Teori supervisi

13

Click here to load reader

Transcript of Teori supervisi

Page 1: Teori supervisi

PENDAHULUANKarakteristik supervisi pengajaran, berbeda dengan supervisi pada industri

manufaktur atau jenis pekerjaan lainnya. Faktor pertama yang menyebabkan perbedaan tersebut, adalah dari segi karakteristik pekerjaanyang disupervisi. Pekerjaan mengajar tentu tidak dapat disamakan denganpekerjaan manual di perusahaan, karena mengajar yang dihadapai adalah peserta didik, melibatkan unsur intelektual dan emosional, sehingga sifat pekerjaannya tidak rutin. Kata kunci dalam supervisi pengajaran bukanlahpengawasan, namun bantuan pada guru untuk meningkatkan pembelajaran (Oliva, 1984: 9).

Perbedaan supervisi pengajaran dengan supervisi pada perusahaan, juga dapat ditemukan pada aspek tujuan. Supervisi pengajaran tujuan akhirnya tidak hanya pada kinerja guru, namun harus sampai pada meningkatkan hasil pembelajaran peserta didik. Seperti ditegaskan oleh Glickman (1981) bahwa supervisi pengajaran adalah serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses belajar mengajar demi pencapaian tujuan pengajaran. Inilah tujuan ideal dari supervisi pengajaran. Apabila konsep-konsep ideal tersebut dilaksanakan, maka dapat diharapkan kualitas pendidikan di Indonesia akan meningkat secara signifikan.

Idealita supervisi pengajaran tersebut, praktiknya di lapangan selama ini masih jauh dari harapan. Berbagai kendala baik yang disebabkan oleh aspek struktur birokrasi yang rancu, maupun kultur kerja dan interaksi supervisor dengan guru yang kurang mendukung, telah mendistorsi nilai ideal supervisi pengajaran di sekolah-sekolah. Apa yang selama ini dilaksanakan oleh para Pengawas Pendidikan, belum bergeser dari nama jabatan itu sendiri, yaitu sekedar mengawasi.

Tulisan ini ingin mengupas realitas supervisi pengajaran dalam birokrasi pendidikan di Indonesia, dibandingkan dengan konsep-konsep teoritik supervisi. Dari identifikasi terhadap kesenjangan tersebut, akan diberikan tawaran solusi bagi upaya perbaikan pelaksanaan supervisi di masa mendatang.

1. Bagaimana konsep ideal Supervisi ?

2. Bagaimana pendekatan Supervisi ?

3. Bagaimana pelaksanaan Supervisi di Indonesia

PEMBAHASAN1. KONSEP IDEAL SUPERVISI

a. Peranan Supervisor PengajaranSupervisor pengajaran, tentu memiliki peran berbeda dengan

“pengawas”. Supervisor, lebih berperan sebagai “gurunya guru” yang siap membantu kesulitan guru dalam mengajar. Supervisorpengajaran bukanlah seorang pengawas yang hanya mencari-cari kesalahan guru.

Oliva (1984) mengemukakan peran supervisor yang utama, ada empat hal, yaitu: (a) sebagai koordinator, berperan mengkoordinasikan program-program dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja guru dalam pembelajaran dan harus membuat laporan mengenai pelaksanaan programnya; (b) sebagai konsultan, supervisor harus memiliki kemampuan sebagai spesialis dalam masalah kurikulum, metodologi pembelajaran, dan pengembangan staf, sehingga supervisor dapat membantu guru baik secara individual maupun kelompok; (c) sebagai pemimpin kelompok (group leader),

Page 2: Teori supervisi

supervisor harus memiliki kemampuan me-mimpin, memahami dinamika kelompok, dan menciptakan berbagai ben-tuk kegiatan kelompok; dan (d) sebagai evaluator, supervisor harus dapat memberikan bantuan pada guru untuk dapat mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran dan kurikulum, serta harus mampu membantu mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi guru, membantu melakukan penelitian dan pengembangan dalam pembelajaran dan sebagainya.

