terapi cairan
-
Upload
noviantykusumo -
Category
Documents
-
view
44 -
download
5
description
Transcript of terapi cairan
BAB I
PENDAHULUAN
Terapi cairan perioperatif meliputi cairan pada masa
prabedah, selama pembedahan, dan pascabedah. Terapi cairan
meliputi penggantian kehilangan cairan, memenuhi kebutuhan air,
elektrolit, dan nutrisi untuk membantu tubuh mendapatkan kembali
keseimbangan normal dan pulihnya perfusi ke jaringan, oksigenisasi
sel, dengan demikian akan mengurangi iskemia jaringan dan
kemungkinan kegagalan organ.
Defisit cairan perioperatif timbul sebagai akibat puasa
prabedah yang kadang kadang dapat memanjang, kehilangan
cairan yang sering menyertai penyakit primernya, perdarahan,
manipulasi bedah, dan lamanya pembedahan yang mengakibatkan
terjadinya sequestrasi atau translokasi cairan. Pada periode
pascabedah kadang-kadang perdarahan dan atau kehilangan cairan
(dehidrasi) masih berlangsung, yang tentu saja memerlukan
perhatian khusus. Puasa prabedah selama 12 jam atau lebih dapat
menimbulkan defisit cairan (air dan elektrolit) sebanyak 1 liter pada
pasien orang dewasa. Gejala dari defisit cairan ini belum dapat
dideskripsikan, tetapi termasuk di dalamnya adalah rasa haus,
perasaan mengantuk, dan pusing kepala.
Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk
mengganti defisit prabedah, selama pembedahan dan pascabedah
diamana saluran pencernaan belum berfungsi secara optimal
disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian. Terapi
dinilai berhasil apabila pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda
1
hipovolemik dan hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan
berupa edema paru dan gagal nafas.
Pemberian terapi cairan antara individu yang satu dengan
yang lainnya bersifat relatif, karena dalam praktiknya terapi cairan
diberikan sesuai dengan keadaan hemodinamik pasien sehingga
sulit diukur secara objektif.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Fisiologi Cairan Tubuh
Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat
berubah tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas seseorang. Pada
bayi usia <1 tahun cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia
>1 tahun mengandung air sebanyak 70-75%. Seiring dengan pertumbuhan seseorang
persentase jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun yaitu pada
laki-laki dewasa 50-60% berat badan, sedangkan pada wanita dewasa 50% berat
badan.1
Tabel 1. Perubahan cairan tubuh total sesuai usia
2
Dikutip dari : Garner MW : Physiology and pathophysiology of the body fluid, St Louis, 1981.
Mosby.
Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada
perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun
perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan
tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka
resiko penderita menjadi lebih besar.
Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan
kompartemen ekstraselular. Lebih jauh kompartemen ekstraselular dibagi menjadi
cairan intravaskular dan interstitial.
Gambar 1. Kompartemen cairan tubuh
Cairan intraselular adalah cairan yang terkandung di antara sel. Pada orang
dewasa, sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar
27 liter rata- rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram),
sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan
intraselular.
3
Cairan ekstraselular adalah cairan yang berada di luar sel. Jumlah relatif
cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar
setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun,
jumlah cairan ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini
sebanding dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg.
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11-12
liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif
terhadap ukuran tubuh, volume cairan intersisial adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi
baru lahir dibandingkan orang dewasa.
Cairan intravaskular merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh
darah (contohnya volume plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6
liter, dimana 3 liternya merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah, sel
darah putih dan platelet.
Cairan transeluler merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh
tertentu seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan
sekresi saluran pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah
sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang
transeluler.
Gambar 2. Distribusi cairan tubuh
4
Dikutip dari: Lyon Lee. Fluid and Electrolyte Therapy. Oklahoma State University. 2006.
http://member.tripod.com/~lyser/ivfs.htm
2.2 Distribusi Cairan Infus
Dahulu, prediksi klinis ekspansi volume plasma setelah pemberian infus
dengan asumsi bahwa ruang cairan tubuh adalah statik. Analisa kinetik dari ekspansi
volume plasma mengantikan asumsi statik dengan deskripsi dinamik. Sebagai contoh
dari pendekatan statik, sebagai contoh pasien yang berat badannya 70 kg mengalami
kehilangan darah sebanyak 2.000 mL, sekitar 40% dari 5 liter volume darah.
Rumus yang menunjukkan efek pengganti dengan dekstrosa 5% dalam air
(D5W), cairan Ringer’s laktat, atau serum albumin 5% atau 25% adalah sebagai
berikut:
Persamaan tersebut menghasilkan:
Volume cairan infus = kenaikan volume plasma yang diharapkan x distribusi
volume/volume plasma normal
Untuk mengembalikan volume darah menggunakan D5W dibutuhkan jumlah
sebanyak 28 liter:
28 liter = 2 liter x 42 liter/3 liter,
dimana 2 liter adalah kenaikan cairan plasma yang diinginkan, 42 liter = total berat
tubuh pada individu dengan berat badan 70 kg, dan 3 liter adalah volume plasma
normal.
Untuk mengembalikan volume darah menggunakan RL dibutuhkan jumlah
cairan sebanyak 9,1 liter:
9,1 liter = 2 liter x 14 liter/3 liter,
dimana 14 liter = volume ekstraselular pada individu dengan berta badan 70 kg.
5
Kenaikan volume plasma yang diharapkan = volume cairan infus x volume plasma normal/distribusi volume
Bila albumin 5%, yang tekanan osmotik ekstra koloidnya mirip dengan
plasma, diberikan dalam infus, jumlah cairan yang awal diberikan akan tetap dalam
volume plasma, mungkin menarik cairan interstitial tambahan ke intravaskular.
Serum albumin 25%, koloid terkonsentrasi, memperluas volume plasma sekitar 400
mL untuk 100 mL cairan infus yang diberikan.
Akan tetapi, dalam istilah kinetik, analisa ini adalah sederhana. Cairan yang
diinfus tidak berimbang secara merata pada distribusi volume yang diduga, namun
ditambahkan pada sistem dengan regulasi tinggi yang bertujuan untuk
mempertahankan volume intravaskular, interstitial, dan intraslular. Contoh kinetik
dari terapi cairan intravena memungkinkan klinisi memprediksi secara lebih akurat
waktu perubahan volume yang dihasilkan oleh cairan infus dalam beberapa
komposisi. Analisis kinetik dapat memperkirakan volume puncak ekspansi dan laju
clearance dari cairan infus dan analisis pelengkap dari efek “farmakodinamik”,
seperti perubahan pada cardiac output atau tekanan pengisisan jantung.
2.3 Pengaturan Volume Cairan Ekstraselular
Kandungan total cairan tubuh diatur melalui pengambilan dan output air.
Pengambilan air meliputi cairan yang dicerna ditambah sekitar 750 mL makanan
padat yang dicerna dan 350 mL yang dimetabolisme. Jumlah normal insesible water
loss adalah sekitar 1 L/hari dan kehilangan melalui gastrointestinal sekitar 100-150
mL/hari. Haus, mekanisme primer dalam mengatur pengambilan cairan, dipicu oleh
peningkatan tonisitas cairan tubuh atau oleh pengurangan volume ekstraselular.
Reabsorbsi dari air yang difiltrasi dan reabsorpsi natrium ditingkatkan melalui
perubahan yang dimediasi oleh faktor antidiuretic hormon (ADH), atrial natriuretic
peptide (ANP), dan aldosterone. Penanganan air renal memiliki tiga komponen
penting: (1) pengantaran cairan tubular ke segmen pengenceran dari nephron; (2)
pemisahan solusi dan air pada segmen pengenceran; (3) reabsorbsi yang bervariasi
dari air pada duktus kolektivus. Pada bagian descenden loop of Henle, air
direabsorbsi sedangkan solusi ditahan untuk mencapai osmolaritas pada cairan
6
tubular sekitar 1.200 mOsm/kg. Cairan terkonsentrasi ini kemudian diencerkan oleh
reabsorbsi aktif dari elektrolit pada bagian ascenden loop of Henle dan pada tubulus
distal, keduanya relatif impermeabel terhadap air. Ketika cairan keluar dari tubulus
distal dan memasuki duktus kolektivus, osmolaritas sekitar 50 mOsm/kg. Dalam
duktus kolektivus, reabsorpsi air air dimodulasi oleh ADH (juga disebut vasopressin).
Vasopressin berikatan dengan reseptor V2 pada sisi membran basolateral dari sel
duktus kolektivus, kemudian merangsang sintesis dan insersi channel aquaporin-2 ke
dalam membran luminal dari sel duktus kolektivus.
Hipotonisitas plasma menekan pelepasan ADH, sehingga eksresi urin menjadi
encer. Hipertonisitas sebaliknya merangsang pelepasan ADH, yang meningkatkan
permeabilitas dari duktus kolektivus terhadap air dan meningkatkan reabsorbsi air.
Sebagai respon dari perubahan konsentrasi Na+ di plasma, sekresi ADH dapat
menghasilakan osmolaritas urin yang bervariasi dari 50-1.200 mOsm/kg dan jumlah
urin dari 0.4-20 L/hari. Faktor lain yang merangsang pelepasan ADH, meski tidak
sekuat tonisitas plasma, termasuk hipotensi, hipovolemia, dan rangsangan nonosmotic
seperti muntah, nyeri, dan pengobatan seperti opiat.
Terdapat dua sistem yang mengatur total natrium tubuh secara kuat. Peptida
natiuretik, ANP, peptida natriuretik otak, BNP, dan peptida natriuretik tipe-C,
mencegah terjadinya overload natrium dan axis renin-angiotensin-aldosterone
mencegah terjadinya deplesi natrium dan hipovolemia. ANP, yang dilepaskan dari
atria jantung sebagai respon dari peningkatan peregangan otot atrial, menekan efek
vasodilatasi dan meningktakan ekskresi air dan natrium ginjal. Sekresi ANP
berkurang selama hipovolemia. Walau pada pasien dengan insufisiensi renal kronik,
infus ANP rendah, dosis nonhipotensif meningkatkan eksresi natrium dan
meningkatkan kehilangan urin dengan menahan solusi.
Aldosterone adalah jalur final dari respon kompleks terhadap pengurangan
volume arterial yang efektif, baik pengurangan volume arteial yang efektif ini benar
ataupun relatif (tahap edematous atau hipoalbuminemia). Pada jalur ini, pengurangan
peregangan baroreseptor lengkung aorta dan carotid body dan reseptor regangan di
7
vena besar, vaskularisasi pulmonal, dan atrium menghasilkan peningkatan rangsang
simpatis. Peningkatan rangsang simpatis, dengan kombinasi penurunan perfusi renal,
mengarah pada pelepasan renin dan pembentukan angiotensin I dari angiotensinogen.
Angiotensin-converting enzyme (ACE) mengubah angiotensin I menjadi angiotensin
II, yang merangsang kortek adrenal untuk mensintesis dan melepaskan aldosteron.
Bekerja secara primer di tubulus distal, konsentrasi tinggi aldosteron menyebabkan
reabsorbsi natrium dan mungkin mengurangi eksresi urin akan natrium mendekati
nol. Faktor fisik intrarenal juga penting dalam mengatur keseimbangan natrium.
Natrium mengurangi tekanan osmotik koloid, sehingga meningkatkan laju filtrasi
glomerular (LFG), menurunkan reabsorpsi natrium dan meningkatkan pengantaran
natrium distal, yang pada akhirnya menekan sekresi renin.
2.4 Kebutuhan Pemeliharaan untuk Air, Natrium, dan Kalium
Dua rumus sederhana digunakan secara bergantian untuk mengukur
kebutuhan cairan pemeliharaan. Pada dewasa yang sehat, air yang cukup dibutuhkan
untuk menyeimbangkan gastrointestinal loss sebanyak 100 sampai 200 mL/hari,
insesible loss sebanyak 500 sampai 1.000 mL/hari (setengah dari pernapasan dan
setengah lagi dari kutaneous), dan urinary loss sebanyak 1.000 ml/hari. Urinary loss
yang melebihi 1.000 ml/hari menunjukkan respon fisiologis ekspansi cairan
ekstraselular atau ketidakmampuan untuk menahan garam atau air.
Kebutuhan sehari-hari untuk natrium dan kalium adalah sebanyak 75 mEq/L
dan 40 mEq/L, meski jarak yang lebih lebar dari asupan natrium dibanding asupan
kalium masih dianggap fisiologik karena penyimpanan natrium renal dan eksresinya
lebih efisien dibanding kalium. Maka dari itu, individu dewasa sehat dengan berat 70
kg memerlukan 2.500 mL/hari air mengandung konsentrasi natrium 30 mEq/L dan
konsentrasi kalium 15 sampai 20 mEq/L. Secara intraoperatif, cairan mengandung air
bebas natrium (cotoh: konsentrasi natrium <130 mEq/L) jarang digunakan pada
individu dewasa, karena kebutuhan untuk mengganti kehilangan cairan isotonik dan
risiko terjadinya hiponatremia postoperatif.
8
Tabel 2. Kebutuhan pemeliharaan cairan
Berat (kg) mL/kg/jam mL/kg/hari
1-10 4 100
11-20 2 50
21-n 1 20
Dikutip dari : Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed.
Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2006: 186.
