TESIS KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN … · Landsat dilakukan dengan penginderaan jauh...
Transcript of TESIS KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN … · Landsat dilakukan dengan penginderaan jauh...
TESIS
KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN
TERHADAP KEJADIAN BANJIR PADA LANSKAP DAS CILIWUNG
HILIR DENGAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK
MUHAMMAD ALI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa rencana tesis berjudul Kajian Dampak
Perubahan Penutupan Lahan terhadap Kejadian Banjir pada Lanskap DAS
Ciliwung Hilir dengan Pendekatan Sistem Dinamik adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Muhammad Ali
NIM A451130021
RINGKASAN
MUHAMMAD ALI. Kajian Dampak Perubahan Penutupan Lahan terhadap
Kejadian Banjir pada Lanskap DAS Ciliwung Hilir dengan Pendekatan Sistem
Dinamik. Dibimbing oleh SETIA HADI dan BAMBANG SULISTYANTARA.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung memiliki luas 347 km2 dengan
panjang sungai utamanya 117 km. DAS Ciliwung memiliki nilai yang sangat
strategis karena melintasi Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Kegiatan
pembangunan di DAS Ciliwung baik hulu hingga hilir berlangsung dengan sangat
cepat. Perkembangan dan kemajuan yang demikian cepat ini menyebabkan
permasalahan, diantaranya dampak banjir yang semakin tinggi dan parah serta
menurunnya kualitas sungai. Hingga saat ini kebijakan pengendalian banjir lebih
didominasi oleh kebijakan struktural (fisik). Kebijakan non-struktural diperlukan
untuk perbaikan dalam jangka panjang. Penataan ruang merupakan salah satu
pendekatan non struktural dalam pengelolaan banjir. Pendekatan yang digunakan
dalam tesis ini adalah dengan menganalisis perubahan penutupan lahan
menggunakan pendekatan sistem dinamik. Konsep pendekatan sistem dinamik
adalah bagaimana semua objek (variabel) dalam suatu sistem berinteraksi satu
dengan lainnya sehingga menghasilkan suatu dinamika kecenderungan di masa
depan. Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis pola perubahan dan distribusi
penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir, (2) membangun model struktur dinamik
lahan DAS Ciliwung Hilir, dan (3) menyusun perencanaan lanskap DAS Ciliwung
Hilir yang optimal.
Penelitian dilakukan di DAS Ciliwung Hilir pada bulan Desember 2014
sampai bulan Mei 2015 dengan melakukan pengambilan data (primer dan
sekunder) serta pengamatan lapang (ground truth check). Analisa terhadap Citra
Landsat dilakukan dengan penginderaan jauh (remote sensing) yaitu dengan
klasifikasi terbimbing menggunakan Citra Landsat 5 tahun 1990 dan 2000,
Landsat 7 ETM+ tahun 2010 dan Landsat 8 tahun 2014. Analisis dilanjutkan
dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk memperoleh
luasan perubahan tutupan lahan tahun 1990, 2000, 2010, dan 2014.
Tipe penutupan lahan untuk tahun 1990, 2000, 2010 dan 2014
diklasifikasikan menjadi empat tipe penutupan lahan yaitu badan air, lahan
terbangun, ruang terbuka hijau dan lahan terbuka. Analisis terhadap perubahan
penutupan lahan antara tahun 1990 dan 2014 menunjukkan bahwa sejak tahun
1990 penggunaan lahan paling dominan adalah lahan terbangun seluas 5485.71 ha
meningkat menjadi 5587.62 ha pada tahun 2014 atau sebesar 1.86%. Lahan
terbuka juga mengalami peningkatan sebesar 7.09%. Di sisi lain, dalam kurun
waktu tersebut terjadi penurunan luasan pada badan air sebesar 30.19% diikuti
ruang terbuka hijau sebesar 3.72% dari luas total DAS Ciliwung Hilir.
Struktur model yang dibangun pada penelitian ini terbagi menjadi tiga sub
model, yaitu sub model perubahan tutupan lahan, sub model hidrologi dan sub
model penduduk. Selanjutnya dilakukan terhadap skenario yang telah dibuat.
Skenario yang dibuat adalah (1) skenario 1 (skenario eksisting), yaitu penetapan
laju peningkatan area hijau sebesar 0.04%, laju pertumbuhan penduduk sebesar
1.41% dan kebijakan perbaikan badan air sebesar 0.1%, (2) skenario 2, yaitu
penetapan laju peningkatan area hijau sebesar 1%, laju pertumbuhan penduduk
1.2% dan kebijakan perbaikan badan air 0.1%, (3) skenario 3, penetapan laju
peningkatan area hijau sebesar 2%, laju pertumbuhan penduduk 1% dan kebijakan
perbaikan badan air sebesar 0.2%.
Hasil simulasi menunjukkan pada skenario 1 terlihat bahwa lahan terbuka
dan ruang terbuka hijau mengalami pengurangan karena terkonversi menjadi
lahan terbangun dan badan air. Besarnya luasan yang terkonversi adalah 202.30 ha
lahan terbuka dan 112.90 ha ruang terbuka hijau pada akhir simulasi. Konversi ini
dikarenakan kebutuhan akan ruang seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk. Pada skenario 2 terlihat bahwa lahan terbuka mengalami pengurangan
karena terkonversi menjadi badan air, lahan terbangun dan ruang terbuka hijau.
Besarnya luasan yang terkonversi adalah 200.30 ha lahan terbuka pada akhir
simualasi. Pada skenario 3 terlihat bahwa lahan terbuka dan lahan terbangun
mengalami pengurangan karena terkonversi menjadi badan air dan ruang terbuka
hijau. Besarnya luasan yang terkonversi adalah 200.10 ha lahan terbuka dan
102.73 ha lahan terbangun pada akhir simulasi.
Berdasarkan hasil simulasi yang diperoleh, skenario 3 adalah skenario
paling optimal. Pada skenario ini, tinggi muka air sebagai penanda bahaya banjir
berada pada ketinggian 845 cm di tahun 2045 yang berarti daerah hilir berada
pada status siaga 3 dengan komposisi luasan optimal masing-masing penutupan
lahan adalah lahan terbuka 3.81 ha, badan air 275.73 ha, lahan terbangun 5515.81
ha dan ruang terbuka hijau 666.82 ha.
Kata kunci: banjir, daerah aliran sungai, pendekatan sistem dinamik, perubahan
penutupan lahan, SIG
SUMMARY
MUHAMMAD ALI. Study on the Effect of Land Cover Change to Flood Disaster
of Ciliwung Downstream Watershed with Dynamic System Approach. Supervised
by SETIA HADI and BAMBANG SULISTYANTARA.
Ciliwung watershed approximately has an area of 347 km2 and the length
of its main river is 117 km. This watershed has a strategic value because it is
located from southern part of West Java Province to northern part of Jakarta
Province. The fast growing development along the watershed give the impacts to
the city such as flood and water quality degradation. The policy of flood control
mostly dominated by structural policies while on the other hand non-structural
policies are needed to improve the long term management. Spatial planning is one
of the non-structural approaches to manage the flood. Analysis of land cover
change has used dynamic system approach. The concept of dynamic system is
how all the objects in a system will interact to each other to create dynamic trend
in the future. The purpose of this study are (1) to analyze the land use changes
pattern and land cover distribution in the area of Ciliwung downstream watershed,
(2) to build the land dynamic structure of the area of Ciliwung downstream
watershed, and (3) to construct the landscape planning of area of Ciliwung
downstream watershed based on carrying capacity.
This research was conducted in the area of Ciliwung downstream watershed
from December 2014 until May 2015 including data collection (primary and
secondary), and observation directly in the field (ground truth check). Research
was carried out by remote sensing methods, namely supervised classification
using Landsat 5 in 1990 and 2000, Landsat 7 ETM+ in 2010 and Landsat 8 in
2014. Geographic Information System is used in order to get information about
the changing of land cover area of the year 1990, 2000, 2010 and 2014.
The type of land cover in 1990, 2000, 2010 and 2014 was classified into
four type which are water bodies, built-up area, green area and bare land. Analysis
on the changes of landcover patterns between year 1990 and 2014 shows that
since 1990 the built-up area has increased from 5485.71 ha to 5587.62 ha in 2014
or 1.86% from the total area. The bare land has also increased 7.09%. On the
other hand water bodies and green area have decreased amount 30.19% and
3.72% from the total area of Ciliwung downstream watershed.
The model structure that being constructed in this research is divided into
three sub models, which are land cover change sub model, hydrology sub model
and population sub model. Furthermore, simulation of the scenarios have been
stated, which are: (1) scenario 1 (existing scenario), stated that the increasing rate
of green area is 0.04%, the population growth is 1.41% and the rehabilitation of
water bodies is 0.1%, (2) scenario 2, stated that the increasing rate of green area is
1%, the population growth is 1.2% and the rehabilitation of water bodies is 0.1%,
and (3) scenario 3, stated that the increasing rate of green area is 2%, the
population growth is 1% and the rehabilitation of water bodies is 0.2%.
The simulation results of the scenario 1 shows that bare land and green area
are converted into water bodies and built-up area. The amount of the converted
area is 202.30 ha of bare land and 112.90 ha of green area at the end of the
simulation. This conversion is caused by the need for living space as the number
of population. Scenario 2 shows that the bare land area is decreased and converted
into water bodies, built-up area and green area. The amount of the converted area
is 200.03 ha of bare land. Scenario 3 shows that the bare land area and built up
area are decreased and converted into water bodies and green area. The amount of
the converted area is 200.10 ha of bare land and 102.73 ha of built up area at the
end of the simulation.
Based on the results of all three scenarios, the optimum scenario that can be
used is scenario 3. In this scenario, water levels as an indicator of the danger of
flooding is at 845 cm of height, which means the downstream areas remain on
standby status 3. In the scenario, in order to reach the water level to prevent
flooding (845 cm), the optimal composition of the area of each land cover is 3.81
ha of bare land, 275.73 ha of water bodies, 5515.81 ha of built-up area, and
666.82 ha of green area in 2045.
Keywords: dynamic system, flooding, GIS, land cover change, watershed
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Arsitektur Lanskap
KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN
TERHADAP KEJADIAN BANJIR PADA LANSKAP DAS CILIWUNG
HILIR DENGAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
MUHAMMAD ALI
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Indung Sitti Fatimah, MSi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
ridho-Nya sehingga tesis yang berjudul “Kajian Dampak Perubahan Penutupan
Lahan terhadap Kejadian Banjir di DAS Ciliwung Hilir dengan Pendekatan
Sistem Dinamik” dapat terselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku ketua
komisi pembimbing, dan Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr selaku anggota
komisi pembimbing atas kesediaan membimbing dan membagi ilmunya selama
penulis mengerjakan tesis ini, serta Dr. Ir. Indung Sitti Fatimah, MSi selaku dosen
penguji atas semua masukannya demi perbaikan tulisan ini. Juga kepada Lutfy
Abdullah, SHut, MSi atas konsultasinya dalam pembuatan model dinamik.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta cq Badan Diklat Provinsi DKI Jakarta yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat magister melalui
program beasiswa Pegawai Tugas Belajar.
Terakhir, penulis ucapkan terima kepada istri tersayang dan keluarga
besar yang selalu memberikan doa dan dukungan serta kepada rekan-rekan
Pascasarjana Arsitektur Lanskap 2013.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Maret 2016
Muhammad Ali
5
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL i
DAFTAR GAMBAR ii
DAFTAR LAMPIRAN iii
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Manfaat Penelitian 4
1.5 Kerangka Pikir Penelitian 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Ekosistem Daerah Aliran Sungai 5
2.2 Aliran Permukaan dan Tata Guna Lahan 7
2.3 Fenomena Banjir di DAS 8
2.4 Pengelolaan Banjir 10
2.5 Penataan Ruang 11
2.6 Pemodelan Sistem Dinamik 12
2.7 Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh 14
2.8 Daya Dukung Lingkungan 16
3 METODE 17
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 17
3.2 Data dan Sumber Data 17
3.3 Analisis Data 19
Analisis Penutupan Lahan
Analisis Hubungan antara Penutupan Lahan dan Curah Hujan
Analisis Sistem Dinamik
Batasan dan Asumsi Model serta Skenario Hasil
4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 27
4.1 Kondisi Umum Fisik Wilayah 27
4.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat 30
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 31
5.1 Klasifikasi Penutupan Lahan 31
5.2 Perubahan Pola Penutupan Lahan 35
5.3 Hubungan Penutupan Lahan dan Curah Hujan terhadap 42
Tinggi Muka Air
5.4 Pembangunan Model Sistem Dinamik 43
5.5 Simulasi Model 46
5.6 Hasil Simulasi Sistem Dinamik 46
5.7 Arahan Pengendalian Ruang 49
6 SIMPULAN DAN SARAN 52
Simpulan 52
Saran 52
DAFTAR PUSTAKA 53
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
7
DAFTAR TABEL
1 Jenis, satuan, sumber dan kegunaan data 18 2 Analisis kebutuhan stakeholders 23 3 Persentase kekritisan lahan di DAS Ciliwung 28 4 Tingkat erosi bahaya DAS Ciliwung 28 5 Status siaga Sungai Ciliwung 29
6 Keadaan lingkungan DAS Ciliwung 31
7 Tutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 2014 32
8 Perubahan pola penutupan lahan 35
9 Matriks perubahan tutupan lahan tahun 1990-2000 36
10 Matriks perubahan tutupan lahan tahun 2000-2010 41
11 Matriks perubahan tutupan lahan tahun 2010-2014 41
12 Matriks perubahan tutupan lahan tahun 1990-2014 41
13 Pola dominan perubahan penutupan lahan 42
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pikir penelitian 4 2 Metode pengendalian banjir 10
3 Tahapan pemodelan sistem dinamik 15 4 Peta lokasi penelitian 18 5 Proses raktifikasi untuk koreksi geometri 20 6 Tahapan analisis penutupan lahan 22 7 Diagram input-output penelitian 24
8 Diagram lingkar sebab-akibat kebutuhan 25
9 Konstruksi model dinamik (stock flow diagram) 26 10 Grafik curah hujan di DAS Ciliwung Hilir 27
11 Ketinggian air bulanan maksimum Ciliwung Hilir 29
12 Visualisasi badan air 33
13 Visualisasi lahan terbangun 34
14 Visualisasi ruang terbuka hijau 34
15 Visualisasi lahan terbuka 35
16 Pola penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 1990 37
17 Pola penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 2000 38
18 Pola penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 2010 39
19 Pola penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 2014 40
20 Hubungan sebab akibat penutupan lahan pada DAS Ciliwung Hilir 44
21 Sub model pengembangan sistem 45
22 Grafik luasan area tutupan lahan pada berbagai skenario 47
23 Ketinggian muka air hasil simulasi 48 24 Grafik tinggi muka air pada berbagai skenario 49
25 Peta arahan penutupan lahan hasil simulasi 50
26 Rencana lanskap tepi sungai Ciliwung Hilir 51
9
DAFTAR LAMPIRAN
1 Overall Accuracy dan Kappa Accuracy 58 2 Persamaan model dinamik perubahan penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir 60
3 Komposisi penutupan lahan hasil simulasi skenario 1 62 4 Komposisi penutupan lahan hasil simulasi skenario 2 64 5 Komposisi penutupan lahan hasil simulasi skenario 3 66 6 Hasil validasi berdasarkan nilai AME pada berbagai tutupan lahan 68
1
1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung memiliki luas 347 km2 dengan
panjang sungai utamanya 117 km. DAS merupakan suatu wilayah daratan yang
secara topografik dibatasi oleh punggung gunung/bukit yang menampung dan
penyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai
utamanya (Asdak 2010). DAS Ciliwung memiliki nilai yang sangat strategis
karena wilayah hilirnya memasuki dan bermuara di ibukota negara Indonesia.
Berdasarkan pewilayahan administratif, DAS Ciliwung melintasi dua provinsi,
yaitu Jawa Barat dan DKI Jakarta. Berdasarkan toposekuen, DAS Ciliwung dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu bagian hulu, tengah dan hilir. Sebagai suatu ekosistem
DAS, perubahan bagian hulu DAS Ciliwung akan mempengaruhi seluruh bagian
lainnya. Letak ibukota negara di bagian hilir DAS Ciliwung menjadikan kawasan
ini memiliki nilai strategis dalam pengembangan dan pengelolaannya.
Kegiatan pembangunan di DAS Ciliwung baik hulu hingga hilir
berlangsung dengan sangat cepat. Daerah hulu yang menjadi tujuan wisata
mengakibatkan pembangunan sarana rekreasi yang sangat cepat. Pembangunan
fisik di daerah tengah yang dekat dengan ibukota berkembang dengan sangat
pesat, karena pengaruh ibukota. Demikian pula dengan daerah hilir yang
seluruhnya berada di ibukota negara, menjadi wilayah yang sangat padat oleh
pemukiman, fasilitas publik dan lahan terbangun lainnya. Hasil penelitian
Ruspendi (2014) menunjukkan bahwa terjadi pengurangan lahan pertanian kering
sebesar 9%. Begitu juga tutupan lahan sawah dan hutan mengalami penurunan
masing-masing 2%. Di sisi lain lahan terbangun meningkat sebesar 11%.
Perkembangan dan kemajuan yang demikian cepat menyebabkan DAS Ciliwung
saat ini mengalami banyak permasalahan, diantaranya dampak banjir yang
semakin tinggi dan parah akibat pembangunan yang tidak terencana dan masalah
kualitas sungai yang semakin menurun.
Bencana banjir yang sering terjadi telah memasuki kondisi yang sangat
parah, dan menimbulkan kerugian harta dan jiwa yang sangat besar. Menurut
BPDAS (2011), banjir besar terjadi pada tahun 1996 dan tahun 2002 telah
menimbulkan kerugian 9,8 trilyun rupiah. Banjir pada tahun 2007 telah merendam
hamper 70% wilayah DKI Jakarta, dan sebagian wilayah Kabupaten Bogor, Kota
Depok, Kabupaten dan Kota Tangerang serta Kota Bekasi, menimbulkan kerugian
sebesar 8,8 trilyun rupiah. Bencana tersebut diantaranya disebabkan oleh
meluapnya sungai Ciliwung karena peningkatan debit dan sedimentasi sungai
akibat pengurangan kapasitas dan infiltrasi air tanah di DAS Ciliwung. Kerusakan
yang disebabkan oleh meluapnya sungai Ciliwung diperkirakan sebesar USD 321
milyar atau sekitar 4,2 trilyun per tahun (Budiyono 2015).
Beberapa hasil kajian menyampaikan bahwa penyebab timbulnya banjir di
DAS Ciliwung, terutama yang terjadi di Jakarta adalah pengelolaan bagian hulu
yang tidak tepat. Irianto (2000) menyebutkan bahwa dalam kurun waktu tahu
1981-1999, hulu DAS seluas 14.860 ha telah beralih fungsi, dan menurut Pawitan
(2004) perubahan penggunaan lahan tersebut berdampak pada peningkatan debit
puncak banjir hulu sebesar 65% dan peningkatan volume banjir sebesar 50%.
