ dan kata globalisasi yaitu gejala terbentuknya sistem

organisasi dan sistem komunikasi antara masyarakat-masyarakat di seluruh dunia

yang mengikuti sistem nilai dan kaidah yang sama. Sistem-sistem yang bersifat

global terbentuk sebagai akibat dari sistem transport udara yang makin lama

makin cepat, dan karena sistem komunikasi person-to-person serta komunikasi

massa yang mampu menyelenggarakan hubungan atas dasar hitungan waktu yang

diukur dengan jam, menit, detik ataupun dalam seketika (Sumardjan, 2007: 23).

Berdasarkan uraian tentang masing-masing bagian konsep tersebut di atas

maka dapat dirumuskan bahwa globalisasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini

adalah suatu jaman atau massa di mana sistem organisasi dan sistem komunikasi

antara masyarakat-masyarakat di seluruh dunia mengikuti sistem nilai dan kaidah

yang sama atau hampir sama.

Jadi defenisi oprasional Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola Masyarakat

Muna Sulawesi Tenggara pada Era Globalisasi adalah merupakan pengokohan jati

diri yang menyiratkan adanya pandangan positif tentang betapa strateginya tradisi

lisan kantola, sebagai media ekspresi, dalam menghadapi derasnya arus

globalisasi. Selain itu, mampu mengendalikan dan memberikan arah pada

27

Page 54: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

perkembangan budaya lokal tersebut, yang dipresentasikan sebagai kelanjutan

dari masa lalu ke masa kini, sehingga dapat bertahan dalam menumbuhkan

kemampuannya.

Revitalisasi merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan budaya

lokal sehingga dapat mengaktualisasi diri dalam konteks global. Pengembangan

budaya lokal dapat dilakukan melalui pengenalan dan pengajaran budaya lokal,

dengan menciptakan ruang bagi pengembangan kreativitas lokal sehingga mampu

menumbuhkan kesadaran kultural tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar budaya

lokal tersebut. Selain itu, revitalisasi harus menjadikan budaya lokal sebagai

kebutuhan dalam menyejahterakan masyarakat. Adapun indikator yang

menyangkut revitalisasi tradisi lisan antara lain:

1. Kesadaran untuk menanamkan cara hidup berdasarkan norma-norma dan

nilai-nilai budaya lokal dalam memperkokoh jadi diri masyarakat lokal.

2. Menumbuhkan kesadaran akan strategisnya kekuatan kearifan lokal dalam

menghadapi derasnya arus globalisasi.

3. Membangkitkan kembali atau pemberdayaan, pelestarian dan

pengembangan adat istiadat dan peran dari lembaga adat.

4. Memulihkan dan membangkitkan kembali ingatan dan kesadaran kolektif

masyarakat lokal sehingga tidak tercabut dari akarnya.

5. Dorongan untuk menata ulang pengalaman kultural dan memberikan arah

pada perkembangan budaya lokal.

28

Page 55: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

2.3 Landasan Teori

Pada hakikatnya, teori merupakan seperangkat konsep, defenisi dan

preposisi yang tersusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk

menjelaskan dan meramalkan suatu fenomena atas realitas sosial. Teori digunakan

baik untuk menggambarkan yang seharusnya maupun menjelaskan yang

senyatanya secara empirik (Cooper and Schindler, 2003, Sugiyono, 2009:41).

Untuk menjelaskan mengapa sesuatu terjadi sebagai yang berlaku dalam

kenyataan, teori harus melaksanakan fungsi ganda. Pertama, menjelaskan fakta

yang sudah diketahui, dan kedua; membuka celah pandangan baru untuk

menemukan fakta baru pula. Bila kejadian yang sama ditafsirkan dalam konteks

teoritik berbeda, akan muncul jenis-jenis fakta yang berlainan pula (Kaplan,

2002:15).

Dengan demikian, diperlukan beberapa teori yang relevan dan

dipergunakan dalam penelitian ini dalam menjelaskan kenyataan empirik tersebut,

antara lain (1) teori hegemoni yang difokuskan pada pengaruh globalisasi

terhadap tradisi lisan kantola, (2) teori resepsi, penerima/penyambut ataupun

masyarakat dalam hal pemaksaan dan penilaian suatu karya sastra. (3) Teori

Dekontruksi, Dekonstruksi tentunya diikuti oleh penyusunan kembali

(rekontruksi) atau menata kembali struktur-struktur yang telah didekonstruksi. (4)

Teori Semiotika, berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda,

bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia.

29

Page 56: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

2.3.1 Teori Hegemoni

Masyarakat Muna adalah salah satu etnis besar yang termaginalisasi dari

segi tradisi, yang diakibatkan oleh modernisasi. Proses pengikisan tradisi lisan

secara perlahan yang melupakan identitas individu dan budaya-budaya lokal,

sehingga berdampak pada kecenderungan sikap masyarakat yang konsumerisme.

Hal ini bisa berdampak dengan semakin dilupakannya nilai-nilai budaya lokal.

Pudarnya sebuah tradisi atau kebudayaan lisan disebabkan masyarakat

menganggap tradisi lisan adalah sesuatu yang kuno atau bagian dari masa lalu.

Oleh karena itu, problematika kehidupan masyarakat Muna dapat dikaji dengan

menerapkan teori hegemoni

Wacana hegemoni yang dapat diterapkan untuk menelaah masalah

mengapa mulai ditinggalkannya tradisi lisan kantola dalam masyarakat Muna

adalah analisis wacana hegemoni dari Foucault dan Gramsci. Analisis geneologi

Foucault tentang formasi diskursif mengetengahkan antara hubungan pengetahuan

dan kekuasaan. Tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan, sebaliknya tidak ada

pengetahuan tanpa ada kekuasaan yang mendukungnya (Foucault, 1977).

Selanjutnya Foucault menawarkan tiga konsep pendisiplinan, yaitu (1) ilmu-ilmu

pengetahuan yang menempatkan subjek sebagai objek penyelidikan; (2) praktik-

praktik pemisahan yang memilah antara yang waras dengan yang gila, antara yang

kriminal dengan warga yang taat hukum, dan antara kawan dengan lawan; (3)

teknologi-teknologi tentang diri yang digunakan individu untuk mengubah diri

mereka menjadi subjek (Barker, 2004: 107). Sesuai dengan formasi diskursif dan

30

Page 57: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

praktik-praktik pemisahan yang dikemukan Foucault tersebut, masyarakat Muna

diwacanakan sebagai lawan yang harus ditaklukkan oleh pihak lain.

Menurut Simon (1999: 19) secara esensial hegemoni bukan merupakan

hubungan dominasi inherent dengan menggunakan kekuasaan, melainkan terjadi

kesepahaman dengan penggunaan kepemimpinan politik dan ideologi, sehingga

hegemoni merupakan organisasi konsensus. Dalam hegemoni kontrol sosial

dilakukan dengan cara membentuk keyakinan ke dalam. Namun demikian, yang

berlaku adalah supremasi kelompok dalam hegemoni yang diperoleh bukan atas

penindasan tetapi melalui konsensus menggiring cara pandang orang dalam

menyikapi problematik sesuai dengan cara pandang kelas sosial yang

menaklukkannya.

Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang dapat muncul melalui

mekanisme konsensus daripada melalui penindasan terhadap kelompok sosial

lainnya, yakni melalui institusi yang ada dalam masyarakat yang menentukan

secara langsung atau tidak langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat

(Hendarto, 1993: 35). Itulah sebabnya hegemoni menurut Gramsci pada

hakikatnya adalah upaya untuk menggiring orang menilai dan memandang

problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. Melalui hegemoni, cara

pandang dan keyakinan masyarakat akan dipengaruhi sehingga kehilangan

kesadaran kritis mereka terhadap sistem yang ada. Hal ini berimplikasi bahwa

seolah-olah kelompok penguasa memberikan kebebasan bagi kelompok yang

tertindas dalam berekspresi. Namun, sesungguhnya hal itu adalah strategi yang

diterapkan kelompok penguasa sehingga tidak terlihat adanya tekanan bagi kaum

31

Page 58: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

tertindas. Hegemoni merupakan suatu tatanan atau cara hidup dan pemikiran

kelompok tertentu menjadi dominan, yakni suatu konsep realitas yang disebarkan

ke seluruh masyarakat dalam seluruh kelembagaan dan kehidupan pribadinya

yang mempengaruhi seluruh cita rasa, moralitas, kebiasaan, prinsip, agama dan

politik, serta seluruh hubungan sosial terutama dalam pengertian intelektual dan

moral (Fakih, 2000).

Dalam konteks konsensus, Gramsci mengajukan tiga kategori konformitas/

penyesuaian bagi masyarakat yang tidak mampu beroposisi, yaitu (1) orang akan

menyesuaikan diri mungkin karena takut akan konsekuensi-konsekuensi bila tidak

menyesuaikannya; (2) orang menyesuaikan diri mungkin karena terbiasa

mengikuti tujuan-tujuan tertentu; (3) konformitas yang muncul dari tingkahlaku

yang mempunyai tingkatan-tingkatan kesadaran dan persetujuan dengan unsur-

unsur tertentu dalam masyarakat (Hendarto, 1993: 36). Dalam konteks ini

hegemoni terus-menerus diperbaharui. diciptakan dipertahankan dan dimodifikasi.

Hegemoni juga ditantang, dibatasi, diubah, dan dihadang oleh tekanan dari luar,

sehingga hegemoni selalu peka terhadap alternatif. Upaya revitalisasi tradisi lisan

dalam masyarakat Muna adalah bagian dari perlawanan terhadap hegemonik yang

sedang dialami oleh masyarakat Muna.

Teori di atas, digunakan untuk menganalisis permasalahan kedua dalam

penelitian ini yakni tentang fungsi revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat

Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi, juga model rekonstruksi tradisi

lisan kantola sebagai kekayaan budaya masyarakat tersebut. Faktor penunjang dan

penghambat tersebut dicurigai berasal dari dalam masyarakat Muna itu sendiri dan

32

Page 59: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

ada yang berasal dari luar masyarakat, seperti pemerintah daerah dan pihak-pihak

lain. Begitu pula dengan kemungkinan merekonstruksi tradisi lisan kantola

sebagai strategi dalam mengembangkan identitas tidak terlepas dari peranan

masyarakat, khususnya masyarakat Muna dan juga adanya campur tangan

pemerintah daerah. Sebab menurut Wibowo (2000: 45), pemerintah daerah dan

masyarakat saling berinteraksi.

Mengacu pada teori hegemoni di atas, dengan mulai ditinggalkanya nilai-

nilai tradisi lisan kantola yang diakibatkan oleh pengaruh budaya global terhadap

perkembangan budaya masyarakat Muna. Budaya global memberikan pengaruh

signifikan terhadap perkembangan budaya lokal, dalam hal ini tradisi lisan

kantola yang merupakan identitas masyarakat lokal Muna. Namun seiring dengan

gencarnya budaya global mempengaruhi keberadaan tradisi lisan dan identitas

masyarakat Muna. Budaya global dengan kekuasaan kapitalisme dan hegemoni

kultural melalui media terus mengancam keberadaan budaya lokal ini.

2.3.2 Teori Dekonstruksi

Pada penelitian ini digunakan juga teori Dekonstruksi Derrida untuk

membedah makna revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi

Tenggara pada era globalisasi. Upaya konstruksi yang dilakukan oleh masyarakat

Muna atas penolakan oposisi biner di mana telah dilekatkan kepada mereka

selama ini, terutama yang berkaitan dengan keberadaan tradisi lisan kantola.

Derrida memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma

modernisme dan senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan

pengertiannya. Dalam hal ini dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi

33

Page 60: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

yang tertindas di bawah totalitas modernisme (Padje, 2007: 97). Dekonstruksi

menolak otoritas sentral dalam pemaknaan budaya. Oleh karena makna budaya

tidak harus tunggal, tetapi dapat bersifat terbuka pada makna lainnya. Disamping

itu dekonstruksi juga menolak segala bentuk asumsi yang membelenggu.

Teori dekonstruksi dikemukakan oleh Derrida sebagai sebuah usaha untuk

menolak logosentrisme atau metafisika yang melahirkan oposisi biner (Lubis,

2006: 121; Al Fayyadl, 2006: 8). Dalam oposisi biner terdapat satu unsur yang

mendominasi unsur lainnya dan pada akhirnya menimbulkan kesenjangan,

sehingga kehadiran dekonstruksi memberi arti pada kelompok yang lemah atau

minoritas.

Menurut Ratna (2005: 252), dalam dekonstruksi dilakukan semacam

pembongkaran. Tujuan akhir yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali ke

dalam tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakikat objek sehingga dapat

dimanfaatkan secara maksimal. Lebih lanjut Ratna (2006:37) mangatakan bahwa

keberadaan teori Dekonstruksi adalah untuk membongkar, merakit ulang oposisi

biner dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Jadi, dekonstruksi mengandung arti

mengurangi, membongkar secara keseluruhan atau sebagian suatu susunan dan

struktur yang dibangun bersama hingga intensitasnya berkurang. Agar

dekonstruksi dapat menciptakan dinamika, kreativitas serta produktivitas tafsir,

maka tentunya diperlukan perlakuan baru terhadap sesuatu yang hendak

didekonstruksi tersebut. Dekonstruksi tentunya diikuti oleh penyusunan kembali

atau menata kembali struktur-struktur yang telah didekonstruksi.

34

Page 61: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Penggunaan teori dekonstruksi dalam penelitian ini untuk mengungkap

proses dekontruksi dalam arti proses pembebasan dari modernitas yang dianggap

represif dan proses pembentukan kontruksi postmodernitas yang dilakukan tradisi

lisan kantola. Dalam hal ini membongkar dan menafsir kembali hal-hal yang

berhubungan dengan tradisi lisan kantola yang selama ini telah dicirikan

sebelumnya akan melahirkan makna baru terhadap keberadaan tradisi lisan itu

sendiri.

Sebagaimana telah diutarakan di atas, teori dekonstruksi dalam penelitian

ini digunakan untuk mengungkapkan proses dekonstruksi dalam arti proses

pembebasan dari modernitas yang dianggap represif dan proses pembentukan

konstruksi postmodernitas sebagai konstruksi baru yang dilakukan tradisi lisan

kantola. Pembebasan terhadap modernitas akan mengacu kepada pembebasan atas

hegemoni, sedangkan pembentukan konstruksi postmodernitas akan mengacu

pada konstruksi budaya, sosial, politik, estetika, dan seni pertunjukan yang baru

atau postmodern. Hal ini sesuai dengan cara kerja dekonstruksi yang dikenal

dengan “membongkar”, selanjutnya pembongkaran tersebut diikuti oleh

pembangunan kembali (Ratna, 2005: 26).

2.3.3 Teori Semiotika

Cassier membedakan antara tanda (sign) dengan simbol. Tanda adalah

bagian “dunia fisik” yang berfungsi sebagai operator yang memiliki substansial.

Sementara simbol tidak memiliki kenyataan fisik atau substansial, tetapi hanya

memiliki nilai fungsional (Triguna, 2000: 8).

Menafsirkan sarana tanda sebagai suatu tanda dalam penelitian ini akan

35

Page 62: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

digunakan teori semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan

interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan

manusia (Cobley dan Jans dalam Ratna, 2004: 71) sebagai ilmu tanda, semiotika

sosial mesti dipahami dengan konteks dimana tanda-tanda tersebut difungsikan.

Pendekatan semiotik atau semiologi didasarkan pada asumsi bahwa

tindakan manusia atau hal yang dihasilkannya menunjukan makna asalkan

tindakan tersebut berfungsi sebagai tanda, tentu ada sistem konvensi dan

pembedaan yang mendasarinya dan yang memungkinkan adanya makna tersebut.

Dimana ada tanda disitulah ada sistem. Hal inilah yang sama-sama ada dalam

berbagai kegiatan yang menjadi penanda (Culler, 1996: 74).

Menurut Levi Straus untuk menganalisis fenomena yang menjadi penanda,

meneliti tindakan atau objek yang membawa makna, seorang peneliti harus

mendalilkan (mengandaikan) adanya sistem hubungan yang mendasari hal yang

ditelitinya, dan harus mencoba melihat apakah makna unsur atau objek individual,

bukan merupakan akibat dari kontrasnya dengan unsur dan objek lain dalam suatu

sistem hubungan yang tidak disadari adanya oleh anggota suatu budaya. Makna

yang diberikan kepada objek atau tindakan oleh para anggota suatu budaya

bukanlah fenomena yang benar-benar acak, pasti ada sistem pembedaan,

penggolongan yang merupakan semiologi, pasti ada kaidah penggabungan yang

dapat digambarkan. Jadi yang dapat dimasukan kedalam semiologi adalah suatu

bidang kajian yang amat luas. Segala ranah kegiatan manusia, apakah itu musik,

arsitektur memasak, etiket, periklanan, mode dan sastra dapat dikaji (dibedakan)

menurut pendekatan semiologi. Meskipun kebanyakan objek dan kegiatan

36

Page 63: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

masyarakat adalah tanda, objek dan kegiatan tersebut bukanlah tanda yang

jenisnya sama. Untuk membedakan antara jenis-jenis tanda yang berbeda perlu

dikaji dengan cara yang berbeda. Ada tiga golongan tanda yang mendasar dan

(yang kadang-kadang secara keliru disebut ‘simbol’). Semua tanda terdiri atas

suatu penanda (signifier) dan petanda (konsep atau singnifified), yakni bentuk

dengan makna atau makna-makna terkait. Hubungan antara penanda dan konsep

(ditanda) akan berbeda bagi masing-masing dari ketiga jenis tanda ini (Culler,

1996: 80-83).

Sebagai suatu ilmu, semiotika memiliki jangkauan yang relatif luas.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sobur (2003: V, XIX) ada tiga aliran

pemikiran yang terdapat dalam semiotika, (1) Semiotika segnifikasi, (2) Semotika

Komunikasi, (3) Semiotika exstra-komunikasi. Semiotika signifikasi merupakan

suatu aliran semiotika yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure beserta

pengikutnya. Semiotika komunikasi yang dikembangkan oleh Charles Sanders

Pierce beserta pengikutnya. Sedangkan semiotika extra-komunikasi merupakan

aliran pemikiran baru dalam semiotika yang melampaui kontraversi antar dua

semiotika tersebut diatas, merupakan kritik maupun pengembangan terhadap

semiotika signifikasi.

Hubungan dengan permasalahan penelitian ini, semiotika signifikasi

relevan untuk digunakan, semiotika signifikasi yang dikembangkan oleh

Ferdinand de Saususure, menempatkan bahasa sebagai suatu sistem tanda yang

mengungkapkan ide-ide dan dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad, tuna

rungu, bentuk sopan santun, isyarat militer, dan seterusnya (Krampen, 1996: 56).

37

Page 64: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Semiotika signifikasi pada lingkup penanda tersebut terkait dengan permasalahan

penelitian ini, khususnya tentang tradisi lisan kantola. Pada tradisi lisan kantola

dapat dipandang sebagai salah satu formulasi atau ragam budaya, yaitu sebagai

simbol, ungkapan ataupun pribahasa. Dengan demikian tradisi lisan kantola dapat

dikatakan sebagai salah satu objek semiotika dalam lingkup penanda. Dalam

kaitan ini, pendekatan semiotika terhadap tradisi lisan kantola meliputi analisis

penanda, untuk mengindentifikasi pelibat tradisi lisan kantola¸ petanda untuk

memahami isi dari pelibat tradisi lisan kantola tersebut.

Kenyataan yang ada dalam tradisi lisan kantola sebagai elemen daya tarik,

untuk digunakan sebagai bentuk estetis yang indah pada saat tradisi lisan kantola

terjadi. Keadaan seperti ini merefleksikan terjadinya komunikasi yang terintegrasi

sebagai kesatuan emosi.

Penyampaian lirik kantola diungkapkan tidak secara lugas, tetapi

dikiaskan melalui simbol-simbol. Disini juga kelihatan bahwa peserta pertunjukan

tradisi lisan kantola mempunyai kemampuan intpretatif dan menguasai keahlian

yang formulaik.

Sebagaimana diungkapkan di atas, teori ini digunakan untuk menganalisis

permasalahan pertama dalam penelitian ini yakni tentang bentuk revitalisasi

tradisi lisan kantola masyarakat Muna Propinsi Sulawesi Tenggara pada era

globalisasi.

2.3.3 Teori Resepsi

Karya sastra sangat erat kaitannya dengan penerima/penyambut. Karya

sastra ditujukan untuk penerima dan kepentingan masyarakat

38

Page 65: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

penerima/penyambut. Karya sastra tidak mempunyai nilai tanpa ada

penerima/penyambut yang menilainya karena penerima/penyambutlah yang

menentukan makna dan nilai suatu karya sastra (Teeuw dalam Pradopo, 2007:

207). Teori resepsi melokasikan penikmat ke dalam posisi yang memegang

peranan penting. Tanpa peran serta audiens, seperti pendengar, penikmat,

penonton, pemirsa, penerjemah, dan para pengguna lainnya. Khususnya penerima/

penyambut itu sendiri, maka keseluruhan aspek-aspek kultural yang terdapat

dalam suatu karya sastra akan kehilangan maknanya. Peranan

penerima/penyambut sangat penting walaupun penerima/penyambut sama sekali

tidak memiliki relevansi dalam kaitannya dengan proses kreatif penciptaan suatu

karya sastra (Ratna, 2006: 165)

Selanjutnya Ratna mengemukakan bahwa teori resepsi diartikan sebagai

penerimaan, penyambutan, tanggapan, reaksi, dan sikap penerima/penyambut

sehingga dapat memberikan tanggapan terhadap suatu karya sastra. Tanggapan

yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang

penerima/penyambut, melainkan penerima/penyambut sebagai proses sejarah,

penerima/penyambut dalam periode tertentu. Dalam hubungan inilah teori resepsi

dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) resepsi secara sinkronis, meneliti karya

sastra dalam hubungannya dengan penerima/penyambut sezaman, dan b) resepsi

secara diakronis, penelitian dalam kaitannya dengan penerima/penyambut

sepanjang sejarah.

Pada dasarnya, model resepsi diakronis dapat memberikan pemahaman

yang signifikan, dengan pertimbangan, khususnya dalam kaitannya dengan studi

39

Page 66: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

kultural, pertama, adalah perubahan pandangan terhadap karya sastra sebagai

akibat perubahan horison harapan, paradigma, dan sudut pandang. Kedua,

pergeseran penilaian terhadap perkembangan suatu karya sastra ini merupakan

tolak ukur untuk mengetahui sejauh mana masyarakat telah berubah.

Menurut teori resepsi, keindahan dan manfaat karya sastra bagi

masyarakat juga para aktor kebudayaan umumnya, bukanlah keindahan yang

sudah pasti defenisinya. Keindahan yang dimaksudkan bukanlah keindahan abadi,

karya seni dalam hubungan ini tidak bersifat universal. Sebaliknya keindahan

adalah nisbih, yang kualitasnya bergantung dari situasi latar belakang sosial

budaya penerima/penyambut, yang melalui keindahannya penerima/penyambut

dapat mengali dan memahami aktivital kultural secara berbeda-beda pula.

Resepsi sastra tampil sebagai teori dominan sejak tahun 1970an, dengan

berbagai pertimbangan: a) sebagai jalan keluar untuk mengatasi strukturalisme

yang dianggap hanya memberikan perhatian terhadap unsur-unsur, b) timbulnya

kesadaran untuk membangkitkan kembali nilai-nilai kemanusiaan, dalam rangka

kesadaran humanisme universal, c) kesadaran bahwa nilai-nilai karya sastra dapat

dikembangkan hanya melalui kompetensi penerima/penyambut, d) kesadaran

bahwa keabadian nilai karya seni disebabkan oleh penerima/penyambut, e)

kesadaran bahwa makna yang terkandung dalam hubungan ambigius antara karya

sastra dengan penerima/penyambut (Ratna, 2006: 166).

Secara historis, teori resepsi telah diperkenalkan sejak akhir 1969 oleh

Hans Robert Jauss (Pradopo, 2007: 206). Jauss mengungkapkan bahwa apresiasi

penerima/penyambut dengan terhadap sebuah karya sastra akan diperkaya melalui

40

Page 67: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

tanggapan-tanggapan lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara ini

makna historis karya sastra akan ditentukan dan nilai estetikanya terungkap.

Tanggapan-tanggapan seseorang mengenai karya sastra akan berbeda-beda,

demikian pemahaman karya sastra pada satu periode dengan periode yang

lainnya. Perbedaan inilah yang disebut oleh Jauss sebagai horison harapan.

Horison harapan ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan

kemampuan dalam menanggapi karya sastra.

Sehubungan dengan horison harapan, Seger (Pradopo, 2007: 208)

menetapkan tiga kriteria: pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpencar

dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca; kedua, ditentukan oleh

pengetahuan dan pengalaman atas sebuah teks yang telah dibaca sebelumnya;

ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan. Proses penerima/penyambutan,

bagi teori resepsi, selalu bersifat dinamis sepanjang waktu. Karya sastra eksis

hanya sebagai apa yang disebut Roman ingarden sebagai seperangkat “skhemata”

atau arah yang umum, yang harus diaktualisasikan oleh pembaca (Eagleton,

2006:109).

Teori resepsi digunakan untuk mengkaji makna revitalisasi tradisi lisan

kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi, dengan

pertimbangan bahwa tradisi lisan sangat berkaitan dengan norma-norma dalam

menjalankan kehidupan bermasyarakat yang cenderung bergerak dinamis seiring

dengan perkembangan zaman. Selain itu, pemahaman masyarakat Muna terhadap

tradisi lisan kantola juga sangat beragam sesuai dengan kondisi kultural mereka.

41

Page 68: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Teeuw (Ratna, 2006: 170) menganggap studi resepsi sastra sangat tepat

diterapkan di Indonesia karena memiliki khazanah sastra, khususnya sastra lama

(sastra lisan sering juga disebut sebagai sastra lama) yang sangat beragam.

Sebagai ahli dalam bidang sastra lama, menurut Juass, nilai karya sastra dengan

demikian terkandung dalam pertemuan antara masa lampau dengan kekinian

masing-masing peneliti.

42

Page 69: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

2.4 Model Penelitian

Model penelitian dimaksudkan untuk menunjukkan arah dalam mengakaji

masalah penelitian secara keseluruhan. Dengan kata lain, model penelitian adalah

patokan akademis yang menjadi petunjuk dalam mengkaji masalah penelitian.

Model penelitian berikut ini diterapkan untuk menuntun arah penelitian dalam

mengidentifikasi realitas budaya yang berkembang dalam masyarakat. Model

penelitian tersebut dapat dilihat melalui bagan berikut ini.

Keterangan Model:

= Keterangan satu arah

= Keterangan dua arah

Kebudayaan Masyarakat Muna

Globalisasi

TRADISIMITOS

Media dan Teknologi

Bentuk revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi

Fungsi revitalisasi Tradisi lisan Kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi

Maknarevitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat MunaSulawesi Tenggara pada era globalisasi

Revitalisasi Tradisi lisan

Kantola

43

Page 70: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Penjelasan Model

Penelitian ini berangkat dari keberadaan tradisi lisan kantola yang menjadi

bagian budaya masyarakat Muna. Pertama-tama peneliti melihat proses

munculnya tradisi lisan dalam masyarakat Muna yang dipentaskan dalam pasca

acara budaya seperti perkawinan, pengislaman, pingitan. Pementasan tradisi lisan

kantola tidak berdiri sendiri. Ia dilantunkan dalam sebuah pertunjukan yang hanya

dipentaskan dalam acara tertentu didalam suatu acara.

Selanjutnya peneliti melihat pengaruh budaya global terhadap

perkembangan budaya Muna. Budaya global memberikan pengaruh signifikan

terhadap perkembangan budaya lokal, dalam hal ini tradisi lisan kantola yang

merupakan identitas masyarakat lokal Muna. Namun seiring dengan gencarnya

budaya global mempengaruhi keberadaan tradisi lisan dan identitas masyarakat

Muna. Budaya global dengan kekuasaan kapitalisme dan hegemoni kultural

melalui media dan teknologi terus mengancam keberadaan budaya lokal ini.

Sesuai dengan model penelitian diatas, revitalisasi merupakan objek

formal dalam memvitalkan kembali tradisi lisan kantola. Revitalisasi merupakan

suatu proses menjadikan kebudayaan sebagai suatu yang menjadi bagian

terpenting didalam kehidupan manusia sebelum kehilangan bentuk dan maknanya.

Proses revitalisasi tentunya dilakukan secara teroganisir oleh individu pelaku

budaya, kelompok komunitas bersama-sama pemerintah yang memiliki kesadaran

dan merasa begitu pentingnya warisan budaya.

Pada akhirnya model penelitian ini digunakan untuk mengkaji revitalisasi

kebudayaan secara holistik. Sesuai dengan perspektif kajian budaya, penelitian ini

44

Page 71: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

berfokus pada kajian bentuk, fungsi, dan makna revitalisasi tradisi lisan kantola

dalam masyarakat Muna. Keseluruhan unsur-unsur yang terdapat dalam model

penelitian ini saling berkaitan dan saling mendukung antara unsur yang satu

dengan unsur yang lainnya sehingga membentuk satu kesatuan.

45

Page 72: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan

hermeneutika, yaitu telaah atas makna yang tersembunyi di dalam teks yang

mengandung makna. Pendekatan hermeneutika digunakan untuk menghayati dan

memahami secara mendalam terhadap fenomena budaya terhadap tradisi lisan

kantola dalam masyarakat Muna. Pengumpulan data dan analisis data dikerjakan

secara simultan dalam menghayati dan memahami makna melalui teori

dekontruksi teori hegemoni, teori resepsi, dan teori semiotika.

Hermeneutika adalah proses penafsiran dan penginterprestasian.

Hermeneutika mengimplikasikan pesan lewat bahasa, baik bahasa lisan maupun

bahasa tulisan untuk memproduksi makna secara tak terbatas sesuai dengan

kemampuan subjek yang menafsirkan (Ratna, 2005: 91). Maka sikap interprestasi

tak lain adalah suatu usaha untuk menguak makna yang masih tersirat dan

tersembunyi dalam suatu teks. Teks merupakan kumpulan kata yang tersusun

dalam suatu pola tertentu dan maksud tertentu. Menurut Palmer (2003:277), apa

yang dibutuhkan dalam interprestasi sastra adalah penalaran dialektika yang tidak

menginterogasi teks tetapi menyediakan sesuatu yang dikatakan pada teks untuk

menginterogasi balik, untuk mengajak horizon penafsiran ke dalam pertanyaan

dan melakukan transformasi pemahaman seseorang terhadap subjek.

46

Page 73: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

3.2 Lokasi Penelitian

Untuk melakukan penelitian ini maka peneliti membatasi lokasi penelitian,

yaitu di Kecamatan Lawa dan Kecamatan Kontunaga, Kabupaten Muna, Propinsi

Sulawesi Tenggara. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan sebagai berikut (1)

Pelantun tradisi lisan kantola, umumnya dijumpai di wilayah ini (kecamatan Lawa

dan Kontunaga). (2) Dua kecamatan tersebut (kecamatan Lawa dan Kontunaga),

sudah mewakili pola prilaku masyarakat Muna, secara keseluruhan dalam hal

pewarisan dan pemanfaatan tradisi lisan kantola. (3) Apabila dilihat dari letak

geografis Kabupaten Muna, dua kecamatan tersebut (kecamatan Lawa dan

Kecamatan Kontunaga) berada ditengah-tengah.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini menggunakan data kualitatif. Data kualitatif

adalah data yang dapat berupa kalimat, kata-kata ataupun ungkapan. Selain itu

dalam penelitian ini juga menggunakan dua sumber data, yakni sumber data

primer dan sumber data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi di

lapangan dan wawancara dengan informan. Sedangkan data sekunder diperoleh

dari catatan atau dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti termasuk

hasil penelitian yang telah lebih dulu didokumentasikan dan dipublikasikan

maupun referensi lainnya, seperti jurnal, monografi, dan berbagai makalah yang

relevan sebagai penunjang data primer (Endraswara, 2003: 208).

47

Page 74: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

3.4 Penentuan Informan

Dalam metode kualitatif ini, peneliti menentukan dan memilih informan

sesuai dengan tujuan penelitian (purposive) yakni informan yang mengetahui dan

memahami hal-hal yang berkaitan dengan masalah penelitian. Peneliti akan

menemui informan, yaitu orang yang mengetahui hal-hal yang akan diteliti dan

dari mereka akan diperoleh data yang berhubungan dengan penelitian.

Berdasarkan penuturan mereka, peneliti segera meneruskan pengumpulan data

dari subyek yang lain. Sebelum memulai penelitian ini, peneliti telah mengadakan

kontak dengan masyarakat Muna. Dengan demikian, peneliti dapat menentukan

informan secara purposive, baik informan kunci maupun informan biasa.

Untuk memulai pemilihan informan, peneliti akan secara cermat memilih

informan atas pertimbangan-pertimbangan tertentu berdasarkan tujuan penelitian.

Menurut Sudikan (2001:91), penentuan informasi kunci didasarkan pada beberapa

pertimbangan diantaranya: (1) orang yang bersangkutan memiliki pengalaman

pribadi sesuai dengan permasalahan yang diteliti (pelaku pertunjukan tradisi lisan

kantola); (2) orang yang bersangkutan bersifat netral, tidak memiliki kepentingan

pribadi; (3) orang yang bersangkutan tokoh masyarakat; (4) orang yang

bersangkutan memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang

diteliti.

Perbedaan antara informan kunci dan informan biasa adalah jika informan

kunci merupakan orang yang dapat memberikan informasi secara detail dan

komprehensif serta mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang

48

Page 75: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

masalah yang diteliti, sedangkan informasi biasa adalah orang yang dapat

memberi informasi secara mendalam mengenai permasalahan yang diteliti.

3.5 Instrumen Penelitian

Peneliti merupakan instrumen utama dalam penelitian. Penelitian ini

dilakukan melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung di lapangan

dengan menggunakan instrumen penelitian, yaitu interview guide (pedoman

wawancara) yang disusun secara sistematik untuk lebih memfokuskan pada

wawancara yang mendalam. Wawancara ditunjang dengan alat perekam. Kamera

digital, dan alat tulis untuk mencatat hal-hal yang penting.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data merupakan cara kerja, terkait dengan apa yang

harus diperbuat dan bagaimana berbuat dalam rangka mencapai tujuan penelitian.

Sehubungan dengan itu maka teknik yang digunakan dalam pengumpulan data

terdiri atas: 1) observasi partisipasi, 2) wawancara mendalam, dan 3) studi

dokumen dan pustaka, dan teks berupa pantun yang dilantunkan oleh pelaku

tradisi lisan kantola.

3.6.1 Observasi Partisipasi

Untuk mendapatkan data yang akurat di lapangan, maka dilakukan

observasi partisipasi. Observasi partisipasi yang dimaksudkan adalah

pengumpulan data melalui observasi terhadap objek penelitian melalui

pengamatan terlibat secara langsung dan juga sebagai anggota kelompok yang

49

Page 76: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

diteliti, namun keterlibatan peneliti hanya sebatas pada kegiatan-kegiatan yang

berkaitan dengan fokus kajian atau pokok masalah penelitian (Bungin, 2010: 116;

Ratna, 2010: 218-219). Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti berusaha

untuk tinggal di lokasi penelitian dan membaur dengan masyarakat setempat. Hal

ini bertujuan untuk dapat mengikuti rangkaian kegiatan serta melakukan

perekaman secara langsung dan untuk memahami secara mendalam terhadap

beberapa fenomena kehidupan dan aktivitas masyarakat Muna. Dalam melakukan

observasi, peneliti dibekali dengan alat pencatatan secara manual dan elektronik

seperti kamera digital untuk merekam secara akurat berbagai pola perilaku dan

lingkungan masyarakatnya. Dengan demikian aspek yang diamati tidak hanya

bentuknya, tetapi juga fungsi dan makna tradisi lisan kantola. Hasil pengamatan

baik manual maupun hasil perekaman dijadikan sebagai ilustrasi yang dapat

mempertajam analisis terhadap berbagai masalah yang tampak, dalam kaitanya

dengan tradisi lisan kantola.

3.6.2 Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam dilakukan pada informan terpilih untuk

memperoleh data primer yang diambil di lapangan. Teknik ini bertujuan untuk

mengumpulkan data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Menurut

Bogdan dan Taylor (Endraswara, 2003: 214), melalui wawancara mendalam

peneliti akan membentuk dua macam pertanyaan, yaitu pertanyaan subtantif dan

pertanyaan teoretik. Pertanyaan substantif menyangkut persoalan yang terkait

dengan aktivitas kultural budaya masyarakat Muna dalam kaitanya dengan tradisi

50

Page 77: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

lisan kantola sedangkan pertanyaan teoretik menyangkut bentuk, fungsi dan

makna tradisi lisan kantola.

3.6.3 Studi Dokumen dan Pustaka

Selain observasi dan wawancara, peneliti juga melakukan studi dokumen.

Peneliti mencari berbagai data terutama buku-buku, makalah-makalah yang

cakupan pembahasannya menyangkut tradisi lisan kantola, yang relevan dan

berkaitan erat dengan permasalahan yang diteliti. Kebutuhan tambahan sebagai

sumber data sekunder sangat penting selain data yang diperoleh dari informan.

Studi dokumen merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang berfungsi

menunjang pelaksanaan penelitian. Pengumpulan datanya dapat berupa bacaan

dan teks yang berupa rekaman audio atau audio visual, sesuai dengan fokus

permasalahan yang digarap (Maryaeni, 2005: 73). Sedangkan studi pustaka adalah

teknik pengumpulan data cara membaca dan mempelajari buku-buku, literatur-

literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang dibahas.