Dahulu cairan intravena mengandung glukosa digunakan untuk mencegah
terjadinya hipoglikemia dan membatasi katabolisme protein. Akan tetapi, karena
adanya respon hiperglikemik yang berhubungan dengan stres bedah, hanya bayi dan
pasien yang mendapat insulin atau obat-obatan yang mempengaruhi sintesis glukosa
yang berisiko tinggi untuk terjadinya hipoglikemia. Hiperglikemia iatrogenik dapat
membatasi efektifitas resusitasi cairan dengan menginduksi diuresis osmotik dan pada
hewan dapat memperburuk luka iskemik neurologik. Meski berkaitan dengan hasil
yang buruk setelah perdarahan subaraknoid, hiperglikemia dapat mendasari terjadinya
respon hormonal yang mengakibatkan luka yang lebih berat. Pada pasien dengan
sakit kritis, bukti kuat menunjukkan bahwa kontrol ketat glukosa plasma
(pemeliharaan glukosa plasma antara 80 dan 110 mg/dL) berkaitan dengan
menurunnya tingkat mortalitas dan morbiditas. Bukti juga menunjukkan bahwa
kontrol glukosa dapat memperbaiki kondisi pasien bedah.
2.5 Kebutuhan Cairan Bedah
9
Kehilangan cairan dan elektrolit. Pasien bedah memerlukan kebutuhan
cairan pengganti dari volume plasma dan volume ekstraselular yang secara sekunder
keluar melalui luka atau edema luka bakar, ascites, dan sekresi gastrointestinal. Luka
dan edema luka bakar dan cairan ascites merupakan cairan kaya protein dan
mengandung elektrolit dengan konsentrasi yang serupa dengan plasma. Meski sekresi
gastrointestinal komposisinya sangat bervariasi, komposisi dari cairan pengganti tidak
perlu serupa bila cairan ekstraselular masih adekuat dan fungsi renal serta
kardiovaskular masih normal. Kehilangan yang utama dari cairan gastrointestinal
memerlukan elektrolit pengganti yang akurat (contoh: kalium, magnesium,
phosphate). Kehilangan cairan gastrik yang kronik dapat menimbulkan alkalosis
metabolik hipokloremik yang dapat dikoreksi dengan larutan saline 0.9%; diare
kronik dapat menimbulkan asidosis metabolik hiperkloremik yang dapat dicegah atau
dikoreksi dengan infus yang mengandung bicarbonat atau lactate. Bila fungsi renal
dan cardiovaskular terganggu, cairan pengganti yang lebih tepat memerlukan
pemeriksaan yang sering dari serum elektrolit.
Perpindahan cairan selama pembedahan. Pemberian cairan pengganti
intraoperatif harus mempertimbangkan akumulasi cairan ekstravaskular pada jaringan
yang dimanipulasi pada pembedahan. Maka dari itu, panduan telah dibuat untuk
pemberian cairan pengganti pada prosedur pembedahan. Rumus paling sederhana
digunakan untuk pemeliharaan cairan dan penggantian darah yang hilang, 4
mL/kg/jam untuk prosedur dengan trauma minimal, 6 mL/kg/jam dengan trauma
sedang, dan 8 mL/kg/jam dengan trauma yang ekstrim.
Akan tetapi, rumus untuk pemberian cairan pengganti pada intraoperatif akan
didiskusikan kembali dan kemungkinan akan dirumuskan kembali dalam beberapa
tahun ke depan. Uji klinik menunjukkan bahwa tatalaksana cairan perioperatif dapat
mempengaruhi baik minor maupun mayor morbiditas dan pengaruh tersebut berkaitan
dengan jenis operasi yang dilakukan dan jenis cairan yang digunakan. Yogendran dkk
mengacak 200 ASA I-II, pasien bedah rawat jalan yang mendapat 20 mL/kg atau 2
mL/kg Plasmalyte bolus selama 30 menit sebelum pembedahan; pasien yang
10
mendapat dosis yang lebih tinggi mengurangi kehausan postoperasi, kekantukan,
sakit kepala, dan muntah. Holte dkk mengacak 48 pasien ASA I-II yang menjalani
laparoskopik, kolesistotomi, mendapat baik 15 mL/kg ataupun 40 mL/kg RL
intraoperatif; pemberian dosis yang lebih tinggi berhubungan dengan perbaikan
fungsi paru dan kapasitas aktivitas postoperasi, mengurangi respon stres
neurohumoral, dan perbaikan dalam muntah, perasaan sehat, kehausan, sakit kepala,
kantuk, fatigue, dan fungsi keseimbangan. Sebaliknya, Brandstrup dkk mengacak 172
pasien bedah kolon elektif dengan tatalaksana cairan perioperatif restriktif atau
talaksana cairan perioperatif standar dengan tujuan primer menjaga berat badan
preoperatif pada kelompok dengan cairan restriktif. Kelompok cairan restriktif
menerima cairan perioperatif yang lebih sedikit dan mendapat <1 kg kebalikan dari
>3 kg pada kelompok terapi standar. Komplikasi postoperatif secara signifikan lebih
sedikit pada kelompok cairan restriktif. Komplikasi kardiopulmonal dan
penyembuhan jaringan secara signifikan juga berkurang dan berhubungan dengan
restriksi cairan.
2.6 Mobilisasi Cairan Interstitial yang Meluas
Penyebab penting terjadinya ekspansi cairan interstitial perioperatif adalah
mobilisasi dan akumulasi cairan yang kembali ke cairan ekstraselular dan volume
plasma, atau disebut dengan istilah deresusitasi. Pada kebanyakan pasien, mobilisasi
terjadi pada hari ketiga postoperatif. Bila sistem kardiovaskular dan ginjal tidak
secara efektif mentranspor dan mengekskresi cairan, pada pasien dapat terjadi fungsi
jantung yang borderline, hipervolemia, dan edema paru.
2.7 Koloid, Kristaloid, dan Larutan Hipertonik
2.7.1 Fisiologi dan Farmakologi
Partikel osmotik aktif menarik air melewati membran semipermeabel sampai
terjadi keseimbangan. Osmolaritas suatu larutan tergantung dari jumlah partikel
11
osmotik aktif per liter dari solven; osmolalitas, pengukuran jumlah partikel osmotik
aktif per kilogram, yang dapat diukur dengan cara sebagai berikut:
Osmolalitas = ([Na+] x 2) + (Glucose/18) + (BUN/2.3)
dimana osmolalitas ditulis dalam mOsm/kg, konsentrasi Na+ ditulis dalam mEq/L,
serum glukosa ditulis dalam mg/dL, dan BUN (blood urea nitrogen) ditulis dalam
mg/dL. Gula, alkohol, dan pengecatan radiografik meningkatkan osmolalitas dan nilai
yang dihitung.
Hiperosmolar terjadi ketika konsentrasi dari partikel osmotik aktif yang
tinggi. Baik uremia (peningkatan BUN) maupun hipernatremia (peningkatan serum
natrium) meningkatkan osmolalitas serum. Akan tetapi, karena urea didistribusi
melalui total berat tubuh, peningkatan BUN tidak menyebabkan hipertonisitas.
Natrium, terdapat pada cairan ekstraselular, menyebabkan hipertonisitas, yang secara
osmotik menyebabkan redistribusi air dari intraselular ke ekstraselular. Istilah
“tonisitas” juga digunakan untuk membandingkan tekanan osmotik dari solusi
parenteral dengan plasma.
Meski hanya sebagian kecil dari partikel osmotik aktif di dalam darah yang
terdiri dari protein plasma, partikel tersebut esensial dalam menentukan
keseimbangan cairan antara kompartmen interstitial dan plasma dari cairan
ekstraselular. Koefesien refleksi (σ) menggambarkan permeabilitas membran kapiler,
dengan 0 mewakili permeabilitas bebas dan 1.0 mewakili permeabilitas komplit.
Koefisien refleksi untuk albumin berkisar antara 0.6 sampai 0.9 pada berbagai
capillary beds. Karena konsentrasi protein di kapiler melebihi konsentrasi interstitial,
tekanan osmotik didesak oleh protein plasma (diistilahkan tekanan osmotik koloid
atau tekanan onkotik) lebih tinggi dibanding tekanan onkotik interstitial dan
cenderung mempertahankan volume plasma. Laju filtrasi cairan dari kapiler menuju
ruang interstitial adalah hasil dari kombinasi gaya, termasuk gradien tekanan osmotik
koloid dari intravaskular ke interstitial. Filtrasi cairan pada poin manapun dalam
12
kapiler sistemik atau pulmonal diukur dengan hukum filtrasi kapiler Starling, dengan
perhitungan sebagai berikut:
Q = kA[(Pc – Pi) + σ (πi – πc)]
dimana Q = filtrasi cairan, k = koefisien filtrasi kapiler (konduktivitas air), A =
membran area kapiler, Pc = tekanan hidrostatik kapiler, Pi = tekanan hidrostatik
interstitial, σ = koefisien refleksi albumin, πi = tekanan koloid osmotik interstitial,
dan πc = tekanan osmotik koloid kapiler.
Volume cairan interstitial ditentukan oleh laju filtrasi kapiler relatif dan
drainase limfatik. Pc, faktor terkuat dalam filtasi cairan, ditentukan oleh arus kapiler,
resistensi arteri, resistensi vena, dan tekanan vena. Bila filtrasi kapiler meningkat, laju
filtrasi air dan natrium biasanya melebihi filtrasi protein, menghasilkan pemeliharaan
πc, pengenceran πi, dan pemeliharaan gradien tekanan onkotik, faktor terkuat dalam
melawan filtrasi cairan. Bila digabung dengan peningkatan drainase limfatik,
pemeliharaan gradien tekanan onkotik membatasi akummulasi cairan interstitial. Jika
Pc meningkat pada saat drainase limfatik maksimal, maka volume interstitial
terakumulasi dan menyebabkan edema.
2.7.2 Implikasi Klinis Dari Pemilihan Cairan Alternatif
Jika permeabiltas membran masih utuh, koloid seperti albumin atau
hydroxyethyl strach biasanya memperluas volume plasma ketimbang volume cairan
interstitial. Larutan koloid terkonsentrasi (contoh: albumin 25%) menimbulkan
tekanan onkotik yang cukup untuk mentranslokasi volume substansial dari volume
cairan interstitial ke volume plasma. Perluasan volume plasma yang tidak diikuti
dengan perluasan volume cairan interstitial menghasilkan keuntungan seperti
kebutuhan cairan yang lebih sedikit, edema perifer dan pulmonal yang sedikit, dan
menurunkan risiko kardiopulmonal dari mobilisasi cairan lanjut.
Akan tetapi, penelitian yang mendalam telah gagal dalam menetapkan
keunggulan di antara koloid dan kristaloid. Tinjauan sistemik mengenai perbandingan
antara koloid dengan kristaloid dan albumin dengan kristaloid menunjukkan
13
mortalitas yang tidak berubah berkaitan dengan penggunaan koloid, meski, kristaloid
mungkin lebih unggul pada pasien dengan trauma multipel. Meski kurangnya bukti
yang menunjukkan penggunaan koloid pada perioperatif mempengaruhi mortalitas,
Moretti dkk melaporkan bahwa pasien yang diacak mendapat 6% hetastarch
menunjukkan muntah postoperatif yang jarang dibanding kelompok yang mendapat
RL tanpa koloid. Sebagai tambahan, pemberian koloid nampaknya menjadi
komponen esensial dalam strategi tatalaksana perioperatif yang menunjukkan
perbaikan morbiditas setelah operasi kolon dan setelah operasi mayor.
Walau hydroxyethyl starch, koloid sintetik yang paling sering digunakan,
lebih murah dibanding albumin, dosis besarnya (melebihi 20 mL/kg/hari) dapat
menimbulkan koagulopati. Baru-baru ini, formulasi hydroxyethyl starch terbaru
diperkenalkan dan mengandung campuran yang berbeda dalam ukuran molekular dan
terlarut dalam larutan garam dibanding saline 0.9%. Formulasi baru ini juga
mengurangi risiko terjadinya koagulopati dan asidosis metabolik hiperkloremik. Akan
tetapi, berat molekular yang lebih rendah dari formulasi hetastarch baru ini sedikit
mempengaruhi terjadinya koagulopathy. Penyulingan lebih lanjut nampaknya kan
terjadi dalam membedakan koloid yang secara klinis digunakan.
2.7.3 Implikasi Infus Kristaloid dan Koloid pada Tekanan Intrakranial
Karena adanya membran kapiler otak, blood-brain barrier, yang impermeabel
terhadap natrium, secara kasar merubah osmolalitas serum yang dihasilkan oleh
perubahan serum natrium menimbulkan perubahan yang timbal balik pada cairan
otak. Pada kelinci yang dibius, pengurangan osmolalitas plasma dari 295 mOsm/kg
ke 282 mOsm/kg (yang menurunkan tekanan osmotik plasma sampai 250 mmHg)
meningkatkan isi cairan kortikal dan tekanan intrakranial; sebaliknya, penurunan
tekanan osmotik koloid dari 20 ke 7 mmHg tidak menimbulkan perubahan yang
signifikan pada semua variabel. Kemiripan independesi cairan otak dan tekanan
intrakranial dengan tekanan osmotik koloid menunjukkan hipoalbumin yang
memanjang dan pada hewan setelah iskemia otak bagian depan dan pada luka
14
kriyogenik fokal. Sebaliknya, setelah perkusi cairan pada cedera otak, peningkatan
tekanan onkotik koloid dengan hetastarch menurunkan cairan otak dibandingkan
dengan pemberian infus saline 0.9%.
Tabel 3. Keuntungan dan Kerugian Pemberian Cairan Intravena Koloid
dengan Kristaloid
LARUTAN KEUNTUNGAN KERUGIANKoloid
Kristaloid
Volume infus yang lebih sedikitPemanjangan peningkatan
volume plasmaEdema perifer yang lebih luasEdema serebral yang jarang
Biaya lebih rendahArus urin yang lebih banyak
Menggantikan cairan interstitial
Biaya lebih besarKoagulopathy (dextran >
HES)Edema paru (kebocoran
kapiler)Penurunan LFG
Diuresis osmotik (berat molekular dextran yang
rendah)
Perbaikan hemodinamik yang transien
Edema periferEdema paru
HES, hydroxyethyl starch; LFG, Laju Filtrasi Glomerular
Dikutip dari : Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed.
Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2006: 186.
2.7.4 Implikasi Klinis dalam Pengaturan Cairan Hipertonis
Pengganti cairan kristaloid dan koloid yang ideal haruslah murah, mampu
meminimalkan kejadian edema perifer atau pulmonal, dapat menciptakan efek
hemodinamik yang stabil, dan dapat bekerja efektif walaupun diberikan dalam
volume yang kecil. Cairan hipertonis hipernatremia kelihatannya dapat memenuhi
kriteria tersebut.
15
Tabel 4. Resusitasi cairan hipertonis : keuntungan dan kerugian
SOLUTION ADVANTAGES DISADVANTAGESHypertonic crystalloid
Inexpensive Promotes urinary flowSmall intestinal volumeImproved myocardial contractility Arteriolar dilatationReduced peripheral edema Lower intracranial pressure
HypertonicitySubdural hemorrhageTransient effect
Hypertonic crystalloid plus colloid (in comparison to hypertonic crystalloid alone)
Sustained hemodynamic responseReduced subsequent volume requirements
Added expenseCoagulopathy (dextran > HES)Osmotic diuresisImpaired crossmatch (dextran)Hypertonicity
Dikutip dari : Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed.
Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2006: 187.
Antusiasme penggunaan resusitasi hipertonis dipicu oleh kerja Velasco dkk 8
yang dengan sukses menggunakan volume kecil (6 mL/kg) dari 7,5% saline
hipertonis sebagai larutan resusitasi pada anjing dengan perdarahan berat. Larutan
hipertonis menimbulkan efek yang menguntungkan terhadap hemodinamik otak
karena terdapat hubungan resiprokal antara osmolalitas plasma dan cairan otak.
Tekanan intrakranial meningkat selama resusitasi syok hemoragik dengan larutan
Ringer Laktat, tetapi tetap tidak berubah bila 7,5% saline diinfuskan dalam volume
yang cukup untuk memperbaiki hemodinamik sistemik. Bagaimanapun, peningkatan
16
tekanan intrakranial perlahan-lahan akan menghilang. Perlambatan dari peningkatan
tekanan intrakranial dilaporkan setelah resusitasi hipertonis dari syok hipovolemi
disertai oleh lesi massa inrakranial. Sebagai tambahan, peningkatan hemodinamik
sistemik dihasilkan oleh resusitasi hipertonis dalam waktu singkat. Strategi untuk
memanjangkan efek terapeutik selama 30-60 menit meliputi infus berlanjut dari
cairan hipertonis, penggantian dengan darah atau cairan konvensional, atau
penambahan koloid untuk resusitasi hipertonis.
Selain perhatian terhadap disfungsi sistem saraf sentral karena hipotonisitas
dan hiponatremia berkaitan dengan saline hipertonis, peningkatan akut natrium serum
dari 155 mEq/L menjadi 160 mEq/L tidak menimbulkan gejala-gejala yang tampak
pada pasien yang diresusitasi dengan saline hipertonis.8 Myelinolisis sentral pontinal
yang diikuti koreksi cepat terhadap kondisinya yang berat, hipernatremi kronis, tidak
diobservasi pada penelian ini. Selain teori yang mempertimbangkan pentingnya
pemberian saline hipertonis pada resusitasi pasien dengan trauma kepala, sebuah
penelitian random gagal membuktikan adanya perbaikan terhadap outcome pasien.8
2.7.5 Hipovolemia dan Hipoperfusi Jaringan
Kuantifikasi klinis volume darah dan volume ekstraselular dimulai dengan
pengenalan terhadap defisiensi kebutuhannya, misal pada pasien dengan obstruksi
usus, preparasi usus preoperasi, penggunaan diuretik yang lama, sepsis, luka bakar,
dan trauma. Gejala klinis hipovolemi antara lain oliguria, hipotensi supine, dan tes tilt
positif. Oliguria mencerminkan hipovolemi, walaupun pasien hipovolemi belum tentu
nonoliguri dan pasien normovolumik mungkin saja oliguria oleh karena gagal ginjal
atau respon endokrin yang dipicu oleh stress.
Hipotensi supine ditandai dengan defisit volume darah lebih dari 30%.
Meskipun tekanan darah arteri dalam keadaan yang normal, hal ini dapat juga
menyebabkan hipotensi relatif pada orang tua dan pasien hipertensi kronis.
Pada tes tilt, respon positif ditandai dengan peningkatan denyut jantung ≥20
kali/menit dan penurunan tekanan darah sistolik ≥20 mmHg ketika pasien diposisikan
17
berdiri. Tetapi, orang muda, pasien yang sehat dapat kehilangan 20% volume
darahnya dengan menunjukan tanda takikardi postural dan hipotensi postural.
Ortostasis dapat terjadi pada 20-30% pasien orang tua dengan volume darah yang
normal. Pada seorang donor, pengambilan darah 500mL dikompensasikan dengan
peningkatan denyut jantung saat pasien berdiri, tetapi tidak terdapat perbedaan yang
mencolok antara tekanan darah dengan indeks kardiak.
2.8 Elektrolit
Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non
elektrolit. Elektrolit merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan
arus listrik. Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion).
Jumlah kation dan anion dalam larutan adalah selalu sama (diukur dalam
miliekuivalen).
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan kation
utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa terdapat
di dinding sel tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini. Anion utama
dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat (HCO3-), sedangkan
anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat (PO43-). Karena kandungan
elektrolit dalam plasma dan cairan interstitial pada intinya sama maka nilai elektrolit
plasma mencerminkan komposisi dari cairan ekstraseluler tetapi tidak mencerminkan
komposisi cairan intraseluler.
Natrium
Na+ yang merupakan kation utama ekstraselular dan cairan, memegang
peranan penting untuk menghasilkan potensial aksi di jaringan saraf dan jantung.
Kelainan (peningkatan atau penurunan patologis) kadar natrium total tubuh
dihubungkan dengan peningkatan atau penurunan volume ekstraselular dan volume
plasma. Kelainan pada konsentrasi natrium, yaitu hiponatremia dan hipernatremi,
biasanya diakibatkan kekurangan atau kelebihan air yang relatif. Regulasi natrium
total tubuh dilakukan oleh sistem ginjal dan endokrin. Sekresi aldosteron dan ANP
18
mengkontrol natrium total tubuh. ADH yang disekresikan sebagai respon untuk
meningkatkan osmolalitas atau menurunkan tekanan darah, mengatur [Na+] secara
primer.
Tabel 5. Regulasi elektrolit
ELECTROLYTE REGULATED BY
Sodium Aldosterone, ANP, [Na+] altered by ADH
Potassium Aldosterone, epinephrine, insulin
Calcium Intrinsic renal mechanism, PTH, vitamin D
Phosphorus Primarily renal mechanism. Minor : PTH
Magnesium Primarily renal mechanism. Minor : PTH, vitamin D
Dikutip dari : Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed.
Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2006: 189.
Hiponatremia
Hiponatremia yang didefinisikan sebagai kadar [Na+] <130 mEq/L,
merupakan kelainan elektrolit yang banyak ditemukan pada pasien rawat inap. Pada
pasien rawat inap dengan hiponatremia, total natrium tubuh dapat normal atau
meningkat. Keadaan yang rentan menimbulkan hiponatremia antara lain postoperatif,
penyakit intrakranial akut, penyakit ganas, medikasi, dan penyakit paru akut.
Hiponatremia dihubungkan dengan peningkatan mortalitas secara nyata, sebagai efek
langsung dari kondisi hiponatremia itu sendiri atau karena hiponatremia dihubungkan
dengan penyakit sistemik berat.
Gejala dan tanda hiponatremia bergantung pada kadar dan beratnya penurunan
jumlah [Na+] plasma. Gejala yang dapat menyertai hiponatremia berat ([Na+] <120
mEq/L) meliputi kehilangan napsu makan, mual, muntah, kram, kelelahan, penurunan
kesadaran, koma, dan kejang.
Manifestasi sistem saraf pusat berhubungan dengan dehidrasi otak yang
berlebihan. Oleh karena permeabilitas sawar darah otak kurang terhadap natrium, dan
19
meningkat terhadap air, penurunan [Na+] plasma yang cepat dapat menyebabkan
volume cairan ekstrasel dan intrasel otak meningkat. Karena otak dengan cepat
mengkompensasi perubahan pada osmolalitas, hiponatremia akut menimbulkan gejala
yang lebih berat daripada hiponatremia kronis. Gejala hiponatremia kronis dapat
dihubungkan dengan kekurangan elektrolit otak. Ketika volume otak telah
dikompensasikan terhadap hiponatremia, maka peningkatan [Na+] yang cepat dapat
mengurangi dehidrasi otak.
Hiponatremia diklasifikasikan sebagai pseudohiponatremia atau hiponatremia
murni. Pseudohiponatremia merupakan artifak yang dihubungkan dengan
penggunaan fotometri bernyala, sekarang dengan teknik kuno, untuk mengukur kadar
[Na+] plasma pada hiponatremi berat atau pasien hiperlipidemia. Metode analisa
terbaru, potentiometri langsung, mengukur secara langsung kadar [Na+] dan tidak
dipengaruhi oleh komponen nonakuos seperti protein dan lemak.
Pada hiponatremia murni, osmolalitas serum dapat normal, tinggi, atau
rendah. Hiponatremia dengan osmolalitas normal atau tinggi dihasilkan dari adanya
larutan nonsodium seperti glukosa dan manitol, yang menahan air di dalam ruang
ekstraselular dan menghasilkan hiponatremia dilusional (semu). Hiponatremia murni
dengan osmolalitas serum normal atau meningkat juga dapat menyertai keadaan
insufisiensi ginjal. BUN dipertahankan dalam kalkulasi osmolalitas total, terdistribusi
ke volume ekstraselular dan volume intraselular. Perhitungan osmolalitas efektif
(2[Na+] + glukosa / 18) mengeluarkan kontribusi urea terhadap tonisitas, sehingga
dapat menghasilkan hipotonis murni.
Hiponatremia murni dengan osmolalitas serum rendah dapat dihubungkan
dengan total natrium tubuh yang tinggi, rendah, atau normal dan volume plasma.
Hiponatremia dengan hipoosmolalitas dievaluasi dengan menentukan kandungan total
natrium tubuh, BUN, creatinin, osmolalitas urin, dan urin. Hiponatremia dengan
peningkatan total natrium tubuh merupakan salah satu karakteristik edematous,
misalnya pada pasien congestive heart failure, sirosis, nephrosis, dan gagal ginjal.
Aquaporin 2 (vasopressin-regulated water channel) regulasinya meningkat pada
20
pasien dengan insufisiensi renal, penurunan kapasitas urin dapat memicu
hiponatremia bila diberikan air yang berlebih.
Mekanisme hipovolemi hiponatremia dipengaruhi oleh sekresi ADH sebagai
respon terhadap kontraksi volume akibat pemberian cairan hipotonis secara oral atau
intravena. Angiotensin II juga menurunkan klirens ginjal. Diuretik tiazid, tidak seperti
diuretik loop, memicu hipovolemi hiponatremia dengan mengganggu pengenceran
urin di tubulus distal. Hipovolemi hiponatremia dengan [Na+] urin ≥20 mmol/L
menandakan terjadinya defisiensi mineralokortikoid, terutama bila [K+], BUN, dan
creatinin serum meningkat.
Sindrom cerebral salt-wasting seringkali berat, kehilangan garam yang
simtomatik kelihatannya dimediasi oleh natriuretic peptide otak dan tidak bergantung
pada SIADH; pasien dengan lesi otak akibat trauma, perdarahan subaraknoid, tumor,
dan infeksi memiliki resiko yang tinggi.
Euvolemi hiponatremi umumnya dihubungkan dengan sekresi vasopressin
nonosmotik, sebagai contoh, defisiensi glukokortikoid, hipotiroid, hiponatremi yang
dipicu tiazid, SIADH, dan sindrom reset osmotat. Total natrium tubuh dan volume
ekstraselular relatif normal, dan jarang terjadi edema. SIADH mungkin saja idiopatik,
namun dapat dihubungkan dengan sistem saraf sentral dan dengan penyakit paru.
Euvolemi hiponatremia biasanya dihubungkan dengan administrasi ADH eksogen,
potensi farmakologi aksi ADH, obat-obatan yang mirip aksinya dengan ADH di
tubulus ginjal, atau sekresi ADH ektopik berlebih. Jaringan dari kanker paru sel kecil,
kanker duodenum, dan kanker pankreas meningkatkan produksi ADH sebagai respon
terhadap stimulasi osmotik.
Sedikitnya 4% pasien postoperatif mengalami peningkatan [Na+] plasma <130
mEq/L. Meskipun manifestasi neurologi biasanya tidak menyertai hiponatremi
postoperatif, tanda-tanda hipovolemi seringkali muncul. Hiponatremia postoperatif
biasanya diikuti dengan perubahan keadaan mental, kejang, dan hernia transtentorial
bergantung pada pengaturan cairan hipotonis intravena, sekresi ADH, dan faktor-
21
faktor lain termasuk obat-obatan dan penurunan fungsi ginjal, yang mempengaruhi
keseimbangan cairan perioperatif.
