TESIS

download TESIS

of 115

description

tesis

Transcript of TESIS

  • PENGARUH PERTAMBANGAN BAUKSITTERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN PANTAI

    DAN DAYA DUKUNGNYA TERHADAP KEGIATAN BUDIDAYA PERIKANAN(STUDI KASUS DI PULAU SELAYAR, KABUPATEN LINGGA)

    TESIS

    Program Pascasarjana Universitas DiponegoroProgram Studi : Magister Manajemen Sumberdaya Pantai

    Disusun oleh:AunurrahmanK4A 008 005

    PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

    2013

  • ii

    LEMBAR PENGESAHAN

    PENGARUH PERTAMBANGAN BAUKSITTERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN PANTAI

    DAN DAYA DUKUNGNYA TERHADAP KEGIATAN BUDIDAYA PERIKANAN(STUDI KASUS DI PULAU SELAYAR, KABUPATEN LINGGA)

    Disusun oleh:AunurrahmanK4A 008 005

    MenyetujuiPembimbing I

    Dr. Ir. Sri Rejeki M.ScNIP. 19560307 198303 2 001

    Pembimbing II

    Dr. Ir. Agung Suryanto MSNIP. 19600616 198703 1 002

    Ketua Program Studi

    Prof. Dr. Ir. Agus Hartoko, MScNIP. 19570816 198403 1 002

  • iii

    PENGARUH PERTAMBANGAN BAUKSITTERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN PANTAI

    DAN DAYA DUKUNGNYA TERHADAP KEGIATAN BUDIDAYA PERIKANAN(STUDI KASUS DI PULAU SELAYAR, KABUPATEN LINGGA)

    Dipersiapkan dan disusun oleh:

    AunurrahmanK4A 008 005

    Tesis telah dipertahankan di depan Tim PengujiTanggal: 16 Agustus 2013

    Susunan Tim PengujiPembimbing I

    Dr. Ir. Sri Rejeki M.ScNIP. 19560307 198303 2 001

    Penguji I

    Prof. Dr. Ir. Agus Hartoko, MScNIP. 19570816 198403 1 002

    Pembimbing II

    Dr. Ir. Agung Suryanto MSNIP. 19600616 198703 1 002

    Penguji II

    Dr. Ir. Max R. Muskananfola, M.ScNIP. 19521211 197603 1 003

    Ketua Program Studi

    Prof. Dr. Ir. Agus Hartoko, MScNIP. 19570816 198403 1 002

  • iv

    PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

    Dengan ini Saya, Aunurrahman menyatakan bahwa karya ilmiah/ tesis ini adalah

    asli karya saya sendiri dan belum pernah diajukan sebagai pemenuhan

    persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan strata satu (S1) ataupun strata

    dua (S2) dari Universitas Diponegoro maupun perguruan tinggi lainnya.

    Semua informasi yang dimuat dalam karya ilmiah/ tesis ini yang berasal dari

    karya orang lain, baik yang dipublikasikan atau tidak, telah diberikan

    penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis secara benar dan semua

    isi dari karya ilmiah ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

    Semarang September 2013Penulis,

    AunurrahmanNIM K4A 008 005

  • vKATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT sehingga penulis

    dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis dengan judul Pengaruh Pertambangan

    Bauksit Terhadap Kualitas Lingkungan Pantai Dan Daya Dukungnya Terhadap

    Kegiatan Budidaya Perikanan (Studi Kasus Di Pulau Selayar, Kabupaten

    Lingga) ini disusun sebagai syarat dalam menyelesaikan studi di Program

    Magister Manajemen Sumberdaya Pantai UNDIP. Pada kesempatan kali ini

    penulis menyampaikan terima kasih kepada:

    1. Ibu Dr. Ir. Sri Rejeki, M.Sc, selaku Pembimbing I yang banyak memberikan

    arahan dan bimbingan dalam penyusunan Tesis ini.

    2. Bapak Dr. Ir. Agung Suryanto, MS selaku Pembimbing II yang telah

    memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan Tesis ini.

    3. Bapak Prof. Dr. Ir. Agus Hartoko, M.Sc selaku Ketua Program Magister

    Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro Semarang.

    4. Segenap Dosen Pengampu Program Magister Manajemen Sumberdaya

    Pantai, Pascasarjana, Universitas Diponegoro.

    5. Rekan-rekan mahasiswa program Magister Manajemen Sumberdaya Pantai

    UNDIP terutama angkatan 2008 yang telah memberikan dukungan dan

    bantuan.

    6. Semua pihak terkait yang telah membantu penyusunan Tesis ini.

    Proposal Tesis ini masih membutuhkan banyak masukan dan

    penyempurnaan, sehingga penulis berharap masukan dan saran dari berabagai

    pihak. Semoga proposal penelitian ini dapat memberikan manfaat.

    Semarang, September 2013

    Penulis

  • vi

    ABSTRAK

    AUNURRAHMAN. K4A008005. Pengaruh Pertambangan Bauksit TerhadapKualitas Lingkungan Pantai dan Daya Dukungnya Terhadap Kegiatan BudidayaPerikanan Laut (Studi Kasus Di Pulau Selayar, Kabupaten Lingga).(Sri Rejeki dan Agung Suryanto)

    Penelitian mengenai dampak pertambangan terhadap perairan dan dayadukungnya untuk kegiatan budidaya dilakukan di wilayah perairan Pulau Selayardari bulan Maret - April 2013. Data primer yang dikumpulkan meliputi parametersik, kimia dan biologi. Data sekunder meliputi peta rupabumi dan batimetri.Analisis dilakukan meliputi analisis terhadap kualitas perairan, analisispencemaran serta analisis kesesuaian lahan untuk budidaya Iaut.

    Hasil analisis yang dilakukan didapat 3 kelas kesesuaian lahan untuk budidayalaut. Pada kelas sangat sesuai (S1) mencakup area seluas 11.365,95 m2 (1,14ha) atau sebesar 2,2 % dari total kawasan yang menjadi area studi. Kelas sesuai(S2) mencakup area seluas 354.158,08 m2 (35,41 ha), atau sebesar 69,40 %dari total kawasan yang menjadi area studi. Dan kelas tidak sesuai (N1)mencakup area seluas 144.964,16 m2 (14,50 ha) atau sebesar 28,4 % dari totalkawasan yang menjadi area studi. Parameter yang kurang mendukung untukkegiatan budidaya diwilayah studi adalah TSS, TDS dan DO.

    Hasil ekstraksi daerah kesesuaian untuk budidaya laut dengan sebaran bahanpencemar (polutan) didapat wilayah yang sesuai untuk budidaya dan tidaktercemar mencakup area seluas 11.282 m2 (1,13 ha) atau sebesar 2,21% daritotal kawasan yang menjadi area penelitian, sesuai dan tidak tercemar mencakuparea seluas 353.000 m2 (35,30 ha) atau sebesar 69,16% dari total kawasanyang menjadi area penelitian. Parameter yang menjadi pencemar diwilayah studiadalah Timbal (Pb).

    Kata-kata kunci: budidaya laut, kesesuaian, tambang

  • vii

    ABSTRACT

    AUNURRAHMAN. K4A008005. Impact of Bauxite Mining to the Quality ofCoastal Environment and Its Carrying Capacity to the Marine Culture Activity(Case Study of Selayar Island, Regency of Lingga)(Sri Rejeki and Agung Suryanto).

    Research Mining activities impacted the condition of land and aquaticenvironment was conducted in Selayar Island waters from March - April 2013.Data collection including: physical, chemical and biological parameters. Whilesecondary data including topographic map and bathimetri map. Analysisconducted including analysis on the aquatic environment quality, pollution andsuitability analysis for marine culture.

    The results of the analysis conducted 3 classes obtained land suitability formarine culture. At the highly suitable (S1) covers an area of 11365.95 m2 (1.14ha) or 2.2% of the total area study. Suitable (S2) covers an area of 354,158.08m2 (35.41 ha), or a total of 69.40% of the total area study. And temporary notsuitable (N1) covers an area of 144,964.16 m2 (14.50 ha) or 28.4% of the totalarea study. The parameters unfavorable for marine culture activities in the regionis the study of TSS, TDS and DO.

    The results of the extraction area suitability for marine culture with the distributionof contaminants (pollutants) obtained the appropriate areas for cultivation and notpolluted covers an area of 11 282 m2 (1.13 ha) or by 2.21% of the total area asan area of research, according and uncontaminated covers an area of 353,000m2 (35.30 ha) or by 69.16% of the total area as an area of research.Parameters that become pollutants in the region is the study of Lead (Pb).

    Keywords: marine culture, suitability, mining

  • viii

    DAFTAR ISI

    LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iiPERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ............................................... ivKATA PENGANTAR ................................................................................... vABSTRAK ................................................................................................... viABSTRACT ................................................................................................. viiDAFTAR ISI ................................................................................................ viiiDAFTAR TABEL ......................................................................................... xDAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiBAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

    1.1. Latar Belakang ................................................................. 11.2. Perumusan Masalah ......................................................... 21.3. Tujuan Penelitian .............................................................. 31.4. Manfaat Penelitian ............................................................ 41.5. Kerangka Pemikiran ........................................................ 4

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 72.1. Penambangan Bijih Bauksit .............................................. 7

    2.1.1. Potensi Daerah Penambang Bauksit ..................... 72.1.2. Metode Penambangan........................................... 72.1.3. Dampak Penambangan Bauksit Terhadap

    Lingkungan Perairan .............................................. 82.2. Budidaya Laut .................................................................. 92.3. Daya Dukung Lingkungan untuk Budidaya Laut ................ 10

    2.3.1. Parameter Fisika.................................................... 112.3.2. Parameter Kimia .................................................... 142.3.3. Parameter Biologi................................................... 182.3.4. Logam Berat .......................................................... 19

    2.4. Saprobitas ........................................................................ 21

    BAB III MATERI DAN METODE ............................................................ 263.1. Wilayah Penelitian ............................................................ 263.2. Pengumpulan Data............................................................ 26

    3.2.1. Jenis dan Sumber Data.......................................... 263.2.2. Metode Pengumpulan Data.................................... 27

    3.3. Analisis Data .................................................................... 343.3.1. Kualitas Air dan Kesesuaian Lokasi Untuk

    Budidaya Laut ....................................................... 343.3.2. Distribusi Spasial Polutan ...................................... 373.3.3. Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Laut

    Berdasarkan Sebaran Polutan .............................. 38

  • ix

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 394.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................. 394.2. Hasil .................................................................................. 41

    4.2.1. Kualitas Air dan dan Kesesuaian Lokasi UntukBudidaya Laut ........................................................ 41

    4.2.2. Distribusi Spasial Polutan....................................... 584.2.3. Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Laut

    Berdasarkan Sebaran Polutan ............................... 654.3. Pembahasan .................................................................... 67

    4.3.1. Kualitas Air dan Kesesuaian Lokasi UntukBudidaya Laut ........................................................ 67

    4.3.2. Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya LautBerdasarkan Sebaran Polutan ............................... 74

    4.3.3. Strategi Pengelolaan Sumberdaya yang Optimaldan Berkelanjutan .................................................. 76

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 794.1. Kesimpulan ...................................................................... 794.2. Saran ................................................................................ 80

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 81LAMPIRAN .................................................................................................. 63RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ 67

  • xDAFTAR TABEL

    Tabel 2.1. Baku Mutu Kualitas Air Untuk Kegiatan Budidaya Laut .............. 11

    Tabel 2.2. Kriteria Tingkat Saprobitas Perairan ........................................... 23

    Tabel 2.3. Organisme Penyusun Kelompok Saprobitas............................... 24

    Tabel 3.1. Jenis Data dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian 26

    Tabel 3.2. Klasifikasi Hubungan Indeks Keanekaragaman Shannon -

    Wiener dan Pencemaran Perairan.............................................. 30

    Tabel 3.3. Sistem Penilaian Kesesuaian Perairan untuk Lokasi Budidaya

    Laut ............................................................................................ 35

    Tabel 3.4. Sistem Penilaian Sebaran Polutan.............................................. 37

    Tabel 4.1. Data Parameter Fisika Perairan Lokasi Penelitian ...................... 42