3.7 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan terus menerus

sepanjang proses penelitian berlangsung, yang dilakukan secara deskriptif

kualitatif dan interpretatif. Analisis data dilakukan mulai dari perumusan masalah,

pengumpulan data dan pasca pengumpulan data. Dengan adanya perumusan

masalah maka peneliti telah melakukan analisis terhadap permasalahan tersebut

dalam berbagai prespektif teori dan metode yang digunakan.

51

Page 78: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Berdasarkan hal tersebut maka peneliti akan melakukan proses

spengumpulan dan analisis data sepanjang rangkaian kegiatan penelitian

dituangkan dalam penulisan hasil penelitian. Jadi, analisis data dalam penelitian

ini adalah melakukan penyederhanaan data yang terkumpul, yang selanjutnya

diolah, ditafsirkan, dan melakukan pemaknaan terhadap data yang telah terkumpul

tersebut, kemudian disajikan secara sistematis.

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil penelitian ini disajikan dengan menggunakan teknik informal dan

formal. Secara informal, hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk narasi karena

makna teks bersifat verbal dan memiliki struktur naratif dengan mengikuti kaidah

penulisan ilmiah. Secara formal, hasil penelitian ini disajikan melalui gambar,

foto, peta dan lain sebagainya. Penyajian hasil analisis data dituangkan ke dalam

delapan bab.

52

Page 79: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

BAB IV

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

DI KABUPATEN MUNA

4.1 Sejarah Kabupaten Muna

Muna adalah salah satu daerah tingkat II di Propinsi Sulawesi Tenggara

yang diresmikan sebagai Kabupaten pada tahun 1960. Nama Muna adalah nama

daerah yang dahulunya bernama Wuna, asal usul nama Muna, konon adanya

sebuah bukit karang yang sewaktu-waktu karang tersebut tumbuh dan menyerupai

bunga batu yang disebut Kontu Kowuna (Batu Berbunga), disinilah nama wuna

itu awalnya. Bukit Bahutara itu terletak di kampung Butu di sebelah Timur Laut

Mesjid Kota Muna sekarang ini. Muna mempunyai nama lain yang disebut

Pancana sesuai nama yang tertulis dalam naskah perjanjian Bongayah tanggal 18

November 1667 (Batoa, 1991: 2).

Menurut cerita, sebagai awal diketahui pulau Muna dengan adanya

seorang pelayar terkenal saat itu, ia berasal dari Luwu Sulawesi Selatan yang

dikenal dengan nama Sawerigadi. Dalam perjalanan pelayarannya perahunya

terdampar disekitar Pantai Timur Pulau Muna tepatnya di Kampung Butu, suatu

tebing di Pinggir laut saat itu. Butu adalah nama kampung di sekitar pertengahan

daratan Muna (penduduknya telah dipindahkan ke desa Bahutara yang sekarang

ini). Tempat terdamparnya perahu Sawerigadi tersebut dinamakan Bahutara

(mungkin dari kata Bahtera/perahu). Saat ini bahutara dikenal dengan sebutan

Kontu Kowuna atau batu berbunga. Sebelum perahu Sawerigadi ini terdampar di

Muna, saat ini telah ada penduduknya yaitu To Muna, artinya orang Muna. To

53

Page 80: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Muna ini adalah penduduk pertama di Pulau Muna. Para pendatang menganggap

bahwa To Muna ini adalah penduduk asli Muna.

Berdasarkan legenda (cerita rakyat) bahwa Sawerigadi disertai awak

perahunya yang berjumlah 40 orang. Perahu Sawerigadi yang kandas tersebut

pada akhirnya diliputi karang, badan perahu berubah menjadi bukit dan ruang

dalam perahu menjadi liang. Liang tersebut disebut “Liano Bahutara” yang saat

sekarang ini dianggap tempat keramat.

Awak perahu sawerigadi itu, menurut Batoa selanjutnya sebagian ada yang

pulang ke luwu ada pula yang pulang ke Sulawesi Tengah, dan ada yang menuju

ke Negeri Mekongga, sebagai besar menuju ke arah Barat Pulau Muna. Di Setiap

tempat mereka tiba, mereka membentuk kampung dan selalu menyebut

kampungnya kampung Sawerigadi. Di Muna Barat mereka membentuk kampung

yang disebut Gadi. Orang To Muna menyebutnya “Lagadi” yang lama-kelamaan

orang terbiasa dengan sebutan Lagadi.

Rupanya di Lagadi mereka tidak terlalu lama tinggal dan kemudian

mereka kembali membentuk kampung kampung disekitar Butu. Keturunan

mereka inilah yang menjadi pembentuk Kerajaan Muna. Pada suatu saat mereka

membentuk sebuah kampung besar yang diberi nama “Wamelai” yang dikepalai

oleh mieno Wamelai. Mereka akhirnya berkembang terus dan terjadi pula

perkawinan campuran dengan orang To Muna, kemudian membentuk kampung

baru yang lebih luas dan disebut “Tongkuno”yang dikepalai oleh Kamokulano

Tongkuno.

54

Page 81: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Pada suatu saat Kamokulano Tongkuno mengadakan suatu pertemuan,

bermusyawarah pada suatu rumah yang disebut Lambubalano, kemudian

disepakati membentuk pemekaran kampung sebanyak delapan buah kampung

baru. Empat buah kampung dikepalai oleh Mieno dan empat buah kampung

lainnya dikepalai oleh kamokulano.

Kampung-kampung yang dikepalai oleh Mieno:

1. Kampung Kancitala dikepalai oleh Mieno Kancitala

2. Kampung Kaura dikepalai oleh Mieno Kaura

3. Kampung Lembo dikepalai oleh Mieno Lembo

4. Kampung Ndoke dikepalai oleh Mieno Ndoke

Kampung-kampung yang dikepali oleh Kamokula:

1. Kampung Tongkuno dikepalai oleh Kamokulano Tongkuno

2. Kampung Barangka dikepalai oleh Kamokulano Bharangka

3. Kampung Lindo dikepalai oleh Kamokulano Lindo

4. Kampung Wapepi dikelapai oleh Kamokulano Wapepi

Sebagai yang dituakan dari kedelapan kampung tersebut adalah

kamokulano Tongkuno yang bernama La Bhalano, kedelapan kampung tersebut

disebut rumpun Wamelai atau keluarga Wamelai. Sebagai pusat pemerintahan

beribukota di Lambubalano (di sebelah Utara kampung Bharang lama).

Pada zaman dahulu, memasuki Kota Muna, Sulawesi Tenggara, tidak

boleh sembarangan. Berjalan kaki saja dilarang, apalagi menunggang kuda. Ini

tak lain untuk menjaga etika dan sopan santun. Yang boleh menunggang kuda

hanya para pejabat tinggi. Kalau sudah mendekati rumah kediaman perdana

55

Page 82: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

menteri, penunggang kuda juga harus turun, lalu berjalan kaki ke tempat tujuan di

kota tersebut. Budaya dan tatakrama di Kota Muna adalah potret sepenggal

sejarah Kerajaan Muna di masa lampau, sebagaimana diungkapkan Jules

Couvreur dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna yang diterbitkan

Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, tahun 2001.

Couvreur cukup memahami sejarah dan kebudayaan Muna, salah satu

etnis yang mendiami Pulau Muna dan pulau-pulau lain di sekitarnya. Sebab, dia

adalah pegawai pemerintah kolonial Belanda yang pernah menjabat sebagai

kontroler (setingkat bupati) di Kerajaan Muna selama kurang lebih dua tahun

(1933-1935). Selama kurun waktu itu dia tekun menggali sejarah dan kebudayaan

daerah tersebut. Ketika Couvreur meninggal dunia di Den Haag, Belanda, pada

tahun 1971 dalam usia 70 tahun, naskah yang ditulisnya tahun 1935 itu masih

dalam bentuk stensilan berbahasa Belanda. Stensilan itu kemudian diterjemahkan

Dr Rene van den Berg, dosen linguistik dan peneliti bahasa Muna di Darwin,

Australia.

Kota Muna terletak sekitar 25 kilometer dari Raha, ibu kota Kabupaten

Muna, sekarang. Orang Muna sebetulnya menyebutnya Wuna, sebagaimana nama

asli suku Muna dan Pulau Muna. Namun, kata "Wuna" itu lama kelamaan

diucapkan dan ditulis menjadi "Muna" dalam laporan dan bahasa resmi. Wuna

dalam bahasa Muna berarti bunga. Disebut begitu karena tidak jauh dari Kota

Wuna itu terdapat sebuah bukit batu karang yang sewaktu-waktu tumbuh dan

menyerupai bunga.

56

Page 83: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Daratan Pulau Muna memang hampir didominasi batu karang. Bukit batu

(yang sering) berbunga itu disebut Bahutara yang diartikan sebagai bahtera. Hal

itu terkait dengan tradisi lisan yang menyebutkan bahwa di tempat itulah perahu

Sawerigading, tokoh asal Sulawesi Selatan yang melegenda, terdampar setelah

menabrak batu karang. Para pengikutnya sebanyak 40 orang dari Luwu, Sulawesi

selatan, kemudian terpencar ke berbagai tempat, sebagian membuat koloni di

Muna, dan lainnya ke Konawe di jazirah Sulawesi Tenggara.

Sejalan dengan semakin baiknya sistem pemerintahan, pada masa

kekuasaan Lakilaponto sebagai Raja Muna VII (1538- 1541) mulailah dibangun

pusat kerajaan di lokasi yang disebut Wuna tadi. Pembuatan benteng yang

mengelilingi Kota Wuna merupakan prestasi besar yang dihasilkan pemerintahan

raja tersebut.

Setelah Lakilaponto ditunjuk menjadi Raja Buton, pembangunan Kota

Wuna dilanjutkan penggantinya, La Posasu, adik Lakilaponto. Pengangkatan

Lakilaponto sebagai Raja Buton merupakan hadiah dari raja yang sedang berkuasa

atas keberhasilan Raja Muna itu mengalahkan dan membunuh bajak laut La

Bolontio, pengacau keamanan rakyat Buton.

Setelah menjadi raja dan kemudian bergelar sultan, menyusul diterimanya

Islam sebagai agama resmi kerajaan, Lakilaponto mengadakan kesepakatan

dengan adiknya, La Posasu, untuk saling membantu dan bekerja sama bila kedua

kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar.

Hubungan persaudaraan di antara kedua kerajaan terjalin hangat selama kurang

lebih 3,5 abad. Namun, dalam kerangka politik pecah belah pemerintah kolonial

57

Page 84: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Belanda bersama Sultan Buton secara sepihak membuat perjanjian yang disebut

Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918. Isi perjanjian itu menyebutkan, Belanda

hanya mengakui dua pemerintahan swapraja di Sulawesi Tenggara, yakni

Swapraja Buton dan Swapraja Laiwoi di Kendari. Sejak saat itu Kerajaan Muna

yang berdaulat dinyatakan berada di bawah kontrol Kesultanan Buton. Sebagai

subordinasi Kesultanan Buton, Muna praktis menjadi salah satu dari empat

wilayah penyangga (bharata) kerajaan Islam tersebut. Tiga bharata yang lain

adalah Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa. Berdasarkan Korte Verklaring itu pula

beberapa kerajaan kecil di sekitar Kesultanan Buton, seperti Tiworo, Kulisusu,

Kaledupa, Rumbia, dan Kabaena, ikut menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan

Buton. Dua kerajaan kecil yang terakhir merupakan wilayah nonstruktural karena

tidak menyandang predikat bharata.

Ihwal pembangunan Kota Wuna, Couvreur mengutip kepercayaan mistis

bahwa dalam pembangunan benteng kota itu oleh Lakilaponto dibantu para jin

(roh halus). Pembuatan benteng itu memang merupakan pekerjaan raksasa sebab,

seperti ditulis Couvreur, panjang keliling pagar tembok itu mencapai 8.073 meter

dengan tinggi empat meter dan tebal tiga meter. Selain melanjutkan dan

menyempurnakan pembangunan tembok pagar ibu kota kerajaan tersebut, La

Posasu sebagai pengganti La kilaponto juga mendirikan bangunan tempat

perguruan Islam, sesuai anjuran Syekh Abdul Wahid. Seperti disebutkan Batoa,

pensiunan guru sejarah, Abdul Wahid adalah penyebar agama Islam pertama di

Pulau Muna. Fasilitas publik lainnya di Kota Wuna adalah masjid. Masjid

pertama dibangun pada masa pemerintahan La Titakono sebagai Raja Muna X

58

Page 85: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

(1600- 1625). Menurut La Ode Muhammad Sirad Imbo (65), tokoh adat Muna,

masjid yang dibangun raja tersebut masih sederhana dan bersifat darurat. Masjid

agak besar baru dibangun pada era pemerintahan Raja La Ode Huseini dengan

gelar Omputo Sangia (1716- 1757). Masjid tersebut dibangun di tempat berbeda

dengan lokasi masjid pertama. Masjid di Kota Wuna itu hampir seumur dengan

Masjid Agung Keraton Buton di Bau- Bau.

Masjid Keraton Buton dibangun oleh Sultan Sakiuddin Darul Alam pada

tahun 1712 dengan konstruksi permanen, dan baru dipugar pada tahun 1930-an di

masa pemerintah Sultan Buton ke-37, Muhammad Hamidi. Adapun Masjid Kota

Wuna baru dibangun secara permanen sekitar tahun 1933 oleh La Ode Dika

sebagai Raja Muna (1930-1938). Kegiatan pembangunan (renovasi) masjid

tersebut mendapat bantuan dari Kontroler Belanda yang berkedudukan di Raha,

Jules Couvreur. "Dia menyediakan bahan, seperti semen, atap seng, dan bahan

bangunan lainnya," tutur Sirad Imbo. Karena selama memangku raja lebih banyak

memperhatikan pembangunan masjid tersebut, maka La Ode Dika diberi gelar

Komasigino (pemilik masjid). Dua dari 14 putra-putri La Ode Dika tercatat

sebagai tokoh daerah, yakni La Ode Kaimuddin, mantan Gubernur Sultra, dan La

Ode Rasyid, mantan Bupati Muna. Kerajaan Muna di masa lalu kini nyaris tak

meninggalkan bekas.

Satu-satunya peninggalan yang tampak di Kota Wuna saat ini hanyalah

bangunan masjid yang pernah dirawat La Ode Dika, Raja Muna terakhir yang

dipilih oleh Sarano Muna yang dibentuk Raja La Titakono pada abad ke-17 itu.

Bangunan masjid itu juga sudah tidak asli. Menurut Sirad Imbo, ketika Bupati

59

Page 86: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Muna dijabat Maola Daud pada tahun 1980-an, bangunan masjid tua itu dirombak

total ukuran dan bentuknya. Giliran Ridwan menjadi Bupati Muna (2000- 2005),

bangunan masjid itu dirombak lagi untuk dikembalikan ke bentuk aslinya. Bentuk

masjid di bekas ibu kota kerajaan itu sangat sederhana. Bangunannya terdiri atas

tiga susun, termasuk tempat dudukan kubah. Itulah bentuknya yang asli dari

masjid tua tersebut, ujar Sirad, yang juga salah satu putra La Ode Dika.

Peninggalan yang lain sudah tidak ada lagi, kecuali beberapa makam tua yang

menjadi kuburan raja-raja zaman dulu, antara lain makam La Ode Huseini, yang

pada masa hidupnya dikenal sangat taat menjalankan ajaran Islam. Adapun bukti

nyata La Ode Huseini menjalankan ajaran agama Islam, beliau membangun

sebuah masjid yang pertama di Kabupaten Muna, seperti pada gambar 4.1 berikut.

Gambar 4.1: Masjid Pertama Di Kabupaten MunaDokomentasi: Darwan Sari, 2011

Sisa-sisa ataupun reruntuhan benteng Kota Wuna yang konon dibangun

dengan bantuan jin itu juga sudah tidak ada lagi. Namun, Sirad mengaku bahwa

60

Page 87: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

pagar tembok itu masih tersisa sekitar 1.800 meter yang masih utuh. Hanya fisik

bangunannya memang tidak kelihatan karena dibalut rumput liar. Kota Muna

yang dulu berbudaya feodal kini tinggal kenangan. Yang ada hanyalah hamparan

semak belukar di sebuah dataran agak cekung yang diapit bukit-bukit karang. Di

sana-sini tampak rumah-rumah adat Muna dari kayu jati yang baru dibangun.

Menurut Sirad, ada rencana Pemerintah Kabupaten Muna membangun

perkampungan bagi para pemangku Sarano Muna sebagai miniatur Kota Wuna

beberapa abad silam.

4.2 Letak Geografis

Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara, berada pada ketinggian daratan yang

bervariasi antara 0 - >1000 m di atas permukaan laut. Namun, sebagian besar dari

luas daratannya berada pada ketinggian 25-100 m di atas permukaan laut, yaitu

sebesar 33, 13% dari luas daratan kabupaten Muna. Sedangkan luas daratan yang

mempunyai ketinggian >1000 m di atas permukaan laut hanya sekitar 0,02% dari

luas keseluruhan daratan Kabupaten Muna. Secara administrasi Kabupaten Muna

di sebelah Utara berbatasan dengan Selat Tiworo dan Kabupaten Kendari, sebelah

Selatan berbatasan dengan Kabupaten Buton, Sebelah Timur berbatasan dengan

Laut Banda dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Buton (Selat

Spelman).

Muna merupakan daerah kepulauan, sehingga transportasi laut sangat

dibutuhkan sebagai penghubung baik antar daerah dalam wilayah Muna maupun

dengan daerah lain di luar Muna. Prasarana pelabuhan laut yang sudah tersedia

adalah pelabuhan kapal laut yang terdiri atas Pelabuhan Raha serta dermaga-

61

Page 88: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

dermaga kecil yang ada di beberapa daerah. Dermaga yang ada antara lain:

Pelabuhan Feri Tondasi, Labuan, Maligano, Pure, Pola, dan Feri Tampo.

Jenis pelayaran yang beroperasi di wilayah Kabupaten Muna terdiri atas

pelayaran umum, pelayaran rakyat, dan penyeberangan, serta pelayaran khusus

Pertamina. Sementara itu prasarana transportasi darat yang ada di Pulau Muna

maupun Pulau Buton juga cukup memadai. Angkutan umum yang menghubungan

antar daerah biasanya berupa angkutan pedesaan yang melayani rute Raha dengan

kecamatan lain yang ada di Pulau Muna. Angkutan di dalam kota Raha berupa

taksi, ojek, sepeda motor, serta becak motor.

Aktivitas pemerintah dan kemasyarakatan di Kabupaten Muna pada awal

pembentukannya sembilan kecamatan. Sinergi antara pemerintah Daerah dan

masyarakat dalam aktivitas pembangunan telah membawa dampak perubahan

yang ditandai dengan perkembangan dan kemajuan diberbagai bidang. Dengan

memperhatikan aspirasi masyarakat yang berkembang, di samping rentang

kendali pemerintah, maka wilayah tertentu dapat ditingkatkan wilayah

admistrasinya. Seperti Barangka dan Kontunaga. Ada beberapa Desa yang

dimekarkan dan ditingkatkan statusnya menjadi beberapa kelurahan. Pada

akhirnya perkembangan yang dicapai dari segi administrasi pemerintah adalah

yang sebelumnya sembilan kecamatan menjadi dua puluh tiga kecamatan, seperti

pada tabel 4.1 berikut.

62

Page 89: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Tabel 4.1

Jumlah Kelurahan/Desa pada Tiap Kecamatan

No. Kecamatan Jumlah Desa

Jumlah Kelurahan

Ibu Kota Total

01. Tongkuno 15 4 Wakuru 1902. Parigi 8 4 Wasolangka 1203. Bone 8 0 Marobo 804. Kabawo 13 1 Lasehao 1405. Kabangka 12 0 Oensuli 1206. Tiworo Kep. 9 2 Kambara 1107. Maginti 13 0 Pajala 1308. Tiworo Tengah 13 0 Tondasi 1309. Lawa 13 2 Lambubalano 1510. Sawerigadi 10 0 Kampobalano 1011. Barangka 8 0 Barangka 812. Kusambi 12 1 Konawe 1313. Kontunaga 6 0 Liabalano 614. Watupute 6 2 Wali 815. Katobu 0 8 Raha 816. Lohia 9 0 Lohia 917. Duruka 5 2 Wapunto 718. Batalaiworu 2 2 Laiworu 419. Napabalano 12 2 Tampo 1420. Lasalepa 7 0 Bonea 721. Wakorumba Selatan 5 1 Pure 622. Pasir Putih 10 0 Pola 1023. Maligano 9 0 Maligano 9

Kabupaten Muna Raha 205 31 236Sumber BPS Kabupaten Muna, 2009

Kabupaten Muna Merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sulawesi

Tenggara yang berada di Pulau Muna dan Pulau Buton yang terdiri dari sebagian

Pulau Muna dan sebagian Pulau Buton, serta beberapa pulau kecil di sekitarnya

yang berada di posisi 40 15’LS – 40 30’ Lintang Selatan (LS) serta 1220 15’ BT –

1230 00’ Bujur Timur (BT). Luas daratan Kabupaten Muna adalah sebesar

2.963,97 km2 atau 296.397 Ha. (BPS, 2009).

Seperti umumnya di daerah lain, kabupaten Muna banyak memiliki

kecamatan dan kelurahan/desa. Dari 23 kecamatan yang ada didaerah ini, 3

63

Page 90: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

kecamatan memiliki pantai dan 20 kecamatan bebatuan. Banyaknya kecamatan di

daerah ini yang secara geografis terletak dalam satu pulau. Dalam pulau ini

terdapat satu Gua yang juga menjadi identitas masyarakat Muna, yaitu Gua

Liangkabori (batu bertulis), seperti yang terlihat pada gambar 4.2 berikut.

Gambar 4.2: Gua LiangkaboriDokumentasi: Darwan Sari, 2011

Liang Kobori yang berarti “Gua Bertulis” merupakan sebuah gua dengan

lebar 30 meter dan tinggi bervarisi antara 2 sampai dengan 5 meter serta memiliki

total kedalaman sekitar 50 meter. Gua ini menyimpan berbagai misteri kehidupan

masyarakat prasejarah suku Muna yang tergambar pada 130 situs aneka goresan

berwarna merah pada dinding gua bagian dalam. Goresan-goresan tersebut masih

tetap terjaga keasliannya, terutama bentuk dan kecermelangan warnanya yang

hingga saat ini masih merupakan sebuah misteri tentang bahan tinta yang

digunakan. Misteri peninggalan sejarah ini menanti kedatangan wisatawan yang

gemar terhadap penelitian kepurbakalaan serta penjelajahan keaslian alam.

64

Page 91: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Pada dinding goa tersebut merupakan lukisan dinding yang

menggambarkan kehidupan suku Muna pada masa itu seperti perjuangan suku

Muna dalam mempertahankan hidupnya yang digambarkan seseorang menaiki

seekor gajah, gambar matahari, gambar pohon kelapa yang menggambarkan

tingkat pertanian suku Muna, gambar binatang ternak seperti sapi, kuda dan lain-

lainnya. Walaupun relief atau gambarnya terkesan sederhana tetapi kita dapat

menangkap arti makna yang jelas yaitu keberadaan suku Muna pada saat itu.

Selain gua yang melukiskan relief terdapat pula gua yang didiami oleh burung

walet. Gua tersebut mempunyai stalaktit dan stalaknit yang sangat indah dengan

warna yang cenderung hitam mengkilap. Apabila kita menyelusuri gua kecil kita

akan menyaksikan keindahan batu yang berbentuk bulatan-bulatan berwarna

putih. Kawasan gua tersebut, sangat cocok untuk rekreasi dan berkemah, berhawa

sejuk dengan alamnya yang asli. Jarak menuju obyek ini sekitar satu jam atau

sekitar 20 Km dari kota Raha ke arah Timur.

Secara umum, seperti daerah lainnya di Propinsi Sulawesi Tenggara,

Kabupaten Muna mempunyai tipe iklim tropis dengan suhu rata-rata 25-270C. Di

daerah ini mengenal dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau yang

seringkali diselingi dengan dua masa pancaroba dalam setiap tahunnya. Dalam

tahun 2009, kondisi curah hujan di Kabupaten Muna mengalami peningkatan

dibandingkan rata-rata curah hujan tahun 2008. Sedangkan rata-rata hari hujan

mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu, informasi mengenai hari hujan

dan curah hujan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut.

65

Page 92: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Tabel 4.2Hari Hujan dan Curah Hujan Di Kabupaten Muna

No. Bulan Hari Hujan Curah Hujan Hari Hujan Curah

Hujan1. Januari 10 64 8 1902. Februari 11 161 7 3823. Maret 13 115 14 4654. April 16 371 15 3955. Mei 12 194 15 9926. Juni 18 498 11 12247. Juli 10 111 8 3248. Agustus 8 114 8 1399. September 6 81 5 3710. Oktober 7 147 5 6811. November 9 176 12 24512. Desember 13 242 14 187

Jumlah/Total 133 2.274 122 4.648Rata-rata 11 190 10 387

Sumber: BPS Kabupaten Muna Tahun, 2009

Muna yang berada didaerah lintang khatulistiwa, memiliki hutan rimba

primer tropis yang sangat cocok untuk berladang. Tebel 4.2 memberikan

gambaran bahwa wilayah ini memiliki tingkat kesuburan tanah yang tinggi karena

ditopong oleh hari hujan yang sering terjadi. Selain itu temperatur rata-rata

intesitas cahaya matahari di wilayah ini sangat kondusif bagi sistem perladangan.

Saat intesitas cahaya matahari tinggi, masyarakat tradisional yang umumnya

petani penggarap, memberikan dampak positif karena pada saat itu juga mereka

dapat menjemur hasil pertanian dan perkembunan mereka seperti, jambu mete,

kacang tanah, dan kakao. Intesitas cahaya ini memungkinkan petani mendapatkan

hasil komoditas dengan kadar air yang rendah, dengan nilai jual tinggi. Komoditas

ini menjadi andalan utama bagi masyarakat Muna selain komoditas lainnya,

seperti kelapa dan kopra.

66

Page 93: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Kondisi topografi kabupaten Muna ditandai dengan tingkat ketinggian dari

permukaan laut yang bervariasi antara 0-1000 m di atas permukaan laut, namun

sebagian besar dari daratan kabupaten Muna berada pada ketinggian 25-100 m di

atas permukaan laut, yaitu sebesar 33, 13% dari luas daratan kabupaten Muna.

Sedangkan luas daratan yang mempunyai ketinggian >1000 m di atas permukaan

laut hanya sekitar 0,02% dari luas keseluruhan daratan Kabupaten Muna.

Masalah kependudukan, terutama penyebarannya, menjadi perhatian

utama dalam pelaksanaan pembangunan. Hasil pembangunan yang dilaksanakan

diharapkan dapat memberi dampak bagi peningkatan kesejahteraan penduduk

seperti kesehatan, pendidikan, dan ketersediaan sarana bagi aktivitas baik sosial

maupun ekonomi. Untuk mewujudkan berbagai program pemerintah dalam

menata masalah kependudukan, tentunya diperlukan informasi atau data

kependudukan yang akurat dan dapat digunakan sebagai landasan untuk

menyusun perencanaan dan penentuan kebijakan diberbagai bidang

pembangunan.

Jumlah penduduk kabupaten Muna berdasarkan proyeksi penduduk yang

didasarkan pada hasil Survei Penduduk Antar Sensus (Supas 2009) adalah

berjumlah 246,004 jiwa, dan tersebar di dua puluh tiga kecamatan. Tingkat

penyebaran penduduk menurut kecamatan dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut.

Tabel 4.3Penduduk, Rumah Tangga, Penduduk per Rumah Tangga. dan Kepadatan

Penduduk Menurut Kecamatan

No. Kecamatan Luas (Km2)

Rumah Tangga

Penduduk Penduduk/Rumah Tangga

Kepadatan Penduduk

1 2 3 4 5 6 7

67

Page 94: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

01. Tongkuno 515,91 5,696 18,427 3 3602. Parigi 134.78 3,186 11,686 4 8703. Bone 142.77 2,327 8,748 4 6104. Kabawo 249.89 3,465 13,735 4 5505 Kabangka 123.14 2,931 9,964 3 8106. Tikep 93,82 2127 8,105 4 8607. Maginti 107.55 3286 11,484 3 10708. Tiworo

Tengah128.07 2367 8,088 3 63

09. Lawa 260.22 3506 12,084 3 4610. Sawerigadi 102.60 1736 6,665 4 6511. Barangka 33.09 1677 5,813 3 17612. Kusambi 143.19 3187 11,907 4 8313. Kontunaga 50,88 1953 7,083 4 13914. Watupute 96.12 3140 10.777 3 11215. Katobu 12.88 6331 25,942 4 201416. Lohia 49,81 3477 13,489 4 27117. Duruka 11.52 2690 9,705 4 84218. Batalaiworu 22.71 2307 9,069 4 39919. Napabalano 176.32 4537 16,061 4 9120. Lasalepa 107.92 2662 8,800 3 8221. Wakorsel 104.86 1160 4,456 4 4222. Pasir Putih 138.30 1921 7,603 4 5523. Maligano 157.62 1800 6,313 4 40

Muna 2,964 67,469 246,004 4 83Sumber: BPS Kabupaten Muna Tahun, 2009

Informasi distribusi penduduk akan lebih berarti jika menggunakan ukuran

demografi, antara lain kepadatan penduduk. Hal ini penting mengingat

diferensiasi jumlah penduduk antarwilayah dalam suatu daerah tidak mutlak

menggambarkan kepadatan penduduknya. Suatu daerah yang memiliki jumlah

penduduk yang besar, belum tentu wilayahnya juga luas.

4.3 Sistem Mata Pencaharian

Sebagaimana halnya mata pencaharian penduduk di kabupaten lainnya di

Indonesia yang berkisar pada bidang pertanian, pemerintahan, khususnya menjadi

pegawai negeri sipil, dan peternakan. Semua jenis pekerjaan itu kita bisa jumpai

di Kabupaten Muna, hanya saja penduduk Kabupaten Muna memiliki

68

Page 95: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

kecenderungan yang besar pada dunia pertanian. Sebagian besar penduduk

kabupaten Muna menghabiskan aktivitas kesehariannya dengan bertani. Selain

pertanian dan perkebunan, masyarakat Muna juga bermata pencaharian sebagai

pegawai negeri sipil, juga bergerak dibidang peternakan dan perikanan.

Walaupun dalam penelitian ini hanya menyebutkan empat jenis mata

pencaharian penduduk di Kabupaten Muna, tetapi bukan berarti penduduk di

Kabupaten Muna memiliki mata pencaharian lain seperti perdagangan,

pertukangan, perbengkelan dan sebagainya. Peneliti hanya menampilkan jenis

mata pencaharian yang ditekuni oleh sebagian besar penduduk di kabupaten

Muna.

4.3.1 Pertanian dan Perkebunan

Selain berprofesi sebagai petani dan menjadi Pegawai Negeri (PN) baik

pegawai negeri pada instansi pemerintahan maupun pegawai negeri pada instansi

swasta, juga banyak penduduk kabupaten Muna yang berprofesi sebagai petani.

Jenis tanaman pertanian yang dikembangkan di Kabupaten Muna terdiri dari jenis

tanaman pangan seperti; jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedelai

kacang hijau, dan padi sawah. Produksi tanaman bahan makan pada tahun 2007

sebesar 11.990 ton dan hasil ini mengalami peningkatan pada tahun 2008 menjadi

14.874 ton. Hasil ini tidak membuat para petani merasa puas sehingga mereka

berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan hasil pertaniannya. Usaha

para petani ini tidak sia-sia karena pada tahun 2009 hasil pertanian di kabupaten

Muna mengalami peningkatan yang sangat signifikan sampai mencapai angka

24.805 ton.

69

Page 96: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Dari angka tersebut, produksi bahan makanan yang paling tinggi adalah

Jagung dengan mencapai angka 10.526 ton dan menunjukkan peningkatan sekitar

23,73 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelunya yakni tahun 2007 dan

tahun 2008 yang hanya mencapai angka sebanyak 8.507 ton. Produksi jagung

sebesar 1.855 ton, ini juga mengalami peningkatan sebesar 41,93 persen dari

tahun sebelumnya yang hanya mencapai angka sebesar 1.307 ton. Produksi ubi

jalar sebesar 1.194 ton yang berarti juga mengalami peningkatan sebesar 2,58

persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 1.164 ton. Produksi

padi sawah sebesar 1.118 ton, juga mengalami peningkatan sebesar 27,63 persen

bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (BPS Kabupaten Muna Tahun 2009).

Hasil ini apabila dilihat dalam hitung-hitungan secara kuantitatif memang

menunjukkan bahwa semua jenis pertanian bahan pangan mengalami

peningkatan, dan apabila dilihat dari kacamata kualitas menunjukkan bahwa

masyarakat Muna yang berprofesi sebagai petani berhasil meningkatkan hasil

panen, mereka menghasilkan panen yang berkualitas ekspor. Ironisnya sampai

hari ini petani di kabupaten Muna belum menikmati hasil kesuksesan mereka. Hal

ini diakibatkan oleh tidak adanya perhatian pemerintah untuk menyediakan atau

mengontrol pembeli, sehingga pembeli dengan sesuka hatinya memainkan harga.

Petani menjual hasil pertaniannya dengan harga sangat rendah sementara harga

pupuk yang dibutuhkan oleh petani sangat mahal.

Selain jenis tanaman yang disebutkan di atas, ada juga jenis tanaman yang

dikembangkan oleh para petani yang ada di kabupaten Muna yaitu jenis tanaman

buah-buahan. Berbagai jenis buah-buahan ini diantaranya adalah mangga,

70

Page 97: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

rambutan, duku atau langsat, jeruk, jambu air, pepaya, pisang, salak, nangka dan

masih banyak lagi. Hasil produksi buah-buahan pada tahun 2009 sebesar 5.334

Kw atau turun sebesar 61,41 persen bila dibandingkan dengan tahun 2008. hal ini

diakibatkan oleh kondisi cuaca dan suhu udara di kabupaten Muna yang tidak

stabil.

Jenis buah-buahan yang mempunyai hasil produksi paling banyak adalah

sirsak sebanyak 1,327 Kw. Bila dibandingkan dengan tahun 2008, produksi sirsak

tersebut mengalami peningkatan sebesar 1.100 Kw, atau sekitar 485 persen.

Produksi terbanyak kedua adalah pepaya sebanyak 1.175 Kw, bila dibandingkan

dengan hasil tahun sebelumnya, produksi pepaya menurun sebesar 55,29 persen.

Produksi terbanyak ketiga adalah pisang sebanyak 551 Kw. Bila dilihat dari

keseluruhan komoditi buah-buahan, lalu dibandingkan dengan hasil produksi

tahun 2008 sebagian besar mengalami penurunan pada tahun 2009. Hanya ada

beberapa jenis komoditi buah-buahan saja yang mengalami peningkatan bila

dibandingkan dengan hasil produksi tahun 2008 diantaranya sirsak, dan nenas.

Ada juga jenis tanaman sayur-sayuran yang dijadikan komoditi yaitu

Kacang Panjang, Cabe Besar, Cabe Rawit, Tomat, Terung, Ketimun, Labu,

Kangkung, Bayam dan Sawi. Produksi tanaman sayur-sayuran pada tahun 2009

tercatat sebanyak 29.785 Kw atau mengalami kenaikan sebesar 29,25 persen bila

dibandingkan dengan tahun 2008. Jenis sayuran yang produksinya lebih tinggi

adalah sawi mencapai 7.713 Kw, sedangkan produksi terendah tanaman sayur-

sayuran adalah ketimun sebesar 200 Kw. Jika dibandingkan dengan tahun 2008,

produksi sayuran yang mengalami peningkatan sangat tajam di tahun 2009 adalah

71

Page 98: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

bayam, meningkat sebesar 162, 84 persen, disusul dengan Kangkung, Cabe Rawit

dan Tomat.

Bukan saja jenis tanaman pangan seperti, buah-buahan dan sayur-sayuran

yang dikembangkan oleh penduduk kabupaten Muna yang berprofesi sebagai

petani, tetapi mereka juga mengembangkan jenis tanaman perkebunan rakyat

seperti Kelapa, Kopi, Kapuk, Lada, Cengkeh, Jambu Mete, Kemiri, Coklat, Enau,

Kelapa Hibrida, Asam Jawa, Pinang dan Jahe. Jenis tanaman perkebunan rakyat

yang sedang dikembangkan karena produksinya sangat potensial untuk ekspor ada

delapan jenis yaitu kelapa, lada, kopi, cengkeh, jambu mete, kemiri, coklat, dan

kelapa hibrida.

Hasil perkebunan rakyat pada tahun 2009 menunjukkan bahwa jenis

tanaman perkebunan rakyat yang dikembangkan di kabupaten Muna sebagian

besar mengalami penurunan hasil produksi bila dibandingkan dengan tahun 2008.

sedangkan jenis tanaman perkebunan rakyat yang hasil produksinya meningkat

hanya lima jenis, tiga jenis diantaranya mengalami jumlah produksi yang sangat

besar adalah pinang, lada dan kelapa hibrida masing-masing meningkat 390,91

persen, 269,91 persen dan 101, 94 persen.

Data di atas menunjukkan bahwa tidak semua komoditi pertanian yang

dikembangkan di kabupaten Muna dapat dikembangkan secara baik dan maksimal

untuk memperoleh hasil yang maksimal pula. Baik itu dari komoditi tanaman

pangan maupun dari komoditi tanaman perkebunan rakyat. Pada tanaman pangan

terdapat beberapa jenis yang hasil produksinya mengalami peningkatan pada

setiap tahun seperti ubi kayu, jagung, ubi jalar dan padi sawah. Masih dalam jenis

72

Page 99: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

tanaman pangan dari jenis buah-buahan, jenis buah-buahan yang mengalami

peningkatan pada setiap tahun seperti sirsak, nenas sedangkan dari jenis sayur-

sayuran yang mangalami peningkatan hasil produksi pada setiap tahunnya adalah

bayam, kangkung, cabe rawit dan tomat. Sementara dari jenis tanaman

perkebunan rakyat yang hasil produksinya mengalami peningkatan pada setiap

tahun bahkan sampai masuk pada level ekspor adalah pinang, lada dan kelapa

hibrida.