Bila kadar [Na+] dan osmolalitas berada di bawah batas normal, hiponatremia
dievaluasi dengan mengacu pada status volume menggunakan pemeriksaan fisik dan
data laboratorium. Pada pasien hipovolemi atau pasien edema, rasio BUN banding
kreatinin dapat 20:1. [Na+] urin umumnya <15 mEq/L pada pasien edema dan
penurunan volume mencapai >20 mEq/L pada hiponatremia sekunder akibat
pembuangan garam ginjal atau gagal ginjal dengan retensi air.
Kriteria diagnosis SIADH antara lain hipotonis hiponatremia, osmolalitas urin
>100-150 mOsm/kg; penurunan volume ekstraselular, fungsi tiroid dan adrenal yang
normal, fungsi jantung, hepar, dan ginjal yang normal. [Na+] urin harus >30 mEq/L
keculai cairannya telah dibatasi.
Tabel 6. Penyebab SIADH (Syndrome of Inappropriate Secretion of
Antidiuretic Hormone)
Neoplasms Bronchogenic carcinoma Pancreatic carcinoma Carcinoma of the duodenum Prostate carcinoma Thymoma Lymphoma Mesothelioma
Pulmonary disease Tuberculosis Pneumonia Bronchiectasis Aspergillosis Cystic fibrosis Positive pressure ventilation
Central nervous system disease Head trauma Subdural hematoma Subarachnoid hemorrhage Cerebrovascular accident Meningitis Enchepalitis Brain abcess Hydrocephalus Brain tumors Guillain-Barre Acute intermittent porphyria Delirium tremens
Medications Opiates Chlorpropamide Carbamazepine Phenothiazines Tricyclic antidepressants Clofibrate Vincristine Cyclophosphamide Oxytocin
Miscellaneous General surgery Pain Nausea Psychosis
22
Dikutip dari : Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical
anesthesia. 5th ed. Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2006: 190.
Terapi hiponatremia dengan osmolalitas serum normal atau tinggi
membutuhkan pengurangan cairan dengan konsentrasi tinggi. Pasien uremia diterapi
dengan restriksi cairan atau dialisis. Terapi untuk pasien edema (hipervolemi)
membutuhkan restriksi cairan dan garam. Terapi diberikan langsung untuk
meningkatkan cadiac output dan perfusi ginjal dan penggunaan diuretik untuk
menghambat reabsorbsi natrium. Pada pasien hipovolemi hiponatremia, volume darah
harus dipertahankan, biasanya dengan infus saline 9%, dan kehilangan natrium yang
berlebih harus dibatasi. Koreksi hipovolemi biasanya menghasilkan rangsangan untuk
pelepasan ADH, disertai dengan diuresis cairan yang cepat.
Terapi SIADH yang tepat adalah dengan restriksi cairan dan mengeliminasi
faktor penyebab. Restriksi cairan diperlukan untuk mengurangi total cairan tubuh 0,5-
1 L/hari, menurunkan volume ekstraselular walaupun sekresi ADH yang berlebihan
tetap berlangsung. Penurunan laju filtrasi glomerulus merangsang reabsorbsi garam
dan air di tubular proksimal, menurunkan kadar air, dan merangsang sekresi
aldosteron. Selama kehilangan cairan lebih banyak banyak daripada pemasukan
cairan, [Na+] serum akan meningkat. Selama terapi hiponatremia, peningkatan plasma
[Na+] dinilai dari komposisi cairan yang diberikan dan dengan ekskresi cairan ginjal.
Ekskresi cairan dapat meningkat dengan memberikan furosemid.
Gejala neurologi atau profound hyponatremia ([Na+] <115-120 mEq/L)
membutuhkan terapi yang lebih cepat. Saline hipertonis (3%) diindikasikan pada
pasien dengan kejang atau pasien yang menunjukkan gejala akut dari intoksikasi
cairan yang diberikan. Pada beberapa kasus, saline 3% dapat diberikan 1-2
mL/kgBB/jam, untuk meningkatkan [Na+] plasma 1-2 mEq/L/jam; tetapi terapi ini
tidak boleh dilanjutkan untuk beberapa jam berikutnya. Saline 3% hanya dapat
meningkatkan [Na+] plasma serta oleh karena penambahan volume ekstraselular akan
mengakibatkan peningkatan ekskresi natrium urin. Furosemid intravena yang
23
dikombinasi dengan penggantian jumlah kehilangan natrium urin dengan saline 0,9%
atau 3%, dapat dengan cepat meningkatkan [Na+] plasma, dalam hal ini dengan
meningkatkan klirens cairan.
Koreksi hiponatremia yang terlambat akan mengakibatkan lesi saraf, koreksi
yang tidak tepat akan menyebabkan dehidrasi otak mendadak, sekuele neurologi yang
permanen (sindrom osmotik demyelinasi), perdarahan otak, atau gagal jantung
bendungan. Gejala sindrom osmotik demyelinisasi bervariasi mulai dari yang ringan
(gangguan tingkah laku sesaat atau kejang) sampai berat (termasuk pseudobulbar
palsy dan quadriparesis). Kemungkinan terjadinya sindrom osmotik demyelinasi
meningkat bila hiponatremia menetap >48 jam. Kebanyakan pasien dengan sindrom
ini mengalami kegagalan koreksi [Na+] plasma >20 mEq/L/hari. Faktor resiko lain
penyebab sindrom tersebut adalah alkohol, status nutrisi yang buruk, penyakit hati,
dan hipokalemia.
Terapi harus diperlambat bila terdapat tanda-tanda perbaikan. Pengukuran
kadar [Na+] secara rutin sangat penting untuk mencegah koreksi >10 mEq/L/24 jam.
Awalnya, [Na+] plasma dapat meningkat 1-2 mEq/L/24 jam; tetapi [Na+] plasma tidak
boleh bertambah lebih dari 10 mEq/L/24 jam atau 15 mEq/L/48 jam. Usul lain untuk
terapi hiponatremia adalah peningkatan [Na+] dengan cepat sekitar 10 mmol,
kemudian terapi dilanjutkan dengan lebih lambat. Alasannya karena cairan otak akan
meningkat mendekati 10% pada pasien dengan hiponatremia kronis. Hipernatremia
harus dihindari. Ketika [Na+] plasma melebihi 120-125 mEq/L, restriksi cairan itu
dibutuhkan untuk menormalkan [Na+]. Saat hiponatremia akut dikoreksi, tanda dan
gejala sistem saraf pusat biasanya timbul dalam 24 jam, meskipun untuk mencapai
tahap penyembuhan yang maksimal dibutuhkan waktu 96 jam.
Bagi pasien yang mendapat terapi farmakologi hiponatremia jangka panjang,
pilihan obat utamanya adalah demeclocycline. Meskipun toleransinya lebih baik
daripada lithium, namun demeclocycline dapat memicu nefrotoksisitas dan disfungsi
hati. Hemodialisis kadang dibutuhkan pada pasien hiponatremia berat yang tidak
dapat diterapi secara adekuat dengan obat dan saline hipertonis. Ketika hiponatremia
24
telah menunjukkan perbaikan, restriksi cairan secara hati-hati diperlukan untuk
menghindari kejadian ulang hiponatremia. Pada masa yang akan datang, antagonis
reseptor vasopresin mungkin dapat digunakan untuk terapi hiponatremia.
Diagram 1. Evaluasi hiponatremia
25
Plasma [Na+] <130 mEq/L
Dikutip dari : Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed.
Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2006: 189.
Measure serum osmolality
Normal 280-290 mOsm/kg
PseudohyponatremiaHyperlipidemiaHyperproteinemia
Non-sodium soluteMannitolGlucose
Renal failure
Low< 280 mOsm/kg
High > 290 mOsm/kg
Non-sodium soluteGlucoseMannitolEthanolMethanolEthylene glycolOther toxins
Renal failure ABSESS TOTAL BODY SODIUM
Low total body sodium
Nonrenal Na losses(UNa <10-15 mEq/L dan UOsm >400 mEq/L)
GI lossesSkin lossesThird space fluid lossesDietary Na restriction plus excess water intake
Renal Na losses(UNa >20-30 mEq/L dan UOsm <300-400 mEq/L)
Diuretic useRenal failureTubulointerstitial diseaseMineralocorticoid deficiency
Normal total body sodium
SIADH (UNa >30 mEq/L dan UOsm >300-400 mEq/L)
R/O hypothyroidGlucocorticoid deficiencyRenal osmotat
Chronic renal failureWater intoxicationPotassium deficiency
High total body sodium
Edematous state(UNa <15 mEq/L)
CHFCirrhosisNephrosis
Renal failure (UNa >30 mEq/L)
26
Diagram 2. Terapi hiponatremia
Dikutip dari : Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed.
Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2006: 191.
Hipernatremia
Hipernatremia ([Na+] >150 mEq/L) mengindikasikan kekurangan cairan yang
absolut atau relatif. Normalnya, peningkatan tonisitas atau [Na] akan merangsang
rasa haus dan sekresi ADH. Oleh karena itu, hipernatremia persisten hanya muncul
Treat underlying diseaseRemove offending drugs
Serum osmolality normal or high ≥280 mOsm/kg
Remove nonsodium soluteGlucoseMannitolUrea Toxins
Serum osmolality low< 280 mEq/L
High total body sodium
Restrict sodium, waterImprove renal perfusionIncrease cardiac output (Inotropes, vasodilators)Increase renal blood flow (Dopamine)
Low total body sodium
Restore blood volume (Saline)Eliminate excessive sodium lossesTreat adrenal inssuficiency
Normal total body sodium
Restrict water Loop diuretic plus urinary sodium replacement (0,9% or 3% saline)LithiumDemeclocyclineHemodialysisThyroid hormone replacement
Plasma [Na+] <130 mEq/L
27
pada pasien yang tidak dapat merespon rasa haus, seperti pada pasien yang sedang
dianestesi dan bayi.
Hipernatremia akan memproduksi gejala neurologi (termasuk stupor, koma,
dan kejang), hipovolemia, insufisiensi renal (seringkali berkembang menjadi gagal
ginjal), dan penurunan konsenstrasi urin. Karena hipernatremia seringkali diakibatkan
oleh diabetes insipidus atau kehilangan natrium dan cairan yang dirangsang secara
osmotik, banyak pasien yang menjadi hipovolemi atau menderita penyakit ginjal.
Pasien postoperatif bedah syaraf yang menjalani operasi pituitari merupakan pasien
dengan resiko tinggi menderita diabetes insipidus sesaat atau dalam jangka waktu
yang lama. Poliuria biasanya timbul hanya beberapa hari dalam minggu pertama
postoperasi, dapat menjadi permanen, atau dapat menunjukkan gejala trifasik.
Konsekuensi klinis hipernatremia paling serius terjadi pada umur-umur
ekstrim dan saat hipernatremia timbul secara mendadak. Pasien geriatri merupakan
pasien dengan resiko tinggi hipernatremia karena terjadi penurunan fungsi ginjal.
Hipernatremia yang terjadi dengan cepat akan menyebabkan kerusakan pembuluh
darah otak, hematoma subdural, perdarahan parenkim subkortikal, perdarahan
subaraknoid, dan trombosis vena. Polyuria akan menyebabkan distensi vesika
urinaria, hidronephrosis, dan kerusakan ginjal permanen. Meskipun mortalitas
hiponatremia mencapai 40-55%, masih tidak jelas apakah hipernatremia merupakan
penyebab atau penanda beratnya penyakit yang diderita oleh pasien tersebut.
Dari definisinya, hipernatremia ditandai dengan kekurangan cairan absolut
atau relatif yang selalu berhubungan dengan hipertonisitas. Hipernatremia dapat
diawali dengan kehilangan cairan hipotonis seperti pada luka bakar, kehilangan
melalui gastrointestinal, terapi diuretik, diuretik osmosis, penyakit ginjal, defisiensi
atau kelebihan mineralokortikoid, dan penyebab iatrogenik. Diabetes insipidus
nephrogenik yang didapat lebih sering terjadi dan lebih ringan dibandingkan bentuk
kongenitalnya. Ketika gagal ginjal kronik berkembang, kebanyakan pasien
mengalami disfungsi kemampuan mengkonsentrasikan urin, menghasilkan resistensi
terhadap ADH, dan berujung pada urin yang hipotonis. Oleh karena hipovolemia
28
menyertai kehilangan cairan yang patologis, tanda-tanda hipoperfusi juga dapat
timbul. Pada beberapa pasien, sebelum terjadi hipernatremia, peningkatan volume
urin hipotonis menunjukkan abnormalitas pada keseimbangan cairan. Walaupun tidak
sesering penyebab hipernatremia yang lain, pemasukan natrium yang berlebih
terkadang terjadi pada pasien yang mendapat terapi natrium dalam jumlah besar,
seperti terapi asidosis metabolik dengan sodium bikarbonat 8,4% dimana [Na+]
mendekati 1,000 mEq/L, atau perioperatif atau terapi dengan larutan resusitasi saline
hipertonis.
Osmolalitas urin <150 mosm/kg dalam keadaan hipertonisitas dan poliuria
merupakan diagnosis DI.
Terapi hipernatremia yang terjadi akibat hilangnya air meliputi penggantian
air seperti halnya defisit natrium dan elektrolit tubuh lainnya. Kesalahan umum dalam
terapi hipernatremia meliputi koreksi secara cepat dan berlebihan, seperti gagal
menilai besarnya defisit air dan gagal untuk menghitung maintenance yang
dibutuhkan, dan rencana terapi kehilangan cairan kontinyu.
Langkah pertama dalam terapi hipernatremia adalah memperkirakan defisit
total cairan tubuh (TBW, Total Body Water), yang dapat diselesaikan dengan
memasukkan konsentrasi natrium plasma yang terukur ke dalam persamaan:
Defisit TBW = 0,6 x berat badan (kg) x [([Na]-140)/140]
dimana 140 adalah pertengahan nilai normal konsentrasi natrium.