    Tabel 4.2. Data Pengamatan Parameter Kimia Lokasi Penelitian................ 47

    Tabel 4.3. Jenis, Kelimpahan, Indeks Keanekaragaman dan Indeks

    Keseragaman Plankton di Lokasi Penelitian ............................... 52

    Tabel 4.4. Jenis, Kelimpahan, Indeks Keanekaragaman dan Indeks

    Keseragaman Bentos di Lokasi Penelitian.................................. 53

    Tabel 4.5. Hasil Perhitungan Rata-Rata SI dan TSI di Perairan Pulau

    Selayar ....................................................................................... 54

    Tabel 4.6. Hasil analisis logam berat lokasi penelitian................................. 58

  • xi

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1.1. Kerangka Penelitian .............................................................. 6

    Gambar 3.1. Peta Area Penelitian ............................................................. 32

    Gambar 3.2. Peta Lokasi Pengambilan Sampel.......................................... 33

    Gambar 4.1. Peta Kesesuain Parameter Suhu ........................................... 44

    Gambar 4.2. Peta Kesesuain Parameter TSS ............................................ 45

    Gambar 4.3. Peta Kesesuain Parameter Arus ............................................ 46

    Gambar 4.4. Peta Kesesuain Parameter pH............................................... 49

    Gambar 4.5. Peta Kesesuain Parameter DO .............................................. 50

    Gambar 4.6. Peta Kesesuain Parameter Salinitas ...................................... 51

    Gambar 4.7. Peta Kesesuaian Lahan untuk Budidaya................................ 57

    Gambar 4.8. Peta Sebaran Polutan BOD ................................................... 60

    Gambar 4.9. Peta Sebaran Polutan COD ................................................... 61

    Gambar 4.10. Peta Sebaran Polutan Nitrat (NO3-N) ..................................... 62

    Gambar 4.11. Peta Sebaran Polutan Timbal (Pb)......................................... 63

    Gambar 4.12. Peta Sebaran Polutan Senk (Zn) ........................................... 64

    Gambar 4.13. Overlay Kesesuaian Lahan dan Distribusi Polutan ................. 66

    Gambar 4.14. Kondisi Lahan Pertambangan di Lokasi Penelitian ................. 68

  • 1BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Sumberdaya alam merupakan salah satu modal dasar dalam

    pembangunan nasional sehingga pemanfaatan sebesar-besarnya untuk

    kepentingan rakyat. Pemanfaatan ini harus diikuti dengan komitmen untuk

    menjaga kelestarian hidup lingkungan sekitar. Dalam kenyataannya, aktivitas

    sektor-sektor pertambangan sering memunculkan masalah berupa penurunan

    kualitas lingkungan. Tahapan kegiatan eksplorasi, eksploitasi, dan

    pengolahan/pemurnian mineral/ bahan tambang harus memperhatikan

    keterjagaan lingkungan sekitar (Asad, 2005).

    Pulau Selayar Kepulauan Lingga merupakan salah satu wilayah dengan

    potensi sumber mineral bumi dan bahan galian yang tinggi salah satunya bauksit.

    Semakin pesatnya kegiatan penambangan bauksit memberikan dampak

    terhadap kualitas lingkungan pantai dan daya dukung lingkungan perairan untuk

    kegiatan budidaya laut.

    Kajian dampak pertambangan bauksit di Kepulauan Lingga yang

    dilaksanakan LIPI pada tahun 2010 menyimpulkan bahwa terdapat korelasi

    antara perubahan tingkat kekeruhan perairan pantai akibat kegiatan

    pertambangan bauksit. Di samping menurunnya kualitas lingkungan perairan

    pantai, terdapat beberapa dampak sosial masyarakat salah satunya adalah

    nelayan tradisional yang menurun pendapatannya.

    Menurut Kajian Pengembangan Potensi Budidaya Laut LIPI tahun 2010

    menyimpulkan bahwa Kepulauan Lingga memiliki potensi dikembangkannya

  • 2keramba jaring apung (KJA), keramba jaring tancap (KJT), rumput laut, dan

    teripang. Keseluruhan lokasi budidaya di Kepulauan Lingga mencapai 2.759,16

    4.204,76 ha (maksimal).

    Dahuri (2004) indikator lingkungan perairan ditinjau dari keberlanjutan

    perairan dalam rangka mendukung peningkatan potensi perikanan, diantaranya

    adalah tersedianya kualitas air perairan pesisir dengan parameter kualitas air

    yang tidak melewati nilai ambang batas baku mutu yang ditetapkan, ataupun

    toleransi organisma perairan.

    Ditambahkan Kangkan (2006) bahwa pemilihan lokasi yang tepat

    merupakan hal yang sangat menentukan, mengingat kegagalan dalam pemilihan

    lokasi akan berakibat resiko yang permanen dalam kegiatan produksi. Untuk

    memperoleh hasil yang memuaskan, harus dipilih lokasi yang sesuai dengan

    karakteristik biofisik (persyaratan hidup) bagi jenis ikan yang dibudidayakan.

    Salah satu syarat pemilihan lokasi budidaya adalah perairan harus benar-benar

    bebas dari pencemaran baik industri maupun rumah tangga.

    1.2. Perumusan Masalah

    Menurut Mindasari (2007) dampak nyata kegiatan pertambangan berupa

    perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi lahan tanpa vegetasi. Kondisi

    tersebut akan menghilangkan fungsi tumbuhan sebagai pengatur siklus hidrologi

    sehingga air hujan yang sampai di permukaan tanah akan mengalir menjadi

    aliran air permukaan (run off). Terkait dengan sifat material lepas dari biji bauksit

    maka run off yang keluar dari area tambang mempunyai kekeruhan yang tinggi.

    Curah hujan yang tinggi turut berkontribusi meningkatkan besaran run off yang

    dihasilkan. Run off yang memiliki kekeruhan tinggi secara akumulatif memberikan

    masukan material tersuspensi ke perairan. Material tersebut selanjutnya masuk

  • 3pada kolom air dan mengalami proses dinamika perairan. Air menjadi tercemar

    dan dapat mengganggu organisme yang ada di dalamnya.

    Kegiatan budidaya laut dapat berlangsung secara berkelanjutan apabila

    kondisi lingkungan perairan sesuai dengan kriteria-kriteria untuk pertumbuhan

    organisme yang akan dipelihara (Kangkan, 2006). Berlangsungnya kegiatan

    pertambangan secara terus menerus akan merubah kondisi perairan sebagai

    sumber air pasokan dan menjadi kebutuhan pokok bagi kegiatan budidaya.

    Organisme budidaya akan terganggu dikarenakan parameter kimia, fisika dan

    biologi yang mendukung kehidupan telah melewati nilai ambang batas baku mutu

    yang ditetapkan.

    Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah

    penelitian sebagai berikut :

    1. Bagaimana kondisi kualitas perairan pantai pulau Selayar dan daya dukung

    nya terhadap kegiatan budidaya laut di perairan Pulau Selayar?

    2. Bagaimana sebaran polutan yang ada di perairan pulau Selayar akibat

    kegiatan pertambangan bijih bauksit di wilayah perairan Pulau Selayar?

    3. Bagaimana metode pengelolaan yang optimal dan berkelanjutan antara

    kegiatan pertambangan dan budidaya laut di Pulau Selayar dan perairan

    sekitarnya?

    1.3. Tujuan Penelitian

    Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

    1. Mengkaji kualitas perairan pantai dan daya dukung kegiatan budidaya laut di

    wilayah perairan pulau Selayar,

    2. Mengkaji sebaran polutan yang ada di perairan pulau Selayar akibat

    kegiatan pertambangan bijih bauksit di wilayah perairan Pulau Selayar;

  • 43. Merumuskan metode pengelolaan yang optimal dan berkelanjutan antara

    kegiatan pertambangan dan budidaya laut di Pulau Selayar.

    1.4. Manfaat Penelitian

    Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

    1. Melalui kajian yang telah dilakukan diperoleh informasi mengenai kualitas air

    perairan serta dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan

    sehingga diperoleh lokasi-lokasi yang sesuai untuk kegiatan budidaya laut.

    2. Melalui kajian yang telah dilakukan diperoleh strategi untuk mengatasi

    permasalah yang diakibatkan oleh kegiatan pertambangan dalam upaya

    pemanfaatan untuk kegiatan budidaya laut.

    1.5. Kerangka Pemikiran

    Pulau selayar merupakan salah satu pulau kecil yang memiliki potensi

    pemanfaatan yang beragam. Jenis pemanfaatan yang telah dilakukan di pulau

    selayar yaitu kegiatan pertambangan dan budidaya laut. Pertambangan yang

    terdapat di pulau selayar meliputi bermacam-macam bahan tambang, salah

    satunya kegiatan pertambangan bauksit. Kegiatan pertambangan ini baik secara

    langsung maupun tidak langsung memberikan dampak terhadap kegiatan

    budidaya. Kegiatan pertambangan meliputi pembukaan lahan, penambangan/

    penggalian bahan tambang, hingga pencucian bahan tambang akan merubah

    kondisi daratan dan pada akhirnya akan berdampak pada kondisi lingkungan

    perairan. Dampak kegiatan pertambangan terhadap perairan yaitu meningkatnya

    kekeruhan perairan. Kondisi tersebut akan merubah kondisi kualitas lingkungan

    perairan di daerah aliran sungai dan pada akhirnya akan terbawa ke laut dimana

    kegiatan budidaya dilaksanakan. Kesesuaian kualitas lingkungan perairan

    mengalami perubahan akibat adanya peningkatan input sedimen dan bahan-

  • 5bahan buangan dari kegiatan pertambangan. Sehingga, perlu dilakukan kajian

    mengenai daya dukung kualitas lingkungan perairan pulau Selayar untuk

    kegiatan budidaya. Penurunan kualitas lingkungan perairan yang menyebabkan

    ketidaksesuaian perairan untuk kegiatan budidaya memerlukan upaya

    pengelolaan agar kegiatan budidaya yang ada di perairan tersebut dapat tetap

    berjalan. Pengelolaan yang perlu dilakukan meliputi pengelolaan kawasan darat

    dan kawasan laut. Dengan adanya pengelolaan yang sesuai diharapkan dapat

    diperoleh tingkat pemanfaatan yang optimal di pulau Selayar.

    Gambaran alur pemikiran penelitian dapat dijelaskan dalam diagram alir

    sebagaimana disajikan pada Gambar 1.1

  • 6Gambar 1.1. Kerangka Penelitian

  • 7BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Penambangan Bijih Bauksit

    2.1.1 Potensi Daerah Penambangan Bauksit

    Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai sumber daya

    alam yang melimpah, baik itu sumber daya alam hayati maupun sumber daya

    alam non-hayati. Sumber daya mineral merupakan salah satu jenis sumber daya

    non-hayati yang jenisnya antara lain : minyak bumi, emas, batu bara, perak,

    timah, dan lain-lain. Sumber daya itu diambil dan dimanfaatkan untuk

    meningkatkan kesejahteraan manusia (Ahyani 2011).

    Bauksit merupakan bahan heterogen yang mempunyai mineral dengan

    susunan terutama dari oksida aluminium, yaitu berupa mineral buhmit

    (Al2O3.H2O) dan mineral gibsit (Al2O3.3H2O) (BLH Kepri, 2012). Bijih bauksit

    banyak ditemukan di daerah tropika dan sub-tropika yang memungkinkan

    terjadinya proses pelapukan yang sangat kuat. Bauksit terbentuk dari batuan

    sedimen yang mempunyai kadar Al nisbi tinggi, kadar Fe rendah dan kadar

    kuarsa (SiO2) bebasnya sedikit atau bahkan tidak mengandung sama sekali

    (Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010).

    2.1.2. Metode Penambangan

    Sistem penambangan didominasi oleh sistem tambang terbuka (surface

    mining) dengan metoda penambangan (open cash dan/atau atau open pit) yang

    dilakukan secara berjenjang (benching). Penggalian dilakukan bertahap dari

    elevasi yang paling tinggi ke elevasi yang rendah sampai kedalaman batas

    penambangan yang telah ditentukan. Kemajuan penambangan bauksit

  • 8selanjutnya akan mengikuti arah penyebaran lapisan bauksit pada setiap open

    cut yang akan ditambang (BLH Kepri, 2012).

