Terjebak Kelemahan Demokrasi

5
Kelemahan Demokrasi Keempat hal tersebut merupakan kelemahan demokrasi. Dalam bahasa lain dapat dikemukakan bahwa demokrasi tidak mampu memberikan kesejahteraan yang cepat bagi rakyat. Demokrasi memberikan kesan bertele-tele dalam memutuskan suatu perkara politik dan tidak responsif dengan tuntutan rakyat terhadap sistem pemerintahan yang cepat dirasakan hasilnya. Demokrasi mudah diidentikkan dengan kondisi perpolitikan yang serba kacau balau, khaotik, dan penuh pertikaian tanpa pernah dapat diprediksikan kapan berakhirnya. Problem yang paling menjengkelkan adalah dalam level ekonomi-politik global yang mendoktrinkan pasar bebas. Ternyata, negara-negara kapitalis besar menjalankan proteksionisme untuk melindungi rakyatnya sendiri. Sedangkan, ironisnya, Indonesia dilarang untuk menjalankan kebijakan protektif semacam itu, yang berakhir dengan kesengsaraan rakyat yang semakin meningkat. Jika kalangan elite politik masih terperangkap dalam empat kelemahan demokrasi itu, maka rakyat pun memberikan penilaian signifikan bahwa demokrasi hanya menghadirkan tatanan yang mencelakakan kehidupan. Keinginan yang sukar dibendung adalah rakyat menghendaki kembalinya ”zaman normal” sebagaimana halnya ketika masa kolonialisme berakhir rakyat justru kecewa dengan kemerdekaan yang telah berhasil direngkuh. Pada masa yang lebih kontemporer dengan cepat dapat diungkapkan bahwa demokrasi pada saat ini hanya menghadirkan abnormalisasi. Sehingga, untuk melakukan normalisasi ekonomi dan politik, rezim otoriter gaya Orde Baru sebaiknya dikembalikan saja. Logika politik sejenis itu terasa sangat simplistik. Tetapi, hal itu dapat saja dipandang sebagai tuntutan realistis atau imajinasi yang menyenangkan untuk segera direalisaskan. Rakyat berpikir lebih baik dipimpin rezim militer ala Soeharto, namun memberikan pengharapan mengenai kemakmuran, kenyamanan hidup dan kestabilan politis yang sulit diwujudkan saat ini. Dalam perspektif kritis, apa yang menghinggapi kesadaran rakyat itu adalah kepalsuan.

description

Sosial Politik

Transcript of Terjebak Kelemahan Demokrasi

Page 1: Terjebak Kelemahan Demokrasi

Kelemahan Demokrasi

Keempat hal tersebut merupakan kelemahan demokrasi. Dalam bahasa lain dapat dikemukakan bahwa demokrasi tidak mampu memberikan kesejahteraan yang cepat bagi rakyat. Demokrasi memberikan kesan bertele-tele dalam memutuskan suatu perkara politik dan tidak responsif dengan tuntutan rakyat terhadap sistem pemerintahan yang cepat dirasakan hasilnya. Demokrasi mudah diidentikkan dengan kondisi perpolitikan yang serba kacau balau, khaotik, dan penuh pertikaian tanpa pernah dapat diprediksikan kapan berakhirnya. Problem yang paling menjengkelkan adalah dalam level ekonomi-politik global yang mendoktrinkan pasar bebas. Ternyata, negara-negara kapitalis besar menjalankan proteksionisme untuk melindungi rakyatnya sendiri.

Sedangkan, ironisnya, Indonesia dilarang untuk menjalankan kebijakan protektif semacam itu, yang berakhir dengan kesengsaraan rakyat yang semakin meningkat. Jika kalangan elite politik masih terperangkap dalam empat kelemahan demokrasi itu, maka rakyat pun memberikan penilaian signifikan bahwa demokrasi hanya menghadirkan tatanan yang mencelakakan kehidupan. Keinginan yang sukar dibendung adalah rakyat menghendaki kembalinya ”zaman normal” sebagaimana halnya ketika masa kolonialisme berakhir rakyat justru kecewa dengan kemerdekaan yang telah berhasil direngkuh.