Hipernatremia harus dikoreksi secara lambat karena resiko karena resiko
neurologis seperti kejang atau edema serebral. Pada tingkat seluler, penyimpanan
volume sel terjadi sungguh cepat setelah tonisitas berubah; sebagai konsekuensi,
terapi akut hipertonisitas dapat melampaui volume sel normotonik. Defisit air harus
diganti dalam 24-48 jam, dan konsentrasi natrium plasma harus dikurangi tidak lebih
dari 1-2 mEq/L/jam. Penyakit penyebab harus diterapi segera. Hipovolemia harus
dikoreksi secara tepat dengan saline 0,9%. Walaupun konsentrasi natrium dari saline
0,9% adalah 154 mEq/L, cairan ini efektif dalam mengobati defisit volume dan akan
mengurangi konsentrasi natrium yang melebihi 154 mEq/L. Ketika hipovolemia telah
29
terkoreksi, air dapat diganti secara oral atau dengan cairan hipotonik intravena,
tergantung dengan kemampuan pasien mentoleransi hidrasi oral. Pada pasien dengan
kelebihan natrium, ekskresi natrium dapat ditingkatkan denagn diuretika loop atau
dialisis.
Penatalaksanaan hipernatremia sekunder yang terjadi pada diabetes insipidus
bervariasi tergantung apakah etiologinya sentral atau nefrogenik. Dua agen yang
sangat cocok untuk mengkoreksi diabetes insipidus (sindrom defisiensi ADH) adalah
demopressin (DDAVP) dan vasopressin aquous. DDAVP, diberikan subkutan dengan
dosis 1-4 μg atau secara intranasal dengan dosis 5-20 μg setiap 12-24 jam, efektif
pada sebagian besar pasien. DDAVP sedikit menyebabkan vasokontriksi dan kram
abdomen jika dibandingkan dengan vasopressin. Defisit ADH inkomplit (diabetes
insipidus partial) biasanya efektif dengan agen farmakologi yang menstimulasi
pelepasan ADH dan meningkatkan respon renal terhadap ADH. Chlorpropamide,
yang memiliki potensi efek renal vasopresin, dan karbamezepin, yang meningkatkan
sekresi vasopressin, yang telah digunakan dalam pengobatan diabetes insipidus
sentral partial, tapi juga berhubungan dengan efek samping klinik. Pada diabetes
insipidus nefrogenik, restriksi air dan garam, atau diuretika tiazid menginduksi
kontraksi volume ekstraselular, dengan demikian meningkatkan reabsorbsi cairan di
tubulus proksimal. Jika sedikit filtrat melewati duktus kolektivus, maka sedikit air
yang akan diekskresikan.
30
Diagram 3. Evaluasi hipernatremia
Dikutip dari : Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed.
Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2006: 193.
Tabel 7. Terapi akut hipernatremia
Penilaian ECV
HIPOVOLEMIA
Non renal H20 losses(U Na <10-15 mEq/L;U osm >400 mOsm/kg)
Renal H2O losses(U Na > 20 mEq/L;U osm <300 mOsm/kg)
EUVOLEMIA
Non renal H20 losses(U Na variable;Uosm >400 mOsm/kg)
Renal H2O losses(U Na variable;U Osm <290 mOsm/kg
HIPERVOLEMIA
Iatrogenik
Ekses mineralokortikoid
(U Na >20 mEq/L;
U Osm>300 mOsm/kg)
[Na] plasma >150 mEq/L
31
Deplesi Sodium (hipovolemia)Koreksi hipovolemia (0,9% saline)Koreksi hipernatremia (cairan hipotonik)
Overload Sodium (hipervolemia)Meningkatkan removal sodium (diuretika loops, dialisis)Mengganti defisit air (cairan hipotonik)
Total Sodium Tubuh NormalMengganti defisit air (cairan hipotonik)Kontrol diabetes insidus
Diabetes insipidus sentral: DDAVP, 10-20 μg intranasal; 2-4 μg sc Vasopressin aquous, 5 U q 2-4 jam im atau scDiabetes insipidus nefrogenik: Restriksi sodium, intake air
Diuretika tiazid
Dikutip dari : Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed.
Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2006: 193.
Kalium
Kalium memiliki peranan penting pada fisiologi membran sel, khususnya
dalam mempertahankan potensial membran dan menghasilkan potensial aksi pada
sistem syaraf pusat dan jantung. Kalium secara aktif ditransportasikan ke dalam sel
oleh pompa Na-K ATP-ase, yang mempertahankan intraseluler minimal 30 kali
lebih besar daripada ekstraseluler. Konsentrasi potassium ekstraseluler
normalnya adalah 150 mEq/l, seentara konsentrasi ekstraseluler hanya 3,5-5 meq/l.
serum sekitar 0,5 mEq/l lebih besar daripada plasma karena lisis sel selama
pembekuan. Kalium total tubuh pada orang dewasa dengan berat 70 kg rata-rata
4,256 mEq, dimana 4,2 mEq dalam intraseluler; dan 56 mEq di dalam volume
ekstraselular, hanya 12 mEq di dalam volume plasma. Ratio kalium intraseluler dan
ekstraseluler berperan dalam perbedaan potensial membran yang berguna untuk
integritas transmisi jantung dan neuromuskular. Mekanisme primer yang
mempertahankan potassium dalam sel adalah negative voltage yang dihasilkan oleh
transport 3 ion sodium keluar untuk setiap 2 ion sodium yang masuk. Insulin dan
agonis ß adrenergik mendukung masuknya potassium ke dalam sel. Sebaliknya
agonis α adrenergic memperbaiki uptake potassium seluler. Asidosis metabolik
cenderung menyebabkan potassium keluar sel, sementara alkalosis metabolik
menyebabkan perpindahan ke dalam sel.
Biasanya intake potassium berkisar antara 50 sampai 150 mEq/hari. Difilter di
dalam glomerulus. Sebagian besar potassium diekskresikan dalam urin, dan beberapa
dieliminasi lewat feses. Sebagian besar potassium yang difilter akan direabsorbsi;
ekskresi rata-rata seimbang dengan intake sehari-hari. Selama GFR> 8 mL/kg, intake
potassium diet, sedikit lebih besar daripada normal, dapat diekskresikan.
32
Diperkirakan plasma 4,0 mEq/l dan GFR normal adalah 180 L/hari, 720 mEq
potassium difilter setiap hari, dimana 85-90% direabsorbsi di tubulus convolutes
proksimal dan loop henle. Sisa 10-15 % mencapai tubulus konvultus distal, yang
merupakan tempat utama dimana ekskresi potassium diregulasi. Ekskresi ion
potassium adalah salah satu fungsi pembukaan channel potassium dan tenaga listrik
dalam korteks duktus kolektivus.
Dua regulator terpenting ekskresi potassium adalah plasma dan
aldosteron, walaupun terdapat beberapa bukti yang menyebutkan keterlibatan system
syaraf pusat dan reflex enteric dengan makanan yang kaya akan potassium. Sekresi
potassium ke dalam tubulus konvolutus distal dan korteks duktus kolektivus
meningkat dengan hiperkalemia, aldosteron, alkalemia, meningkatnya delivery
natrium ke tubulus konvultus distal dan korteks duktus kolektivus, aliran urin yang
tinggi, dan adanya anion nonreabsorbsable dalam cairan lumen seperti carbenicillin.
Penghitungan elektrolit serum (seperti magnesium), penilaian pH arterial, dan
evaluasi EKG. Pada pasien trauma terjadi hipokalemia yang akan kembali normal
dalam 24 jam tanpa terapi spesifik. Pengukuran sodium dan potassium dalam ekskresi
urin 24 jam dapat membedakan penyebab renal dan ekstrarenal. Defisiensi
magnesium, berhubungan dengan terapi aminoglikosida dan cisplatin, yang dapat
menghasilkan hipokalemia yang resisten terhadap terapi pengganti. Level renin
plasma dan aldosteron dapat membantu dalam differential diagnosis. Karakteristik
EKG pada hipokalemia berupa gelombang T yang datar atau terbalik, gelombang U
dan depresi segmen ST.
Terapi hipokalemia meliputi potassium repletion, koreksi alkalemia, dan
menghentikan obat penyebab. Hipokalemia sekunder hanya untuk redistribusi akut
tidak perlu diterapi. Tidak dibutuhkan terapi pengganti pada hipokalemia ringan dan
sedang, khususnya dalam keadaan kronik dan tidak ada gejala pada pasien. Jika
potassium total tubuh berkurang, suplemen oral potassium lebih dipilih daripada
33
pengganti intravena. Potassium biasanya diganti dengan garam klorida karena
defisiensi klorida dapat membatasi kemampuan ginjal dalam mempertahankan
potassium.
Penggantian potassium harus diberikan secara hati-hati (biasanya ≤10 sampai
20 mEq/jam) karena besarnya defisit potassium tidak dapat diprediksikan.
plasma dan EKG harus dimonitor selama penggantian cepat (10-20 mEq/jam) untuk
mencegah komplikasi hiperkalemia. plasma dan EKG harus dimonitor untu
mendeteksi terjadinya hiperkalemia. Perawatan khusus harus diberikan pada pasien
yang juga mengalami asidemia, asidosis tubular renal tipe 4, atau diabetes mellitus,
atau pada pasien yang mendapat terapi NSAID, ACE inhibitor, atau ß blocker, dan
semua obat yang menunda perpindahan potassium ekstraseluler ke dalam sel.
Sementara itu, pada pasien disritmia sekunder akibat hipokalemia yang
mengancam jiwa, . serum harus cepat ditingkatkan. Diasumsikan bahwa volume
plasma (PV) pada orang dewasa 70 kg adalah 3 liter, pemberian 6,0 mEq/l potassium
dalam 1 menit akan meningkatkan serum tidak lebih dari 2,0 mEq/l karena
redistribusi ke dalam cairan interstitial akan mengurangi kuantitas volume plasma.
Hipokalemia yang berhubungan dengan hiperaldosteronemia (seperti
aldosteronisme primer, Cushing syndrome) biasanya merupakan respon yang baik
bagi intake sodium yang berkurang dan intake potassium yang meningkat.
Hipomagnesia, jika ada, akan memperburuk efek hipokalemia, mengurangi
penyimpanan potassium, dan harus segera diterapi. Suplemen potassium atau diuretic
hemat kalium harus diberikan secara hati-hati pada pasien Diabetes mellitus dan
insufisiensi renal, yang membatasi kompensasi hiperkalemia akut. Pada beberapa
pasien yang mengalami diabetic ketoasidosis, mengalami hipokalemia dan asidemia,
pemberian potassium harus didahului dengan koreksi asidosis untuk mencegah
berkurangnya plasma secara tiba-tiba karena peningkatan pH.
34
Tabel 8. Terapi hipokalemia
Dikutip dari : Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed.
Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2006: 195.
Pada pasien dengan potassium serum normal yang disertai dengan gejala deplesi
potassium (seperti kelemahan otot), riwayat kehilangan potassium atau insufisiensi
intake, atau pada pasien yang mengalami deplesi potassium akibat terapi khusus
seperti pasien yang diterapi diuretik, digitalis, atau agonis ß2 adrenergik, biopsi otot
dan pengukuran konsentrasi potassium otot merupakan prosedur yang berguna untuk
mendeteksi dan mengukur kekurangan potassium.
Hiperkalemia
Manifestasi terberat hiperkalemia ( >5,0 mEq/l) adalah gangguan pada
sistem konduksi jantung termasuk disritmia, abnormalitas konduksi, dan cardiac
arrest. Pada praktek anestesi, contoh klasik toksisitas hierkalemia berhubungan
35
Koreksi faktor presipitasiPeningkatan pHPenurunan konsentrasi MagnesiumObat-obatan
Hipokalemia Mild ( >2,0 mEq/L)
Infus KCl intravena ≤ 10 mEq/jam
Hipokalemia berat ( ≤ 2,0 mEq/L),
Paralisis atau perubahan EKGInfus KCl intravena ≤40 mEq/jamMonitoring EKG kontinyuJika mengancam jiwa, 5-6 mEq bolus
dengan pemberian suksinilkolin pada pasien luka bakar berat, paraplegi, quadriplegi.
Jika plasma <6,0 mEq/L, efek terhadap jantung tidak dapat diabaikan. Akibat
peningkatan konsentrasi kalium lebih lanjut, EKG akan menunjukan gelombang T
yang tinggi, khususnya pada prekodial lead. Peningkatan lebih lanjut akan
menyebabkan interval PR memanjang, diikuti dengan menurunnya amplitudo
gelombang P. Akhirnya, QRS kompleks melebar menyerupai bentuk gelombang
sinus. Kardiotoksisitas hiperkalemia ditingkatkan dengan hiponatremia,
hipokalsemia, atau asidosis. Karena proses menuju kardiotoksisitas yang berat tidak
dapat diperkirakan dan berlangsung dengan cepat, maka perubahan EKG
menunjukkan dibutuhkannya terapi segera. Efek pada jantung yang mengnancam
jiwa membutuhkan terapi yang lebih urgen daripada manifestasi hiperkalemia
lainnya. Sementara itu, kelemahan otot muncul ketika plasma mencapai 7,0
mEq/L, dan dapat menjadi paralisis flaksid, tidak bisa berbicara, dan respiratory
arrest.
Hal terpentinng untuk diagnosis adalah riwayat medikal, menekankan terapi
obat sebelumnya, dan penatalaksanan fungsi ginjal. Walaupun EKG adalah tanda
pertama hiperkalemia pada beberapa pasien, dan terlepas dari efek hiperkalemia pada
ritme dan konduksi jantung, EKG merupakan metode yang insensitive dan tidak
spesifik untuk mendeteksi hiperkalemia. Jika hiperkalemia dibarengi dengan
hiponatremia, maka fungsi adrenal harus dievaluasi.
