TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

37
PERGESERAN PENDEKATAN DALAM PRAKTEK PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI INDONESIA

Transcript of TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

Page 1: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

PERGESERAN PENDEKATAN DALAM PRAKTEK PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI INDONESIA

Page 2: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

PENDAHULUAN

Perkembangan perencanaan pembangunan wilayah di Indonesia dibagi dalam lima periode (Deni dan Jumantri; 2002), yaitu :

- Periode 60-an- Periode 70-an- Periode 80-an- Periode 90-an- Periode 2000-an

Pendekatan historis tersebut menjadi dasar bagi analisis praktek perencanaan wilayah yang berkembang di Indonesia.

Berdasarkan perkembangan tersebut dapat diidentifikasikan pendekatan-pendekatan pengembangan wilayah yang pernah digunakan, dan dikaji relevansinya untuk mengantisipasi perkembangan ke depan.

Praktek pengembangan wilayah ke depan harus lebih realisitis, acceptable dan mudah diterapkan, dengan mengakomodasi paradigma terkini, untuk membuka wawasan yang lebih luas.

Page 3: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

I. PERIODE ENAM PULUHAN

Periode 60-an merupakan awal bagi pembangunan terencana setelah mengalami keterpurukan akibat penjajahan dan perang. Gambarannya adalah sebagai berikut :

- Kebijakan pembangunan nasional lebih menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

- Perencanaan diwarnai oleh pendekatan sektoral dan parsial; ada pembedaan kota dan desa (dikotomi desa-kota). Konsentrasi diarahkan ke perkotaan, sementara di perdesaan ditemui stagnasi, kemunduran dan kemiskinan.

- Dikotomi perencanaan kota dan perencanaan desa memberi dampak yang tidak menguntungkan secara regional, karena interdependency desa-kota tidak

terjadi.

- Cara pandang perencana yang mempertentangkan urban dan rural, yang menimbulkan friksi karena tidak adanya koordinasi lintas sektoral.

- Muncul disparitas kegiatan ekonomi dan kependudukan antara kota sebagai growth pole dengan desa sebagai hinterland-nya.

- Mulai terjadi polarisasi kota-kota yang dicirikan oleh tingginya angka indeks primacy (di atas 2,0 untuk kota-kota besar dan di atas 3,0 untuk kota-kota

metro).

Page 4: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

II. PERIODE TUJUH PULUH-AN

Pada era 70-an terdapat enam pendekatan yang digunakan di Indonesia, yaitu :

1. Pendekatan sektoral.2. Pendekatan pengembangan wilayah.3. Pengembangan wilayah melalui pembangunan infrastruktur.4. Pengembangan wilayah berbasis sistem kegiatan ekonomi.5. Pengembangan melalui koordinasi antar daerah administrasi.6. Pengembangan melalui sinkronisasi program pembangunan.

Page 5: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

1. PENDEKATAN SEKTORAL

Pada awal 70-an perencanaan kewilayahan sudah mulai dilakukan, walaupun konsepnya baru sebatas kepentingan sektoral dan masih berjalan sendiri-sendiri.

Dalam pengembangan pertanian dianut pembagian unit lahan yang menggambarkan kelas kesesuaian lahan pertanian berdasarkan sifat, kondisi tanah, iklim, morfologi.

Di sektor pertanahan dilakukan perencanaan tata guna tanah yang didasarkan pada potensi tanah sehingga diperoleh rencana penggunaan tanah (zoning plan).

Di sektor kehutanan diintroduksi cara penetapan status/fungsi hutan berupa pembagian unit hutan yang disebut rencana tata guna hutan.

Di dalam Rencana Induk Pariwisata dikenal clustering berdasarkan WTW dan DTW.

Departemen Perhubungan menyusun sistem transportasi nasional dengan memanfaatkan hasil OD survei, struktur jaringan jalan dan pola sebaran transportasi.

Perencanaan sektoral bertujuan meningkatkan optimasi penggunaan ruang dan sumberdaya, dengan titik berat kepentingan sektor; sehingga terjadi duplikasi pendanaan, konflik kepentingan, sentralistis, normative dan supply-driven oriented.