2
Kontribusi run off dari daerah hulu dan tengah DAS Ciliwung diprediksi sebesar
42.44%, sedangkan di daerah hilir sebesar 57.56% (BPDAS 2007). Banjir Jakarta
juga disebabkan oleh penurunan permukaan tanah akibat ekstraksi air tanah
(Abidin, Andreas et al. 2008). Publikasi Kementrian Lingkungan Hidup (2012)
menyatakan bahwa kondisi DAS Ciliwung semakin memburuk akibat sedimentasi
karena erosi dan penyempitan sungai karena rumah-rumah liar dibiarkan
terbangun di bantaran sungai.
Penataan ruang adalah upaya aktif manusia untuk mengubah pola dan
struktur pemanfaatan ruang dari satu keseimbangan menuju keseimbangan baru
yang lebih baik melalui konsep dasar pewilayahan DAS sebagai kesatuan
hidrologis. DAS merupakan kesatuan hidrologis, bagian hulu mempunyai fungsi
perlindungan terhadap seluruh bagian DAS, sedangkan daerah tengah dan hilir
merupakan daerah pemanfaatan (Asdak, 2010). Konversi lahan telah
menyebabkan DAS Ciliwung semakin dikeliingi pemukimam penduduk, yang
menyebabkan juga penyempitan dan pendangkalan sungai di bagian hilir.
Pemukiman padat penduduk berdampak pada naiknya laju aliran permukaa karena
tidak adanya resapan air. Steinberg (2007) menyebutkan bahwa banjir disebabkan
oleh sistem drainase yang kurang baik dan sedimentasi hulu.
Kejadian banjir sangat sensitif terhadap adanya perubahan penggunaan
lahan dan pengelolaan lahan yang tidak tepat (Woube 1999, Brath et al. 2006,
Weather dan Evans 2009). Kondisi penutupan DAS berpengaruh terhadap
interaksi daerah hulu dan hilir, air permukaan, air tanah, air pada daerah hilir dan
siklus hidrologi suatu DAS (Molle dan Mamanpoush 2012). Jadi pada dasarnya,
perubahan penggunaan lahan yang menyebabkan penurunan infiltrasi tanah dan
peningkatan debit aliran sungai (Poerbandono 2009).
Beberapa payung hukum telah diterbitkan oleh pemerintah untuk kawasan
DAS Ciliwung Hilir, yaitu Peraturan Presiden RI No. 54 tahun 2008 tentang
Penataan Ruang Kawasan Jakarta – Bogor – Depok – Tangerang – Bekasi –
Puncak – Cianjur (Jabodetabekpunjur) dan Undang-undang Penataan Ruang No.
26 tahun 2007. Berdasarkan peraturan perundangan ini maka komposisi
penutupan lahan yang baik sangat diperlukan. Perubahan penggunaan lahan
merupakan salah satu area yang sangat penting untuk dilakukan penelitian karena
dampak ekologisnya yang sangat signifikan terhadap lingkungan (Fang et al.
2006; Chen et al. 2003). Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian agar alokasi
pemanfaatan ruang sesuai dengan kondisi dan daya dukung lingkungannya.
Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis penutupan menggunakan
pendekatan sistem dinamik dan spasial dinamik. Sistem dinamik sebagai suatu
metodologi yang dipahami melalui interaksi antar struktur. Konsep dasar sistem
dinamik menngenalkan secara sederhana elemen-elemen dasar yang menyusun
sebuah sistem yang bersifat dinamis, yang dilengkapi dengan langkah-langkah
berpikir membangun model umum (generic model) mulai dari identifikasi gejala
sampai menghasilkan struktur permasalahan untuk analisis kebijakan. Pendekatan
spasial dinamik merupakan pendekatan yang mengintegrasikan analisis sistem
dinamik dengan Sistem Informasi Geografis. Konsep pendekatan sistem dinamik
adalah bagaimana semua objek (variabel) dalam suatu sistem berinteraksi satu
dengan lainnya sehingga menghasilkan suatu dinamika kecenderungan dimasa
3
depan. Seiring berkembangnya kemajuan teknologi dalam Sistem Informasi
Geografis (SIG) diharapkan hasil dari pendekatan model sistem dinamik tidak
hanya dalam bentuk tabulasi tetapi juga dapat divisualisasikan dalam bentuk
spasial kewilayahan.
1.2. Perumusan Masalah
Kejadian banjir merupakan salah satu gangguan ekologis yang terjadi di
DAS, karena banyaknya curah hujan yang tidak mampu diserap oleh tanah. Salah
satu penyebab terjadinya gangguan dalam proses penyerapan air adalah karena
berkurangnya daerah resapan air. Perubahan luasan daerah resapan air disebabkan
oleh perubahan pola penutupan lahan dari lahan yang bervegetasi menjadi lahan
yang kedap air.
Curah hujan merupakan masukan utama pada proses daur hidrologi di suatu
DAS. Ketika curah hujan melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah maka air
hujan akan mengalir di atas permukaan tanah sebagai aliran permukaan (surface
run-off) dan kemudian akan terakumulasi menjadi aliran debit. Pengaruh tata guna
lahan terhadap besarnya aliran permukaan adalah ketika curah hujan tidak mampu
lagi terserap oleh tanah akibat berkurangnya daerah resapan air. Hujan yang turun
pada DAS Ciliwung akan langsung mengalihragamkan hujan tersebut menjadi
aliran permukaan karena daerah resapan yang kurang. Akibatnya pada musim
hujan debit sungai meningkat tajam sementara pada musim kemarau debit air
rendah. Dengan demikian risiko banjir pada musim hujan dan kekeringan pada
musim kemarau meningkat.
Banjir di DAS Ciliwung Hilir (Jakarta) tidak semata-mata disebabkan oleh
curah hujan di hulu. Wibowo (2011) dan BPDAS Citarum Ciliwung (2007)
menjelaskan bahwa perubahan penutupan lahan menjadi bersifat masif atau kedap
air merupakan faktor yang dapat memperbesar peluang kejadian banjir. Hadi
(2012) menjelaskan bahwa perubahan pemanfaatan ruang di Kawasan Puncak
berkorelasi positif terhadap peningkatan run-off dan kejadian banjir Jakarta.
Kejadian banjir di hilir tersebut sekitar 40% akibat dari perubahan penutupan pada
DAS Ciliwung Hulu.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini
adalah :
1. Bagaimanakah pola perubahan dan distribusi penutupan lahan DAS
Ciliwung Hilir selama kurun waktu beberapa tahun terakhir?
2. Bagaimanakah distribusi penutupan lahan (pola penutupan lahan) DAS
Ciliwung Hilir yang optimal sesuai dengan daya dukung kawasan dalam
menurunkan tinggi muka air hingga mencapai titik aman?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Menganalisis pola perubahan dan distribusi penutupan lahan DAS Ciliwung
Hilir
2. Membangun model struktur dinamik lahan DAS Ciliwung Hilir
4
3. Menyusun perencanaan lanskap DAS Ciliwung Hilir yang optimal sesuai
dengan daya dukung
1.4. Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan informasi terkait dengan
perubahan penutupan lahan yang telah terjadi pada DAS Ciliwung Hilir dan
mendapatkan komposisi penutupan lahan yang baik sesuai daya dukung
lingkungannya. Komposisi penutupan lahan tersebut dapat dijadikan acuan bagi
pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menata ruang Kawasan DAS
Ciliwung Hilir.
1.5. Kerangka Pikir Penelitian
Pada analisis sistem dinamik disusun beberapa skenario simulasi kebijakan
agar dapat terlihat kecenderungan perubahan kawasan dimasa depan.
Penggabungan dengan SIG akan dapat memfasilitasi dalam menentukan
distribusi/penyebaran dari penggunaan lahan pada kawasan tersebut dengan
memperhitungkan daya dukungnya.
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Model Sistem
Dinamik
Validasi model
Skenario
Skenario optimal
DAS Ciliwung
Hulu : Konservasi
Hilir : Pemanfaatan
Penggunaan lahan /
Perubahan tata
guna lahan
Optimasi
penggunaan lahan
Pembangunan pesat Banjir
Kebijakan
Struktural Non-
Struktural
Mekanisme
institusi
Data GIS
Topografi
Tutupan lahan
Jenis Tanah
Perencanaan Lanskap DAS Ciliwung
Hilir sesuai Daya Dukung
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan
satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke
danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah
topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan (UU Nomor 7 Tahun 2004, Seyhan 1990). Menurut
Haridjaja (2008), DAS merupakan suatu wilayah kesatuan ekosistem yang
dibatasi oleh pemisah topografis dan berfungsi sebagai tempat aktivitas dan
perlindungan alam (hidrologi, konservasi plasma nutfah, dan lain-lain dengan
aliran air atau sungai akan keluar melalui suatu outlet tunggal. Dengan demikian
DAS menggambarkan suatu wilayah yang menjelaskan air yang jatuh diatasnya
beserta sedimen dan bahan larut melalui titik yang sama sepanjang suatu alur atau
sungai.
Lebih lanjut Manan (1979) menjelaskan bahwa DAS diartikan sebagai
areal yang menampung, menyimpan dan menyalurkan air hujan ke sungai dalam
bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan, serta aliran air tanah yang
dipisahkan dengan areal lainnya oleh batas topografi. Sri Harto (1993)
menjelaskan bahwa DAS adalah daerah yang dibatasi atau dipisahkan dengan
daerah lain oleh pisah topografis yaitu punggung bukit/igir-igir dan formasi
geologis. Kelebihan air hujan yang jatuh pada suatu daerah aliran sungai mengalir
dan terkonsentrasi pada satu sungai yang sama.
Ekosistem DAS, sebagaimana sistem ekologi, terdiri dari beberapa
komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan
yang teratur. Sebagai sebuah ekosistem tentunya DAS terdiri komponen yang
saling terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan komponen
yang saling terkait ini jika berjalan seimbang maka akan menghasilkan kondisi
ekosistem yang stabil. Sebaliknya jika hubungan ini mengalami gangguan maka
terjadi gangguan ekologis. Gangguan ini pada dasarnya adalah gangguan pada
arus materi, energi dan informasi antar komponen ekosistem DAS yang tidak
seimbang (Odum dalam Asdak, 2010). Berdasarkan hal tersebut, ekosistem DAS
harus dipahami sebagai kerangka kerja yang holistik dan sosial budaya dalam
suatu wilayah. Pendekatan holistik dilakukan secara efisien dan efektif, syarat
yang diperlukan bagi terwujudnya pemanfaatan sumberdaya alam untuk
pembangunan berkelanjutan (Asdak, 2010).
Asdak (2010) mengatakan bahwa DAS terbagi menjadi daerah hulu tengah
dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai
berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih
tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lahan yang besar (>15%), bukan
daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase dan jenis
vegetasi yang umumnya merupakan tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS
dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan
drainase lebih kecil, daerah dengan kemiringan lahan kecil sampai dengan sangat
kecil (<8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir, pengaturan
6
pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi
tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan bakau/gambut.
DAS bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik
DAS yang berbeda tersebut di atas. Pilhan yang harus diambil dalam konservasi
DAS harus memperhatikan dampak yang akan diterima bagian hilir.
Menurut Indarto (2014) ukuran dan besar kecilnya daerah tangkapan hujan
yang memberi kontribusi terhadap aliran sungai (contributing area) di dalam DAS
berpengaruh langsung terhadap total volume aliran yang keluar dari DAS.
Umumnya jika hujan jatuh merata di dalam dua DAS, yang satu berukuran besar
dan daerah tangkapan hujannya relatif luas (DAS besar) dan yang lain memiliki
daerah tangkapan hujan lebih sempit (DAS kecil), maka total volume aliran yang
dihasilkan oleh DAS besar akan relatif lebih banyak dari DAS yang berukuran
kecil dan volume air tersebut proporsional terhadap luas daerah tangkapannya.
Kebanyakan kejadian hujan hanya meliputi luasan tertentu di dalam DAS. Oleh
karna itu, untuk berbagai situasi volume aliran hanya akan ditentukan oleh luasan
kontribusi (contributing area). Luasan ini menyatakan luas bagian DAS yang
terkena hujan, bukan luas total DAS.
Berdasarkan toposekuen, ekosistem DAS dibagi menjadi daerah hulu,
tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi,
mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan
kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir,
pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi pada
umumnya merupakan tegakan hutan. Daerah hilir dicirikan sebagai daerah
pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, memiliki kemiringan lereng kecil,
pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan
pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi dan jenis vegetasi didominasi oleh
tanaman pertanian (kecuali daerah estuaria didominasi oleh hutan bakau/gambut).
Bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik tersebut (Asdak
2010).
DAS merupakan salah satu konsep sistem wilayah. Batasan dari luasan
wilayah lebih bersifat “meaningful” untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring,
pengendalian maupun evaluasi. Dengan demikian, batasan wilayah tidak selalu
bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis dengan penekanan pada
interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di
dalam suatu batasan unit geografis tertentu (Rustiadi et al. 2009). Kawasan
otoritas DAS merupakan suatu wilayah perencanaan yang dibentuk berdasarkan
asumsi konsep wilayah sistem ekologi. Sebagai wilayah perencanaan, batasan
DAS didasarkan pada sifat-sifat tertentu pada wilayah, baik sifat alamiah maupun
non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan
wilayah perencanaan/pengelolaan. Berdasarkan konsep wilayah, manfaat
klasifikasi DAS sebagai wilayah sistem ekologi adalah pengeloaan sumberdaya
wilayah berkelanjutan, identifikasi carrying capacity kawasan dan siklus alam
aliran sumberdaya, biomasa, energi dan sebagainya (Rustiadi et al. 2009).
Konservasi DAS dalam kaitan dengan perencanaan dan pengelolaannya
meurpakan proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang
bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di DAS untuk
7
memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan
sumberdaya air dan tanah. Ada 5 (lima) indikator biofisik yang dapat dijadikan
sebagai ukuran bahwa DAS dikatakan masih baik dan dapat berfungsi secara
optimal, yaitu; (1) debit sungai konstan dari tahun ke tahun; (2) kualitas air baik
dari tahun ke tahun; (3) fluktuasi antara debit maksimum dan minimum kecil; (4)
ketinggian muka air tanah dari tahun ke tahun konstan: dan (5) kondisi curah
hujan tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu.
2.2. Aliran Permukaan dan Tata Guna Lahan
Indarto (2010), menjelaskan bahwa aliran (run-off) sering didefinisikan
sebagai hujan (rainfall), salju dan/atau air irigasi yang mengalir di atas permukaan
tanah menuju sungai. Kadang-kadang juga disebut sebagai aliran permukaan
(surface run-off). Lebih lanjut Asdak (2010) mendefiniskan aliran permukaan
(run-off) sebagai air yang mengalir di atas permukaan tanah atau bumi, bagian
dari curah hujan yang mengalir diatas permukaan tanah menuju ke sungai, danau
dan lautan. Menurut Indarto (2010) ada dua jenis aliran permukaan yang terjadi
selama hujan atau pelelehan es, yaitu : (1) aliran permukaan yang berasal dari
kelebihan infiltrasi (infiltration excess overland flow); dan (2) aliran permukaan
yang berasal dari kejenuhan tanah (saturation excess overland flow). Aliran
permukaan karena kelebihan infiltrasi terjadi jika besarnya hujan (intensitas
hujan) yang jatuh atau salju yang meleleh lebih besar dari kapasitas infiltrasi. Air
yang tidak terinfiltrasi selanjutnya menjadi aliran permukaan. Aliran ini umumnya
teramati pada kejadian hujan deras dengan durasi pendek. Umumnya juga terjadi
pada wilayah dimana tanahnya banyak mengandung lempung atau pada kasus
permukaan tanah yang telah termodifikasi karena pemadatan tanah (soil
compaction), urbanisasi, atau kebakaran hutan. Aliran permukaan jenis ini sering
disebut sebagai aliran Horton (Hortonian flow). Aliran permukaan karena
kejenuhan terjadi jika tanah menjadi jenuh dan air tidak dapat lagi terinfiltrasi.
Umumnya terjadi pada hujan kecil hingga sedang dengan durasi panjang atau
kejadian hujan atau pelelehan salju yang beruntun. Tanah mungkin sudah jenuh
oleh kejadian hujan sebelumya, sehingga tidak lagi dapat menampung air
infiltrasi. Aliran jenis ini dapat terjadi dimana saja selama tanah dalam keadaan
basah. Lebih khusus lagi pada daerah beriklim humid dengan topografi datar atau
kemiringan kecil.
Aliran permukaan berlangsung ketika jumlah curah hujan melampaui laju
infiltrasi air ke dalam tanah. Setelah laju infiltrasi terpenuhi, air mulai mengisi
cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Setelah pengisian air pada cekungan
itu selesai, air dapat mengalir di atas permukaan tanah dengan bebas. Ada bagian
air yang berlangsung cepat dan selanjutnya membentuk aliran debit (debit sungai).
Bagian aliran permukaan lain, karena melewati cekungan-cekungan permukaan
tanah sehingga memerlukan waktu beberapa hari bahkan beberapa minggu
sebelum akhirnya menjadi aliran debit.
Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan secara umum dapat
dibagi dua yaitu karakteristik hujan dan karakteristik DAS. Karakteristik hujan
mencakup lama waktu hujan, intensitas dan penyebaran hujan. Pengaruh
karakteristik DAS terhadap terhadap aliran permukaan adalah melalui bentuk dan
ukuran (morfometri) DAS, topografi, geologi dan tata guna lahan. Intensitas hujan
8
akan mempengaruhi laju dan volume aliran permukaan. Pada hujan dengan
intensitas tinggi, kapasitas infiltrasi akan terlampaui dengan beda cukup besar
dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif. Dengan demikian, total volume
aliran permukaan akan lebih besar pada hujan intensif dibandingkan dengan hujan
kurang intensif meskipun curah hujan total kedua hujan tersebut sama besarnya.
Laju dan volume aliran permukaan suatu DAS dipengaruhi oleh penyebaran dan
intensitas curah hujan di DAS yang bersangkutan.