    Aktivitas penambangan dengan sistem tambang terbuka minimal terdiri

    dari 4 (empat) tahapan kegiatan, yakni: tahap persiapan (development), dimulai

    sejak dari pembersihan lahan (land clearing) dan pengupasan tanah penutup

    (stripping of overburden) hingga pembangunan infrastruktur. Tahap

    penambangan terdiri dari penggalian, pemuatan, pengangkutan, penampungan

    menuju ke (stockpile), reduksi ukuran besar butir, pencampuran (mixing) dan

    pencucian. Tahap pemasaran : pemuatan dan pengapalan (Pusat Penelitian

    Geoteknologi LIPI, 2010).

    2.1.3. Dampak Penambangan Bauksit Terhadap Lingkungan Perairan

    Kegiatan pertambangan menyebabkan kerusakan ekosistem hutan.

    Indikasi awal kerusakan yang dimaksud adalah banyaknya lahan yang dibiarkan

    terbuka tanpa vegetasi. Keadaan ini mengakibatkan berkurangnya laju infiltirasi

    tanah. Jika kondisi ini didukung oleh curah hujan yang tinggi, dapat

    menyebabkan berkurangnya kapasitas tanah untuk menyimpan air. Akibatnya

    tanah tererosi dan sebagian besar hujan menjadi aliran permukaan. Intensitas

    aliran permukaan yang tinggi akan membawa partikel-partikel tanah ke dalam

    aliran sungai (Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010).

    Kegiatan penambangan dapat mempengaruhi sifat fisika, kimia, dan

    biologi tanah melalui pengupasan tanah lapisan atas, penambangan, pencucian,

    serta tailing. Penambangan rakyat mengakibatkan kerusakan lingkungan seperti

    tanah longsor atau erosi karena hilangnya vegetasi penutup lahan serta

    terjadinya pendangkalan dan perubahan kekeruhan perairan yang

  • 9mempengaruhi kehidupan organisme di perairan yang ada di sekitar daerah

    penambangan (BLH Kepri, 2012).

    Masalah lain dalam pertambangan bauskit adalah limbah tambang

    terbuka yaitu overburden dan limbah dari proses pengolahan bahan tambang

    yang disebut tailing (Soehoed , 2005). BLH (2012) menjelaskan, overburden

    adalah batuan dari tambang terbuka yang harus disisihkan terlebih dahulu untuk

    mencapai cebakan yang kadar logamnya cukup tinggi. Batuan penutup

    dilepaskan dengan cara peledakan pada kedalaman tertentu dan umumnya

    batuan ini tidak mengandung logam. Sedangkan tailing adalah sisa batuan bijih /

    mineral yang sudah diolah dan dibuang sebagai limbah.

    2.2. Budidaya Laut

    Perikanan budidaya adalah usaha manipulasi yang dilakukan oleh

    manusia pada suatu perairan sebelum di panen (Widowati, 2004). Budidaya laut

    baru dimulai awal tahun 1980-an sehingga tingkat pemanfaatannya masih sangat

    rendah. Produksi yang dicapai masih belum optimal dibandingkan dengan

    potensi yang ada di perairan laut dan pantai. Kegiatan budidaya laut (marine

    culture) merupakan salah satu kegiatan budidaya ikan untuk memanfaatkan

    potensi kekayaan laut secara produkif. Beberapa jenis organisme yang dapat

    dibudidayakan diantara dari jenis ikan, kerang-kerangan dan rumput laut (Dahuri,

    2004). Jenis ikan laut yang dibudidayakan dilokasi penelitian antara lain ikan

    kerapu, kakap dan baronang.

    Perikanan budidaya dapat dilakukan dengan pemanfaatan

    pengembangan budidaya melalui kegiatan pembenihan, penyiapan prasarana,

    pembudidayaan, pembuatan pakan buatan dan industrinya, pengelolaan

  • 10

    kesehatan ikan dan lingkungan, industri pengolahan dan pemasaran hasil

    budidaya (Rejeki, 2011).

    2.3. Daya Dukung Lingkungan untuk Budidaya Laut

    Daya dukung lingkungan perairan adalah suatu yang berhubungan erat

    dengan produktivitas perairan, sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan

    oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam

    suatu kesatuan ekosistem. Daya dukung (carrying capacity) merupakan areal

    dimana populasi organisme akuatik akan ditunjang oleh kawasan atau volume

    perairan tanpa mengalami penurunan mutu atau deteriorasi (Erlina, 2006).

    Kangkan (2006) menyatakan daya dukung lahan pesisir ditentukan oleh

    mutu dan sumber air (asin dan tawar), arus dan pasang surut (hidro-

    oceanografi), topografi, klimatologi daerah pesisir dan hulu. Erlina (2006)

    membagi daya dukung lingkungan menjadi dua yaitu daya dukung ekologis

    (ecological carrying capacity) dan daya dukung ekonomi (economic carrying

    capacity). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum organisme dalam

    suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor

    kepadatan maupun terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen

    (irreversible). Hal ini ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan seperti suhu,

    pH,salinitas, CO2 dan parameter kualitas air lainnya.

    Secara singkat kriteria kualitas air untuk lokasi budidaya laut dapat dilihat

    pada Tabel 2.1.

  • 11

    Tabel 2.1. Baku Mutu Kualitas Air Untuk Kegiatan Budidaya LautParameter Kisaran Nilai Sumber

    Fisika

    Arus 30 50 cm/det

    Suhu 27 32 oC Widowati, 2004

    TSS < 25 mg/l DKP, 2002

    TDS 1000 DKP, 2002

    Kedalaman 5 25 m DKP, 2002

    Kimia

    DO 5 mg/l Effendi, 2003 BOD 20 mg/l Gufron dan Kordi (2005

    COD 50 mg/l Gufron dan Kordi (2005

    pH 6,5 8,5 DKP, 2002

    Salinitas 30 35 ppt DKP, 2002

    Nitrat 0,9 3,2 mg/l DKP, 2002

    Logam Berat

    Timbal 0,2 mg/ l DKP, 2002

    Cromium 0,005 mg/ l DKP, 2002

    Cadmium 0,001 mg/ l DKP, 2002

    Tembaga 0.23-0.8 mg/ l DKP, 2002

    2.3.1. Parameter Fisika

    2.3.1.1. Arus

    Penyebaran kualitas air di badan air penerima, baik sungai, waduk dan

    laut, sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus dan debit air. Semakin cepat arus

    dan semakin besar debit air maka penyebaran kualitas air semakin cepat dan

    semakin luas (Ghufron dan Kordi, 2005). Arus laut jauh lebih rumit karena

    adanya gaya Coriolis, yakni gaya yang diakibatkan oleh perputaran bumi dan

    adanya pasang surut yang dipengaruhi oleh gaya tarik bulan (Hardjojo dan

    Djokosetiyanto, 2005).

  • 12

    Arus mempunyai pengaruh positif dan negatif bagi kehidupan biota

    perairan (Hartami, 2008). Arus dapat menyebabkan ausnya jaringan jazad hidup

    akibat pengikisan atau teraduknya substrat dasar berlumpur yang berakibat pada

    kekeruhan sehingga terhambatnya fotosintesa. Pada saat yang lain, manfaat dari

    arus adalah menyuplai makanan, kelarutan oksigen, penyebaran plankton dan

    penghilangan CO2 maupun sisa-sisa produk biota laut (Ghufron dan Kordi, 2005).

    2.3.1.2. Suhu Air

    Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa suhu air normal

    adalah suhu air yang memungkinkan makhluk hidup dapat melakukan

    metabolisme dan berkembangbiak. Suhu merupakan faktor fisik yang sangat

    penting di air, karena bersama-sama dengan zat/unsur yang terkandung

    didalamnya akan menentukan massa jenis air, dan bersama-sama dengan

    tekanan dapat digunakan untuk menentukan densitas air.

    Perubahan suhu mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai

    habitat organisme akuatik, karena setiap organisme akuatik mempunyai batas

    kisaran maksimum dan minimum. Organisme akan hidup baik pada kisaran suhu

    optimal. Suhu juga bervariasi secara vertikal, perairan permukaan mempunyai

    kisaran yang terbesar, dan perairan yang lebih dalam kisaran suhunya lebih

    kecil. Pada estuaria dengan salinitas tertinggi, perbedaan suhu vertikal ini juga

    memperlihatkan kenyataan bahwa perairan permukaan didominasi air tawar,

    sedangkan perairan yang lebih dalam didominasi atau seluruhnya terdiri dari air

    laut (Erlina, 2006).

  • 13

    2.3.1.3. Padatan Tersuspensi (TSS)

    Padatan tersuspensi adalah bahan-bahan yang tersuspensi ( > 1 m),

    yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0.45 m.

    Keberadaan muatan padatan tersuspensi di perairan dapat berupa pasir, lumpur,

    tanah liat, koloid serta bahan-bahan organik seperti plankton dan organisme lain

    (Kamlasi, 2008).

    Padatan tersupensi dalam air umumnya diperlukan untuk penentuan

    produktivitas dan mengetahui norma air yang dimaksud dengan jalan mengukur

    dengan berbagai periode. Suatu kenaikan mendadak, padatan tersuspensi dapat

    ditafsir dari erosi tanah akibat hujan. Pergerakan air berupa arus pasang akan

    mampu mengaduk sedimen yang ada (Erlangga, 2007). TSS berasal dari zat

    organik dan anorganik. Komponen organik terdiri dari fitoplankton, zooplankton,

    bakteri dan organisme renik lainnya, sedangkan komponen anorganik terdiri dari

    detritus dan partikel-partikel anorganik.

    2.3.1.4. Padatan Terlarut (TDS)

    Total padatan terlarut merupakan bahan-bahan terlarut dalam air yang

    tidak tersaring dengan kertas saring millipore dengan ukuran pori 0,45 m.

    Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang terlarut

    dalam air, mineral dan garam-garamnya (Hartami, 2008). Penyebab utama

    terjadinya TDS adalah bahan anorganik berupa ion-ion yang umum dijumpai di

    perairan. Sebagai contoh air buangan sering mengandung molekul sabun,

    deterjen dan surfaktan yang larut air, misalnya pada air buangan rumah tangga

    dan industri pencucian (Marganof, 2007).

    TDS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena

    tersaring oleh insang. Menurut Hartami (2008), padatan tersuspensi akan

  • 14

    mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi

    oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga semakin meningkat.

    2.3.1.5. Kedalaman

    Kedalaman perairan merupakan faktor yang diperlukan dalam kegiatan

    baik terhadap organisme yang membutuhkan kedalaman rendah sampai cukup

    dalam (Wibisono, 2005). Beberapa kultivan seperti rumput laut membutuhkan

    perairan yang tidak terlalu dalam dibandingkan dengan budidaya ikan kerapu

    dan tiram mutiara. Ikan kerapu sangat tergantung dari pakan buatan (artificial

    food), maka untuk menjaga terakumulasinya sisa pakan pada dasar perairan,

    diharapkan ada perbedaan jarak antara dasar perairan dengan dasar jaring

    (Kangkan, 2006).

    2.3.2. Parameter Kimia

    2.3.2.1. Dissolved Oxygen/ Oksigen Terlarut (DO)

    Pada perairan yang terbuka, oksigen terlarut berada pada kondisi alami,

    sehingga jarang dijumpai kondisi perairan terbuka yang miskin oksigen (Kamlasi,

    2008). Walaupun pada kondisi terbuka, kandungan oksigen perairan tidak sama

    dan bervariasi berdasarkan siklus, tempat dan musim. Kadar oksigen terlarut

    juga berfluktuasi secara harian, musiman, pencampuran masa air, pergerakan

    masa air, aktifitas fotosintesa, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air

    (Erilina, 2006). Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai dua kepentingan yaitu :

    kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang

    tergantung pada metabolisme ikan (Radisho, 2009).

    Kelarutan oksigen dalam air digunakan untuk respirasi organisme dan

    dekomposisi bahan organik dalam perairan. Kelarutan oksigen diperoleh dari

    difusi air dan hasil fotosintesa. Perubahan DO menyebabkan perubahan kondisi

  • 15

    lingkungan sehingga mengubah pengaturan metabolisme tubuh organisme

    secara langsung, sehingga DO dimasukkan sebagai faktor langsung (directive

    factor) (Erilina, 2006).

