TERAPI KETERGANTUNGAN OPIODA.docx

22
BAB I PENDAHULUAN Adiksi atau ketergantungan opioida di Indonesia merupakan fenomena yang sudah berlangsung berfluktuatif selama lebih dari 4 abad yang lalu. Ketergantungan opioida khususnya dalam bentuk opium (candu, madat) telah diketemukan di Indonesia sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa itu, pemberian jatah opium dalam jumlah tertentu kepada pemadat dilindungi berdasarkan peraturan perundang – undangan (Ordonansi Obat Bius). (1) Opioid ialah semua zat, baik sintetis maupun alamiah yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Yang termasuk golongan ini adalah : a. Opium : Getah tanaman muda Papaverum somniverum L, berwarna kecoklatan dengan kadar morfin 4-21 %. b. Morfin : Ekstrak alkaloid opium dari bermacam- macam solven. Bentuk klorida atau garam sulfat lebih mudah larut. Berwarna putih, rasanya pahit, tersedia dalam bentuk tablet, kapsul maupun cairan. c. Heroin (diasetil morfin) : Hasil asetilasi morfin dengan asam anhidrat atau asetil klorida. Bentuk garam morfin HCl lebih mudah larut dalam air, 1

Transcript of TERAPI KETERGANTUNGAN OPIODA.docx

BAB IPENDAHULUAN Adiksi atau ketergantungan opioida di Indonesia merupakan fenomena yang sudah berlangsung berfluktuatif selama lebih dari 4 abad yang lalu. Ketergantungan opioida khususnya dalam bentuk opium (candu, madat) telah diketemukan di Indonesia sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa itu, pemberian jatah opium dalam jumlah tertentu kepada pemadat dilindungi berdasarkan peraturan perundang undangan (Ordonansi Obat Bius).(1)

Opioid ialah semua zat, baik sintetis maupun alamiah yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Yang termasuk golongan ini adalah :a. Opium : Getah tanaman muda Papaverum somniverum L, berwarna kecoklatan dengan kadar morfin 4-21 %.b. Morfin : Ekstrak alkaloid opium dari bermacam-macam solven. Bentuk klorida atau garam sulfat lebih mudah larut. Berwarna putih, rasanya pahit, tersedia dalam bentuk tablet, kapsul maupun cairan.c. Heroin (diasetil morfin) : Hasil asetilasi morfin dengan asam anhidrat atau asetil klorida. Bentuk garam morfin HCl lebih mudah larut dalam air, potensi addiksinya 3 kali morfin, bila diberikan intravena cepat di metabolisme menjadi morfin.d. Kodein : Senyawa sintetik yang dibuat dari metilasi morfin. Kekuatannya 1/6 dari morfin, biasanya untuk obat batuk (kodein sulfat, kodein fosfat).e. Metadon : Senyawa sintetik bukan derivat morfin, tetapi efeknya seperti morfin, sehingga dapat mengurangi addiksi dari morfin.f. Propoksifen : Sintetik narkotika, digunakan untuk mengurangi rasa sakit kepala yang bersifat moderat, bila disalahgunakan (over dosis) berefek toksik. (2)