Pengaruh morfometri DAS terhadap besaran dan waktu dari hidrograf
aliran yang dihasilkannya dalam hal ini terdiri atas luas, kemiringan lereng,
bentuk dan kerapatan drainase DAS. Luas DAS merupakan salah satu faktor
penting dalam pembentukan hidrograf aliran semakin besar luas DAS, ada
kecenderungan semakin besar jumlah curah hujan yang diteima. Tetapi, beda
waktu (time lag) antara puncak curah hujan dan puncak hidrograf aliran menjadi
lebih lama. Demikian juga waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak
hidrograf dan lama waktu untuk keseluruhan hidrograf aliran juga menjadi lebih
panjang. Kemiringan lereng suatu DAS mempengaruhi perilaku hidrograf dalam
hal waktu. Semakin besar kemiringan lereng suatu DAS, semakin cepat laju aliran
permukaan sehingga mempercepat respons DAS tersebut oleh adanya curah
hujan. Bentuk topografi seperti kemiringan lereng, keadaan parit dan bentuk-
bentuk cekungan permukaan tanah lainnya akan mempengaruhi laju dan volume
aliran permukaan. DAS dengan sebagian besar bentang lahan datar atau pada
daerah dengan cekungan-cekungan tanah tanpa saluran pembuangan (outlet) akan
menghasilkan aliran lebih kecil dibandingkan dengan DAS dengan kemiringan
lereng lebih besar serta pola pengairan yang dirancang denan baik. Dengan kata
lain, sebagian aliran air ditahan dan diperlambat kecepatannya sebelum mencapai
lokasi pengamatan. Hal ini dapat diketahui dari bentuk hidrograf yang lebih datar.
Proses yang terjadi di DAS akan mengalihragamkan masukan berupa
hujan menjadi luaran yang berupa hasil air (kualitas, kuantitas dan sedimen).
Apabila proses yang terjadi dalam DAS masih berjalan dengan baik maka
fluktuasi aliran permukaan pada outlet DAS mempunyai perbedaan yang relatif
kecil dan kandungan sedimen baik yang melayang maupun didasar sungai juga
relatif kecil. Menurut Fakhrudin (2003), penggunaan lahan merupakan faktor
yang cepat berubah sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk dan tingkat
sosial ekonomi masyarakat. Perubahan penggunaan lahan akan mengakibatkan
perubahan terhadap kapasitas infiltrasi dan tampungan permukaan (surface
storage) atau gabungan antara keduanya dan efek selanjutnya akan mempengaruhi
aliran permukaan. Hubungan antara penggunaan lahan dan aliran permukaan juga
dijelaskan oleh Wibowo (2011), debit sungai tidak semata-mata dipengaruhi oleh
curah hujan yang bersifat acak, perubahan penutupan lahan menjadi yang bersifat
masif atau kedap air akan meningkatkan limpasan permukaan yang selanjutnya
memperbesar peluang terjadinya banjir.
2.3. Fenomena Banjir di DAS
Gangguan ekologis pada DAS terjadi apabila hubungan antar komponen
dalam ekosistem DAS tidak dalam keadaan seimbang. Gangguan ini pada
dasarnya adalah gangguan pada arus materi, energi dan informasi antar komponen
ekosistem. Salah satu gangguan ekologis yang terjadi di DAS adalah kejadian
9
banjir, terutama di daerah hilir akibat aktivitas manusia di daaerah hulu hingga
hilir yang tidak ramah lingkungan. Menentukan pengaruh gangguan DAS bagian
hulu terhadap kemungkinan terjadinya banjir di daerah hilir memerlukan
observasi respon DAS bagian hulu terhadap masukan curah hujan. Respon DAS
terhadap curah hujan banyak ditentukan oleh karakteristik DAS, antara lain
keadaan topografi, kelembaban dan jenis tanah, penutupan vegetasi dan ukuran
kerapatan drainase DAS. Ukuran dan bentuk DAS, kemiringan lereng lahan dan
sungai, jenis batuan dan kerapatan sungai adalah karakteristik yang tidak banyak
berubah. Keseluruhan karakteristik fisik tersebut secara tersendiri maupun
bersamaan akan mempengaruhi debit aliran sebagai respon DAS terhadap curah
hujan. Sedangkan karakteristik biofisik seperti vegetasi dan tanah cenderung
bersifat dinamis. Bila salah satu komponen tersebut berubah, maka berubah pula
debit aliran sebagai respon terhadap curah hujan. Karena sifatnya yang dinamis,
perubahan penutupan lahan akan mempengaruhi besarnya debit aliran sebagai
respon terhadap curah hujan (Asdak 2010).
Woube (1999) menjelaskan bahwa jenis-jenis, penyebab, besaran dan
dampak banjir di DAS dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu terkait dengan
banjir normal dan banjir abnormal. Banjir normal didefinisikan sebagai air hujan
yang menghasilkan limpasan pada daerah tangkapan mengalir ke sistem drainase
secara alami dalam siklus tahunan yang terjadi secara normal. Dalam kondisi
keseimbangan hidro-fisik, ketinggian air tetap dalam kondisi banjir normal. Jika
sistem hidro-fisik terganggu, maka terjadi perluasan zona banjir abnormal. Banjir
abnormal menyebabkan kerusakan yang seringkali disebabkan oleh hujan lebat
dan salah urus daerah tangkapan air.
Lebih lanjut Woube menjelaskan, daerah tangkapan air yang terganggu
akibat land use dan land cover menyebabkan run-off meningkat, pada curah hujan
yang tetap. Curah hujan tidak ditahan oleh vegetasi akan jaruh ke bumi kemudian
menguap, meresap dan mengalir pada tanah yang lebih rendah. Dalam kondisi
intensitas curah hujan yang tinggi atau hujan yang berkepanjangan, saluran sungai
tidak mampu menampung kelebihan limpasan, maka terjadi banjir. Selama
periode aliran tinggi, intensitas curah hujan meningkatkan limpasan sungai dan
debit puncak sehingga resiko bahaya banjir juga semakin besar. Pemanasan dan
perubahan iklim global yang diperkirakan akan terjadi pada masa mendatang akan
memperburuk resiko terjadinya banjir (Cui et al. 2009).
Brath et al. (2006) menyatakan bahwa kejadian banjir sangat sensitif
terhadap adanya perubahan penggunaan lahan. Hutan yang dikonversi menjadi
lahan pertanian atau padang rumput, maka pada wilayah tersebut dapat terjadi
banjir abnormal. Deforestasi sekitar 30% pada DAS tropis menyebabkan
pengurangan debit sungai yang ditandai oleh penurunan aliran sungai. Sistem
pertanian di tepi sungai memungkinkan tingkat air normal dipertahankan dan
membantu membatasi daerah rawa dan non rawa.
Pembangunan perkotaan memberikan gambaran yang jelas tentang
dampak perubahan lahan terhadap pengelolaan air. Aktivitas manusia seperti
urbanisasi, peternakan, irigasi dan sebagainya menyebabkan dampak buruk pada
ekosistem sungai, kekeringan, banjir dan polusi pada sungai (Steiner et al. 2000;
Molle et al. 2010). Urbanisasi mempengaruhi proses yang terjadi pada aliran
10
sungai, karena run-off yang besar, debit puncak yang tinggi, waktu respon lebih
cepat dan proses sedimentasi sering terjadi selama urbanisasi (Cui et al. 2009).
2.4. Pengelolaan Banjir
Pengelolaan banjir dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang
mengkoordinasikan pengembangan dan pengelolaan aspek lainnya yang terkait
secara langsung maupun tidak langsung dengan tujuan mengoptimalkan
kepentingan ekonomi dan kesejahteraan sosial tanpa mengganggu kestabilan
ekosistem. Pada prinsipnya ada dua metode pengendalian banjir yaitu metode
struktural dan non-struktural sebagaimana tercantum dalam Gambar 2. Menurut
Kodoatie dan Sjarief (2010) pada masa lalu metode struktrural lebih diutamakan
dibandingkan dengan metode non-struktural. Namun saat ini banyak negara maju
mengubah pola pengendalian banjir denagn terlebih dahulu mengutamakan non-
struktural, dilanjutkan dengan metode struktural.
Gambar 2 Metode pengendalian banjir
(Kodoatie dan Sugiyono 2006 dalam Kodoatie dan Sjarief 2010)
Kondisi tata guna lahan yang sudah padat karena bangunan menyebabkan
kenaikan run-off yang signifikan dan pengurangan resapan air. Upaya perbaikan
sungai dengan pelebaran akan memberikan pengaruh maksimal dua kali lipat saja,
Pengendalian Banjir
Metode Struktural Metode Non-struktural
Perbaikan dan
pengaturan sistem
sungai
Sistem jaringan
sungai
Perbaikan sungai
Perlindungan
tanggul
Sodetan (by pass)
Floodway
Bangunan pengendali
banjir
Bendungan (dam)
Kolam revisi
Pembuatan check
dam (penangkap
sedimen)
Bangunan
pengurang
kemiringan sungai
Groundsill
Retarding basin
Pembuatan polder
Pengeloaan DAS
Pengaturan tata guna
lahan
Pengendalian erosi
Pengembangan daerah
banjir
Pengaturan daerah
banjir
Penanganan kondisi
darurat
Peramalan banjir
Peringatan bahaya
banjir
Asuransi
Law enforcement
11
itupun apabila proses pelebaran sebesar dua kali lipatnya bisa berjalan lancar.
Perlu diperhatikan pelebaran sungai/drainase harus dipertahankan secara
menyeluruh sampai ke hilir. Bilamana dilakukan pelebaran hanya dilakukan pada
daerah hulu tetapi daerah hilir tidak dilebarkan maka akan terjadi penyempitan
alur sungai, dan akhirnya daerah hulu kembali ke posisi semula. Selain itu potensi
kembali pada lebar sungai semula cukup besar akibat sedimentasi dan morfologi
sungai yang belum stabil. Demikian pula kedalaman sungai yang dikeruk menjadi
dua kali akan kembali ke kedalaman semula akibat besarnya sedimentasi. Oleh
karena itu metode non-struktural harus dikedepankan lebih dahulu (Kodoatie dan
Sjarief 2010).
Van den Hurk et al. (2014) menyimpulkan bahwa pendekatan non-
struktural memberikan hasil yang lebih serius dan konsisten dibandingkan
pendekatan struktural. Hasil ini diperoleh dengan membandingkan kelembagaan
penyelamatan air dan pengembangan spasial antara Belanda dan Kerajaan Inggris
menggunakan kerangka Ostrom’s Institutional Analysis and Development (IAD).
Belanda menyelesaikan permasalahan banjir melalui pembangunan fisik (tanggul
dan bendungan) dan minimalisasi resiko banjir, dengan standar keselamatan yang
tinggi dan diakui mempunyai reputasi yang baik sebagai pengelola air selama
berabad-abad. Pemerintah Inggris mempunyai kebiasaan yang berbeda dengan
Belanda dalam menyelesaikan banjir. Inggris telah memiliki kelembagaan yang
kuat dalam penyusunan tata ruang. Oleh karena itu meskipun standar
keselamatannya rendah tetapi pendekatan resiko dapat diadaptasikan dalam
perencanaan tata ruang melalui modifikasi pilihan lokasi. Inggris memiliki
kebijakan pemanfaatan air yang baik, terutama pada saat terjadinya fenomena
perubahan iklim seperti peningkatan curah hujan, variabilitas debit sungai dan
naik turunnya permukaan air laut.
2.5. Penataan Ruang
Penataan ruang merupakan salah satu pendekatan non-struktural dalam
pengelolaan banjir. Penataan ruang adalah upaya aktif manusia untuk mengubah
pola dan struktur pemanfaatan ruang dari satu keseimbangan menuju kepada
keseimbangan baru yang lebih baik. Sebagai proses perubahan ke arah kehidupan
yang lebih baik, maka penataan ruang secara formal adalah bagian dari proses
pembangunan, khususnya menyangkut aspek-aspek spasial dari proses
pembangunan. Tujuan penataan ruang adalah untuk (1) memenuhi efisiensi dan
produktivitas, (2) mewujudkan distribusi sumberdaya guna terpenuhi prinsip
pemerataan, keseimbangan dan keadilan dan (3) menjaga keberlanjutan (Rustiadi
et al. 2009).
Unsur penataan ruang menyangkut dua hal, yaitu unsur fisik ruang dan
unsur non fisik (kelembagaan). Unsur fisik penataan ruang menyangkut
pengaturan-pengaturan fisik (physical arrangement) dan sekaligus produk fisik
dari suatu penataan ruang itu sendiri. Unsur fisik meliputi pengaturan
pemanfaatan ruang fisik, penataan struktur/hierarki pusat-pusat aktivitas sosial
ekonomi, penataan jaringan keterkaitan pusat-pusat aktivitas dan pengembangan
sistem sarana prasarana. Unsur non fisik/kelembagaan (institutional arrangement)
dalam penataan ruang mencakup aspek-aspek mengenai penyusunan aturan-aturan
12
(rule) dan aspek pengorganisasian atas pembagian peran (role) dalam rangka
mengimplementasikan aturan-aturan penataan ruang. Unsur pengaturan atau tata
pengaturan kelembagaan adalah pengaturan yang tidak bersifat fisik (tidak
terlihat), akan tetapi sering dianggap sebagai hal yang terpenting dalam
pengaturan ruang.
Cui et al. (2009) menyatakan bahwa salah satu strategi untuk mengurangi
resiko banjir di perkotaan yang disebabkan oleh urbanisasi dan perubahan iklim
menggunakan fluktuasi curah hujan sebagai dasar perbaikan, yaitu perbaikan
saluran air, membangun bendungan dan membangun waduk, dan membuat
saluran penyimpanan arus sungai dan sedimen yang terbentuk. Namun, langkah
tersebut dianggap tidak efisien dan tidak hemat biaya untuk perbaikan ekologi.
Strategi lain yang lebih baik berdasarkan jaringan sungai yang mencakup saluran
dan muara sungai sehingga memungkinkan adanya pengembangan jaringan alur
sungai untuk mengatur distribusi spasial sumber daya air. Dengan
mengembangkan strategi ini maka perbaikan sungai yang harus dilakukan
mencakup seluruh wilayah DAS.
Pembangunan perkotaan memberikan gambaran yang jelas tentang
dampak perubahan penggunaan lahan terhadap pengelolaan air (Weather dan
Evans 2009). Tanah bervegetasi diganti dengan permukaan kedap air sehingga
meningkatkan aliran permukaan dan mengurangi infiltrasi, melewati penyimpanan
alami dan memenuhi sub permukaan. Selain itu modifikasi aliran run-off ke
sungai melalui jalur terpendek menyebabkan volume run-off yang lebih besar
berpotensi meningkatkan puncak banjir secara cepat tetapi menurunkan resapan
air tanah. Besarnya pengaruh pembangunan perkotaan pada debit sungai akan
bergantung pada respon alami tangkapan air. Fragmentasi lanskap merupakan
ancaman terhadap keberlanjutan DAS karena fragmentasi tersebut mengubah
karakteristik lanskap yang dapat mengganggu keseimbangan ekologi (Molle et al.
2010).
Oleh karena itu, dalam pengelolaan DAS, perencanaan sumber daya air
dan pengelolaan banjir untuk pembangunan berkelanjutan, harus
mengintegrasikan model perubahan distribusi penggunaan lahan dan model
distribusi hidrologi (Du et al. 2012). Selain itu, pemahaman hidrologi dan
hubungan ekologis dalam ekosistem DAS sangat diperlukan. Pilihan yang harus
diambil dalam pengelolaan DAS harus memperhatikan dampak yang akan
diterima bagian hilir (Hipple et al. 2005; Molle dan Mamanpoush 2012). Dengan
demikian, maka akan diperoleh manfaat dari pengelolaan DAS secara terpadu,
meliputi (1) penyediaan suplai air yang memadai untuk keperluan alam dan
manusia, (2) pemeliharaan dan peningkatan kualitas air, (3) pemulihan
keanekaragaman hayati, dan (4) mendukung pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan regional (Cui et al. 2009).
2.6. Pemodelan Sistem Dinamik
Model adalah replikasi sistem dengan perbandingan tertentu, suatu konsep,
sesuatu yang mengandung hubungan empiris, atau suatu seri persamaan
matematis atau statistik yang menggambarkan sistem (Indarto 2010). Marpaung
(2012) mendefinisikan model sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah
13
objek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung
maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Oleh
karena suatu model adalah abstraksi dari realistis, pada wujudnya kurang
kompleks daripada realitas itu sendiri. Model bukanlah suatu representasi yang
sempurna dari yang dimodelkan, tetapi dapat sebagai alat yang sangat berguna
untuk mempelajari dan memahami karakteristik sistem dan memprediksi perilaku
sistem atau DAS terhadap masukan atau faktor eksternal. Perilaku sistem tersebut
biasanya sulit diprediksi dengan hanya mengandalkan data pengukuran dan
observasi lapangan.
Sistem adalah gugus elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi
untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan (Hartrisari 2007).
Pengertian sistem ini mencerminkan adanya beberapa bagian dan hubungan antara
bagian dan menunjukan kompleksitas dari sistem yang meliputi kerjasama antara
bagian yang interdependen satu sama lain. Pendekatan sistem adalah pendekatan
terpadu yang memandang suatu objek atau masalah yang kompleks dan bersifat
antar disiplin sebagai bagian dari sistem. Pendekatan sistem menggali elemen-
elemen terpenting yang memiliki kontribusi yang signifikan terhadap tujuan
sistem. Pendekatan sistem ini merupakan suatu pendekatan analisa organisatoris
yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisa. Sistem dapat
digolongkan dalam dua jenis, yaitu sistem terbuka (open system) dan sistem
tertutup (closed system). Sistem terbuka merupakan sistem yang outputnya
merupakan tanggapan dari input, namun output yang dihasilkan tidak memberikan
umpan balik terhadap input. Sebaliknya pada sistem tertutup, output memberikan
umpan balik terhadap input. Konsep pengertian sistem sebagai suatu metode
dikenal dalam pengertian umum sebagai pendekatan sistem (system approach).
Pada dasarnya pendekatan tersebut merupakan penerapan metode ilmiah di dalam
usaha memecahkan masalah. Atau merupakan “kebiasaan berpikir atau
beranggapan bahwa ada banyak sebab terjadinya sesuatu” di dalam memandang
atau menghasilkan kesalingterhubungkannya sesuatu benda, masalah, atau
peristiwa. Jadi, pedekatan sistem berusaha menyadari adanya kerumitan di dalam
kebanyakan benda, sehingga terhindar dari memandangnya sebagai sesuatu yang
amat sederhana atau bahkan keliru.
Sistem dinamik sebagai suatu metodologi yang dipahami melalui interaksi
antar struktur. Konsep dasar sistem dinamik mengenalkan secara sederhana
elemen-elemen dasar yang menyusun sebuah sistem yang bersifat dinamis, yang
dilengkapi dengan langkah-langkah berpikir membangun model umum (generic
model) mulai dari identifikasi gejala sampai menghasilkan struktur permasalahan
untuk analisis kebijakan. Struktur model dibangun melalui analisis struktural
berdasarkan pendekatan system thinking dan dimungkinkan mempunyai titik
kontak yang banyak dan saling interdependen. Hubungan unsur-unsur yang saling
interdependen itu merupakan hubungan sebab akibat yang bersifat umpan balik
dan bukan hubungan sebab akibat bersifat searah (Hasan 2011). Ide utama dalam
pemodelan sistem dinamik adalah untuk mengerti perilaku suatu sistem dengan
menggunakan struktur matematika yang sederhana. Dengan demikian sistem
dinamik dapat membantu perencana dalam hal-hal sebagai berikut: (a)
menggambarkan suatu sistem, (b) mengerti suatu sistem, (c) mengembangkan
model secara kualitatif dan kuantitatif, (d) mengidentifikasi perilaku umpan balik
14
dari suatu sistem, (e) mengembangkan kendali kebijakan untuk pengelolaan
sistem yang lebih baik.