    2.3.2.2. BOD5

    BOD5 (Biochemical Oxygen Demand) atau kebutuhan oksigen

    menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup

    untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air Marganof

    (2007). Jika konsumsi oksigen tinggi yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya

    sisa oksigen terlarut, maka berarti kandungan bahan-bahan buangan yang

    membutuhkan oksigen tinggi (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).

    BOD5 merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu

    perairan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Perairan dengan nilai BOD5 tinggi

    mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh bahan organik (Hartami,

    2008). Bahan organik akan distabilkan secara biologi dengan melibatkan mikroba

    melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Oksidasi aerobik dapat

    menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan sampai pada

    tingkat terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob yang dapat

    mengakibatkan kematian organisme akuatik.

    2.3.2.3. Chemical Oxygen Demand (COD)

    Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa COD (Chemical

    Oxygen Demand) merupakan suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang

    dibutuhkan oleh bahan oksidan. Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan

    oksigen yang lebih tinggi dibandingkan uji BOD karena bahan-bahan yang stabil

    terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dengan uji

    COD.

  • 16

    Erlangga (2007) menggambarkan COD sebagai jumlah total oksigen yang

    dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat

    didegradasi secara biologi maupun yang sukar didegradasi menjadi CO2 dan

    H2O. Berdasarkan kemampuan oksidasi, penentuan nilai COD dianggap paling

    baik dalam menggambarkan keberadaan bahan organik baik yang dapat

    didekomposisi secara biologis maupun yang tidak (Hardjojo dan Djokosetiyanto,

    2005).

    Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organic

    yang secara alami dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis yang

    mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air. Sedangkan nilai COD

    dapat memberikan indikasi kemungkinan adanya pencemaran limbah industri di

    dalam perairan (Radisho, 2009).

    2.3.2.4. pH

    pH merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di

    dalam air, besarannya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H.

    Besaran pH berkisar antara 0 14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan

    lingkungan yang masam sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang

    basa, untuk pH = 7 disebut sebagai netral (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).

    pH air yang tidak optimal berpengaruh terhadap pertumbuhan dan

    perkembangbiakan ikan, menyebabkan tidak efektifnya pemupukan air di kolam

    dan meningkatkan daya racun hasil metabolisme seperti NH3 dan H2S (Radisho,

    2009). pH air berfluktuasi mengikuti kadar CO2 terlarut dan memiliki pola

    hubungan terbalik, semakin tinggi kandungan CO2 perairan, maka pH akan

    menurun dan demikian pula sebaliknya. Fluktuasi ini akan berkurang apabila air

    mengandung garam CaCO3.

  • 17

    2.3.2.5. Salinitas

    Salinitas adalah konsentrasi ion yang terdapat diperairan. Salinitas

    menggambarkan padatan total di air setelah semua karbonat dikonversi menjadi

    oksida, semua bromida dan iodida digantikan dengan klorida dan semua bahan

    organik telah dioksidasi (Radisho, 2009). Salinitas air laut bebas mempunyai

    kisaran 30-36 ppt sedangkan daerah pantai mempunyai variasi salinitas yang

    lebih besar. Semua organisme dalam perairan dapat hidup pada perairan yang

    mempunyai perubahan salinitas kecil (Hartami, 2008).

    Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa salinitas adalah

    berat garam dalam gram per kilogram air laut serta merupakan ukuran keasinan

    air laut dengan satuan pro mil (0/00), salinitas merupakan parameter penunjuk

    jumlah bahan terlarut dalam air.

    Salinitas sangat berpengaruh dalam proses osmoregulasi organisme

    perairan, salinitas yang terlalu tinggi dan terlalu rendah dapat mengakibatkan

    terganggunya tekanan osmotik kultivan (Hartami, 2008).

    2.3.2.6. Nitrat (N-NO3)

    Nitrat adalah sumber nitrogen yang penting bagi fitoplankton baik di

    perairan laut maupun di perairan air tawar (Haumau, 2005). Nutrien ini digunakan

    dalam beberapa proses seperti fotosintesis, sintesa protein dan penyusun gen

    serta pertumbuhan organisme (Erlangga, 2007). Erlina (2006) menyatakan

    bahwa nitrogen dan kemungkinan besar merupakan faktor pembatas bagi

    pertumbuhan fitoplankton. Phosphat merupakan salah satu unsur hara yang

    potensial dalam pembentukan protein dan metabolisme sel. Kandungan

    orthophosphat yang terlarut dalam air dapat menunjukkan kesuburan perairan.

  • 18

    Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat

    merupakan salah satu nutrien senyawa yang penting dalam sintesa protein

    hewan dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat

    menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila

    didukung oleh ketersediaan nutrient (Erlina, 2006).

    2.3.3. Parameter Biologi

    2.3.3.1. Plankton

    Plankton merupakan organisme pelagik yang mengapung atau bergerak

    mengikuti arus, terdiri atas dua tipe yakni fitoplankton dan zooplankton. Plankton

    mempunyai peranan penting dalam ekosistem di laut, karena menjadi bahan

    makanan bagi berbagai jenis hewan laut (Hartami, 2008).

    Fitoplankton hanya dapat hidup di tempat yang mempunyai sinar yang

    cukup, sehingga fitoplankton hanya dijumpai pada lapisan permukaan air atau

    daerah-daerah yang kaya akan nutrien (Erlina, 2006). Fitoplankton sebagai

    pakan alami mempunyai peran ganda, yakni berfungsi sebagai penyangga

    kualitas air dan dasar dalam rantai makanan di perairan atau yang disebut

    produsen primer (Haumau, 2005).

    2.3.3.2. Benthos

    Benthos adalah biota yang hidup di atas atau di dalam sedimen dasar

    perairan. Pada umumnya hewan benthos digunakan dalam studi lingkungan,

    terutama yang berkaitan dengan kajian pencemaran bahan organik

    (Supriharyono, 2004), dan biasanya yang dianalisis adalah yang berukuran

    makro (> 1 mm), sehingga disebut makrozoobenthos. Selain itu tingkat

    keanekaragaman yang terdapat di lingkungan perairan dapat digunakan sebagai

  • 19

    indikator pencemaran. bentos seringkali digunakan sebagai petunjuk bagi

    penilaian kualitas air (Erlangga, 2007).

    Penyebaran komunitas bentos ditentukan oleh sifat fisika, kimia dan

    biologi perairan (Sumarto, 2005). Sifat fisik perairan seperti kedalaman,

    kecepatan arus, warna, kecerahan dan suhu air. Sifat kimia perairan antara lain,

    kandungan gas terlarut, bahan organik, pH, kandungan hara dan faktor biologi

    yang berpengaruh adalah komposisi jenis hewan dalam perairan diantaranya

    adalah produsen yang merupakan sumber makanan bagi hewan bentos dan

    hewan predator yang akan mempengaruhi kelimpahan bentos (Supriharyono,

    2004).

    2.3.4. Logam Berat

    Logam adalah unsur alam yang dapat diperoleh dari laut, erosi batuan

    tambang, vulkanisme dan sebagainya (Radisho, 2009). Logam berat biasanya

    erat kaitannya dengan masalah pencemaran dan toksisitas (Alamsyah. 2009).

    Pencemaran yang dapat menghancurkan tatanan lingkungan hidup, biasanya

    berasal dari limbah-limbah yang sangat berbahaya dalam arti memiliki daya

    racun (toksisitas) yang tinggi (Suryanto, 2007).

    Logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui

    beberapa jalan, yaitu: saluran pernafasan, pencernaan dan penetrasi melalui

    kulit Alamsyah (2009), Di dalam tubuh hewan logam diabsorpsi darah berikatan

    dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh.

    Akumulasi logam yang tertinggi biasanya dalam detoksikasi (hati) dan ekskresi

    (ginjal).

    Konsentrasi bahan pencemar yang masuk ke perairan bisa

    mempengaruhi kehidupan organisme terutama yang menjadi topik disini adalah

  • 20

    spesies ikan. Salah satu jenis unsur kimia yang bisa menyebabkan terjadi

    kerusakan ekosistem perairan adalah unsur logam berat (Alamsyah, 2009).

    Logam Pb secara alami tersebar luas pada batu-batuan dan lapisan kerak

    bumi. Logam ini termasuk ke dalam kelompok logam-logam golongan IV-A

    dengan nomor atom 82 dan bobot 207,2. Penyebaran Pb di bumi sangat sedikit

    yaitu 0,0002 % dari seluruh lapisan bumi. Logam Pb terdapat di perairan baik

    secara alamiah ataupun sebagai dampak dari aktifitas manusia. Logam ini masuk

    ke perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Di

    samping itu, proses korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan gelombang

    dan angin, juga merupakan salah satu jalur sumber Pb yang akan masuk ke

    dalam perairan (Palar, 2004). Konsentrasi Pb yang mencapai 188 mg/l, dapat

    membunuh ikan. Sedangkan krustase setelah 245 jam akan mengalami

    kematian, apabila pada badan air konsentrasi Pb adalah 2,75 - 49 mg/l

    (Alamsyah, 2009).

    Toksisitas unsur Cr terhadap organisme perairan tergantung pada bentuk

    kromium, bilangan oksidasinya, dan pH. Penurunan pH dan kenaikan suhu dapat

    meningkatkan toksisistas Cr6+ terhadap organisme air. Toksisitas Cr6+ lebih

    besar daripada toksisitas Cr 3+. Cr 6+ yang larut di dalam air sebagian besar

    diserap oleh ikan melalui insang sehingga akumulasinya paling banyak

    didapatkan pada insang daripada organ lainnya. Kadar kromium pada perairan

    tawar biasanya kurang dari 0,001 mg/l dan pada perairan laut sekitar 0,00005

    mg/l (Alamsyah, 2009).

    Kadar kromium yang diperkirakan aman bagi kehidupan akuatik adalah

    sekitar 0,05 mg/l (Alamsyah, 2009). Kadar kromium 0,1 mg/l dianggap berbahaya

    bagi kehidupan organisme laut . Kadar maksimum kromium untuk keperluan air

  • 21

    baku air minum dan kegiatan perikanan menurut Peraturan Pemerintah No. 82

    tahun 2001 adalah sebesar 0,05 mg/l.

    Kadmium merupakan logam lunak (ductile) berwarna putih perak dan

    mudah teroksidasi oleh udara bebas dan gas amonia (NH3) (Radisho, 2009).

    Dalam biota perairan jumlah logam yang terakumulasi akan terus mengalami

    peningkatan (biomagnifikasi) dan dalam rantai makanan biota yang tertinggi akan

    mengalami akumulasi Cd yang lebih banyak (Palar, 2004).

    Tembaga (Cu) termasuk logam berat essensial karena keberadaannya

    dalam tubuh sangat sedikit namun diperlukan dalam proses fisiologis organisme.

    Walaupun dibutuhkan tubuh dalam jumlah sedikit, kelebihan dapat mengganggu

    kesehatan atau mengakibatkan keracunan (Alamsyah, 2009). Tembaga

    dimanfaatkan dalam proses pertmbuhan, metabolisme, dan aktivitas enzim pada

    berbagai jenis alga, cyanobakteria, dan organisme perairan lainnya. Namun jika

    konsentrasi Cu pada suatu perairan tinggi, maka akan menyebabkan

    terhambatnya pertumbuhan organisme perairan (Alamsyah, 2009). Pada

    perairan alami, kadar tembaga biasanya < 0,02 mg/L. Berdasarkan Keputusan

    Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, Tentang Baku Mutu Air

    Laut, konsentrasi tembaga yang diperbolehkan untuk biota laut adalah 0,008

    mg/L.

    2.4. Saprobitas

    Saprobitas perairan adalah keadaan kualitas air yang diakibatkan adanya

    penambahan bahan organik dalam suatu perairan yang biasanya indikatornya

    adalah jumlah dan susunan spesies dari organisme di dalam perairan tersebut.