BAB IIDEFINISI Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika), narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Menurut WHO penyalahgunaan zat adalah pemakaian terus-menerus atau jarang tetapi berlebihan terhadap suatu zat atau obat yag sama sekali tidak ada kaitannya dengan terapi medis. Zat yang dimaksud adalalah zat psikoaktif yang berpengaruh pada sistem saraf pusat (otak) dan dapat mempengaruhi kesadaran, perilaku, pikiran, dan perasaan. Sedangkan Ketergantungan NAPZA adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah (toleransi), apabila pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal syamptom). Oleh karena itu ia selalu berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara apapun, agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara normal.(3) Ketergantungan obat tipe opioida ditandai dengan suatu gejala putus obat yang relative spesifik dan sindroma abstinensia. Terdapat beberapa perbedaan farmakologis antara macam-macam opioid, terdapat pula perbedaan potensi penyalahgunaan dan gejala putus obatyang jelek. Contohnya, gejala putus obat dari ketergantungan pada agonis kuat yang dihubungkan dengan tanda-tanda dan gejala-gejala putus obat yang lebih hebat daripada gejala putus obat dari agonis ringan sampai sedang. Pemberian antagonis opioida pada seseorang yang mempunyai ketergantungan opioid diikuti gejala-gejal putus obat yang cepat tetapi sangat berbahaya. Kecenderungan kecanduan pada antagonis-agonis parsial opioid nampak lebih ringan dibanding dengan ketergantungan pada obat-obat agonis.Toleransi, meskipun perkembangan toleransi dimulai dari pemberian dosis pertama opioid, toleransi secara umum tidak secara langsung bermanifestasi klinis, hingga setelah 2-3 minggu pemberian yang berkali-kalipada dosis terapi biasa. Toleransi berkembang paling baik pada saat dosis besar diberikan dengan interval waktu yang pendek dan efek minimal bila diberikan dengan obat dosis kecil dengan interval panjang.Ketergantungan fisik, perkembangan ketergantungan adalah selalu menyertai toleransi pada pemberian ulang opioid tipe mu. Kegagalan untuk memberikan obat secara kontinyu menimbulkan gejala putus obat yang karakteristik atau sindroma abstinensia yang merefleksikan pantulan berlebihan efek farmakologis akut opiod. Tanda-tanda dan gejala-gejala putus obat termasuk rinore, lakrimasi, menguap, kedinginan, hiperventilasi, hipertemia, midriasi, nyeri otot, muntah, diare, kecemasan, dan perasaan ingin marah.Ketergantungan psikologis, Euphoria, tidak bereaksi terhadao stimulus dan sedasi biasanya disebabkan oleh analgesic opioid, terutama apabila pemberian dengan injeksi intravena, cenderung menigkatkan penggunaan yang berulang-ulang. Sebagai tambahan, pecandu mengalami efek abdomen yang mirip dengan orgasme seksual yang kuat. Factor-faktor ini merupakan alasan utama untuk kecendrungan penyalahgunaan opioid dan diperkuat lagi oleh perkembangan dari ketergantungan fisik, karena pemakai obat merasionalisasikan kontinuitas penggunaan obat sebagai alat pencegah gejala-gejala abstinensia, misalnya untuk tetap dapat normal.MEKANISME KERJA OPIOID Sebagian besar opioid yang digunakan untuk kepentingan klinik bekerja terutama melalui reseptor . Obat-obat ini mempengaruhi sistem fisiologis secara luas. Senyawa dengan sifat campuran agonis dan antagonis dikembangkan dengan harapan agar senyawa tersebut memberikan efek adiktif yang lebih rendah, serta efek depresi pusat napas yang lebih rendah dibandingkan dengan morphine dan obat sejenisnya. Namun demikian, dalam praktiknya diketahui bahwa untuk mendapatkan derajat analgesia yang sama, maka derajat efek samping yang muncul juga akan sama. Beberapa obat campuran agonis-antagonis seperti pentazocine dan nalorphine bahkan menunjukkan efek psikomimetik yang tidak dapat dikendalikan dengan naloxone. Selain itu, keduanya juga dapat memicu withdrawal pada pasien yang toleran terhadap opioid.(3) Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu (), delta (), dan kappa (). Masingmasing reseptor memiliki fungsinya masing-masing. Reseptor memperantaraiefekanalgetik mirip morfin, euforia, depresi napas, miosis, dan berkurangnya motilitas salurancerna. Reseptor diduga memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin,sedasi serta miosis dan depresi napas yang tidak sekuat agonis . Reseptor memegangperanan yang penting dalam menimbulkan depresi pernapasan.(4) Selanjutnya, reseptor dibagi menjadi 2 jenis yaitu reseptor 1, yang hanya didapatkan di SSP dan dihubungkan dengan analgesia supraspinal, penglepasan prolaktin,hipotermia dan katalepsi sedangkan 2 dihubungkan dengan penurunan tidal volume dan bradikardia. Sedangkan analgesik yang berperan pada tingkat spinal berinteraksi dengan reseptor dan . Bila seseorang diinjeksi morfin atau heroin, obat tersebut akan cepat didistribusikan ke syaraf pusat. Obat terakumulasi dalam VTA (Ventral Tegmental Area), nucleus accumbens, nucleus caudatus dan thalamus. Obat tersebut akan berikatan dengan reseptor dan terkonsentrasi dalam area tersebut. Pengaruh obat yang terdapat dalam dalam thalamus akan menyebabkan efek analgesia. Mekanisme kerja morfin dari 2 (dua) atau paling sedikit 3 (tiga) saraf neuron yang terlibat. Tiga saraf neuron yang terlibat adalah : terminal dopamine, terminal yang mengandung neurotransmitter yang berbeda (GABA) dan sel pos-sinaptik yang mengandung reseptor dopamine. Opium berikatan dengan reseptor, kemudian mengirim signal ke terminal dopamin dan merangsang pembebasan dopamine lebih banyak. Pada teori ini reseptor opium menurunkan aktivitas pembebasan GABA yang dalam keadaan normal GABA tersebut menghambat pembebasan dopamin. Pada peristiwa efek morfin ini dopamine yang dibebaskan menjadi lebih banyak. Selama banyak dopamin yang dibebaskan, ada peningkatan aktivitas reseptor dopamin, sehingga efeknya menyerupai kokain. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi siklik AMP di dalam sel post-sinaptik yang akan mengganggu kegiatan normal neuron. Penggunaan opium yang berkelanjutan mengakibatkan tubuh tergantung pada obat tersebut supaya dapat memelihara keadaan normal dan penderita tidak akan dapat menikmati hidup normal (makan, minum, nafsu seks).(5)