4.3.2 Pegawai Negeri Sipil

Selain Petani penduduk Kabupaten Muna juga ada yang berprofesi sebagai

Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jumlah penduduk Kabupaten Muna yang berprofesi

sebagai PNS berjumlah 25. 688 jiwa yang tersebar di seluruh instansi pemerintah

maupun instansi swasta yang ada di kabupeten Muna. Akan tetapi, peneliti tidak

dapat merinci berapa banyak jiwa yang mengisi lapangan pekerjaan pada instansi

pemerintah maupun pada instansi swasta. Bukan saja itu, peneliti juga tidak dapat

merinci secara jelas jumlah angkatan kerja perempuan atau laki-laki yang mengisi

atau yang bekerja pada instansi swasta maupun instansi pemerintahan, begitu juga

sebaliknya. Hal itu diakibatkan karena tidak adanya data yang membagi atau

membedakan hal tersebut.

Dari jumlah keseluruhan di atas, peneliti hanya dapat mengidentifikasi

mengenai berapa jumlah perempuan secara keseluruhan yang mengisi lapangan

pekerjaan baik itu pada instansi swasta maupun pada instansi pemerintah

sebanyak 10. 460 jiwa, sedangkan laki-laki berjumlah 15.225 jiwa. Akan tetapi,

untuk pembagian dari jumlah 10.460 jiwa tersebut lagi-lagi peneliti tidak bisa

73

Page 100: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

mengidentifikasi berapa orang perempuan dari jumlah tersebut yang mengisi atau

yang bekerja pada instansi pemerintah maupun instansi swasta, demikian pula

sebaliknya.

4.3.3 Peternakan

Di kabupaten Muna, terdapat usaha peternakan sapi, kerbau, kuda,

kambing, babi, itik, ayam ras, ayam ras petelur, dan ayam potong. Populasi ternak

di kabupaten Muna secara keseluruhan mengalami peningkatan dibanding tahun

2008. Populasi ternak terbesar di kabupaten Muna adalah populasi ayam buras.

Banyaknya ternak yang dipotong di kabupaten Muna adalah 1.417.791

ekor. Ternak yang paling banyak dipotong adalah ayam buras yaitu sebanyak

1.408.518 ekor. Sedangkan ternak yang paling sedikit dipotong adalah kerbau,

dan yang tidak pernah terjadi pemotongan yaitu ternak ayam ras

4.3.4 Perikanan

Secara umum, mata pencaharian penduduk Kabupaten Kepulauan Muna

didominasi oleh sektor pertanian. Hal ini dikarenakan, sektor pertanian (tanaman

pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan) masih memberikan

kontribusi yang terbesar bagi PDRB Kabupaten Muna, dengan kontribusi rata-rata

33%. Selanjutnya sektor jasa 22%, diikuti oleh perdagangan, hotel dan restoran

yang memberikan kontribusi sebesar 15%, kemudian diikuti oleh sektor industri

pengolahan, serta bangunan dan konstruksi.

Sementara itu, khusus untuk perikanan, berdasarkan data dari Dinas

Perikanan Kabupaten Muna, sebagian besar rumah tangga nelayan masih

berpendapatan kurang dari Rp. 1.000.000 per bulan. Pendapatan rumah tangga

74

Page 101: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

nelayan paling rendah lebih kurang sebesar Rp. 2.111.000 per tahun atau hanya

Rp. 350.000 per bulan. Armada penangkapan ikan yang ada di kabupaten Muna

didominasi oleh perahu tanpa motor sebanyak 2.617 unit (48,12%), yang terdiri

atas jukung diikuti oleh perahu motor tempel sebanyak 874 unit (27,7%). Kapal

motor hanya sejumlah 123 unit atau 4,17% dari armada penangkapan ikan yang

ada. Jenis alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan Kabupaten Muna

adalah pancing (rawai tetap, pancing tonda, dan pancing lainnya), gillnet (jaring

insang hanyut dan tetap), bagan perahu dan bagan tancap, bubu, pukat cincin,

pukat udang, pukat pantai, serta payang. Khusus Kecamatan Tiworo Kepulauan,

alat tangkap yang dominan adalah pancing, rawai tetap, jaring insang tetap, bubu,

bagan perahu dan bagan tancap.

Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Muna, potensi

perikanan diperkirakan sebesar 40.000 ton per tahun. Potensi tersebut terdiri dari:

ikan demersal (ikan kerapu, kakap, bambangan, lencam, kurisi dan pari), ikan

pelagis (kembung, kue, selar, layar, tongkol, cakalang, tuna, bawal putih, belanak,

tenggiri dan teri), serta terdapat beberapa jenis udang, kepiting bakau, rajungan,

lobster, teripang, cumi-cumi, rumput laut, kerang mutiara, lola, japing-japing dan

abalone. Selain perikanan laut, kabupaten ini juga memiliki potensi lahan

budidaya laut sekitar 79.258 ha dan lahan budidaya tambak seluas lebih kurang

20.000 ha. Tambak yang sudah diolah baru mencapai sekitar 500 ha.

4.4 Sistem Kekerabatan

Masyarakat Muna, sama halnya dengan masyarakat lain yang ada di

Indonesia, juga mengenal sistem kekerabatan yaitu sistem hubungan sosial yang

75

Page 102: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

timbul dari keturunan dan perkawinan. Dalam menjalankan fungsinya, sistem

kekerabatan ini terlihat pada lembaga kecil, yaitu keluarga. Keluarga terdiri atas

keluarga inti dan keluarga besar. Keluarga inti terdiri atas ayah, ibu, anak yang

belum nikah, dan anak angkat. Keluarga inti dapat ditandai oleh tempat tinggal

yang sama, sahnya hubungan suami istri yang tujuannya untuk mendapatkan

keturunan, adanya kerjasama ekonomi, dan berkewajiban untuk mendidik anggota

keluarganya. Sedangkan keluarga besar terdiri dari beberapa keluarga inti. Untuk

kepentingan bersama, mereka menggambungkan diri dengan dasar atau anggapan

masih dalam satu leluhur atau keturunan.

Menurut Koetjaraningrat, keluarga inti dibagi dalam tiga kelompok yang

semua didasarkan pada adat setempat sesudah nikah, yaitu: (1) utralokal, yang

terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga inti senior dengan

keluarga-keluarga inti dan anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan; (2)

virilokal, terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga inti dari anak laki-laki;

dan (3) uxorilokal, terdiri dari keluarga inti senior dengan kelurga-keluarga inti

dari anak perempuan. Ikatan kekeluargaan berdasarkan adat utrolokal banyak

dijumpai pada masyarakat Muna yang tinggal bersama dalam satu rumah besar

ataupun masih dalam satu lingkungan tempat tinggal dengan beberapa keluarga

inti.

Masyarakat Muna mengenal sistem kekerabatan patrilinear, yaitu

menghitung kekerabatan mengikuti pihak ayah karena umumnya nama anak

digabungkan dengan nama turunan bapaknya, baik bapaknya sendiri ataupun

kakek dari pihak ayah. Berdasarkan sistem kekerabatan ini, dalam pelaksanaan

76

Page 103: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

suatu hajatan atau acara perkawinan misalnya, yang menjadi suatu penentu adalah

pihak keluarga ayah. Jika ayah sudah tiada, perannya digantikan oleh kakak atau

adik laki-laki dari pihak ayah. Bahkan, jika seorang anak perempuan yang telah

menikah akan dijemput oleh pihak laki-laki seminggu setelah pelaksanaan

perkawinan (Djalaluddin, dkk, 2007: 60-61). Selama suami mereka yang baru

menikah tersebut belum memiliki rumah atau tempat tinggal sendiri, mereka harus

menetap dirumah orang tua suami. Pola ini dikenal dengan pola menetap

Patrilokal (Narwoko dan Surynto, 2006: 233; Subyakto, 2007: 177).

Dalam beberapa kasus tertentu, pola patrilokal tidak berlaku, suami

biasanya ikut istri, menetap di rumah orang tua pihak perempuan. Hal ini

disebabkan adanya pengecualian bagi orang-orang dipihak laki-laki yang masih

menumpang dirumah orang lain terutama bagi pendatang yang memang

jumlahnya banyak. Para pendatang ini, biasanya yang di luar kabupateman Muna.

Masyarakat Muna, dalam menjalin sistem kekerabatan, dapat dilakukan

melalui perkawinan. Menurut La Gii Masyarakat yang mendiami wilayah ini

mengenal beberapa sistem perkawinan, antara lain:

1. Kawin minta atau doangka tewise. Sistem perkawinan lazim

dilangsungkan pada hampir seluruh masyarakat Indonesia, tidak terkecuali

masyarakat Muna. Perkawinan ini terjadi apabila laki-laki dan perempuan

telah terjalin hubungan percintaan dan ingin mengikat diri dari dalam satu

ikatan perkawinan. Inisiatif melamar datang dari pihak kerabat laki-laki

dengan cara mengutus satu delegasi ke rumah orang tua perempuan.

Kunjungan lamaran ini disebut masuk minta. Yang melamar biasanya

77

Page 104: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

saudara dari pihak ayah si laki-laki atau kerabat dekat. Apabila lamaran

sudah diterima, maka pada saat itu akan ditentukan mas kawin (ajhati),

biaya perkawinan, dan hari perkawinan.

2. Kawin lari atau pofeleigho. Proses perkawinan ini dipandang kurang baik

dan tidak diinginkan oleh pihak keluarga si perempuan. Namun, ada

beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kawin lari, antara lain keluarga

dari salah satu pihak tidak setuju dan beban perkawinan yang ditentukan

oleh keluarga si perempuan terlalu berat sehingga pihak laki-laki tidak

dapat menyanggupinya. Dengan kejadian ini, pihak keluarga perempuan

berusaha untuk mengembalikan anak gadisnya. Jika terdapat tanda-tanda

keluarga perempuan mau menerima mereka kembali, maka keluarga laki-

laki mengirim utusan untuk mendamaikan persoalan ini. Jika tidak

diperoleh jalan keluar, maka tetap akan dilangsungkan perkawinan tanpa

kehadiran keluarga dari pihak perempuan.

3. Kawin jodoh adalah proses perkawinan yang telah disepakati oleh dua

keluarga sejak anak-anak mereka masih kecil. Antara kedua belah pihak

telah sepakat untuk mengawinkan anak lak-laki dan perempuan mereka

setelah menginjak usia dewasa. Perkawinan ini dimaksudkan untuk

mempererat tali persaudaraan.

4. Kawin tangkap yaitu proses perkawinan ini cukup unik, apabila diketahui

atau diketemukan seorang pemuda dan seorang gadis berbicara ditempat

gelap atau ditempat yang tidak wajar, maka kedua orang tua mereka segera

78

Page 105: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

mengawinkannya. Perkawinan ini bertujuan untuk menghindari perbuatan

maksiat yang dapat mencemarkan nama baik keluarga.

Masyarakat kabupaten Muna terdiri dari berbagai suku sehingga setiap

suku memiliki kebiasaan dan tradisi masing-masing termasuk kebiasaan

menentukan garis keturunan. Akan tetapi, secara umum masyarakat di lokasi

penelitian ini mengikuti garis keturunan ayah atau patrilineal. Sehingga anak laki-

laki yang sudah menikah akan membawa istrinya untuk tinggal di kediaman orang

tua suaminya (keluarga luas virilokal). Selain itu untuk mengetahui bahwa

masyarakat di lokasi penelitian mengikuti garis keturunan patrilineal, dapat dilihat

dari setiap pemberian nama terhadap anak yang baru lahir selalu yang

dicantumkan adalah nama ayah atau marga ayahnya bukan nama ibu atau marga

ibunya.

Perkawinan yang ideal dalam masyarakat di lokasi penelitian ini adalah

perkawinan di mana seorang anak laki-laki menikah dengan seorang anak

perempuan dari luar marganya, bukan dari marga ayah atau ibunya (eksogami

marga). Masyarakat di lokasi penelitian ini secara umum jarang terjadi pernikahan

melalui proses perjodohan yang dilakukan oleh orang tua. Selain itu syarat yang

terpenting dalam perkawinan adalah istri atau calon istri harus bisa bergaul

dengan baik kepada semua kerabat suami.

Penghitungan garis keturunan yang mengikuti garis keturunan ayah ini

berlaku dalam setiap ranah kehidupan pada masyarakat di lokasi penelitian,

termasuk dalam hal pembagian harta waris dan penentuan tempat tinggal menetap

setelah menikah. Pembagian harta waris pada masyarakat di lokasi penelitian ini,

79

Page 106: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

anak laki-laki mendapat bagian lebih banyak daripada anak perempuan, dengan

pertimbangan bahwa anak laki-laki setelah menikah nanti memiliki beban

tanggung jawab yang berat yaitu menafkahi istri dan anak-anaknya. Sedangkan

anak perempuan mendapat warisan lebih sedikit dari anak laki-laki karena dengan

pertimbangan bahwa setelah menikah nanti anak perempuan akan mendapat harta

atau dinafkahi oleh suaminya.

Pembagian harta waris ini ditentukan oleh orang tua dalam hal ini ayah.

Apabila orang tua laki-laki meninggal sebelum harta warisan dibagikan kepada

anak-anaknya, maka yang berhak membagikan harta warisan tersebut adalah

saudara laki-laki suami, bukan istri yang masih hidup. Istri hanya sekedar

mengetahui tetapi tidak berhak untuk menentukan berapa bagian yang harus

diperoleh anak laki-laki atau anak perempuan. Harta waris seperti rumah, selalu

menjadi milik anak bungsu laki-laki meskipun anak laki-laki tersebut masih

memiliki adik perempuan.

Keistimewaan anak laki-laki juga berlaku dalan penentuan tempat tinggal

menetap setelah menikah. Masyarakat Muna khusunya di lokasi penelitian ini adat

tinggal menetap setelah menikah itu ditentukan oleh suami. Anak perempuan

yang sudah menikah secara otomatis harus keluar dari rumah orang tuanya dan

mengikuti suaminya (virilokal), tinggal bersama dengan orang tua suami atau

mertua. Anak laki-laki yang sudah menikah bisa tinggal di rumah orang tuanya

sampai si anak memiliki rumah sendiri. Sehubungan dengan adat menetap secara

virilokal, dalam masyarakat setempat dengan sendirinya di tempat tersebut akan

80

Page 107: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

mengelompok menjadi keluarga yang terikat oleh suatu hubungan yang

diperhitungkan melalui garis keturunan laki-laki atau patrilineal.

Selain adat menetap secara virilokal dalam masyarakat di lokasi penelitian

ini juga terdapat adat menetap secara bilokal yaitu adat yang menentukan bahwa

pengantin baru tinggal berganti-ganti pada satu masa tertentu sekitar pusat

kediaman kerabat suami dan pada masa tertentu sekitar pusat kediaman kerabat

istri. Hal ini terjadi apabila pengantin perempuan tidak mempunyai saudara laki-

laki atau apabila pengantin laki-laki mendapatkan pekerjaan di sekitar kediaman

perempuan. Dewasa ini, sehubungan dengan lokasi yang tidak memungkinkan

untuk mendirikan rumah di samping kediaman orang tua pihak laki-laki maka

suami istri cenderung menetap secara neolokal yaitu tinggal di kediaman yang

baru. Selain itu, adanya neolokal ini juga dipengaruhi oleh faktor pekerjaan.

Biasanya pekerjaan suamilah yang mengakibatkan suami istri tinggal di tempat

baru. Gejala ini mulai terlihat di daerah yang padat penduduk, manakala lokasi

untuk membangun rumah mulai sempit, tetapi kondisi ini masih sangat langkah

terjadi di lokasi penelitian, kebanyakan suami istri tinggal dirumahnya kerabat

suami.

Menurut pemahaman masyarakat di lokasi penelitian ini bahwa anak

perempuan yang sudah menikah bukan lagi tanggung jawab orang tua dalam hal

memberikan nafkah tetapi sudah menjadi tanggung jawab suami. Anak

perempuan yang tetap tinggal bersama dengan orang tuanya walaupun sudah

menikah bisa saja terjadi tetapi itu harus keinginan orang tuanya. Biasanya hal ini

diakibatkan karena orang tua tersebut hanya memiliki satu orang anak.

81

Page 108: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

4.5 Sistem Religi dan Kepercayaan

Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, memiliki penduduk yang

beragam. Keberagaman itu bukan hanya pada suku, etnis, daerah asal tetapi juga

agama dan kepercayaan. Kabupaten Muna juga memiliki penduduk yang beragam

mulai dari suku, etnis, daerah asal sampai pada keberagaman agama dan

kepercayaan. Kabupaten Muna memiliki keberagaman suku atau etnis yang terdiri

dari etnis Muna sebagai penduduk yang mayoritas atau penduduk pribumi,

meskipun masih banyak etnis-etnis yang lain sebagai etnis pendatang seperti etnis

Buton, etnis Bugis-Makasar, etnis Jawa, etnis Bali, dan etnis Tionghoa.

Keberagaman etnis tersebut di barengi dengan keberagaman agama dan

kepercayaan. Di Kabupaten Muna terdapat lima agama yang teridentifikasi oleh

pemerintah diantaranya, agama Islam sebagai agama yang mayoritas dianut oleh

masyarakat Muna, dengan jumlah pengikutnya sebanyak 227.655 orang, agama

Kristen Katolik yang penganutnya berjumlah 4.734 orang, pemeluk agama

Kristen Protestan berjumlah 15.823 orang, pemeluk agama Hindu berjumlah

2.421 orang dan pemeluk agama Budha berjumlah 844 orang.

Setiap agama yang ada di kabupatn Muna tidak saja ada secara tertulis di

Departemen Agama dan Banda Pusat Statistik (BPS) kabupaten Muna, tetapi kita

bisa melihat keberagaman agama itu dari hal-hal yang nampak di permukaan

masyarakat seperti simbol-simbol keagamaan. Simbol yang paling nyata dan kita

bisa lihat adalah tempat-tempat ibadah setiap agama yang ada di kabupaten Muna.

Jumlah tempat ibadah setiap agama sangat bervariasi tergantung banyak

82

Page 109: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

sedikitnya jumlah penganut dan kemampuan serta keinginan penganut agama

tersebut untuk membangun tempat ibadahnya.

Islam merupakan agama yang mayoritas penganutnya memiliki tempat

ibadah sebanyak 284 buah Masjid dan memiliki Mushola sebanyak 54 buah.

Gereja Kristen Katolik sebanyak 19 buah, Gereja Kristen Protestan sebanyak 9

buah, Pura sebanyak 3 buah dan Vihara sebanyak 2 buah. Sehingga total semua

tempat ibadah agama yang ada di kabupaten Muna berjumlah 371 buah dan

tersebar di seluruh kabupaten Muna dengan rincian seperti di atas.

Bagi masyarakat Muna yang beragama Islam masjid berfungsi sebagai

tempat melakukan ibadah sembahyang lima waktu, selamatan, tahlilan, dan

tempat mengaji. Keyakinan dalam beragama Islam dikalangan masyarakat Muna

pada hakekatnya telah ditanamkan sejak masa kanak-kanak. Kewajiban belajar

mengaji bagi anak-anak yang beragama Islam di lakukan pada malam hari atau

pada pagi hari setelah selesai melaksanakan sholat Subuh, hal ini di sebabkan

karena pada siang hari anak-anak pergi ke sekolah.

Walaupun masyarakat Muna mayoritas yang beragama Islam, akan tetapi

Islam yang dianut dan di kembangkan oleh sebagian penganut agama Islam di

Muna tampaknya Islam sinkritis. Indikasinya adalah sering dijumpainya

keyakinan lain yang bukan berasal dari agama Islam dalam kehidupan sehari-hari

dalam masyarakat Muna. Misalnya mereka yakin dan mempercayai adanya

berbagai makhluk halus yang mendiami tempat-tempat tertentu, seperti batu

besar, gua dan pohon-pohon besar. Berbagai makhluk halus itu dianggap sebagai

pemilik atau penjaga tempat tersebut. Pendek kata masyarakat yang menganut

83

Page 110: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

agama Islam di Kabupaten Muna juga masih yakin dan mempercayai kepercayaan

animisme dan dinamisme.

Sebagian masyarakat Muna yang beragama Islam masih yakin akan

adanya roh leluhur dan hubungan dengan roh-roh semacam ini tetap dipelihara

kesinambungannya dalam kehidupan sehari-hari. Terperliharanya kesinambungan

itu dimanifestasikan dalam perilaku masyarakat yang disebut dhe bhasa, yakni

mengirim do’a dengan disertai makanan dan minuman sekedarnya yang ditujukan

kepada arwah-arwah para leluhur. Hal itu biasanya dilakukan pada setiap malam

Jum’at atau pada hari-hari tertentu yang dianggap baik menurut mereka. Selain itu

ada upacara dan ritus adat yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu, misalnya

dalam peristiwa yang berhubungan dengan siklus hidup individu seperti

kehamilan, kelahiran, perkawinan dan kematian. Biasanya dhe bhasa itu

dilakukan sebelum acara puncak dilaksanakan, misalnya dalam pesta pernikahan,

sebelum memasuki acara ijab qobul terlebih dahulu melakukan ritual dhe bhasa

yang dilakukan satu malam sebelum acara puncak dilaksanakan.

4.6 Bahasa dan Kesenian Tradisional

Masyarakat Muna mengenal dua bahasa, bahasa Ibu dan bahasa Indonesia.

Bahasa Ibu dalam hal ini bahasa Muna sangat dikuasai dengan baik hampir

seluruh masyarakat Muna. Hal ini sangat sama dengan wilayah-wilayah lain di

tanah air, di mana sangat mengenal bahasa ibu dan dapat berkomunikasi dengan

bahasa ibu mereka. Selain itu, bagi penduduk yang berasa dari luar Muna, tidak

menemukan kendala dalam berinteraksi dengan penduduk setempat. Mereka

mampu berinteraksi menggunakan bahasa Indonesia walaupun sebagian

84

Page 111: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

masyarakat tidak terlalu vasih menggunakan bahasa tersebut, tetapi mereka bisa

untuk mengerti apa maksud yang diungkapkannya.

Kabupaten Muna tidak hanya di huni oleh penduduk asli tetapi juga di

huni pendatang, sehingga dalam berkomunikasi sehari-hari mereka menggunakan

bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan pendatang. Banyaknya suku

bangsa atau etnis yang bertempat tinggal di kabupaten Muna dengan sendirinya

membuat kabupaten Muna juga kaya akan bahasa. Semua suku bangsa yang

berasal dari daerah lain yang bertempat tinggal di kabupaten Muna secara

otomatis juga membawa persebaran bahasa daerah suku bangsa tersebut. Misalnya

orang Bali dan Jawa mengikuti kegiatan transmigrasi yang diadakan oleh

pemerintah ke kabupaten Muna secara otomatis bahasa mereka juga ikut

bertransmigrasi.

Menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari bukan berarti

bahasa daerah masing-masing tidak bisa digunakan untuk berkomunikasi. Semua

bahasa daerah bisa digunakan untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari

di masyarakat kabupaten Muna tetapi hanya sesama suku, etnis yang

menggunakan bahasa daerah tersebut. Misalnya bahasa Bali hanya bisa digunakan

berkomukasi dengan sesama orang Bali, hal ini diakibatkan oleh masyarakat

pengguna bahasa tersebut hanya terbatas pada orang Bali saja, begitu juga bahasa

daerah yang lain. Bahasa Muna, sekarang ini sudah mulai dijadikan sebagai bahan

mata pelajaran di sekolah, mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah

Menengah Pertama (SMP) sebagai mata salah satu mata pelajaran muatan lokal.

85

Page 112: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Bahasa Muna menjadi lingua-france bagi masyarakat Muna dalam

berbagai aktivitas kebudayaan. Kesenian tradisional umumnya ditampilkan

dengan menggunakan bahasa Muna. Berbagai bentuk kesenian tradisional tetap

dipertahankan keberadaannya hingga saat ini. Namun, tidak sedikit pula yang

telah punah, hanya tinggal nama. Tinggal sedikit tradisi listra lisan yang masih

hidup dalam masyarakat, walaupun jumlah penuturnya tinggal beberapa orang

saja dan tersebar di beberapa wilayah kabupaten Muna.

Kesenian rakyat merupakan satu khazanah kaya-raya yang di dalamnya

tersimpan rekaman-rekaman realitas kehidupan etnik Muna pada masa lampau.

Bagi masyarakat etnik Muna, memiliki kesenian tradisonal antara lain, kantola,

modero dan gambusu dapat menjadi sarana untuk membangun kebersamaan,

kekompakan, dan menguatkan persatuan. Tradisi lisan yang berwujud kabhanti,

kantola, modero, dan gambusu ini bermuatan pesan-pesan moral. Pesan-pesan

dalam seni kabhanti, kantola, modero, dan gambusu berdampak pada orang yang

mendengarnya. Orang yang mendengarnya akan tercerahi (terajari) ke arah

pembentukan diri individu, diri sosial, dan diri religius yang arif dan bijaksana.

Khusus untuk tradisi lisan kantola akan dibahas lebih lanjut pada bab-bab

berikutnya.

4.7 Keberadaan Tradisi Lisan

Sastra lisan menurut Dundes (Endaraswara, 2009:235) merupakan part of

more inclisive term of folklore. Sastra lisan memiliki tradisi turun-temurun yang

mencakup antara lain; teka-teki (riddles), pribahasa (proverbs), kutukan (curses),

mantra guna-guna (charms), dan lain-lain. Genre ini memberikan gambaran

86

Page 113: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

bahwa sebenarnya cakupan sastra lisan itu sangat luas dan memiliki ekspresi

estetis yang merupakan bagian dari komunikasi. Sastra lisan tidak dapat

dipisahkan dari budaya dan tradisi masyarakat. Pemahaman sastra lisan

memerlukan penguasaan kode bahasa, budaya, religi, dan segala aspek kehidupan

sosial masyarakat.

Sastra lisan pada masyarakat Muna, seperti umumnya yang terdapat

disejumlah daerah di Nusantara, bersifat tradisional dan tanpa diketahui siapa

yang penciptanya (anonim). Sastra lisan pada awalnya hanya merupakan

ungkapan-ungkapan yang sering diucapakan dalam situasi yang dianggap

memiliki makna tertentu. Menurut informan, jumlah karya sastra yang bersifat

lisan saat ini sudah tidak dapat diidentifikasi semua, hanya beberapa saja jenis

sastra lisan yang dapat bertahan hingga sekarang, di antaranya kantola, modero,

gambusu. Hampir keseluruhan sastra lisan ini mengikuti pola pantun pada

umumnya, yaitu berupa sampiran dan isi.

Sastra lisan tersebut di atas masih dapat disaksikan dan hidup di tengah-

tengah masyarakat hingga sekarang, namun tidak demikian halnya dengan sastra

tulis. Lembaga kebudayaan Daerah Muna, berusaha melakukan penelusuran sastra

tulis. Setelah beberapa kali melakukan penelitian, daerah ini tidak memilki sastra

tulis dalam pengertian sastra sebagai salah satu cabang kesenian, yang memilki

nilai estetika (aesthetical satisfaction).

Kleden (2004:8) menetapkan batas-batas antara karya sastra dengan jenis-

jenis tulisan lainnya. Jenis-jenis tulisan tidak dapat dikategorikan sebagai karya

sastra konsep-konsepnya disusun dengan cara menyingkirkan sebanyak mungkin

87

Page 114: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

konotasi dan ambivalensi sehingga tercapai suatu denotasi yang dapat ditetapkan

isi dan batas-batasnya. Sedangkan dalam karya sastra, konotasi dimungkinkan,

dan ambivalensi justru diaktifkan untuk menghidupkan watak simbolik sastra.

Watak simbolik sastra itu sendiri menggunakan berbagai teknik simbolisasi,

seperti metafora, aligeria, atau cara-cara lainnya. Karya sastra, dengan berbagai

teknik simbolisasinya, mampu menyajikan nilai estetika.

Secara historis, sastra lisan sudah berkembang sejak ratusan tahun lalu

sebagai salah satu bentuk komunikasi antar masyarakat yang mendiami wilayah

Pulau Muna. Untuk mengetahui kapan terciptanya tradisi lisan sangat sulit untuk

ditentukan. Dari berbagai wawancara dengan beberapa informan dapat

disimpulkan bahwa sastra lisan yang ada saat ini tidak diketahui pasti kapan

mulanya tercipta.

88

Page 115: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

BAB V

BENTUK REVITALISASI TRADISI LISAN KANTOLA

Setiap masyarakat mempunyai seperangkat tradisi lisan yang harus digali

dari pengalaman hidup mereka pada masa lalu. Tradisi lisan merupakan produk

budaya masa lalu yang berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat,

hukum adat, dan aturan-aturan khusus, yang kesemuanya itu dianggap baik

sehingga patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Tradisi lisan

merupakan semua kecerdasan tradisional yang ditranformasikan ke dalam cipta,

karya dan karsa, sehingga masyarakat dapat mengatasi berbagai persoalan hidup

dalam berbagai iklim sosial yang terus berubah-ubah.

Maka untuk itu diperlukan kesungguhan dan kerja secara sistematis dan

periodik yang sangat kuat, serta diakrabkan kembali pada masyarakat

pendukungnya dalam mempertahankan eksistensi warisan budaya lokal yang

merupakan penunjang kebudayaan nasional. Untuk itu, langkah penting harus

segera dilakukan pemerintah dan lembaga non-pemerintah serta masyarakat

pendukung untuk terus proaktif dalam upaya penyelamatan dan peningkatan

apresiasi masyarakat terhadap warisan budaya. Sebagai warisan budaya, tradisi

lisan kantola, terus diupayakan pelestariannya, seperti tampak pada pertunjukan

tradisional secara periodik, pengintegrasian kantola dalam berbagai bentuk

pantun, aktualisasi kantola dalam masyarakat, dan kebijakan pemerintah yang

berkaitan dengan pelestarian tradisi lisan kantola.

Demikian pula halnya dengan masyarakat Muna, sebagai masyarakat yang

bisa dikategorikan sebagai masyarakat berbudaya. Masyarakat Muna memiliki

89

Page 116: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

tradisi lisan yang telah menjadi sebuah sistem dalam tatanan kehidupan sosial,

politik, budaya, ekonomi, hukum serta lingkungan di tengah-tengah kehidupan

mereka. Tradisi lisan pada masyarakat Muna bersifat dinamis berkelanjutan dan

dapat diterima oleh komunitasnya, serta memiliki ranah dan dimensi yang sangat

luas mulai dari sifatnya yang sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan

teknis. Masyarakat Muna, menciptakan dan mengembangkan tradisi lisan yang di

dalamnya tercakup berbagai mekanisme dan cara untuk bersikap, berperilaku dan

bertindak, baik dalam hubungan mereka dengan sesama manusia, dengan alam

maupun dengan kuasa.

Tradisi lisan dalam masyarakat Muna dikemas berdasarkan pengalaman

dalam berinteraksi dengan alam di sekitar mereka, dengan sesama orang Muna,

dan dengan Kakawasa Ompu (Tuhan Yang Maha Esa). Pengalaman dan

pengetahuan empirik yang diperoleh terus diwariskan dan dikembangkan serta

dipertahankan melalui proses pembelajaran dari generasi ke generasi, di mana

bahan ajar dalam proses pembelajaran tersebut tidak tertulis, tetapi tersimpan

disetiap kepala masyarakat Muna, terutama para tetua adat dan tokoh-tokoh

masyarakat Muna. Koentjaraningrat (1992: 79) menyebut proses pembelajaran

seperti ini sebagai pembudayaan atau biasa pula dikenal dengan istilah

institusionalisasi yaitu proses belajar yang dilalui oleh setiap orang selama

hidupnya untuk menyesuaikan diri di alam pikirannya serta sikapnya terhadap

adat, sistem norma dan semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan dan

masyarakatnya.

90

Page 117: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Sebagai produk budaya masa lampau tradisi lisan yang memiliki dimensi

yang sangat luas (Ife, 2002: 301), maka kajian tradisi lisan masyarakat Muna

sebagai grand issu kajian ini, lebih difokuskan pada upaya pengidentifikasian

perangkat-perangkat tradisi lisan masyarakat Muna yang kiranya dapat

direvitalisasi sebagai model tradisi lisan, khususnya tradisi lisan masyarakat Muna

berbasis budaya tradisonal. Hasil eksplorasi dan upaya revitalisasi tersebut akan

diberikan pada bagian-bagian berikut ini.

5.1 Pertunjukan Tradisi Lisan Kantola secara Periodik

Akhir-akhir ini krisis kebudayaan yang melanda dunia, bukan hanya

mengakibatkan keterpinggiran ilmu-ilmu budaya oleh perkembangan teknologi

dan media yang sangat pesat, tetapi juga berdampak pada terpuruknya apresiasi

masyarakat, terutama generasi muda, terhadap produk-produk tradisi lisan yang

tak ternilai harganya, selain unsur filosofis dan nilai etis yang terkandung di

dalamnya. Mayoritas generasi muda lebih suka menikmati dan menggeluti

produk-produk budaya modern dan pop, dan beranggapan bahwa produk-produk

tradisi lisan yang bernuansa tradisional merupakan bagian dari masa lalu yang

tidak lagi sesuai dengan kondisi masyarakat yang dianggap modern, hingga kini.

Tradisi lisan selalu berkembang di dalam suatu proses seiring dengan

perkembangan masyarakat pendukungnya. Masyarakat pemilik budaya tersebut,

termasuk pemerintah, harus selalu menjaga dan mempertahankan keseimbangan

antara keberlanjutan dan perubahan yang terjadi sehingga tradisi lisan senantiasa

terus muncul di permukaan dan tidak ditenggelamkan oleh pengaruh-pengaruh

91

Page 118: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

globalisasi yang terus mengancam eksistensinya. Untuk itu diperlukan berbagai

upaya mendorong pelestarian tradisi lisan.

Upaya untuk mempertahankan dan meningkatan apresiasi masyarakat

terhadap tradisi lisan kantola adalah pertunjukan tradisi lisan kantola harus

dilakukan secara periodik. Peningkatan apresiasi masyarakat tentu saja akan

membuka peluang besar bagi pertumbuhan dan perkembangan tradisi lisan

semakin terhimpit dengan produk-produk budaya global. Tradisi lisan memiliki

kekuatan yang bisa mempengaruhi rancang bangun kebudayaan nasional karena

tradisi lisan merupakan produk estetis simbolis masyarakat yang berakar pada

pengalaman sosiokultural sehingga di dalamnya terkandung kearifan dan nilai-

nilai mulia (Sutarto, 2004: 1). Pengalaman sosiokultural ini menjadi sesuatu yang

berharga dalam mempertahankan eksistensi kehidupan masyarakat dalam

menghadapi derasnya arus globalisasi yang setiap saat dapat mengancam segala

aktivitas kultural, termasuk keberadaan tradisi lisan.

Sutarto lebih jauh mengungkapkan bahwa tradisi lisan telah menjadi

korban perubahan dari budaya global yang berdampak pada keterpurukan dan

bahkan lambat laun akan hilang di muka bumi. Gejala keterpurukan dan

kepunahan sudah tampak di pelupuk mata dan ini tidak semestinya terjadi. Jika

hal ini dibiarkan maka bangsa Indonesia sebagai bangsa besar, dengan berbagai

jenis tradisinya yang tak terhingga jumlahnya, akan kehilangan produk

kebudayaan. Apabila tidak terjadi peningkatan apresiasi, tradisi lisan akan gagal

memenangi dukungan masyarakat (communal support) dan dukungan pasar

(financial support). Dukungan masyarakat akan melemah dan dengan sendirinya

92

Page 119: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

pewaris tradisi lisan akan makin berkurang pula. Banyak di antara kita yang tidak

sadar dengan fakta bahwa aktivitas kedaerahan kita telah dipengaruhi, bahkan

terkadang ditentukan, oleh peristiwa atau agen yang jauh (Giddens, 2003: 9).

Budaya global mampu menebus batas-batas dan sekat-sekat lokalitas

masyarakat mana pun di belahan bumi ini. Dia menjadi agen perubahan yang

seolah-olah memiliki remote control dalam mengendalikan segala aktivitas

masyarakat sesuai yang dia inginkan. Anggapan ini melekat dalam masyarakat

bahwa globalisasi memberi ruang terhadap penciptaan produk-produk budaya

yang universal, sehingga produk-produk budaya lokal akan terserap ke dalamnya

atau malah sebaliknya, sehingga terjadi tarik menarik di antara keduanya. Dalam

hal ini, terjadi pertemuan antara globalitas dan lokalitas.

Swellengrebel (Astra, 2009: 125) menyebutkan pertemuan antara tradisi

besar (great tradition) dengan tradisi kecil (little tradition) vis a vis. Menurut

Astra, tradisi besar tidak pernah mampu mencerabut tradisi kecil yang memang

sudah mengakar di bumi Nusantara. Kekuatan budaya lokal terwujud dalam

bentuk kearifan lokal (lokal genius) yang mampu menyaring hal-hal positif dari

tradisi besar sehingga memperluas cakrawala budaya dan meningkatkan adab

bangsa. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa budaya global memiliki daya

tersendiri, magnet yang memiliki daya tarik yang kuat. Dia mampu memutar

balikkan fakta sehingga lambat laun tradisi kecil akan tercerabut dari akarnya.

Akhirnya, pemikiran konvensional akan terus bermunculan yang beranggapan

bahwa produk budaya lokal itu kuno ketinggalan zaman sehingga tidak menarik,

93

Page 120: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

sementara budaya global itu selalu bagus dan menarik dimata masyarakat yang

telah dipengaruhi oleh budaya global.