Pada masa yang lebih kontemporer dengan cepat dapat diungkapkan bahwa demokrasi pada saat ini hanya menghadirkan abnormalisasi. Sehingga, untuk melakukan normalisasi ekonomi dan politik, rezim otoriter gaya Orde Baru sebaiknya dikembalikan saja. Logika politik sejenis itu terasa sangat simplistik. Tetapi, hal itu dapat saja dipandang sebagai tuntutan realistis atau imajinasi yang menyenangkan untuk segera direalisaskan. Rakyat berpikir lebih baik dipimpin rezim militer ala Soeharto, namun memberikan pengharapan mengenai kemakmuran, kenyamanan hidup dan kestabilan politis yang sulit diwujudkan saat ini. Dalam perspektif kritis, apa yang menghinggapi kesadaran rakyat itu adalah kepalsuan. Tapi, kekuatan mana yang dapat menyalahkan rakyat jika ada cita-cita politik yang penuh kesemuan itu? Kalangan elite politik harus menyadari bahwa demokrasi bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mencapai kemakmuran rakyat. Kunci utama untuk mencapai hal ini adalah kalangan elite politik tidak terjebak dalam empat kelemahan demokrasi.

Pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UP3KR) yang menyulut kontroversi menunjukkan betapa pelaksanaan demokrasi selalu diwarnai pertikaian. Pada satu sisi, pembentukan lembaga itu didukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sejumlah aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat. Namun, pada sisi lain, Partai Golkar yang menjadi kekuatan besar pendukung pemerintah justru menentangnya. Problem yang lebih krusial adalah kehadiran UP3KR telah menunjukkan ketidakharmonisan antara Presiden Susilo Bambang Yuhoyono dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Page 2: Terjebak Kelemahan Demokrasi

Demikianlah, demokrasi pun identik dengan konflik yang sangat pelik di antara elite politiknya.

Rakyat yang menjadi konstituen terbesar terkesan hanya menjadi dekorasi kekuasaan. Uniknya, sadar atau tidak, Indonesia adalah negara yang menjalankan demokrasi liberal yang sirkulasi kekuasaannya diserahkan kepada partai-partai politik melalui mekanisme pemilihan umum lima tahun sekali. Dalam situasi perpolitikan semacam itu Indonesia menempuh jalan terjal. Demokrasi liberal ternyata menuntut kesabaran atau ketelatenan sekalipun rakyat dirundung kemiskinan. Demokrasi tampaknya bukan jawaban yang memberikan kepuasan sekalipun rakyat didera kemelaratan. Demokrasi memang memberikan jaminan kebebasan, terutama ekspresi rakyat untuk mengemukakan pendapat. Media massa pun relatif mendapatkan ruang gerak yang lebih memadai untuk merepresentasikan situasi sosial yang terus mencekam.

Hanya saja independensi untuk memproduksi opini dan menggulirkan arus informasi tidak diiringi dengan akselerasi perbaikan di bidang ekonomi. Citraan dominan yang terlanjur tergurat dalam kesadaran rakyat adalah kalangan politisi ingin menang sendiri dan sekadar menunjukkan ambisi pribadi. Tidak terlalu mengejutkan jika Philippe C.

Schmitter dan Terry Lynn Karl (1993) mencatat empat hal yang sulit dipenuhi demokrasi. Pertama, demokrasi tidak dengan sendirinya lebih efisien secara ekonomis ketimbang bentuk-bentuk pemerintahan lainnya. Tingkat agregat pertumbuhan, tabungan, dan penanaman modal sangat mungkin tidak lebih baik dibandingkan dengan negara-negara yang bercorak nondemokrasi. Kedua, demokrasi tidak secara otomatis lebih efisien secara administratif. Kapasitas demokrasi untuk mengambil keputusan-keputusan boleh jadi lebih lambat ketimbang rezimrezim yang pernah digantikannya. Para aktor politik harus terlibat secara intensif untuk berkonsultasi. Ketiga, demokrasi tidak mampu menunjukkan situasi yang lebih tertata rapi, penuh konsensus, stabil, atau dapat memerintah ketimbang sistem otokrasi yang mereka jungkalkan.