Sementara itu, menurut Wiles dan Bondi (1986: 17-23) peranan supervisor mencakup delapan bidang kompetensi, yaitu:a) supervisors are developers of people;b) supervisors are curriculum developers;c) supervisors are instructional specialist;d) supervisors are human relation worker;e) supervisors are staff developers;f) supervisors are adminis-trators;g) supervisors are managers of change; danh) supervisors are evaluators

b. Kompetensi SupervisorUntuk dapat melaksanakan peran-peran di atas, supervisor harus

memiliki beberapa kompetensi dan kemampuan pokok, yaitu berkaitan dengan substantive aspects of professional development, meliputi pemahaman dan pemilikan guru terhadap tujuan pengajaran, persepsi guru terhadap peserta didik, pengetahuan guru tentang materi, dan penguasaan guru terhadap teknik mengajar. Kedua berkaitan dengan professional development competency areas,yaitu agar para guru mengetahui bagaimana mengerja-kan tugas (know how to do), dapat mengerjakan (can do), mau mengerja-kan (will do) serta mau mengembangkan profesionalnya (will grow) (Ba-fadal, 1992: 10-11).

Glatthorn (1990) menyatakan kompetensi yang harus dimiliki su-pervisor meliputi hal-hal yang berkaitan dengan the nature of teaching, the nature of adult development, dan tentu saja juga the characteristics of good and effective school.

Berkaitan dengan hakikat pengajaran, supervisor harus memahami keterkaitan berbagai variabel yang berpengaruh.Pertama, adalah faktor-faktor organisasional, terutama budaya organisasi dan keberadaan tenaga profesional lainnya dalam lembaga pendidikan. Kedua, berkaitan dengan pribadi guru, menyangkut pengetahuan guru, kemampuan membuat perencanaan dan mengambil keputusan, motivasi kerja, tahapan perkembangan atau kematangan, dan keterampilan guru. Ketiga, berkaitan dengansupport system dalam pengajaran, yaitu kurikulum, berbagai buku teks, serta ujian-ujian. Terakhir, adalah siswa sendiri yang keberadaannya di dalam kelas sangat bervariasi.

Dalam hal adult development, supervisor harus mengetahui tahapan perkembangan dan kematangan kerja seorang guru, tahapan perkembangan moral, tahapan pengembangan profesional, serta berbagai prinsip dan teknik pembelajaran orang dewasa.

Page 3: Teori supervisi

Ketiga, supervisor harus mengetahui ukuran kemajuan dan keefektifan sebuah sekolah. Hal ini merupakan muara dari kegiatan yang dilakukan bersama para guru dan kepala sekolah. Selain berkaitan dengan pembelajaran di dalam kelas, supervisor juga harus siap membantu kepala sekolah dalam bidang manajerial secara umum.

c. Teknik-teknik SupervisiDengan bekal kompetensi di atas, supervisor diharapkan dapat

melaksanakan tugasnya dengan baik. Dalam pelaksanaan supervisi terdapat berbagai teknik dan pendekatan yang dapat diterapkan oleh supervisor.

Teknik supervisi, dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Neagley, Ross, Evans dan Dean (1980) mengidentifikasi berbagai teknik supervisi individual meliputi kegiatan di dalam dan di luar kelas. Aktivitas supervisi individual yang dilakukan di dalam ruang kelas, anta-ra lain: (a) kunjungan dan observasi kelas, (b) supervisi dengan tujuan un-tuk mengetahui kompetensi, (c) supervisi klinis, dan (d) perbincangan supervisor dengan guru.

Secara individual, program supervisi di luar ruang kelas dalam arti pengembangan profesional guru secara umum, antara lain berupa: (a) mengambil matakuliah di perguruan tinggi, (b) keterlibatan dalam evaluasi, (c) konferensi dan kegiatan profesi lainnya, (d) pemilihan buku teks dan bahan-bahan pembelajaran lainnya, (e) membaca jurnal/bacaan profesi, (f) menulis artikel mengenai profesi, (g) pemilihan guru/staf profesional, (h) pertemuan informal supervisor dengan guru, dan (i) berbagai bentuk pengalaman lain yang memungkinkan peningkatan profesional guru.