Page 6: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

2. PENDEKATAN PENGEMBANGAN WILAYAH

Pada pertengahan 70-an mulai berkembang penggunaan teori dan model pembangunan yang terkait dengan aspek pembangunan ekonomi, demografi dan geografi; sebagai reaksi atas kelemahan pendekatan sektoral.

Pada era ini dikembangkan pendekatan komprehensif dengan tujuan agar pembangunan saling sinergi yang secara totalitas menunjukkan resultante perkembangan optimum (pareto optima).

Untuk mendukung pendekatan tersebut banyak dikembangkan model analisis wilayah seperti backward-forward linkage, urban-rural linkage, shift and share, input-output, economic-treeshold dan lainnya.

Kompleksitas permasalahan mendorong para pakar untuk mencari pendekatan yang lebih komprehensif, yang akhirnya melahirkan pendekatan pengembangan wilayah yang menekankan pada keterpaduan analisis wilayah (Regional Science).

Pendekatan pengembangan wilayah merupakan kajian terhadap hubungan sebab akibat dari faktor-faktor utama pembentuk wilayah yang meliputi aspek fisik, sosial-budaya dan ekonomi.

Page 7: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

3. PENGEMBANGAN WILAYAH MELALUI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

Pendekatan ini didasari oleh kebijakan pembangunan nasional (Pelita I) yang menekankan pertumbuhan ekonomi berbasis pertanian, yang membutuhkan pembangunan sosial ekonomi yang didukung pembangunan fisik infrastruktur sesuai dengan kondisi geografi Indonesia.

Soetami (1973) menggagas konsep pengembangan wilayah bersamaan dengan pembangunan infrastruktur.

Konsepnya didasarkan pada interaksi antara manusia dengan alam dan lingkungan yang membentuk keserasian, keselarasan dan keseimbangan (Ilmu Wilayah).

Kemudian disusun program pembangunan prasarana dan sarana untuk meningkatkan aksesbilitas kegiatan bermukim dan berproduksi tanpa merusak lingkungan.

Dalam implementasinya lebih bersifat mendukung pengembangan sentra-sentra produksi.

Sebagai contoh; pada sub sektor pertanian tanaman pangan, pembangunan prasarana dilaksanakan untuk mendukung program intensifikasi dan ekstensifikasi, antara lain pembangunan waduk, jaringan irigasi, pengembangan rawa, lahan pasang surut, pencetakan sawah, dan sebagainya.

Page 8: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

IR. SOETAMIMENTERI PU 1966-1978

BENDUNGAN SOETAMI(DULU BERNAMA

BENDUNGAN KARANGKATES)

Page 9: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

4. PENGEMBANGAN WILAYAH BERBASIS SISTEM KEGIATAN EKONOMI

Konsep ini dikembangkan oleh Poernomosidi Hadjisarosa melalui pendekatan satuan-satuan wilayah ekonomi yang bertumpu pada teori Losch.

Pendekatan ini juga mengadopsi teori interdependency yang menyatakan bahwa antara wilayah satu dengan lainnya akan terjadi saling ketergantungan melalui mekanisme pasar (hubungan supply-demand).

Konsep ini diarahkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan struktur ekonomi bertumpu pada sektor pertanian secara luas (kebijakan Pelita II).

Pembangunan yang menonjol pada saat itu adalah kegiatan produksi, koleksi, distribusi dan transmigrasi.

Setiap wilayah yang mempunyai pengaruh ekonomi yang berbeda; masing-masing berbentuk Satuan Wilayah Ekonomi (SWE) dimana luas dan batasnya sangat bergantung pada kemampuan jangkauan pelayanan kotanya (pusat pengembangan) sebagai simpul jasa koleksi dan distribusi barang; sehingga kota-kota mempunyai hirarki dan fungsi dalam sistem perkotaan (system of cities) yang diidentifikasikan sebagai kota ordo kesatu, kedua, ketiga dan seterusnya.

Jaringan transportasi untuk mendukung sistem tersebut mempunyai fungsi dan hirarki yang diidentifikasi sebagai jalan arteri primer/sekunder, kolektor primer/ sekunder dan lokal primer/sekunder.