    Lebih jelasnya saprobitas perairan diidentifikasi melalui analisa TROSAP. Analisa

    ini menitikberatkan kepada evaluasi parameter penyubur (Tropic Indicator) dan

  • 22

    parameter pencemar (Saprobic Indeks). Analisa trosap yang menggunakan

    dasar evaluasi parameter penyubur (Tropic Indikator) menunjukkan besarnya

    produktifitas primer sebagai hasil bioaktivitas organisme perairan.

    Sedangkan untuk parameter pencemar (Tropic Indikator) menunjukkan aktivitas

    dekomposisi dari dead organic matter bersama bio akumulasi jasad renik

    terhadap bahan pencemar.

    Sementara Pantle dan Buck (1955) dalam Zahidin (2008), menggolongkan

    tingkat saprobitas sebagai berikut :

    1. Polisaprobik, yaitu saprobitas perairan yang tingkat pencemarannya berat,

    sedikit atau tidak adanya oksigen terlarut (DO) di dalam perairan, populasi

    bakteri padat, dan H2S tinggi.

    2. - Mesosaprobik, yaitu saprobitas perairan yang tingkat

    pencemarannya sedang sampai dengan berat, kandungan oksigen

    terlarut (DO) di dalam perairan meningkat, tidak ada H2S, dan bakteri

    cukup tinggi.

    3. - Mesosaprobik, yaitu saprobitas perairan yang tingkat pencemarannya

    ringan sampai sedang, kandungan oksigen terlarut (DO) dalam perairan

    tinggi, bakteri sangat menurun, menghasilkan produk akhir nitrat.

    4. Oligrosaprobik, yaitu saprobitas perairan yang belum tercemar atau

    mempunyai tingkat pencemaran ringan, penguraian bahan organik

    sempurna, kandungan oksigen terlarut (DO) di dalam perairan tinggi, jumlah

    bakteri sangat rendah.

    Tingkat saprobitas perairan ditentukan berdasarkan nilai Saprobik Indeks

    (SI), Tropik Saprobik Indeks (TSI) (Lee et al (1987) dan Knobs (1978) dalam

    Zahidin (2008). Kriteria selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.2.

  • 23

    Tabel 2.2. Kriteria Tingkat Saprobitas PerairanNilai SI dan TSI Tingkat

    SaprobitasIndikasi

    < -3 s/d 2

    < -2 s/d 0,5

    0,5 s/d 1,5

    1,5 s/d 2,0

    Polisaprobik

    - Mesosaprobik

    - Mesosaprobik

    Oligosaprobik

    Pencemaran berat

    Pencemaran sedang sampai berat

    Pencemaran ringan sampai sedang

    Pencemaran ringan atau belum

    tercemar

    Organisme renik di perairan terdiri dari berbagai jenis plankton atau

    algae yang memiliki sifat yang khas sehingga memungkinkan hidup pada

    lingkungan tertentu. Jenis-jenis organisme saprobitas yang berada pada

    lingkungan tercemar akan berbeda satu dengan yang lainnya. Keadaan ini

    dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di perairan tersebut (Zahidin, 2008). Menurut

    Liebmann (1962) dalam Zahidin (2008) bahwa berdasarkan organisme

    penyusunnya, maka tingkat saprobitas dapat dibagi menjadi empat kelompok

    seperti dalam Tabel 2.3.

  • 24

    Tabel 2.3. Organisme Penyusun Kelompok SaprobitasKelompokSaprobitas

    Organisme PenyusunKelompok

    Polisaprobik

    1. Zoogla ramigera

    2. Sarcina paludosa

    3. Beggiota alba

    4. Streptococcus margariticus

    5. Sphaerotilus oxaliferum

    6. Chlorobacterium agregatum

    7. Ascilatoria putrida

    8. Spirullina jenneri

    9. Chromatum okenii

    10. Trigonomonas compresa

    11. Bodoputrisnus sp.

    12. Tubifex rivulorum

    13. Hexotrica caudate

    14. Acrhomatium oxaliferum

    15. Tetramitus pyriformis

    16. Euglena viridis

    17. Enchelys caudate

    18. Glaucoma scintilans

    19. Trimyema compresa

    20. Metopus sp.

    21. Saprodenium dentatum

    22. Vorticella microstoma

    23. Rotary neptunia

    24. Larva of eriscalis

    25. Colpidium colpoda

    26. Lamprocystis rose p.

    27. Bidullphia sp.

    28. Clamydomnas sp.

    29. Pelomixa palustris

    30. Chiromonas thummi

    31. Caenomopha medusula

    Kelompok

    -Mesosaprobik

    1. Lenamitus lacteus

    2. Oscillatoria Formosa

    3. Nitzschia palaea

    4. Chilomonas paramecium

    5. Hantzchia amphioxys

    6. Stephanodiscus sp.

    7. Stentor coerolus

    8. Spirostomum ambigum

    9. Spharium cornium

    10.Uronema marinum

    11.Chilodenella uncinata

    12.Closterium uncinata

    13.Closterium acresum

    14.Anthophsa vegetans

    15.Vorticella convalararis

    16.Stratomis chamaelon

    17.Herpobdella atomaria

    18.Coelastrum sp.

    19.Chaetoceros sp.

    20.Rhizosolenia sp.

    21.Navicula sp.

    22.Eudorina sp.

  • 25

    KelompokSaprobitas

    Organisme PenyusunKelompok

    -Mesosaprobik

    1. Asterionella Formosa

    2. Oscillatoria rubescens

    3. Oscillatoria redeksii

    4. Melosira varians

    5. Colleps hirtus

    6. Scenedesmus caudricaudata

    7. Aspesdisca lynceus

    8. Synura uvella

    9. Tabellaria fenestrate

    10. Paramecium bursaria

    11. Cladophora erispate

    12. Spyrogira crassa

    13. Polycelis cornuta

    14. Uroglena volvox

    15. Stylaria lacustris

    16. Hydropsyche lepida

    17. Cloendipterum larva

    18. Branchionus ureus

    19. Actyosphaerium

    20. Nauplius sp.

    21. Anabaena sp.

    22. Hidrocillus sp.

    23. Ceratium sp.

    Kelompok

    Oligosaprobik

    1. Cyclotella bodanica

    2. Synedra acus var.

    3. Holteria cirrivera

    4. Holopedium gebberum

    5. Tabellaria flocullosa

    6. Bibochaesta mirabilis

    7. Strombidinopsis sp.

    8. Staurastrum puntulatum

    9. Ulotrix zonata

    10. Vorticella nebulivera

    11. Clodophora glomera

    12. Eastrum oblongum

    13. Fontilus antipyrotica

    14. Planaria gonochepala

    15. Larva of oligoneura

    16. Larva of perla bipunctata

    17. Notholca longispina

    18. Skeletonema sp.

    19. Pinnularia sp.

  • 26

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    3.1. Wilayah Penelitian

    Wilayah penelitian meliputi wilayah perairan Pulau Selayar yang berada di

    dekat area pertambangan. Lokasi penelitian dan titik pengambilan sampel dapat

    dilihat pada Gambar 3.1 dan 3.2.

    3.2. Pengumpulan Data

    3.2.1. Jenis dan Sumber Data

    Data primer yang diamati dalam penelitian ini meliputi: parameter fisik,

    kimia, biologi dan logam berat. Sementara data sekunder yang digunakan dalam

    penelitian ini meliputi: peta rupabumi dan batimetri. Data-data tersebut dapat

    diperoleh dari berbagai sumber seperti yang tercantum pada Tabel 3.1.

    Tabel 3.1. Jenis Data dan Sumber Data yang Digunakan dalam PenelitianParameter Sumber Data Keterangan Alat Ketelitian

    Data PrimerFisika1. Suhu Pengambilan sampel In Situ Termometer C

    2. Kecerahan Pengambilan sampel In Situ Secchi disk m

    3. Kedalaman Pengambilan sampel In Situ Secchi disk m

    4. TSS Pengambilan sampel Laboratorium Gravimetrik mg/l

    5. TDS Pengambilan sampel Laboratorium Gravimetrik mg/l

    Kimia1. Salinitas Pengambilan sampel In Situ Refraktometer PSU

    2. pH Pengambilan sampel In Situ pH-meter -

    3. DO Pengambilan sampel In Situ DO-meter mg/l

    4. BOD5 Pengambilan sampel Laboratorium inkubasi mg/l

    5. Nitrat (NO3-N) Pengambilan sampel Laboratorium Spektofotometer mg/l

    6. COD Pengambilan sampel Laboratorium inkubasi mg/l

  • 27

    Parameter Sumber Data Keterangan Alat Ketelitian

    Logam Berat

    1. Cromium (Cr) Pengambilan sampel Laboratorium AAS mg/l

    2. Timbal (Pb) Pengambilan sampel Laboratorium AAS mg/l

    3. Cadmium (Cd Pengambilan sampel Laboratorium AAS mg/l

    4. Tembaga (Cu) Pengambilan sampel Laboratorium AAS mg/l

    5. Seng (Zn) Pengambilan sampel Laboratorium AAS mg/l

    6. Arsen (As) Pengambilan sampel Laboratorium AAS mg/l

    7. Raksa (Hg) Pengambilan sampel Laboratorium AAS mg/l

    Biologi1. Benthos Pengambilan sampel Laboratorium Grab Sampler

    2. Plankton Pengambilan sampel Laboratorium Plankton net

    Data Sekunder1. Peta Wilayah

    Kajian

    Peta Administrasi

    Kabupaten Lingga

    2. Batimetri Laut DISHIDROS

    3.2.2. Metode pengumpulan data

    Variabel biologi diamati untuk mengetahui kualitas perairan berdasarkan

    organisme yang ada dalam sistem perairan tersebut. Dalam penelitian ini

    variabel biologi yang diamati berupa struktur komunitas fitoplankton dan struktur

    komunitas makrobenthos.

    3.2.2.1. Plankton

    a. Kelimpahan plankton

    Perhitungan kelimpahan fitoplankton dilakukan untuk mengetahui berapa

    besar kelimpahan setiap genus tertentu yang ditemukan selama

    pengamatan. Nilai kelimpahan plankton dihitung dengan menggunakan

    rumus sebagai berikut (modifikasi Eaton et al. 1995).= 1

  • 28

    Keterangan :

    N : Kelimpahan plankton (sel/l)

    n : Jumlah plankton yang diamati (sel)

    Vr : Volume contoh air yang tersaring (ml)

    Vo : Volume air yang diamati (ml)

    Vs : Volume air yang disaring (ml)

    b. Indeks keanekaragaman (H)

    Indeks Keanekaragaman digunakan untuk melihat tingkat stabilitas suatu

    komunitas atau menunjukkan kondisi struktus komunitas dari

    keanekaragaman jumlah jenis organisme yang terdapat dalam suatu area.

    Nilai keanekaragaman jenis yang ada dalam komunitas perifiton dan

    fitoplankton diperoleh dari hasil perhitungan berdasarkan modifikasi Indeks

    Shannon-Wiener (Odum 1971), yaitu:

    = lnKeterangan :

    H : Indeks keanekaragaman

    pi : ni / N (proporsi jenis ke-i)

    ni : jumlah individu jenis ke-i

    N : jumlah total individu

    Kriteria:

    H

  • 29

    3.2.2.2. Benthos

    Makrozoobenthos hasil pengumpulan di lapangan diidentifikasi sampai

    tingkat famili dengan buku panduan / identifikasi jenis benthos. Untuk

    mempermudah proses identifiaksi digunakan kaca pembesar / LUV. Analisis data

    hasil pengamatan makro-zoobenthos dilakukan melalui :

    a. Penghitungan kepadatan jenis makrozoobenthos dilakukan untukmengetahui jumlah individu suatu jenis per stasiun (ind/m2). Rumus yang

    digunakan adalah (Odum, 1998) := 10.000Keterangan:

    K = Kepadatan makrozoobenthos (ind/m2)

    a = Jumlah makrozoobenthos yang dihitung (ind)

    b = Luas bukaan transek surber (20 x 20 cm2)

    Nilai 10.000 merupakan konversi dari cm2 ke m2

    b. Indeks keanekaragaman jenis (H)

    Kekayaan jenis makrozoobenthos di dalam sungai ditentukan dengan

    menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (Odum, 1998).