Hiperkalemia dapat terjadi dengan simpanan potassium total tubuh yang
normal, tinggi, atau rendah. Defisiensi aldosteron, regulator utama ekskresi potassium
yang dapat mencetuskan hiperkalemia pada insufisiensi adrenal, hipoaldosteronisme
hiporeninemia, suatu kondisi yang berhubungan dengan diabetes mellitus, insufisiensi
renal, dan usia tua. Karena ginjal mengekskresikan potassium, insufisiensi renal berat
biasanya menyebabkan hiperkalemia. Pasien dengan insufisiensi renal kronik dapat
mempertahankan plasma normal meskipun GFR menurun, karena ekskresi
36
potassium urin tergantung pada sekresi tubular ketimbang pada filtrasi glomerulus,
jika GFR melebihi 8 mL/menit.
Saat ini, obat-obatan merupakan penyebab terbanyak hiperkalemia, khususnya
pada pasien tua. Obat-obatan yang membatasi ekskresi potassium meliputi NSAID,
ACE inhibitor, siklosporin, dan diuretik hemat kalium seperti triamterene.
Hiperkalemia yang diinduksi obat-obatan kebanyakan terjadi pada pasien dengan
faktor predisposisi lainnya, seperti diabetes mellitus, insufisiensi renal, usia tua, atau
hipoaldosteronisme hiporeninemia. ACE inhibitor khususnya menyebabkan
hiperkalemia pada pasien dengan gagal jantung kongestif.
Pada pasien yang memiliki potassium tubuh normal, hiperkalemia dapat
diikuti dengan perpindahan tiba-tiba potassium dari ICV ke ECV, katabolisme yang
meningkat, atau rabdomiolisis. Asidosis metabolic dan asidosis respiratorik
cenderung menyebabkan peningkatan plasma. Sementara itu, asidosis organic
(seperti asidosis laktat, ketoasidosis) memiliki sedikit efekpada konsentrasi kalium,
sebaliknya asam mineral menyebabkan perubahan seluler signifikan. Dalam
merespon peningkatan aktivitas ion hidrogen karena bertambahnya asam, potassium
akan meningkat jika anion tetap dalam volume ekstraseluler. Baik laktat atau ketoacid
tidak tetap di dalam cairan ekstraseluler. Oleh karena itu, hiperkalemia pada keadaan
ini menunjukkan trauma jaringan dan kekurangan insulin. Hiperkalemia biasnya
diikuti dengan hipertermia malignant.
37
Diagram 3. Penatalaksanaan hiperkalemia
Hiperkalemia
Perubahan EKG? (emergensi)
Ya tidak
Efek< 10 menit
ya tidak urin GI tract
IV Ca Kemudian shift K shift to ICF: Intake rendahK ke ICF insulin Resin(oral,enema)
NaHCo3ß-2 adrenergik
Examine urin
urin tinggi urin rendah
Furosemid±NaCl Mineralokortikoid
Urea NaHCO3
NaCl Asetasolamide
Dikutip dari : Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed.
Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2006: 196.
Terapi hiperkalemia bertujuan untuk mengeliminasi penyebab,
mengembalikan hipereksitabilitas membran, dan mengurangi potassium dari tubuh.
Defisiensi minealokortikoid dapat diterapi dengan 9-α-fludrocortisone 90,025-0,10
mg/hari. Hiperkalemia sekunder akibat intoksikasi digitalis mungkin resisten terhadap
terapi karena perpindahan potassium dari ECV ke ICV sering inefektif. Pada keadaan
ini, penggunaan antibody spesifik digoksin biasanya berhasil.
38
Tabel 9. Terapi hiperkalemia berat
Dikutip dari : Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed.
Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins; 2006: 197.
Hipereksitabilitas membran dapat berlawanan dengan translokasi potassium
dari ECV ke ICV, memindahkan kelebihan potassium, atau dengan memasukkan
calcium klorida untuk menekan potensial membran. Terapi definitif yang tertunda,
infus cepat kalsium klorida (1 gram CaCl2 dalam 3 menit, atau 2-3 ampul 10%
kalsium glukuronat dalam 5 menit) dapat menstabilkan ritme jantung. Kalsium harus
diberikan secara hati-hati jika kemunginan besar intoksikasi digitalis. Alkalinisasi
bikarbonat (50-100 mEq dalam 5-10 menit pada dewasa dengan berat 70kg) dapat
39
Reverse efek membranKalsium (10 ml kalsium klorida 10%
iv dalam 10 menit)
Transfer ekstraseluler ke dalam sel
Glukosa dan insulin (D10W + 5-10 U insulin regular per 25-50 g glukosa)
Sodium bikarbonat (50-100 mEq dalam 5-10 menit)
ß-2 agonis
Remove potassium dari tubuhDiuretika proksimal,loopPotassium exchange resins (sodium
polystyrene sulfonate)Hemodialisis
Monitor EKG dan level serum
menyebabkan perpindahan potassium dari ECV ke ICV. Bikarbonat dapat diberikan
walaupun pH lebih dari 7,40; sementara itu, bikarbonat tidak boleh diberikan pada
pasien dengan gagal jantung kongestif atau hipernatremia. Insulin meningkatkan
uptake potassium seluler dengan meningkatkan aktivitas pompa sodium potassium
ATPase. Sementara itu, jika digunakan sendiria, bikarbonat tidak efektif. Insulin
meningkatkan uptake potassium seluler dengan sangat baik ketika level insulin tinggi
yang dapat dicapai dengan injeksi intravena 5-10 unit regular insulin, ditambah
dengan 50 ml glukosa 50%. Obat ß-2 adrenergik seperti salbutamol dan albuterol
juga meningkatkan uptake potassium oleh otot skeletal dan menurunkan plasma,
suatu aksi yang dapat menjelaskan hipokalemia dengan penyakit akut berat. ß-2
agonis telah digunakan untuk mengobati hiperkalemia. Salbutamol, agonis ß-2
selektif, menurunkan potassium serum secara akut, ketika diberikan secara inhalasi
dan intravena. Pada 15 pasien pediatrik dengan serum 6,6 mEq/L, infuse tunggal
salbutamol (5 μg/kg dalam 15 menit) menurunkan serum sampai 5,7 mEq/L
setelah 30 menit dan 4,9 mEq/L setelah 120 menit. Ketika menggunakan agen ß-2
adrenergik untuk menurunkan serum, potensi untuk meningkatkan disritmia
jantung harus dikenali.
Potassium dapat dihilangkan dari tubuh melalui renal atau gastrointestinal.
Furosemide menyebabkan kaliuresis. Sodium polystyrene sulfonat resin (kayexalate),
yang menukar sodium dengan potassium, dapat diberikan secara oral (30g) atau
sebagai retensi enema (50 g dalam 200 ml dari 20% sorbitol). Sementara itu, overload
sodium dan hipervolemia merupakan resiko potensial. Hemodialisis emergensi dapat
menurunkan 25 sampai 50 mEq/L. Dialisis peritoneal kurang efisien.
Non elektrolit merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi
dalam cairan. Zat lainnya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.
40
Gambar 3. Susunan kimia cairan ekstraselular dan intraselular
Dikutip dari : Guyton & Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 2:56
2.9 Proses Pergerakan Cairan Tubuh
Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan
mekanisme transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak membutuhkan
energi sedangkan mekanisme transpor aktif membutuhkan energi. Difusi dan osmosis
adalah mekanisme transpor pasif. Sedangkan mekanisme transpor aktif berhubungan
dengan pompa Na-K yang memerlukan ATP.2,7
Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara:
a. Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran
semipermeabel (permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah menuju larutan
41
berkadar lebih tinggi hingga kadarnya sama. Seluruh membran sel dan kapiler
permeabel terhadap air, sehingga tekanan osmotik cairan tubuh seluruh kompartemen
sama. Membran semipermeabel ialah membran yang dapat dilalui air (pelarut),
namun tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein.3 Tekanan osmotik plasma
darah ialah 285±5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan osmotik kira-kira sama disebut
isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%, Ringer laktat). Larutan dengan tekanan osmotik
lebih rendah disebut hipotonik (akuades), sedangkan lebih tinggi disebut hipertonik.
b. Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan
bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan
hidrostatik pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori
tersebut. Jadi difusi tergantung kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.
c. Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa ion
natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium
dari luar ke dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk mencegah
keadaan hiperosmolar di dalam sel.
Gambar 4. Pompa natrium kalium
42
Dikutip dari : Guyton & Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 2:56
2.10 Asupan dan kehilangan cairan dan elektrolit pada keadaan normal
Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat berubah
oleh stres akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau pun oleh adanya cedera
pada paru-paru, kulit atau traktus gastrointestinal. Pada keadaan normal, seseorang
mengkonsumsi air rata-rata sebanyak 2000-2500 ml per hari, dalam bentuk cairan
maupun makanan padat dengan kehilangan cairan rata-rata 250 ml dari feses, 800-
1500 ml dari urin, dan hampir 600 ml kehilangan cairan yang tidak disadari
(insensible water loss) dari kulit dan paru-paru.4 Asupan cairan juga didapat dari
metabolisme oksidatif dari karbohidrat, protein dan lemak yaitu sekitar 250-300 ml
per hari, cairan yang diminum setiap hari sekitar 1100-1400 ml tiap hari, cairan dari
makanan padat sekitar 800-1000 ml tiap hari, sedangkan kehilangan cairan terjadi
dari ekskresi urin (rata-rata 1500 ml tiap hari, 40-80 ml per jam untuk orang dewasa
dan 0,5 ml/kg untuk pediatrik), kulit (insensible loss sebanyak rata-rata 6 ml/kg/24
jam pada rata-rata orang dewasa yang mana volume kehilangan bertambah pada
keadaan demam yaitu 100-150 ml tiap kenaikan suhu tubuh 1 derajat celcius pada
suhu tubuh di atas 37 derajat celcius dan sensible loss yang banyaknya tergantung
dari tingkatan dan jenis aktivitas yang dilakukan), paru-paru (sekitar 400 ml tiap hari
43
dari insensible loss), traktus gastointestinal (100-200 ml tiap hari yang dapat
meningkat sampai 3-6 L tiap hari jika terdapat penyakit di traktus gastrointestinal),
third-space loses.
Tabel 10. Rata-rata harian asupan dan kehilangan cairan pada orang dewasa
Dikutip dari : Heitz U, Horne MM. Fluid, electrolyte and acid base balance. 5th ed. Missouri:
Elsevier-mosby; 2005.p3-227
Gambar 5. Transfer cairan sehari-hari
44
2.11 Perubahan cairan tubuh
Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :
1. Perubahan volume
a. Defisit volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh yang
paling umum terjadi pada pasien bedah. Penyebab paling umum adalah
kehilangan cairan di gastrointestinal akibat muntah, penyedot nasogastrik,
diare dan drainase fistula. Penyebab lainnya dapat berupa kehilangan cairan
pada cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis, obstruksi
usus, dan luka bakar. Keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan
menimbulkan tanda gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada
kehilangan cairan yang lambat lebih dapat ditoleransi sampai defisit volume
cairan ekstraselular yang berat terjadi.4
Gambar 6. Efek utama hiperhidrasi dan dehidrasi
Dikutip dari: Silbernagl F, Lang F. Color atlas of pathophysiology. Stuttgart: Thieme;
2000:122-3.
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari
natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L)
atau hipernatremik (>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang
45
paling sering terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau
hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus. Dehidrasi Isotonis (isonatremik)
terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama dengan konsentrasi natrium
terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya relatif sama dalam
kompartemen intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular.9
Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan
kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis).
Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan
air yang hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di kompartemen
intravaskular berpindah ke kompartemen ekstravaskular, sehingga
menyebabkan penurunan volume intravaskular.
Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan
kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan hipotonis).
Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan
natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen
ekstraskular berpindah ke kompartemen intravaskular, sehingga
meminimalkan penurunan volume intravaskular.9
Tabel 11. Tanda-tanda klinis dehidrasi
46
Dikutip dari: Ellsbury DL, George CS. Dehydration. eMed J [serial online]. 2006.
http://www.emedicine.com/CHILD/topic925.htm.
Tabel 12. Derajat dehidrasi
Dikutip dari: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MY. Fluid management and transfusion. In:
Clinical anesthesiology. 4th ed. USA: McGraw-Hill, 2006; 662-707.
Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat puasa
sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat
pembedahan, mengganti perdarahan yang sedang berlangsung, dan mengganti
third space loss (ke rongga peritoneum, ke luar tubuh).
Kebutuhan cairan basal dapat dihitung sebagai berikut:
Penggantian cairan akibat puasa prebedah:
Pembedahan juga menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, untuk
menggantinya tergantung jenis pembedahan: 8
47
4 mL/kg BB/jam untuk berat badan 10 kg pertama
2 mL/kg BB/jam tambahkan untuk berat badan 10 kg kedua
1 mL/kg BB/jam tambahkan untuk sisa berat badan
Lama puasa (jam) x kebutuhan cairan basal
4 mL/kgBB/jam untuk prosedur bedah dengan trauma minimal
6 mL/kg BB/jam untuk prosedur bedah dengan trauma sedang
8 mL/kg BB/jam untuk prosedur bedah dengan trauma berat
Penggantian cairan perioperatif dapat dilakukan bertahap selama 3 jam.
Satu jam pertama = ½ cairan pengganti puasa prebedah + kebutuhan
cairan basal + jenis operasi.
Satu jam kedua = ¼ cairan pengganti puasa prebedah + kebutuhan cairan
basal + jenis operasi.