Pendekatan Poernomosidi ini sangat mewarnai hirarki jalan (Undang-undang tentang Jalan) dan hirarki permukiman dalam perencaaan lokasi transmigrasi.

Page 10: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

DR. IR. POERNOMOSIDHI HADJISAROSAMENTERI PU 1978-1983

Page 11: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

5. PENGEMBANGAN WILAYAH MELALUI KOORDINASI ANTARDAERAH ADMINISTRASI

Pertengahan tujuh puluhan, Hariri Hady (Beppenas) mengintroduksikan sistem perwilayahan nasional, yakni pengelompokan beberapa daerah administrasi menjadi suatu Wilayah/Sub wilayah Pembangunan berdasarkan kekuatan perdagangan, keuangan, jasa, kegiatan produksi, sistem prasarana wilayah, dan lainnya.

Sistem perwilayahan ini merupakan pendekatan untuk menjamin tercapainya pembangunan yang serasi, selaras dan seimbang, baik antar sektor maupun antar wilayah pembangunan.

Walaupun secara konseptual dilaksanakan secara regional, tetapi dalam pelaksanaannya tetap dilakukan menurut prosedur administrasi pembangunan yang ada. Karena itu perlu kerjasama antar Pemerintah Daerah, antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan antar sektor.

Pendekatan ini dilakukan melalui forum konsultasi regional dan nasional, dimana perencanaan dan program dirumuskan bersama, dan mencari pemecahan bersama.

Permasalahan :- Dalam prakteknya upaya keterpaduan ini belum menunjukkan hasil optimal,

karena forum konsultasi lebih banyak dimanfaatkan untuk adu argumentasi dalam mempertahankan program dan proyeknya masing-masing.- Hal ini disebabkan karena kurang kuatnya faktor pengikat yang mampu membangkitkan rasa kebersamaan.

Page 12: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

6. PENGEMBANGAN WILAYAH MELALUI SINKRONISASI PROGRAM PEMBANGUNAN

Pendekatan ini merupakan penyempurnaan pendekatan sebelumnya dengan memperjelas mekanisme penyusunan program pembangunan. Muncul pendekatan perencanaan yang disebut top-down approach, dan bottom-up approach.

Pendekatan dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, harus dilihat sebagai satu kesatuan sesuai dengan proses alamiah perkembangan di suatu wilayah.

Muncul mekanisme perumusan program pembangunan dengan melibatkan seluruh perangkat pemerintah melalui mekanisme rembug desa – temu karya – rakorbang II – rakorbang I – konreg – konnas.

Dalam praktek perumusan program masih didominasi oleh pusat (sentralistik). Asas desentralisasi masih dikalahkan oleh asas dekonsentrasi dan pembantuan (medebewind); sementara program daerah belum mencerminkan kehendak masyarakat.

Sebagai perwujudannya muncul pembangunan yang memusatkan perhatiannya pada persoalan urgen; seperti basic needs, teknologi tepat guna, land consolidation, kampoong improvement, posyandu, puskesmas, SD Inpres, dan lainnya.

Meskipun pada umumnya dikembangkan melalui community based development (CBD) namun pada dasarnya masih merupakan program pusat (sektoral) yang “dititipkan” di daerah.

Page 13: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

III. PERIODE DELAPAN PULUH-AN

Pada era 80-an ada empat pendekatan perencanaan, yaitu :

1. Pengembangan wilayah melalui program pembangunan perkotaan.2. Pengembangan wilayah melalui pendekatan lingkungan.3. Desentralisasi perencanaan.4. Pengembangan berdasarkan pendekatan penataan ruang dinamis.

Page 14: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

1. PENDEKATAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN

Pada awal delapan puluhan dirumuskan pengembangan kota berdasarkan fungsi dan hirarkinya melalui strategi nasional pembangunan perkotaan (NUDS).