GUIDELINE TERAPI KETERGANTUNGAN OPIOID

Terapi ketergantungan opioida yang efektif menurut WHO (2003) adalah terapi abstinensia dan terapi substitusi. Ada 3 bentuk terapi substitusi, yaitu : agonis opioida (metadon), antagonis opioida (naltrekson) dan parsial agonis opioida (buprenorfin). (6)(7)

DOCA (Detoksifikasi Opioid Cepat dengan Anestesi) yaitu dengan melakukan anestesi umum 6-12 jam kemudian setelah itu diteruskan dengan ubat substitusi .

FARMAKOLOGI KLINIS

Buprenorfin

Buprenorfin adalah suatu derivate alkaloid morfin, thebaine, yang merupakn suatu agonis opioid parsal pada reseptor opioid my () system saraf. Meskipon pada dosis rendah merupakan agonis reseptor yang poten namun aktivitas oipioid maksimal Buprenorfin memiliki efek atap (ceiling effect).Buprenorfin mengurangi keinginan untuk memekai heroin, dan mencengah atau meringankan gejala putus opioid pada pengguna ketergantungan heroin. Dibandingkan dengan pengguna agonis penuh, buprenorfin memiliki afinitas yang lebih tinggi pada reseptor opioid . Karenanya buprenorfin dapat menghambat efek agonis opioid lainnya dalam satu pola yang bergantung dosis. Melaluli efek gandanya yaitu menurunkan keinginan untuk memakai dan mengurangi respon terhadap pemakai heroin, buprenorfin mengurangi pemakaian-sendiri heroin.Untuk mengobati ketergantungan opioid dalam satu kesatuan medis, social dan psikologis, di Indonesia saat ini terdapat produk kombinasi Suboxone , suatu tablet sublingual yang mengandung Buprenorfin hidroklorida dan Nalakson hidroklorida dalam suatu ratio 4:1 . Suboxone , tersedia dalam 2 dosis, yaitu 2mg Buprenorfin dan 0,5mg Nalokson, dan 8mg Buprenorfin dan 2mg Nalokson. Alas an pengembangan dari mono-Buprenorfin (Subutex) menjadi kombinasi Buprenorfin-Nalokson (Suboxone) oleh Reckitt Benckisser adalah untuk menyediakan suatu produk yang memungkinkan penyalahgunaan melalui injeksi oleh pengguna ketergantungan Heroin lebih rendah, dan untuk mendorong pemakaian Buprenorfin sublingual untuk menghilangkan perilaku kebiasaan menyuktik. Injeksi sediaan kombinasi sediaan oleh pasien ketergantungan opioid dapat menyebabkan timbulnya gejala putus obat yang berat sehingga para pengguna ketergantungan opioid tidak lagi tertarik untuk menyuntik sediaan kombinasi. Dengan demikian, sediaan kombinasi ini lebih aman untuk diberikan sebagai medikasi take-away .