    Indeks ini juga dapat digunakan untuk mengetahui dan menilai tingkat

    pencemaran suatu perairan. Rumus perhitungannya adalah:

    = lnKeterangan:

    H = indeks keanekaragaman jenis

    N = Jumlah total individu

    ni = jumlah individu jenis ke-i

  • 30

    s = jumlah jenis

    Nilai H dari hasil perhitungan tersebut mencerminkan tingkat

    keanekaragaman, penyebaran dan stabilitas komunitas makrozoobenthos.

    Hubungan H dengan tingkat pencemaran perairan yaitu seperti :

    Tabel 3.2. Klasifikasi Hubungan Indeks Keanekaragaman Shannon Wienerdan Pencemaran Perairan

    Indeks Keanekaragaman (H) Tingkat pencemaran (kualitas lingkungan)

    > 3 Air Bersih

    1 - 3 Tercemar Sedang

    < 1 Tercemar Berat

    3.2.2.3. Saprobik Indeks (SI) dan Tingkat Saprobik Indeks (TSI)

    Untuk menghitung saprobitas perairan digunakan analisis trosap yang

    nilainya ditentukan dari Saprobik Indeks (SI) dan Tropik Saprobik Indeks (TSI).

    Formula yang digunakan adalah hasil formulasi Persone dan De Pauw (1983)

    dalam Zahidin (2008) := 1 + 3 + 1 31 + 1 + 1 + 1Keterangan :

    SI = Saprobik Indeks

    A = Jumlah Spesies Organisme Polysaprobik

    B = Jumlah Spesies Organisme -Mesosaprobik

    C = Jumlah Spesies Organisme -Mesosaprobik

    D = Jumlah Spesies Organisme Oligosaprobik

  • 31

    = 1( ) + 3( ) + 3( ) + + + +1( ) + 1( ) + 1( ) + 1( ) + + +Keterangan :

    N = Jumlah individu organisme pada setiap kelompok saprobitas

    nA = Jumlah individu penyusun kelompok Polysaprobik

    nB = Jumlah individu penyusun kelompok -Mesosaprobik

    nC = Jumlah individu penyusun kelompok -Mesosaprobik

    nD = Jumlah individu penyusun kelompok Oligosaprobik

    nE = Jumlah individu penyusun selain A, B, C dan D

  • 32

    Gambar 3.1 Peta Area Penelitian

  • 33

    Gambar 3.2. Peta Lokasi Pengambilan Sampel

  • 34

    3.3. Analisis Data

    3.3.1. Kualitas Air dan Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Laut

    Untuk mendapatkan kelas kesesuaian maka dibuat matrik kesesuaian

    perairan untuk parameter fisika, kimia dan biologi. Penyusunan matrik

    kesesuaian perairan merupakan dasar dari analisis keruangan melalui skoring

    dan faktor pembobot. Hasil skoring dan pembobotan di evaluasi sehingga

    didapat kelas kesesuaian yang menggambarkan tingkat kecocokan dari suatu

    bidang untuk penggunaan tertentu. Tingkat kesesuaian dibagi atas empat kelas

    yaitu :

    1. Kelas S1 : Sangat Sesuai

    Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan

    perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak

    berarti atau tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan

    tidak akan menaikan masukan atau tingkat perlakukan yang diberikan.

    2. Kelas S2 : cukup Sesuai

    Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang sangat berat untuk

    penggunaan secara berkelanjutan dan dapat menurunkan produktivitas atau

    keuntungan terhadap lahan ini. Pembatas ini akan meningkatkan masukan

    atau tingkat perlakuan yang diperlukan.

    3. Kelas N1 : Tidak Sesuai (Not Suitable)

    Daerah ini mempunyai pembatas permanen, sehingga mencegah segala

    kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut.

    Matrik kesesuaian perairan disusun melalui kajian pustaka sehingga

    diketahui variabel syarat yang dijadikan acuan dalam pemberian bobot. Karena

  • 35

    itu, variabel yang dianggap penting dan dominan menjadi dasar pertimbangan

    pemberian bobot yang lebih besar dan variabel yang kurang dominan.

    Tabel 3.3. Sistem Penilaian Kesesuaian Perairan untuk Lokasi Budidaya LautNo Parameter Bobot S1 Skor S2 Skor N1 Skor

    1 Arus (cm/det) 0,18 30-50 3 20-50-60 2 60 1

    2 Kedalaman (m) 0,18 < 25 3 25 -30 2 >30 1

    3 Oksigen (mg/l) 0,16 > 6 3 4-6 2

  • 36

    3. Pembobotan scoring (score Bob). Untuk parameter 1 sampai n,

    perhitungannya adalah sebagai berikut:= ( + . . +( )+4. Kesesuaian scoring (score Kes). Kriteria kesuain sebagai beriku terdiri dari:

    1) Sangat Sesuai apabila indeks kesesuaian >4,3; 2) Cukup Sesuai apabila

    indeks kesesuaian >3,7 4,3; dan 3) Tidak Sesuai apabila indeks

    kesesuaian 3 3,7

    Nilai indeks wilayah potensial untuk budidaya diperoleh dengan persamaan

    berikut : = + + + + + +Dimana :

    IWPT = indeks wilayah potensial untuk budidaya

    ITSS = indeks parameter TSS

    ISal = indeks parameter salinitas

    IS = indeks parameter suhu

    IOks = indeks parameter oksigen

    IpH = indeks parameter pH

    IAr = indeks parameter arus

    IKdl = indeks parameter kedalaman

    5. Pemetaan kelas kesesuaian lahan. Pemetaan kelas lahan dilakukan dengan

    program spasial. Untuk memetakan kawasan ketiga kelas lahan tersebut

    dilakukan operasi tumpang susun (overlaying) dari setiap tema yang dipakai

    sebagai kriteria. Hasil perkalian antara bobot dan skor yang diterima oleh

    masing-masing coverage tersebut disesuaikan berdasarkan tingkat

    kepentingannya terhadap penentuan kesesuaian budidaya. Hasil akhir dari

  • 37

    analisis SIG melalui pendekatan indeks overlay model adalah diperolehnya

    rangking (urutan) kelas kesesuaian lahan untuk budidaya tersebut.

    3.3.2. Distribusi Spasial Polutan

    Sebaran spasial polutan yang diperoleh dipetakan secara spasial dengan

    ArcGIS 9.3 (ArcMap). Hasil yang diperoleh adalah pola sebaran parameter

    polutan pada lokasi penelitian dan interpretasi dari nilai yang diperoleh di peta.

    Hasil interpolasi tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan kelas-kelas

    kesesuaian yang telah ditentukan sebelumnya.

    Untuk mendapatkan sebaran dari polutan maka dibuat matrik kesesuaian

    untuk parameter pencemar. Penyusunan matrik ini merupakan dasar dari analisis

    keruangan melalui skoring. Hasil skoring di evaluasi sehingga didapat kelas

    kesesuaian yang menggambarkan tingkat pencemran dari wilayah kajian. Baku

    mutu yang digunakan untuk menentukan sebaran polutan adalah Kepmen LH 51

    tahun 2004. Tingkat kesesuaian dibagi atas dua kelas yaitu :

    1. Kelas S1 : Perairan tidak tercemar

    Daerah ini kandungan polutan masih berada dibawah baku mutu yang telah

    ditetapkan

    2. Kelas S2 : Perairan tercemar

    Daerah ini mempunyai kandungan polutan yang telah melebihi baku mutu

    yang digunakan

    Tabel 3.4. Sistem Penilaian Sebaran PolutanNo Parameter Satuan Kategori tidak Tercemar (S1) Kategori Tercemar (S2)

    1 BOD mg/l 20 > 202 COD mg/l 50 > 503 Nitrat mg/l 0,008 > 0,0084 Timbal (Pb) mg/l 0,03 > 0,035 Seng (Zn) mg/l 0,02 > 0,02

    Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004

  • 38

    3.3.3. Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Laut Berdasarkan Distribusi

    Polutan

    Sebaran spasial kesesuaian wilayah untuk budidaya laut berdasrkan

    sebaran polutan dipetakan secara spasial dengan ArcGIS 9.3 (ArcMap). Hasil

    yang diperoleh adalah ekstraksi daerah yang sesuai untuk budidaya dan tidak

    tercemar sebagai kawasan paling sesuai untuk budidaya laut.

    Hasil interpolasi kesesuaian perairan untuk budidaya dioverlay dengan

    peta sebaran pencemaran. Hasil overlay disajikan dalam peta distribusi spasial

    sebaran daerah yang sesuai untuk budidaya dan tidak tercemar sebagai

    kawasan paling sesuai untuk budidaya laut. Dengan informasi yang diperoleh

    dapat dijadikan referensi wilayah mana saja dilokasi penelitian yang benar-benar

    sesuai untuk kegiatan budidaya.

  • 39

    BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

    Pulau Selayar adalah pulau kecil yang berada di antara gugusan Pulau

    Lingga dan Pulau Singkep dengan luas daratan 40 km2. Secara administratif

    terletak di Kecamatan Singkep, Kabupaten Lingga, sedangkan secara geografis

    terletak antara 104o 23 15,23 BT - 104 29 31,41 BT dan 0 16 40,78 LS - 0

    19 44,49 LS;

    Pulau Selayar memiliki morfologi yang bervariatif dari dataran hingga

    perbukitan dan pegunungan. Potensi lain yang dapat dimanfaatkan dengan

    ekosistem kawasan pesisir mencakup pantai, muara sungai dan perairan dekat

    pantai. Berdasarkan Ranperda RTRW Kabupaten Lingga 2011-2031, Kecamatan

    Singkep merupakan pusat perikanan, kehutanan, pertambangan dan pariwisata

    sebagai orientasi pengembangan wilayahnya. Pengembangan dan pemanfaatan

    lahan yang dapat diterapkan di pulau Selayar dibagi menjadi 3 yaitu :

    1. Pada bagian timur Pulau Selayar pada umumnya diperuntukkan sebagai :

    Koleksi dan distribusi hasil perikanan dan kelautan

    Kawasan pertanian, perkebunan dan perikanan

    Perumahan dan permukiman.

    2. Pada bagian barat Pulau Selayar pada umumnya diperuntukkan sebagai :

    Pengembangan kegiatan pertanian

    Kawasan pertanian, perkebunan dan perikanan

    Perumahan dan permukiman

  • 40

    3. Pada bagian selatan Pulau Selayar pada umumnya diperuntukkan sebagai :

    Koleksi dan distribusi hasil perikanan dan kelautan

    Kawasan pertanian, perkebunan dan perikanan

    Simpul pelayanan transportasi lokal

    Kegiatan pertambangan

    Perumahan dan permukiman

    Pertambangan merupakan salah satu bentuk pemanfaatan yang ada di

    Pulau Selayar. Potensi area pemanfaatan untuk tambang di Pulau Selayar

    berdasarkan Ranperda RTRW Kabupaten Lingga 2011-2031 adalah seluas

    1.866 ha. Usaha penambangan yang saat ini telah dilakukan oleh beberapa

    perusahaan lokal. Jenis bahan tambang yang ditambang dari pulau Selayar yaitu

    bijih besi dan bijih bauksit. Kegiatan pertambangan bijih bauksit merupakan

    kegiatan yang aktif di pulau Selayar.

    Kegiatan lain yang dialokasikan di Pulau Selayar adalah kegiatan

    budidaya laut. Sebagian penduduk Pulau Selayar merupakan pembudidaya yang

    menggantungkan hidupnya dari usaha budidaya laut. Jenis budidaya laut yang

    ada di Kabupaten Lingga adalah keramba jaring apung (KJA) dan keramba jaring

    tancap (KJT). Jenis ikan yang dibudidayakan antara lain ikan kerapu tikus,

    kerapu macan, kerapu sunu dan ikan singarat. Produktivitas budidaya laut yang

    di terapkan di sekitar Pulau Selayar dengan metode keramba jaring apung

    mencapai 183,177 ton/tahun.

    Perairan di sekitar Pulau Selayar merupakan perairan cenderung kurang

    dinamis, karena perairan tersebut terlindung oleh pulau-pulau. Sehingga arus

    terutama terjadi sebagai akibat arus pasang surut (pasut), yaitu saat air datang

    pada waktu pasang dan saat air meninggalkan pantai pada saat surut. Saat

  • 41

    menjelang pasang arus menuju ke darat, sebaliknya menjelang surut arus

    menuju ke laut.