Klasifikasi kota :- Berdasarkan besaran penduduk, kota diklasifikasikan menjadi kota metropolitan, kota besar, kota sedang dan kota kecil. - Berdasarkan fungsi pelayanan, kota diklasifikasikan ke dalam National

Development Centre (NDC), Interregional Development Centre (IRDC), Regional Development Centre (RDC) dan Local Service Centre (LSC).- Berdasarkan RTRWN (PP. No. 47/1997 dikembangkan menjadi Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL).

Untuk mengimplementasikan strategi tersebut disusunlah rencana-rencana tata ruang kota dan program-program P3KT dengan mengembangkan sistem jaringan transportasi melalui pendekatan keterpaduan. Permasalahan yang muncul adalah :- P3KT yang seharusnya mengacu pada rencana detil dalam kenyataannya tidak demikian, karena rencana detil belum dipersiapkan dengan baik.- Keterpaduan masih terbatas pada prasarana ke-ciptakaryaan.- Pengaturan perencanaan kota dipisahkan dengan pengaturan pembangunan prasarana kota, sehingga timbul kontroversi.

Page 15: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

2. PENGEMBANGAN MELALUI PENDEKATAN LINGKUNGAN

Kebijakan pembangunan pada awal 80-an (Pelita III) adalah pemerataan pembangunan ekonomi dengan dominasi sektor industri yang saling menguatkan dengan pertanian.

Setelah diterimanya konsep sustainable development dan Ramsar Convention tentang pengelolaan lahan basah, pemerintah mempertajam kebijakannya melalui keterpaduan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan manusia.

Pada era ini berbagai kegiatan sektor ekonomi digalakkan; seperti kehutanan, perkebunan, pertambangan, industri, pariwisata, transportasi; yang menuai kecaman para ecologist dan environmentalist tentang permasalahan lingkungan (global issue).

Sebagai implikasinya muncul pendekatan yang mengarah pada upaya pemanfaatan sumberdaya alam sehemat mungkin tanpa merusak lingkungan, dan upaya untuk mempertahankan keseimbangan lingkungan.

Model pengembangan tersebut antara lain adalah : economic treeshold, ecodevelopment, carriryng capacity, analisis dampak lingkungan, analisis sumber daya, dan sebagainya.

Untuk mengoperasionalkan kebijakan tersebut maka dikeluarkanlah UU No. 4/1982 tentang Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, Keppres 32/1990 tentang Kawasan Lindung.

Page 16: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

Suyono Sosrodarsono kemudian mengembangkan :- Pendekatan wilayah fungsional yang merupakan satu ekosistem, yaitu Satuan Wilayah Sungai (SWS dan Daerah Pengaliran Sungai (DPS).- Keterpaduan antara pengembangan prasarana (pengairan, transportasi, pengelolaan lingkungan) dengan kesatuan wilayah fungsional.

Permasalahan dalam implementasi pendekatan lingkungan ini adalah :- Belum terintegrasinya perencanaan berdasarkan wilayah administrasi dengan perencanaan berdasarkan wilayah fungsional SWS dan wilayah fungsional lainnya.- Kegiatan amdal masih bersifat parsial dan sektoral.- Peraturan perundangan yang berlaku masih bersifat normatif, sehingga masih diperlukan pengaturan yang lebih operasional dan lebih tegas dalam memberlakukan sangsi terhadap pelanggaran.

Page 17: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

IR. SUYONO SOSRODARSONOMENTERI PU 1983-1988

Page 18: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

3. DESENTRALISASI PERENCANAAN

Menjelang akhir 80-an (akhir Pelita IV) disadari bahwa mekanisme yang terlalu sentralistis telah menimbulkan banyak permasalahan, antara lain :

Terjadinya kebocoran dan duplikasi pendanaan pembangunan karena penyusunan program sektoral yang tumpang tindih.

Dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan seringkali tidak tepat sasaran (lokasi, waktu, target group, kualitas dan kuantitas) karena rendahnya akuntabilitas.

Kurangnya keterlibatan peranserta daerah, masyarakat dan swasta/dunia usaha, yang sebenarnya dapat membantu pemerintah dalam pendanaan.