Pendekatan sistem dalam penataan ruang suatu wilayah adalah cara
penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap
adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan ruang sehingga dapat menghasilkan suatu
operasi dari sistem tata ruang yang dianggap efektif. Dalam pendekatan sistem
umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor yang penting
yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan
(2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional.
Menurut Hartrisari (2007) dan Djakapermana (2010), untuk
menyelesaikan permasalahan yang kompleks dengan pendekatan sistem dapat
melalui beberapa tahapan, yaitu:
1. Analisis kebutuhan, bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dari
semua pelaku sistem,
2. Formulasi permasalahan, yang merupakan kombinasi dari semua
permasalahan yang ada dalam sistem,
3. Identifikasi sistem, merupakan pemahaman mekanisme yang terjadi
dalam sistem,
4. Pemodelan sistem, proses untuk mengubah konsep sistem atau struktur
model yang telah disusun ke dalam persamaan atau bahasa komputer
2.7. Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh
Menurut Malczewski (1999) definisi SIG berfokus pada dua aspek sistem
yaitu teknologi dan pemecahan masalah. Sistem Informasi Geografis (SIG)
merupakan teknologi untuk penanganan data spasial. Terdiri dari perangkat keras
dan perangkat lunak komputer yang mampu menangkap, menyimpan dan
memproses informasi spasial berupa data kualitatif dan kuantitatif, menyatukan
dan menginterpretasi peta (Farina 1998). Sedangkan menurut Tkach dan
Simonovic (1997) SIG merupakan teknologi yang berkembang dengan cepat
dalam hal keefisienan penyimpanan data, analisis dan manajemen informasi
spasial. Hampir semua proses manajemen pengambilan keputusan memerlukan
analisis informasi spasial. Dengan menggunakan teknologi SIG maka banyak
informasi berguna yang dapat dihasilkan dari data dasar. Ketelitian serta
pengaturan kembali aliran informasi dalam pelaksanaannya dapat semakin efektif
dan secara nyata memperbaiki kualitas kerja (Lin 2000). Foote and Lynch (1996)
memuat tiga hal penting yang dimiliki oleh SIG, yaitu:
1) SIG berhubungan dengan berbagai aplikasi database lainnya dengan
menggunakan georeference sebagai dasar utama dalam proses penyimpanan
dan akses informasi.
2) SIG merupakan sebuah teknologi yang terintegrasi, karena dapat menyatukan
berbagai teknologi geografi yang ada seperti penginderaan jauh, Global
Positioning System (GPS), Computer Aided Design (CAD) dan lainnya.
3) SIG dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan, bukan hanya
dilihat sebagai sistem perangkat keras/lunak.
15
Gambar 3 Tahapan pemodelan sistem dinamik (sumber: Hartrisari (2007)
dan Djakapermana (2010))
Formulasi Permasalahan
Mulai
Analisis Kebutuhan
Identifikasi Permasalahan
Identifikasi Sistem
1. Diagram lingkar sebab-
akibat (causal loop)
2. Diagram input-output
(black box)
Identifikasi Sistem
1. Operasi matematik
2. Program (komputer)
Validasi
Implementasi
Evaluasi
Layak
Persiapan
Pemodelan
Eksekusi model atas
data lapangan
Tindak lanjut
Ya
16
Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan ilmu pengetahuan dalam
memperoleh informasi tentang suatu objek, area, atau fenomena melalui analisis
data yang diperoleh dengan menggunakan alat tertentu tanpa ada kontak dan
investigasi dengan objek tersebut (Lillesand dan Kiefer 2000). Informasi remote
sensing yang dihasilkan dari satekit image untuk analisis lebih lanjut
menggunakan SIG. Secara umum data dari penginderaan jauh agar dapat
digunakan di SIG harus diinterpretasi dan dikoreksi geometrik terlebih dahulu
(Farina 1998).
Paling sedikit ada tiga alasan menggabungkan penggunaan SIG dan
remote sensing (De Bruin dan Molenaar 1999), yaitu :
1. Analisis image dalam penginderaan jauh lebih menguntungkan dari
GIS-stored data.
2. Penginderaan jauh dapat menjadi dasar untuk memperbaharui
informasi geografi.
3. Penggabungan dari informasi yang diperoleh dari proses-proses dalam
SIG dapat membantu untuk menjaga dari kesalahan dan ketidaktentuan
dalam menangkap dan memanipulasi data.
2.8. Daya Dukung Lingkungan
Salah satu pendekatan untuk mengkaji batas-batas keberlanjutan suatu
ekosistem adalah ecological footprint (tapak ekologi). Ecological footprint
mengukur permintaan penduduk atas alam dalam satuan metrik, yaitu area global
biokapasitas. Dengan mengemukakan mengenai bagaimana mengurangi dampak
penduduk terhadap alam, konsep ecological footprint menjadi isu dunia yang
penting, setidaknya dalam dua cara pandang (Mc Donald dan Patterson 2003
dalam Rustiadi et al. 2010). Pertama, ecological footprint mengukur total biaya
ekologis (dalam area lahan) dari suplai seluruh barang dan jasa kepada penduduk.
Hal ini menunjukkan bahwa penduduk tidak hanya secara langsung memerlukan
lahan untuk produksi pertanian, jalan, bangunan dan lainnya, akan tetapi secara
tidak langsung lahan pun turut mewujudkan barang dan jasa yang dikonsumsi
penduduk. Dalam cara pandang ini, ecological footprint dapat digunakan untuk
membuat nyata biaya ekologis dari aktivitas penduduk. Kedua, ecological
footprint sebagai indikator keberlanjutan, yaitu carrying capacity. Carrying
capacity dalam ekologi adalah jumlah populasi maksimum yang dapat didukung
oleh area lahan tertentu. Konsep ini merujuk untuk semua anggota ekosistem.
Menjadi sangat menarik apabila populasi di sini adalah populasi manusia atau
penduduk.
Ecological footprint digunakan salah satunya untuk menghitung daya
dukung lingkungan. Konsep daya dukung lingkungan (carrying capacity) dapat
dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut dari konsep kepadatan penduduk
(population density). Kepadatan penduduk menunjukkan hubungan kuantitatif
antara jumlah penduduk dan unit luas lahan. Konsep daya dukung menekankan
pada kemampuan suatu daerah (wilayah) untuk mendukung jumlah maksimum
populasi suatu spesies secara berkelanjutan pada suatu tingkat kebutuhan sumber
daya yang diperlukan. Dengan demikian kemampuan ini sangat bergantung pada
17
kekayaan sumber daya yang dimiliki oleh suatu daerah dan tingkat kebutuhan
sumber daya oleh suatu organisme.
Di Indonesia, secara legal konsep daya dukung sudah diperkenalkan dalam
Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Undang-Undang ini membedakan konsep
daya dukung lingkungan atas daya dukung alam, daya tampung lingkungan
binaan, dan daya tampung lingkungan sosial, dimana pengertian dari masing-
masing konsep tersebut adalah sebagai berikut :
1. Daya dukung alam adalah kemampuan lingkungan alam beserta
segenap unsur dan sumbernya untuk menunjang perikehidupan
manusia serta makhluk lain secara berkelanjutan.
2. Daya tampung lingkungan binaan adalah kemampuan lingkungan
hidup buatan manusia untuk memenuhi perikehidupan penduduk.
3. Daya tampung lingkungan sosial adalah kemampuan manusia dan
kelompok penduduk yang berbeda-beda untuk hidup bersama-sama
sebagai satu masyarakat secara serasi, selaras, seimbang, rukun, tertib,
dan aman.
3 METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Secara geografis DAS Ciliwung Hilir terletak pada 6°7’12.55” -
6°15’27.33” LS dan 106°49’42.17” - 106°51’36.10” BT. DAS Ciliwung Hilir
berbatasan dengan DAS Krukut dan Grogol di sebelah Barat yang terhubung
dengan Banjir Kanal Barat (BKB). Sementara di sebelah Timur berbatasan
dengan DAS Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, dan Cakung yang terhubung
dengan Banjir Kanal timur (BKT). Berdasarkan pewilayahan administratif, DAS
Ciliwung Hilir berada di wilayah Provinsi DKI Jakarta (Gambar 4). Bagian hilir
sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk wilayah administrasi pemerintahan
Kota Madya Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, lebih ke hilir dari Pintu Air
Manggarai, termasuk saluran buatan Kanal Barat, Sungai Ciliwung ini melintasi
wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara.
Penelitian dilaksanakan pada Bulan Desember 2014 – Mei 2015 di
kawasan DAS Ciliwung Hilir.
3.2 Data dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan sekunder.
Data primer dikumpulkan dengan melakukan survei lapang sedangkan data
sekunder diperoleh dari literatur, hasil penelitian, laporan, peta dan data statistik
yang diperoleh dari instansi pemerintah, yaitu IPB, BPDAS Citarum Ciliwung,
BBWS Ciliwung Cisadane, LAPAN, BMG, BPS dan SKPD terkait.
18
Gambar 4 Peta lokasi penelitian
Tabel 1 Jenis, satuan, sumber dan kegunaan data
No. Jenis Data Satuan Sumber Kegunaan
A. Peta Dasar DAS
Ciliwung Hilir
1 Citra Landsat (Path :
122, Row : 64)
Landsat 5 Image LAPAN Deliniasi tutupan
Landsat 7 ETM+ Image www.usgs.co.us Lahan
Landsat 8 Image
2 Peta Tutupan Lahan
DAS Ciliwung Hilir
Peta
Tematik
BAPPEDA
DKI
3 Peta Topografi BALITTANAH Peta Kesesuaian
19
Tabel 1 Lanjutan
3.3 Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan beberapa bagian atau tahapan, yaitu
analisis penutupan lahan, analisis periode ulang curah hujan, analisis hubungan
antara penutupan lahan dan curah hujan terhadap debit air, analisis sistem dinamik
dan analisis distribusi spasial.
1. Analisis Penutupan Lahan
Pada tahap ini dilakukan identifikasi terhadap penutupan lahan pada
daerah penelitian. Data yang digunakan dalam tahap ini adalah Citra Landsat
tahun 1990, 2000, 2010 dan 2014. Pengolahan citra merupakan suatu cara
memanipulasi data citra menjadi suatu keluaran (output) sesuai dengan yang
diharapkan. Secara umum data dari penginderaan jauh agar dapat digunakan SIG
harus diinterpretasikan terlebih dahulu. Tahapan identifikasi (interpretasi) tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Import data
Langkah awal yang dilakukan adalah import data file ke dalam format data
yang diinginkan sesuai jenis data yang dipakai dalam software ERDAS
IMAGINE, yaitu format (.img). Data yang disimpan biasanya dalam bentuk data
raster.
4 Peta Jenis Tanah
B. Bio-fisik
1 Debit/Tinggi Muka
Air Sungai
ltr/dtk; cm BP DAS
Citarum-
Ciliwung,
BBWSCC,
Dinas PU Tata
Air
2 Curah Hujan mm/thn BMKG Peubah
3 Data Sungai Dinas PU Tata
Air
C. Sosial
1 Populasi jiwa BPS Kondisi umum
2 Sosial ekonomi % BPS Kondisi umum
20
b. Raktifikasi data
Koreksi geometri dimana row dan path data citra landsat mempunyai
sistem koordinat UTM (Universal Transverse Mercator) yang belum tentu sama
dengan basemap atau sistem proyeksi yang digunakan. Sehingga sebelum
dilakukan pendugaan maka terlebih dahulu dilakukan koreksi secara geometris
berdasarkan Ground Control Point (GCP) sebagai titik kontrol/referensi. Setelah
dilakukan koreksi secara geometrik, maka dilakukan juga koreksi secara
atmosferik/radiometrik, untuk melihat sejauhmana citra tersbeut layak untuk
digunakan dalam analisis. Citra dianggap layak jika kondisi tutupan awan <20%
sebagai acuan untuk penentuan histogram.
Hal penting untuk mempertajam luas cakupan penutupan lahan yang dapat
diidentifkasi termasuk waktu, jam dan tanggal pengambilan citra tersebut untuk
mengetahui pola-pola penutupan lahan saat melakukan klasifikasi dimana
panduannya dapat diestimasi dari rekaman kejadian yang terjadi pada saat citra
diprogram. Gambar 5 menunjukkan kondisi sebelum dikoreksi dan setelah
dikoreksi.
c. Subset image
Subset image adalah memotong (cropping) citra untuk menentukan daerah
penelitian, Citra landsat tahun 1990, 2000, 2010 dan 2014 akan di-subset dengan
boundary DAS Ciliwung Hilir.
d. Komposit band
Citra satelit Landsat 7+ETM mempunyai 8 band (gelombang) (cakupan
per scene 185 x 185 km) dengan resolusi 30 m (multispectral). Untuk keperluan
penafsiran citra ini diperlukan beberapa band yang dikombinasikan (komposit)
sehingga memudahkan dalam proses penafsiran. Citra ditampilkan pada layar
monitor dengan model warna RGB (Red Green Blue) atau kombinasi band 5-4-3
karena merupakan tampilan terbaik untuk identifikasi secara visual. Tampilan
RGB ini merupakan tampilan yang sangat baik karena merupakan warna primer
(true color).
Gambar 5 Proses raktifikasi untuk koreksi geometri citra (sumber: Hadi, Suwarto,
Rusdiana, 2006)
21
e. Klasifikasi terbimbing (supervised classification)
Klasifikasi terbimbing dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan
sampel untuk setiap kelas atau membuat training site (area contoh) berupa
poligon tertutup dalam bentuk vektor yang di-overlay-kan ke dalam citra yang
ada. Penentuan daerah contoh dalam citra dilakukan berdasarkan nilai warna pada
raster contoh tertentu. Pemilihan dan penentuan daerah contoh diusahakan
mencakup seluruh tipe penutupan lahan yang ada pada citra, agar tidak terjadi
pemaksaan pengklasifikasian. Pemilihan dan penentuan lokasi daerah contoh juga
memperhatikan pengaruh posisi lereng dan naungan citra. Setelah training sample
(AOI) dibuat, maka proses klasifikasi terbimbing dapat dilakukan.
Secara umum tahapan analisis penutupan lahan pada penelitian ini dapat
dilihat pada Gambar 6.
Hasil pengecekan lapang kemudian dibandingkan dengan nilai interpretasi
yang sudah dilakukan, kemudian dihitung akurasinya menggunakan Overall
Accuracy dan Kappa Accuracy. Akurasi penutupan dan penggunaan lahan
menggunakan akurasi Kappa (Congalton dan Mead dalam Jaya 2014) yang
dihitung dengan rumus sebagai berikut :
dimana:
Xii = nilai diagonal dari matriks kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i
X+i = jumlah piksel dalam kolom ke-i
Xi+ = jumlah piksel dalam baris ke-i
N = banyaknya piksel dalam contoh
Nilai Kappa Accuracy menghitung titik-titik uji dengan nilai
commission/user’s accuracy (nilai yang benar dalam baris dibagi nilai total dalam
baris error matrix) serta nilai omission/producer accuracy (nilai yang benar dalam
kolom dibagi nilai total dalam kolom error matrix). Nilai overall accuracy
umumnya memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan Kappa accuracy. Pengujian
hasil klasifikasi diharapkan mendapatkan nilai overall accuracy di atas 85%
(Jensen 1996).
2. Analisis Hubungan antara Penutupan Lahan dan Curah Hujan
Analisis regresi digunakan untuk mengkaji hubungan antara beberapa
variabel dan meramal suatu variabel. Dalam mengkaji hubungan tersebut, perlu
dilakukan penetapan variabel tidak bebas dan variabel bebas. Jika ingin dikaji
hubungan atau pengaruh satu variabel bebas terhadap variabel tidak bebas, maka
model regresi yang digunakan adalah model regresi linier berganda.
22
Gambar 6 Tahapan analisis penutupan lahan (sumber: Hadi, Suwarto, Rusdiana,
2006)
Bentuk umum model regresi linier berganda dengan p variabel bebas
adalah seperti yang tertera di bawah ini :
y = a + bx1 + cx2 + dx3 + ex4 + …… + gxn + Ɛ
dimana:
y = debit maksimum aliran sungai (m3/dtk)
x1..xn = penggunaan lahan
a,b,c,.. = konstanta/parameter
Ɛ = faktor koreksi
Citra Landsat
Koreksi Geometrik
Presisi
Komposit Band
Interpretasi
Training Area (AOI)
Analisis Spatial Citra
Digitasi Spasial
Klasifikasi
Terbimbing
GPS
GCP
OverlayData
Klasifikasi Citra
23
3. Analisis Sistem Dinamik
a. Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan merupakan tahap awal dari rangkaian proses
pengembangan sistem model. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi
kebutuhan setiap stakeholder dalam penataan ruang untuk mengendalikan banjir.
Stakeholder yang terlibat antara lain pemerintah, masyarakat lokal dan swasta.
Tabel 2 Analisis kebutuhan stakeholders
Kebutuhan Masyarakat Pemerintah Swasta
Luas RTH stabil /
bertambah
- vv -
Debit terkendali v vv v
Titik banjir berkurang vv vv v
Daya dukung stabil - vv -
- : tidak ada keterkaitan
v : berkaitan
vv : sangat berkaitan
b. Formulasi Permasalahan
Menurut Hartrisari (2007), formulasi permasalahan disusun dengan cara
mengevaluasi keterbatasan sumberdaya yang dimiliki (limited of resources) dan
atau adanya konflik/perbedaan kepentingan diantara stakeholders (conflicts of
interest) untuk mencapai tujuan sistem.
c. Identifikasi Sistem
Dalam melakukan identifikasi sistem akan melalui beberapa tahapan yang
perlu diperhatikan. Kinerja sistem yang dipengaruhi dimana di dalamnya terdapat
(1) variabel output yang dikehendaki, yang ditentukan berdasarkan hasil analisa
kebutuhan, (2) variabel output yang tidak dikehendaki, (3) variabel input yang
terkontrol, (4) variabel input yang tidak terkontrol, (5) variabel input lingkungan
dan (6) variabel kontrol sistem. Hubungan antar variabel dapat dilihat pada
gambar 7 di bawah ini.
Menurut Eriyatno (1998) konsep identifikasi sistem merupakan suatu
rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan
khusus dari masalah yang akan diselesaikan untuk mencukupi kebutuhan tersebut,
yang digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal-loop).
Diagram lingkar sebab akibat adalah pengungkapan tentang kejadian hubungan
sebab akibat (causal relationships) ke dalam bahasa gambar tertentu. Bahasa
gambar tersbeut dibuat dalam bentuk garis panah yang saling mengait, sehingga
membentuk sebuah diagram sebab akibat (causal-loop), dimana pangkal panah
mengungkapkan sebab dan ujung panah mengungkapkan akibat (Gambar 8).