Pertunjukan tradisi lisan kantola merupakan satu dari beberapa pertujukan

berbalas pantun yang menampilkan berbagai unsur pertunjukan tradisional yang

ada pada masyarakat Muna, yang diselenggarakan pada acara pasca perkawinan,

syukuran, sunatan, pingitan, dan pasca panen. Keberadaan kantola yang sekarang

ini sudah mulai hilang atau memudar dikalangan masyarakat Muna.

Mulanya penyelenggaraan pertunjukan tradisi lisan kantola sebagai sarana

hiburan bagi masyarakat daerah Muna sejak dahulu. Manakala ada acara kantola,

orang beramai-ramai mengunjungi keramaian itu untuk mendengarkan kantola

yang ditampilkan pada waktu itu. Orang-orang tua, anak-anak, lebih-lebih para

pemuda dan pemudi tidak ingin melewatkan kesempatan itu. Dalam kondisi

seperti itu kantola berperan sebagai sarana jumpa sehingga momentum itu dapat

digunakan untuk menggalang massa. Lewat kantola kita dapat memberikan

informasi pembangunan, agama, dan nasihat-nasihat.

Bagi pemuda dan pemudi mempunyai kesempatan seperti itu dapat

digunakannya untuk memperluas pergaulan. Lebih dari itu dapat pula

digunakannya sebagai langkah awal untuk memilih pasangan hidup, seperti

gambar 5.1 dan 5.2 berikut.

94

Page 121: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Gambar 5.1 Pertunjukan Tradisi Lisan Kantola Kelompok Laki_LakiDokumentasi: Darwan Sari, 2011

Gambar 5.2 Pertunjukan Tradisi Lisan Kantola Kelompok PerempuanDokomentasi: Darwan Sari, 2011

95

Page 122: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Pada gambar 5.1 dan 5.2, dalam pertunjukan ini, kantola digunakan pada waktu

bermain kantola. Kantola adalah sejenis permainan tradisional, di mana para

pemain pria dan perempuan masing-masing bersaf kemudian mereka berhadapan

dengan jarak kurang lebih dua meter. Acara kantola biasanya dilaksanakan pada

malam hari. Mereka bermain kantola diawasi oleh orang-orang tua yang

berwibawa, hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan adanya pantun yang

mengundang pertikaian. Oleh karenanya kantola dari masing-masing pihak harus

diucapkan lebih dahulu sebelum dilagukan. Jika dinilai rawan, maka kantola itu

tidak boleh dilagukan. Pada saat bermain tradisi lisan kantola, saat peserta peserta

perempuan melantunkan, maka peserta laki-laki mendengarkan dan memikirkan

kira-kira apa yang akan mereka jawab nantinya. Fenomena tersebut sesuai dengan

pendapatnya Lord dalam Achadiati (2008: 205) yang mengungkapkan bahwa

bunyi, kata, atau peristiwa yang digunakan untuk mengungkapkan gagasan.

Formula merupakan peranti mnemonic yang membantu orang menemukan

kembali pikiran yang tersimpan dalam ingatan, di antaranya rima, paralelisme,

aliterasi, asonansi, struktur-struktur tetap yang digunakan dalam tradisi lisan.

Pada setiap penyelenggaraannya, pertunjukan ini yang selalu menampilkan

pertunjukan kantola yang sudah jarang ditampilkan dalam kegiatan-kegiatan

berbalas pantun. Hal ini sangat terkait dengan komitmen kultural para pemegang

kekuasaan dan juga media. Pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam

menumbuh kembangkan tradisi lisan. Di tangan merekalah ekspos tradisi lisan

dapat diwujudkan, selain karena ditunjang oleh segi finansial juga memiliki akses

dalam membuka kran pertunjukan tradisi lisan.

96

Page 123: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Untuk mempertahankan eksistensi tradisi lisan, komitmen kultural

pemerintah sangat dibutuhkan. Mereka seyogyanya membuka peluang bagi tradisi

lisan sehingga mampu bersaing dan berkembang di tengah kesenian modern yang

menampakkan wajah yang terus merubah sehingga tidak menjadi statis dan

monoton seperti halnya yang terdapat pada tradisi lisan. Peluang itu tidak hanya

terkait dengan pertunjukan sendiri, melainkan juga berhubungan dengan media

massa. Kehadiran media massa yang terus tumbuh subur, telah menjarah

kehidupan masyarakat dan budaya lokal dengan sebuah budaya baru. Sebuah

budaya massa hasil ciptaan media, yang lebih menonjolkan nilai-nilai

konsumerisme dan hedoisme.

Bagaimanapun juga, media massa telah menjadi tumpuan untuk dijadikan

sebagai medium pengembangan budaya, termasuk di dalamnya tradisi lisan tanpa

harus menghilangkan identitas tipikalnya. Keterkaitan media massa dan budaya

akan bersinggungan langsung dengan ekonomi (profitable) dan pasar

(marketable) yang akhirnya melahirkan industri budaya. Menurut Stokes (2007:

112) industri budaya adalah sesuatu yang memiliki fungsi utama produksi atau

distribusi seni, hiburan, atau informasi. Hal ini dimaksudkan untuk memproduksi

artifak-artifak yang berbentuk seni pertunjukan.

Dorongan ekonomi dan pasar merupakan dorongan yang paling signifikan

dalam menentukan apa yang akan dikerjakan selanjutnya. Industri budaya terlibat

dalam produksi benda-benda simbolis yang perlu bersaing dalam ruang pasar.

Bahkan, organisasi seni yang paling dermawan sekali pun memerlukan sesuatu

yang profitable untuk bertahan dan bersaing. Dengan demikian, tumbuh

97

Page 124: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

kembangnya tradisi lisan sangat bergantung pada kedua unsur yang telah

disebutkan di atas, tanpa berusaha mengerdilkan peran masyarakat pewaris tradisi

lisan.

Olehnya itu, untuk menumbuh kembangkan suatu kebudayaan tidak

terlepas dari persoalan kapitalisme dalam memproduksi dan menyalurkan

berbagai bentuk seni, hiburan dan informasi. Persoalan utama kapitalisme terletak

pada kecenderungan menjadikan kebudayaan sebagai “budak komoditi” yang

patuh pada logika dan hukum-hukum yang diciptakan sendiri, yaitu kebudayaan

industri. Kebudayaan industri dibuat untuk massa berdasarkan relasi kekuasaan,

yang totaliter dalam menentukan bentuk, gaya, konsep, makna, dan pesan-pesan

ideologi yang tersembunyi di balik produk budayanya. Kebudayaan industri

merupakan bentuk “pengomandoan” masyarakat konsumer dari kaum kapitalisme

(Adorno dalam Piliang, 2004: 313).

Fenomena yang diungkapkan Adorno di atas sedang berlangsung di tanah

air saat ini. Kebudayaan sudah menjadi komoditi yang tidak terlepas dari motif

ekonomi dan relasi kekuasaan. Pemerintah, sebagai pemegang kekuasaan, dan

media massa memiliki peran yang sangat signifikan dalam membuka dan

mendistribusikan pertunjukan tradisi lisan kepada masyarakat. Tanpa peran

pemerintah dan media massa, pertunjukkan tradisi lisan tidak dapat berbuat

banyak, apalagi menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya peran dan

fungsi tradisi lisan. Masyarakat tentunya tidak menginginkan tradisi lisan berubah

wujud menjadi artifak-artifak kultural peninggalan masa lalu yang tidak bernilai.

98

Page 125: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Sekarang ini masyarakat hanya tampil sebagai penikmat budaya

ketimbang menjadi pelaku, memandang tradisi dari segi pragmatisme saja. Sikap

pragmatis ini lebih jauh lagi memandang bahwa tradisi lisan ini bukan menjadi

bagian dari hidup mereka. Tradisi lisan berfungsi sebagai alat hiburan semata

dengan mengenyampingkan fungsi-fungsi lainnya yang merekat pada tradisi lisan

tersebut. Padahal, pertunjukkan tradisi lisan dapat membuka peluang bagi

pengembangan produk-produk budaya lokal lainnya. Hal ini dipertegas oleh La

Mokui (wawancara 11 Maret 2011) yang mengungkapkan bahwa;

“Pertunjukkan tradisi lisan hanya sebagai media sehingga dalam kantola bisa dikenal oleh masyarakat. Tujuan pertunjukan ini sebenarnya untuk memperkenalkan kepada masyarakat bahwa dalam tradisi lisan kantola semenjak dahulu sudah mematuhi etika dan norma-norma”

Ungkapan di atas mengindikasikan adanya ruang bagi masyarakat untuk

mengenal dan mengetahui simbol-simbol budaya. Pertunjukan tradisi lisan tidak

semata-mata menonjolkan aspek estetika atau keindahan kesenian tersebut, tetapi

juga pemaknaan terhadap unsur yang terdapat di dalamnya, seperti kreativitas

yang senantiasa hadir untuk setiap penampilannya dan sebagai unsur etika dan

norma pada masyarakat. Tradisi lisan mampu menumbuhkan ikatan batin di

antara masyarakat yang menjadi pendukung utama tradisi tersebut. Tradisi lisan

sangat kaya dengan nilai-nilai kearifan sehingga perlu dilestarikan. Di dalamnya

mengandung hal-hal yang berhubungan langsung dengan interaksi manusia

dengan manusia, dan alam. Pelestariannya bukan apa yang ditampilkan, kemasan

atau penampilan fisik, melainkan nilai-nilai yang terkandung dalam seni tersebut.

Inilah wujud nyata revitalisasi kebudayaan. Revitalisasi merupakan suatu proses

99

Page 126: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

menjadikan kebudayaan sebagian terpenting di dalam kehidupan bermasyarakat

sebelum kebudayaan itu kehilangan makna yang terkandung di dalamnya.

5.2 Aktualisasi Tradisi Lisan Kantola dalam Masyarakat Muna

Suatu realitas yang sangat memprihatinkan, banyak produk budaya lokal

yang saat ini sekarat atau bahkan mati. Tidak jauh berbeda dengan produk budaya

lainnya, tradisi lisan juga berada dalam ambang kepunahan. Paling tidak, terdapat

dua faktor yang mempengaruhi kondisi ini, yaitu faktor yang berasal dari luar

dirinya (faktor eksternal) dan yang berasal dari dalam dirinya (faktor internal).

Gelombang perubahan yang melanda dunia mencuatkan produk-produk budaya

global yang menghibur, mudah dicerna, gampang ditiru, enak dirasakan,

disebarluaskan oleh media masa, dan didukung oleh modal besar, merupakan

faktor eksternal yang menyebabkan keterpurukan budaya lokal. Produk-produk

budaya global benar-benar merampas selera seni masyarakat lokal dan

menggiring ke dalam cita rasa estetis homogeni yang dikendalikan oleh lingkaran

pemegang modal dan penguasa (Sutarto, 2004: 2).

Fenomena ini berangkat dari fungsi media itu sendiri, baik media massa

maupun media elektronik, yang telah menentukan pemikiran, persepsi, opini, dan

bahkan perilaku masyarakat. Pada saat inilah media dipandang sebagai mediator

dalam menyampaikan berbagai ideologi yang memboncenginya. Beberapa

persoalan ideologis pada media muncul ketika apa yang disampaikan media

sebagai dunia representasi dikaitkan dengan kenyataan sosial sebagai dunia nyata

memunculkan berbagai persoalan di dalam kehidupan sosial, termasuk

kebudayaan.

100

Page 127: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Selain faktor yang berasal dari luar dirinya, faktor yang berasal dari dalam

pun menjadi pemicu keterpurukan kebudayaan yang disebabkan oleh para pelaku

dan pendukung budaya lokal yang seringkali kurang sigap menanggapi perubahan

kultural yang begitu cepat merambah sehingga budaya yang ditampilkan terkesan

statis dan monoton. Dalam situasi seperti ini, budaya lokal tidak akan pernah

mampu bersaing dengan produk-produk budaya global. Ketidakmampuan ini, dari

segi individu dan kelompok, berdampak langsung pada kemunduran budaya lokal.

Sedangkan dalam cakupan nasional, akan berdampak pada krisis budaya nasional.

Rancang bangun kebudayaan nasional bersumber dari budaya-budaya lokal yang

ada di seluruh nusantara.

Fenomena di atas dipertegas oleh Piliang (2004b: 277) yang mengatakan

bahwa bila kecenderungan pengaruh budaya kapitalisme yang dilandasi dengan

prinsip-prinsip budaya konsumerisme, budaya citra, dan budaya tontonan, atau

bila pandangan dunia (world view) yang dibangun oleh kapitalisme pada individu-

individu di dalam masyarakat tidak diubah, maka sesungguhnya proses

kapitalisme global sama artinya dengan proses penghancuran budaya lokal.

Ancaman bagi budaya lokal dan nasional adalah globalisasi dan

kapitalisme yang lebih berbahaya dibandingkan komunisme dan fanatisme agama.

Untuk mengantisipasi hal ini, harus dibutuhkan komitmen untuk merubah diri

dalam memandang dunia dengan lebih manusiawi dengan berlandaskan nilai-nilai

budaya lokal. Merubah pandangan dunia merupakan perubahan mendasar dalam

rangka menghidupkan kembali budaya lokal atau revitalisasi budaya lokal. Dalam

upaya ini, harus dikembangkan indikator-indikator yang harus digali dari sistem-

101

Page 128: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

sistem lokal yang lebih sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal. Merubah

pandangan dunia, disamping merubah paradigma, juga merubah cara berpikir

masyarakat lokal.

Selanjutnya Piliang (2004: 277) mengemukakan bahwa perubahan

pandangan dunia akan ditentukan oleh perubahan mendasar pada perspektif, nilai,

dan tindak-tanduk individual. Merubah pandangan dunia berarti merubah

bagaimana masyarakat lokal merubah persepsi mereka tentang makna (meaning)

dan tujuan hidup yang selama ini sangat dibentuk oleh sistem kapitalisme. Untuk

itu perlu ditumbuhkan kesadaran masyarakat melalui pembelajaran sosial (social

learning). Salah satu proses pembelajaran sosial yang sangat penting adalah

memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang perlunya mengadakan

perubahan dari pandangan dunia kapitalisme global ke arah pandangan yang

sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal.

Dalam kaitannya dengan nilai-nilai budaya lokal, sebuah karya sastra tidak

dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan situasi kebudayaan tempat karya itu

dihasilkan (Kleden, 2004: 8). Karya sastra berperan sebagai refleksi atau cerminan

dari suatu masyarakat. Sastra lisan termasuk khazanah sastra yang penting sebagai

bagian utama dari budaya sastra masyarakat. Masyarakat Muna mengenal tradisi

lisan sebagai bentuk tradisi yang paling dominan. Melalui tradisi lisan itulah

masyarakat berkomunikasi, mewariskan, dan mengembangkan pengetahuan dan

pola sikap tentang dan atas kehidupan. Tradisi lisan kantola mempunyai

kedudukan dan peranan penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat

Muna.

102

Page 129: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Kenyataan ini jauh dari realita yang sesungguhnya. Dari berbagai

pengamatan yang dilakukan di lapangan dapat dikemukakan bahwa tradisi lisan

ini tidak lagi merupakan cerminan budaya masyarakat setempat. Hal ini

dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain; (1) generasi muda beranggapan

bahwa tradisi lisan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Stigma

semacam ini hampir merasuki seluruh pikiran generasi muda yang beranggapan

bahwa tradisi lisan hanya cocok untuk generasi tua, (2) perkembangan teknologi

yang begitu pesat juga menjadi indikator memudarnya tradisi lisan. Generasi

muda cenderung membaca komik, memirsa layar kaca, bermain game yang lebih

interaktif, face book dan sebagainya ketimbang mendengarkan cerita atau nasehat

orang tua yang menurut mereka tidak lagi memiliki daya pikat. Dengan kata lain,

media cetak dan elektronik menjadi media atraktif dibanding mempelajari atau

pun mendengarkan tradisi lisan. Hal ini dapat dilihat pada gambar 5.3 berikut.

103

Page 130: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Gambar: 5.3 Masyarakat yang Menyaksikan Pertunjukkan Tradisi Lisan Kantola Didominasi Generasi Tua (Dokomentasi: Darwan Sari, 2011)

Pada gambar 5.3 menggambarkan tentang masyarakat Muna dalam memandang

tradisi lisan kantola memiliki pandangan yang berbeda. Di satu sisi, sebagian

masyarakat optimis beranggapan bahwa keberadaan tradisi lisan harus tetap

dilestarikan. Umumnya mereka ini berasal dari generasi tua yang tetap

memandang kantola sebagai panutan dalam hidup. Namun, disisi lain masyarakat

pesimis karena mereka beranggapan bahwa tradisi lisan ini bagian dari masa lalu.

Hidup harus bergerak ke depan, bukan sekedar berpepatah-petitih dan tidak perlu

balik ke belakang (wawancara dengan La Mokui pada 11 Maret 2011).

Hal tersebut tersebut di atas mengindikasikan adanya celah untuk

membuka jurang dalam menghempaskan tradisi lisan ke tempat yang terdalam.

Olehnya itu keadaan seperti ini, tentu saja sangat mengkhawatirkan. Kedudukan

dan fungsi tradisi lisan kantola yang penuh dengan nilai-nilai moral dan kaya

104

Page 131: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

makna kehidupan akan semakin tergerus dan lamban laun menghilang. Dengan

sendirinya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan terlupakan bahkan akan

menghilang.

Revitalisasi berarti prinsip atau sistem-sistem lokal yang harus

diperbaharui, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Hal ini berarti

bahwa sistem-sistem lokal harus diberi nafas baru, terlepas dari sikap apapun yang

dianut dalam menghadapi gelombang pengaruh kapitalisme dan budaya global.

Upaya revitalisasi yang tidak dilakukan secara sistematis dan terencana tidak akan

membawa pengaruh apa-apa, ketika berhadapan dengan mesin kapitalisme global

yang sangat sistematis dan terencana (Piliang, 2004b: 285). Revitalisasi harus

dimulai dari hal-hal yang berkaitan langsung dengan kondisi sosiokultural

masyarakat setempat, seperti yang dikemukakan La Mokui (wawancara 11 Maret

2011) berikut.

“Untuk melakukan revitalisasi dimulai dari bahasa, setelah itu dilakukan sosialisasi, kemudian membersikan perangkat adat. Kaum sara harus dikembangkan lagi, menjadi adat sebagaimana mestinya. Dia tidak mencampuri urusan pemerintah tetapi untuk memperkuat institusi adat.”

Ungkapan yang disampaikan oleh La Mokui di atas, mengindikasikan bahwa

peran lembaga adat sudah tidak berfungsi. Untuk itu perlunya kembali penguatan

lembaga dalam proses memvitalkan kembali budaya-budaya lokal. Fenomena ini

sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ardana (2004:99) yang menekankan

perlunya penguatan fungsi dan peran lembaga adat. Jika tetap ingin

mempertahankan budaya lokal, peran lembaga adat ini harus dilibatkan kembali.

Perangkat adat (kaum sara) harus merumuskan kembali kebijakan pelestarian

warisan budaya dan menjadi mitra pemerintah dalam usaha-usaha pelestarian

105

Page 132: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

budaya lokal. Namun, pada kenyataannya, pemerintah dan perangkat adat tidak

menunjukkan partisipasi nyata dalam mengembangkan warisan budaya lokal.

Menurut Tilaar (2007: 10-11), terdapat dua ikatan primordial yang

memperkuat hubungan dan membentuk masyarakat lokal, yaitu bahasa dan

agama. Keduanya berfungsi dalam menumbuhkan solidaritas masyarakat Muna

dalam menumbuhkan kemampuannya. Bahasa Muna, sebagai lingua france di

seluruh aktivitas kultural, merupakan faktor pengikat yang sangat besar dalam

menumbuhkan ikatan sosial. Lebih lanjut bahasa, menurut Boerdieu (Harker,

2005: 226), harus dipandang sebagai bagian dari cara hidup sebuah kelompok

masyarakat. Sedangkan agama, dalam hal ini direpresentasikan melalui kaum

sara, merupakan regulator dan pijakan kehidupan masyarakat Muna.

Peranan pendidikan dalam mewujudkan upaya pelestarian kebudayaan

lokal. Untuk melaksanakan revitalisasi harus berproses dalam berbagai tahapan,

yaitu internalisasi, sosialisasi, dan implementasi. Pendidikan dalam arti yang

selaus-luasnya, berfungsi sebagai mekanisme pengenalan, pembiasaan,

pembinaan dan pemberdayaan. Proses pemilikan pengetahuan lewat

pembelajaran, sehingga melalui proses ini timbul pemahaman terhadap aktivitas

kultural yang berlangsung di masyarakat. Salah satu indikator yang digunakan

untuk mengetahui tingkat pemahaman individu adalah sejauh mana dia

mengetahui maksud dan tujuan kegiatan tersebut. Kesadaran seseorang terhadap

budayanya serta kebanggaan memilikinya dalam ikatan sosial merupakan hasil

dari perkembangan pribadi seseorang. Inilah yang dikenal sebagai pendidikan

multikulturalisme (Tilaar, 2007: 15).

106

Page 133: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Pendidikan multikulturalisme akan tercapai bila ada campur tangan

pemerintah, sebab pemerintah juga berperan besar dalam menentukan arah

kehidupan masyarakat Muna. Perubahan yang sangat signifikan terjadi pula pada

era globalisasi dengan mobilitas modernisasinya. Seperti yang diungkapkan oleh

Giddens (2003: 8) bahwa hampir pasti modernitas selalu penentangan terhadap

tradisi. Modernitas telah membangun tradisi sebagimana ia menghancurkannya,

serta keberlanjutan dan penciptaan tradisi merupakan bagian utama dari legitimasi

kekuasaan.

Globalisasi yang mengandung paradoks, dan paradoks globalisasi tercipta

akibat hadirnya secara bersamaan dan di dalam ruang waktu yang sama dua sifat

yang saling bertentangan satu sama lainnya secara kontradiktif, globalitas dan

lokalitas, hegemonisasi dan heterogenisasi, penyeragaman dan

keberanekaragaman. Masyarakat Muna sekarang ini, terjebak dalam pola-pola

kontradiktif yang mewarnai perubahan sosial dan kultural akhir-akhir ini;

kontradiksi antara globalisme dan lokalisme, sentralisasi dan desentralisasi. di

satu pihak, kehidupan sosial masyarakat kita akhir-akhir ini diwarnai oleh

berbagai macam kendala, akibat suhu politik di daerah ini yang semakin memanas

dengan seringnya adanya demonstrasi, dan kemudian berkembang ke dalam

politik praktis yang mengabaikan kepentingan masyarakat serta berpihak kepada

kaum penguasa.

Keyakinan banyak pihak yang mengungkapkan bahwa segala macam

kendala, akibat suhu politik di daerah ini tidak perlu terjadi jika masyarakat Muna

mampu mengimplementasikan simbol-simbol kebudayaan yang terwujud dalam

107

Page 134: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

tradisi lisan, seperti “Daseise Damowanu Liwu” yang artinya Bersatu

Membangun Daerah”. Menurut La Mokui (Wawancara 11 Maret 2011)

ungkapan ini tidak lagi menjadi semboyan pemersatu untuk membangun daerah

Muna, yang terjadi di daerah justru tercerai-berai yang mempunyai kepentingan

masing-masing. Konsep bersatu ini untuk membangun daerah tidak lagi bermakna

bagi seluruh masyarakat Muna, akan tetapi sebagai identitas bahwa ia orang

Muna.

Secara historis tradisi lisan kantola, sering dijadikan sebagai media

ekspresi dalam kultur kehidupan bermasyarakat. Tradisi lisan kantola mempunyai

peranan penting bagi masyarakat Muna. Seseorang dapat mengekspresikan apa

yang dihayalkannya, yang dipikirkan, serta apa yang dikehendakinya disampaikan

secara sastrawi melalui kantola, sehingga kantola merupakan salah satu media

bagi masyarakat Muna untuk menyampaikan sesuatu berupa kritikan, nasihat, dan

cinta kasih. Dengan adanya kantola, maka pengungkapan kritikan ataupun nasihat

lebih beretika, sehingga orang yang dikritik merasa dihargai. Pengungkapan

simbol-simbol sebagai bentuk ekspresi. De Saussure (1916) menjabarkan konsep

tentang tanda dan membaginya ke dalam bentuk dikotomi significant dan signifie.

Significant berupa penanda atau yang menandai, yaitu citra bunyi yang timbul

dalam pikiran berupa simbol bahasa, sedangkan signifie atau yang ditandai adalah

hal yang diacu atau kesan makna yang dalam pikiran. Secara sederhana dapat

dikatakan bahwa bentuk bahasa signifier adalah bentuk bahasa atau simbol

bahasa, sedangkan signified adalah makna yang terkandung di dalamnya.

108

Page 135: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Djajasudarma (1999: 18) menyatakan bahwa setiap situasi dapat diamati

dari segi bahasa karena bahasa merupakan keseharian manusia. Bahasa manusia

tidak hanya berupa ragam tulis, tetapi juga ragam lisan. Secara ontologis,

eksistensi bahasa lisan dianggap lebih awal daripada bahasa tulis karena jauh

sebelum mengenal tulisan manusia sudah dapat berbahasa yakni bahasa lisan.

Disamping itu, keberadaan bahasa lisan terbatas hanya pada masyarakat yang

bermelek huruf (literate society), sedangkan bahasa lisan ada pada masyarakat

manapun. Dengan demikian, masyarakat yang tidak beraksara sudah barang tentu

mengekspresikan hal-hal yang menyangkut diri dan alam sekitarnya melalui

tuturan tanpa dokumentasi. Pewarisan dengan cara seperti ini biasanya

dimanifestasikan dalam bentuk bahasa yang indah. Hal ini disebabkan oleh fitrah

manusia yang menyukai keindahan. Berdasarkan hal ini, manusia melahirkan

karya sastra lisan baik berupa cerita lisan, nyanyian rakyat, maupun pepatah

petitih. Dengan demikian karya sastra lisan bukan pelipur lara semata, bukan

cerita mitos belaka, tetapi merupakan muatan nilai dimensional dan sarat dengan

nilai. Nilai yang dimaksudkan adalah nilai-nilai budaya masyarakanya. Hal ini

senada dengan pernyataan Luxemburg et.al (1989:21), bahwa sastra terikat oleh

dimensi waktu dan budaya karena sastra itu sendiri merupakan produk dari sebuah

kebudayaan. di balik rangkaian kalimat yang estetis, karya sastra (sastra lisan)

tampil dengan gayanya yang unik, yang menginformasikan keadaan manusia dan

tipe masyarakatnya.

Secara umum sastra berbicara tentang manusia, ihwal kemanusiaan, dan

kehidupan yang kompleks dengan segala varian-variannya melalui kekuatan

109

Page 136: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

kreativitasnya. Dengan demikian, tradisi lisan sebagai produk masyarakat lama

yang bercorak tradisional mengandung aspek filosofis yang multi dimensional dan

sarat makna.

Nilai tak terbatas itu ada dalam ranah imajinasi, yang dikongkritkan dalam

bentuk simbol-simbol atau kata-kata. Sebagai sebuah akibat dari simbolisasi,

sebagai kebenaran yang tak terbatas mengalami kemerosotan (penyempitan).

Sementara itu, makna sebuah simbolisasi tiada lain karena kesempatan yang

sewaktu-waktu bisa berubah. Kebudayaan bagi suatu kelompok telah menjadi

standar ukuran dalam menilai dan mewujudkan tingkahlaku. Nilai baik dan buruk

kemudian diukur berdasarkan ukuran yang berlaku dan telah disepakati

sebelumnya. Proses semacam ini melahirkan proses eksklusi sosial di mana satu

kelompok cenderung membangun wilayah simbolik sendiri yang membedakan

diri mereka dengan yang lain (Abdullah, 2006: 52). Nilai etika dan moral, yang

juga terdapat dalam kantola dijadikan ukuran dalam segala aspek kehidupan.

Walaupun tidak semua anggota masyarakat menjalankan nilai-nilai etika dan

moral sebagaimana seharusnya, yang dianggap sebagai penghambat dan

membatasi dinamika kehidupan mereka yang bergerak dinamis.

Kantola pada akhirnya melahirkan dua sikap, yaitu malu berbuat salah dan

takut berbuat salah. Sikap ini merupakan bagian dari kehidupan beragama yang

selalu menuntut kebenaran, yaitu kebenaran agama (wawancara La Mokui, 11

Maret 2011). Bertolak dari pemikiran (engkau dan aku) terlihat bahwa masyarakat

Muna sudah memikirkan hubungan anatara manusia dengan penciptaNya, antara

makhluk dengan khalik.

110

Page 137: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Konkretisasi simbol kebudayaan ini menjadi pedoman tingkahlaku dalam

berbagai praktik sosial. Sebagai kerangka acuan, kebudayaan merupakan

serangkaian nilai yang disepakati. Kebudayaan sebagai simbol menunjuk pada

bagaimana suatu budaya dimanfaatkan untuk menegaskan batas-batas kelompok.

Bahasa yang merupakan materi budaya digunakan untuk membangun wilayah-

wilayah simbolik, menjadi kunci penting dalam suatu tradisi lisan. Perbincangan

mengenai bahasa tidak dapat dipisahkan dari kesalingberkaitannya dengan

pengetahuan yang melandasi serta bentuk-bentuk kekuasaan yang beroperasi di

baliknya. Artinya perbincangan mengenai bahasa tidak dapat dipisahkan dari

ideologi yang beroperasi di baliknya, melalui fungsi referensial dan afektif

bahasa.

Dasar persoalan dalam konsep ideologi yang berkaitan dengan status

epistemologinya, yaitu hubungan antara ideologi dengan kebenaran pengetahuan.

Foucaul (Barker, 2009: 85) melihat bahwa pengetahuan itu terimplikasi pada

kekuasaan, tak bisa dipisahkan dari kekuasaan, yang terlihat dalam konsepnya

kuasa/pengetahuan. Yang dimaksudkan dengan konsep ini adalah bahwa ada

hubungan timbal balik yang saling membentuk antara pengetahuan dengan

kekuasaan, sehingga pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari rezim-rezim

kekuasaan. Foucaul (2002: 66) melihat pelaksanaan kekuasaan terus menerus

menciptakan pengetahuan, dan sebaliknya pengetahuan secara konstan

menyebabkan pengaruh kekuasaan. Pengetahuan terbentuk di dalam konteks

relasi dan praktik-praktik kekuasaan, dan selanjutnya turut berperan dalam

pengembangan, perbaikan, dan pemeliharaan teknik-teknik kekuasaan yang baru.

111

Page 138: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Tradisi lisan merupakan sebuah ideologi. Sastra mempunyai relasi paling

intim dengan pertanyaan-pertanyaan kekuatan sosial, terformulasikan dalam

imaji, simbol, dan kebiasaan. Kebenaran-kebanaran mendasarkannya, seperti yang

dimediasikan oleh simbol-simbol tradisi, menjadi rational dan karenanya bersifat

mutlak dalam pertanyaan-pertanyaannya (Eagleton, 2006: 30-31). Ideologi bukan

hanya sekedar kepercayaan-kepercayaan yang berakar dalam, tetapi lebih khusus

ke cara-cara merasa, menilai, memandang, mempercayai yang berhubungan

dengan pemeliharaan dan reproduksi kekuatan sosial. Ideologi, menurut Barker

(2009: 13), adalah peta-peta makna meskipun berpotensi mengandung kebenaran

universal yang sebenarnya merupakan pemahaman historis yang menopengi dan

melanggengkan kekuasaan.

Kantola adalah syair yang sebagian intinya mengkritik pemerintah yang

disampaikan secara santun. Masyarakat mempunyai kekuatan tersendiri dengan

wewenang atau hak yang dimilikinya. Yang pada intinya adalah penyampaian

kritik ini mewakili kelompok masyarakat yang mana dan apakah kritik ini efektif

mewakili seluruh masyarakat. Namun terlepas dari semua itu, kantola mampu

menjalankan salah satu fungsinya sebagai alat kontrol walaupun tahap

pengimplementasiannya belum terlihat secara nyata di dalam kehidupan

bermasyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat yang paling utama adalah menghargai

budaya lokal merupakan komponen esensial dari setiap pembangunan.

Masyarakat memiliki pengalaman, pengetahuan, dan kearifan terhadap kondisi

sosiokultural masyarakat tersebut. Pemerintah hanya menjadi pendengar dan

112

Page 139: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

belajar dari masyarakat, bukan mengajari masyarakat tentang problem dan

kebutuhan mereka. Dengan demikian, peran pemerintah hanya mengarahkan dan

memberikan dukungan, baik secara finansial dan pemasaran, tidak dengan cara

mengendalikan dan mengembangkan warisan budaya menurut kepentingan dan

keinginannya.

Tujuan dari revitalisasi tidak berhenti pada tahap pemahaman, namun

harus mampu mengimplementasikan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.

Proses selanjutnya adalah pemberdayaan warisan budaya sehingga dapat

diteruskan kepada generasi berikutnya. Keberhasilan proses sosialisasi nilai-nilai

budaya yang selanjutnya teristitusikan terhadap warga masyarakat, ditunjukan

berbagai tindakan nyata, berdasarkan pengalaman-pengalaman hidup sebelumnya.

Proses-proses itulah, yang menurut hemat penulis, belum dijalankan oleh

masyarakat Muna. Terdapat kecenderungan dalam masyarakat yang tidak

memahami pentingnya pelestarian warisan budaya. Umumnya generasi muda

tidak lagi menaruh perhatian warisan budaya, apalagi tradisi lisan. Mereka lebih

terbuai oleh produk budaya global yang mampu memberikan kesenangan sesaat

namun cepat berganti rupa dengan kesenangan berikutnya tanpa memberikan

makna dan manfaat bagi pengayaan dan pembentukan kepribadian, seperti yang

terdapat dalam tradisi lisan.

5.3 Pelestarian Tradisi Lisan Kantola dalam Masyarakat Muna

Tradisi lisan dalam perjalanannya harus berhadapan dengan berbagai

kekuasaan, misalnya masyarakat, Negara, dan terutama para pewaris tradisi lisan

tersebut. Siklus berkesenian harus tetap ditumbuhkan mengingat makin gencarnya

113

Page 140: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

produk global yang terus-menerus mengancam keberadaan tradisi lisan. Kesenian,

menurut Wijaya (2008), merupakan bentuk pembelajaran yang harus tetap

dilestarikan, dihidupkan, pergaulan, dan hubungan kemanusiaan.

Sebagai warisan budaya yang tak ternilai harganya, tradisi lisan

merupakan wadah pencarian identitas bagi masyarakat atau etnik tertentu

sehingga dapat memahami keberadaannya di tengah-tengah kemajemukan

masyarakat saat ini. Identitas diperoleh, dikelolah, dan ditransformasikan melalui

berbagai proses sosial. Identitas sangat penting karena dia membentuk perilaku

masyarakat. Tradisi lisan mampu membentuk identitas masyarakat lokal dan

membedakannya dari masyarakat lain. Perbedaan prilaku masyarakat

bertentangan dengan prinsip yang dianut masyarakat global. Globalisasi menjadi

universalitas sebagai tujuan utamanya sehingga memungkinkan terciptanya

homogenisasi budaya. Dengan terciptanya hemogenisasi budaya, maka akan

merajalelanya kapitalisme.

Peran media massa akan memunculkan hegemoni budaya yang

menghasilkan budaya massa, dan penguasa yang terus menerus mengembangkan

praktik-praktik kekuasaan. Kapitalisme global tidak hanya berkaitan dengan

ekspansi kapital dan pasar, tetapi juga merambah pada nilai-nilai kultural.

Kapitalisme global dibangun atas fondasi individualisme, dibangun berdasarkan

persaingan untuk menguasai dan mendominasi. Hal ini sangat bertentangan

dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh budaya lokal, seperti semangat

kebersamaan, kesederhanaan, tenggang rasa, dan kasih sayang. Jika hegemoni

114

Page 141: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

kultural terus berlanjut, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi proses

penghancuran warisan-warisan budaya lokal.

Sebagai bagian dari warisan budaya yang intangible, keberadaan tradisi

lisan sadar atau tidak, telah berada dalam tahap penghancuran. Tradisi lisan

kantola saat ini, menimbulkan banyak kekhawatiran bagi pemerhati budaya lokal,

sangat memerlukan bantuan dari berbagai pihak. Pemerintah daerah Tingkat II,

dan lembaga non-pemerintah, termasuk para tokoh masyarakat, dan tentu saja

masyarakat Muna sendiri yang menjadi pendukung utama tradisi lisan tersebut.

Hal ini menjadi krusial karena keberadaan kantola tidak dapat didokumentasikan,

hanya dalam beberapa makalah saja yang dapat di bukukan. Kantola sebenarnya

sudah menjadi artefak bagi dirinya yang dimiliki orang per orang dan menyimpan

dari fungsi yang seharusnya (wawancara dengan La Djehe Palola, 1 Maret 2011).

Lebih Jauh La Dehe mengungkapkan:

“Pemerintah belum ada upaya untuk melestarikan. Kami pernah menyarankan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata untuk melakukan kodefikasi dan revitalisasi kebudayaan masyarakat Muna tidak terealisasikan. Belum ada campur tangan pemerintah sejauh ini. Dulu pernah dibentuk lembaga kebudayaan namun terbatas pada penelitian bahasa daerah namun pengdokumentasian kantola belum pernah dilakukan oleh pemerintah Daerah Muna.”