Keterlambatan dalam mewujudkan hasil pembangunan karena terlalu birokratif. Banyak peraturan yang dibuat masing-masing sektor lebih mengutamakan

kepentingan sektor.

Dalam rangka memperbaiki mekanisme pembangunan dari sentralistis ke desentralistis, maka dirumuskan kebijakan desentralisasi, antara lain dengan diterbitkannya PP. No. 14/1987 tentang penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang ke-PU-an kepada daerah, termasuk penyerahan urusan rencana tata ruang ke urusan di bidang Cipta Karya.

Page 19: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

Desentralisasi perencanaan berimplikasi pada pemberdayaan daerah di bidang perencanaan,

melalui beberapa kegiatan :

Pembentukan unit perencanaan di daerah, dan dikembangkannya pusat informasi dan dokumentasi penataan ruang daerah.

Penyusunan pedoman dan petunjuk teknis penataan ruang.

Pembinaan teknis penataan ruang melalui kegiatan desiminasi dan sosialisasi produk hukum yang terkait penataan ruang; pelatihan perencanaan tata ruang di daerah; sosialisasi pedoman/petunjuk teknis penataan ruang.

Page 20: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

4. PENDEKATAN PENATAAN RUANG DINAMIS

Di akhir 80-an pendekatan pengembangan wilayah semakin diperjelas, dengan memasukan rencana tata ruang dalam dokumen resmi perencanaan pembangunan (Buku Repelita IV dan Repelita V).

Untuk mengantisipasi adanya pengaruh globalisasi ekonomi, dikembangkan pendekatan penataan ruang yang tanggap terhadap dinamika pembangunan melalui pendekatan penataan ruang dinamis (Tarudin).

- Berawal dari pendekatan yang terlalu normatif, legalistik, tertutup, supply oriented, atau hanya menampung visi perencanaan saja, sudah waktunya dirubah.

- Aternatifnya adalah pendekatan perencanaan yang lebih partisipatif, tanggap terhadap dinamika pembangunan yang berubah cepat, serta mempertimbangkan kepentingan semua pihak (stakeholders).

Page 21: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

Dalam upaya menarik investasi, penataan ruang dinamis dikembangkan sebagai instrumen dalam :

- Keterpaduan pelaksanaan pembangunan dan sinkronisasi program pebangunan sektoral dan daerah.

- Acuan dalam alokasi investasi

- Mendorong dan membuka peluang serta memberi kemudahan dalam kegiatan investasi.

- Kerjasama atau peranserta masyarakat dan swasta dengan pemerintah.

Pada era ini juga sudah mulai dirintis pengembangan sistem informasi penataan ruang dan sistem informasi geografis.

Page 22: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

IV. PERIODE SEMBILAN PULUH-AN

Selama periode 90-an ada dua pendekatan pengembangan wilayah yang diintroduksi di Indonesia, yaitu :

1. Penataan ruang berdasarkan pendekatan wilayah.

2. Pendekatan strategic management untuk perencanaan yang berwawasan implementasi.

Selain itu mulai muncul Revolusi 3 T (telekomunikasi, transportasi dan tourism) mempercepat arus globalisasi yang menciptakan kebutuhan transformasi di segala aspek kehidupan; yang berdampak pada :

- Meningkatnya kepekaan masyarakat dalam pembangunan, sehingga lebih dituntut adanya transparansi, desentralisasi dan peranserta masyarakat.

- Adanya tuntutan efisiensi pembangunan, dan pembangunan ramah lingkungan.

- Adanya perubahan kebijakan sektoral yang berdampak pada alokasi kegiatan pembangunan dan kegiatan ekonomi yang membutuhkan lahan berskala besar.

- Adanya perkembangan ekonomi nasional/global melalui kerjasama regional .

Page 23: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

Hal ini mewarnai kebijakan pebangunan era 90-an, yakni :

- Pertumbuhan sekaligus pemerataan pembangunan ekonomi dengan dominasi sektor industri dan pemasaran yang saling menguatkan dengan sektor pertanian, pertambangan, pariwisata, transportasi dan telekomunikasi.- Peningkatan penanaman modal asing dan domestik.- Peningkatan desentralisasi dan peranserta masyarakat.- Pengembangan kawasan strategis.- Pelaksanaan Agenda 21 Rio de Janeiro.