24
Model perencanaan untuk optimasi tata ruang kawasan merupakan
kombinasi antara subsistem sosial, subsistem ekonomi dan subsistem lahan. Hal
ini sejalan dengan kajian yang dilakukan oleh Yu et al (2011).
Gambar 7 Diagram input-output penelitian
d. Konstruksi model dinamik
Konstruksi model dinamik merupakan proses untuk mengubah konsep
sistem atau struktur model yang telah disusun ke dalam persamaan-persamaan
atau bahasa komputer dengan pemrograman Stella (Gambar 8). Program Stella
merupakan perangkat lunak untuk pemodelan berbasis flowchart. Stella termasuk
bahasa pemrograman interpreter dengan pendekatan multi-level hierarkis, baik
untuk menyusun model maupun berinteraksi dengan model. Alat penyusun model
yang tersedia dalam Stella adalah :
1. Stocks, yang merupakan hasil suatu akumulasi, fungsinya untuk
menyimpan informasi berupa nilai suatu parameter yang masuk ke
dalamnya;
2. Flows, berfungsi seperti aliran, yaitu menambah dan mendukung stock,
arah anak panah menunjukkan arah aliran tersebut, aliran bisa satu arah
maupun dua arah;
3. Converters, berfungsi luas, dapat digunakan untuk menyimpan
konstanta, input lainnya atau menyimpan data dalam bentuk grafis
(tabulasi x dan y), secara umum fungsinya adalah untuk mengubah
suatu input menjadi output;
4. Connectors, berfungsi menghubungkan elemen-elemen dari suatu
model.
INPUT TDK
TERKONTROL
Iklim
Penduduk
INPUT LINGKUNGAN
UU No. 26/2007
Permen PU
Perda DKI No.1/2014
OUTPUT YG
DIINGINKAN
TMA < 850 cm
RTH stabil/bertambah
INPUT TERKONTROL
Tata Ruang Wilayah
Luas RTH
Debit
OUTPUT YG TDK
DIINGIN
TMA > 850 cm
RTH berkurang
MODEL
PENATAAN
RUANG OPTIMAL
EVALUASI
25
Tata GunaLahan
Banjir Hilir
Penduduk
Kondisi Biofisik
Kelahiran
KematianImigrasiEmigrasi
Ketinggian
Sungai
Slope
Jenistnh
CH
LahanTerbangun
RTH
Badan Air
Sampah
+
+
-
+
+
+
-
-
--
+
-
+
Debit
+
Gambar 8 Diagram lingkar sebab-akibat kebutuhan
Dengan alat penyusun model seperti di atas, program Stella akan mampu
menjalankan model dinamis dalam penataan ruang kawasan yang telah
diskenariokan; dengan input, nilai parameter, keterkaitan parameter antar aspek,
dan output yang telah ditetapkan.
e. Simulasi
Salah satu cara untuk melihat kinerja model yang dibangun melalui
pendekatan sistem adalah menggunakan konsep model simualsi sistem dinamis.
Dengan menggunakan simulasi, maka model akan mengkomputasikan jalur waktu
dari variabel model untuk tujuan tertentu dari input sistem dan parameter model.
Dengan simulasi akan didapatkan perilaku dari suatu gejala atau proses yang
terjadi dalam sistem, sehingga dapat dilakukan analisis dan peramalan perilaku
gejala atau proses tersebut di masa depan (Muhammad dalam Djakapermana,
2010).
f. Validasi model
Validitas atau keabsahan adalah salah satu kriteria penilaian keobyektifan
dari suatu pekerjaan ilmiah. Dalam pekerjaan pemodelan obyektif itu ditunjukkan
dengan sejauh mana model dapat menirukan fakta. Teknik validasi yang utama
dalam metode berpikir sistem adalah validasi struktur model dan validasi kinerja.
Validasi struktur model sejauhmana keserupaan struktur model mendekati struktur
nyata. Tujuannya untuk melihat sejauhmana interaksi variabel model dapat
menirukan interaksi sistem nyata. Sedangkan validasi kinerja adalah aspek
pelengkap dalam metode berpikir sistem. Tujuannya untuk memperoleh
keyakinan sejauh mana “kinerja” model dengan “kinerja” sistem nyata sehingga
26
PendudukKelahiran Kematian
Angk Kelahiran Angk Kematian
BdnAirKrg BdnAir
LhnTerbangunTmbLhnTerb RTH
KrgRTH
Total LuDAS QMax
CrhHjn
TinggiManggarai
LjLahir LjMati
Sub Model Sosial
Sub Model Penggunaan Lahan
memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Caranya adalah
memvalidasi kinerja model dengan data empiris untuk sejauh mana perilaku
“output” model sesuai dengan perilaku data empirik.
Gambar 9 Konstruksi model dinamik (stock flow diagram)
3.4 Batasan dan Asumsi Model serta Skenario Hasil
Dengan keterbatasan data yang didapatkan selama pengambilan data di
lapangan, maka model yang direncanakan didasarkan pada beberapa asumsi.
Asumsi-asumsi ini dibuat agar model lebih mendekati realistik dan logis, sehingga
memungkinkan untuk diterapkan pada tingkat kebijakan.
Asumsi dasar yang dibuat pada model ini yaitu pola penutupan ruang yang
cukup guna menghasilkan tata ruang optimal dengan pengaturan ruang terbuka
hijau dan perbaikan badan air dan tetap mengakomodir jumlah penduduk.
Model dibatasi dan difokuskan pada tujuan memprediksi perubahan
penutupan lahan akibat perkembangan penduduk dan dampaknya kepada kejadian
banjir akibat ketinggian muka air yang melebihi 850 cm.
27
4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Kondisi Umum Fisik Wilayah
Karakteristik Topografi
DAS Ciliwung Hilir yang mencakup areal seluas 82 km2 merupakan
dataran rendah bertopografi landai dengan elevasi antara 0 m sampai 100 m dpl.
Bagian hilir didominasi area dengan kemiringan lereng 0-2 %, dengan arus sungai
yang tenang. Bagian lebih hilir dari Manggarai dicirikan oleh jaringan drainase,
yang sudah dilengkapi dengan Kanal Barat sebagai penangkal banjir berupa
saluran kolektor.
Karakteristik Iklim
Berdasarkan iklim Koppen, DAS Ciliwung Hilir termasuk dalam iklim Af,
yakni iklim hujan tropis lembab tanpa bulan kering nyata, dengan curah hujan
rata-rata tahunan berkisar antara 2.862 – 4.495 mm/tahun dengan rata-rata 3.587
mm/tahun. Berdasarkan zona agroklimat Oldeman, daerah ini termasuk dalam 2
tipe zona, yaitu: (1) zona A, daerah yang mempunyai periode bulan basah (bulan
dengan curah hujan > 200 mm), selama 9 bulan dan bulan kering (bulan dengan
curah hujan < 100 mm) kurang dari dua bulan secara berturut-turut, (2) zona B1,
daerah yang mempunyai periode bulan basah selama 7-9 bulan dan bulan kering <
2 bulan berturut-turut. Data iklim curah hujan lokasi penelitian yang berasal dari
beberapa stasiun pengamatan cuaca di DAS Ciliwung Hulu disajikan pada
Gambar 10.
Kejadian banjir dan kekeringan merupakan salah satu kondisi yang
disebabkan oleh kejadian dan intensitas hujan di suatu kawasan. Bencana banjir di
wilayah hilir adalah salah satu kejadian yang disebabkan oleh jumlah aliran
permukaan yang berasal dari hujan yang tidak mampu lagi diresapkan ataupun
Gambar 10 Grafik curah hujan di DAS Ciliwung Hilir (BMKG tahun
2008-2012)
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
2008
2009
2010
2011
2012
28
diteruskan ke laut oleh berbagai jenis penutupan lahan yang ada di kawasan
tersebut. Iklim dan curah hujan kemudian sering dianggap sebagai sumber utama
penyebab terjadinya banjir di wilayah hilir. Tingkat kekritisan lahan pada bagian
hulu juga menjadi salah satu faktor bertambah parahnya kondisi banjir di daerah
hilir. Persentase tingkat kekritisan lahan bagian hulu, tengah dan hilir disajikan
pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3 Persentase kekritisan lahan di DAS Ciliwung
Kekritisan Lahan Hulu Tengah Hilir
Sangat kritis 58.15 - -
Kritis 1668.05 - -
Agak kritis 9456.82 191.68 0.64
Potensial kritis 4766.63 5214.60 113.47
Tidak kritis 1596.86 7747.82 9463.56
Sumber : BPDAS 2013
Erosi merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan lahan. Jika suatu DAS telah terjadi erosi maka telah
terjadi kerusakan di DAS tersebut. Erosi dapat menurunkan produktivitas tanah di
bagian hulu dan menyebabkan proses pengendapan sedimen di bagian hilir.
Tabel 4 Tingkat erosi bahaya DAS Ciliwung Hilir
Wilayah
DAS
Kota/Kab Ringan Sedang Berat Sangat
Berat
Luas
(Ha)
Sumber : BPDAS 2011
Debit sungai Ciliwung dikontrol melalui ketinggian air beberapa pintu air.
Untuk Ciliwung hilir dikontrol melalui Pintu Air Manggarai. Ketinggian air
bulanan maksimum di pintu air tersebut pada tahun 1990, 2000 dan 2010
disajikan pada Gambar 11 berikut.
Ciliwung
Hilir
Kota Jakarta
Selatan
1202.84 1202.84
Kota Jakarta
Timur
566.84 566.84
Kota Jakarta
Pusat
2187.01 2187.01
Kota Jakarta
Utara
2271.55 2271.55
Kota Jakarta
Barat
251.75 251.75
Luas(Ha) 27687.29 10536.49 236.67 149.80 38610.25
29
Gambar 11 Ketinggian air bulanan maksimum Ciliwung Hilir tahun 1990,
2000 dan 2010 (Dinas PU Prov. DKI Jakarta tahun 1990, 2000 dan 2010)
Pada pintu air tersebut telah ditetapkan beberapa status siaga untuk
mempersiapkan kemungkinan kejadian akibat aliran air dari bagian yag lebih atas.
Status siaga pintu air disajikan pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5 Status siaga Sungai Ciliwung
Status Siaga Ketinggian
Hulu Tengah Hilir
Siaga 1 >200 >350 >950
Siaga 2 150-200 270-350 850-950
Siaga 3 80-150 200-270 750-850
Siaga 4 <80 <200 <750
Sumber : Petugas Pintu Air Manggarai
Karakteristik Hidrogeologi
Bentuk DAS Ciliwung Tengah dan Hilir memiliki bentuk seperti pipa,
dengan topografi halus sampai agak kasar, lereng umumnya landai dimana
semakin ke hilir semakin landai. Bagian hilir yang dibatasi sampai stasiun
pengamatan Manggarai dicirikan oleh jaringan drainase yang sudah dilengkapi
dengan Kanal Barat sebagai penangkal banjir berupa saluran kolektor (BPDAS
Citarum-Ciliwung 2007).
Konfigurasi sistem akifer di DAS Ciliwung berdasarkan hasil studi
terakhir yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan DKI Jakarta dan LPM ITB
(2001) menunjukkan bahwa batuan-batuan sedimen di daerah DKI Jakarta dan
sekitarnya membentuk sistem akifer yang sangat heterogen dan kompleks
(Hutasoit 2002). Diketahui sistem akifer-akifer di wilayah DKI Jakarta dan
sekitarnya secara umum, untuk penampang utara-selatan, menebal ke utara. Untuk
penampang barat-timur, menebal ke tengah. Adapun lapisan akifernya secara
umum, untuk penampang utara-selatan, juga menebal ke utara; untuk penampang
barat-timur, lapisan akifer ini menebal ke utara dan tengah. Kedalaman lapisan
akifer ini berkisar 0 – (-300) m dpl.
0
200
400
600
800
1,000
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
1990
2000
2010
30
Jenis tanah
Jenis tanah di DAS Ciliwung merupakan hasil dari rombakan batuan induk
berupa tufa vulkanik (BPDAS Citarum-Ciliwung 2011). Jenis tanah asosiasi
latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit air tanah merupakan jenis
tanah yang paling banyak terdapat di DAS Ciliwung.
4.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
DAS Ciliwung, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk yang tinggal di
kawasan DAS Ciliwung sebanyak 5 juta jiwa, dengan jumlah rumah tangga
sebanyak 1.3 ribu rumah tangga sehingga rata-rata jumlah keluarga per rumah
tangga sebanyak 4 org/rumah tangga (Podes 2011). Berdasarkan hal tersebut,
dapat diketahui bahwa tingkat kepadatan penduduk di DAS Ciliwung sangat
tinggi, yaitu 13 ribu jiwa/km2. Kepadatan penduduk terbesar ada di kawasan hilir
(24.316,87 orang/km2), lebih tinggi dibandingkan bagian tengah (15.589,17
orang/km2) dan bagian hulu 92.391,59 orang/km2). Hal ini disebabkan karena
bagian hilir merupakan ibukota Negara, dan bagian tengah banyak dipengaruhi
kedekatan lokasi dengan bagian hilir.
Fasilitas pendidikan dasar dan menengah yang berada di bagian hilir
berjumlah 1065 buah. Keberadaan fasilitas tersebut, jika dibandingkan dengan
jumlah penduduk menunjukan bahwa tidak semua masyarakat dapaat dilayani
oleh fasilitas pendidikan dasar dan menengah yang ada di bagian hilir. Apabila
diasumsikan bahwa proporsi penduduk usia sekolah sebesar 40% dan satu sekolah
menampung 500 orang, maka fasilitas pendidikan yang tersedia di bagian hilir
sekitar 85% saja. Artinya, masih ada masyarakat yang belum memperoleh fasilitas
pendidikan dasar dan menengah.
Pertambahan penduduk dan laju urbanisasi menyebabkan peningkatan
kebutuhan terhadap lahan, terutama di bagian hilir. Di samping itu harga lahan
yang semakin tinggi dan semakin berkurangnya lahan kosong menyebabkan
meningkatnya pemukiman liar dan kumuh di sepanjang bantaran sungai Ciliwung.
Data menunjukan bahwa bagian hilir memiliki jumlah pemukiman kumuh paling
banyak. Begitu juga perilaku masyarakat dalam menjaga kualitas lingkungan yang
tercermin dari kebiasaan membuang sampah menunjukan bahwa di daerah hilir
merupakan yang terparah.
Masyarakat telah melakukan gotong royong dalam menghadapi bencana,
dengan prosentase tertinggi pada bagian hilir. Hal ini terkait dengan penyuluhan
kepada masyarakat tentang standar keselamatan dan simulasi bencana, terkait
dengan bencana banjir. Pemerintah juga menyediakan perlengkapan keselamatan
dalam mengantisipasi bencana, seperti perahu karet, tenda, masker dan
sebagainya. Prosentase tersebut lebih diprioritaskan pada area yang berpotensi
mengalamai bencana terutama di bagian hilir.
31
Tabel 6 Keadaan lingkungan DAS Ciliwung
No. Keterangan Hulu Tengah Hilir
1 Memiliki tempat pembuangan
sampah sementar
47.06 73.74 91.46
2 Memiliki pemukiman kumuh
(bangunan padat, sanitasi buruk,
tidak layak huni)
2.94 31.31 89
3 Mengalami pencemaran selama 1
tahun berakhir
29.41 23.23 25.61
Sumber : Potensi Desa 2011 (diolah)
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Klasifikasi Penutupan Lahan
Berdasarkan hasil interpretasi Citra Landsat 5 tahun 1990 dan 2000,
Landsat ETM 7+ tahun 2010 dan Landsat 8 tahun 2014 diperoleh klasifikasi
penutupan lahan di periode tersebut. Metode klasifikasi visual didasarkan pada
tiga hierarki klasifikasi penutupan lahan yaitu primer, sekunder dan tersier. Ketiga
hierarki klasifikasi diturunkan menjadi warna/rona, tekstur, bentuk, ukuran, pola,
bayangan, asosiasi spasial (Lillesand dan Kiefer 1997), dan kedekatan interpreter
dengan objek. Tutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir diklasifikasikan dalam empat
kelas tutupan lahan terdiri dari badan air, lahan terbuka, ruang terbuka hijau dan
lahan terbangun. Klasifikasi image dihasilkan dengan pendekatan Supervised
Classification (klasifikasi terbimbing) dengan metode maximum likelihood yang
menggunakan beberepa area latihan (training area) yang diperoleh dari Citra
Image Landsat. Untuk evaluasi akurasinya dari peta penutupan lahan yang telah
4 Bencana alam selama tiga tahun
terakhir
Jenis bencana :
a. Tanah Longsor
b. Banjir
76.92
23.08
55.00
45.00
-
100
5 Ketersediaan perlengkapan
keselamatan desa dalam
mengantisipasi bencana (perahu
karet, tenda, masker, dll)
5.88 17.17 45.12
6 Gotong royong warga desa dalam
mengantisipasi bencana
76.47 74.75 95.12
7 Penyuluhan keselamatan (termasuk)
simulasi bencana
35.29 20.20 39.02
8 Jumlah desa 34 99 82
32
dibuat, dilakukan pengecekan lapang (ground check) dengan mengambil beberapa
titik koordinat untuk setiap tipe tutupan lahan serta pemanfaatan Google Earth.
Tipe tutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir berdasarkan hasil analisis secara garis
besar terbagi dalam 4 tipe tutupan lahan (Tabel 7) yaitu :
Tabel 7 Tutupan Lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 2014
Tipe Tutupan lahan Tahun 2014
(ha) (%)
Badan Air 222.94 3.45
Lahan Terbangun 5587.62 86.47
Ruang Terbuka Hijau 463.61 7.17
Lahan Terbuka 188.00 2.91
Total 6462.17 100
Sumber: Hasil analisis spasial Citra Landsat 8 2014
1. Badan air
Tipe tutupan lahan ini merupakan wilayah lowland atau wetland seperti
sungai, waduk, danau/situ, cekdam, bendungan, kolam-kolam dan sumur resapan
yang merupakan area tangkapan air yang berperan penting dalam pengendalian
banjir dengan menahan hidrograf aliran masuk dan mengurangi debit puncak
alirna keluar sehingga dapat mengurangi kapasitas saluran yang diperlukan di
bagian hilir. Upaya teknis yang dilakukan untuk mengatur kelebihan air di badan
sungai dapat dilakukan dengan penerapan prinsip pengaturan jumlah air di badan
sungai dan mencegah air sampai di badan sungai dengan mendistribusikan ke
badan-badan air sekitar sungai dan mengendalikan jumlah aliran permukaan/run-
off, bendungan, cekdam, sumur resapan dll.
Berdasarkan hasil analisis spasial, diperoleh hasil luasan badan air yaitu
222.94 ha atau 3.45% dari luas DAS Ciliwung Hilir. Jika merujuk dari data time
series, jumlah luasan badan air mengalami penurunan dikarenakan konversi lahan
badan air menjadi lahan terbangun.