Berbagai kegiatan supervisi yang dilakukan secara kelompok, antara lain (a) orientasi bagi guru baru, (b) ujicoba di kelas atau penelitian tindakan kelas, (c) pelatihan sensitivitas, (d) pertemuan guru yang efektif, (e) melakukan teknik Delphi untuk mengambil keputusan mengenai perbaikan pengajaran/sekolah, (f) mengunjungi guru lain yang profesional, (g) pengembangan instrument ujian secara bersama, dan (h) pusat kegiatan guru.

Dalam kegiatan supervisi kelompok tersebut, tentu saja peran supervisor yang menonjol adalah sebagai koordinator dan group leader. Sementara itu dalam kegiatan supervisi individual, supervisor lebih berperan sebagai konsultan. Berbagai bentuk kegiatan atau taknik supervisi tersebut tentunya sangat tergantung pada inisiatif supervisor.

2. PENDEKATAN SUPERVISIDalam pelaksanaan supervisi, karakteristik guru yang dihadapi oleh

supervisor pasti berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari sisi usia dan kematangan, pengalaman kerja, motivasi maupun kemampuan guru. Karena itu, supervisor harus menerapkan pendekatan yang sesuai dengan karakteritik guru yang dihadapinya. Apabila pendekatan yang digunakan tidak sesuai, maka kegiatan supervisi kemungkinan tidak akan berjalan dengan efektif.

Sergiovanni (1982), mengemukakan berbagai pendekatan supervisi, antara lain (a) supervisi ilmiah (scientific supervision), (b) supervisi klinis (clinical supervision), (c) supervisi artistik, (d) integrasi di antara ketiga pendekatan tersebut.a. Supervisi Ilmiah

Page 4: Teori supervisi

John D. McNeil (1982), menyatakan bahwa terdapat tiga pandangan mengenai supervisi ilmiah sebagai berikut :

Pertama, supervisi ilmiah dipandang sebagai kegiatan supervisi yang dipengaruhi oleh berkembangnya manajemen ilmiah dalam dunia industri. Menurut pandangan ini, kekurang berhasilan guru dalam mengajar, harus dilihat dari segi kejelasan pengaturan serta pedoman- pedoman kerja yang disusun untuk guru. Oleh karena itu, melalui pendekatan ini, kegiatan mengajar harus dilandasi oleh penelitian, agar dapat dilakukan perbaikan secara tepat.

Kedua, supervisi ilmiah dipandang sebagai penerapan penelitian ilmiah dan metode pemecahan masalah secara ilmiah bagi penyelesaian permasalahan yang dihadapi guru di dalam mengajar. Supervisor dan guru bersama-sama mengadopsi kebiasaan eksperimen dan mencoba berbagai prosedur baru serta mengamati hasilnya dalam pembelajaran.

Ketiga, supervisi ilmiah dipandang sebagai democratic ideology.Maksudnya setiap penilaian atau judgment terhadap baik buruknya seorang guru dalam mengajar, harus didasarkan pada penelitian dan analisis statistik yang ditemukan dalam action research terhadap problem pembelajaran yang dihadapi oleh guru. Intinya supervisor dan guru harus mengumpulkan data yang cukup dan menarik kesimpulan mengenai problem pengajaran yang dihadapi guru atas dasar data yang dikumpulkan. Hal ini sebagai perwujudan terhadapideologi demokrasi, di mana seorang guru sangat dihargai keberadaannya, serta supervisor menilai tidak atas dasar opini semata.

Keempat, pandangan tersebut tentunya sampai batas tertentu saat ini masih relevan untuk diterapkan. Pandangan bahwa guru harus memiliki pedoman yang baku dalam mengajar, perlu juga dipertimbangkan. Demikian pula pendapat bahwa guru harus dibiasakan melakukan penelitian untuk memecahkan problem mengajarnya secara ilmiah, dapat pula diadopsi. Pandangan terakhir tentunya harus menjadi landasan sikap supervisor, di mana ia harus mengacu pada data yang cukup untuk menilai dan membina guru.

b. Supervisi ArtistikSupervisi artistik dapat dikatakan sebagai antitesa terhadap supervisi

ilmiah. Supervisi ini bertolak dari pandangan bahwa mengajar, bukan semata-mata sebagai science tapi juga merupakan suatu art. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan dalam meningkatkan kinerja mengajar guru juga harus mempertimbangkan dimensi tersebut.