Nalokson

Nolakson merupakan suatu antagonis pada reseptor opioid . Pemberian Nalokson melalui oral atau sublingual memiliki aktivitas farmakologis yang minimal kerana metabolisme lintas pertama (first pass metabolism) mendekati lengkap. Namn jika sediaan kombinasi dibeikan melalui intravena kepada pasien ketergantungan opioid, keberadaan Nalokson menyebabkan timbulnya efek antagonis opioid dalam bentuk gejala putus opioid, sehingga pengalaman tersebut menimbulkan efek jera. Nalokson memiliki masa kerja pendek dan efeknya hanya berlangsung selama 15-20 menit. Obat ini telah digunakan untuk mengatasi overdosis opioid sejak tahun 1970.

CARA PEMBERIAN

a) Sublingual Sedianan obat kombinasi harus diberikan secara sublingual, yang akan larut dalam waktu 2-10 menit setelah diletakkan di bawah lidah. Setelah tablet larut, Buprenorfin akan diabsorpsi ke dalam aliran darah kemudian menuju ke otak menghasilkan efek opioid. Nalakson tidak diabsorpsi ke dalam peredaran darah dan tidak memberi efek di otak.Ketersediaan-hayati Buprenorfin sublingual sangat tergantun pada waktu ketika obat kontak dengan mukosa mulut dan akan meningkat jika individu telah terlatih untuk pemakaian sublingual.Efek medikasi akan tercapai dalam waktu 30-60 menit dan efek optimal dicapai setelah 1-4jam. Durasi efek bervariasi tergantung dosis dan individu yang mengomsumsi obat. Secara umum, semakin tinggi dosis, semakin lama durasi efeknya.

a) Oral dan DitelanBuprenorfon-Nalokson kurang efektif jika ditelan (dari mulut kemudian mask ke lambung dan usus) kerena melewati proses metabolisme hati sehingga seluruh Buprenorfin terurai.

b) InjeksiSediaan obat kombinasi tidak boleh disuntikkan. Jika disuntikkan dapat menyebabkan efek local berupa nyeri dan kolaps vena, bekuaan darah dan meningkatkan resiko infeksi.Bila pasiean ketergantungan opioid menyuntik sediaan obat kombinasi melalui vena maka:Buprenorfin masuk ke dalam peredaran darahNalokson akan diabsorpsi, menghambat efek Buprenorfin dan opioid lainnya(seperti heroin dan metadon)

DURASI KERJA

Buprenorfin merupakan suatu obat dengan masa kerja panjang (long-acting) dengan eliminasi terminal 24-37 jam. Efek klinis puncak dicapai dalam waktu 1-4 jam setelah pemberian sublingual. Pada dosis rendah (2mg), efek ini akan terus dirasakan selama 12jam ; pada dosis lebih tinggi (16mg dan 32mg), efek bertahan sampai 48-72 jam. Durasi efek yang berkepanjangan pada pemberian dosis tinggi memungkinkan pemberian selang-hari dan bahkan 3minggu.