2. Lahan Terbangun
Tipe penutupan lahan ini berupa area terbangun yang mendominasi
penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir. Tipe penutupan lahan ini termasuk di
dalamnya area pemukiman, perkantoran, jalan, industri, dan perdagangan/jasa.
Berdasarkan hasil analisis spasial citra Landsat tahun 2014 diperoleh hasil
luasan lahan terbangun yaitu 5587.62 ha atau 86.47% dari luas DAS Ciliwung
Hilir.
3. Ruang Terbuka Hijau
Semua kenampakan non alami berupa padang rumput, semak atau pohon.
Yang termasuk dalam kategori ini adalah taman, jalur hijau, dan area rumput.
33
Berdasarkan hasil analisis citra Landsat diperoleh hasil luasan ruang terbuka hijau
yaitu 463.61 ha atau 7.17% dari total luas DAS Ciliwung Hilir.
4. Lahan terbuka
Semua kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi dan lahan terbuka yang
ditumbuhi oleh alang-alang atau lahan yang telah memiliki dasar kepemilikan
yang tidak dimanfaatkan secara optimal oleh pemilik lahan tersebut. Lahan
terbuka di tahun 2014 sebesar 188.00 ha atau 2.91% dari total luasan DAS.
Penutupan lahan yang diperoleh kemudian diuji akurasinya menggunakan
accuracy assessment dari software ERDAS Imagine. Hasil dari perhitungan
overall accuracy (OA) dan Kappa accuracy (KA) berturut-turut pada tahun 1990
(OA: 91.56% dan Kappa: 91.48%), tahun 2000 (OA: 96.38% dan Kappa:
96.37%), tahun 2010 (OA: 99.06% dan Kappa: 99.03%), dan tahun 2014 (OA:
98.17% dan Kappa: 98.10%). Menurut Hadi (2012) tingkat akurasi yang bisa
dipercaya adalah minimal 85%, sehingga berdasarkan hasil perhitungan tersebut
di atas maka untuk keseluruhan tahun memiliki tingkat akurasi yang sangat kuat
dan dapat dipercaya.
Dalam pembuatan klasifikasi dengan menggunakan Citra Landsat
membutuhkan ketelitian pada saat pembuatan training area. Hasil klasifikasi
sangat tergantung pada ketelitian interpreter dalam menentukan training area.
Tampilan tutupan lahan pada berbagai lokasi dapat dilihat pada Gambar 12, 13, 14
dan 15 di bawah.
(a)
(b)
Gambar 12 Visualisasi badan air : (a) image Citra, (b) kondisi lapang
34
(a)
(b)
Gambar 13 Visualisasi lahan terbangun : (a) image Citra, (b) kondisi lapang
(a)
(b)
Gambar 14 Visualisasi ruang terbuka hijau : (a) image Citra, (b) kondisi lapang
35
(a)
(b)
Gambar 15 Visualisasi lahan terbuka : (a) image Citra, (b) kondisi lapang
5.2 Perubahan Pola Penutupan Lahan
Berdasarkan hasil analisis penutupan lahan yang telah dilakukan di DAS
Ciliwung Hilir (Tabel 9), dapat diketahui bahwa pola penutupan lahan di DAS
Ciliwung Hilir memiliki kecenderungan berubah dari pola penutupan yang
bersifat menyerap air menjadi pola penutupan yang bersifat kedap terhadap air.
Analisis secara spatio-temporal dalam kurun waktu 24 tahun menunjukkan bahwa
perubahan besar terjadi pada lahan terbangun yang terus mengalami peningkatan
luasan secara signifikan. Hal ini terjadi karena pertumbuhan penduduk yang
cukup tinggi sehingga kebutuhan akan pemukiman meningkat. Berdasarkan Tabel
8 dapat diketahui bahwa luas lahan terbangun selalu meningkat dari tahun 1990
hingga tahun 2014. Sejak tahun 1990 bagian hilir sudah didominasi oleh lahan
terbangun (Gambar 16). Perubahan tersebut merupakan salah satu faktor
penyebab kejadian banjir di daerah hilir.
Tabel 8 Perubahan pola penutupan lahan
Tipe Penutupan Lahan Total (Ha)
1990 2000 2010 2014
Badan air 319.37 216.15 226.53 222.94
Lahan terbangun 5485.71 5552.58 5561.58 5587.62
Ruang terbuka hijau 481.53 511.64 475.16 463.61
Lahan Terbuka 175.56 181.80 198.90 188.00
Jumlah 6462.17 6462.17 6462.17 6462.17
36
Pola perubahan penggunaan lahan antara tahun 1990 dan 2014 dianalisis
secara spasial untuk mengetahui dinamika perubahan penutupan lahan. Analisis
terhadap perubahan penutupan lahan antara tahun 1990 dan 2014 menunjukan
bahwa sejak tahun 1990 penggunaan lahan paling dominan adalah lahan
terbangun seluas 5485.71 ha meningkat menjadi 5587.62 ha pada tahun 2014.
Badan air pada tahun 1990 memiliki luasan seebsar 319.37 ha atau sekitar
4.94% dari total luasan DAS Ciliwung secara keseluruhan. Pada tahun 2000
berkurang menjadi 216.15 ha atau sekitar 3.34% dari total luasan DAS. Tahun
2010 luasan meningkat menjadi 226.53 ha atau 3.51% dan pada tahun 2014 luasan
berkurang menjadi 222.94 ha atau 3.45% dari total luasan DAS Ciliwung Hilir.
Lahan terbangun pada tahun 1990 memiliki luasan 5485.71 ha atau
84.89%, pada tahun 2000 luasan tutupan lahan lahan terbangun meningkat
menjadi 5552.58 ha atau 85.92 %. Pada tahun 2010 luasan juga meningkat
menjadi 5561.58% atau 86.06% dan pada tahun 2014 luasan tutupan lahan
terbangun meningkat cukup besar menjadi 5587.62 atau 86.47% dari total luasan
DAS Ciliwung Hilir.
Pada tahun 1990 luas ruang terbuka hijau sebesar 481.53 ha atau 7.45% ,
dan di tahun 2000 luasan meningkat menjadi 511.64 ha atau 7.92% dari total
luasan DAS. Tahun 2010 luasan ruang terbuka hijau berkurang menjadi 475.16
atau 7.35% dan pada tahun 2014 juga mengalami penurunan menjadi 463.61 atau
7.17% dari total luasan DAS Ciliwung Hilir.
Lahan terbuka pada tahun 1990 memiliki luasan 175.56 ha atau 2.72%,
meningkat menjadi 181.80 ha atau 2.81% di tahun 2000 dan 198.90 ha atau 3.08%
di tahun 2010. Pada tahun 2014, luasan lahan terbuka berkurang menjadi 188.00
ha atau 2.91% dari total luasan DAS Ciliwung Hilir.
Perubahan penutupan lahan tahun 1990, 2000, 2010 dan 2014 dilakukan
dengan membuat matriks perubahan tutupan lahan dari tahun 1990-2000 (Tabel
9), matriks perubahan dari tahun 2000-2010 (Tabel 10) dan matriks perubahan
dari tahun 2010-2014 (Tabel 11).
Tabel 9 Matriks Perubahan Tutupan Lahan tahun 1990-2000
Ke 2000
Total 1990
Da
ri 19
90
Penutupan Lahan Badan Air Lahan
Terbangun
Area
Hijau
Lahan
Terbuka
Badan Air 216.15 66.87 30.11 6.24 319.37
Lahan Terbangun 0.00 5485.71 0.00 0.00 5485.71
Ruang Terbuka
Hijau
0.00 0.00 481.53 0.00 481.53
Lahan Terbuka 0.00 0.00 0.00 175.56 175.56
Total (ha) 216.15 5552.58 511.64 181.80 6462.17
37
Gambar 16 Pola penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 1990
(Citra Landsat 5 path/row 122/64)
38
Gambar 17 Pola penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 2000
(Citra Landsat 5 path/row 122/64)
39
Gambar 18 Pola penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 2010
(Citra Landsat UTM 7+ path/row 122/64)
40
Gambar 19 Pola penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 2014
(Citra Landsat 8 path/row 122/64)
41
Tabel 10 Matriks Perubahan Tutupan Lahan tahun 2000-2010 Ke 2010
Total 2000
Da
ri 20
00
Penutupan Lahan Badan Air Lahan
Terbangun
Area
Hijau
Lahan
Terbuka
Badan Air 216.15 0.00 0.00 0.00 216.15
Lahan Terbangun 0.00 5552.58 0.00 0.00 5552.58
Ruang Terbuka
Hijau
10.38 9.00 475.16 17.10 511.64
Lahan Terbuka 0.00 0.00 0.00 181.80 181.80
Total (ha) 226.53 5561.58 475.16 181.80 6462.17
Tabel 11 Matriks Perubahan Tutupan Lahan tahun 2010-2014 Ke 2014
Total 2010
Da
ri 20
10
Penutupan Lahan Badan Air Lahan
Terbangun
Area
Hijau
Lahan
Terbuka
Badan Air 222.94 3.59 0.00 0.00 226.53
Lahan Terbangun 0.00 5561.58 0.00 0.00 5561.58
Ruang Terbuka
Hijau
0.00 11.55 463.61 0.00 475.16
Lahan Terbuka 0.00 10.90 0.00 188.00 198.80
Total (ha) 222.94 5587.62 463.61 188.00 6462.17
Tabel 12 Matriks Perubahan Tutupan Lahan tahun 1990-2014 Ke 2014
Total 1990
Da
ri 19
90
Penutupan Lahan Badan Air Lahan
Terbangun
Area
Hijau
Lahan
Terbuka
Badan Air 222.94 96.43 0.00 0.00 319.37
Lahan Terbangun 0.00 5485.71 0.00 0.00 5485.71
Ruang Terbuka
Hijau
0.00 5.48 463.61 12.44 481.53
Lahan Terbuka 0.00 0.00 0.00 188.00 175.56
Total (ha) 222.94 5587.62 463.61 188.00 6462.17
Arah Perubahan Penutupan Lahan DAS Ciliwung Hilir
Selama periode 24 tahun yaitu tahun 1990 dan 2014 diperoleh arah
perubahan penutupan lahan dari semua klasifikasi yang dihasilkan. Tutupan lahan
yang dianalisis adalah lahan yang sama pada periode waktu tahun yaitu 1990-
2000, 2000-2010 dan 2010-2014. Perubahan penutupan pada periode waktu
tersebut merepresentasikan arah proses pemanfaatan lahan di DAS Ciliwung Hilir
dan pola perubahannya (Tabel 13).
42
Tabel 13 Pola Dominan Perubahan Penutupan Lahan
No Perubahan Tutupan Lahan Luas (ha) %
1 Badan Air ke Lahan Terbangun 96.43 84.33
2 Ruang Terbuka Hijau ke Lahan
Terbangun
5.48 4.79
3 Ruang Terbuka Hijau ke Lahan Terbuka 12.44 10.88
Jumlah 114.35 100.00
Pola perubahan terbesar selama periode 24 tahun di DAS Ciliwung Hilir
adalah perubahan dari badan air menjadi lahan terbangun yaitu sebesar 96.43 ha
atau sekitar 14.92% dari total luasan DAS Ciliwung Hilir. Pola perubahan badan
air menjadi lahan terbangun terutama pemukiman merupakan masalah terbesar
yang terjadi di DAS Ciliwug Hilir. Hal ini dikarenakan pertumbuhan penduduk
yang sangat tinggi setiap tahunnya sehingga kebutuhan akan rumah tinggal atau
pemukiman semakin besar dan pada akhirnya badan air terkonversi menjadi area
pemukiman. Berdasarkan penelitian Yusran (2006) dalam Arkham (2014),
beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan tutupan lahan salah satunya faktor
kependudukan. Dilihat dari laju pertumbuhan penduduk, dapat diindikasikan
bahwa kegiatan sosial ekonomi berkembang yang menuntut pemenuhan
kebutuhan perumahan dan fasilitas pelayanan perkotaan lainnya.
Selain faktor kependudukan, hasil penelitian Arkham (2014) menyebutkan
bahwa nilai variabel lereng yang semakin kecil menunjukkan bahwa semakin
datar lereng, maka semakin besar kemungkinan terjadi perubahan penutupan
lahan. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dalam
suatu kota adalah bentuk lereng di mana semakin datar maka peluang untuk
berubah khususnya menjadi area pemukiman semakin besar.
5.3 Hubungan Penutupan Lahan dan Curah Hujan terhadap Tinggi Muka
Air
Hubungan antara curah hujan, pola penutupan lahan terhadap tinggi muka
air menunjukkan bahwa semakin tinggi curah hujan dan semakin luas lahan
terbangun maka tinggi air sungai juga semakin tinggi. Berdasarkan koefisein
persamaan regresi dapat diketahui bahwa di Kawasan DAS Ciliwung Hilir
keberadaan area hijau dan lahan terbuka memberikan pengaruh yang lebih tinggi
dalam menurunkan tinggi permukaan air dibandingkan pola penutupan lainnya.
Hubungan antara curah hujan, pola penutupan lahan terhadap tinggi permukaan
air dengan menggunakan analisis regresi diperoleh :
y = 0.026x1 + 0.025x2 – 0.256x3 – 0.127x4 – 0.136x5
dimana ;
y = tinggi permukaan air sungai (cm)
x1 = curah hujan (mm)
x2 = badan air (ha)
x3 = area hijau (ha)
43
x4 = area terbangun (ha)
x5 = lahan terbuka (ha)
Nilai R2 dari model tersebut adalah 59.6% (R-sq=59.6%) yang
menunjukkan bahwa 59.6% ketinggian air sungai dapat dijelaskan oleh model dan
sisanya adalah faktor lain di luar model seperti topografi, jenis tanah dll.
Berdasarkan hasil analisis regresi, variabel curah hujan merupakan variabel yang
paling berpengaruh dibandingkan dengan variabel penutupan lahan.
5.4 Pembangunan Model Sistem Dinamik
Ekosistem DAS, sebagaimana sistem ekologi, terdiri dari beberapa
komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan
yang teratur. Sebagai sebuah ekosistem tentunya DAS terdiri komponen yang
saling terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan komponen
yang saling terkait ini jika berjalan seimbang maka akan menghasilkan kondisi
ekosistem yang stabil. Sebaliknya jika hubungan ini mengalami gangguan maka
terjadi gangguan ekologis. Perubahan dari salah satu penutupan lahan akan
merubah menjadi bentuk lain. Perubahan penutupan lahan tersebut banyak
didorong oleh kepentingan pribadi, institusi ataupun kelompok untuk mencapai
tujuannya masing-masing (conflict of interest).
Kegiatan pembangunan di DAS Ciliwung baik hulu hingga hilir
berlangsung dengan sangat cepat. Daerah hulu yang menjadi tujuan wisata
mengakibatkan pembangunan sarana rekreasi yang sangat cepat. Pembangunan
fisik di daerah tengah yang dekat dengan ibukota berkembang dengan sangat
pesat, karena pengaruh ibukota. Demikian pula dengan daerah hilir yang
seluruhnya berada di ibukota negara, menjadi wilayah yang sangat padat oleh
pemukiman, fasilitas publik dan lahan terbangun lainnya. Perkembangan dan
kemajuan yang demikian cepat menyebabkan DAS Ciliwung saat ini mengalami
banyak permasalahan, diantaranya dampak banjir yang semakin tinggi dan parah
akibat pembangunan yang tidak terencana dan masalah kualitas sungai yang
semakin menurun. Dampak yang akan timbul ini harus dijadikan pertimbangan
dalam menetapkan proporsi peruntukan ruang sehingga pemanfaatan ruang yang
ada dan yang direncanakan masih dalam batas-batas daya dukungnya.
Struktur model yang dibangun pada penelitian ini terbagi menjadi 3
submodel, yaitu submodel perubahan tutupan lahan, submodel hidrologi dan
submodel sosial. Submodel perubahan tutupan lahan terdiri dari tutupan lahan
pada wilayah penelitian dan pola perubahannya. Pola perubahan tutupan lahan
dihasilkan dari analisis tumpang tindih antara penggunaan lahan tahun 1990 dan
tahun 2014 yang telah dianalisis pada analisis penggunaan lahan. Data yang
digunakan merupakan luasan area masing-masing area tutupan lahan. Input
masing-masing tipe penutupan lahan dipengaruhi oleh tipe penutupan lainnya.
Pengurangan ataupun penambahan luasan tipe penutupan lahan sebagai output
terjadi akibat aktivitas pembangunan yang ada pada model.
Tata Guna Lahan
Banjir Hilir
Penduduk
Kondisi Biofisik
Kelahiran
Kematian Imigrasi Emigrasi
Ketinggian
Sungai
Slope
Jenis tnh
CH
+
+
+
+
+
-
-
- -
TMA
+
RTH
Lahan Terbuka Badan Air
Lahan
Terbangun
+
+
- +
-
-
+
+
Gambar 20 Hubungan sebab akibat penutupan lahan pada DAS Ciliwung Hilir
Secara garis besar hubungan antara satu penutupan terhadap penutupan
lahan lainnya dapat dilihat pada Gambar 20 dan 21. Garis panah menjelaskan
perubahan dari satu penutupan ke penutupan lainnya. Garis panah yang bolak
balik menjelaskan kalau perubahan dari satu penutupan dapat kembali lagi ke
penutupan lahan semula. Pada submodel tutupan lahan, data yang digunakan
adalah data luasan tipe tutupan lahan. Dari data ini diperoleh nilai regresi atau
persamaan matematika yang akan menjadi dasar simulasi.
Pada submodel hidrologi, pola perubahan tutupan lahan akan berinteraksi
dengan curah hujan sehingga menghasilkan ketinggian muka air. Data koefiseien
run-off pada masing-masing penggunaan lahan digunakan sebagai input untuk
menghitung limpasan total yang dihasilkan. Limpasan total sebagai hasil interaksi
antara tipe penutupan lahan dan curah hujan akan memiliki implikasi terhadap
ketinggian muka air maksimumnya.
Pada sub model sosial, penduduk merupakan salah satu sector yang
menggambarkan populasi penduduk. Sub model ini terdiri dari komponen yang
menyebabkan pertambahan penduduk yaitu kelahiran dan imigrasi, sedangkan
komponen lainnya yang menyebabkan pengurangan penduduk yaitu mortalitas
dan emigrasi penduduk. Sub model ini mempengaruhi sub model penggunaan
lahan. Data yang digunakan adalah pertumbuhan penduduk di sepanjang DAS
Ciliwung Hilir. Pertambahan penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan
terhadap lahan, terutama di bagian hilir. Di samping itu harga lahan yang semakin
tinggi dan semakin berkurangnya lahan kosong menyebabkan meningkatnya
pemukiman liar dan kumuh di sepanjang bantaran sungai Ciliwung. Data
menunjukkan bahwa bagian hilir memiliki jumlah pemukiman kumuh paling
banyak.