Elliot W. Eisner (1982) menyatkan bahwa yang dimaksud dengan pendekatan supervisi artistik, ialah pendekatan yang menekankan pada sensitivitas, perceptivity, dan pengetahuan supervisor untuk mengapresiasi segala aspek yang terjadi di kelas, dan kemudian menggunakan bahasa yang ekspresif, puitis serta ada kalanya metaforik untuk mempengaruhi guru agar melakukan perubahan terhadap apa yang telah diamati di dalam kelas. Dalamsupervisi ini, instrumen utamanya bukanlah alat ukur atau pedoman observasi, melainkan manusia itu sendiri yang memiliki perasaan terhadap apa yang terjadi. Tujuan utama pendekatan ini adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (suasana) kependidikan di sekolah.

Page 5: Teori supervisi

Dari pengertian tersebut, mungkin dapat dianalogikan dengan pendekatan penelitian. Supervisi ilmiah paradigmanya identik dengan penelitian kuantitatif sementara itu supervisi artistik lebih dekat dengan pendekatan penelitian kualitatif.

c. Supervisi KlinisSupervisi klinis berangkat dari cara pandang kedokteran, yaitu untuk

mengobati penyakit, harus terlebih dahulu diketahui apa penyakitnya. Inilah yang harus dilakukan oleh supervisor terhadap guru apabila ia hendak membantu meningkatkan kualitas pembelajaran mereka.

Supervisi klinis dilakukan melalui tahapan-tahapan: (a) pra observasi, yang berisi pembicaraan dan kesepakatan antara supervisor dengan guru mengenai apa yang akan diamati dan diperbaiki dari pengajaran yang dilakukan, (b) observasi, yaitu supervisor mengamati guru dalam mengajar sesuai dengan fokus yang telah disepakati, (c) analisis, dilakukan secara bersamasama oleh supervisor dengan guru terhadap hasil pengamatan, dan (d) perumusan langkah-langkah perbaikan, dan pembuatan rencana untuk perbaikan.

3. PELAKSANAAN SUPERVISI DI INDONESIAa. Jabatan Supervisor dan Legalitasnya

Kenyataan yang pertama kali harus disadari sebelum berbicara mengenai pelaksanaan supervisi yang ideal, adalah bahwa dalam peraturan mengenai kependidikan di Indonesia ini, tidak dikenal adanya jabatan supervisor. Pasal 39 ayat (1) Undang-undangNomor 20 Tahun 2003 berbunyi, “Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan”.

Ayat tersebut selanjutnya diberikan penjelasan bahwa “Tenaga kependidikan meliputi pengelola satuan pendidikan, penilik, pamong belajar, pengawas, peneliti, pengembang, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar.

Berdasarkan pada landasan hukum di atas, maka konteks supervisi pengajaran di Indonesia tercakup dalam konsep pembinaan dan pengawasan. Sejak 1996 pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 118/1996 tentang Jabatan Fungsional Pengawas dan Angka Kreditnya, telah menetapkan (pejabat) Pengawas sebagai pelaksana tugas pembinaan/supervisi guru dan sekolah. Teknis pelaksanaan Keputusan Menpan tersebut dijabarkan dalam Keputusan Bersama Mendikbud dan Kepala BAKN Nomor 0322/O/1996 dan nomor 38 tahun 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kerditnya. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan Pengawas Sekolah adala” Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas untuk melakukan pengawasan dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan pra sekolah, dasar, dan menengah“.

Sebagai tenaga fungsional kependidikan, Jabatan Pengawas selanjutnya dibuat penjenjangan sebagaimana jabatan pendidik/guru. Dengan demikian jabatan pengawas telah diakui secara resmi sebagai jabatan fungsional.