Operasionalisasi kebijakan tersebut antara lain dikeluarkannya PP. No. 45/1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang kemudian disempurnakan dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Page 24: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

1. PENATAAN RUANG BERDASARKAN PENDEKATAN WILAYAH

Pendekatan ini diwarnai oleh penataan wilayah berdasarkan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang, dan termuatnya rencana tata ruang sebagai dasar perencanaan pembangunan dalam GBHN 1993 yang diikuti dengan TAP MPR No. IV/MPR/199 tentang GBHN 1999 dan UU Propenas (2000-2004). Prinsip-prinsipnya adalah :

- Pendekatan wilayah adalah cara pandang untuk memahami kondisi, ciri, fenomena, dan hubungan sebab akibat dari unsur-unsur pembentuk wilayah; seperti penduduk, sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sosial, ekonomi, budaya, fisik lingkungan.- Rencana tata ruang dikembangkan ke arah wawasan lingkungan dan manusia, yang menserasikan tata guna tanah, tata guna hutan dan tata guna sumberdaya lainnya dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis.- Tata ruang disusun berdasarkan pola terpadu melalui pendekatan wilayah dengan memperhatikan sifat alam dan lingkungan sosial.- Bersifat futuristik melalui langkah-langkah menentukan arah pengembangan; bersifat preskriptif menuju kondisi masa depan yang diharapkan bertitik tolak dari data, informasi, iptek.

Hasilnya bukan hanya berupa identifikasi fenomena atau hubungan sebab akibat, tetapi juga pemahaman bagaimana mengembangkan kegiatan sektor ekonomi, sumberdaya alam, perlindungan lingkungan, pengembangan infrastruktur, yang dituangkan dalam “spatial planning”.

Page 25: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

2. PENDEKATAN STRATEGIC MANAGEMENT

PERTAMA Globalisasi mempercepat “gelombang ketiga” yakni peralihan dari ekonomi dunia

yang bertumpu pada industrialisasi kepada ekonomi informasi (Alvin Tofler. “The Third Wave”. 1997).

Dampak globalisasi yang paling terasa menjelang akhir 90-an adalah munculnya blok ekonomi. Saat itu Asia dalam proses memegang peranan ekonomi dunia (John Naisbitt. “Megatrend Asia”. 1996) karena revolusi 3 T lebih terkonsentrasi di sini.

Di Indonesia, dengan keikutsertaannya dalam revolusi 3 T, berkembanglah tuntutan masyarakat akan transparansi, peranserta masyarakat, desentralisasi, HAM.

Menghadapi situasi ini para ahli menyarankan re-orientasi arah pembangunan terutama pemanfaatan ruang perlu diperkaya dengan rencana tindak (action plan).

Dalam perkembangannya action plan banyak mengadopsi model manajemen yang disebut strategic plan, dan implementasinya disebut manajemen strategis.

Dalam kaitannya dengan perbaikan struktur ekonomi nasional, beberapa pendekatan yang disarankan Toeffler banyak diterapkan; misalnya :- Change management, karena masih ada stakeholders yang mempertahankan paradigma lama.- People/man management; karena masih buruknya profesionalisme.- Quality management; yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya secara berkualitas.- Procces management; yang terkait dengan rantai kegiatan yang seharusnya bersifat melayani.

Page 26: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

ALVIN TOFFLERPENULIS BUKU

THE THIRD WAVE

JOHN NAISBITPENULIS BUKU

MEGATREND ASIA

Page 27: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

Dalam rangka peningkatan kinerja birokrasi, pemerintah menerima pendekatan dari Osborne, yang menawarkan perubahan paradigma cara kerja birokrat :

- Lebih bersifat menyetir dari pada mendayung.- Lebih bersifat pemberdaya (enabler) dari pada penyedia (provider).- Lebih merupakan organisasi yang berperan sebagai penggerak perubahan.- Penggunaan dana untuk memperoleh hasil, bukan untuk input.- Mempertemukan kebutuhan costumer, bukan birokrasi.- Lebih banyak pendapatan dari pada pebelanjaan.- Lebih baik mencegah dari pada mengobati.- Mengubah pendekatan dari hirarki menuju partisipatori.- Lebih baik mendelegasikan (desentralisasi) dari pada dipusatkan.- Lebih berorientasi pada pasar.