44
45
Gam
bar
21 S
ubm
odel
pen
gem
ban
gan
sis
tem
46
5.5 Simulasi Model
Pada skenario-skenario yang dibuat, tinggi muka air yang digunakan
adalah tinggi muka air maksimum tertinggi yang menyebabkan kejadian banjir di
DAS Ciliwung Hilir. Perubahan penutupan lahan akan dicoba disimulasikan
terhadap kemungkinan banjir tersebut. Sebagai acuan ketinggian muka air, maka
ditetapkan nilai < 850 cm sebagai indikator level aman sehingga banjir diharapkan
tidak terjadi. Pada penelitian ini skenario akan dibagi menjadi tiga skenario.
Untuk kondisi saat ini, berdasarkan data pembebasan lahan yang dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, diperoleh laju peningkatan ruang terbuka hijau
rata-rata 0.04% per tahun. Data pertumbuhan penduduk DKI Jakarta yang didapat
dari BPS Provinsi DKI Jakarta menyatakan bahwa laju pertumbuhan penduduk
saat ini sebesar 1.41% per tahun. Kebijakan perbaikan sungai baik yang dilakukan
oleh Kementria PU maupun Dinas PU Tata Air Provinsi DKI Jakarta telah
dilakukan sejak tahun 2012 berupa pembuatan pancang beton di tepian kali untuk
memperkuat struktur. Hingga tahun 2014, berdasarkan data yang diperoleh dari
Dinas PU Tata Air besarnya laju perbaikan sungai adalah 0.1% . Berdasarkan
informasi yang diperoleh, maka nilai atau besaran laju tersebut dapat dijadikan
acuan dalam membuat skenario kebijakan, Pada penelitian ini skenario akan
dibagi menjadi tiga skenario. yang disusun adalah sebagai berikut :
a. Skenario 1 (existing scenario), yaitu laju peningkatan area hijau sebesar
0.04%, laju pertumbuhan penduduk 1.41% dan kebijakan perbaikan
badan air 0.1%.
b. Skenario 2, yaitu penetapan laju peningkatan area hijau sebesar 1%,
laju pertumbuhan penduduk 1.2% dan kebijakan perbaikan badan air
0.1%.
c. Skenario 3, yaitu penetapan laju peningkatan area hijau sebesar 2%,
laju pertumbuhan penduduk 1% dan kebijakan perbaikan badan air
sebesar 0.2%.
5.6 Hasil Simulasi Sistem Dinamik
Hasil simulasi pada skenario 1 menunjukkan bahwa tutupan lahan terbuka
terus mengalami pengurangan karena terkonversi menjadi lahan terbangun.
Sekitar 197.30 ha lahan terbuka dari 198.90 ha lahan terbuka di awal simulasi
menjadi 1.6 ha di akhir simulasi terkonversi menjadi lahan terbangun. Selain
lahan terbuka, area hijau juga terus mengalami pengurangan dan terkonversi
menjadi lahan terbangun. Luasan yang terkonversi adalah 96.70 ha dengan luasan
awal simulasi adalah 475.16 ha menjadi 325.26 ha di akhir simulasi. Konversi
kedua penutupan lahan ini disebabkan oleh kondisi kondisi lereng yang datar dan
pertumbuhan penduduk. Hasil penelitian Arkham (2014) menyatakan bahwa
semakin datar lereng, maka semakin besar kemungkinan perubahan tutupan lahan.
Lebih lanjut, salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan
dalam suatu kota adalah bentuk lereng di mana semakin datar maka peluang untuk
berubah khususnya menjadi area pemukiman semakin besar. Pertumbuhan
penduduk juga mempengaruhi perubahan penutupan lahan di DAS Ciliwung.
Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan penutupan lahan salah satunya
adalah faktor kependudukan. Dilihat dari laju pertumbuhan penduduk tersebut
maka dapat diindikasikan bahwa kegiatan sosial ekonomi berkembang yang
47
0
1500
3000
4500
6000
2010 2020 2030 2040 2050
Luas
Tu
tpan
Lah
an (
ha)
Skenario 1
Lahan Terbuka Badan Air
Lahan Terbangun Area Hijau
0
1500
3000
4500
6000
2010 2020 2030 2040 2050
Luas
Tu
tup
an L
ahan
(h
a)
Skenario 2
Lahan Terbuka Badan Air
Lahan Terbangun Area Hijau
0
1500
3000
4500
6000
2010 2020 2030 2040 2050
Luas
Tu
tpan
Lah
an (
ha)
Skenario 3
Lahan Terbuka Badan Air
Lahan Terbangun Area Hijau
menuntut pemenuhan kebutuhan perumahan dan fasilitas pelayanan perkotaan
lainnya.
Pada skenario 1 ini, tinggi muka air hasil akhir simulasi sebesar 1273 cm
yang berarti bahwa kondisi lapangan berada pada status siaga 1 ( > 950 cm)
sehingga menyebabkan banjir yang sangat besar. Hal ini dikarenakan ketika
terjadi hujan, air tidak dapat meresap ke dalam tanah akibat penutupan lahan
didominasi oleh area terbangun sebesar 5855.58 ha atau sekitar 90.61% dari total
luasan DAS.
Gambar 22 Grafik luasan area tutupan lahan pada berbagai skenario
Pada skenario 2 menunjukkan bahwa lahan terbuka terkonversi menjadi
badan air, lahan terbangun dan ruang terbuka hijau. Sekitar 195.03 ha lahan
terbuka dari 198.90 ha di awal simulasi menjadi 3.87 ha di akhir simulasi
terkonversi menjadi badan air, lahan terbangun dan ruang terbuka hijau. Besarnya
luasan lahan terbuka terkonversi adalah 53.20 ha menjadi badan air, 97.32 ha
menjadi lahan terbangun dan 44.52 ha menjadi area hijau. Konversi ini
dikarenakan adanya kebijakan untuk tetap mempertahankan luasan badan air agar
tidak terkonversi. Selain itu ditetapkan pula kebijakan untuk meningkatkan luasan
ruang terbuka hijau yang semula 0.04% menjadi 1% sehingga usaha untuk
mencapai RTH yang ideal bisa tercapai.
Pada tutupan lahan terbangun, peningkatan luasan lebih rendah
dibandingkan skenario 1 karena pada skenario ini ditetapkan juga kebijakan untuk
menurunkan laju pertumbuhan penduduk yang semula 1.41% menjadi 1.2%.
Tinggi muka air yang dicapai pada akhir simulasi sebesar 1025 cm dan pada
kondisi ini ternyata belum mampu untuk menurunkan tinggi muka air pada level
48
aman (< 850 cm). Pada skenario ini, luasan lahan terbangun adalah 5658.90 ha
atau 87.57% dari total luasan DAS Ciliwung Hilir.
Hasil simulasi pada skenario 3 menunjukkan bahwa lahan terbuka dan
lahan terbangun terkonversi menjadi badan air dan ruang terbuka hijau. Sekitar
195.1 ha lahan terbuka dari 198.90 ha di awal simulasi menjadi 3.80 ha di akhir
simulasi terkonversi menjadi badan air dan ruang terbuka hijau. Besarnya luasan
lahan terbuka terkonversi adalah 53.20 ha menjadi badan air dan 141.90 ha
menjadi ruang terbuka hijau. Sedangkan luasan lahan terbangun yang terkonversi
menjadi ruang terbuka hijau adalah 90.73 ha dari 5561.58 ha menjadi 5470.85 ha
di akhir simulasi. Konversi ini dikarenakan adanya kebijakan untuk tetap
mempertahankan luasan badan air agar tidak terkonversi. Selain itu ditetapkan
pula kebijakan untuk meningkatkan luasan ruang terbuka hijau yang semula
0.04% menjadi 2% sehingga usaha untuk mencapai RTH yang ideal bisa tercapai.
Pada tutupan lahan terbangun, peningkatan luasan lebih rendah
dibandingkan skenario 1 karena pada skenario ini ditetapkan juga kebijakan untuk
menurunkan laju pertumbuhan penduduk yang semula 1.41% menjadi 1%. Tinggi
muka air yang dicapai pada akhir simulasi sebesar 788 cm dan pada kondisi ini
ternyata dengan komposisi luasan penutupan lahan hasil simulasi mampu untuk
menurunkan tinggi muka air pada level aman (< 850 cm). Pada skenario ini,
luasan area hijau adalah 707.79 ha atau 10.95% dari total luasan DAS Ciliwung
Hilir. Artinya untuk memenuhi UU Penataan Ruang No. 27/2006 tentang
komposisi Ruang Terbuka Hijau belum memenuhi standar yang diinginkan. Di
satu sisi upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan tercapai dengan
meminimalisir banjir di DAS Ciliwung Hilir.
Gambar 23 Ketinggian muka air hasil simulasi
49
0
400
800
1200
1600
2010 2020 2030 2040 2050
Tin
ngi
Mu
ka A
ir (
cm)
Hasil Simulasi
Ske. 1 Ske. 2 Ske. 3
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada ketiga skenario, skenario terbaik
yang dapat digunakan adalah skenario 3. Pada skenario ini, tinggi muka air
sebagai penanda bahaya banjir berada pada ketinggian 845 cm yang berarti daerah
hilir masih berada pada status siaga 3 sesuai ketentuan yang dibuat oleh Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Prov. DKI Jakarta. Perbedaan ketinggian muka
air berbagai skenario dapat dilihat pada Gambar 24 di bawah ini.
Gambar 24 Grafik tinggi muka air pada berbagai skenario
5.7 Arahan Pengendalian Ruang
Berdasarkan hasil dari analisis sistem dinamik menunjukkan bahwa
skenario 3 merupakan skenario yang optimal dalam menurunkan tinggi muka air.
Pada skenario ini, untuk mencapa tinggi muka air berada pada level aman adalah
845 cm di tahun 2045. Komposisi luasan optimal masing-masing penutupan lahan
adalah lahan terbuka 3.81 ha, badan air 275.73 ha, lahan terbangun 5515.81 ha
dan ruang terbuka hijau 666.82 ha (Gambar 18). Dengan menerapkan luasan
optimal hasil simulasi diharapkan dalam jangka panjang tinggi muak air pada
Sungai Ciliwung Hilir dapat dikendalikan untuk menghindari kejadian banjir.
Arahan pengendalian ruang disusun guna tercapainya rencana ruang sesuai
dengan penataan yang diharapkan yaitu alokasi ruang sesuai dengan skenario 3.
Dalam studi ini konsep arahan kebijakan lebih ditekankan pada perlindungan
banjir dan stabilisasi lereng sungai.
Berdasarkan Peraturan Menteri PU No. 63 tahun 1993 dan Peraturan
Pemerintah RI No. 38 tahun 2011 maka ditentukan Garis Sempadan Sungai untuk
daerah perkotaan yaitu 10-30 m (Gambar 19). Untuk memperbaiki badan air,
maka dilakukan pelebaran terhadap sungai sejauh 5 m di kiri dan kanan. Konsep
yang digunakan dalam pelebaran ini adalah dengan membuat area yang dapat
dimanfaatkan masyarakat untuk beraktivitas. Ketika air surut, maka area tersebut
dapat digunakan. Namun ketika tinggi muka air meningkat, maka area tersebut
menjadi tampungan sehingga diharapkan air tidak meluap ke area sekitar sungai.
Kondisi tata guna lahan yang sudah padat karena bangunan menyebabkan
kenaikan run-off yang signifikan dan pengurangan resapan air. Upaya perbaikan
50
Gambar 25 Peta arahan penutupan lahan hasil simulasi
51
Gambar 26 Rencana lanskap tepi sungai Ciliwung Hilir
52
sungai dengan pelebaran akan memberikan pengaruh maksimal dua kali lipat saja,
itupun apabila proses pelebaran sebesar dua kali lipatnya bisa berjalan lancar.
Perlu diperhatikan pelebaran sungai/drainase harus dipertahankan secara
menyeluruh sampai ke hilir. Bilamana dilakukan pelebaran hanya dilakukan pada
daerah hulu tetapi daerah hilir tidak dilebarkan maka akan terjadi penyempitan
alur sungai, dan akhirnya daerah hulu kembali ke posisi semula. Selain itu potensi
kembali pada lebar sungai semula cukup besar akibat sedimentasi dan morfologi
sungai yang belum stabil. Demikian pula kedalaman sungai yang dikeruk menjadi
dua kali akan kembali ke kedalaman semula akibat besarnya sedimentasi.
Untuk mengurangi laju aliran permukaan dan meningkatkan infiltrasi air
hujan yang jatuh bebas di kawasan DAS, maka berdasarkan hasil sistem dinamik
ditetapkan untuk merencanakan kawasan hijau di tepi sungai yaitu 30 m di kiri
dan kanan sungai. Konsep area yang direncanakan adalah menjadikan area hijau
selain memiliki fungsi ekologis juga fungsi edukasi. Arahan untuk pemilihan
tanaman adalah dengan menggunakan tanaman yang memiliki nilai estetika dan
juga mampu menyerap karbon. Tanaman yang digunakan adalah tanaman lokal
berkayu maupun berbuah dan berbunga indah.
6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Perubahan tutupan lahan dengan luasan terbesar selama 24 tahun terakhir
(1990-2014) adalah peningkatan lahan terbangun sebesar 101.91 ha.
Pertambahan lahan terbangun dikarenakan kebutuhan lahan akan pemukiman
yang meningkat akibat bertambahnya penduduk.
2. Model perubahan tutupan lahan yang optimal untuk diterapkan pada DAS
Ciliwung Hilir adalah skenario 3 yaitu dengan menetapkan laju peningkatan
area hijau sebesar 2%, laju pertumbuhan penduduk 1% dan kebijakan
perbaikan badan air sebesar 0.2%.
3. Pada skenario 3, untuk menurunkan ketinggian muka air hingga pada level
siaga 3 (845 cm) dapat dilakukan dengan pelebaran badan air dan penambahan
luasan area hijau. Penambahan luas area hijau sebesar 232.63 ha dan badan air
sebesar 53.20 ha dari total luas DAS. Penambahan ini dapat dilakukan dengan
melalukan pelebaran badan sungai sejauh 5 m kiri dan kanan sempadan sungai
serta penghijauan di sepanjang sungai Ciliwung dengan jarak 25 m dari bibir
sungai. Selain itu juga mengkonversi lahan terbuka yang potensial untuk
dijadikan area hijau dan badan air.
6.2 Saran
Diperlukan usaha yang sangat kuat dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
untuk menambah ruang terbuka hijau dan memperlebar sungai melalui pelebaran
garis sempadan sungai sejauh 30 m dengan harapan dapat mengurangi tinggi
muka air secara optimal.
53
DAFTAR PUSTAKA
Abidin HZ, Andreas H, Djaja R, Darmawan D, Gamal M. 2008. Land subsidence
characteristics of Jakarta between 1997 and 2005, as estimated using GPS
surveys. GPS Solution. 12(1): 23-32.
Arkham. 2014. Manajemen Lanskap Ruang Terbuka Biru di Daerah Aliran
Sungai Ciliwung. [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Asdak. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Press.
[BPPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Sungai Citarum Ciliwung. 2007.
Penyusunan Rencana Detail Penanganan Banjir di Wilayah
Jabodetabekjur. Bogor (ID): BPDAS Ciliwung Citarum
_______________________. 2011. Penyusunan Rancangan Peningkatan Fungsi
dan Daya Dukung Ekologi dalam Pengelolaan DAS Ciliwung. Bogor (ID):
BPDAS Ciliwung Citarum.
Brath A, Montanari A, and Moretti G. 2006. Assessing the effect on flood
frequency of land use change via hydrological simulation (with
uncertainty). Journal of Hydrology. 324:141-153.
Budiyono Y, Aerts J, Brinkman J, Marfai MA, Ward P. 2015. Flood risk
assessment for delta mega-cities: a case study of Jakarta. Natural hazards.
75(1): 389-413.
Chen J, Gong P, He C, Pu R, and Shi P. 2003. Land-cover change cetection using
improved change-vector analysis. Photogrammetric Engineering &
Remote Sensing. 69(2003):369-379.
Cui B, Wang C, Tao W, and You Z. 2009. River channel network design for
drought and flood control: A case study of Xiaoqinghe River basin, Jinan
City, China. Journal of Environmental Management. 90(2009): 3675-
3686.
Constanza R, Voinov A. 2004. Landscape Simulation Modelling, A Spatially
Explicit, Dynamic Approach. New York (US): Springer-Verlag.
De Bruin S and Molenaar M. 1999. Remote sensing and geographical information
system at Stein, A. Van Der Meer, F. Gorte B. (Editor) Spatial Statistic for
Remote Sensing. Netehrlands (NED): Kluwer Academic
Djakapermana RD. 2010. Pengembangan Wilayah melalui Pendekatan
Kesisteman. Bogor (ID): IPB Press
Du J, et al. 2012. Assessing the effects of urbanizationon annual runoff and flood
events using an integrated hydrological modeling system for Qinhuai
River basin, China. Journal of Hydrology. 464-465: 127-129
Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen.
Bogor (ID): IPB Press
Fakhrudin, M. 2003. Kajian Respon Hidrologi Akibat Perubahan Penggunaan
Lahan DAS Ciliwung dengan Model Sedimot II. [Thesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor
54
Fang S, Gertner G Z, and Anderson A B 2006. Prediction of multinomial
probability of land use change using a bisection decomposition and
logistic regression. Landscape Ecology 22 (2007):419-430. Springer.
Foote KE and M Lynch. 1996. Geographic Information Systems as an Integrating
Technology: Context, Concepts and Definitions. In Geographer’s Crat
Project Department of Geography, University of Texas. Austin.
http://www.colorado.edu/geography/gcraft. [18 November 2014]
Farina A. 1998. Princiles and Methodes in Landscape Ecology. Great Britain
(UK): Chapman & Hall, Ltd.
Hadi S. 2012. Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Puncak dalam Perspektif
Kajian Akademis, Isu dan Permasalahan Perubahan Pola Ruang Kawasan
Puncak. Disampaikan dalam Diskusi Kelompok Terbatas, Arahan
Pemanfaatan Ruang Kawasan Puncak. Bogor. Fakultas Kehutanan IPB
Hadi S. 2012. Model Spasial Penggunaan Lahan dan Arahan Rencana
Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogor. [Thesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Hadi S, Suwarto, Rusdiana O. 2006. Kajian Detail Penataan Ruang dalam Rangka
Pemantapan Kawasan Hutan Pulau Bali. Badan Planologi Kehutanan,
Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Bogor
Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik : Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri
dan Lingkungan. Bogor (ID): SEAMEO BIOTROP
Hasan M. 2011. Model Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air pada Daerah
Aliran Sungai (DAS) Citarum yang Berkelanjutan. [Disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor
Hipple J D, Drazkowski B, and Thorsell P M. 2005. Development in the Upper
Mississippi Basin: 10 years after the Great Flood of 1993. Landscape and
Urban Planning. 72: 313-323.
Indarto 2010. Hidrologi Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi.