Page 6: Teori supervisi

Jabatan tersebut mencerminkan kompetensi dan profesionalitas dalam pelaksanaan tugas sebagaimana jabatan fungsional lainnya.

b. Pelaksanaan Supervisi oleh PengawasPenelitian yang dilakukan oleh Ekosusilo (2003:75) menunjukkan

kenyataan pelaksanaan supervisi oleh pengawas sungguh bertolak belakang dengan konsep ideal supervisi. kegiatan supervisi yang dilakukan oleh pengawas, masih jauh dari substansi teori supervisi. Supervisi yang dilakukan oleh pengawas lebih dekat pada paradigma inspeksi atau pengawasan. Upaya “membantu guru” dengan terlebih dahulu menjalin hubungan yang akrab sebagai syarat keberhasilan supervisi pengajaran, belum dilakukan oleh para pengawas.

c. Pelaksanaan Supervisi oleh Kepala SekolahSalah satu tugas pokok kepala sekolah, selain sebagai

administrator adalah juga sebagai supervisor (Mulyasa, 2003). Tugas ini termasuk dalam kapasitas kepala sekolah sebagai instructional leader.

Dalam kenyataannya, pelaksanaan supervisi oleh kepala sekolah, sebagaimana pengawas, juga masih terfokus pada pengawasan administrasi. Pada umumnya kepala sekolah akan melakukan supervisi pengajaran pada guru melalui kunjungan kelas, apabila dia mendapat laporan mengenai kinerja guru yang kurang baik, atau berbeda dari teman-temannya. Bahkan seringkali dijumpai, seorang kepala sekolah melakukan supervisi terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukan guru dengan cara mengintip dari balik pintu atau jendela, agar tidak diketahui.

Perilaku kepala sekolah tersebut dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya (Jawa) yaitu pekewuh yang dipersepsikan secara salah. Dalam pemahaman yang salah tersebut, apabila kepala sekolah melakukan supervisi kunjungan kelas dan mengamati PBM yang dilakukan guru, maka ia dianggap tidak percaya pada kemampuan guru. Hal ini akan menimbulan konflik dalam hubungan guru dengan kepala sekolah.

d. Kendala-kendala Pelaksanaan SupervisiKendala pelaksanaan supervisi yang ideal dapat dikategorikan dalam

dua aspek, yaitu struktur dan kultur. Pada aspek struktur birokrasi pendidikan di Indonesia ditemukan kendala antara lain sebagai berikut :

Pertama, secara legal yang ada dalam nomenklatur adalah jabatan pengawas bukan supervisor. Hal ini mengindikasikan paradigma berpikir tentang pendidikan yang masih dekat dengan erainspeksi.

Kedua, lingkup tugas jabatan pengawas lebih menekankan pada pengawasan administrasti yang dilakukan oleh kepala sekolah dan guru. Asumsi yang digunakan adalah apabila administrasinya baik, maka pengajaran di sekolah tersebut juga baik. Inilah asumsi yang keliru.

Ketiga, rasio jumlah pengawas dengan sekolah dan guru yang harus dibina/diawasi sangat tidak ideal. Di daerah-daerah luar pula Jawa misalnya, seorang pengawas harus menempuh puluhan bahkan ratusan kilo meter untuk mencapai sekolah yang diawasinya; dan

Keempat, persyaratan kompetensi, pola rekrutmen dan seleksi, serta evaluasi dan promosi terhadap jabatan pengawas juga belum mencerminkan

Page 7: Teori supervisi

perhatian yang besar terhadap pentingnya implementasi supervisi pada ruh pedidikan, yaitu interaksi belajar mengajar di kelas.

Pada aspek kultural dijumpai kendala antara lain :Pertama, para pengambil kebijakan tentang pendidikan belum berpikir

tentang pengembangan budaya mutu dalam pendidikan. Apabila dicermati, maka mutu pendidikan yang diminta oleh customerssebenarnya justru terletak pada kualitas interaksi belajar mengajar antara siswa dengan guru. Hal ini belum menjadi komitmen para pengambil kebijakan, juga tentu saja para leksana di lapangan.

Kedua, nilai budaya interaksi sosial yang kurang positif, dibawa dalam interaksi fungsional dan professional antara pengawas, kepala sekolah dan guru. Budaya ewuh-pakewuh, menjadikan pengawas atau kepala sekolah tidak mau “masuk terlalu jauh” pada wilayah guru.