    Secara umum arah gelombang dominan pada bulan April sampai Mei

    terjadi dari timur laut dengan presentase frekuensi 16,5%, dengan variasi

    gelombang dari barat daya 11,9% dan barat laut 10,1%. Tinggi gelombang rata-

    rata 0,1 m sampai 1,0 m, terjadi dari arah utara dengan presentase frekuensi

    0,1%. Keadaan tenang (calm) presentase frekuensi 27,6%.

    Di Kabupaten Lingga hampir sebagian besar dipengaruhi oleh pasang

    surut air laut. Pola pasang surut cenderung semi diurnal (mixed tide prevailing

    semidiurnal), terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari. Tinggi

    pasang surut di wilayah kajian sekitar 0,7 sampai 3 m. Kedalaman laut dilokasi

    penelitian berkisar antara 10 20- meter.

    Lokasi penelitian termasuk dalam satuan perbukitan bergelombang

    lemah-terjal dengan puncak tertinggi memiliki elevasi 100 m dpl dan terendahmemiliki elevasi 4 m. Wilayah pulau Selayar memiliki banyak aliran anaksungai, dengan satu daerah aliran sungai (DAS) yaitu DAS selayar.

    4.2. Hasil

    4.2.1. Kualitas Air dan Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Laut

    Analisis kualitas air berfungsi sebagai referensi kelayakan kualitas

    lingkungan perairan berdasarkan standar baku mutu yang berlaku untuk kegiatan

    budidaya laut. Data-data kualitas lingkungan perairan yang diamati dalam

    penelitian meliputi: suhu, pH, salinitas, DO, kedalaman, arus dan TSS.

    4.2.1.1. Parameter Fisika

    Parameter lingkungan fisika perairan yang diamati dalam penelitian ini

    meliputi: suhu, total disolved solid (TDS), total suspended solid (TSS), kekeruhan

  • 42

    dan kecerahan. Hasil analisis terhadap sampel air yang diambil di lokasi wilayah

    kajian disajikan pada Tabel 4.1.

    Tabel 4.1. Data Parameter Fisika Perairan Lokasi PenelitianTitik Suhu (C) TDS (mg/l) TSS (mg/l)

    1 30,0 36,5 124,52 29,5 41,3 86,73 29,5 38,7 63,24 29,5 32,8 50,35 28,5 44,1 48,76 29,0 37,8 85,77 29,0 22,2 64,58 29,0 27,0 82,59 28,0 23,5 42,410 28,0 21,3 33,711 28,0 22,7 19,412 29,0 21,8 19,2

    Sumber : Data Penelitian

    Suhu perairan merupakan parameter lingkungan yang memiliki pengaruh

    yang besar terhadap ikan. Suhu yang melebihi atau kurang dari batas optimum

    dapat mempengaruhi hewan, memberikan pengaruh pada nafsu makan,

    pertumbuhan, reproduksi dan serangan penyakit.

    Pengukuran suhu air laut pada lokasi penelitian menunjukkan kisaran

    antara 28,0 30C dengan rerata (28,92 SD 0,66). Nilai tersebut

    menggambarkan bahwa di lokasi penelitian tidak terdapat variasi suhu yang

    tinggi, atau dapat dikatakan suhu perairan relatif seragam. Peta sebaran suhu

    dapat dilihat pada Gambar 4.1.

    Pengukuran nilai TSS air laut pada lokasi penelitian menunjukkan kisaran

    antara 19,2 124,5 mg/l dengan rerata (60,07 SD 31,05). Nilai TSS tertinggi

    ditemukan pada titik 1 dan terendah pada titik 12. Nilai TSS perairan memiliki

    kecenderung lebih tinggi pada lokasi yang berdekatan dengan muara sungai dan

    berangsur menurun seiring dengan meningkatnya jarak pengambilan sampel dari

  • 43

    muara sungai. Semakin dekat dengan muara sungai maka semakin banyak

    masukan bahan anorganik akibat aktivitas di darat. Peta sebaran TSS dapat

    dilihat pada Gambar 4.2.

    Penyebab utama terjadinya TDS adalah bahan anorganik berupa ion-ion

    yang umum dijumpai di perairan. Pengukuran Nilai TDS air laut pada lokasi

    penelitian menunjukkan kisaran antara 22,2 44,1 mg/l dengan rerata (30,81

    SD 8,6). Sama halnya dengan nilai TSS, nilai TDS perairan cenderung

    mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya jarak lokasi pengambilan

    sampel dari muara sungai. Semakin dekat dengan muara sungai maka semakin

    banyak masukan bahan anorganik akibat aktivitas di darat. Peta sebaran TDS

    dapat dilihat pada Gambar 4.3.

  • 44

    Gambar 4.1. Peta Kesesuain Parameter Suhu

  • 45

    Gambar 4.2. Peta Kesesuain Parameter TSS

  • 46

    Gambar 4.3. Peta Kesesuain Parameter Arus

  • 47

    4.2.1.2. Parameter Kimia

    Parameter lingkungan kimia perairan yang diamati meliputi pH, salinitas,

    DO, BOD, COD dan Nitrat perairan. Hasil pengukuran parameter kimia perairan

    didisajikan pada Tabel 4.2.

    Tabel 4.2. Data Pengamatan Parameter Kimia Lokasi PenelitianTitik pH Salinitas () DO (mg/l)

    1 6,1 32,3 4,5

    2 6,2 32,0 4,7

    3 6,1 30,0 4,5

    4 6,2 31,8 5,1

    5 6,1 32,0 5,3

    6 6,2 32,0 5,3

    7 6,0 32,0 6,0

    8 6,1 31,5 5,8

    9 6,1 32,0 6,1

    10 6,2 31,6 6,1

    11 6,1 32,2 6,0

    12 6,2 31,4 6,1

    Sumber : Data Penelitian

    Derajat keasaman (pH) sangat berpengaruh terhadap kehidupan ikan, pH

    yang cocok untuk semua jenis ikan berkisar antara 6,5 8,5 (Hartami, 2008).

    Akan tetapi, ada jenis ikan yang karena lingkungan hidupnya di perairan rawa,

    sehingga ikan ini mampu bertahan hidup pada kisaran pH 4 9. Derajat

    kemasaman (pH) perairan mempengaruhi daya tahan organisme, pada pH yang

    rendah, penyerapan oksigen terlarut oleh organisme akan terganggu, setiap

    organisme mempunyai pH yang optimum bagi kehidupannya. Pengukuran nilai

    pH air laut menunjukkan kisaran antara 6,0 6,22 dengan rerata (6,15 SD

    0,075). Nilai pH pada lokasi penelitian cenderung basa dan cukup bervariasi,

    perubahan pH perairan, baik kearah asam akan mengganggu kehidupan ikan

    dan organisme akuatik lainnya. Nilai ini diduga dikarenakan perairan yang

  • 48

    menerima limbah organik dalam jumlah yang besar. Peta sebaran pH dapat

    dilihat pada Gambar 4.4.

    Pengukuran nilai DO air laut menunjukkan kisaran antara 4,52 6,12 mg/l

    dengan rerata (5,47 SD 0,63). Kandungan DO perairan cenderung mengalami

    peningkatan pada lokasi yang lebih jauh dari muara sungai. Perbedaan kadar

    oksigen ini lebih dipengaruhi oleh angin dan pergerakan arus sehingga

    berkemungkinan kandungan oksigen menjadi lebih tinggi. Peta sebaran DO

    dapat dilihat pada Gambar 4.5.

    Salinitas merupakan parameter penting yang bersama-sama dengan

    parameter lainnya untuk menduga kawasan yang sesuai untuk pertumbuhan ikan

    dan organisme akuatik lainnya. Berdasarkan hasil pengukuran salinitas perairan

    menunjukkan kisaran antara 30,0 32,3 dengan rerata (31,73 SD 0,609).

    Keadaan kisaran perubahan salinitas tersebut relatif normal karena sejumlah

    besar organisme yang hidup di laut dapat bertahan pada batas toleransi kisaran

    salinitas berkisar antara 30 40. Peta sebaran salinitas dapat dilihat pada

    Gambar 4.6

  • 49

    Gambar 4.4. Peta Kesesuain Parameter pH

  • 50

    Gambar 4.5. Peta Kesesuain Parameter DO

  • 51

    Gambar 4.6. Peta Kesesuain Parameter Salinitas

  • 52

    4.2.1.3. Parameter Biologi

    Komponen biologi perairan yang diamati dalam penelitian inimeliputi:

    plankton, bentos dan nekton (ikan). Hasil analisis dan identifikasi plankton dan

    benthos dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan Tabel 4.4.

    Tabel 4.3. Jenis, Kelimpahan, Indeks Keanekaragaman dan IndeksKeseragaman Plankton di Lokasi Penelitian

    OrganismeStasiun Pengamatan

    1 2 3 4 5 6 7 8

    Protozoa

    Codonellopsis sp 346 0 0 0 1634 29412 0 0

    Vorticella sp 0 0 21242 0 27778 0 0 44145

    Zootamnion sp 0 0 0 11016 0 0 0 0

    Tintinnopsis sp 0 0 0 0 1634 0 0 0

    Copepoda

    Nauplius (stadia) 346 1632 5719 6528 35131 147060 2448 8175

    Calanus sp 0 816 0 408 817 26144 1632 1635

    Corycaeous sp 346 0 817 0 1634 0 0 0

    Oncaea sp 0 0 817 408 0 0 0 0

    Microsetella sp 0 0 0 0 0 0 408 0

    Oithona sp 0 0 0 0 1634 19608 1224 1635

    Copellata

    Oikopleura sp 346 0 817 0 2451 0 408 1635

    Pelecypoda

    Larva 0 0 0 0 11438 0 0 1635

    Individu 1384 2448 29412 18360 84151 222224 6120 58860

    Spesies 4 2 5 4 9 5 5 6

    Keragaman (H) 1.4 0.63 0.84 0.73 1.46 0.99 1.23 0.89

    Keseragaman (E) 1 0.9 0.52 0.52 0.66 0.62 0.77 0.5

    Dominasi (ID) 0.25 0.02 0.56 0.49 0.3 0.48 0.28 0.58

    Sumber : Data Penelitian

  • 53

    Tabel 4.4. Jenis, Kelimpahan, Indeks Keanekaragaman dan IndeksKeseragaman Bentos di Lokasi Penelitian

    OrganismeStasiun Pengamatan

    1 2 3 4 5 6 7 8

    Protozoa

    Ganiada sp 0 0 0 0 22 0 0 22

    Paraonis sp 0 0 22 0 0 0 22 22

    Notomastus sp 0 0 22 0 0 0 0 0

    Arenicola sp 0 0 22 0 0 0 0 0

    Maldane sp 0 0 22 0 0 44 0 0

    Onophis sp 0 176 44 0 0 22 66 0

    Magelona sp 0 0 0 22 0 22 0

    Lumbrineris sp 0 0 0 22 22 22 66 0

    Nephtys sp 0 0 0 0 22 0 0 0

    Pista sp 0 0 0 0 0 22 0 0

    Aricidae sp 0 0 0 0 0 22 0 0

    Drilonereis sp 0 0 0 0 0 22 0 0

    Cirratulus sp 0 0 0 0 0 22 0 0

    Glycera sp 0 0 0 0 0 22 0 0

    Potamilla sp 0 0 0 0 0 66 0 0

    Aglaophamus sp 0 0 0 0 0 22 22 0

    Prinospio sp 0 0 0 0 0 0 22 0

    Crustaceae

    Alpheus sp 0 0 0 22 0 0 0 0

    Callianassa sp 0 0 0 22 0 0 0 0

    Oratosquilla sp 0 0 0 0 0 0 22 0

    Sipuncula 0 0 0 0 0Golfingia sp 0 0 0 0 0 44 0 0

    Palecypoda

    Tellina sp 0 0 0 0 0 22 0 0

    Polymesoda sp 110 0 0 0 0 0 0 0

    Yoldia sp 0 0 0 22 0 0 0 0

    Barbatia sp 0 0 0 0 0 22 0 0

    Nemertina

    Tubulanus sp 0 0 0 22 0 0 0 0

    Lineus sp 0 0 0 0 0 0 44 0

    individu 110 176 132 154 66 374 286 66

  • 54

    OrganismeStasiun Pengamatan

    1 2 3 4 5 6 7 8

    Spesies 1 1 5 7 4 13 9 3

    Keragaman (H) 0 0 1.57 1.9 1.1 2.44 1.1 1.1

    Keseragaman (E) 0 0 0.98 1 0.79 0.94 0.5 1

    Dominasi ( C ) 1.000 1.000 0.222 0.143 0.33 0.093 0.161 0.006

    Sumber : Data Penelitian

    Hasil analisis plankton menunjukkan kisaran indeks keanekaragaman

    antara 0,63 1,46. Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon Wiener

    indeks keanekaragaman tersebut menunjukan stabilitas komunitas biota sedang

    atau kualitas air tercemar sedang.