Jakarta (ID): Bumi Aksara
Irianto, S. 2000. Kajian Hidrologi Daerah Aliran Sungai menggunakan Model
HEC-1 [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Jaya I N S. 2014. Analisis Citra Digital: Teori dan Praktek Menggunakan Erdas
Imagine. Bogor (ID): IPB Press.
Jensen. 1996. Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing
Perspective. 2nd
edition. US: Prentice Hall
Muhammadi E A dan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan
Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta (ID): UMJ Press
Molle and Mamanpoush, A. 2012. Scale, governance and the management of river
basins : a case study from Central Iran. Geoforum. 43:285-294
Lillesand TM and Kiefer RW. 2000. Remote Sensing and Image Interpretation.
Fourth Edition. New York (US): Jhon Wiley and Sons. 392p
55
Lin FT. 2000. GIS-based information flow in a land use zoning review process.
Landscape Urban Planning
Malczweski J. 1999. GIS and Multicriteria Analysis. New York (US): Jhon wiley
and Sons. 392p
Moniaga IL. 2008. Studi Ruang Terbuka Hijau Kota Manado dengan Pendekatan
Sistem Dinamik. [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Marpaung R. 2012. Model Pengelolaan Air Baku Air Minum berbasis Daerah
Aliran Sungai. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Nopiyanto H. 2009. Perencanaan Lanskap Kota Sintang Berkelanjutan dengan
Pendekatan Model Spasial Dinamik. [Thesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor
Pawitan, H. 2004. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya terhadap
Hidrologi Daerah Aliran Sungai. Bogor (ID): Laboratorium
Hidrometeorologi FMIPA-IPB.
Poerbandono P, Ward PJ, Julian MM. 2009. Set up and calibration of a spatial
tool for simulating river discharge of Western Java in recent decades :
preliminary results and assessment. Journal of Engineering and
Technological Sciences. 41 (1): 50-64.
Rusdiana O, Hadi S, Suwarto. 2012. Seminar dan Ekspose Hasil-hasil Kegiatan
dan Penelitian P4W-LPPM IPB. Bogor
Ruspendi D. 2014. Kajian Perubahan Penutupan Lahan pada DAS Ciliwung Hulu
dengan Pendekatan Spasial Dinamik. [Thesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Rustiadi E, Barus B, Prastowo, Iman LS. 2010. Kajian Daya Dukung Lingkungan
Provinsi Aceh. Jakarta: Deputi Bidang Kementrian Negara Lingkungan
Hidup, United Nations Development Programme (UNDP), dan Pusat
Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W-IPB).
Seyhan E. 1990. Dasar-dasar Hidrologi. Yogyakarta. Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Press.
Steiner F, et al. 2000. A watershed at a watershed: The potential for
environmental sensitive area protection in The Upper San Pedro Drainage
Basin (Mexico and USA). Landscape and Urban Planning. 49: 129-148.
Tang J, Wang L, Yao Z. 2007. Spatio-temporal urban landscape change analysis
using the Markov Chain Model and a Modified Genetic Algorithm.
International Journal of Remote Sensing. 28(15):3255-3271
Van den Hurk M. 2013. Water safety and spatial development: An institutional
comparison between the United Kingdom and the Netherlands. Land Use
Policy. 36(2014): 416-426.
Wassahua Z. 2010. The Use Markov Cellular Automata Technique for Predicting
Forest Cover Change in Rokan Hulu, Riau Province, Indonesia. [Thesis].
Bogor (ID): Bogor Agricultural University.
56
Weng Q. 2002. Land use change analysis in the Zhujiang Delta of China using
satellite remote sensing, GIS and stochastic modelling. Journal of
Environment Management. 64:273-283
Wheater H, and Evans E. 2009. Land use, water management and future flood
risk. Land Use Policy. 26S:S251-S264.
Wibowo, M. 2011. Analisis perubahan penggunaan lahan terhadap debit sungai.
Jurnal Teknik Lingkungan. 6(1). P3TL-BPPT.
Woube, M. 1999. Flooding and sustainable land-water management in the Lower
Baro-Akobo River Basin, Ethiopia. Applied Geography. 19:235-251.
Yu W, Shuying Z, Changshan W, Wen L, and Xiaodong N. 2011. Analyzing and
modeling land use land cover change (LUCC) in the Daqing City, China.
Applied Geography. 31(2011):600-608. Elsevier
LAMPIRAN
58
Lampiran 1 Overall Accuracy dan Kappa Accuracy
Tahun 1990
Tahun 2000
59
Lampiran 1 Lanjutan
Tahun 2010
Tahun 2014
60
Lampiran 2 Persamaan Model Dinamik Perubahan Penutupan Lahan DAS
Ciliwung Hilir
61
Lampiran 2 Lanjutan
62
Lampiran 3 Komposisi penutupan lahan hasil simulasi skenario 1
Tahun Penduduk
(jiwa)
Area
Trebuka
(ha)
Badan
Air (ha)
Lahan
Terbangun
(ha)
RTH
(ha)
TMA
(cm)
2000 2,421,359 198.90 226.53 5561.58 475.16 902.59
2001 2,424,773 199.40 228.53 5562.78 471.46 904.10
2002 2,428,192 199.90 230.53 5563.98 467.76 905.61
2003 2,431,616 200.40 232.53 5565.18 464.06 907.13
2004 2,435,044 200.90 234.53 5566.38 460.36 908.64
2005 2,438,478 201.40 236.53 5567.58 456.66 910.15
2006 2,441,916 201.90 238.53 5568.78 452.96 911.66
2007 2,445,359 202.40 240.53 5569.98 449.26 913.17
2008 2,448,807 202.90 242.53 5571.18 445.56 914.69
2009 2,452,260 203.40 244.53 5572.38 441.86 916.20
2010 2,455,718 203.90 246.53 5573.58 438.16 917.71
2011 2,459,180 204.40 248.53 5574.78 434.46 919.22
2012 2,462,648 202.20 249.33 5578.98 431.66 924.51
2013 2,466,120 200.00 250.13 5583.18 428.86 929.81
2014 2,469,597 197.80 250.93 5587.38 426.06 935.10
2015 2,473,079 195.60 251.73 5591.58 423.26 940.39
2016 2,476,566 98.60 252.53 5690.58 420.46 1065.13
2017 2,480,058 50.10 253.33 5741.08 417.66 1128.76
2018 2,483,555 25.85 254.13 5767.33 414.86 1161.84
2019 2,487,057 13.73 254.93 5781.45 412.06 1179.63
2020 2,490,564 7.66 255.73 5789.52 409.26 1189.79
2021 2,494,075 4.63 256.53 5794.55 406.46 1196.13
2022 2,497,592 3.12 257.33 5798.06 403.66 1200.56
2023 2,501,114 2.36 258.13 5800.82 400.86 1204.04
2024 2,504,640 1.98 258.93 5803.20 398.06 1207.03
63
Lampiran 3 Lanjutan
2025 2,508,172 1.79 259.73 5805.39 395.26 1209.79
2026 2,511,708 1.69 260.53 5807.49 392.46 1212.43
2027 2,515,250 1.65 261.33 5809.53 389.66 1215.01
2028 2,518,796 1.62 262.13 5811.56 386.86 1217.56
2029 2,522,348 1.61 262.93 5813.57 384.06 1220.10
2030 2,525,904 1.61 263.73 5815.57 381.26 1222.62
2031 2,529,466 1.60 264.53 5817.58 378.46 1225.15
2032 2,533,032 1.60 265.33 5819.58 375.66 1227.67
2033 2,536,604 1.60 266.13 5821.58 372.86 1230.19
2034 2,540,181 1.60 266.93 5823.58 370.06 1232.71
2035 2,543,762 1.60 267.73 5825.58 367.26 1235.23
2036 2,547,349 1.60 268.53 5827.58 364.46 1237.75
2037 2,550,941 1.60 269.33 5829.58 361.66 1240.27
2038 2,554,538 1.60 270.13 5831.58 358.86 1242.79
2039 2,558,139 1.60 270.93 5833.58 356.06 1245.31
2040 2,561,746 1.60 271.73 5835.58 353.26 1247.83
2041 2,565,359 1.60 272.53 5837.58 350.46 1250.35
2042 2,568,976 1.60 273.33 5839.58 347.66 1252.87
2043 2,572,598 1.60 274.13 5841.58 344.86 1255.39
2044 2,576,225 1.60 274.93 5843.58 342.06 1257.91
2045 2,579,858 1.60 275.73 5845.58 339.26 1260.43
2046 2,583,495 1.60 276.53 5847.58 336.46 1262.95
2047 2,587,138 1.60 277.33 5849.58 333.66 1265.47
2048 2,590,786 1.60 278.13 5851.58 330.86 1267.99
2049 2,594,439 1.60 278.93 5853.58 328.06 1270.51
2050 2,598,097 1.60 279.73 5855.58 325.26 1273.03
64
Lampiran 4 Komposisi penutupan lahan hasil simulasi skenario 2
Tahun Penduduk
(jiwa)
Area
Terbuka
(ha)
Badan
Air (ha)
Lahan
Terbangun
(ha)
RTH
(ha)
TMA
(cm)
2000 2,421,359 198.90 226.53 5,561.58 475.16 902.59
2001 2,424,265 199.40 228.53 5,562.78 471.46 904.10
2002 2,427,174 199.90 230.53 5,563.98 467.76 905.61
2003 2,430,086 200.40 232.53 5,565.18 464.06 907.13
2004 2,433,002 200.90 234.53 5,566.38 460.36 908.64
2005 2,435,922 201.40 236.53 5,567.58 456.66 910.15
2006 2,438,845 201.90 238.53 5,568.78 452.96 911.66
2007 2,441,772 202.40 240.53 5,569.98 449.26 913.17
2008 2,444,702 202.90 242.53 5,571.18 445.56 914.69
2009 2,447,636 203.40 244.53 5,572.38 441.86 916.20
2010 2,450,573 203.90 246.53 5,573.58 438.16 917.71
2011 2,453,513 204.40 248.53 5,574.78 434.46 919.22
2012 2,456,458 202.20 249.33 5,578.98 431.66 924.51
2013 2,459,405 200.00 250.13 5,583.18 428.86 929.81
2014 2,462,357 197.80 250.93 5,587.38 426.06 935.10
2015 2,465,311 195.60 251.73 5,591.58 423.26 940.39
2016 2,468,270 98.60 252.53 5,690.58 420.46 1,065.13
2017 2,471,232 51.24 253.33 5,734.25 423.35 1,120.16
2018 2,474,197 27.57 254.13 5,754.19 426.28 1,145.28
2019 2,477,166 15.73 254.93 5,762.27 429.24 1,155.46
2020 2,480,139 9.82 255.73 5,764.42 432.20 1,158.17
2021 2,483,115 6.86 256.53 5,763.61 435.17 1,157.15
2022 2,486,095 5.38 257.33 5,761.33 438.13 1,154.27
2023 2,489,078 4.64 258.13 5,758.30 441.09 1,150.46
2024 2,492,065 4.27 258.93 5,754.92 444.05 1,146.19
2025 2,495,055 4.09 259.73 5,751.35 447.00 1,141.70
65
Lampiran 4 Lanjutan
2026 2,498,050 3.99 260.53 5,747.69 449.96 1,137.09
2027 2,501,047 3.95 261.33 5,743.99 452.90 1,132.43
2028 2,504,048 3.92 262.13 5,740.27 455.85 1,127.74
2029 2,507,053 3.91 262.93 5,736.54 458.79 1,123.04
2030 2,510,062 3.90 263.73 5,732.81 461.72 1,118.35
2031 2,513,074 3.90 264.53 5,729.09 464.66 1,113.65
2032 2,516,090 3.89 265.33 5,725.36 467.59 1,108.95
2033 2,519,109 3.89 266.13 5,721.64 470.51 1,104.26
2034 2,522,132 3.89 266.93 5,717.92 473.43 1,099.57
2035 2,525,158 3.89 267.73 5,714.20 476.35 1,094.89
2036 2,528,189 3.89 268.53 5,710.49 479.26 1,090.21
2037 2,531,222 3.89 269.33 5,706.78 482.18 1,085.54
2038 2,534,260 3.88 270.13 5,703.07 485.08 1,080.87
2039 2,537,301 3.88 270.93 5,699.37 487.99 1,076.21
2040 2,540,346 3.88 271.73 5,695.67 490.88 1,071.55
2041 2,543,394 3.88 272.53 5,691.98 493.78 1,066.89
2042 2,546,446 3.88 273.33 5,688.29 496.67 1,062.24
2043 2,549,502 3.88 274.13 5,684.60 499.56 1,057.60
2044 2,552,561 3.88 274.93 5,680.92 502.44 1,052.96
2045 2,555,624 3.87 275.73 5,677.24 505.33 1,048.32
2046 2,558,691 3.87 276.53 5,673.56 508.20 1,043.69
2047 2,561,762 3.87 277.33 5,669.89 511.08 1,039.06
2048 2,564,836 3.87 278.13 5,666.22 513.95 1,034.44
2049 2,567,914 3.87 278.93 5,662.56 516.81 1,029.82
2050 2,570,995 3.87 279.73 5,658.90 519.68 1,025.21
66
Lampiran 5 Komposisi penutupan lahan hasil simulasi skenario 3
Tahun Penduduk
(jiwa)
Lahan
Terbuka
(ha)
Badan
Air
(ha)
Lahan
Terbangun
(ha)
RTH
(ha)
TMA
(cm)
2000 2,421,359 198.90 226.53 5561.58 475.16 902.59
2001 2,423,780 199.40 228.53 5562.78 471.46 904.10
2002 2,426,204 199.90 230.53 5563.98 467.76 905.61
2003 2,428,630 200.40 232.53 5565.18 464.06 907.13
2004 2,431,059 200.90 234.53 5566.38 460.36 908.64
2005 2,433,490 201.40 236.53 5567.58 456.66 910.15
2006 2,435,924 201.90 238.53 5568.78 452.96 911.66
2007 2,438,359 202.40 240.53 5569.98 449.26 913.17
2008 2,440,798 202.90 242.53 5571.18 445.56 914.69
2009 2,443,239 203.40 244.53 5572.38 441.86 916.20
2010 2,445,682 203.90 246.53 5573.58 438.16 917.71
2011 2,448,128 204.40 248.53 5574.78 434.46 919.22
2012 2,450,576 202.20 249.33 5578.98 431.66 924.51
2013 2,453,026 200.00 250.13 5583.18 428.86 929.81
2014 2,455,479 197.80 250.93 5587.38 426.06 935.10
2015 2,457,935 195.60 251.73 5591.58 423.26 940.39
2016 2,460,393 98.60 252.53 5690.58 420.46 1065.13
2017 2,462,853 51.24 253.33 5728.56 429.04 1112.99
2018 2,465,316 27.56 254.13 5742.78 437.70 1130.90
2019 2,467,781 15.73 254.93 5745.12 446.38 1133.86
2020 2,470,249 9.81 255.73 5741.55 455.07 1129.35
2021 2,472,719 6.86 256.53 5735.03 463.76 1121.13
2022 2,475,192 5.37 257.33 5727.04 472.43 1111.07
2023 2,477,667 4.63 258.13 5718.32 481.08 1100.09
2024 2,480,145 4.26 258.93 5709.26 489.72 1088.67
2025 2,482,625 4.07 259.73 5700.03 498.34 1077.04
2026 2,485,108 3.98 260.53 5690.73 506.94 1065.32
67
Lampiran 5 Lanjutan
2027 2,487,593 3.93 261.33 5681.39 515.52 1053.56
2028 2,490,080 3.90 262.13 5672.06 524.08 1041.79
2029 2,492,570 3.88 262.93 5662.73 532.62 1030.04
2030 2,495,063 3.87 263.73 5653.41 541.15 1018.30
2031 2,497,558 3.87 264.53 5644.11 549.66 1006.58
2032 2,500,056 3.86 265.33 5634.83 558.15 994.89
2033 2,502,556 3.86 266.13 5625.57 566.62 983.21
2034 2,505,058 3.85 266.93 5616.32 575.07 971.56
2035 2,507,563 3.85 267.73 5607.09 583.50 959.93
2036 2,510,071 3.85 268.53 5597.88 591.91 948.33
2037 2,512,581 3.84 269.33 5588.69 600.31 936.75
2038 2,515,093 3.84 270.13 5579.51 608.69 925.19
2039 2,517,609 3.84 270.93 5570.36 617.05 913.65
2040 2,520,126 3.83 271.73 5561.22 625.39 902.14
2041 2,522,646 3.83 272.53 5552.10 633.71 890.65
2042 2,525,169 3.82 273.33 5543.00 642.01 879.18
2043 2,527,694 3.82 274.13 5533.92 650.30 867.74
2044 2,530,222 3.82 274.93 5524.86 658.57 856.32
2045 2,532,752 3.81 275.73 5515.81 666.82 844.92
2046 2,535,285 3.81 276.53 5506.78 675.05 833.54
2047 2,537,820 3.81 277.33 5497.77 683.26 822.19
2048 2,540,358 3.80 278.13 5488.78 691.46 810.86
2049 2,542,898 3.80 278.93 5479.81 699.63 799.56
2050 2,545,441 3.80 279.73 5470.85 707.79 788.27
68
Lampiran 6 Hasil validasi berdasarkan nilai AME pada berbagai tutupan lahan
Lahan Terbuka
Tahun Aktual Simulasi AME
2011 196.34 199.40 0.0155852
2012 193.77 199.90 0.0316354
2013 191.21 200.40 0.0480623
2014 188.64 200.90 0.0649915
Badan Air
Tahun Aktual Simulasi AME
2011 225.63 228.53 0.0128529
2012 224.74 230.53 0.0257631
2013 223.84 232.53 0.0388224
2014 222.94 234.53 0.0519871
Lahan Terbangun
Tahun Aktual Simulasi AME
2011 5568.09 5562.78 (0.0009536)
2012 5574.6 5563.98 (0.0019051)
2013 5581.11 5565.18 (0.0028543)
2014 5587.62 5566.38 (0.0038013)
69
Lampiran 6 Lanjutan
Ruang Terbuka Hijau
Tahun Aktual Simulasi AME
2011 472.27 471.46 (0.0017151)
2012 469.39 467.76 (0.0034726)
2013 466.5 464.06 (0.0052304)
2014 463.61 460.36 (0.0070102)
70
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 Februari 1978 sebagai anak
ketujuh dari tujuh bersaudara dari pasangan H. Mat Idji dan Hj. Djuah. Penulis
menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 39 Jakarta pada tahun
1996, dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke Institut Pertanian
Bogor Fakultas Pertanian Jurusan Budidaya Pertanian Program Studi Arsitektur
Pertamanan. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Strata-1 tahun 2002, dan
kemudian bekerja pada beberapa perusahaan pengembang sebagai perencana
lanskap hingga tahun 2009. Tahun 2010 penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri
Sipil pada Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta.
Pada tahun 2013 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi
Stara-2 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan Program Studi
Arsitektur Lanskap melalui program beasiswa Pegawai Tugas Belajar yang
diberikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.