Page 28: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

DAVID OSBORNE DAN TED GAEBLERPENULIS BUKU

REINVENTING GOVERNMENT

Page 29: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

Dengan kesadaran perlunya melakukan reorientasi arah pembangunan, maka dilakukan upaya :- Pergeseran tupoksi pemerintah dari provider menjadi enabler.- Restrukturisasi organisasi pemerintah.- Mempromosikan kawasan-kawasan bernilai strategis.- Pengembangan model pembangunan dalam engembangkan kawasan strategis dan sektor unggulan.- Penyederhanaan mekanisme pembangunan melalui deregulasi, debirokratisasi, pemberian insentif/disinsentif, reward dan punishment kepada pelaku pembangunan.- Pengembangan model-model kerjasama dalam proses pebangunan.- Kebijakan fiskal dan moneter.

Dalam tata ruang wilayah mulai diprakarsai pengembangan “kawasan andalan” sebagai sektor unggulan. Model yang pertama kali dikembangkan adalah KAPET (Kawasan Pertumbuhan Ekonomi Terpadu) yang merupakan gabungan strategic planning dan strategic management yang dinamakan IDEP (Integrated Area Developent Plan).

Page 30: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

KEDUA

Desakan untuk menerapkan peranserta masyarakat, mendorong dikembangkannya pendekatan penataan ruang yang lebih memperhatikan hak masyarakat yang dituangkan dalam PP. No. 69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tata Cara Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang.

Hal ini mendorong keterlibatan penyediaan dana pembangunan, menciptakan keragaman alternatif, dalam penyusunan rencana pembangunan yang melibatkan pihak swasta. Misalnya :

- Penyusunan rencana pembangunan bagian wilayah kota yang melibatkan developer (Surabaya Barat, KIG).- Pengembangan CBD Mega Kuningan; relokasi dan pembangunan Terminal Tambak Oso Wilangon.

Page 31: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

KETIGA

Berkaitan dengan revolusi 3 T, diperlukan dukungan informasi yang handal. Pada akhir 90-an telah dilakukan :- Pengembangan SIGNAS (Sistem Infromasi Geografi Nasional)- Pengembangan Sistem Informasi Penataan Ruang Wilayah Propinsi dan Kabupaten.- Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Pembangunan Perkotaan. - Pengembangan pola-pola kerjasama masyarakat dan dunia usaha dengan pemerintah.- Pengembangan pendekatan action plan.

Periode 90-an diakhiri dengan terjadinya turbulensi ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter, yang berlanjut pada krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hal ini menyadarkan masyarakat untuk melakukan reformasi hukum dan perundangan, reformasi ekonomi dan sistem pemerintahan; yang melahirkan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan, dan UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

Page 32: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

5. PERIODE DUA RIBU-AN

Pada era 2000-an muncul paradigma baru dalam pengembangan wilayah/kawasan, yaitu memasuki era otonomi daerah, melalui pergeseran paradigma sebagai berikut :

- Dari sasaran yang terfokus pada pertumbuhan, sektoral, parsial, makro dan nasional; ke sasaran yang menitikberatkan pada kesejahteraan,

keterpaduan, mikro, dan local based.- Dari pendekatan perencanaan yang terlalu general, model abstrak ideal, sentralistik dan model ekonomi kuantitatif; menuju ke pendekatan perencanaan yang lebih lokal spesifik dengan pandangan holistik, berfikir ke depan secara global, kontemporer, lokal dan sosio kualitatif.- Dari implementasi berdasarkan pembangunan terencana, top-down approach, dan arahan pemerintah yang dominan; menuju ke pembangunan yang interaktif, bottom up approach, dan partisipatory.- Dari kontrol yang menekankan pada auditing pencapaian goal, ke kontrol yang yang menekankan kepada umpan balik dan penyempurnaan proses.