Ini adalah produk yang sulit dielakkan dari kebebasan ekspresi demokratis, selain juga merupakan refleksi dari ketidaksepakatan yang terus berlanjut di atas aturan-aturan dan lembaga-lembaga baru. Keempat, demokrasi memang memungkinkan masyarakat dan kehidupan politik lebih terbuka ketimbang otokrasi yang disingkirkannya, tetapi tidak dengan sendirinya menjadikan ekonomi lebih terbuka. Negara-negara demokrasi yang sukses dan mapan memiliki sejarah menjalankan proteksi dan menutup batasbatas negaranya, dan mendasarkan pada institusi-institusi publik secara ekstensif untuk meningkatkan perkembangan ekonomi.

Page 3: Terjebak Kelemahan Demokrasi

Hokum

kepastian hukum di Indonesia? saya sungguh merasakan bahwa negeri kita tidak lagi mempunyai kepastian hukum setelah jaksa diperbolehkan mengajukan PK atas keputusan kasasi MA.Mahkamah Agung sebagai lembaga hukum tertinggi telah menjilat ludah semdiri, tak ada lagi keagungannya, tinggal kepentingan dan tergantung desakan.

Balas tanggapan | Beri Nilai +1 -1

prayitno ramelan 24 Oktober 2008 | 05:34

0

Mas Yul, memang benar dimanapun kita berada dibutuhkan kepastian hukum, kalau tidak maka disitu akan seperti rimba belantara, dan yang berlaku hukum rimba. Yg perlu dilakukan adalah perbaikan mental aparat, ketegasan pemerintah, tidak ada kompromi dengan hukum yg sudah disepakati dan disyahkan.Sebaik apapun hukum yg tertulis itu, kalau pelaksananya gitu2 saja, ya sulit akan diwujudkan kepastian hukumnya. Ok nih artikelnya.Salam.Pray.

Sutradara Garin Nugroho mengatakan, sinetron bertema setan di berbagai stasiun teve akhir-akhir ini memiliki daya tarik kuat pada publik karena tidak adanya kepastian hukum di Indonesia.

"Kenapa film sinetron tentang setan akhir-akhir ini lebih menarik, karena tidak ada kepastian hukum secara psikologis," katanya saat Diskusi "Hukum dan Seni di Studio Mendut Magelang, Rabu malam dengan pembicara lain Penyair WS Rendra, Seniman Magelang Sutanto Mendut dan Pengasuh Ponpes Tegalrejo KH Muhammad Yusuf Chudlori, kantor berita Antara memberitakan.

Film-film tentang setan, katanya, saat ini seakan lebih realistis ketimbang nasihat para ulama dan persoalan partai politik.

Ia menyebutkan, bahwa tayangan teve tentang cerita setan yang diangkat melalui sinetron seolah menunjukan bahwa setan di Indonesia lebih bermoral ketimbang setan luar negeri.

"Di sinetron itu diceritakan antara lain permintaan setan agar manusia mengambil uang dari para koruptor, ini menjadi gambaran keberhasilan memberantas korupsi," katanya.

Page 4: Terjebak Kelemahan Demokrasi

Maraknya tayangan sinetron tentang setan, katanya, gambaran pelarian masyarakat dari kepatutan hidup karena tidak adanya hukum yang bisa menjadi pegangan hidup.

Garin yang juga Direktur Sains Estetika dan Teknologi itu mengatakan, antara hukum, seni dan norma hidup saling berhubungan. Hidup tidak lepas dari kepatutan di lingkungannya.

"Orang-orang `lari` ke setan, nonton setan, dunia gaib karena yang dipegang ternyata tidak bisa dipercaya, contohnya narkoba justru ada di dekat polisi. Sinetron setan ini representasi kondisi masyarakat dan kedewasaan masyarakat," katanya.

Ia mengatakan, kebebasan ekspresi para seniman memiliki kaitan erat dengan kehidupan sosial masyarakat.

Pada kesempatan itu Garin juga menyatakan keprihatinannya atas maraknya tayangan sinetron tentang setan dan kekerasan pada jam-jam yang mudah ditonton anak-anak karena akan membentuk mereka menjadi "instan".

Sementara itu, Rendra mengatakan, hukum Indonesia tidak "terkawal" secara baik dan pelaksanaannya tidak adil serta tidak memberikan kekuatan hukum kepada rakyat kecil.

Banyaknya Fakultas Hukum di berbagai perguruan tinggi dan sarjana-sarjana hukum Indonesia, katanya, tidak dapat menyelesaikan persoalan hukum.