Ungkapan di atas mengindikasikan sikap dan posisi pemerintah yang kurang

memperhatikan keberadaan warisan budaya yang bersifat kelisanan. Padahal,

pemerintah, selain unsur masyarakat lainnya, memegang peranan penting dalam

melakukan revitalisasi kearifan lokal yang mulai terlupakan oleh masyarakat

setempat. Fenomena ini dipertegas oleh Astra, (2004: 115-116) yang menyatakan

pentingnya mendayagunakan atau merevitalisasi keriafan lokal untuk tujuan

115

Page 142: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

pembangunan. Selanjutnya Astra memilah-milah upaya-upaya revitalisasi, yaitu

menggali serta merumuskan dengan tepat kearifan lokal yang “masih terpendam”

dalam berbagai aspek kehidupan atau budaya; memupuk kearifan lokal yang

sudah berfungsi dengan baik; dan merevitalisasi kearifan lokal secara sistematis

dan terencana sehingga dapat berfungsi secara tepat dan optimal.

Sebenarnya untuk pelestaraian tradisi lisan telah dicanangkan oleh

pemerintah pusat. Para pendiri Negara menetapkan kewajiban pemerintah untuk

“memajukan kebudayaan nasional Indonesia” dalam pasal 32 Undang-undang

Dasar 1945. Penguatan kebudayaan nasional juga dilakukan setelah amandemen

keempat UUD 1945 dimana pasal 32 menjadi dua ayat, di dalamnya dicantumkan

“Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya

bangsa.” Hal ini berarti bahwa adanya pengakuan terhadap bahasa-bahasa daerah

yang perlu dijaga, dan dilestarikan agar jumlah penuturnya bertambah.

Namun pada kenyataannya undang-undang ini belum sepenuhnya

dilaksanakan oleh pemerintah. Banyak bahasa daerah yang jumlah penuturnya

berkurang bahkan hampir punah, begitu pun tradisi lisan. Pemetaan, dokumentasi,

kodefikasi bahasa daerah dan tradisi lisan hanya dilakukan di wilayah-wilayah

yang secara ekonomis dan politis berkontribusi bagi pemerintah. Sebaliknya,

wilayah-wilayah yang kurang memberikan kontribusi terhadap pemerintah,

seolah-olah keberadaannya diabaikan. Padahal, menurut penjelasan pasal 32

sebelum diamandemen, kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang timbul

sebagai usaha bersama rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan nasional

merupakan kolektivitas budaya-budaya lokal yang ditanah air.

116

Page 143: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Sedyawati (2008: 162), mengungkapkan bahwa warisan budaya, baik yang

tangible maupun yang intangible, tidak boleh dibiarkan terbengkalai namun

sebaliknya arus tetap ditumbuhkan dalam iklim yang sesehat-sehatnya. Alih-alih

menguatkan, pemerintah memegang andil yang signifikan dalam kepunahan

warisan budaya. Pembubaran Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata

dalam Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menghilangkan sandaran bagi

pengembangan kebudayaan. Secara normatif, hal ini berarti bahwa pemerintah

kini tidak menangani pelaksanaan kerja dan hanya berperan sebagai pengarah

kebijakan. Perlindungan peninggalan sejarah purbakala, serta berbagai warisan

budaya intangible tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah dan dilepas ke

khalayak ramai. Ini berdampak pada kemunduran dan kepunahan warisan budaya

milik etnis tertentu, yang secara politis dan ekonomis tidak memiliki posisi tawar

yang kuat dalam khalayak ramai.

Fenomena di atas sesuai dengan pendapat Piliang (2005b: 379), yang

mengatakan bahwa amandemen UDD 1945 harus dilihat dalam dua perspektif

sekaligus, yaitu perspektif budaya lokal dan perspektif budaya global. Berbagai

pengaturan dalam relasi antarbudaya, ekspresi budaya, dan otoritas budaya harus

tetap mempertimbangkan dualisme budaya yang muncul akibat benturan budaya

lokal dan global. Perubahan pasal ini, di satu pihak harus dapat menampung

berbagai perubahan kultural yang terjadi akibat proses globalisasi, namun di pihak

lain, harus dapat meminimalisasi pengaruh-pengaruh kontradiktif, pergeseran dan

konflik budaya yang timbul dari akses globalisasi.

117

Page 144: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Apabila tradisi lisan tidak dilestarikan, dikhawatirkan tradisi lisan tidak

akan bertahan menghadapi gempuran budaya global. Satu hal yang pasti, setiap

masyarakat selalu memiliki sistem yang mengatur hirarki dan status kekuasaan

bagi pembentukan identitas budaya. Sistem ini kemudian melahirkan konsep-

konsep dominasi, baik mayoritas maupun minoritas. Sistem ini terlihat dengan

jelas dalam dikotomi yang berdasarkan perbedaan etnik yang kemudian

tersublimasi menjadi persoalan etnisitas. Pada tataran aktualisasi, terjadi

pertarungan memperebutkan identitas budaya (Yusuf, 2005: 2-3).

Arus globalisasi saat ini semakin kuat, maka saat ini pula dirasakan

mengecilkannya peranan tradisi lisan di tengah kehidupan. Lalu di balik itu

tentunya bahasa dan sastra daerah ikut terpuruk. Tak berlebihan kemudian

menghilangnya seperangkat sistem kebudayaan lokal dipunyai oleh etnik tertentu.

Melihat gelagat itu, tampaknya sudah ada upaya pelestarian ataupun tindakan

penyelamatan yang ditempuh oleh sebagian orang atau lembaga baik secara

inovasi maupun secara konservasi.

Sekarang ini pula, bahkan jauh sebelumnya banyak upaya dari berbagai

lembaga kebudayaan melakukan penelitian, perekaman, dan pertunjukan dalam

melakukan usaha penyelamatan dan pelestarian. Asosiasi Tradisi Lisan (ATL)

misalnya, sejak tahun 1993 sudah melakukan kerja pelestarian tradisi lisan dengan

berbagai kegiatan antara lain; perekaman suara dan gambar, seminar nasional dan

internasional, festival, penerbitan jurnal, buku seri sastra lisan, dan sejak tahun

2009 Aosiasi Tradisi Lisan (ATL) yang bekerjasama dengan Dirjen Pendidikan

Tinggi (DIKTI) memberikan kesempatan kepada dosen Negeri ataupun Swasta

118

Page 145: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

untuk melanjutkan studi S2 dan S3 yang bermintat mengkaji tentang Kajian

Tradisi Lisan (KTL) yang ada di daerahnya masing-masing.

Upaya- upaya yang dilakukan dari berbagai lembaga kebudayaan untuk

melestarikan tradisi lisan, agar tradisi-tradisi yang ada di negeri ini tetap lestrari,

tetapi dengan gaya hidup modern sekarang ini, masyarakat yang cenderung

hedoistik dan berprilaku konsumerisme, melihat pertunjukan tradisi lisan (sastra

lisan) yang sebagai bagian dari masa lalu, sudah bukan zamannya lagi. Artinya,

penuturan tradisi lisan saat ini sudah tidak bisa lagi dikonsumsi dan harus

menghilang dari peredaran. Itulah sebabnya sebagaian masyarakat cemas dengan

gejala lenyapnya tradisi lisan ini. Sebagai orang sepertinya memandang tradisi

lisan sebagai sesuatu yang terancam, seperti etnis atau masyarakat pendukungnya,

yang telah melahirkan dan membesarkannya.

Sebelum kehilangan maknanya, kiranya revitalisasi perlu dilakukan yang

merupakan suatu proses menjadikan warisan budaya sebagai bagian penting

dalam kehidupan manusia. Proses revitalisasi, tentunya, harus dilakukan secara

terorganisir oleh individu pelaku budaya, kelompok komunitas bersama-sama

pemerintah yang melakukan kesadaran dan merasa begitu pentingnya warisan

budaya. Kesadaran akan pentingnya kebudayaan beserta kearifan lokal yang

terkandung di dalamnya timbul sebagai akibat penemuan jatidiri, berlatar

belakang dari warisan leluhur yang khas dan tidak dapat ditemukan pada daerah

lain. Untuk itu segala produk hukum dan perundang-undangan harus dilandasi

nilai-nilai tradisi lokal sehingga akan ada perlakuan arif, kalau tidak bisa

dikatakan lebih adil bagi tradisi lisan.

119

Page 146: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Perlakuan arif bagi tradisi lisan adalah dengan adanya asumsi yang

menganggap bahwa budaya suatu masyarakat tertentu lebih dominan dari budaya

masyarakat lainnya. Pada tingkat pusat, pemerintah seolah-olah memberikan

perhatian penuh pada budaya masyarakat yang memberikan kontribusi besar pada

pembangunan. Perbedaan perlakuan seperti ini akan membuka celah atas

kematian budaya-budaya lokal lainnya, yang dianggap tidak memiliki peluang

untuk dikembangkan, dari segi finansial tidak menguntungkan lagi. Akhirnya

budaya-budaya lokal, bergerak sendiri-sendiri dan tertatih-tatih dalam upaya

pelestariannya. Jika masyarakat ini tidak mampu lagi menghidupkan kembali

nilai-nilai budaya lokal, maka hilang pula kekayaan budaya di tanah air. Kalaupun

budaya-budaya tradisional berusaha untuk dipertahankan, yang tampak di

permukaan hanyalah dalam konteks memanjangkan nilai-nilai semata (Hayat,

2003: 153).

Pada tingkat lokal, pemerintah daerah juga terbelit persoalan yang sama.

Perlakuan terhadap satu produk budaya dengan produk budaya lainnya terkesan

pilih kasih. Pemerintah daerah tidak dapat berbuat banyak karena segala kebijakan

bersumber dari pusat, yang sentralistik hegemonik. Pelaku budaya lokal juga

bergerak di tempat karena menunggu kebijakan dari pemerintah daerah dengan

berbagai regulasi yang ditetapkannya sendiri. Hal ini akan berdampak negatif

pada pelaku aktif kebudayaan. Mereka akan bersikap pesimis dan apatis terhadap

upaya pelestarian budaya lokal. Persoalan menjadi lebih krusial lagi jika pelaku

kebudayaan tidak lagi menaruh minat dan mengapresiasi eksistensi budaya lokal.

Produk budaya lokal dibiarkan tercerai berai, tanpa tuan, dan hanya tinggal

120

Page 147: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

menunggu momen-momen kehancurannya. Fenomena tersebut sesuai dengan

pendapat Dhavamony (1995: 181) yang mengatakan bahwa sudah seharusnya

pemerintah proaktif untuk menghidupkan tradisi-tradisi lokal yang bekerjasama

dengan tokoh masyarakat dan tokoh adat agar masyarakat tidak terbawa arus

globalisasi, yang menggiring masyarakat pada ranah kapitalisme.

121

Page 148: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

BAB VI

FUNGSI REVITALISASI TRADISI LISAN KANTOLA PADA

MASYARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA

Hendaknya fungsi revitalisasi tidak hanya pada tataran menyatakan yang

benar, tetapi juga harus sampai pada tataran implementasi dalam kehidupan

bermasyarakat. Sebagai aktivitas kultur yang mengandung aspek estetika dan

moral, tradisi lisan berfungsi berdasarkan atas kemampuan karya sastra tersebut

yang dapat menyebabkan aspek-aspek moral dan etika yang terdapat di dalamnya.

Sesuai dengan hakikat karya sastra, fungsi yang terpenting adalah berkaitan

dengan totalitas karya sastra terhadap totalitas mesyarakat. Berikut ini dipaparkan

berbagai fungsi tradisi lisan kantola, seperti fungsi tradisi, fungsi komunikasi,

fungsi sosial, dan fungsi pelestarian.

6.1 Fungsi Tradisi

Tradisi selalu berubah-ubah, tradisi terkait dengan memori, terutama

dengan apa yang diistilahkan oleh Maurice Halbwachs dengan ‘memori kolektif’

yang melibatkan kesenian (Giddens, 2003: 18). Selanjutnya Giddens

mengemukakan bahwa semua tradisi memiliki muatan normatif atau moral, yang

merupakan pembentuk karakter pengikat masyarakat lokal. Tradisi terkait erat

dengan proses interpretatif, di mana masa lalu dan masa sekarang saling terkait

dan saling terhubungkan. Tradisi tidak hanya menggambarkan dengan apa yang

sebenarnya dilakukan dalam suatu kelompok masyarakat akan tetapi, apa yang

seharusnya dilakukan. Tradisi adalah reproduksi atau kelanjutan masa lalu, dan ia

122

Page 149: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

akan kehilangan sifat tradisinya bila berubah. Perubahan dianggap sebagai musuh

tradisi, yang mengancam keaslian dan keberlanjutan tradisi.

Menurut Giddens (2003: 24) tradisi terlalu parvasif untuk dibedakan dari

bentuk sikap dan perilaku kelompok masyarakat. Situasi yang pervasif semacam

ini cenderung merupakan kekhasan dari kebudayaan lisan. Setiap wilayah di tanah

air memiliki tradisi lisan, dengan kekhasan masing-masing, berpengalaman

terhadap pola-pola kehidupan masyarakat tradisional. Masyarakat Muna, yang

secara historis dan kekhasan tradisi lisan yang dimilikinya, telah mengambarkan

kesadaran tersendiri dalam menyikapi perubahan. Ungkapan syair kantola di

bawah ini mengindikasikan dalam hal menyikapi perubahan.

koemo peda kawea

tada mangka angkafimo

hamadi sokaghuluhano

kawea somokaghuluhanomo

pae wekokantidaha

artinya:

jangan seperti iringan awan

ke barat ikut ke timur ikut

tak tentu tempat berhenti

terkatung-katung di antara langit

Syair di atas menggambarkan kondisi masyarakat saat ini yang selalu saja

mengikuti arah angin perubahan yang dihembuskan oleh kapitalisme global yang

mencengkeram segala sendi-sendi kehidupan. Perubahan, yang dimetaforakan

dalam syair kantola ‘iringan awan’ menggambarkan betapa rapuhnya manusia,

tanpa daya, di tengah-tengah belantara dunia yang semakin luas dan tanpa sekat.

123

Page 150: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Dalam syair kantola tersebut pula lebih jauh digambarkan bahwa perubahan akan

terus dan terus berlanjut tanpa pernah diketahui kapan berhentinya. Sebenarnya

dalam alam pikiran masyarakat tradisional masyarakat Muna telah lama

menyadari akan terjadinya perubahan, hanya saja telah dikonstruksi oleh

hegemoni perubahan global sehingga mereka secara sadar maupun tidak sadar

akan keterombang ambingan yang tanpa arah dalam memandang dunianya.

Fungsi tradisi dalam revitalisasi tradisi lisan kantola diperkuat secara etik

dengan apa yang dikemukakan oleh Piliang (2004: 422), yang menegaskan bahwa

di tengah deru globalisasi, di tengah gelombang komoditi yang dahsyat dan cepat,

di tengah-tengah hutan rimba pencitraan melalui media massa, perubahan

masyarakat yang tanpa arah ini akan mengancam integritas sosial, sistem

normatif, dan keutuhan identitas lokal. Nilai-nilai tradisi ini akan semakin jauh

dari masyarakat, termasuk tradisi lisan kantola, tidak saja pada masyarakat

modern, tetapi juga pada masyarakat tradisional di Kabupaten Muna, sebagai

pemilik dan pewaris tradisi lisan kantola.

Lebih lanjut Callinicos (2008: 45-46) mempertegas keberadaan

masyarakat modern, di mana masyarakat modern merepresentasikan sebuah gerak

pemisahan diri secara radikal dari sifat statis masyarakat tradisional. Masyarakat

modern dicirikan oleh usaha-usaha mereka untuk secara sistematis mengontrol

dan mengubah lingkungan fisik mereka, yang disebarluaskan melalui pasar dunia

yang terus berkembang sehingga melahirkan sebuah proses perubahan yang

berlangsung secara cepat. Di satu sisi relasi-relasi sosial, praktek-praktek

kebudayaan, dan keyakinan-keyakinan keagamaan yang didasarkan pada tradisi,

124

Page 151: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

tersapu bersih oleh badai perubahan yang terus berlangsung. Namun, disisi yang

lain masyarakat modern tidak sanggup memenuhi dua prasyarat yang paling

mendasar dari peradaban manusia, yaitu kebutuhan manusia untuk dapat hidup

harmonis dengan sesama munusia, serta kebutuhan manusia untuk dapat hidup

secara harmonis dengan lingkungannya.

Dalam hubungannya dengan lingkungan, pada kelompok masyarakat

tertentu, terdapat sebuah tradisi yang tetap dijaga keberadaannya hingga saat ini.

Mereka beranggapan bahwa lingkungan alam dan manusia sama-sama makhluk

Tuhan sehingga perlu dijaga keseimbangannya diatara keduanya. Sebagai contoh

masyarakat tidak memperkenankan sesorang memetik buah pada malam hari.

Mungkin bagi sebagian orang ini hanya sebagai pemali atau tabu. Namun, jika

ditelusuri lebih jauh pelarangan merupakan sikap positif masyarakat yang

menganggap bahwa seperti manusia, pohon juga butuh istrahat di malam hari.

Sebab itu tidak boleh ‘diganggu’ dengan memetik buahnya (Ibrahim, 2008: 147).

Apa yang terdapat di dalam alam, baik lingkungan biotik maupun lingkungan

abiotik, merupakan karunia Tuhan. Dengan demikian, pelestarian dan

kelangsungan hidup alam harus tetap dipertahankan sehingga bermanfaat bagi

kehidupan manusia pada masa yang akan datang.

Sikap pralogis semacam ini, menurut Steven Lukes (Gibbons, 2002: 60),

dianggap sebagi ramah tamah dan bertentangan dengan pemikiran logis

masyarakat modern, akan menimbulkan sikap penghargaan terhadap lingkungan.

Langkah awal harus dimulai dari hal-hal yang paling kecil dan sederhana untuk

dapat melakukan sesuatu yang lebih besar. Manusia dan alam harus hidup

125

Page 152: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

berdampingan dengan harmonis, bukan dengan cara memperlakukan lingkungan

secara destruktif. Jika hal ini terjadi, maka untuk mewujudkan masyarakat yang

lebih beradab dan berkeadilan tidak akan dipenuhi oleh masyarakat modern.

Berdasarkan apa yang dikemukakan Piliang dan Callinicos di atas

mengindikasikan bahwa perubahan dilakukan secara sistematis, terencana, dan

tepat sasaran. Perubahan akan mengancam segala aspek-aspek kehidupan

masyarakat tradisional yang bisa dikatakan statis namun penuh makna, bukan

dinamis namun tanpa makna, seperti yang melanda masyarakat modern. Dalam

beberapa dekade lalu, ikatan sosial komunitas lokal masih kuat, namun pesatnya

teknologi komunikasi global, masyarakat tradisional telah berubah secara radikal.

Gideens (2003: 76) menganalogikan hal ini sebagai sebuah dunia, yang mencakup

semua orang adalah sebuah dunia di mana tradisi-tradisi lama tidak menghindari

kontak, tidak hanya dengan tradisi lisan, tetapi juga dengan banyak cara hidup

alternatif. Dalam syair kantola berikut ini dapat memberikan alternatif terhadap

perubahan yang telah melanda masyarakat tradisional saat ini.

dakumala dalumilili

dawawehi dhunia daekapihi

kambea modadi newunta

wuntano nepadhughi dhughi

Artinya:

kita pergi keliling alam

kita mencari bunga yang bermata

hidupnya di tengah-tengah

yang kita harapkan

126

Page 153: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Syair di atas memberikan gambaran tentang solusi alternatif bagaimana

menyikapi arus perubahan tersebut, apa yang sebaiknya dan seharusnya ditempuh.

Tradisi dihancurkan oleh modernitas, namun kolaborasi antara tradisi modernitas

sangat penting dalam tahap perkembangan sosiokultural masyarakat. Masyarakat

tradisional yang statis, terjebak dalam dualisme antara lokalitas dan globalitas.

Disatu sisi, masyarakat harus tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi yang

diwariskan secara turun-temurun, namun disisi lain tidak dapat menghindari

perubahan secara dramatis yang memasuki pola-pola kehidupan mereka.

Fenomena ini menurut Zait (2004: 336), bahwa adanya kesadaran terhadap

hubungan dialektis antara masa lalu dan masa kini, merupakan fenomena yang

harus diterima. Menerima hubungan dialektis yang mengaitkannya dengan masa

lalu, dan berangkat dari kekinian dalam memahami masa lalu. masa lalu bukanlah

satu gugusan, tetapi merupakan kecenderungan yang merefleksikan kekuatan.

Perubahan akibat modernisasi bukanlah sesuatu yang haram, yang harus ditolak

mentah-mentah. Modernisasi mampu memberikan kemudahan dalam berbagai

aspek kehidupan. Dengan demikian, modernisasi tidak serta merta diadopsi secara

keseluruhan, melainkan memilih sebagian dengan cara menegasikan sebagian dan

mengambil sebagian pula.

Modernisasi terus tumbuh dengan produk-produk budaya globalnya, tetapi

warisan budaya lokal harus terus dipertahankan dan dipelihara, serta masyarakat

tradisional selalu menanamkan relasi-relasi sosial, praktek-praktek kebudayaan,

dan keyakinan-keyakinan yang didasarkan pada tradisi. Tradisi kecil mampu

mengembangkan pola-pola hidup harmonis terhadap lingkungan dan dengan

127

Page 154: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

sesama manusia, hal yang tidak dijumpai pada tradisi besar yang secara sistematis

terus mengekploitasi manusia dan lingkungan sekitar mereka.

Menurut pandangan Giddens (2003: 83) bahwa dimasa sekarang,

kehancuran komunitas lokal yang hidup ditengah-tengah masyarakat modern,

telah mencapai puncaknya. Tradisi-tradisi kecil hidup atau secara aktif dihidupkan

selama fase-fase awal perkembangan masyarakat modern, telah semakin

mengarah pada kekuatan evakuasi budaya. pembagian antara tradisi besar dan

tradisi kecil, sekarang hampir sepenuhnya menghilang. Hal ini bertolak belakang

dengan apa yang dikemukakan Astra (2009: 125) pada bab sebelumnya. Tradisi

kecil mampu hidup berdampingan dengan sejumlah unsur budaya yang berasal

dari tradisi besar. Tradisi kecil mampu berfungsi sebagai filter, sensor, dan

adaptor terhadap budaya-budaya luar. Hal ini dipergegas oleh Sztompka (2007:

75) yang menyatakan bahwa tradisi semacam onggokan gagasan dan material

yang dapat digunakan oleh setiap tindakan kini dan berdasarkan pengalaman masa

lalu membuka celah untuk membangun masa depan.

Untuk mengaktualisasikan fungsi tradisi kecil sudah tentu memerlukan

berbagai sarana, baik berupa struktur-struktur dalam tata masyarakat yang

memungkinkan untuk dijalankan dan diimplementasikan. Keberadaan lembaga-

lembaga Pembina, baik yang dikelola oleh pemerintah daerah, kalangan

akademisi, maupun kalangan swasta, dan masyarakat pendukungnya. Komponen-

komponen masyarakat yang bergerak di bidang pengkajian maupun pelestarian

warisan budaya lokal, merupakan sarana struktur yang diperlukan untuk

128

Page 155: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

mengaktualisasikan fungsi-fungsi tradisi kecil yang tersubordinasi oleh tradisi

besar.

6.2 Fungsi Komunikasi

Kekhasan tradisi lisan kantola merupakan komunikasi yang terjadi dalam

berbalas pantun antara kelompok laki-laki dan perempun. Bahasa yang digunakan

dalam tradisi kantola adalah diungkapkan secara puitik dan metaforik, dipadukan

dengan gerak-gerakan yang khas pula. Kemampuan berkomunikasi dalam tradisi

lisan kantola akan membutuhkan kelihayan dalam melangsir bait-bait syair tradisi

lisan kantola. Kebenaran dan informasi yang disampaikan dalam komunikasi

dalam tradisi lisan kantola merupakan kualitas individu yang diramu dalam suatu

pola kebersamaan. Dengan demikian, komunikasi dalam tardisi lisan kantola

dapat menjalankan fungsi informatif dan komunikatifnya. Menurut Sperber dan

Wilson (2009: 42), maksud informatif berfungsi untuk menginformasikan sesuatu,

sedangkan maksud komunikatif berfungsi untuk menginformasikan maksud

informatif tersebut. Maksud komunikatif dapat dipenuhi setelah maksud

informatif dimengerti oleh pendendang ataupun penikmat tradisi lisan ini.

Tradisi lisan kantola dibangun dalam konstruksi sebait-bait kata, frasa,

maupun susunan kalimat yang merupakan ekspresi perasaan dan pendapat peserta

kantola. Ciri kecepatan, ketepatan, dan kecerdasan menyusun bait-bait syait

kantola menjadi tolak ukur kemampuan seseorang dalam menyampaikan

pandangan dan pendapatnya dalam bentuk bahasa metaforik kepada peserta lain.

Dalam melantunkan kantola perserta harus menyampaikan pantun dengan bahasa

yang santun dan tidak bertentangan dengan budaya masyarakat atau individu yang

129

Page 156: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

menjadi sasaran maksud kantola. Kalaupun ditujukan kepada peserta yang

mengarah pada tabiat, watak atau rahasia pribadi peserta kantola, penyampaian

bahasanya akan dipilih bahasa yang santun dan tidak menyinggung perasaan pada

seseorang tempat ditujukannya syair kantola tersebut. Komunikasi dalam tradisi

lisan kantola biasa yang menggunakan bahasa berkesan, menyindir, dan

sederhana, tetapi tak jarang pula ditemukan bahasa kantola yang sulit untuk

dipahami. Biasanya untuk memahami lebih dalam tentang hal itu, akan

melibatkan kecermatan, konsentrasi yang tinggi dan berpikir filasafat. Hal ini

sesuai dengan pandangan Piris dkk. (2000:8) yang menyatakan bahwa kantola

berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan kecermatan berbahasa, seperti

dalam ungkapan berikut.

Lambu pata nepondoiki

amambanu aengkorahiea kengkorahano

Artinya:

rumah yang saya tiada bisa

malu menduduki kursinya

Syair kantola di atas berisi nilai etika mengenai sikap malu seseorang, sikap malu

untuk berbuat kesalahan. Dalam masyarakat tradisional, yang masih menjunjung

tinggi nilai-nilai adat yang berlandaskan pada tradisi, sikap malu ini merupakan

dasar yang paling hakiki dalam kehidupan masyarakat. Sikap malu ini tidak saja

diterapkan pada diri sendiri, tetapi juga pada orang lain. Sikap ini, tentu saja

menimbulkan sikap yang menghargai dan menghormati eksistensi orang lain

diluar dirinya. Apa yang hendak dikomunikasikan melalui ungkapan di atas harus

130

Page 157: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

ditanamkan pada generasi penerus sejak awal. Internalisasi sikap malu sudah

mulai terbangun semenjak mereka telah mampu bersosialisasi dengan masyarakat

sekitar sehingga nantinya tercipta keharmonisan antara sesama masyarakat.

Fenomena ini, menurut Syam (2005: 38) bahwa hal ini harus bermula pada

diri sendiri, di tengah-tengah lembaga-lembaga sosial di mana dia berada.

Internalisasi selanjutnya diterapkan pada lingkungan sekitarnya. Misalnya, ucapan

salam pada saat meninggalkan dan memasuki rumah. Begitu pula pada saat

memasuki rumah orang lain. Kebiasaan ini harus terus ditumbuhkan dalam diri

generasi penerus sejak dini. Dengan demikian, dalam diri mereka telah tertanam

sikap sopan santun dan penghargaan terhadap orang lain. Selain itu, ungkapan ini

juga mencerminkan sikap adaptatif manusia jika memasuki lingkungan yang baru,

di mana penghormatan terhadap budaya setempat harus dijunjung tinggi oleh

siapa pun.

Sebagian besar yang terselubung dalam tradisi lisan kantola mengandung

struktur nilai untuk menginformasikan dan memotivasi pernyataan-pernyataan

faktual adalah merupakan bagian dari apa yang dimaksud ideologi. Ideologi

secara kasar adalah segala cara yang dikatakan dan dipercayai, terhubung dengan

struktur kekuasaan dan relasi-relasi yang terdapat dalam masyarakat. Ideologi

bukan sekedar kepercayaan-kepercayaan yang berakar dalam, sering kali disadari

terdapat dalam setiap individu, tetapi lebih khusus kecara-cara merasa, menilai,

memandang, mempercayai yang berhubungan dengan pemeliharaan dan

reproduksi kekuatan sosial. Fakta bahwa kepercayaan macam itu hanyalah

kebiasaan privat yang digambarkan dalam karya sastra (Eagleton, 2006: 20).

131

Page 158: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Tradisi lisan kantola biasanya berisi pandangan manusia tentang alam dan

dunianya. Bahwa setiap individu masyarakat dituntut untuk dapat menempatkan

dirinya dalam masyarakat serta mampu menciptakan suasana keragaman yang

dapat menjalin ikatan antara sesama manusia dalam hubungan kekeluargaan

sampai ke tempat kelompok besar, yaitu masyarakat. Namun, jangan sampai

terbawa oleh situasi yang menggiring ke arah tak menentu, terombang ambing

oleh keadaan dunia yang penuh jebakan, kesenangan duniawi semata.

6.3 Fungsi Sosial

Tradisi lisan kantola didendangkan, didengarkan dan dihayati secara

bersama-sama pada peristiwa tertentu, dengan maksud dan tujuan tertentu pula.

Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain berkaitan dengan pasca perkawinan,

syukuran, khitanan, pasca panen dan acara lain yang tujuannya menghibur.

Tradisi lisan, pada dasarnya, sangat digemari oleh warga masyarakat dan biasanya

didengarkan bersama-sama karena mengandung gagasan, pikiran, ajaran, nasehat,

dan nilai-nilai moral. Gagasan ini berpengaruh pada sikap dan perilaku

masyarakat tradisional yang memiliki ikatan kolektivitas yang kuat. Keberadaan

produk budaya lokal ini dianggap sebagai bukti historis kreativitas masyarakat

yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan semangat solidaritas sesama

masyarakat.

Semangat solidaritas yang dihasilkan dari tradisi lisan kantola berdampak

positif pada menguatnya ikatan batin di antara anggota masyarakat. Dalam

konteks ini, bisa dilihat bahwa tradisi lisan juga memiliki fungsi sosial, dengan

demikian, bisa dikatakan bahwa memudarnya tradisi lisan kantola di masyarakat

132

Page 159: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

merupakan salah satu indikasi telah memudarnya ikatan sosial di antara mereka,

dan sebaliknya. Pertanyaan ini sering mengemuka di kalangan pemerhati budaya

yang menilai ikatan sosial budaya suatu masyarakat sudah beralih ke sikap

individualistis dan kompromistis, bukan lagi pencerminan dan perwujudan dari

sistem budaya yang melekat pada masyarakat tradisional. Syair kantola berikut ini

memberikan gambaran ikatan sosial dalam masyarakat lokal.

noporomu mina naseise

nopogaati mina nakogholata

Artinya:

berkumpul tidak bersatu

berpisah tidak berantara

Syair kantola di atas mengisyaratkan bahwa setiap manusia baik sebagai individu

maupun sebagai kelompok membutuhkan orang lain atau kelompok lain dalam

mewujudkan tujuan hidupnya. Mereka saling kerjasama, saling mendukung dan

saling melengkapi. Ketergantungan manusia yang satu dengan manusia yang lain

menurut masyarakat Muna, ibarat anggota tubuh manusia yang tidak mungkin

dipisahkan antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Semua anggota tubuh

manusia mempunyai tugas, tanggung jawab dan fungsi masing-masing untuk

mendukung fungsi tubuh itu secara keseluruhan. Demikian halnya dengan

masyarakat Muna misalnya dalam menjalin hubungan antarstrata sosial (kaomu,

walaka, dan maradika), masing-masing mempunyai hak, kewajiban, tugas

tanggung jawab dan fungsi, akan tetapi saling membantu, saling mendukung dan

saling melengkapi sesuai norma-norma adat yang telah disepakati bersama.

Tradisi lisan kantola termasuk khazanah sastra yang penting sebagai bagian utama

133

Page 160: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

dari budaya sastra masyarakat. Ungkapkan isi syair tentang asal-usul dalam

masyarakat yang mengandung maksud legitimasi yang berhubungan dengan

kekuasaan.

Realitas sosial di atas yang menyangkut legitimasi yang berhubungan

dengan kekuasaan dalam masyarakat menurut Syam (2005: 39), bahwa legitimasi

berfungsi untuk membuat objektivisi yang telah dilembagakan menjadi masuk

akal secara subyaktif. Subyektifitas menggiring masyarakat terpaku pada pola-

pola yang ditetapkan pemerintah daerah dan terus direproduksi sebagai perilaku

atau tindakan. Proses habitualisasi ini terus mengendap dalam masyarakat dan

memberikan pemahaman diri dan tindakan mereka, dalam konteks kehidupan

sosiokultural melalui proses pentradisian. Masyarakat Muna mengenal tradisi

lisan kantola sebagai bentuk tradisi sastra yang paling dominan. Melalui tradisi

lisan inilah masyarakat menjalankan fungsi sosialnya, dan mengembangkan

pengetahuan dan pola sikap atas kehidupannya.

6.3.1 Fungsi Pengendalian Sosial

Dalam tulisan ini akan membahas tentang keberadaan tradisi lisan kantola

sebagai alat pengendalian sosial pada masyarakat Muna. Dinamika masyarakat

dan kebudayaan membawa berbagai bentuk perubahan, seperti perubahan pola

hidup, gaya hidup dan pandangan hidup. Perubahan juga terjadi pada aktivitas

kultural termasuk perubahan pada sistem sosiokultural. Tradisi lisan kantola

sangat berkaitan erat dengan nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang ada pada

masyarakat Muna yang menjadi pijakan kehidupannya.

134

Page 161: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Dalam melakukan interaksi sosial setiap komunitas sering terjadi

perbedaan pandangan. Tentunya diharapkan masalah tersebut dapat diselesaikan

dengan baik dan akan kembali pada situasi dan kondisi semula, sehingga terwujud

suatu keseimbangan (social equilibrium) upaya untuk mewujutkan kondisi

seimbang di dalam masyarakat disebut pengendalian sosial (social control).

Pengendalian sosial sebenarnya sudah ada semenjak awal kehidupan manusia.

Pada bentuk pergaulan hidup yang paling sederhana, pengendalian sosial

merupakan suatu sarana untuk mengorganisasikan perilaku sosial dan budaya.

Joseph S. Roucek (Soekanto, 1993: 205) dalam salah satu karyanya yang berjudul

Sosial Control menyatakan bahwa pengendalian sosial merupakan,

“….a collective term for those processes, planned or implanned, by which individuals are taught, persuaded, or compelled to conform to the usages and live-values of groups.

Pernyataan Roucek di atas merupakan hal yang menarik, bahwa dalam proses

pengendalian sosial terdapat unsur pemaksaan dalam menerapkan nilai-nilai

dalam hidup bermasyarakat suatu kelompok. Nilai-nilai yang mengikat

masyarakat dalam suatu kelompok dapat terlaksana jika penerapan nilai-nilai

tersebut diikuti dengan unsur pemaksaan melalui berbagai pendekatan dan

sosialisasi. Pendekatan dan sosialisasi ini umumnya dilakukan oleh pemegang

kekuasaan dalam suatu kelompok. Dengan kata lain, pengendalian sosial tidak

lepas dari elemen penguasa dalam struktur budaya suatu kelompok masyarakat

tertentu.

Berkaitan dengan penjelasan di atas, simbol-simbol agama misalnya, tidak

hanya menjadi petunjuk arah dari suatu praktik yang berhubungan dengan

135

Page 162: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

religiusitas, tetapi juga legitimasi atas keberadaan dan kepentingan. Agama

berfungsi mengesahkan keberadaan dan tindakan-tindakan yang bisa saja

menyimpang dari substansi yang hakiki karena simbolisasi agama telah mewakili

suatu realitas keagaaam itu sendiri. Agama dipraktikkan sebagai bahan dari proses

pengendalian sosial dan identifikasi diri untuk lebih menekankan pada pemosisian

individu, kelompok, dan institusi (Abdullah, 2006: 9).

Ada tiga prasyarat untuk melakukan pengendalian sosial yang

dikemukakan oleh Soekanto (1993: 208) yaitu, (1) suatu kelompok pengendalian

prilaku kelompok lain; (2) suatu kelompok mengendalikan perilaku anggota-

anggotanya; dan (3) pribadi-pribadi mempengaruhi tanggapan dari pihak lain.

Dengan demikian, pengendalian sosial berproses pada tiga tingkatan, yaitu dari

kelompok terhadap kelompok lainnya, kelompok terhadap anggotanya, dan

pribadi terhadap pribadi lainnya. Bentuk-bentuk sosiokultural masyarakat sangat

penting untuk menentukan arah pengendalian sosial. syair tradisi lisan kantola

berikut ini mencerminkan salah satu usaha untuk melakukan pengendalian sosial.

andoa naando, andoa naando

insaidi naando, insaidi naando

Artinya:

mereka punya, mereka punya

kita punya, kita punya

Syair di atas menggambarkan tentang masyarakat Muna sebagai masyarakat

tradisional, umumnya menggantungkan hidupnya sebagai petani ladang. Ladang-

ladang mereka berlokasi tidak jauh dari rumah mereka, tetapi juga ada yang

berlokasi di daerah pegunungan. Ladang-ladang tersebut, terutama di daerah

136

Page 163: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

pegunungan, tidak terdapat batas-batas yang menegaskan antara pemilik yang satu

dengan pemilik lainnya. Namun, masyarakat tidak ada yang melanggar batas-

batas tertentu, apalagi menggarap ladang orang lain. Masyarakat Muna telah

memiliki kesadaran bahwa apa yang mereka miliki, itulah yang menjadi hak

mereka tanpa harus merebut sebagian atau seluruh ladang milik orang lain.

Dengan kata lain, segala sesuatu yang ada di alam ini, tentunya ada pemiliknya

masing-masing. Olehnya itu sudah saatnya masyarakat Muna menumbuhkan

kesadaran yang cukup mendalam pada diri mereka sendiri.