Satu jam ketiga = ¼ cairan pengganti puasa prebedah + kebutuhan cairan
basal + jenis operasi.
b. Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat
iatrogenik (pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan
kelebihan air dan NaCl ataupun pemberian cairan intravena glukosayang
menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi renal
(gangguan pada GFR), sirosis, ataupun gagal jantung kongestif.4,5 Kelebihan
cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi kelebihan cairan tetapi jumlah NaCl
tetap atau berkurang.5
2. Perubahan konsentrasi
Hiponatremia
Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental,
letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110
mg/L maka akan timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat
disebabkan oleh euvolemia (SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia
(disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses, diuretika),
hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat diterapi dengan restriksi
48
cairan (Na+ ≥ 125 mg/L) atau NaCl 3% ssebanyak (140-X)xBBx0,6 mg dan
untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg.7
Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan scara
perlahanlahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk
menghitung Na serum yang dibutuhkan dapat menggunakan rumus:7
Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan
Na0 = Na serum yang aktual
TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)
Hipernatremia
Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan
mental, letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh
kehilangan cairan (diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat
berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan ini
adalah penggantian cairan dengan 5% dekstrose dalam air sebanyak {(X-140)
x BB x 0,6}: 140.7
Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut
kalium dari cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis
kadar total kalium tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa
disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen melebar, ST segmen
depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi
glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis,
hipomagnesemia, obat-obatan), infus potasium klorida sampai 10 mEq/jam
(untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai 40
49
Na= Na1 – Na0 x TBW
mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L
disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat).8
Rumus untuk menghitung defisit kalium:7
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)
Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal
atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor,
siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf
pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik,
perubahan EKG). Terapi untuk hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium
klorida 10% dalam 10 menit, sodium bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10
menit, atau diuretik, hemodialisis.8
3. Perubahan komposisi
Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg)
Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk
menurunkan ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut merupakan
akibat dari ventilasi yang tidak adekuat termasuk obstruksi jalan nafas,
atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi abdomen atas, distensi
abdomen dan penggunaan narkose yang berlebihan. Manajemennya
melibatkan koreksi yang adekuat dari defek pulmonal, intubasi endotrakeal,
50
K = K1 – K0 x 0,25 x BB
dan ventilasi mekanis bila perlu. Perhatian yang ketat terhadap higiene
trakeobronkial saat post operatif adalah sangat penting.4,8
Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg)
Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi
yang dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum normal, dan
alkalosis terjadi sebagai hasil dari penurunan PaCO2 yang cepat. Terapi
ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang mendasari termasuk sedasi yang
sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat dari ventilator mekanik, dan koreksi
defisit potasium yang terjadi. 4,8
Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)
Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau kehilangan
bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk gagal ginjal, diare, fistula
usus kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat. Kompensasi awal yang
terjadi adalah peningkatan ventilasi dan depresi PaCO2. Penyebab paling
umum adalah syok, diabetik ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang berlebihan
dan keracunan metanol. Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan
yang mendasari. Terapi bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan
asidosis berat dan hanya setelah kompensasi alkalosis respirasi digunakan. 4,8
Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)
Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan
bikarbonat dan diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum terjadi
pada pasien bedah adalah hipokloremik, hipokalemik akibat defisit volume
ekstraselular. Terapi yang digunakan adalah sodium klorida isotonik dan
penggantian kekurangan potasium. Koreksi alkalosis harus gradual selama
perode 24 jam dengan pengukuran pH, PaCO2 dan serum elektrolit yang
sering. 4,8
51
2.12 Cairan perioperatif
Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang
umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif,
perioperatif dan postoperatif.10
Faktor-faktor preoperatif:
1. Kondisi yang telah ada
Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk oleh
stres akibat operasi.
2. Prosedur diagnostik
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena dapat
menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal karena efek
diuresis osmotik.
3. Pemberian obat
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi air dan
elektrolit
4. Preparasi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan elekrolit
dari traktus gastrointestinal.
5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada
6. Restriksi cairan preoperatif
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan cairan
sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien menderita
demam atau adanya kehilangan abnormal cairan.
7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya
Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari anestesi.
Faktor Perioperatif:
1. Induksi anestesi
52
Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia
preoperatif karena hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan
vasokonstriksi.
2. Kehilangan darah yang abnormal
3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya kehilangan
cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi)
4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka operasi
yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan.
Faktor postoperatif:
1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi
2. Peningkatan katabolisme jaringan
3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif
4. Risiko atau adanya ileus postoperatif
Gangguan cairan, elektrolit dan asam basa yang potensial terjadi perioperatif adalah :
1. Hiperkalemia
2. Asidosis metabolik
3. Alkalosis metabolik
4. Asidosis respiratorik
5. Alkalosis repiratorik
Trauma, pembedahan dan anestesi akan menimbulkan perubahan-perubahan
pada keseimbangan air dan metabolisme yang dapat berlangsung sampai beberapa
hari pasca trauma atau bedah. Perubahan-perubahan tersebut terutama sebagai akibat
dari kerusakan sel di lokasi pembedahan, kehilangan dan perpindahan cairan baik
lokal maupun umum, pengaruh puasa prabedah, selama pembedahan dan pascabedah,
terjadi peningkatan metabolisme, kerusakan jaringan dan fase penyembuhan.8
Perubahan yang terjadi meliputi perubahan-perubahan hormonal seperti:
53
1. Kadar adrenalin dan non adrenalin meningkat sampai hari ketiga pasca bedah atau
trauma. Sekresi hormon monoamin ini kebih meningkat lagi bila pada penderita
tampak tanda-tanda sepsi, syok, hipoksia dan ketakutan.
2. Kadar glukagon dalam plasma juga meningkat
3. Sekresi hormon dari kelenjar pituitaria anterior juga mengalami peningkatan yaitu
growth hormone dan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Trauma atau stres
akan merangsang hipotalamus sehingga dikeluarkan corticotropin releasing factor
yang merangsang kelenjar pituitaria anterior untuk mensekresi ACTH.
Peningkatan kadar ACTH dalam sirkulasi menyebabkan glukokortikoid plasma
meningkat sehingga timbul hiperglikemia, glikolisis dan peninggian kadar asam
lemak.
4. Kadar hormon antidiuretik (ADH) mengalami peningkatan yang berlangsung
sampai hari ke 2-4 pasca bedah/trauma. Respon dari trauma ini akan mengganggu
pengaturan ADH yang dalam keadaan normal banyak dipengaruhi oleh
osmolalitas cairan ekstraseluler.
5. Akibat peningkatan ACTH, sekresi aldosteron juga meningkat. Setiap penurunan
volume darah atau cairan ektraseluler selalu menimbulkan rangsangan untuk
pelepasan aldosteron.
6. Kadar prolaktin juga meninggi terutama pada wanita dibandingkan dengan laki-
laki.
Derajat perubahan-perubahan tersebut di atas sangat bervariasi bagi setiap
individu tergantung dari beberapa faktor seperti rasa sakit dan kualitas analgesi,
rasa takut dan sedasi yang diberikan, komplikasi penyulit pada pasca
bedah/trauma (syok, perdarahan, hipoksia atau sepsis), keadaan umum penderita,
berat dan luasnya trauma.
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam pemberian
cairan perioperatif, yaitu :
1. Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian
54
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan ± 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit
utama Na+=1-2 mmol/kgBB/hari dan K+= 1mmol/kgBB/hari.
Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat pembentukan
urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru
atau dikenal dengan insensible water losses. Cairan yang hilang ini pada
umumnya bersifat hipotonus (air lebih banyak dibandingkan elektrolit).
2. Defisit cairan dan elektrolit pra bedah
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita
bedah elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali
menyertai penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan,
translokasi cairan pada penderita dengan trauma), kemungkinan meningkatnya
insensible water loss akibat hiperventilasi, demam dan berkeringat banyak.
Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera diganti sebelum
dilakukan pembedahan.
3. Kehilangan cairan saat pembedahan
a. Perdarahan
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari :
Botol penampung darah yang disambung dengan pipa penghisap darah
(suction pump)
Dengan cara menimbang kasa yang digunakan sebelum dan setelah
pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung ± 10
ml darah, sedangkan tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap
darah ± 100-10 ml. Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama
pembedahan hanya bisa ditentukan berdasarkan kepada taksiran (perlu
pengalaman banyak) dan keadaan klinis penderita yang kadang-kadang
dibantu dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit berulang-
ulang (serial). Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit lebih
menunjukkan rasio plasma terhadap eritrosit daripada jumlah perdarahan.
Kesulitan penaksiran akan bertambah bila pada luka operasi digunakan
55
cairan pembilas (irigasi) dan banyaknya darah yang mengenai kain
penutup, meja operasi dan lantai kamar bedah.
b. Kehilangan cairan lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih menonjol
dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi
cairan internal. Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih
banyak pada pembedahan dengan luka pembedahan yang luas dan lama.
Sedangkan perpindahan cairan atau lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang
ketiga atau sequestrasi secara masif dapat berakibat terjadi defisit cairan
intravaskuler. Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat
mengakibatkan sequestrasi sejumlah cairan interstitial dan perpindahan cairan
ke ruangan serosa (ascites) atau ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion
fungsional dalam ruang ekstraseluler meningkat. Pergeseran cairan yang
terjadi tidak dapat dicegah dengan cara membatasi cairan dan dapat
merugikan secara fungsional cairan dalam kompartemen ekstraseluler dan
juga dapat merugikan fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler.
4. Gangguan fungsi ginjal
Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan:
Laju Filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate) menurun.
Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian disebabkan oleh
meningkatnya kadar aldosteron.
Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan terjadinya
retensi air dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting tubules)
meningkat.
Ginjal tidak mampu mengekskresikan “free water” atau untuk menghasilkan
urin hipotonis.
Penggantian defisit prabedah
56
Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus
diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah sebelum
induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama
pembedahan, sedangkan sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya.
Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup diganti dengan ciran hipotonis seperti
garam fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita yang karena
penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi
enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan karena
akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian cairan
sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan atau kehilangan
cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit bedahnya
harus segera diganti dengan melakukan resusitasi cairan atau rehidrasi sebelum
induksi anestesi.8
Terapi cairan selama pembedahan
Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan
dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan,
translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang diberikan
tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah darah yang hilang.
1. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya bedah
mata (ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja selama
pembedahan.
2. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat diberikan
cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4
ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat trauma pembedahan. Total yang
diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa cairan garam seimbang seperti Ringer
Laktat atau Normosol-R.
57
3. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam
untuk kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk pembedahannya. Total
10 ml/kgBB/jam.1,8
Tabel 13. Rates of fluid administration to replace third space losses
4. Penggantian darah yang hilang
Kehilangan darah sampai sekitar 20% EBV (Estimated Blood Volume), akan
menimbulkan gejala hipotensi, takikardi dan penurunan tekanan vena sentral.
Kompensasi tubuh ini akan menurun pada seseorang yang akan mengalami
pembiusan (anestesi) sehingga gejala-gejala tersebut seringkali tidak begitu
tampak karena depresi komponen vasoaktif.
Tabel 14. Perkiraan volume darah
58
Dikutip dari : Morgan GE, Mikhail MS, Murray MY. Fluid management
and transfusion. In: Clinical anesthesiology. 4th ed. USA: McGraw-Hill,
2006; 696.
Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan dengan larutan
kristaloid, pemberian transfusi darah tetap harus menjadi bahan pertimbangan
berdasarkan:
a. Keadaan umum penderita (kadar Hb dan hematokrit) sebelum pembedahan
b. Jumlah/penaksiran perdarahan yang terjadi
c. Sumber perdarahan yang telah teratasi atau belum.
d. Keadaan hemodinamik (tensi dan nadi)
e. Jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan
f. Kalau mungkin hasil serial pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit.
g. Usia penderita
Sebagai patokan kasar dalam pemberian transfusi darah:
- 1 unit sel darah merah (PRC = Packed Red Cell) dapat menaikkan kadar
hemoglobin sebesar 1gr% dan hematokrit 2-3% pada dewasa.
- Transfusi 10 cc/kgBB sel darah merah dapat menaikkan kadar hemoglobin
3gr%. Monitor organ-organ vital dan diuresis, berikan cairan secukupnya
sehingga diuresis ± 1 ml/kgBB/jam.
59
Terapi cairan dan elektrolit pascabedah
Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.
Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar ±
50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan
pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang
rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress pembedahan,
akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan retensi
air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu
pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik dan trauma
pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari cukup
memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan
protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%.
Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu
larutan garam isotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat
minum dan makan.
2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan
1°C suhu tubuh
- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan
humidifikasi.
3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan
yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya
diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.
4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan
tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi
tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil,
jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.8
60
Pemilihan jenis cairan
Terapi cairan intravena meliputi infus kristaloid, koloid, atau kombinasi
keduanya. Larutan kristaloid adalah larutan aquos dengan berat molekul rendah,
dengan atau tanpa glukosa, sementara larutan koloid terdiri dari substansi dengan
berat molekul besar seperti protein atau polimer glukosa besar. Larutan koloid
mempertahankan tekanan onkotik koloid plasma dan sebagian besar berada dalam
intravaskular, sementara larutan kristaloid dengan cepat diseimbangkan dan
didistribusikan di seluruh kompartemen cairan ekstraselular.
Penggunaan cairan kristaloid dan koloid pada pasien bedah masih kontroversi.