Page 33: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

Sejalan dengan itu maka paradigma baru dalam penataan ruang wilayah adalah sebagai berikut ;

- Penataan ruang desentralistik (lebih bottom up approach).- Pemerintah tidak lagi sendiri tetapi bersama masyarakat menciptakan rencana, melaksanakan dan melakukan pengendalian.- Pemerintah daerah proaktif dan kebijakan tata ruang diketahui semua pihak.- Penyusunan rencana tata ruang dilakukan dengan mengikut sertakan masyarakat (public participation).- Pemerintah daerah aktif memberikan sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat.

Page 34: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

Agar pendekatan wilayah lebih realistis, acceptable dan mudah diterapkan, maka pada awal 2000-an lebih disempurnakan lagi dengan mengakomodasi jiwa otonomi :

- Lebih menitikberatkan pada pendekatan bottom up.

- Melibatkan semua pelaku pembangunan (stakeholders).

- Transparan dalam perencanaan, implementasi dan pengendalian.

- Memberi perhatian besar pada tuntutan jangka pendek.

- Realistis terhadap tuntutan dunia usaha dan masyarakat.

- Berwawasan luas, dengan perhatian pada kawasan yang lebih detail.

- Rencana dapat dijadikan pedoman investasi.

- Menjaga dan meningkatkan mutu lingkungan sambil mendorong dan memfasilitasi pembangunan.

- Mempunyai visi pembangunan dan manajemen pembangunan.

Page 35: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

Sebagai respons terhadap berbagai pendekatan yang pernah diterapkan sebelumnya, maka pendekatan pada periode 2000-an adalah pendekatan tata ruang wilayah melalui proses perencanaan berwawasan otonomi daerah, yang sudah mempertimbangkan aspek pemanfaatan ruang dan aspek pengendaliannya.

Namun demikian pendekatan tersebut bukanlah satu-satunya obat mujarab yang dapat memecahkan semua masalah, karena masih memerlukan pengujian-pengujian; dan perlu diintegrasikan dengan pendekatan lain, yang mampu membangkitkan kesadaran masyarakat dan pelaku pembangunan lainnya untuk berperanserta dalam pembangunan wilayah

Page 36: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

VI. WAWASAN KE DEPAN

Dengan mengadopsi nilai-nilai yang berkembang, idealnya pendekatan pengembangan wilayah memiliki wawasan (Deni dan Jumantri, 2002) :

- Local based flexible (conditional)Dapat dimodifikasi, dapat di”adjust” sesuai kesepakatan berdasarkan

kebutuhan masyarakat yang selalu berkembang.- Tranparency (politically accepted)

Terbuka, melibatkan masyarakat dan pelaku pembangunan lainnya sejak awal. Semua pihak mentaati norma, kriteria, prosedur yang telah disepakati bersama.- Probisnis (layak ekonomi)

Memperhitungkan seluruh korban termasuk lingkungan dan sumberdaya lainnya.

- Pemanfaatan ruang yang menimbulkan kerugian bagi yang lain, wajib membayar atas kerugian yang ditimbulkannya.- Pemanfaatan ruang yang menciptakan keuntungan bagi yang lain, layak mengenakan biaya kepada pemanfaat yang mendapat keuntungan.

- Long term (berkesinambungan)Pembangunan diperhitungkan manfaatnya untuk jangka panjang dengan

tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.- Integrated (holistik)

Program dan kegiatan diselenggarakan oleh pelaku pembangunan dengan mengacu pada kesepakatan yang telah dipahami bersama.

Page 37: TEORI PERENCANAAN 8 REVISI.ppt

Selain itu dalam konteks pembangunan dewasa ini perlu dikembangkan pendekatan holistik; yaitu cara pandang yang menyatakan bahwa pembangunan fisik bukanlah tujuan tetapi lebih merupakan alat untuk mewujudkan tujuan akhir yang telah disepakati bersama.

Untuk mewujudkan tujuan akhir ini tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bekerjasama dengan pihak lain sejak awal sampai akhir.