Fenomena ini, menurut Sulistyowati (2003: 104) ditentukan oleh faktor

eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah faktor pemimpin, baik pemimpin

pemerintah, adat, atau keluarga. Dalam hal ini, nama besar Witeno Wuna Barakati

dan lembaga adat sangat dominan dalam menentukan proses ketaatan dan

kepatutan masyarakat setempat. Sedangkan faktor internal adalah faktor

pemahaman diri terhadap apa yang sedang dan akan berlangsung. Hanya saja jika

ketaatan yang muncul berasal dari faktor eksternal, penghargaan terhadap orang

lain sulit dicapai. Tetapi jika ketaatan yang tumbuh dalam warga adalah karena

faktor internal, maka penghargaan terhadap nilai sosial budaya yang ada akan

tinggi, sebab mereka sudah memahami apa yang seharusnya dilakukan.

Ungkapan tradisi lisan kantola di atas mengisaratkan sikap kejujuran,

hidup bersih dengan tidak mengambil hak orang lain. Selain itu, ungkapan ini juga

dengan tegas mengungkapkan penghargaan terhadap kepemilikan seseorang atau

hak-hak individu. Jika mampu menerapkan sikap jujur ini dalam kehidupan

sehari-hari, maka perilaku korupsi menyebar di mana-mana, tanpa memandang

137

Page 164: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

bulu siapa perilaku dan korbannya. Yang paling dirugikan adalah rakyat kecil

yang tidak memiliki daya saing dan kekuatan untuk melawan sikap ketiranian ini.

Saling klaim, caplok mencaplok, rampas-merampas milik orang lain bukan lagi

hal-hal yang tabu dan secara diam-diam dilakukan, tetapi sudah secara terang-

terangan dilakukan di depan mata. Perilaku negatif akan berdampak negatif pula

pada orang lain. Selain menyengsarakan rakyat banyak, juga akan terjadi

kontinuitas perilaku pada orang lain. Sebagaimana terungkap dalam syair kantola

di bawah ini.

Setanga mate aewei kamotugha

Tamaka kawulehaku doalae bhaindo

Tamaka kamotugha kawulehamani

koemo motehi mada kaawu daeghawa dua dawu

Artinya:

setelah mati membongkar hutan

tapi hasilnya diambil orang

tetapi hutan kita punya lelah

tidak perlu takut kita akan peroleh bagian

Syair di atas mengungkapkan tentang segala upaya yang telah diusahakan dengan

bersusah payah dan bersimbah peluh namun hasilnya dirampas dan dijarah orang

lain. Salah satu hal yang hendak dicapai dalam pengendalian sosial adalah

terwujudnya keseimbangan sosial. Namun, masyarakat di belahan dunia mana

pun, tidak selalu taat dan patuh pada adat istiadat dan norma-norma yang berlaku

dalam masyarakat. Deviant, senantiasa menentang peraturan yang berlaku, selalu

timbul dalam suatu kelompok masyarakat. Fenomena ini sesuai dengan yang

138

Page 165: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

dikemukakan oleh Kimball Young (Soekanto, 1993: 209) yang berpendapat

bahwa tujuan pengendalian sosial agar terjadi konformitas, solidaritas, dan

kesinambungan dari suatu kelompok atau masyarakat. Olehnya itu, desas-desuslah

merupakan cara yang ampuh untuk memaksakan terjadinya konformitas pada

masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat, (1998: 185-186) bahwa untuk menghindari

desas-desus masyarakat, orang akan berupaya untuk tidak berbuat sosial,

melanggar adat dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Tapi hal ini

tidak dapat diterapkan pada masyarakat heterogen. Efektivitas pengendalian sosial

senantiasa bergantung pada perubahan-perubahan organisasi sosial dan nilai-nilai

masyarakat yang bersangkutan. Perilaku negatif ini harus dikekang semaksimal

mungkin sehingga tidak menimbulkan keresahan masyarakat yang dapat berakibat

pada macetnya tatanan sosial yang telah dibina selama ini. Untuk itu diperlukan

berbagai cara dalam mengendalikan ketegangan-ketegangan sosial, seperti yang

dikemukakan Koentjaraningrat, yaitu (1) mempertebal keyakinan akan kebaikan

dan manfaat adat istiadat; (2) memberikan ganjaran kepada warga yang taat

kepada adat istiadat; (3) mengembangkan rasa takut untuk menyeleweng karena

adaya ancaman; dan (4) mengembangkan rasa malu untuk menyeleweng dari adat

istiadat.

Pentingnya lembaga-lembaga atau pun sarana pengendalian sosial,

bergantung pada konteks sosiokultural di mana pengendalian sosial tersebut

beroperasi. Efektivitas pengendalian sosial juga bergantung pada perubahan-

perubahan sosial dan nilai-nilai dalam masyarakat. Muna, dengan karakteristik

139

Page 166: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

masyarakat dan budayanya yang berbeda dengan wilayah lain di nusantara,

memiliki struktur adat yang bertumpu pada adat masing-masing. Konsep adat ini

membentuk atau nilai-nilai yang dilaksanakan oleh masyarakat. Nilai-nilai yang

mengikat masyarakat dalam suatu kelompok dapat terlaksana jika penerapan nilai-

nilai tersebut diikuti dengan unsur pemaksaan melalui berbagai pendekatan dan

sosialisasi. Pelanggaran terhadap nilai-nilai akan berakibat pada pemberian sanksi

kepada yang bersangkutan.

Aktivitas kultural dan adat istiadat dapat dideskripsikan menjadi acuan

terhadap hukum yang berlaku dalam masyarakat. Tradisi lisan kantola yang

merupakan landasan pijak bagi masyarakat Muna dalam menentukan kebenaran

juga menyisaratkan adanya aturan atau norma-norma hukum yang harus dipatuhi.

Adat istiadat merupakan dasar hukum yang dapat dijadikan alat pengendalian

sosial, artinya bahwa sistem pengendalian sosial masyarakat yang berupa hukum

ada dalam semua masyarakat, dan karena itu bersifat universal. Dalam suatu

masyarakat, tidak seluruh adat istiadat beribadat hukum, dan hanya pelanggaran

terhadap sebagian dari adat istiadat yang dapat berakibat hukum.

Hukum merupakan suatu sistem pengendalian sosial yang bersifat

universal, dan dalam komunitas yang lebih kecil pengendalian sosial dilakukan

dengan kegiatan-kegiatan tertentu, dan tidak terutama karena ketaatan yang

mutlak kepada adat (Koentjaningrat, 1998: 188) Apabila terjadi pelanggaran adat

istiadat yang menimbulkan ketegangan, maka akan diupayakan pemecahannya

melalui pemimpin adat atau pemuka masyarakat yang berkompoten untuk

menyelesaikannya.

140

Page 167: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Hukum yaitu suatu kegiatan kebudayaan yang berfungsi sebagai alat

pengendalian sosial. Menurut Pospisil (Koentjaraningrat, 1998: 190) hukum

memiliki empat ciri utama yaitu attributes of law, yaitu attribute of authority,

kegiatan kebudayaan yang disebut hukum adalah keputusan orang-orang atau

golongan yang berkuasa dalam masyarakat, yang dapat merendakan ketegangan-

ketegangan dalam masyarakat; attribute of intention of universal application,

keputusan pemegang kuasa harus mengandung perumusan kewajiban pihak

pertama terhadap pihak kedua dan sebaliknya; attribute of sanction, keputusan

pihak yang berkuasa harus diikutkan dengan sanksi yang sudah ditetapkan.

Kebudayaan dalam kaitannya dengan pengendalian sosial bergantung pada

organisasi sosial dan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Perkembangan hubungan

dalam organisasi sosial menyebabkan terjadinya pembentukan kebiasaan,

kerangka mentalitas, dan konteks pengalaman individual. Perkembangan

kepribadian, sebagai hasil pengalaman yang penting bagi pengendalian sosial

adalah timbulnya kesadaran sosial. Memahami pengendalian sosial diperlukan

pengetahuan tentang proses-proses dan unsur-unsur yang berpengaruh terhadap

pembentukan kepribadian. Dalam teori revitalisasi, tipe kepribadian dominan atau

karakter sosial, menjamin istilah erich Fromm dapat berperan dalam melestarikan

budaya. dalam setiap kebudayaan pasti ada kemungkinan-kemungkinan masuknya

unsur-unsur tertentu ke dalam kepribadian, hal ini mendorong individu untuk

menata ulang pengalaman kultural individu dalam pengembangan dan

pelestariannya.

141

Page 168: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

6.3.2 Fungsi Kritik Sosial

Pada era modern seperti saat ini kecenderungan yang paling mencolok

adalah perubahan menuju globalisasi. Modernitas menimbulkan efek ambivalen,

selain menguntungkan, modernitas juga merusak, dan kerusakan itu bisa sangat

fatal. Globalisasi tidak hanya berdampak positif terhadap segala aspek kehidupan,

tetapi juga berdampak negatif dengan ditandainya berbagai bentuk hegemonisasi,

termasuk aktivitas kultur, yang menyebabkan tingkat ketergantungan dalam

segala aspek kehidupan sangat tinggi. Nilai-nilai lokal, yang menampilkan bentuk

kesederhanaan dan kebersamaan, mengalami pergeseran ke arah hedoisme dan

individualisme.

Masyarakat sudah terlalu jauh memisahkan diri dengan masa lalu, bahkan

ada yang ingin memberangus masa lalu. Jauhnya memisahkan diri dengan masa

lalu sehingga etika dan moral yang terkadang dalam tradisi lisan merupakan

bentuk kritik terhadap kondisi masyarakat saat ini, sudah mulai terlupakan.

Modernisasi berusaha menghancurkan kebiasaan-kebiasaan masa lalu yang penuh

dengan kearifan lokal. Masyarakat tidak akan pernah menjadi masyarakat bila

kaitan dengan masa lalunya tidak ada. Menurut Sztompka (2007: 65), masyarakat

ada setiap saat dari masa lalu ke masa yang akan datang. Kehadirannya justru

memulai fase antara apa yang telah terjadi di masa lampau dan apa yang akan

terjadi. Apa yang terdapat saat ini merupakan warisan gagasan, keyakinan, norma,

dan nilai-nilai masa lalu. Hal ini berarti masyarakat tidak dapat menafikan

keterkaitan masa lalu dengan masa kini ataupun masa yang akan datang.

142

Page 169: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Masyarakat Muna merupakan masyarakat yang majemuk dengan berbagai

pola interaksi yang bermacam-macam pula. Perilaku masyarakat terikat pada tata

nilai dan norma-norma yang berlaku secara turun-temurun. Seiring dengan

perubahan pola hidup masyarakat tradisional manuju pola hidup masyarakat

modern, tata nilai yang bersumber dari kearifan lokal tidak lagi menjadi tuntunan

hidup dalam berinteraksi. Globalisasi mampu merontokkan segala bentuk

kebiasaan-kebiasaan yang berbau tradisional dan primordialisme. Perubahan pola

hidup masyarakat tradisional tampak nyata dalam berbagai aspek kehidupan. Tata

nilai yang bersumber dari adat istiadat tidak lagi mampu membendung terciptanya

pola-pola hidup yang dianggapnya modern. Segala hal yang berbau modernitas

diserap dan dianggap sebagai sesuatu yang menjadi keharusan dalam hidup ini.

Perkembangan globalisasi telah menciptakan produk global, yang

intensitasnya mampu melampaui akal sehat. Pada hakekatnya, budaya global

merupakan kebudayaan yang terbentuk akibat berbagai bentuk relasi ekonomi

berskala global, khususnya relasi kapitalisme global, yang memiliki otoritas

dalam menentukan dan mengontrol arah kebijakan (Piliang, 2005b: 375). Budaya

global telah memunculkan sikap kompromistik, individualistik, dan konsumtif.

Nilai-nilai tradisional, yang bersumber pada kearifan lokal, mulai tergantikan oleh

sistem yang dihasilkan oleh budaya global. Sebagai salah satu kearifan lokal,

tradisi lisan juga mulai tergantikan oleh produk-produk budaya global melalui

media yang sangat massive dalam pendistribusiannya, yang bertumpu pada mesin

kapitalisme yang sangat kuat. Sebagai aktivitas kultur, tradisi lisan, mampu

143

Page 170: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

menghasilkan aspek-aspek moral dan etika yang terdapat didalamnya. Misalnya

dalam ungkapan tradisi lisan kantola berikut ini.

koise notolori kalangke

bahi taohala osampu

Artinya:

jangan kamu terlalu tinggi

nanti turunnya salah

Syair tradisi lisan kantola di atas merefleksikan pencapaian individu dalam

menapaki puncak tertinggi dalam kehidupan masyarakat, yaitu kekuasaan. Pada

dasarnya, manusia selalu menginginkan sesuatu yang lebih dari apa yang telah

diperolehnya. Menurut Durkheim (Sztompka, 2007: 65), sifat alami manusia

adalah buas, egoistis, individualistis, yang siap bertempur untuk mempertahankan

kepentingannya tanpa menghiraukan kepentingan orang lain. Fenomena ini lebih

jauh lagi ditegaskan oleh Piliang (2005b:119) yang mengemukakan bahwa

penguasaan terhadap orang lain, sikap mental merampas, hedoisme selalu saja

berkembang subur dalam masyarakat dengan mengahalkan berbagai macam cara.

Foucault (Piliang, 2005b: 112), mengungkapkan bahwa kekuasaan

tidaklah semata-mata dilanggengkan melalui cara-cara represif, akan tetapi

melalui berbagai tawaran-tawaran pengetahuan dan kesenangan. Kekuasaan selalu

berusaha menghasilkan sesuatu yang baru dalam rangka melanggengkan

ketergantungan setiap orang. Pelanggengan kekuasaan dilakukan dengan memberi

ruang hidup yang seluas-luasnya bagi pelepasan berbagai bentuk hasrat di dalam

144

Page 171: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan itu sendiri dianggap menghalangi prinsip

kebebasan yang mampu mengendalikan berbagai aktivitas kultural.

Untuk mencapai kehidupan sosial yang selaras dan harmonis, yaitu dengan

aturan kultural, norma, dan nilai yang harus diwujudkan. Segala aturan yang

bersumber dari nilai-nilai tradisional mampu menjadi perekat dalam membangun

ikatan sosial masyarakat yang tercerai-berai dalam alam perubahan yang

ditimbulkan oleh globalisasi. Tata nilai kehidupan masyarakat tradisional sifatnya

mengikat, bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut masyarakat modern

yang menuntut kompromistis dan kebebasan. Tata nilai ini bertujuan untuk

melestarikan dan memulihkan tatanan moral yang kuat pada masyarakat. Sebagai

bangsa yang berbudaya, tentunya tidak ingin menjadi masyarakat yang oleh

Durkheim disebut sebagai anomi atau masyarakat tanpa norma. Keadaan anomi

berlangsung ketika orang hidup tanpa kebimbangan, merasa terjungkir, dan

kehilangan pegangan hidup. Individu akan mencari jalan keluar dengan perilaku

menyimpang, melampaui batas-batas humanitas, menerabas, dan bahkan tidak

menghiraukan keberadaan individu lain yang berada disekitarnya.

Produk budaya global yang ditumpangi oleh kapitalisme global, bertujuan

untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa menghiraukan persoalan-

persoalan moral, ideologi, dan bahkan agama. Kapitalisme menciptakan

kebutuhan-kebutuhan baru, yang secara inovatif, terus berkembang dan tanpa

henti. Kondisi anomi, hedonistik, dan konsumerisme terus diciptakan dan

dibenamkan dalam benak masyarakat. Dengan demikian, kaum kapitalis akan

lebih mudah menentukan arah kebudayaan masyarakat tersebut. Produk-produk

145

Page 172: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

budaya global sarat dengan muatan-muatan ideologi. Penanaman ideologi ini akan

menimbulkan proses penjiblakan bagi individu untuk menanamkan pengaruhnya

terhadap orang lain. Media elektronik, misalnya mampu menciptakan dan

menghadirkan ideologi kapan pun dan di mana pun juga.

Menurut Gramsci (Bacock, 2007: 122) mengungkapkan bahwa peran

lembaga kemasyarakatan ataupun lembaga adat yang merupakan perpanjangan

tangan kelompok yang berkuasa untuk menentukan ideologi yang mendominasi.

Bahasa misalnya, menjadi sarana penting untuk melayani fungsi hegemonik

tersebut, terutama dalam undang-undang, lembaga-lembaga pendidikan Negara,

masyarakat sipil, media massa, dan kesenian. Ideologi menjadi sumber pembuatan

aturan perilaku sehari-hari dan tindakan moral yang setara dengan agama. Bagi

Gramsci, agama merupakan wawasan dunia yang populer, dengan suatu sistem

nilai moral, suatu sistem kepercayaan, dan suatu sistem ritual/simbolik. Ideologi

merupakan pengalaman sehari-hari sekaligus juga sekumpulan ide sistematis yang

berperan untuk mengatur dan mengikat suatu blok elemen sosial yang beragam.

Kekuasaan senantiasa ada di dalam setiap masyarakat, baik struktur masyarakat

tradisional maupun struktur masyarakat modern.

Dalam masyarakat modern, orang akan kehilangan identitas individual dan

mulai diperlakukan tanpa nama (anonim), Sztompka (2007: 92-93). Kehormatan

individu atau kesetiaan terhadap kelompok terpaksa dikaburkan atau diabaikan

sama sekali. Akibatnya, ikatan antarpribadi, berdasarkan kesamaan lingkungan

tempat tinggal, kesukuan, dan agama menjadi terputus. Masyarakat yang terputus

ini dapat mengakibatkan munculnya kekuasaan otokrasi bahkan totaliter. Juga

146

Page 173: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

mempermudah mobilitas berbagai jenis gerekan sosial sebagai pengganti ikatan

sosial yang hilang. Kekuasaan otokratis semacam ini dapat di gambarkan dalam

syair tradisi lisan kantola di bawah ini.

koise ihintu nodero podiu

koise ihintu mekalimbaki tida

omekona mie, mefewambaki mie

omie mina, intaidi kaawu foliuno kakantiba

koise pogau pontalabi-labi

dhunia nando naewanta

Artinya:

jangan engkau terlalu congkak

jangan kamu melewati batas

menyebut orang, mengumpat orang

orang tidak, kita saja yang paling benar

jangan berkata-kata takabur

dunia masih panjang

Syair di atas menggambarkan sikap yang tidak menghargai pendapat dan hak-hak

manusia yang melekat pada masing-masing individu. Hal ini jelas bertentangan

dengan prinsip demokrasi yang sangat membimbing tinggi kebebasan dalam

mengeluarkan pendapat dan prinsip keadilan. Hal ini akan menimbulkan

penguatan bentuk-bentuk penindasan dan opresi terhadap individu atau kelompok

sosial lainnya. Fenomena ini bertentangan dengan yang dikemukakan oleh Ife dan

Toseriero (2008: 116) yang beranggapan bahwa keadilan sosial adalah pandangan

kejujuran dan kesetaraan. Prinsip-prinsip ini diletakkan pada umumnya mencakup

147

Page 174: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

beberapa acuan hak-hak yang dimiliki tiap individu untuk mengeluarkan

pendapat.

Untuk menentukan posisi individu dalam suatu masyarakat dibutuhkan

penghormatan terhadap keberadaan manusia. Pengakuan eksistensi manusia

sebagai mahluk ciptaan yang Maha Kuasa, sebagai makhluk sosial yang saling

berhubungan dengan satu sama lain. Penerapan konsep ini mampu menumbuhkan

prinsip menghormati perbedaan pendapat. Ia tidak perlu ngotot menyangkal

pandangan orang lain yang berbeda dan tak merasa takut bila ada orang lain yang

membangkang pandangannya. Ia pun kurang menyukai pendapat yang disodorkan

secara otokratis. Nilai etis dan moral dalam kearifan lokal ini memberikan rambu-

rambu dalam berintekraksi dengan sesama. Perbedaan pandangan selalu saja ada

itu sah-sah saja dalam kehidupan masyarakat. Kebijakan dan kematangan dalam

berprilaku dapat menumbuhkan sikap toleransi dalam menghargai kemajemukan.

Ungkapan tradisi lisan kantola di bawah ini patut menjadi renungan dalam

menyikapi sisi kelam modernitas saat ini.

Kopodiu peda kumbou

Tibaliu ko kambea

Koise peda kambea wekangkaha

Kokambea kaawu poko bhakea

Artinya:

Berlakulah seperti duku

Berbuah tanpa berbunga

Jangan seperti bunga di jalan

Hanya berbunga tanpa berbuah

148

Page 175: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Syair di atas ini mencerminkan eksistensi manusia dalam berinteraksi dengan

sesama manusia. Bahwa manusia sesungguhnya harus menumbuhkan sifat

mutualisme dan menghindari sikap parasitisme. Manusia harus dapat bermanfaat

bagi manusia lainnya, tidak mengisap keuntungan dari manusia yang lemah dan

tanpa daya. Hal ini tidak tampak dalam masyarakat modern. Fenomena ini

menurut Abdullah (2006: 169) bahwa masyarakat tradisional mengalami

pergeseran menuju masyarakat modern, melahirkan ideologi baru yang paling

mendasar, yaitu penegasan perbedaan dan kebebasan. Dalam era modernitas,

kapitalisme menjadi kekuasaan paling penting, tidak hanya mampu menata dunia

menjadi satu tatanan global, tetapi juga mengubah tatanan masyarakat menjadi

sistem yang bertumpu pada perbedaan-perbedaan yang berorientasi pada

pembentukan status dan kelas sosial.

Perilaku individualistis merupakan hasil ciptaan modernitas, yang

berdasarkan kebebasan, dan perilaku eksklusivisme, serta berdasarkan kebebasan.

Interaksi sosial dilakukan berdasarkan untung rugi. Masyarakat tradisional tidak

mengenal gaya hidup seperti ini. Dalam berperilaku, sifat pamrih harus

disingkirkan jauh-jauh, tidak menonjolkan keegoan dan materialistik. Perilaku

positif ini mencerminkan sikap kesederhanaan dan penghargaan terhadap sesama

manusia. Manusia harus diperlakukan sesuai dengan kodratnya, bukan eksploitasi

untuk kepentingan diri sendiri tanpa menghiraukan nilai-nilai hakiki kemanusiaan

yang terdapat dalam diri tiap manusia.

Perkembangan kesadaran manusia mengenai sisi suram modernitas dan

dengan meningkatnya kritik terhadap sifat anti-humanitas yang ditimbulkan oleh

149

Page 176: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

arus globalisasi, maka muncullah pandangan bahwa jalan yang dilalui masyarakat

modern harus diubah secara radikal. Pandangan alternatif ini bersumber dari

penemuan kembali adanya aspek keharmoniasan dan keselarasan dalam

masyarakat tradisional. Saat ini timbul berbagai gerakan untuk membangun

kembali kehidupan komunitas, pemakaian kembali ikatan sosial primordial, dan

menghidupkan kembali lembaga-lembaga adat.

Semakin tingginya kecenderungan untuk kembali ke lokalitas, berarti

menunjukkan betapa penting dan sentralnya hal-hal yang berbau lokal. Potensi-

potensi lokal sebelumnya diabaikan sekarang mulai dilirik lagi. Gejala ini

dianggap sebagai bagian dari kritik terhadap modernitasasi yang selama ini

mengusung universalisasi sehingga mengabaikan hal-hal bersifat parsial dan

lokalis. Sudah saatnya kembali menggali budaya sebagai sebuah pengalaman

hidup yang terbukti telah teruji menyelesaikan beragam masalah. Berbagai nilai

budaya yang dimiliki oleh komunitas lokal sangat signifikan untuk

mengembangkan kembali ikatan sosial pada masyarakat.

6.4 Fungsi Pelestarian

Untuk melakukan revitalisasi tradisi lisan dibutuhkan kepedulian berbagai

kalangan, baik dari pemerintah daerah, pemerhati budaya, maupun masyarakat.

Namun, yang menjadi persoalan utama dan kunci utama dari revitalisasi tradisi

lisan adalah adalah menyangkut sikap masyarakat pendukungnya. La Mokui

(wawancara 11 Maret 2011) menyatakan bahwa: “Masyarakat Muna saat ini

terdapat dualisme dalam menyikapi upaya pelestarian aktivitas kelisanan. Pada

satu sisi, harus disikapi dengan optimis, namun pada sisi lain masyarakat bersikap

150

Page 177: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

pesimis dan menganggap tidak perlu lagi karena menjadi bagian dari masa lalu,

tidak memahami masa kini dan tidak mampu mengantisipasi langkah-langkah

yang harus di lakukan masa yang akan datang”.

Generasi muda harus terus diberikan dorongan yang sifatnya motivatif dan

provokatif serta menanamkan, menjaga, dan memelihara keberadaan kearifan

lokal sebagai identitas masyarakat lokal. Pemerhati budaya sering

mengungkapkan bahwa tradisi lisan merupakan bagian dari kebudayaan dan

hidupnya tradisi lisan mencerminkan hidupnya kebudayaan. Tradisi lisan kantola

yang tangguh ialah yang tetap hidup dalam komunitas, hadir dalam kegiatan

masyarakat dan menjalankan fungsinya dalam kehidupan, selain itu, penyebaran

dan penerusan kepada anggota masyarakat, baik segenerasi maupun antargenerasi

harus terus berlangsung serta tradisi lisan ini diharapkan tetap hidup dilingkungan

masyarakat pendukungnya.

Olehnya itu diperlukan pemahaman dan kesadaran baru terhadap upaya-

upaya perubahan kehidupan masyarakat yang sudah menyimpang dari tradisi-

tradisi lama. Revitalisasi dapat berupa cara hidup yang sesuai dengan

perkembangan zaman dengan tetap mengikuti aturan-aturan yang diwariskan oleh

para leluhur ataupun tetap mengikuti pola kehidupan lama yang telah diturun-

temurunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, seperti ungkapan tradisi

lisan kantola berikut ini.

151

Page 178: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Kowasi kalatehano welo tehi

Taaka mina namandehaane kandalono tehi

Ghalo kalatehano welo sangku

Taaka anoa mina namandehaane kalalesano sangku

Maka Anoa mada kaawu nembali bubuno

Nokala nokodoho we tehi

Artinya:

ikan lele tempatnya di danau

tapi dia tidak mengetahui dalamnya danau

burung elang tempatnya dihutan

tapi dia tidak mengetahui luasnya hutan

maka dia akan menjadi buah langsat

hanyut sedalam-dalamnya di danau luas

Syair di atas dapat memberikan pemahaman dan kesadaran akan eksistensi

masyarakat dalam tata pergaulan global. Kondisi saat ini merupakan keberlanjutan

dari masa lalu. Tanpa masa lalu, masyarakat tidak akan mampu mereproduksi

kekuatan-kekuatan sosial yang mampu menjawab tantangan zaman yang harus

berubah. Fenomena ini sesuai dengan pendapat Shils (Sztompka, 2007: 65) yang

menyatakan bahwa masyarakat tidak akan pernah menjadi masyarakat yang

memahami tradisi lisan bila kaitan masa lalunya tidak ada. Kaitan antara masa

lalu dengan masa kini merupakan basis tradisi, yang seharusnya dikembangkan

dari generasi ke generasi.

Budaya-budaya yang merupakan hasil dari masa lalu, terbukti mampu

bertahan melintasi zaman dan menjawab berbagai tantangan. Masyarakat yang

peduli terhadap nilai-nilai kearifan lokal menekankan pentingnya kesadaran

152

Page 179: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

kultural terhadap pemahaman atas eksistensi diri sehingga dapat menempatkan

dan menyesuaikan diri dalam konteks global. Dengan demikian, arus perubahan

tetap meletakkan atau menempatkan tradisi sebagai pijakan utama masyarakat,

berupa akumulasi-akumulasi pengalaman di masa lalu yang berdampak pada

reproduksi kekuatan sosial.

Di saat masyarakat Muna mengalami berbagai guncangan perubahan,

tradisi lisan kantola mampu menyesuaikan struktur dan fungsinya sehingga dapat

hadir dalam wujud yang serasi dengan perilaku penggunanya. Namun, kenyataan

ini bertentangan dengan kondisi yang terjadi saat ini, di mana implementasi fungsi

tradisi lisan sering jauh melenceng dari yang seharusnya. Tradisi lisan tidak lagi

menjadi cerminan masyarakat pendukungnya. Malah sebaliknya, justru makin

menjauh dan tidak bisa menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya yang

disebabkan tidak lagi memiliki daya pikat tersendiri.

Sebagai warisan budaya lokal tradisi lisan kantola dan selanjutnya akan

menjadi sebuah lembaga otonom yang tercabut dari masyarakatnya. Tradisi tidak

mempunyai pesan sosial dan tidak merasa bertanggung jawab dalam menyuarakan

suara publik, sebagaimana fungsi yang diembannya sejak awal. Ini menyiratkan

bahwa karya sastra itu sendiri sudah kehilangan substansinya, yang seyogyanya

harus berfungsi untuk masyarakat. Dalam tatanan wacana, kedudukan, peran, dan

fungsi tradisi lisan sangat mulia dan strategis. Namun, hegemoni kapitalisme telah

mendorong proses homogenisasi produk budaya. Maka dengan demikian desakan

produk-produk budaya global, yang membuat produk budaya lokal semakin

terpinggirkan dan semakin dilupakan oleh pemiliknya.

153

Page 180: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Produk budaya global ditandai dengan adanya integrasi budaya lokal ke

dalam suatu tatanan global. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan

dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai

hal dan memunculkan praktik kehidupan beragam (Abdullah, 2006: 107). Budaya

global telah memunculkan sikap yang konsumtif, kompromistis, dan

individualistik. Siatem yang dihasil oleh produk budaya global telah mengantikan

nilai tradisional yang mengacu pada tradisi.

Kondisi sosiokultural masyarakat yang dihadapi dewasa ini, pada satu

pihak telah berkembang secara historis dan menjadi tradisi, dan pihak lain tengah

membuka diri terhadap perubahan-perubahan, sebagai dampak dari globalisasi,

yang ternyata telah mampu mengubah wajah dunia secara fundamental. Dalam hal

ini harus dijaga agar tidak terjadi cultural lags atau ketertinggalan budaya.

Cultural lags dapat mengabaikan kesadaran masyarakat dalam mempertahankan

dan mengembangkan nilai-nilai sosiokultural, di mana masyarakat dapat

menumbuhkan segala kemampuan yang dimilikinya, beradaptasi terhadap

perubahan-perubahan yang setiap saat muncul, dan merealisasikan secara optimal

potensi humanitasnya yang bertumpu pada nilai-nilai lokal pula. Pemahaman ini

sangatlah mendasar di tengah-tengah deru kapitalisme global yang terus

mendorong derap laju homogenisasi budaya. Globalisasi mampu membentuk

standar kehidupan, gaya hidup mondial, dan pola tingkahlaku yang berlaku pada

seluruh warga yang ada di dunia ini.

Pemahaman mengenai budaya global, diperlukan untuk memahami

keadaan sosiokultur masyarakat lokal. Pelestarian budaya lokal harus pula

154

Page 181: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

dilandasi oleh kebudayaan masyarakat setempat. Kebudayaan bukanlah warisan

yang secara turun-turumun dipraktikkan secara kolektif. Akan tetapi, kebudayaan

bersifat situasional yang berubah dari waktu ke waktu, bergantung pada struktur-

struktur sosial masyarakat pendukungnya. Kesadaran kultural mampu

membangkitkan memori kolektif masyarakat berdasarkan pengalaman-

pengalaman masa lalu dengan berbagai potensi yang dimilikinya. Hal ini harus

terus ditumbuh kembangkan dalam rangka menata-ulang pengalaman kultural dan

memberikan arah secara signifikan bagi perkembangan budaya lokal.

Menurut Ardana (2004: 99), dalam era globalisasi telah muncul upaya-

upaya untuk mengembangkan kembali atau pemberdayaan, pelestarian dan

pengembangan adat istiadat dan peran lembaga adat. Menggunakan nilai-nilai

budaya lokal untuk menjawab berbagai tantangan inilah sebagai wujud nyata dari

revitalisasi budaya lokal. Terjadinya pemutusan tradisi selama rezim Orde Baru

yang sangat hegemonik setralistik dan menekankan keseragaman, menuju proses

homogenisasi budaya, menghempaskan budaya lokal yang sarat dengan nilai-nilai

dan norma-norma dalam palung kepunahan. Menurut Griffin (2005: 25), proses

setralisasi berarti penghancuran komunitas dan institusi organik yang kecil dan

intim, yaitu masyarakat tradisional. Dalam kondisi perubahan budaya yang pesat

dan kontak budaya yang intensif, struktur institusional suatu masyarakat

cenderung macet dan ambruk.

Salah satu upaya untuk mengembangkan budaya lokal sehingga dapat

mengaktualisasikan diri dalam konteks global adalah dengan dilakukan

revitalisasi. Pengembangan budaya lokal, dapat dilakukan melalui pengenalan dan

155

Page 182: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

pengajaran, dengan menciptakan ruang bagi pengembagan kreativitas lokal

sehingga mampu menumbuhkan kesadaran kultural tanpa mengorbankan nilai-

nilai dasar budaya lokal tersebut. Selain itu, revitalisasi harus menjadikan budaya

lokal sebagai kebutuhan dalam kehidupan masyarakat saat ini.

Tujuan gerakan revitalisasi adalah untuk memberikan arti pada masyarakat

dalam menyatukan kembali dunia yang cerai berai dan yang telah kehilangan

makna. Revitalisasi juga terutama ditujukan bagaimana memanusiakan manusia

sehingga menemukan kembali jati dirinya. Untuk itu diperlukan pemahaman

individu terhadap realitas budaya yang dihadapi saat ini. Kebudayaan sebagai

sistem pengetahuan tidak mampu menjelaskan realitas kehidupan masa kini yang

berubah dengan cepat karena kebudayaan sebagai cognitive map tidak mampu

menghasilkan sebuah peta realitas empiris (Abdullah, 2006: 60). Fredric Jameson

(Best dan Kellner, 2002: 189) mengemukakan pendapat menyangkut penciptaan

ruang pengembangan kreativitas lokal dan hubungannya dengan peta pemahaman

tentang

“postmodern space vitiates capacities to act and struggle. Postmodern hyperspace has finally succueede in transcending the capacities of the individual human body to locate itself, to organize its immediate surroundings perceptually, and cognitively map ist position in a mappable external world. Jameson arques that cognitive mapping does not represent the world in the classical mimetic sence, but rather transcodes it through historically conditioned frames”

Pendapat Jameson adalah ruang posmodernitas meniadakan kapasitas masyarakat

dalam bertindak, meniadakan ruang bagi penciptaan kreativitas lokal. Hyperspace

telah berhasil dalam meningkatkan kapasitas manusia dalam menempatkan

dirinya, mengorganisasikan lingkungan di sekitarnya secara nyata, dan memahami

156

Page 183: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

posisinya di dunia luar dirinya. Menurut Terrence McKenna (Piliang, 2004b: 257)

hyperspace merupakan sebuah ruang informasi yang di dalamnya tidak ada lagi

batas antara realitas dan halusinasi, kenyataan dan mimpi. Pemosisian ini

berkaitan dengan kesadaran individu atau kelompok masyarakat yang berada di

tengah tata pergaulan global yang pluralistik. Masyarakat harus mampu menjaga

keseimbangan antara keberlanjutan dan perubahan yang terjadi sehingga jati diri

atau identitas senantiasa terus muncul dan tidak ditenggelamkan oleh pengaruh-

pengaruh negatif globalisasi. Jameson menilai cognitive map bukan merupakan

representasi dari dunia dalam pengertian mimesis, sebagai penggambaran, bukan

semata-mata tiruan dari realitas yang dihadapi saat ini. Cognitive map (peta

pemahaman) lebih tertuju pada pengalihan dalam ruang-ruang sejarah sesuai

dengan keadaan masa kini yang terkondisikan.

Keberadaan kebudayaan yang selalu bersifat situasional, berubah-ubah

dari waktu ke waktu. Dengan demikian individu-individu tertentu yang secara

aktif berproduksi dengan cara tertentu masuk ke dalam hubungan-hubungan sosial

dan politik tertentu. Struktur sosial dan Negara secara terus menerus menyusun

proses kehidupan individu-individu yang nyata, bukanya individu-individu yang

berada dalam imajinasi masyarakat, yakni mereka yang aktif di bawah batas-batas

material tertentu, prakiraan dan kondisi yang independen dari keinginan mereka

(Fromm, 2002: 257). Individu harus mengembangkan menata dan

mengorganisasikan pengalaman kultural dengan cara tertentu, yang tentu saja

memiliki makna. Bukan terjebak antara kenyataan dan mimpi, realitas dan

halusinasi.

157

Page 184: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Budaya-budaya lokal dan kebudayaan nasional selalu berada di dalam

suatu proses, di dalam kancah hubungan antarbudaya yang selalu terjadi tanpa

dapat dihindari. Kebudayaan nasional merupakan proses dari bawah, dengan

bertumpu pada dualistik antara kebudayaan lama dan kebudayaan baru.

Pelestarian kebudayaan lama, tentu saja tidak dapat menafikan keberadaan

kebudayaan baru yang terus menciptakan perubahan dalam berbagai segi. Hal ini

tidak terlepas dari arus globalisasi yang makin menembus batas-batas dan ruang-

ruang tanpa dapat dibendung sehingga membuat dunia seolah-olah terbuka dan

meniadakan sekat-sekat budaya. budaya global, dengan mesin kapitalismenya,

terus menekan budaya lokal. Budaya lokal syarat dengan nilai-nilai dan norma-

norma yang dapat menangkal efek negatif globalisasi. Strategi kebudayaan

melalui revitalisasi, harus membuka akses partisipatif dan membangkitkan respon

mutualistis dari eksponen budaya yang beragam di negeri ini.