Ketiga, budaya paternalistik, menjadikan guru tidak terbuka dan

membangun hubungan professional yang akrab dengan kepala sekolah dan

pengawas. Guru menganggap mereka sebagai “atasan” sebaliknya pengawas

menganggap kepala sekolah dan guru sebagai “bawahan”. Inilah yang

menjadikan tidak terciptanya rapport atau kedekatan hubungan yang menjadi

syarat pelaksanaan supervisi.KESIMPULAN DAN SARAN

1. KesimpulanDemikianlah uraian mengenai supervisi pengajaran, antara konsep teoritik

dan kenyataannya. Pelaksanaan supervisi pengajaran di lapangan, kenyataannya masih jauh dari konsep teoritik yang dikembangkan di jurusan/program manajemen pendidikan. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, diperlukan sosialisasi dan “tekanan” dari pihak-pihak yang komit terhadap kualitas pendidikan di Indonesia kepada para pengambil kebijakan dan pengelola pendidikan. Hal ini secara bersama-sama harus dilakukan dengan pengembangan budaya mutu dalam pendidikan, yang intinya terletak pada kualitas proses pembelajaran di dalam kelas.

2. Saran-saranBerangkat dari kenyataan dan kendala pelaksanaan supervisi di Indonesia,

maka untuk menuju pada supervisi yang ideal diperlukan langkah-langkah antara lain :

Pertama, menegaskan, dan apabila perlu memisahkan jabatan supervisor dengan jabatan pengawas dalam struktur birokrasi pendidikan di Indonesia. Dalam hal ini, terdapat dua pilihan, yaitu mengarahkan jabatan pengawas agar terartikulasi pada peran dan tugas sebagai supervisor, atau mengangkat supervisor secara khusus dan tetap membiarkan jabatan pengawas melaksanakan fungsi pengawasan.

Kedua, memperbaiki pola pendidikan prajabatan maupuninservice rekrutmen, seleksi, penugasan, serta penilaian dan promosi jabatan supervisor/pengawas.

Page 8: Teori supervisi

Ketiga, dalam konteks otonomi daerah, jabatan supervisor dapat diangkat sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah.

Keempat, membangun kesadaran budaya mutu dalam pendidikan bagi pengelola-pengelola pendidikan pada semua tingkatan.

Kelima, mendorong kepala sekolah berperan sebagaiinstructional leader dan mengurangi porsi tugas-tugas administratif.

Keenam, mengikis pola hubungan yang paternalistik antara pengawas/kepala sekolah dengan guru dan mengembangkan hubungan profesional yang akrab dan terbuka untuk meningkatkan pembelajaran.

DAFTAR RUJUKAN

Aqib, Zainal dan Rohmanto, Elham, 2007. Membangun Profesionalisme Guru dan

Pengawas Sekolah. Bandung: CV. Yrama Widya

Bafadal, 1992. Supervisi Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara

Ekosusilo, Madyo. 1998. Supervisi Pengajaran dalam Latar Budaya Jawa. Sukoharjo:

Univet Bantara Press.

Encok, Mulyasa. 2003. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Glatthorn, Allan A.1990. Supervisory Leadeship: Introduction to Instructional

Supervision. USA: HarperCollins Publishers.

Glickman, Carl. D. 1981. Developmental Supervision: Alternative Practice for Helping

Teacherss Improve Instruction. Alexandria: ASCD

Keputusan MENPAN Nomor 118/1996 tentang Jabatan Fungsional Pengawas dan

Angka Kreditnya

Keputusan Bersama Mendikbud dan Kepala BAKN Nomor 0322/O/1996 dan Nomor 38

tahun 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah

dan Angka Kerditnya.

Mantja, W. 2007, Profesionalisasi Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan

Supervisi Pengajaran. Malang: Elang Mas

Oliva, Peter. F. 1984. Supervison for Today’s School. 2nd Edition. New York: Longman.

Sergiovanni, T.J. Ed. 1982. Supervision of Teaching. Alexandria: ASCD

Sergiovanni, T.J. dan Starrat, R.J. 1993. Supervision A Redefinition. 5th Ed. New York:

McGraw-Hill Book Co.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Wiles, Jon dan Bondi, Joseph. 1986. Supervision A Guide to Practice. 2nd Ed.Columbus:

Char