EFEK SAMPING

Efek samping Buprenorfin serupa dengan opioid lainnya, yang paling sering adalah: Konstipasi Gangguan tidur Berkeringat Nyeri kepala Mual Libido menurunBukti menunjukkan bahwa Buprenorfin memiliki efek minimal terhadap perfoma psikomotor, dan efek yang lebih ringan disbanding Metadon atau Morfin oral lepas lambat (slow release). Efek tersebut kemungkinan muncul terbesar selama stadium awal pengobatan atau setelah peningkatan dosis. Pada waktu-waktu tersebut pasien hendaknya disarankan untuk tidak mengemudi kendaraan atau mengoperasi mesin.Buprenorfin tampaknya memiliki dampak minimal terhadap fungsi hati, meskipun pernah dilaporkan terjadinya hepatitis akut setelah dosis sangat tinggi (>32mg iv). (8)

INDIKASI

berikut adalah pedoman yang harus diperhatikan ketika mempertimbangkan pemberian terapi Buprenorfin-Nalakson, baik dalam program rumtab, tapering maupon detoksifikasi. Terapi ini hanya diindikasi bagi mereka yang mengalami ketergantungan opioid.

Kriteria diagnosis untuk ketergantungan zat, penyalahgunaan zat, intoksikasi zat dan putus zat menurut DSM-IV.

Kriteria diagnosis untuk ketergantungan zat :

Suatu pola pemakaian zat maladaptif yang menyebabkan gangguan atau penderitaan yang bermakna secara klinis seperti yang dimanifestasikan oleh tiga (atau lebih) hal berikut, terjadi pada tiap saat dalam periode 12 bulan yang sama.

1. Toleransi, seperti yang didefinisikan oleh berikut :a. Kebutuhan untuk meningkatkan jumlah zat secara jelas untuk mencapai intoksikasi atau efek yang diinginkan.b. Penurunan efek yang bermakna pada pemakaian berlanjut dengan jumlah zat yang sama.

2. Putus, seperti yang dimanifeskan oleh berikut :a. Sindroma putus yang karakteristik bagi zat (lihat kriteria A dan B dari kumpulan kriteria untuk putus dari zat spesifik).b. Zat yang sama (atau yang berhubungan erat) digunakan untuk meghindari atau menghilangkan gejala putus.

3. Zat seringkali digunakan dalam jumlah yang lebih besar atau selama periode yang lebih lama dari yang diinginkan.

4. Terdapat keinginan terus menerus atau usaha yang gagal untuk menghentikan atau mengendalikan penggunaan zat.

5. Dihabiskan banyak waktu dalam aktivitas untuk mendapatkan zat (misalnya mengunjungi banyak dokter atau pergi jarak jauh), menggunakan zat ( misalnya chain-smoking), atau pulih dari efeknya.

6. Aktivitas sosial, pekerjaan, atau rekreasional yang penting dihentikan atau dikurangi karena penggunaan zat.

7. Pemakaian zat dilanjutkan walaupun mengetahuimeiliki masalah fisik atau psikologis yang menetap atau rekuren yang kemungkinan telah disebabkan dieksaserbasi oleh zat (misalnya baru saja menggunakan kokain walaupun menyadari adanya depresi akibat kokain, atau terus minum walaupun mengetahui ulkus memburuk oleh konsumsi alkohol).(9)Sebutkan jika : Dengan ketergantungan fisiologis : tanda-tanda toleransi atau putus (yaitu terdapat butir 1 maupun 2) Tanpa ketergantungan fisiologis : tidak ada tanda-tanda toleransi atau putus (yaitu tidak terdapat butir 1 maupun 2)

KONTRAINDIKASI

1. Penggunaan agonis murni bersama dengan campuran agonis-antagonis.Bila campuran obat agonis- antagonis seperti pentazosin diberikan pada pasien yang juga mendapat agonis, kemungkinan pengurangan analgesia atau mungkin menginduksi suatu keadaan adanya penghentian obat, sehingga bila memang diperlukan kombinasi agonis dengan campuran agonis-antagonis opioid, maka pemberiaanya harus berhati-hati.

2. Penggunaan pada pasien dengan trauma pada kepala.Retensi CO2 menyebabkan depresi pernapasan yang menimbulkan vasodilatasi serebral pada pasien dengan tekanan intrakranial yang meninggi dapat menimbulkan perubahan fungsi otak yang fatal.