Strategi kebudayaan melalui revitalisasi terdapat dua hal pokok yang perlu

diperhatikan. Pertama, situasi kehidupan kini yang semakin mengglobal, tanpa

sekat. Bersamaan itu pula akan terbentuk nilai-nilai budaya baru yang bersifat

mondial, transnasional, atau pranata nilai budaya yang berada di jalur utama

(mainstream). Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan acuan dan tolak ukur yang

dapat diterapkan di mana-mana. Kedua, pemikiran yang bertolak dari

kekhawatiran akan munculnya dampak budaya yang disebabkan oleh globalisasi,

terutama tata ekonomi dan tata informasi yang dapat memberikan perubahan

mendasar pada segala aspek kehidupan masyarakat tradisional. Pemikiran kedua

ini mewaspadai berbagai akibat yang mungkin muncul dan tidak menguntungkan

158

Page 185: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

bagi sektor-sektor kehidupan yang tidak berada di jalur utama. Masyarakat yang

tidak berada pada jalur utama adalah mereka yang tetap menghayati nilai-nilai

budaya lokalnya akan menjadi kaum marginal yang kurang dimunculkan dalam

kontelasi informasi dunia, dan seringkali kurang di untungkan secara ekonomi.

Adapun tujuan dilakukan revitalisasi nilai-nilai budaya lokal diyakini

sebagai langkah untuk memberdayakan budaya lokal dalam mengantisipasi

tantangan zaman ke arah kehidupan masyarakat yang lebih baik, dalam arti tidak

terikat dengan sifat ketergantungan pada globalisasi. Globalisasi bukanlah barang

suci yang dijunjung tinggi, diadopsi dan ditanamkan dalam benak setiap individu

karena memiliki prestise dan menjanjikan kesejahteraan bersama, Tidak seperti

halnya budaya lokal yang terkesan kaku dan tidak lagi sesuai dengan

perkembangan zaman. Penghargaan terhadap budaya lokal tidak akan mematikan

martabat bangsa, malah akan membangkitkan ikatan sosial yang kuat dan

penemuan jati diri dan identitas bangsa yang sesungguhnya kepada masyarakat.

159

Page 186: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

BAB VII

MAKNA REVITALISASI TRADISI LISAN KANTOLA

Kebudayaan lokal yang banyak bercerceran di tanah air, seolah-olah tak

bertuan. Kenyataan ini sangat ironis, di mana bangsa-bangasa lain mengagumi

kekayaan budaya Indonesia, akan tetapi masyarakat Indonesia sendiri enggan

untuk memelihara dan mengapresiasikannya. Tradisi lisan kantola misalnya,

produk budaya ini sebenarnya sangat sarat dengan pesan-pesan dan makna

kehidupan, makna folisofis, moral, dan sosial, namun sayangnya tradisi lisan ini

pun makin terpuruk dan tergilas oleh budaya global yang tumbuh dengan

sedemikian rupa. Kebudayaan lokal akan kehilangan maknanya seiring dengan

perubahan yang terjadi di dalam masyarakat yang kapitalistik, jika tidak dilakukan

upaya-upaya pelestarian. Seperti halnya, makna revitalisasi dalam tradisi lisan

kantola tentunya tidak dalam kekosongan, tetapi memiliki makna-makna yang

sangat dalam, juga berimplikasi pada menguatnya kembali budaya lokal dalam

gempuran budaya global. Berikut ini akan dipaparkan makna identitas, edukasi,

inovasi, dan pelestarian budaya dalam kaitannya dengan ketahanan budaya.

7.1 Makna Identitas

Menguatnya arus dan hegemoni budaya kapitalisme global, akan berimbas

pada mengecilnya daya hidup tradisi lisan kantola di tengah kehidupan

masyarakat Muna. Di balik proses pengerdilan tradisi lisan ini, tentunya bahasa

sebagai mediumnya dan sastra daerah sebagai penguatnya ikut pula menyertainya

dalam kekerdilan dan pada akhirnya akan punah. Dalam tradisi lisan kantola,

160

Page 187: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

bahasa kantola yang khas, dan pertunjukannya tentunya merupakan bagian dari

identitas masyarakat Muna, di samping produk budaya masyarakat Muna lainnya.

Tak berlebihan apabila dikemukakan bahwa mengerdilnya atau punahnya tradisi

lisan kantola akan terjadi pemudaran identitas dan penghilangan seperangkat

sistem kebudayaan lokal yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat Muna yang

selama ini terkooptasi pada proses globalisasi yang menciptakan hegomonisasi

budaya, yaitu penyeragaman budaya dunia dalam satu bentuk. Globalisasi telah

menjadikan masyarakat sebagai warga dunia yang universal, warga sekat teritorial

dan tanpa batas.

Budaya-budaya lokal dan kebudayaan nasional selalu berada di dalam

suatu proses, di dalam kancah hubungan antarbudaya yang selalu terjadi tanpa

dapat dihindari. Masyarakat pemilik budaya tersebut maupun pemerintah harus

selalu menjaga dan mempertahankan keseimbangan antara keberlanjutan dan

perubahan yang terjadi sehingga jatidiri dan identitas bangsa atau suku bangsa

senantiasa terus muncul di permukaan dan tidak ditenggelamkan oleh pengaruh-

pengaruh globalisasi yang merambah dan berkecambah terus menerus.

Kebudayaan merupakan suatu yang sangat esensial untuk mengembangkan

sebuah identitas dalam masyarakat, dan sebuah masyarakat yang tidak

menghargai budaya lokal berarti menjauhkan kesempatan bagi anggota

masyarakat untuk memiliki identitas lokal yang kuat dan sangat penting.

Penghargaan dan dukungan terhadap budaya lokal merupakan sebuah komponen

esensial dari pengembangan masyarakat. Budaya juga sangat penting untuk

mendorong budaya lokal yang partisipatif. Kebudayaan yang partisipatif akan

161

Page 188: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

cenderung menghargai budaya lokal, mengingat masyarakat akan mengungkap

identias budaya mereka dalam cara yang disesuaikan dengan konteks lokal (Ife,

2008: 518).

Menurut La Mokui (Wawancara 11 Maret 2011) mengungkapkan hal-hal

yang menyangkut dengan identitas lokal masyarakat Muna, yang harus terus

digali dan diangkat ke permukaan, yaitu salah satunya adalah tradisi lisan kantola,

di samping bahasa daerah, pakaian adat, dan sejarah. Penampakan bahasa daerah,

pakaian adat, dan pemahaman sejarah yang baik akan berpengaruh pada

penampakan identitas masyarakat Muna, nilai-nilai dasar kebudayaan ini dimulai

tergantikan oleh nilai-nilai yang berasal dari produk budaya global. Selama ini,

menurut Muhammad Idul (Wawancara 30 Februari 2011). Masyarakat Muna

sudah tidak lagi memiliki nilai-nilai dasar kebudayaan yang dapat ditampilkan

sebagai identitas masyarakat Muna. Untuk itu diperlukan berbagai upaya, seperti

pada kutipan berikut.

“Kita harus mencatat, mendata dan paling bagus dibukukan nilai-nilai dasar kebudayaan Masyarakat Muna yang menjadi identitas masyarakat pendukungnya. Kita harus membukukan, inti kebudayaan masyarakat Muna karena bagian dari identitas kita, di antaranya tradisi lisan kantola.”

Ungkapan di atas menggambarkan bahwa pengembangan identitas pada

masyarakat Muna, yang belum terwujud dalam satu bentuk pemahaman, saat ini

masih memerlukan upaya untuk menemukan inti kebudayaan atau sistem nilai

budaya. Fenomena ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Storey (2007: 4)

bahwa sistem nilai budaya merupakan dasar atau pijakan bagi masyarakat untuk

mengembangkan potensi dan dinamika dalam kehidupan bermasyarakat. Budaya

membantu membangun struktur dan membentuk sejarah pada masyarakat.

162

Page 189: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Kebudayaan merupakan pertautan dinamis antara konstruksi sosial (social

construction) dan fakta sosial (sosial fact). Pertautan ini bersifar dinamis, bukan

sesuatu yang statis. Potensi dan dinamika kebudayaan yang sangat besar ternyata

terdapat dalam masyarakat dan sekaligus memberi jiwa dan semangat kepada

masyarakat dalam bentuk ide dan gagasan-gagasan yang saling berkaitan dan

berhungan satu sama lain sebagai suatu sistem yang disebut dengan nilai budaya

(Alqadrie, 2008). Apa yang dikemukakan La Mokui dan Muhammad Idul

mengenai nilai-nilai budaya harus mampu diwujudkan sehingga membangkitkan

jati diri dan identitas masyarakat Muna.

Menurut La Djehe Palola (Wawancara 1 Maret 2011), ada lima hal yang

mendasar yang tetap harus dikembangan dalam menampakkan identitas

masyarakat Muna, yaitu mitos, agama, sejarah, seni, dan budaya. Mitos menurut

Roland Barthes (2007: 295), adalah sebuah tipe pembicaraan atau wicara (a type

of speech). Mitos bukanlah pembicaraan atau wicara yang sembarangan; bahasa,

membutuhkan kode-kode khusus untuk menjadi mitos. Mitos merupakan sistem

komunikasi, yang di dalamnya berisi pesan. Mitos menurut masyarakat Muna,

mengandung kekuatan yang di luar realitas yang ada. Mitos berkaitan dengan

berbagai aktivitas masyarakat yang dapat memberikan jawaban-jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan, yang secara rasional tidak dapat dijawab. Menurut Levi

Strauss (Storey, 2007: 70), semua mitos memiliki fungsi sosiokultur yang sama

dalam masyarakat, termasuk agama, sejarah, seni, dan budaya. tujuannya adalah

membuat dunia bisa dijelaskan, untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dunia

yang bersifat kontradiksi.

163

Page 190: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Kelima hal tersebut saling terkait dalam menumbuhkan kembali kesadaran

bermasyarakat. Jika unsur-unsur ini tidak dikembangkan, maka sulit bagi

masyarakat Muna untuk mengembangkan identitas mereka. Apa yang menjadi

dasar pembentukan identitas ini sulit ditentukan dalam masyarakat Muna.

Kesadaran ini harus ditumbuhkan pada diri pribadi masyarakat itu sendiri.

Menurut Teeuw (Pradopo, 2007: 207) bahwa tradisi lisan sangat erat

kaitannya dengan penikmat/penyambut dan masyarakat, ditunjukan untuk

penikmat/penyambut dan kepentingan masyarakat penikmat/penyambut. Tradisi

lisan tidak mempunyai nilai tanpa ada masyarakat penikmat/penyambut yang

menilainya karena masyarakatlah yang menentukan makna dan nilai suatu tradisi

lisan. Kemudian Ratna (2006: 165) mengemukakan bahwa peranan masyarakat

sangat penting walaupun mereka sama sekali tidak memiliki relevansi dalam

kaitannya dengan proses kreatif penciptaan suatu tradisi lisan.

Sebagai aktivitas kultural tradisi lisan kantola, menggunakan bahasa Muna

sebagai mediumnya. Bahasa Muna sebagai bahasa Ibu mulai ditinggalkan dan

masyarakat semakin bisa dan terbiasa menggunakan bahasa Indonesia, baik dari

ranah pertuturan sesama mereka maupun dengan orang tua mereka. Situasi

kebahasaan seperti menunjukan adanya pola pergerakan atau pergeseran, mulai

meninggalkan bahasa ibu ke bahasa kedua yang dikuasainya, yaitu bahasa

Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat tidak lagi menganggap aktivitas

kelisanan dengan menggunakan bahasa ibu merupakan suatu kewajiban,

melainkan beranggapan bahwa Muna tidak lagi sesuai dengan tuntutan

164

Page 191: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

modernisasi yang menggiring perubahan pola hidup dan bermasyarakat yang lebih

maju dan modern.

Kenyataan seperti inilah yang menjadi perhatian utama bagi pemerhati

budaya di wilayah Kabupaten Muna. Bahasa Muna harus dihidupkan kembali

sebagai bahasa ibu, sebagai bahasa paten untuk bahasa ibu dan tidak dicapur

adukan dengan bahasa Indonesia. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa ada

semacam kegelisahan dari berbagai kalangan, terutama mereka yang tetap konsen

dengan warisan budaya lokal, penggunaan bahasa Muna yang asli tidak lagi

digunakan oleh masyarakat Muna itu sendiri. Hal ini dipertegas oleh La Ode

Kape (Wawancara 7 Maret 2011), yang menyatakan bahwa bahasa Muna yang

diucapkan di masyarakat bukan lagi bahasa Muna yang sesunguhnya, namun

sudah tercampur oleh bahasa Indonesia. Masyarakat, terutama generasi muda,

merasa malu menggunakan bahasa Muna di daerahnya sendiri. Mereka lebih

bangga menggunakan bahasa di luar bahasa Muna, yang menurut mereka lebih

modern dan prestisius, apalagi jika disertai dengan bahasa asing. Hal ini tentu saja

sangat mengkhawatirkan apabila tidak disikapi dengan sigap, akan berakibat fatal

bagi aktivitas kelisanan yang mengarah kelangkaan pengguna bahasa daerah

Muna itu sendiri dan bahkan akan mengakibatkan kepunahan.

Segala bentuk aktivitas kultur yang berlangsung di Muna, diucapkan

dengan menggunakan bahasa Muna. Pemahaman warisan budaya ini tentu harus

dibekali dengan pemahaman bahasa yang baik. Menurut teori resepsi, keindahan

dan manfaat karya sastra bagi masyarakat bukanlah keindahan (bahasa) yang

sudah pasti defenisinya. Tetapi, bergantung pada situasi latar belakang sosial

165

Page 192: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

budaya penikmatnya, yang melalui keindahannya masyarakat dapat menggali dan

memahami aktivitas kultural secara berbeda-beda.

Penerimaan, penyambutan, tanggapan, reaksi, dan sikap masyarakat Muna

terhadap kandungan makna yang terdapat dalam syair-syait kantola tidak lagi

tampak di permukaan, apabila memahaminya. Kantola hanya dikenal sebagai

tradisi lisan tetapi masyarakat tidak lagi mengetahui bentuk tradisi lisan itu

sendiri. Pada masyarakat Muna, tradisi lisan kantola hanya dikenal oleh

sekelompok kecil orang, itu pun mereka yang sudah berusia lanjut. Generasi

muda, bersikap pesimis terhadap keberadaan tradisi lisan. Ada semacam

keengganan untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman makna-makna

yang terkandung dalam tradisi lisan ini. Padahal, menurut Hans Robert Jauss

(Pradopo, 2007: 206), apresiasi masyarakat terhadap sebuah karya sastra akan

diperkaya melalui tanggapan-tanggapan lebih lanjut dari generasi ke generasi.

Dengan cara ini makna histori karya sastra akan ditentukan dan akan terungkap

nilai estetikanya.

Berbeda-bedanya tanggapan dan pemahaman masyarakat mengenai karya

sastra, dari satu periode dengan periode yang lainnya. Perbedaan inilah yang

disebut oleh jauss (Pradopo, 2007: 206) sebagai horison harapan. Horison harapan

ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam

menanggapi karya sastra. Oleh karena itu, menurut Sayuti (2008: 25-26), masalah

pemahaman tradisi lisan tidak cukup hanya diwacanakan, tetapi harus

diaktualisasikan dan diimplementasikan dengan cara apapun yang dipandang baik,

dan tetap mengacu pada konteks masyarakat lokal.

166

Page 193: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Mengaktualisasikan dan mengimplementasikan budaya lokal dapat

dilakukan melalui pengenalan dan pengajaran budaya lokal. dengan menciptakan

ruang bagi pengembangan kreativitas lokal sehingga mampu menumbuhkan

kesadaran kultural tanpa pengorbanan nilai-nilai dasar budaya lokal tersebut. Hal

yang paling mendasar dari revitalisasi tradisi lisan kantola adalah bagaimana

menumbuhkan semangat keberagaman dan menciptakan harmonisasi hidup antara

manusia dengan lingkungannya. Nilai-nilai budaya lokal harus tetap

dipertahankan sehingga dapat menumbuhkan kemampunnya dalam menangkal

berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh globalisasi.

Untuk mempertahankan eksistensi nilai-nilai budaya lokal, maka langkah

yang tepat dilakukan adalah segala aktivitas kultural masyarakat yang mendiami

wilayah Kabupaten Muna menggunakan bahasa Muna sebagai mediumnya.

Namun pada kenyataannya, penggunaan bahasa Muna telah menggalami

pergeseran yang sangat jauh. Pergeseran ini telah berada pada titik krusial.

Masyarakat Muna tidak lagi mengenal bahasanya sendiri, dalam arti

penggunaannya secara baik dan benar, namun telah dipengaruhi oleh produk-

produk bahasa yang berasal dari luar, terutama bahasa asing. Proses internalisasi

juga tidak diterapkan dalam keluarga, sehingga generasi muda tumbuh tanpa

mengenal identitas kebahasaan mereka. Kondisi ini sangat berpengaruh pada

persepsi dan pemaknaan aktivitas kultural. Masyarakat sudah enggan untuk

mempelajari budaya-budaya lokal karena mereka tidak mengetahui nilai-nilai apa

yang sebenarnya terkandung dalam aktivitas kultural tersebut. Demikian pula

halnya dengan pemahaman sejarah yang memberikan wacana identitas pada

167

Page 194: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

masyarakat. Penampakan sejarah menjadi bagian penting untuk menampakkan

identitas dalam masyarakat.

Dalam era globalisasi, identitas masyarakat mendapat banyak terpaan dari

luar. Globalisasi telah membuat segala hal di dunia ini terkait satu sama lain. Apa

yang dulunya dianggap tidak saling terkait, saat ini secara amat mencolok tampak

saling berkaitan (Kristiatmo, 2007: 77). Melalui globalisasi, tiap kebudayaan

berinteraksi. Dengan semakin hilangnya batas, hidup pun tak lagi memiliki ruang

dan sekaligus mengalami poligami tempat pada deteritorialisasi. Deteritorialisasi,

merupakan perpindahan yang berlangsung terus-menerus entitas, wujud, identitas,

subjek, kelompok atau komunitas dari satu tempat ke tempat lainnya (Piliang,

2005b: 158).

Nilai-nilai modernitas yang terus bergerak akan selalu mempengaruhi

nilai-nilai dasar kebudayaan. Jika nilai-nilai dasar kebudayaan ini tidak lagi

memiliki keterikatan dengan masyarakat Muna, maka sesungguhnya masyarakat

Muna akan kehilangan pegangan dari terpaan globalisasi. Beranjak dari pemikiran

ini, masyarakat harus berperan aktif dalam pembangkitan dan menumbuhkan

kembali, baik aktivitas kelisanan dengan menggunakan bahasa daerah,

pertunjukan tradisi lisan, dan pemahaman sejarah yang baik. Dengan demikian,

pemunculan kembali nilai-nilai dasar kebudayaan mampu memberikan arah bagi

pengembangan kekuatan sosial menuju perubahan kearah yang lebih baik. Hal ini

menjadi sangat penting karena selama ini masyarakat berkiblat pada hal-hal yang

berbau global, yang kering dan tanpa makna. Jika masyarakat terus terkooptasi

168

Page 195: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

pada modernitas, maka masyarakat Indonesia gagal menampakkan diri sebagai

bangsa yang berbudaya dan bermartabat.

Produk budaya kelisanan dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan

identitas lokal. Tradisi lisan kantola, sebagai aktivitas kultural yang berbentuk

lisan, merupakan bukti kreativitas masyarakat pada masa lalu, yang secara

tekstual, tidak mengalami perubahan hingga saat ini. Hal ini mengindikasikan

bahwa tradisi lisan kantola mampu bertahan melintasi zaman, yang dengan

sendirinya memberikan identitas pada masyarakat pendukungnya dalam hal ini

masyarakat Muna. Tradisi lisan kantola mampu diinternalisasi begitu mendalam

pada masyarakat setempat sehingga saat ini masih hadir di tengah-tengah

derasnya arus globalisasi yang melanda masyarakat.

Menurut Jauss (Newton, 1994: 158) bahwa karya sastra ada hanya jika ia

telah diciptakan kembali atau dikonkretkan dalam otak masyarakat penyambut.

Proses internalisasi menjadi bagian penting dalam upaya pelestarian warisan

budaya lokal. Muara internalisasi ini mengarah pada pemahaman makna dan nilai-

nilai moral yang tertanam dalam sastra lisan. Pemahaman makna berwujud pada

implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh Jauss mengungkapkan

hubungan suatu karya sastra dengan masyarakat berikut ini.

“Fungsi sosial sastra hanya dapat dimungkinkan apabila pengalaman kesastraan pembaca masuk ke dalam horizon pengharapan dari praktek yang dihidupinya, membentuk pemahamannya tentang dunia dan dengan demikian juga mempengaruhi tingkahlaku sosialnya.”

Sebagai pelaku dan penikmat budaya, masyarakat berperan dalam

memberikan makna terhadap keseluruhan aspek-aspek kultural yang terdapat

dalam suatu karya sastra. Penerimaan, persepsi, dan pemahaman terhadap sastra

169

Page 196: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

lisan berkaitan erat dengan tingkat pendidikan dan kondisi yang terjadi pada saat

ini. Tanggapan-tanggapan seseorang mengenai karya sastra akan menimbulkan

perbedaan-perbedaan pandangan berdasarkan tingkat pendidikan dan pengalaman

penafsiran. Sehingga hal ini setidaknya memberikan pengaruh yang sifatnya

subyektif dalam pembentukan pola pikir tertentu.

Para pemerhati budaya yang menjadi perhatian utamanya adalah

bagaimana proses internalisasi yang melibatkan berbagai pihak. Kepedulian ini

memberikan arah bagi keberlanjutan tradisi lisan yang telah tertimpa berbagai

macam produk budaya global. Menurut Palmer (2003: 277), apa yang dibutuhkan

dalam interpretasi sastra adalah penalaran dialektis yang tidak menginterigasi teks

tetapi menyediakan sesuatu yang dikatakan pada teks untuk menginterogasi balik,

untuk mengajak horizon penafsiran ke dalam pertanyaan dan melakukan

transformasi pemahaman seseorang terhadap subjek. Trasformasi pemahaman ini

sangat mendasar dalam penerimaan dan tanggapan masyarakat terhadap suatu

tradisi lisan.

Menghidupkan kembali kebudayaan lokal sama artinya dengan

menghidupkan kembali identitas lokal, oleh karena itu identitas merupakan unsur

yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan (Piliang, 2004b: 279). Identitas itu

sendiri menjadi sebuah persoalan saat warisan masa lalu diambil alih oleh

pengaruh-pengaruh globalisasi yang menciptakan hegemoni budaya. krisis

identitas muncul ketika warisan budaya yang telah melekat dalam kehidupan

sehari-hari masyarakat lokal tidak dapat dipertahankan lagi karena ia telah

direnggut oleh nilai-nilai lain yang berasal dari luar. Oleh karena itu, menurut

170

Page 197: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Tilaar (2007: xxv) untuk dapat bertahan dari terpaan globalisasi yang inhuman,

maka individu atau masyarakat harus memiliki, mempertahankan, dan

mengembangkan identitasnya sendiri. Kondisi yang inhuman ini merupakan

identitas bagi masyarakat modern, yang tidak lagi menaruh minat pada sisi

kemanusiaan.

Pergeseran besar yang terjadi akibat modernitas dari pemahaman diri

kondisi komunal ke pemahaman diri individualistik. Modernitas tidak melihat

masyarakat atau komunitas sebagai yang utama, melainkan menganggap

masyarakat hanya sebagai kumpulan individu-individu bebas yang secara sukarela

bergabung demi tujuan-tujuan tertentu (Griffin, 2005:18). Kelompok-kelompok

masyarakat ini telah menggiring ke sebuah bentuk identitas baru yang mereka

ciptakan sendiri berdasarkan kepentingan masing-masing. Tidak lagi

mencerminkan identitas sesungguhnya yang menjadi ciri khas suatu kelompok

masyarakat. Bahkan, ada kelompok-kelompok masyarakat yang melaksanakan

kegiatan bersama dan merevitalisasi ikatan-ikatan primordial yang kemudian

disalurkan melalui kelompok-kelompok politik. Fenomena ini tidak lagi menjadi

rahasia umum dikalangan masyarakat Muna, bahkan kelompok etnis tertentu

menjadi ikatan-ikatan primordial untuk merebut melanggengkan kekuasaan.

Masyarakat Muna tidak lagi memikirkan bagaimana membangun suatu entitas

yang mengarah pada pembentukan identitas yang khas sebagai modal budaya

masyarakat itu sendiri.

171

Page 198: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

7.2 Makna Edukasi

Pelestarian tradisi lisan kantola oleh masyarakat Muna sendiri dan juga

pemerintah memiliki makna edukatif. Hal ini terjadi karena dengan

dilaksanakannya upaya pelestarian tradisi lisan kantola seperti yang dijelaskan di

atas, maka masyarakat yang selama ini kurang memahami tradisi lisan tersebut

diharapkan mendapat pemahaman baru serta mengerti akan hak dan kewajibannya

sebagai pewaris suatu tradisi lisan. Adapun bagi pemerintah sendiri akan

memperoleh masukan-masukan yang dapat dipergunakan sebagai pegangan dalam

melaksanakan tugas-tugas selanjutnya.

Proses edukatif itu merupakan proses penanaman nilai-nilai, sikap serta

keyakinan-keyakinan yang mungkin sistem budaya tetap diyakini keberadaanya

dan berfungsi sebagaimana mestinya. Proses edukatif, di samping mengandung

proses penanaman nilai-nilai pembaruan seperti dikatakan Redfield dalam Widja

(1993: 53). Dengan kata lain dalam proses ini ada penekanan fungsi diskontinuitas

(perubahan), tetapi tersirat juga fungsi pelestarian nilai budaya yang dimiliki suatu

masyarakat.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa makna edukatif dalam revitalisasi tradisi

lisan kantola sejalan dengan proses regenerasi dalam masyarakat Muna.

Revitalisasi tradisi lisan kantola mengarah pada pemberian peran-peran baru bagi

generasi muda untuk tetap mempertahankan warisan budaya mereka meskipun

menjadi aspek-aspek perubahan dalam kehidupan kulturalnya. Hal ini sejalan

dengan konsep pelestarian yang secara intrinsik mengandung unsur dinamika

budayanya.

172

Page 199: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Sesuai dengan teori dekontruksi bahwa dalam dekontruksi terjadi

pengurangan, atau penurunan intesitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai

bentuk yang baku. Sebaliknya unsur-unsur yang semula selalu terlupakan,

terdegradasi dan termarginalisasi, seperti kelompok minoritas, kelompok yang

lemah dapat diberikan perhatian yang menandai bahkan secara seimbang dan

proporsional. Dekontruksi melakukan semacam pembongkaran, tetapi tujuan

akhir yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali ke dalam tatanan dan

tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakekat objek, sehingga aspek-aspek

yang dianalisis dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin (Ratna, 2005: 250).

Dekontruksi dalam hubungannya dengan revitalisai tradisi lisan kantola

dalam era globalisasi adalah merupakan usaha untuk memberikan arti pada

kelompok yang lemah yaitu masyarakat Muna, yang selama ini kurang

memperoleh pengertian, bahkan diabaikan sama sekali. Tujuan dekontruksi adalah

tetap kontruksi yang dengan sendirinya dalam bentuk yang berbeda, kontruksi

yang seimbang sekaligus dinamis, bukan kontruksi yang statis.

Proses regenerasi adalah suatu proses alih generasi yang biasanya akan

menimbulkan goncangan-gocangan sebagai akibat dari gejala yang disebut

generation gap. Proses edukatif modern, terutama sistem persekolahan formal

tanpa disertai dengan penanaman nilai-nilai budaya tradisional sering dianggap

sebagai faktor yang menyebabkan melebarnya jurang antar generasi. Proses

edukatif semacam ini dengan sendirinya akan membawa dislokasi pada pola-pola

hidup dan hubungan interpersonal yang ada dalam lingkungan masyarakat

sebelumnya. Dalam situasi demikian lembaga pendidikan seperti kurang bertautan

173

Page 200: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

secara struktural dengan masyarakat lingkungannya. Ketidakadaan tautan

struktural ini pula yang bisa menjadikan sumber bagi berkembangnya

kesenjangan generasi dan kesenjangan budaya.

Meskipun selama ini sebagian masyarakat Muna masih memegang kuat

tradisi leluhur, kemungkinan akan adanya perubahan pandangan di kalangan

generasi muda perlu diantisipasi. Tanggung jawab revitalisasi tradisi lisan yang

selama ini dilakukan oleh generasi masa kini suatu ketika akan menjadi tanggung

jawab generasi selanjutnya. Kondisi seperti itu kelihatan seperti berjalan

wajar/otomatis, tetapi dalam prosesnya sering tidak sederhana itu. Proses

regenerasi berarti alih generasi, dari generasi tua ke generasi muda. Proses ini,

secara biofisik begitu wajar terjadi pada setiap kelompok manusia karena

menyangkut perkembangan alamiah yang mau tidak mau harus dilalui manusia.

Hanya secara sosial budaya persoalannya sering menjadi begitu kompleks, karena

menyangkut gagasan-gagasan mendasar mengenai harkat hidup masyarakat di

masa yang akan datang.

Proses transformasi budaya bisa dilihat dari dua sudut, yaitu sudut

generasi tua yang merasa bertanggung jawab menyiapkan generasi muda untuk

hidup di masa yang akan datang sesuai dengan yang diidealkan oleh generasi tua.

Di pihak lain generasi muda sendiri tentunya memiliki cara pandang tersendiri

tentang peran serta tanggung jawabnya dalam proses alih generasi tersebut.

Apabila diperhatikan secara umum, maka regenerasi tidak lain dari pada proses

transmisi kultur (cultural transmission) yang dalam bentuk lebih nyata berupa

proses edukatif (pendidikan dalam arti luas).

174

Page 201: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

7.3 Makna Inovasi

Suatu produk kebudayaan termasuk tradisi lisan, apabila terus melakukan

perubahan melalui inovasi yang berkelanjutan, maka beberapa jenis pertunjukan

tradisional akan mampu bangkit dan merebut kembali hati publik setelah diinovasi

dan terobosan baru dilakukan. Di satu sisi, kreativitas baru dalam berbagai

bentuknya perlu terus didorong, tetapi di sisi lain perubahan zaman juga harus

dibaca dengan cermat. Perkembangan zaman yang antara lain didorong oleh

kemajuan dan teknologi tidak dapat dihindari. Benturan antara kepentingan

pemodal, idealisme, dan kreativitas selalu menimbulkan tegangan dan tarik-

menarik, namun tetap perlu dijaga keseimbangannya. Perkembangan zaman tidak

mungkin dicegah atau menghindari perkembangan teknologi pasar. La Mokui

(Wawancara pada 11 Maret 2011) berharap tradisi lisan kantola dapat dipentaskan

dan dikreasikan. Hasil pementasan harus diinovasi atau didokumenatasikan dalam

kepingan-kepingan CD/DVD lalu disebarkan ke setiap jenjang pendidikan di

Muna. Sehingga tradisi lisan kantola akan dikenal oleh generasi muda dan proses

pewarisannya tetap terjaga.

Pada aspek penampilan atau pertunjukannya, pelestarian tradisi lisan

memang sangat sedikit yang melakukan sebuah upaya inovasi, terutama inovasi

yang muncul dari kalangan seniman tradisi itu sendiri. Kalau pun ada, kerja

inovasi terhadap tradisi lisan sebagai seni pertunjukan, maka inovasi itu muncul

justru dari seniman modern atau seniman akademis, dan jarang dari kalangan

struktural dan birokrasi daerah memikirkan langkah-langkah menginovasi tradisi

lokal untuk menjadi tradisi yang bisa bersaing dengan budaya global. Tradisi lokal

175

Page 202: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

semakin terhimpit dan terjepit oleh perilaku masyarakat pemilik tradisi yang tidak

berpihak pada tradisi lokal. Bahkan para pelaku budaya atau penerus aktif

terkesan berjalan di tempat dan tidak mampu mengembangkan daya

kreativitasnya dalam mengemas dan menampilkannya menjadi lebih atraktif, tidak

monoton dan membosankan. Inilah yang dirasakan oleh sebagian penduduk Muna

yang menilai bahwa tradisi lisan kantola tidak lagi memenuhi unsur estetikanya

ketika dimunculkan publik. Kesan yang ditangkap oleh penulis bahwa tradisi lisan

ini terkekang oleh aturan yang diterapkan oleh pihak pemerintah daerah sehingga

sangat sulit untuk dipentaskan dan dikreasikan oleh pelaku budaya ataupun

penerus aktif tradisi lokal ini.

Tradisi lisan kantola ini, sarat dengan nilai-nilai dan norma-norma yang

mengatur tata hidup masyarakat. Proses inovasi harus tetap mempertahankan

nilai-nilai dan norma-norma tradisi yang terdapat di dalamnya. Tradisi lisan dan

masyarakat tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam menggambarkan

realitas, seniman tidak semata-mata melukiskan keadaan yang sesungguhnya,

tetapi mengubah sedemikian rupa sesuai dengan kualitas kreativitasnya. Dalam

hubungan ini, menurut Teeuw (Ratna, 2003: 7), ada empat cara yang mungkin

dilakukan, yaitu 1) afirmasi, menetapkan nilai-nilai dan norma-norma yang sudah

ada; 2) restorasi, sebagai ungkapan kerinduan pada nilai dan norma yang sudah

usang; 3) negasi, mengadakan pemberontakan nilai dan norma yang sedang

berlaku; dan 4) inovasi, mengadakan pembaruan nilai dan norma yang ada pada

masyarakat.

176

Page 203: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Berdasarkan hubungan antara pemahaman dan tanggapan atas tradisi lisan,

di mana tidak terdapat batasan antara fiksi dan realitas, apa yang dikemukakan

Teeuw di atas, berhubungan dengan horison harapan yang tertuang dalam teori

resepsi Hans Robert Jauss, yaitu, pertama, ditentukan oleh norma-norma yang

terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca; kedua, ditentukan oleh

pengetahuan dan pengalaman atas sebuah teks yang telah dibaca sebelumya;

ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan. Proses pemahaman, bagi teori

resepsi, selalu bersifat dinamis sepanjang waktu. Inovasi membuka peluang

terhadap pemahaman warisan tradisi masa lalu yang mampu menjawab persoalan

kekinian yang serba temporer.

Hubungan dialektis antara masa lalu dan masa kini, tradisi lisan

merupakan proses imajinatif yang hidup di masa lalu hingga masa kini memiliki

tujuan dan ekspresi yang jelas. Nilai-nilai kesastraan tetap hidup dan inheren di

dalamnya, namun nilai lain dapat masuk sesuai dengan kondisi sosiokultural

masyarakat masa kini. Kita tidak menafikan adanya proses kreatif inovatif dalam

sastra lisan. Inovasi ini menuntut perubahan, baik memanfaatkan yang lama atau

dalam bentuk yang lain, tanpa menghilangkan tipikalitas sastra lisan tersebut

(Endraswara, 2009: 246).

Derasnya arus modernisasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang

melanda kehidupan masyarakat, tradisi lisan untuk zaman sekarang ini bukan lagi

sebagai aktivitas kultural di mana perwujudannya tidak mampu memenuhi cita

rasa estetika serta hiburan bagi masyarakat saat ini. Maka boleh jadi, masyarakat

dengan gaya hidup modern sekarang ini, pertunjukan tradisi lisan sudah bukan

177

Page 204: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

zamannya lagi. Artinya, penuturan tradisi lisan saat ini sudah tidak bisa lagi

dikonsumsi dan harus menghilang dari peredaran. Itu sebabnya sebagian orang

banyak yang cemas dengan lenyapnya tradisi lisan. Sebagian orang sepertinya

memandang tradisi lisan sebagai sesuatu yang terancam seperti etnis atau

masyarakat pendukungnya yang telah melahirkan dan membesarkan tradisi lisan

tersebut.

Tradisi lisan kantola ini sebenarnya telah mengalami proses inovatif,

ketika tradisi lisan ini diintegrasikan ke dalam makna pertunjukkan yang lebih

menyesuaikan dengan keadaan. Namun, inovasi ini tidak cukup mendobrak sifat

monoton dan kekakuan tradisi lisan ini. Kecenderungan masyarakat lebih tertuju

pada aspek hiburan yang dipentaskan. Masyarakat tidak lagi menaruh perhatian

pada lantunan syair-syair tradisi lisan kantola yang dibawakan pelantun yang pada

saat itu dibawakan.

Dalam rangka menanamkan sikap positif masyarakat untuk berprilaku,

maka proses inovasi tradisi lisan yang harus dikembangkan. Inovasi akan

memberikan wadah bagi penyaluran nilai-nilai moral dan etika yang dapat

menuntun ke arah yang lebih bermakna, jika dikemas secara tepat dan sistematis.

Pemahaman, tanggapan dan reaksi masyarakat atas esistensi tradisi lisan akan

berubah pula sehingga nantinya tidak lagi menjadi produk budaya minoritas yang

tersobordinasi. Tradisi lisan mampu hadir di tengah-tengah masyarakat, sebagai

solusi alternatif, dalam mengatasi persoalan-persoalan yang membelit di dunia

yang telah carut marut saat ini.

178

Page 205: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Dikotomi dengan masuknya modernisasi yang biasa dikemas antara

modern dan tradisional, menyebabkan penghargaan kepada tradisi lisan jauh dari

yang sebenarnya. Bahkan, pemikir kebudayaan Sutan Takdir Alisyahbana, pernah

menyebut kebudayaan tradisional (dengan Borobudur sebagai contoh yang

diajukannya) sebagai kebudayaan dari zaman jahiliyah. Penilaian Alisyahbana ini

didasarkan pada retrospeksi, menunjukan kekaguman apa yang dinamakan

modernitas, bukan pada pengertian yang memadai tentang kompleksitas dan

kekayaan kebudayaan tradisional. Kebudayaan tradisional tetap relevan bahkan

pada masa yang paling modern sekali pun. Lebih dari itu, semakin disadari bahwa

adanya kontradiksi dalam kebudayaan modern, telah dipecahkan justru dengan

cara-cara tradisional (Kleden, 2004: 342).