    Hasil perhitungan SI dan TSI di Stasiun VII sebesar 1,35 dan 1,55 yang

    menunjukkan nilainya paling tinggi dibanding stasiun lainnya. Stasiun ini terletak

    jauh dari bibir pantai. Nilai terkecil didapat pada stasiun IV sebesar 1 dan 0,5.

    Stasiun ini terletak dekat dengan muara.

    Tabel 4.5. Hasil Perhitungan Rata-Rata SI dan TSI di Perairan Pulau Selayar

    No NilaiStasiun

    KelompokI II III IV V VI VII VIII

    1 SI 1,25 1,22 1.4 1 1.30 1,24 1,20 1.35 - Mesosaprobik

    2 TSI 0.70 0.75 1,5 0,5 0.8 1.5 1.4 1.55 - Mesosaprobik

    Hasil analisis benthos menunjukkan kisaran indeks keanekaragaman

    antara 0 2,44 dengan rata-rata 1,15. Indeks keanekaragaman tertinggi pada

    titik 6 dan terendah pada titik 5 dan 8. Berdasarkan indeks keanekaragaman

    Shannon Wiener indeks keanekaragaman tersebut menunjukan kualitas

    perairan tercemar sedang.

  • 55

    Tingginya indeks keanekaragaman plankton maupun benthos pada titik 6

    diduga karena lokasi dekat dengan muara sungai yang menjadi sumber nutrient

    bagi kesuburan perairan pada titik tersebut.

    4.2.1.4. Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Laut

    Hasil interpolasi parameter salinitas, perairan wilayah penelitian dapat

    dikategorikan dalam kriteria sangat sesuai (S1) mencakup area seluas 510.460

    m2 (51,05 ha) atau sebesar 100% dari total kawasan yang menjadi area

    penelitian.

    Hasil interpolasi kandungan TSS, perairan wilayah penelitian dapat

    dikategorikan dalam kriteria sangat sesuai (S1) mencakup area seluas 74.587

    m2 (7,46 ha) atau sebesar 14,6% dari total kawasan yang menjadi area

    penelitian, cukup sesuai (S2) mencakup area seluas 285.311 m2 (28,53 ha)

    atau sebesar 55,9% dari total kawasan yang menjadi area penelitian dan tidak

    sesuai (N1) mencakup area seluas 150.563 m2 (15,06 ha) atau sebesar 29,5%

    dari total kawasan yang menjadi area penelitian.

    Hasil interpolasi suhu perairan, wilayah penelitian dapat dikategorikan

    dalam kriteria cukup sesuai (S2) mencakup area seluas 173.021 m2 (17,30 ha)

    atau sebesar 33,89% dari total kawasan yang menjadi area penelitian dan

    kriteria tidak sesuai (N1) mencakup area seluas 337.440 m2 (33,74 ha) atau

    sebesar 66,11% dari total kawasan yang menjadi area penelitian.

    Hasil interpolasi kandungan DO, perairan wilayah penelitian dapat

    dikategorikan sangat sesuai (S1) mencakup area seluas 6.071 m2 (0,6 ha) atau

    sebesar 1,17% dari total kawasan yang menjadi area penelitian, cukup sesuai

    (S2) mencakup area seluas 378.295 m2 (37,82 ha) atau sebesar 74,1% dari

    total kawasan yang menjadi area penelitian, dan tidak sesuai (N1) mencakup

  • 56

    area seluas 126.095 m2 (12,62 ha) atau sebesar 27,43% dari total kawasan

    yang menjadi area penelitian.

    Hasil Interpolasi pH, perairan wilayah penelitian dapat dikategorikan

    sangat sesuai (S1), yaitu mencakup area seluas 510.460 m2 (51,04 ha) atau

    sebesar 100% dari total kawasan yang menjadi area penelitian.

    Hasil Interpolasi arus, perairan wilayah penelitian dapat dikategorikan

    sangat sesuai (S1) mencakup area seluas 10.539 m2 (1,05 ha) atau sebesar

    2,1% dari total kawasan yang menjadi area penelitian, cukup sesuai (S2)

    mencakup area seluas 384.359 m2 (38,43ha) atau sebesar 75,29% dari total

    kawasan yang menjadi area penelitian dan tidak sesuai (N1) mencakup area

    seluas 115.569 m2 (11,6 ha) atau sebesar 22,61% dari total kawasan yang

    menjadi area penelitian.

    Hasil Interpolasi kedalaman, perairan wilayah penelitian dapat

    dikategorikan sangat sesuai (S1) mencakup area seluas 510.460 m2 (51,04 ha)

    atau sebesar 100% dari total kawasan yang menjadi area penelitian.

    Hasil analisis indeks kesesuaian perairan untuk budidaya laut di lokasi

    penelitian berkisar antara > 2,3 3 indeks tersebut menunjukkan bahwa lokasi

    tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 kelas kesesuaian lahan untuk budidaya

    laut yaitu kelas sangat sesuai (S1) mencakup area seluas 11.365,95 m2 (1,14

    ha) atau sebesar 2,23% dari total kawasan yang menjadi area penelitian; sesuai

    (S2) mencakup area seluas 354.158,08 m2 (35,41 ha) atau sebesar 69,37%

    dari total kawasan yang menjadi area penelitian, dan kelas tidak sesuai (N1)

    mencakup area seluas 144.964,16 m2 (14,50 ha) atau sebesar 28,4% dari total

    kawasan yang menjadi area penelitian. Peta kesesuaian lahan untuk kegiatan

    budidaya dapat dilihat pada Gambar 4.7.

  • 57

    Gambar 4.7. Peta Kesesuaian Lahan untuk Budidaya

  • 58

    4.2.2. Distribusi Spasial Polutan

    Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan yang mempunyai daya

    ubah lingkungan besar. Daya ubah lingkungan tersebut berupa polutan yang

    dihasilkan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan parameter Nitrat, BOD,

    COD, timbal (Pb) serta seng (Zn) untuk menggambarkan polutan yang

    dihasilkan. Hasil analisis logam berat di wilayah kajian disajikan pada Tabel 4.6.

    Tabel 4.6. Hasil analisis logam berat lokasi penelitianTitik Nitrat (NO3-N) BOD COD Timbal (Pb) Seng (Zn)

    1 0,004 15,5 29,2 0,0620 0,0011

    2 0,005 14,7 28,5 0,0540 0,0005

    3 0,006 14,2 29,7 0,0710 0,0006

    4 0,004 15,1 18,2 ttd ttd

    5 0,003 17,7 18,1 ttd ttd

    6 0,004 11,0 26,8 0,0440 0,0002

    7 0,003 12,8 18,9 0,0012 0,0002

    8 0,003 11,2 26,1 0,0008 0,0004

    9 0,006 14,5 18,7 ttd 0,0002

    10 0,004 15,7 19,7 0,0002 0,0001

    11 0,003 16,8 18,6 0,0001 ttd

    12 0,005 15,5 18,5 0,0001 0,0002

    Sumber : Data Penelitian

    Pengukuran nilai BOD air laut pada lokasi penelitian menunjukkan kisaran

    antara 11,04 16,80 mg/l dengan rerata sebesar (14,57 SD 2,03). Interpolasi

    kandungan BOD, perairan wilayah penelitian dapat dikategorikan dalam kriteria

    tidak tercemar mencakup area seluas 510.460 m2 (51,04 ha) atau sebesar

    100% dari total kawasan yang menjadi area penelitian. Peta sebaran BOD dapat

    dilihat pada Gambar 4.8.

    Hasil pengukuran nilai COD air laut pada lokasi penelitian berkisar antara

    18,12 29,71 mg/l dengan rerata (22,58 SD 4,92). Interpolasi kandungan

    COD, perairan wilayah penelitian dapat dikategorikan dalam kriteria tidak

  • 59

    tercemar mencakup area seluas 510.460 m2 (51,04 ha) atau sebesar 100%

    dari total kawasan yang menjadi area penelitian. Peta sebaran COD dapat dilihat

    pada Gambar 4.9.

    Pengukuran nilai nitrat (NO3-N) menunjukkan kisaran antara 0,0032

    0,0058 mg/l dengan rerata (0,004 SD 0,0009). Interpolasi kandungan Nitrat

    (NO3-N) menunjukan perairan wilayah penelitian dapat dikategorikan dalam

    kriteria tidak tercemar mencakup area seluas 510.460 m2 (51,04 ha) atau

    sebesar 100% dari total kawasan yang menjadi area penelitian. Peta sebaran

    (NO3-N) dapat dilihat pada Gambar 4.10.

    Konsentrasi Timbal ditemukan di hampir semua titik pengamatan.

    Konsenterasi tidak terdeteksi pada titik pengamatan 4, 5 dan 9. Konsenterasi

    tertinggi ditemukan pada titik 3 sebesar 0,071 mg/l, sedangkan konsenterasi

    terendah ditemukan pada titik 12 sebesar 0,00016 mg/l. Interpolasi kandungan

    Nitrat (Pb) menunjukan perairan wilayah penelitian dapat dikategorikan dalam

    kriteria tidak tercemar mencakup area seluas 453.400 m2 (45,34 ha) atau

    sebesar 88,8% dari total kawasan yang menjadi area penelitian dan kriteria

    tercemar mencakup area seluas 57.000 m2 (5,7 ha) atau sebesar 11,2% dari

    total kawasan yang menjadi area penelitian. Peta sebaran (Pb) dapat dilihat pada

    Gambar 4.11.

    Konsentrasi seng (Zn) terdeteksi hampir di semua titik pengamtan.

    Konsentrasi tertinggi pada titik 1 sebesar 0,0011 mg/l sementara konsenterasi

    terendah pada titik 10 sebesar 0,00014 mg/l. Interpolasi kandungan seng (Zn)

    menunjukan perairan wilayah penelitian dapat dikategorikan dalam kriteria tidak

    tercemar mencakup area seluas 510.460 m2 (51,04 ha) atau sebesar 100%

    dari total kawasan yang menjadi area penelitian. Peta sebaran (Zn) dapat dilihat

    pada Gambar 4.12.

  • 60

    Gambar 4.8 . Peta Sebaran Polutan BOD

  • 61

    Gambar 4.9 . Peta Sebaran Polutan COD

  • 62

    Gambar 4.10 . Peta Sebaran Polutan Nitrat (NO3-N)

  • 63

    Gambar 4.11 . Peta Sebaran Polutan Timbal (Pb)

  • 64

    Gambar 4.12 . Peta Sebaran Polutan Senk (Zn)

  • 65

    4.2.3. Lokasi Budidaya Laut Berdasarkan Distribusi Polutan

    Sebaran kesesuaian wilayah untuk budidaya laut berdasarkan sebaran

    polutan dipetakan secara spasial. Hasil yang diperoleh adalah ekstraksi daerah

    yang sesuai untuk budidaya dan tidak tercemar sebagai kawasan paling sesuai

    untuk budidaya laut. Hasil interpolasi kesesuaian perairan untuk budidaya

    dioverlay dengan peta sebaran pencemaran.

    Parameter yang digunakan adalah Nitrat, BOD, COD serta logam berat

    terdiri dari timbal (Pb) dan seng (Zn) untuk menggambarkan polutan yang

    dihasilkan dari kegiatan pertambangan bauksit

    Hasil overlay peta kesesuaian lokasi budidaya serta peta distribusi

    polutan, diperoleh informasi wilayah mana saja dilokasi penelitian yang benar-

    benar sesuai untuk