3. Penggunaan pada pasien dengan gangguan fungsi paru .Pada pasien-pasien dengan cadangan pernapasan yang terbatas, sifat depresan dari analgesik opioid dapat menyebabkan terjadinya kelemahan pernapasan akut.

4. Penggunaan pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal.Morfin dan turunannnya dimetabolisme terutama dalam hepar dengan cara konjugasi dengan glukoronid, sehingga penggunaannya pada pasien dengan koma prehepatik dapat dipertanyakan.

5. Penggunaan pada penyakit endokrin .Pasien-pasien dengan infusiensi adrenal dan pada pasien dengan hipotirodisme respons terhadap opioid dapat diperpanjang dan berlebihan.(8)

PROGNOSIS Prognosis bagi penyalahgunaan opioid biasanya merujuk kepada akibat dari penyalahgunaan zat itu sendiri. Prognosis ini meliputi durasi dari aktivitas penyalahgunaan zat, kemungkinan komplikasi yang bisa timbul dari penyalahgunaan zat, prospek untuk sembuh, durasi yang diperlukan untuk sembuh, kadar kematian dan kesembuhan dan lain-lain kemungkinan yang bisa timbul. Pada kebiasaannya perkara ini hanya dapat menurut ketentuan alami.Kadar kematian : 19. 102 (kematian per tahun : 19, 102 orang meninggal dunia disebabkan oleh penyalahgunaan zat pada tahun 1999 AS (NVSR Sep 2001))

Insiden : 4.000.000 (prevalensi AS : lebih dari 4juta wanita memerlukan perawatan untuk penyalahgunaan zat (NWHIC)

0,48% (rasio kematian berbanding prevalensi)

BAB III

KESIMPULAN Ketergantungan opioid merupakan suatu penyakit otak kronis yang seringkali berulang. Pada bulan Augustus 2011, American Society of Addiction Medicine (ASAM) telah mengeluarkan definisi adiksi yang baru, yaitu suatu penyakit otak kronis primer yang berkaitan dengan brain reward, motivasi memori dan sirkulasi terkait, dengan menifestasi klinis yang tampak dari penyimpangan bilogi,psikologi social dan spiritual.(10)

DAFTAR PUSTAKA

1.Anonim. Menggunakan Buprenorfin Guidline Dalam Terapi Ketergantungan Opioida . Badan Pengawas Obat Dan Makanan Rebulik Indonesia . Volume 8, N0.1, 20072.Pt. Meddia Herbal Kutai Kartanegara. Bekerjasama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Yayasan Kelompok Peduli Penyalahgunaan Narkotika dan Obat-obat Terlarang (YKP2N) Makassar. Laporan terapi pasien penderita ketergantungan narkoba dengan menggunakan herbal bandrux. 3.Anonim. Penyalahgunaan zat psikotropika. Diunduh dari http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/mengenal% 20jenis%20dan%20faktor%20penyebab%20penyalahgunaan%20napza.pdf.Kaplan, 4.Kaplan, Harold, Benjamin J. S, dan Jack A G. Sinopsis psikiatri. Ed 7. Jilid I. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997; Hal 571 681.5.Goodman & Gillman. 2008. Manual of Pharmacology and Theraupetics. McGraw-Hill Medica .New York Chicago San Francisco6.European Monitoring Center for Drug and Drug Adicction. Guidline For The Treatment Of Drug Dependence : A Europe Perspective; p 190 7.U.S. DEPARTMENT OF HEALTH AND HUMAN SERVICES Substance Abuse and Mental Health Services Administration Center for Substance Abuse Treatment. Medication-Assisted Treatment for Opioid Addiction. www.samhsa.gov8.Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia .Pedoman klinis penatalaksanaan ketergantungan opioid dengan buprenorfin- Nalakson9.Substance Related Disorder dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV), 4th edition, Washington DC:175-19110. ASAM. Definition of addiction. http//www.asam.org/for-the-public/definition-of-addiction. Diakses pada April 2015 .

14