Sebagai warisan budaya tradisional, tradisi lisan kantola terbukti mampu

melintasi zaman dan terbukti pula mampu memberikan solusi terhadap berbagai

persoalan terutama berkaitan dengan pendidikan budi pekerti, nasehat-nasehat,

dan informasi tentang pembangunan. Tingkat keberlanjutan tradisi lisan kantola,

dengan berbagai unsur di dalamnya, harus perlu dipikirkan dan direncanakan

dengan baik. Hal ini sangat penting, mengingat tingkat pemahaman dan

penghargaan masyarakat terhadap warisan tradisi lisan ini belum menunjukan

perkembangan yang berarti akhir-akhir ini, malah semakin jauh. Generasi muda

tidak lagi mengetahui bentuk, apalagi fungsi dan maknanya, tradisi lisan itu

sendiri. Generasi muda lebih gandrung menikmati budaya pop, sebagai produk

budaya global yang mengglobal. Mengenai revitalisasi tradisi lisan kantola,

menurut Ardana, (2004: 101), bahwa sebenarnya revitalisasi itu sendiri bukan

179

Page 206: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

hanya menyangkut nilai-nilai lama, akan tetapi merupakan kombinasi antara yang

lama dan baru dalam beberapa hal dapat dilihat sebagai respon terhadap proses

modernitas.

Tradisi lisan kantola perlu diinovasi secara kreatif, kalau perlu

dikembangkan, reinovasi untuk menemukan formula nilai-nilai baru yang lebih

segar dan atraktif dalam memberikan inspirasi bagi kehidupan kekinian dan masa

depan. Sebagai ungkapan yang berisikan nilai-nilai dan norma-norma, kelahiran

tradisi lisan kantola bersifat anonim. Lahirnya tradisi lisan kantola tentunya

bermula dari proses dan pengumulan dan perpaduan ide, perasaan, dan intelektual

yang diwujudkan dalam lantunan syair-syair yang indah, dan sarat makna. Hasil

pengumulan proses kreatif ini tertuang dalam suatu rangkaian kata-kata yang

mencerminkan masa depan sehingga menjadi local genius yang pantas dijadikan

acuan hidup dalam masyarakat masa kini.

Perkembangan tradisi lisan kantola dapat lebih bervariasi, lebih luas

penyebarannya pada masyarakat Muna, dan menemukan posisi yang lebih baik

dalam konteks kehidupan. Masalah dasar kebudayaan yang dihadapi sebagai

bangsa adalah perlunya kesatuan visi mengenai hakekat pembangunan

kebudayaan. Pada satu sisi kebudayaan, terdapat kebutuhan yang terus menerus

atas penciptaan, kreativitas, eksplorasi, perenungan, serta pendalaman nilai-nilai.

Sedangkan pada sisi yang lain terdapat pengemasan dan penyebarluasan informasi

budaya terkait dengan segi pemasaran finansial. Kedua hal ini memerlukan

penanganan yang terintegrasi dengan visi kebudayaan itu sendiri, yaitu

pemberdayaan diri yang keberlanjutan dengan ditopang oleh keberpihakan

180

Page 207: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

semuan pihak, pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama untuk

menyatukan visi dalam melaksanakan pembangunan kebudayaan.

7.4 Makna Pelestarian Budaya

Di dalam ungkapan tradisi lisan kantola terdapat nilai-nilai budaya

masyarakat Muna yang menjadi pedoman dan menjadi tuntunan hidup, sehingga

perlu untuk dilestarikan. Memahami isi dan makna budaya yang terkandung di

dalam tradisi lisan kantola terutama para generasi muda masyarakat Muna, maka

sama pula memahami pandangan hidup, dan sikap hidup yang dianut oleh nenek

moyang mereka. Dengan demikian para generasi muda dapat memahami esensi

dari makna yang terkandung dalam tradisi lisan kantola.

Upaya melestarikan suatu kebudayaan merupakan sebuah keindahan dan

kesempurnaan, tetapi upaya itu di hadapkan pada kenyataan hilangnya satu per

satu tradisi-tradisi yang ada di tanah air. Melestarikan suatu kebudayaan tidak

hanya cukup diwacanakan dengan mengemukakan berbagai indikator

keberhasilannya, akan tetapi harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-

hari dan meneruskannya kepada generasi berikutnya. Proses pelestarian ini

hendaknya tidak bersifat temporal dan sesat semata, sehingga nantinya tercipta

alih generasi pendukung aktif kebudayaan lokal. Upaya pelestarian tetap selalu

dimunculkan namun produk budaya lokal tetap saja terpendam dan lambat laun

mengalami kepunahan dan juga akan terlupakan.

Kondisi ini dipicu oleh faktor internal adalah masyarakat itu sendiri dan

faktor eksternal adalah kondisi di luar masyarakat, yang saling terkait satu sama

lain. Masyarakat mulai tidak percaya diri dengan budaya lokal yang dimilikinya.

181

Page 208: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Mereka beranggapan budaya tersebut sudah usang, kaku, dan menjemukan.

Mereka menginginkan perubahan, dan itu dihadirkan oleh budaya global dengan

berbagai produknya yang dinamis, atraktif dan mampu menghadirkan suasana

yang lebih menyenangkan dan mengembirakan. Akhirnya, masyarakat lokal mulai

meninggalkan warisan budaya masa lalu yang sangat kaya dengan nilai-nilai dan

norma-norma kehidupan yang dapat menuntun ke arah yang lebih baik dan

dinamis.

Untuk menanamkan pemahaman akan pentingnya kedudukan dan fungsi

warisan budaya lokal, maka yang harus ditumbuhkan kembali adalah kesadaran

atau pemahaman di kalangan masyarakat sebagai individu yang berada pada tata

pergaulan dan tata kehidupan yang tanpa batas, saling berinteraksi dengan

masyarakat luar. Kesadaran budaya yang tinggi dapat menimbulkan pengaruh

positif masyarakat dalam menilai keberadaan warisan budaya yang dimilikinya.

Penilaian itu berkaitan dengan apresiasi, tanggapan atau pun penerimaan warisan

budaya sehingga tidak mudah tergiring oleh gelombang globalisasi yang telah

merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat saat ini.

Wilayah dimuka bumi ini tidak satu pun yang terbebas dari dampak

globalisasi. Perubahan zaman terjadi begitu cepat dan tidak terhindarkan lagi.

Pergeseran nilai-nilai kehidupan juga berlangsung dengan sangat cepat.

Pergeseran nilai yang sudah pada taraf mengkhawatirkan tampak nyata di depan

mata. Menurut Sutarto (2004: 179), yang menyebabkan pergeseran nilai ini adalah

sebagai berikut 1) Tuhan terasa jauh dan uang terasa dekat; 2) nilai moral lebih

murah dari nilai materi; 3) kekerasan sering digunakan untuk menyelesaikan

182

Page 209: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

berbagai persoalan dalam masyarakat; 4) produk-produk budaya global lebih

digandrungi dibanding budaya lokal; 5) kepentingan agama, politik, dan ekonomi

dicampuradukkan sehingga batas-batasnya menjadi tidak jelas.

Saat ini masyarakat terjebak dalam perangkap kapitalisme global, dan

kaum kapitalisme telah berhasil mengubah dan bahkan mengatur perilaku

sosiokultur masyarakat. Padahal, kapitalisme tidak memberikan sistem nilai yang

pasti. Sistem nilai yang selama ini ditawarkan bertumpu pada materi. Kehidupan

yang dilandasi oleh konsumerisme, tidak akan menumbuhkan pilihan dan

keputusan yang benar-benar tulus karena selalu mengacu pada segi materi yang

serba duniawi. Perilaku masyarakat tradisional yang sederhana dan menanamkan

semangat kebersamaan yang berlandaskan kebudayaan lokal, tidak lagi tampak

dipermukaan karena ditenggelamkan oleh nilai-nilai yang dibawa oleh produk-

produk budaya global.

Sztompka (2007: 157), dampak negatif telah ditimbulkan oleh modernisasi

yang menyebabkan kehancuran lembaga dan cara hidup tradisional sering

menimbulkan disorganisasi, kekacauan, dan anomi. Perilaku menyimpang dan

kenakalan meningkat. Ketidakselarasan di sektor ekonomi dan tak sinkronkannya

perubahan di berbagai subsistem. Padahal, visi awal modernisasi berkaitan dengan

keunggulan inovasi atau terobosan kesadaran, moral, etika, dan tatanan sosial

yang berguna bagi umat manusia untuk meningkatkan kesejateraannya.

Kehidupan tatap muka pada masyarakat tradisional yang sudah mulai

hilang, dan tergantikan dengan sikap hidup modern yang individualistis, telah

membuat saluran penerusan nilai-nilai budaya dari gerasi ke generasi berikutnya

183

Page 210: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

menjadi terputus. Sebagai gantinya generasi muda dan juga berkat mediasi media

massa yang lebih berorientasi pada budaya-budaya luar yang pancaran informasi

makin melemah, Sedyawati (2008: 42). Hal ini, akan menghasilkan sindrom

modernitas secara menyeluruh, akan menghasilkan kesamaan atau keseragaman

yang melanda berbagai masyarakat dan melenyapkan perbedaan lokal, Sztompka

(2007: 155).

Upaya pemberdayaan masyarakat lokal dilakukan dengan cara

menyediakan fasilitas agar masyarakat bersangkutan mempunyai ketahanan

budaya. Ketahanan budaya dapat dirumuskan sebagai rasa memiliki jati diri dan

kekuatan budaya sendiri, sehingga dengan begitu tidak perlu merasa rendah diri

jika berhadapan dengan kebudayaan lain. Untuk mencapai ketahanan budaya,

diperlukan pengetahuan untuk memahami serta menghayatinya, dan pengetahuan

itu perlu disampaikan dengan sengaja melalui upaya terarah dan terancam

(Sedyawati, 2008: 106). Masyarakat Muna, berdasarkan wawancara dengan La

Mokui (11 Maret 2011), telah memiliki suatu ketahan budaya yang bersumber

dari falsafah damowanu liwu, yang membentuk tata nilai kehidupan yang

memiliki kekuatan budaya, seperti pada kutipan berikut ini.

“Ketika orang memahami falsafah damowanu liwu maka dia secara individu sudah tumbuh suatu ketahanan dalam dirinya, ketahanan keluarga, dan ketahanan nasional. Ketahanan berarti orang memahami sesuatu yang betul-betul harus dipertahankan”.

Falsafah damowanu liwu, mampu memberikan arah bagi kehidupan

bermasyarakat. Konsep ini lebih mengarah bagaimana individu menempatkan

dirinya, timbulnya kesadaran akan diri yang sebenarnya. Ketahanan budaya

dimulai dari diri sendiri, kemudian berkembang diteruskan pada keluarga dan

184

Page 211: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

masyarakat. Pada hakekatnya, ketahanan budaya merupakan akumulasi

pengetahuan yang diperoleh berdasarkan proses internalisasi dan sosialisasi dari

segala sesuatu yang diamati secara empiris. Fenomena ini sesuai dengan pendapat

Sedyawati (2008:170) yang mengemukakan bahwa nilai-nilai budaya

diinternalisasikan melalui berbagai pembelajaran, baik yang terstruktur maupun

yang bersifat meneruskan tradisi atau mengikuti adat. Dalam mengertian, adanya

kesinambungan antara pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan. Pengetahuan

yang bersumber dari warisan budaya masa lampau sangat diperlukan untuk

memberikan pemahaman dan penghayatan nilai-nilai kehidupan dalam

bermasyarakat.

Berbagai bentuk warisan budaya, termasuk di dalamnya tradisi lisan

kantola mempunyai nilai-nilai sosiokultural yang terdapat di dalamnya, kiranya

perlu terus dipelihara dan dikembangkan karena merupakan acuan bagi

pengembangan tatanan sosial bermasyarakat yang berlaku secara umum. Nilai-

nilai ini harus mampu berkompetensi dan kompoten terhadap dinamika

perkembangan global, yang dapat terwujud sebagai modal sosial dan modal

budaya. Demikian pula halnya tradisi lisan kantola tidak terlepas keterkaitannya

dengan kebudayaan lokal. Kebudayaan lokal belum tergantikan kedudukannya

untuk menata kehidupan yang beretika dan berahlak. Kebudayaan lokal

membentuk individu-individu yang santun, dapat menjadi panutan bagi individu-

individu yang lainnya.

Masyarakat akan mampu mempertahankan identitas budayanya dan

merespon berbagai gejolak globalisasi, apabila adanya upaya untuk membangun

185

Page 212: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

ketahanan budaya. Tanpa adanya upaya yang sungguh-sungguh dan

berkesinambungan, masyarakat akan kehilangan produk budaya lokal. Melalui

penggalian kembali produk-produk budaya lokal yang bernilai-tinggi, masyarakat

akan mampu membangun ketahanan budaya yang telah terkoyak-koyak akibat

kelalaian masyarakat itu sendiri dalam memeliharanya, serta desakan produk-

produk budaya global yang kian hari kian kuat daya cengkramannya. Kesadaran

budaya harus ditumbuhkan untuk memberikan apresiasi terhadap budaya-budaya

lokal, yang selanjutnya mengarah pada ketahanan budaya. Hal ini hanya dapat

terwujud melalui revitalisasi budaya-budaya lokal yang berlandaskan pada

konteks lokal. Segala sesuatu harus dimulai dengan niat baik, diamini oleh hati,

dan dilaksanakan dengan wujud yang nyata.

Refleksi

Tradisi lisan kantola, merupakan bagian dari warisan budaya yang

intangible, telah berada dalam tahap kepunahan. Keberadaan tradisi lisan kantola

saat ini, menimbulkan banyak kekhawatiran bagi para pemerhati budaya lokal,

dan juga sangat memerlukan bantuan dari berbagai pihak. Pemerintah daerah, dan

lembaga non-pemerintah, termasuk para tokoh masyarakat, dan tentu saja

masyarakat Muna sendiri yang menjadi pendukung utama tradisi lisan kantola.

Hal ini menjadi krusial karena keberadaan tradisi lisan kantola tidak

didokumentasikan, untuk itu perlu diupayakan pelestarian warisan budaya lokal.

Revitalisasi budaya lokal, terutama tradisi lisan kantola harus terus digali,

diperkuat, dan dikembangkan dalam rangka menangkal arus globalisasi yang

186

Page 213: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

begitu gencar mempengaruhi eksistensi, legitimasi, dan keberlanjutan budaya-

budaya lokal saat ini.

Olehnya itu, untuk melestarikan tradisi lisan kantola harus dilakukan

secara sistematis dan terencana, dengan tetap bertumpu pada prinsip berkeadilan,

karena keberadaan warisan budaya ini sudah semakin dilupakan masyarakat

pendukungnya. Pelestarian yang dilakukan selama ini belum memenuhi rasa

keadilan, hanya bertumpu pada wilayah-wilayah yang secara politis dan

ekonomis, memberikan manfaat bagi sektor finansial pemerintah. Sehingga

menimbulkan sikap apatis bagi pelaku budaya untuk terus memelihara produk-

produk budaya mereka. Hal ini sangat terpampang jelas dengan banyaknya

produk-produk budaya lokal yang punah, dan juga yang dirasakan oleh pelaku

aktif kebudayaan yang berada di wilayah Kabupaten Muna yang selama ini

terabaikan oleh pemerintah selaku penentu kebijakan. Para pelaku ini bergerak

sendiri-sendiri, tertatih-tatih dalam mengembangkan budaya lokal tanpa uluran

tangan dari pemerintah dengan memanfaatkan segala sumber daya yang mereka

miliki.

Merupakan sebuah ironi melihat wilayah lain yang perkembangan

budayanya sangat pesat karena terus mendapat bantuan dari pemerintah.

Sementara, di wilayah lain di Nusantara, produk-produk budaya lokal mereka

hanya tinggal menunggu waktu proses kehancurannya. Padahal, kebudayaan

nasional bukan hanya bersumber dari wilayah tertentu, melainkan kolektivitas

budaya-budaya lokal yang terdapat di tanah air. Hal ini diperparah lagi dengan

makin maraknya produk-produk budaya global yang terus berkembang dan

187

Page 214: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

bertransformasi mengikuti selera masyarakat yang semakin jauh meninggalkan

budaya lokal mereka. Suatu hal yang tidak mengherankan jika pola-pola hidup

masyarakat juga semakin jauh meninggalkan pola-pola hidup yang berlandaskan

pada tradisi masyarakat lokal, yaitu ikatan sosial yang kuat dan sederhana yang

semakin memudar.

Menghargai keberadaan lokalitas berarti akan memberikan ruang untuk

mengembangkan kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional bertumpu pada

kolektivitas budaya-budaya lokal, warisan budaya bangsa yang timbul sebagai

usaha bersama rakyat Indonesia secara keseluruhan. Warisan budaya tidak selalu

terpisahkan, tetapi dilihat sebagai bagian yang nyata dari kehidupan masyarakat.

Jika hal ini terlaksana, tradisi yang bersifat budaya lokal dapat menjadi poin

sentral untuk interaksi sosial, keterlibatan masyarakat dan partisipasi yang luas,

dan dapat menjadi poros penting dalam mengembangkan aspek kehidupan yang

lain, seperti pengembangan sosial dan ekonomi. Selain itu, mampu menumbuhkan

ketahanan budaya sebagai rasa memiliki jati diri dan kekuatan budaya sendiri.

Dengan membangun ketahanan budaya. masyarakat akan mampu

mempertahankan identitas budayanya dan merespon berbagai gejolak globalisasi.

Tanpa adanya upaya yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan dalam

melestarikan produk-produk budaya lokal, masyarakat akan kehilangan produk

budaya mereka yang telah diwariskan secara turun-temurun.

188

Page 215: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

BAB VIII

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan data yang ditemukan di lapangan pada

saat penelitian, dapat diungkapkan berbagai fakta yang menyangkut dengan

revitalisasi tradisi lisan kantola, yang merupakan aktivitas kultural masyarakat

Muna. Fakta-fakta ini menunjukan bahwa telah terjadi pergeseran dan perubahan

persepsi masyarakat terhadap keberadaan tradisi lisan ini. Tradisi lisan kantola

semakin terhempaskan dengan maraknya produk budaya global yang terus

merambah berbagai aktivitas keseharian masyarakat Muna. Berikut ini akan

dipaparkan beberapa simpulan dan saran, yang berlandaskan atas temuan dan

analisis data dengan menggunakan paradigma kajian budaya.

8.1 Simpulan

Deskripsi mengenai bentuk revitalisasi tradisi lisan kantola, dapat

disimpulkan bahwa keberadaan tradisi lisan ini mulai tergantikan dengan produk

budaya global. Kondisi ini akan berakibat pada pemutusan pewarisan budaya,

yang secara faktual, memang sedang berlangsung. Jika hal ini terus dibiarkan,

maka salah satu produk budaya lokal yang tak ternilai harganya ini akan hilang.

Untuk itu diperlukan upaya dalam mempertahankan keberadaan tradisi lisan ini

melalui pertunjukan tradisi lisan kantola secara periodik. Masyarakat dan

pemerintah harus menjaga dan mempertahankan keseimbangan antara

keberlanjutan dan perubahan yang terjadi sehingga tradisi lisan kantola senantiasa

terus muncul di permukaan. Peningkatan apresiasi masyarakat akan membuka

189

Page 216: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

peluang besar bagi pertumbuhan dan perkembangan tradisi lisan kantola yang

semakin terhimpit dengan produk-produk budaya global. Tradisi lisan kantola

memiliki kekuatan yang dapat mempengaruhi rancang bangun kebudayaan

nasional karena tradisi lisan kantola merupakan produk estetis simbolis

masyarakat yang berakar pada pengalaman sosio kultur masyarakatnya. Upaya

pelestarian bukan hanya sesaat tetapi harus dilakukan secara bertahap, yaitu

melalui proses internalisasi, sosialisasi, dan implementasi.

Analisis fungsi revitalisasi tradisi lisan kantola, dapat disimpulkan bahwa

tradisi lisan kantola dapat menumbuhkan semangat solidaritas masyarakat lokal

yang bertumpu pada tradisi, di mana masa lalu dan masa sekarang sering terkait.

Tradisi selalu melibatkan aspek moral dan etika. Aspek moral dan etika, berfungsi

untuk menjaga nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi yang melekat pada

masyarakat lokal. Penyampaian pendapat melalui komunikasi verbal dengan

menggunakan kantola dapat menumbuhkan sikap santun dan penghargaan

terhadap orang, selain itu juga dapat mempertahankan kecermatan berbahasa.

Memudarnya tradisi lisan di masyarakat merupakan indikasi telah memudarnya

ikatan sosial sehingga terjadi proses dehumanisasi dan terciptanya masyarakat

yang anomi.

Analisis makna revitalisasi tradisi lisan kantola, dapat dikemukakan

bahwa produk budaya global telah mengikis nilai-nilai kehidupan masyarakat

tradisional. Arus kapitalisme global semakin kuat, esistensi tradisi lisan makin

terpinggirkan. Menghidupkan kembali budaya lokal akan berpengaruh terhadap

pengembangan identitas masyarakat lokal. Tradisi lisan kantola memiliki

190

Page 217: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

kekuatan dasar, yaitu kekuatan bermakna edukasi yang berlandaskan nilai-nilai, di

mana nilai-nilai sangat kaya dengan keyakinan-keyakinan yang dapat dijadikan

titik tolak untuk membentuk pribadi yang kuat. Untuk itu proses inovasi terus

dilakukan untuk dapat mempertahankan nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi

lisan sehingga membuka peluang pemahaman warisan tradisi masa lalu yang

mampu menjawab persoalan kekinian. Dengan demikian, pelestraian budaya

dapat terlaksana, mampu mempertahankan identitas budaya dan merespon

berbagai akses negatif globalisasi.

8.2 Saran

Mencermati realitas revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna,

hasil kajian ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi semua pihak yang

terkait untuk dapat membangkitkan kembali dan melestarikan warisan budaya

lokal yang sangat sarat dengan pesan-pesan filosofis, moral, dan sosial. Saran-

saran ini hendaknya mampu diterapkan oleh pihak-pihak yang merasa

berkompeten. Maka langkah-langkah strategis yang diterapkan dalam masyarakat

Muna adalah sebagai berikut.

1. Seyogyanya pemerintah memikirkan secara arif, terencana dan sistematis

langkah-langkah yang diperlukan untuk melestarikan budaya-budaya

lokal, seperti tradisi lisan kantola, yang sudah semakin dilupakan

masyarakat pendukungnya dengan tetap bertumpu pada prinsip

berkeadilan. Pelestarian selama ini hanya bertumpu pada produk-produk

budaya dan wilayah-wilayah yang secara finansial memberikan manfaat

bagi sektor keuangan pemerintah.

191

Page 218: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

2. Para pelaku kebudayaan dan pemerintah harus mengatisipasi secara

komprehensif terhadap memudarnya apresiasi masyarakat terhadap

keberadaan tradisi lisan dan memikirkan langkah-langkah strategis dalam

menguatnya kembali sikap apresiatif masyarakat. Hal ini sangat krusial

karena perkembangan produk-produk budaya global begitu cepat dan

langsung diserap masyarakat. Langkah-langkah ini diharapkan mampu

mendorong timbulnya kesadaran budaya akan pentingnya peran yang

diemban warisan budaya lokal.

3. Perlunya mendorong pemerhati budaya dan peneliti untuk terus melakukan

penelitian sastra lisan, yang selama ini terkesan diabaikan oleh peneliti.

Sastra tulis hendaknya tidak dijadikan prioritas penelitian sehingga

menimbulkan kesan seolah-olah sastra lisan menjadi karya sastra

minoritas. Sastra lisan saat ini hanya menjadi onggokan tanpa makna jika

tidak dilakukan penelusuran dan penelitian secara mendalam.

192

Page 219: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Aderlaepe, dkk. 2006. Analisis Semiotik Sastra Lisan Kantola: Sastra Lisan Daerah Muna. Kendari: Kantor Bahasa Propinsi Sulawesi Tenggara Departemen Pendidikan Nasional.

Alqadrie, Syarif Ibrahim. 2008. “Identitas Budaya, Identitas Etnis dan Keagamaan, Kesadaran Etnis, dan Hipotesis Kekerasan 2020an di Kalimantan Barat. “Makalah disampaikan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2008. Bogor, 10-12 Desember 2008.

Ardana, I Ketut. 2004. “Kesadaran Kolektif Lokal dan Identitas Nasional dalam Proses Globalisasi” dalam I Wayan Ardika dan Darma Putra (ed). Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik. Bali: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Balimangsi Press.

Arivia, Gadis. 2004. “Mencari Kesadaran Baru untuk Mendapatkan Peradaban Baru”. Dalam: Jalan Paradoks visi Baru Frijof Capra tentang dan Kehidupan Modern. Penyunting: Budi Munawar R dan Eko Wijayanto. Jakarta: Teraju.

Astra, I Gde Semadi. 2004. “Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Upaya Memperkokoh Jati Diri Bangsa” dalam I Wayan Ardika dan Darma Putra (ed). Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik. Bali: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Balimangsi Press.

Astra, I Gde Semadi. 2009. “Epigrafi, Historiografi, dan Kearifan Lokal dalam Perspektif Multikultural” dalam Pemikiran Kritis Guru Besar Universitas Udayana Bidang Sastra dan Budaya. Denpasar: Udayana University Press.

Bardia, La Ode. 2006. “Kantola di Kabupaten Muna dalam Prespektif Linguistik Kebudayaan”. Denpasar: Tesis Program Magister PPs Unud. Denpasar; Tidak diterbitkan.

Barker, Chris. 2009. Cultural Studies: Teori dan Praktek. (Nurhadi, Pentj). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Barthes, Roland. 2007. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa: Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi. (Ikramullah Mahyuddin, Pentj). Yogyakarta: Jalasutra.

Burhan, Bungin. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu sosial lainnya. Jakarta: Prenada Media Group.

193

Page 220: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Culler, Jonathan. 1981. The Pursuit of Sign: Semiotik, Literature Deconstrukction. London: Rouldge & Keagan Paul Ltd.

Culler, Jonathan. 1996. Saursure, Penerjemahan Rodyah dan Siti Suhayati. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Penyumbangan Bahasa.

Dhavamony, M. 1995. Fenomena Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Djelantik, M.A.A.. 2008. Estetika Sebuah Pengantar. Jakarta: Masyarakat Sebi Pertunjukan Indonesia (MSPI).

Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. (Harfiah Widyawati dan Evi Setyarini, Pentj). Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.

Endraswara, Suwardi. 2005. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.

Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Foklore: Konsep, Toeri, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo.

Fairclough, Norman. 2003. Language and Power: Relasi Bahasa, Kekuasaan dan ideology. (Indah Rohmani, Pentj). Malang: Boyan Publishing.

Fakih, Mansour. 2000. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pengelolaan Ideologi di Dunia LSM Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fromm, Erich. 2002. Konsep Manusia Menurut Marx. (Agung Prihantoro, Pentj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Foucault, Michel. 1977. Dicipline and Punish: The Birth of the Prison. Alih bahasa: Alan Sheridan. New York: Vintage Books.

Gibbons, Michael T. 2002. Tafsir Politik: Telaah Hermeneutis Wacana Sosial-Politik Kontemporer. Yogyakarta: Qalam.

Giddens, Anthony. 2003. Masyarakat Post-Tradisional. Penerjemah: Ali Noer Zaman. Yogyakarta: IRCiSoD.

Giddens, Anthony. 2005. Konsekuensi-konsekuensi Modernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Griffin, David Ray. 2005. Visi-visi Postmodern: Spritualitas dan Masyarakat. (A.Gunawan Admiranto, Pentj). Yogyakarta: Kanisius.

194

Page 221: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Hadirman. 2009. “Fungsi Sosial Budaya Bahasa Muna dalam Konteks Katoba”. Tesis Program PPs Unud. Denpasar: Tidak diterbitkan.

Hendarto, Heru, 1993. Mengenal Konsep Hegemoni Gramsci, dalam: Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan. Jakarta: Gramedia.

Ife, Jim, 1997. Community Development, Creating Community Alternatives-Vision, Analysis and Practice. Melbourne: Addison Wesley Longman.

Kaplan, David dan Robert A. Manners. 2002. Teori Kebudayaan (Landung Simatupang, Pentj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Keesing, Roger M. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. (Samuel Gunawan, Pentj). Jakarta: Erlangga.

Kristiatmoko, Thomas. 2007. Redefenisi Subjek dalam Kebudayaan: Pengantar Memahami Subjektivitas Modern Menurut Perspektif Slavoj Zizek. Yogyakarta: Jalasutra.

Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: UI Press.

Koentjaraningrat. 1998. Sejarah Teori Antropologi 11. Jakarta: UI Press.

Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Aksara Baru.

Maliki, Zainuddin. 2004. Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya: LPAM.

Marafat, La Ode Sidu. 2008. “Seni Pantun Kantola Dalam Konteks Budaya Nusantara” Makalah disajikan pada Seminar lntemasional tanggal 2 Desember 2008 di Wanci, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Marafat, La Ode Sidu. 2009. “Seni Kantola dalam Konteks Masyarakat Muna”. Makalah yang di sampaikan pada Seminar Nasional Bahasa Ibu II diselenggarakan oleh Universitas Udayana Denpasar, 27-28 Pada Bulan Februari 2009.

Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Bumi Aksara.

Newton, K.M. 1994. Menafsirkan Teks: Pengantar Kritis Kepada Teori dan Praktek Penafsiran Sastra. (Soelistia, Pentj). Semarang: IKIP Semarang Press.

195

Page 222: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Parmer, Richard E. 2003. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interprestasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pilliang, Yasraf Amir. 2004a. Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-Tuhan” Digital. Jakarta: Grasindo.

Piliang, Yasraf Amir. 2004b. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yagyakarta: Jalasutra

Piliang, Yasraf Amir. 2005a. “Menciptakan Keunggulan Lokal untuk Merebut Peluang Global: Sebuah Pendekatan Kultural”. Makalah disampaikan dalam Seminar Membedah Keunggulan Lokal dalam Konteks Global diselenggaran oleh ISI Denpasar, 26 Juli 2005.

Piliang, Yasraf Amir. 2005b. Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.

Pozzolini, A. 2006. Pijar-Pijar Pemikiran Gramsci. (Eko PD, Pentj). Yogyakarta: Resist Book.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pudentia, MPPS. ed., 2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: ATL.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme: Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. “Teori Wacana Naratif”. Makalah disampaikan dalam Matrikulasi Program Doktor (S3) Linguistik. Program Pascasarjana Universitas Udayana, 12 Agustus 2008.

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

196

Page 223: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Sardar, Zianuddin dan Borin Van Loon. 2001. Mengenal Cultural Studies For Beginner (Alfathri Aldin, Pentj.) Bandung: Mizan

Sayuti, Suminto A. 2008. “Bahasa, Identitas, dan Kearifan Lokal dalam Perspektif Pendidikan” dalam Mulya (ed). Pembelajaran Bahasa dan Sastra Daerah dalam Kerangka Budaya. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sedyawati, Edi. 2008. Keindonesiaan dalam Budaya. Buku 2. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropologi Linguistik atau Linguitik Antropologi. Medan: Penerbit Poda.

Simon, Roger, 1999. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: INSIST dan Pustaka Pelajar.

Sobur, Alex. 2003. Semotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Steger, M., B.. 2006. Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar. Yogyakarta: Lafadl Pustaka.

Stokes Jane. 2007. How to do Media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. (Santi Indra Astuti, Pentj). Yogyakarta: Bentang.

Storey, John. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. (Laily Rahmawati, Pentj). Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.

Suastika, I Made. 2011. Tradisi Sastra Lisan (Satua) di Bali Kajian Bentuk Fungsi dan Makna. Denpasar: Pustaka Larasan bekerjasama dengan program S2 dan S3 Kajian Budaya.

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Citra Wacana.

Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfebeta.

Sulistyowati, Tutik. 2003. “Proses Institutionalizations Nilai-nilai Sosial Budaya Masyarakat Tengger dalam Nurudin dkk (ed). Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. Yogyakarta: LKIS.

Surbakti, Ramlan A. 2005. “ Teori dalam Penelitian Ilmu Sosial” dalam Bagong Suyatno dan Sutibah (ed). Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Prenada Media.

Sutarto, Ayu. 2004. Menguak Pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan Indonesia. Jember: Kopyawisda.

197

Page 224: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Sztompka, Piotr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. (Alimandan, Pentj). Jakarta: Prenada.

Tilaar, H.A.R. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Triguna, IBG Yudha. 1996. Arti dan Fungsi Karya Agung Eka Bhuwana di Pura Besakih. Denpasar: Peradah Indonesia Propinsi Bali.

Widja, I Gde. 1993. “Pelestarian Budaya: Makna dan Implikasi dalam Proses Regenerasi Bangsa”. dalam kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Denpasar: PT. Upada Sastra.

Wijaya, Putu. 2008. “Seni Pertunjukan”. Makalah disampaikan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2008. Bogor, 10-12 Desember 2008.

Yusuf, Iwan Awaluddin. 2005. Media, Kematian dan Identitas Budaya Lokal: Representasi Etnit Tionghoa dalam Iklan Dukacita. Yogyakarta: UI Press.

Zaid, Nashr Hamid Abu. 2004. Hermeneutik Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan. (Muhammad Mansur dan Khorian Nahdliyin, Pentj). Jakarta: ICIP.

Zamroni. 1999. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Fairclough, Norman. 2003. Language and Power: Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi. (Indah Rohmani, Pentj). Malang: Boyan Publishing.

198

Page 225: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara

A. PERTANYAAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1. Apa yang anda ketahui mengenai sejarah kabupaten Muna?

2. Dalam berinteraksi sosial, bahasa apa yang paling sering digunakan?

3. Tahukah Anda bentuk-bentuk tradisi lisan yang masih sering dipentaskan

ataupun yang sudah tidak lagi dipentaskan?

4. Bagaimana dengan sistem mata pencaharian dan tingkat pendidikan

masyarakat?

5. Apakah terdapat sistem kekerabatan pada masyarakat dan bagaimana

bentuknya?

6. Bagaimana pula dengan sistem religi dan kepercayaan yang dianut

masyarakat?

B. PERTANYAAN BENTUK REVITALISASI TRADISI LISAN KANTOLA PADA MASYARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA DALAM ERA GLOBALISASI

1. Sejak kapan tardisi lisan Kantola diciptakan, oleh siapa, dan bagaimana

perkembangannya hingga saat ini?

2. Pada mulanya, tradisi lisan Kantola diperuntukkan untuk siapa?

3. Dalam perkembangannya, apakah tradisi lisan Kantola mengalami

perubahan? Jika ada, mulai kapan dan mengapa? apa saja yang menyebabkan

perubahan tersebut? Jika tidak ada, apa yang membuatnya tidak berubah?

4. Pernahkan anda melihat Pertunjukan Kantola? Kapan dan bagaimna bentuk

pementasannya?

5. Apakah tradisi lisan Kantola itu merupakan identitas budaya masyarakat

Muna?

6. Apa saja yang harus dilakukan untuk melestarikan tradisi lisan Kantola dan

bagaimana cara melestarikan hal tersebut?

7. Apakah saja peran tradisi lisan kantola?

199

Page 226: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

C. PERTANYAAN FUNGSI REVITALISASI TRADISI LISAN KANTOLA

1. Apakah saja fungsi kantola yang anda ketahui

2. Apakah fungsi-fungsi tersebut masih diterapkan oleh masyarakat ataukah

telah terjadi penyimpangan fungsi

3. bagaimana upaya pemerintah dan masyarakat Muna dalam upaya pelestarian

tradisi lisan kantola

4. Apakah upaya pelestarian tradisi lisan kantola sudah sesuai dengan

diharapkan? Bagaimana fungsinya terhadap kehidupan bermasyarakat?

5. Adakah campur tangan pemerintah yang bertentangan dengan upaya

pelestarian tersebut

D. PERTANYAAN MAKNA REVITALISASI TRADISI LISAN

KANTOLA

1. Apa saja dampak yang ditimbulkan dari penguatan kembali identitas budaya

pada masyarakat Muna?

2. Nilai-nilai budaya apa saja yang dapat diperoleh dari penguatan tradisi lisan

kantola?

3. Makna apa saja yang dapat diperoleh dari upaya pelestarian tradisi lisan

kantola

4. Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap pelestarian budaya di era

reformasi ini? Apakah mengarah pada kesadaran ataupun ketahanan budaya?

200

Page 227: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Lampiran 2 Daftar Informan

No. Nama Usia Pekerjaan PendidikanA. Informan Kunci (Key Informan)1. Drs. La Mokui

(Pemerhati Kesenian Tradisional Muna)

65 Pensiunan Guru Sarjana

2. La Djehe Palola(Guru Tari Kabupaten Muna)

63 - SMA

3. La Ode Kape(Pelaku Kantola)

71 Petani SR

4. Drs. Muhammad Idul(Pelaku Kantola)

62 Pensiunan Guru Sarjana

5. La Giy(Tokoh Adat Muna)

70 - SR

No. Nama Usia Pekerjaan PendidikanB. Informan Biasa1. La Ode Halumi 71 Petani SR2. La Ode Samuri 65 Petani SR3. La Ode Karimu 63 Petani SR4. La Vulu 57 Petani -5. Wa Dae 65 Petani SR6. Wa Mangke 70 Petani -7. Wa Ode Pae 70 Petani -8. Wa Ode Siti 68 Petani -9. Wa Ode Hamola 65 Petani -10. La Kore 60 Pensiunan PNS -11. La Ode Bouh 62 Petani SR12. La Dharangku 60 Petani SR

201

Page 228: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

Lampiran 3 Peta Lokasi Penelitian

PETA SULAWESI TENGGARA DALAM SULAWESI

202

Page 229: Tesis lisan kantola di kabupaten muna

PETA KABUPATEN MUNA DALAM SULAWESI TENGGARA

203