Para ahli yang setuju terhadap penggunaan koloid berpendapat bahwa dengan
mempertahankan tekanan onkotik plasma, koloid lebih efektif menyeimbangkan
volume intravaskular yang normal dan cardiac output. Pendapat lain mengatakan
bahwa larutan kristaloid dapat sama efektifnya dengan pemberian pada jumlah
yang cukup. Dan berpendapat bahwa koloid dapat menyebabkan edema paru
karena meningkatnya permeabilitas kapiler paru yang diakibatkan oleh tekanan
onkotik interstitial paru paralel dengan tekanan onkotik pada plasma.1
Namun dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Kristaloid sama efektifnya dengan koloid untuk mengembalikan volume
intravaskular bila diberikan dengan jumlah yang cukup.
2. Penggantian kehilangan cairan intravaskular dengan menggunakan sejumlah
cairan koloid setara dengan tiga sampai empat kali jumlah cairan kristaloid.
3. Pasien yang menjalani operasi biasanya mengalami jumlah kehilangan cairan
extraselular yang melebihi kehilangan cairan di intravaskular.
4. Kehilangan cairan intravaskular yang berat dapat diatasi dengan cepat dengan
menggunakan cairan koloid.
5. Pemberian kristaloid yang cepat dalam jumlah yang banyak (>4-5L) dapat
menyebabkan edema jaringan.
61
Beberapa kejadian, namun belum terbukti, bahwa edema jaringan dapat
mengganggu transport oksigen, penyembuhan luka, dan mengganggu
pengembalian fungsi saluran cerna pada bedah mayor.
Berdasarkan fungsinya, cairan dapat dikelompokkan menjadi :
1. Cairan pemeliharaan, ditujukan untuk mengganti air yang hilang lewat urin,
tinja, paru, dan kulit (mengganti puasa). Cairan yang diberikan adalah cairan
hipotonik, seperti D5, NaCl 0,45%, atau D5 W.
2. Cairan pengganti, ditujukan untuk mengganti kehilangan air tubuh akibat
sequestrasi atau proses patologi lain, seperti fistula, efusi pleura, ascites,
drainase lambung. Cairan yang diberikan bersifat isotonik, seperti RL, NaCL
0,9%, D5RL, D5NaCl.
3. Cairan khusus, ditujukan untuk keadaan khusus, misalnya asidosis. Cairan
yang digunakan seperti natrium bikarbonat, NaCl 3%.
Berdasarkan berat molekul, cairan dapat dikelompokkan menjadi :
1. Cairan kristaloid
Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dekstrosa, tidak
mengandung molekul besar (BM < 8000 Dalton). Kristaloid dalam waktu
singkat sebagian besar akan keluar dari intravaskular, sehingga volume yang
diberikan harus lebih banyak 2,5-4 kali dari volume darah yang hilang.
Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskular 20-30 menit. Ekspansi
cairan dari ruang intravaskuler ke interstital berlangsung selama 30-60 menit
sesudah infus dan akan keluar dalam 24-48 jam sebagai urine. Secara umum
kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa
peningkatan volume intrasel.
Kristaloid harus dipertimbangkan sebagai resusitasi cairan yang diberikan
pertama kali pada pasien dengan shock hemorrhagic dan septic, pasien dengan
luka bakar, pasien dengan cedera kepala untuk mempertahankan tekanan
perfusi cerebral, dan pada pasien yang sedang menjalani plasmapheresis dan
62
reseksi hepar. Bila 3-4 L kristaloid telah diberikan namun respon
hemodinamiknya masih belum cukup maka koloid dapat diberikan. Terdapat
berbagai macam jenis cairan kristaloid yang tersedia (lihat tabel). Pemberian
cairan disesuaikan dengan jenis cairan tubuh yang hilang. Bila kehilangan
cairan secara primer adalah air, makan cairan penggantinya adalah cairan
hipotonis, disebut juga sebagai cairan pemeliharaan. Bila kehilangan cairan
meliputi air dan elektrolit, maka pemberian cairan pengganti berupa cairan
elektrolit yang isotonis, disebut juga sebagai cairan pengganti. Glukosa
terdapat pada beberapa jenis cairan yang ditujukan untuk mempertahankan
tonisitas atau untuk mencegah terjadinya ketosis dan hipoglikemia karena
pasien diminta untuk berpuasa sebelum operasi. Hipoglikemia terjadi secara
cepat pada anak-anak yang berpuasa 4 sampai 8 jam dan hipoglikemia lebih
cepat terjadi pada wanita dibanding pria dengan berpuasa lebih dari 24 jam.
Cairan pengganti lebih banyak digunakan karena cairan yang hilang pada
intraoperatif lebih banyak bersifat isotonis. Cairan yang biasa digunakan
adalah Ringer lactate. Meski RL sedikit hipotonis, mengandung 100mL air
bebas per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium sampai 130 mEq/L,
namun RL menimbulkan efek yang sedikit pada komposisi cairan
ekstraselular dan merupakan cairan yang paling fisiologis bila dibutuhkan
dalam volume yang banyak. Laktat yang terdapat pada RL akan diubah oleh
hati menjadi bikarbonat. Bila diberikan dengan volume yang banyak, NS akan
menyebabkan asidosis hiperkloremik karena NS mengandung natrium dan
khlor yang tinggi (154 mEq/L): konsentrasi plasma bikarbonat menurun
seiring dengan peningkatan konsentrasi khlor. NS lebih dipilih pada keadaan
alkalosis metabolik hipokloremik dan untuk mencairkan packed-red blood
cells sebelum transfusi. Dekstrosa 5% dalam air (D5W) digunakan sebagai
pengganti pada kekurangan air dan sebagai cairan pemeliharaan pada pasien
dengan pembatasan natrium. Cairan hipertonik 3% Saline diberikan sebagai
63
terapi simptomatik hiponatremia yang berat. Cairan saline 3-7.5% diberikan
sebagai resusitasi pada pasien dengan shock hipovolemik.
Tabel 15. Komposisi cairan kristaloid
Dikutip dari : Morgan GE, Mikhail MS, Murray MY. Fluid management and transfusion. In:
Clinical anesthesiology. 4th ed. USA: McGraw-Hill, 2006; 693
2. Koloid
Aktivitas osmotik pada zat dengan berat molekul yang tinggi pada cairan
koloid cenderung untuk mempertahankan cairan ini pada komponen
intravaskular. Meski waktu paruh cairan kristaloid di intravaskular adalah 20-
30 menit, tetapi waktu paruh cairan koloid di intravaskular dapat mencapai 3
sampai 6 jam. Harga dan komplikasi yang sering terjadi pada pemakai koloid
membuatnya jarang digunakan. Indikasi umum yang diterima untuk
pemakaian cairan koloid yaitu: (1) resusitasi cairan pada pasien dengan
kekurangan cairan intravaskular yang berat (contoh: shock hemorrhagic)
sebelum adanya transfusi darah yang tersedia, dan (2) resusitasi cairan pada
keadaan hipoalbuminemia yang berat atau pada kondisi yang menyebabkan
hilangnya protein dalam jumlah yang besar seperti pada kasus luka bakar.
64
Pada pasien luka bakar, pemberian cairan koloid dapat juga dipertimbangkan
bila luas luka bakar melebihi 30% dari permukaan tubuh atau bila telah
diberikan 3-4 L cairan kristaloid lebih dari 18-24 jam setelah terjadinya luka
bakar.
Banyak klinisi juga memberikan cairan koloid berbarengan dengan cairan
kristaloid ketika dibutuhkan cairan pengganti sebanyak 3-4 L sebelum
dilakukan transfusi. Perlu diperhatikan bahwa cairan ini tersedia dalam
normal saline (Cl-145-154 mEq/L) dan dapat menyebabkan asidosis
metabolik hiperkloremik.
Beberapa cairan koloid yang ada merupakan berasal baik dari protein plasma
maupun polimer sintetik glukosa dan dimasukkan dalam cairan elektrolit
isotonis.
Cairan koloid yang berasal dari darah berupa albumin (cairan 5% dan 25%)
dan fraksi plasma protein (5%). Keduanya dipanaskan pada suhu 600C
minimal selama 10 jam untuk mengurangi resiko penyebaran hepatitis dan
penyakit virus menular lainnya. Fraksi plasma protein mengandung α- dan β-
globulin sebagai tambahan dari albumin dan sering menimbulkan reaksi
hipotensif. Reaksi ini berupa reaksi alergi biasa dan kemungkinan berkaitan
dengan pengaktifan prekallikrein. Cairan koloid sintetik berupa dextrose
starches dan gelatin. Gelatin berkaitan dengan reaksi alergi yang dimediasi
oleh histamin. Cairan Dextran yang ada berupa dextran 70 (Macrodex) dan
dextran 40 (Rheomacrodex), yang memiliki berat molekul 70.000 dan 40.000.
Meski dextran 70 merupakan cairan yang lebih baik dibanding dextran 40,
namun dextran 40 juga memperbaiki arus darah dalam mikrosirkulasi dengan
cara mengurangi viskositas darah. Efek antiplatelet juga dapat terjadi pada
pemberian dextran. Pemberian cairan melebihi 20 mL/kg per hari dapat
mempengaruhi darah, dapat memperpanjang waktu perdarahan (dextran 40),
dan berhubungan dengan gagal ginjal. Dextran juga dapat dianggap sebagai
antigen yang menyebabkan reaksi anafilaktik atau anafilaktoid yang berat.
65
Dextran 1 (promit) dapat diberikan sebelum pemberian dextran 40 atau
dextran 70 untuk mencegah reaksi anafilaktik; dextran 1 berperan sebagai
hapten dan mengikat segala antibodi dextran yang terdapat pada sirkulasi.
Hetastarch (hydroxyethyl starch) terdapat pada cairan 6% dengan berat
molekul 450.000. molekul kecil dibuang melalui ginjal, dimana molekul yang
lebih besar dihancurkan terlebih dahulu oleh amilase. Hetastarch sangat
efektif sebagai plasma expander dan tidak begitu mahal dibanding albumin.
Terlebih hetastarch tidak bersifat antigen dan reaksi anafilaktoid sangat jarang
terjadi. Koagulasi dan waktu pembekuan tidak begitu terpengaruh dengan
pemberian cairan di atas 0.5-1.0 L. Pemberian hetastarch pada pasien dengan
transplantasi ginjal masih kontoversi. Hal yang sama juga terjadi pada pasien
yang menjalani bypass cardio-pulmonal. Pentastarch, cairan dengan berat
molekul yang lebih rendah, memiliki efek samping yang jarang dan
kemungkinan menggantikan penggunaan hetastarch.
66
Tabel 16. Jenis cairan koloid
Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat
menyebabkan gangguan pada “cross match”.
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
a. Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin
manusia ( 5 dan 2,5%).
Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta
60°C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan
virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung
albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta
67
globulin. Prekallikrein activators (Hageman’s factor fragments)
seringkali terdapat dalam fraksi protein plasma
dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian
infus dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan
hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
b. Koloid sintesis yaitu:
1. Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul
40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat
molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media
sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume
expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran
40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah
lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan
kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran
mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi
platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII,
meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah.
Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat
mengganggu cross match, waktu perdarahan memanjang
(Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah
yaitu dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih
dahulu.
2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul
10.000 – 1.000.000, rata-rata 71.000, osmolaritas 310
68
mOsm/L, dan tekanan onkotik 30 mmHg. Pemberian
500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan
46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64%
dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat
meningkatkan kadar serum amilase (walau jarang). Low
molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip
Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma
hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung
selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma
volume expander yang besar dengan toksisitas yang
rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta
starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan
pada penderita gawat.
3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan
berat molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa
kolagen binatang.
Ada 3 macam gelatin, yaitu:
- modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
- Oxypoly gelatin
Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan
pada penderita gawat. Walaupun dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golongan urea
linked gelatin.
69
Tabel 17. Perbandingan kristaloid dan koloid
70
BAB III
KESIMPULAN
Defisit cairan perioperatif timbul sebagai akibat puasa prabedah yang kadang-
kadang dapat memanjang, kehilangan cairan yang sering menyertai penyakit
primernya, perdarahan, manipulasi bedah, dan lamanya pembedahan yang
mengakibatkan terjadinya sequestrasi atau translokasi cairan. Tujuan utama terapi
cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra, selama dan pasca bedah.
Terapi dinilai berhasil apabila pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda
hipovolemik dan hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan. Pada praktiknya
banyak hal yang sulit ditentukan atau diukur secara objektif.
Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan
kompartemen ekstraselular. Kompartemen ekstraselular dibagi menjadi cairan
intravaskular dan intersisial. Selain air, cairan tubuh mengandung elektrolit (Na+, K+,
Cl-, HCO3-, PO43-) dan non elektrolit (kreatinin, bilirubin). Proses pergerakan cairan
tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara osmosis, difusi, pompa natrium-
kalium. Perubahan dalam cairan tubuh dapat terjadi karena perubahan volume (defisit
volume seperti dehidrasi dan kelebihan volume), perubahan konsentrasi (elektrolit),
perubahan komposisi (asidosis dan alkalosis).
Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang
umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif,
perioperatif dan postoperatif. Oleh karena itu dasar terapi cairan dan elektrolit
perioperatif berdasarkan kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian, defisit pra,
saat, dan pascapembedahan. Kebutuhan normal cairan orang dewasa rata-rata 30-35
ml/kgBB dan elektrolit Na+= 1-2mmol/kgBB/hari dan K+=1 mmol/kgBB/hari. Saat
pembedahan harus dilihat banyaknya perdarahan untuk digantikan. Selain mengganti
cairan tubuh, perlu diperhatikan pula jenis cairan yang digunakan untuk
menggantinya. Cairan tersebut dapat berupa kristaloid atau koloid yang masing-
71
masing mempunyai keuntungan tersendiri yang diberikan sesuai dengan kondisi
pasien.
72